Disusun oleh :
Pembimbing :
2022
LEMBAR PERSETUJUAN
Telah disetujui
2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................6
2.1 Definisi.....................................................................................................6
2.2 Klasifikasi ................................................................................................6
2.3 Epidemiologi.............................................................................................8
2.4 Faktor Risiko........................................................................................... 9
2.5 Patofisiologi...........................................................................................11
2.6 Manifestasi Klinis ..................................................................................11
2.7 Diagnosis...............................................................................................14
2.8 Gambaran Klinis.....................................................................................14
2.9 Gambaran Laboratorium........................................................................15
2.10 Gambaran Radiologis...........................................................................17
2.13 Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi....................................21
2.14 Prognosis...............................................................................................22
BAB III LAPORAN KASUS.......................................................................23
3.1. Identitas Pasien......................................................................................23
3.2.Anamnesis...............................................................................................23
3.3. Pemeriksaan Fisik..................................................................................24
3.4. Pemeriksaan Penunjang.........................................................................27
3.5. Diagnosis ..............................................................................................28
3.6. Penatalaksanaan.....................................................................................28
BAB IV SIMPULAN ..................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
cidera sehingga meskipun kerusakan nefron terjadi secara progresif, LFG
dipertahankan dengan hiperfiltrasi dan hipertropi nefron sehat yang tersisa sebagai
kompensasi. Kandungan toksin dalam plasma seperti urea dan kreatinin mulai
menunjukkan peningkatan yang signifikan hanya setelah LFG total menurun
hingga 50%, yaitu ketika ginjal sudah tidak mampu mengkompensasi lagi.1
Fungsi ekskresi dan sekresi ginjal pada CKD menurun dan menyebakan
berbagai gejala secara sistemik. Pasien dengan penyakit gagal ginjal kronik
stadium I - III umumnya bersifat asimtomatik, sedangkan manifestasi klinis
biasanya muncul pada stadium IV - V. Manifestasi klinis CKD dapat sesuai
dengan penyakit yang mendasari, adanya sindrom uremia, maupun gejala dari
komplikasi yang ditimbulkan.1
Diagnosis dini CKD sangat penting dilakukan karena prognosisnya akan
jauh lebih baik dan intervensi dapat segera dilakukan untuk memperlambat
penurunan fungsi. Penanganan CKD memerlukan kerjasama tim medis, pasien,
serta keluarga dan lingkungan karena melibatkan modikasi gaya hidup. Edukasi
terhadap pasien dan keluarganya tentang penyakit dan komplikasi yang
memungkinkan akan sangat membantu memperbaiki hasil pengobatan sehingga
meskipun CKD merupakan penyakit yang ireversibel, akan tetapi dengan
penangan yang baik akan dapat mengurangi gejala yang muncul dan memperbaiki
kualitas hidup penderitanya.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronis (PGK) adalah
suatu proses patofisiologis yang didasari oleh etiologi yang beragam, yang
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal secara progresif, dan pada umumnya
5
berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang
ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel yang mencapai pada
derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal tetap, yaitu dapat berupa dialisis
atau transplantasi ginjal.1 Kerusakan ginjal mengacu pada berbagai macam
kelainan yang ditemukan selama pemeriksaan, yang bisa saja bersifat non-spesifik
terhadap penyakit penyebabnya tetapi dapat mengarah pada penurunan fungsi
ginjal. Fungsi ekskresi, endokrin, dan metabolik menurun secara bersamaan pada
hampir semua kasus CKD. Kriteria CKD menurut KDIGO 2012 adalah kerusakan
ginjal ≥ 3 bulan, baik berupa kelainan struktural atau fungional yang dapat
dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium (proteinuria; Albumin-Creatinine-
Ratio > 30 mg/g; total protein-creatinine-ratio > 200 mg/g), abnormalitas sedimen
urin, gangguan elektrolit atau yang lain oleh karena gangguan pada tubulus,
kelainan pada pemeriksaan histologi, kelainan struktural yang terdeteksi melalui
pemeriksaan radiologi, atau riwayat transplantasi ginjal serta penurunan Laju
Filtrasi Glomerulus (LFG < 60 ml/menit/1,73 m2 ) dalam waktu lebih dari 3
bulan, dengan atau tanpa kelainan struktural ginjal.4
2 2. Klasifikasi
Klasifikasi CKD didasarkan atas dua hal yaitu berdasarkan derajat
penyakit dan berdasarkan etiologi.
Klasifikasi berdasarkan derajat penyakit didasarkan pada LFG yang
dihitung dengan mempergunakan rumus KockroftGault sebagai berikut:
6
Sedangkan klasifikasi atas dasar diagnosis etiologi dilihat di tabel berikut:2
7
2.3 Epidemiologi
Chronic Kidney Disease merupakan penyakit yang sering dijumpai pada
praktek klinik sehari-hari. Prevalensinya di negara maju mencapai 10- 13% dari
populasi. Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar
40-60 kasus per juta penduduk per tahun.1
Di Indonesia, populasi yang terdiagnosis CKD sebesar 0,2% yang lebih
rendah dari prevalensi CKD di negara-negara lain. Menurut Riskesdes 2013
prevalensi meningkat seiring bertambahnya umur, pada kelompok umur 35-44
tahun dibandingkan kelompok umur 25-34 tahun. Sebuah studi yang dilakukan
Perhimpunan Nefrologi Indonesia melaporkan sebayak 12,5% populasi di
Indonesia mengalami penurunan fungsi ginjal.4
8
tabel 4. Walaupun menurut data Indonesian Renal Registry (IRR) tahun 2014,
hipertensi muncul sebagai penyebab tertinggi. Dikelompokkan pada sebab lain
diantaranya nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan,
tumor ginjal, dan penyebab yang tidak diketahui.
2..4.1 Glomerulonefritis
Seluruh bentuk dari penyakit glomerulonephritis akut dapat menjadi progresif
dan menyebabkan perubahan menjadi glomerulonephritis kronik. Kondisi ini
dikarakteristikan sebagai ireversibilitas dan progresifitas glomerulus dan fibrosis
dari tubulointerstitial, yang menyebabkan terjadinya penurunan pada laju filtrasi
glomerulus (LFG) dan retensi terhadap racun uremia. Bila progresifitas dari
glomerulonephritis kronik tidak segera ditangani, maka glomerulonephritis kronik
dapat berubah menjadi CKD, penyakit gagal ginjal, dan bahkan penyakit
kardiovaskular.
2.4.2 Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus merupakan penyakit menahun yang akan diderita seumur
hidup. Diabetes dapat terjadi saat tubuh tidak memproduksi insulin yang cukup
atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang sudah ada. Insulin merupakan
hormon yang sangat penting untuk mengatur kadar glukosa dalam darah. 6
Diabetes dapat merusak ginjal dengan memberikan gangguan pada aliran darah
yang melewati ginjal. Sistem filtrasi pada ginjal dipenuhi oleh pembuluh darah
yang sangat kecil. Seiring waktu, tingginya kadar gula dalam darah dapat
menyebabkan pembuluh darah tersebut menjadi sempit dan terhambat. Tanpa
darah yang cukup, kerusakan dapat terjadi pada ginjal dan albumin dapat
melewati sistem filtrasi tersebut dan akan didapatkan pada urin, dimana hal
tersebut tidak seharusnya terjadi. 6
Selain itu, sistem saraf di tubuh juga dapat
9
terganggu. Sistem saraf membawa pesan ke otak dan seluruh tubuh termasuk
kandung kemih untuk memberi tahu bila kandung kemih sudah penuh. Namun,
apabila sistem saraf pada kandung kemih mengalami gangguan, maka pasien tidak
akan dapat merasakan apabila kandung kemih sudah penuh. Tekanan pada
kandung kemih yang tinggi akan dapat merusak ginjal.7
Terdapat dua tipe dari diabetes mellitus :
A. Diabetes Mellitus Tipe 1.
Diabetes mellitus tipe 1 merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan
ketidakmampuan tubuh dalam memproduksi insulin karena proses
penghancuran sel β di pankreas oleh autoimun. Biasanya diabetes mellitus
tipe 1 sudah dapat ditemukan sejak anak-anak, namun penyakit ini juga
dapat berkembang pada dewasa dengan umur 30-40 tahun. 8 Tidak seperti
pasien dengan diabetes mellitus tipe 2, pasien dengan diabetes mellitus
tipe 1 biasanya tidak mengalami obesitas dan biasanya muncul diawali
dengan diabetic ketoacidosis (DKA).
Karakteristik yang terlihat pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 1
adalah, apabila pasien tersebut berhenti menggunakan insulin, ketosis dan
ketoasidosis juga akan muncul. Sehingga pasien dengan diabetes mellitus
tipe 1 bergantung dan diobati dengan exogenous insulin yang digunakan
sehari-hari disertai dengan diet makanan yang sudah direncanakan.1,8 2.
B. Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes mellitus tipe 2 terdiri dari beberapa kelainan fungsi yang
dikarakteristikkan dengan hyperglikemia dan merupakan hasil kombinasi
dari resistensi terhadap kinerja insulin, sekresi insulin yang inadekuat, dan
sekresi glukagon yang berlebihan. Diabetes mellitus tipe 2 yang tidak di
tangani dengan baik akan menyebabkan komplikasi yang melibatkan
gangguan pada sistem mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropatik.6,8
Komplikasi mikorvaskular meliputi penyakit pada retina, renal dan juga
neuropatik. Komplikasi makrovaskular yang dapat terjadi meliputi
gangguan arteri coroner dan penyakit pada pembuluh darah perifer.
10
Sedangkan komplikasi yang terjadi pada sistem neuropati dapat
mempengaruhi sistem saraf autonomik maupun perifer..1,2,3,4,
C. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik ≥ 90 mmHg.5 Hipertensi dapat dibedakan menjadi
primer/esensial dan sekunder berdasarkan penyebabnya. Hipertensi
primer/esensial apabila tidak diketahui penyebabnya dan hipertensi
sekunder apabila diketahui penyakit pada ginjalnya atau disebut juga
hipertensi renal. Penyakit ginjal hipertensif merupakan salah satu
penyebab CKD.
11
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis
nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi
nefron yang progresif, walapun penyakit dasarnya sudak tidak aktif lagi. Adanya
peningkatan aktivitas aksis reninangiotensin-aldosteron intrarenal ikut
memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan
progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron
sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor β
(TGF-β). 4
Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas
CKD adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat
variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus
maupun tubulointerstitial.1
12
Pasien dengan CKD derajat I hingga III dengan LFG >30 mL/menit/1,73 m2
seringkali asimtomatik atau tidak menunjukkan gejala. Pasien belum mengalami
gejala gangguan keseimbangan air ataupun elektrolit, atau kekacauan dari sistem
endokrin dan sistem metabolik. Gejala seringkali mulai muncul pada pasien
dengan CKD derajat IV hingga V dengan LFG < 30 mL/menit/1,73 m2 . Pasien
dengan gangguan pada tubulointerstitial, cystic, sindroma nefrotik, dan kondisi
lainnya yang sering disebut dengan gejala positif seperti poliuri, hematuria,
edema, lebih sering memperlihatkan tanda-tanda penyakit pada derajat yang lebih
awal.2,5
Manifestasi klinis berupa sindroma berkemih pada pasien dengan CKD
derajat V biasanya terjadi oleh akibat dari akumulasi berbagai racun dengan jenis
yang belum diketahui. Peningkatan kadar garam dan cairan yang dialami ginjal
pada CKD dapat menyebabkan terjadinya edema perifer dan tidak jarang
bermanifestasi menjadi edema paru dan hipertensi karena volume cairan
meningkat.2,5 Anemia juga seringkali ditemui pada penderita CKD. Anemia pada
CKD terjadi akibat penurunan sintesis eritropoietin oleh ginjal, yang
bermanifestasi menjadi gejala-gejala anemia yaitu lemas, penurunan kemampuan
dalam berkegiatan, penurunan fungsi imun, dan penurunan kualitas hidup. Insiden
anemia pada CKD meningkat seiring dengan menurunnya LFG.11
Manifestasi klinis lainnya dapat muncul pada derajat akhir dari CKD,
terutama pada pasien yang tidak menjalani proses dialisa secara adekuat,
diuraikan sebagai berikut:7
- Perikarditis, yang didapatkan oleh karena komplikasi dari tamponade jantung,
yang dapat menyebabkan kematian.
- Ensepalopati yang dapat menyebabkan koma hingga kematian
- Neuropati perifer
- Restless Leg Syndrome
- Gejala gastrointestinal seperti anoreksia, mual, muntah, diare
- Manifestasi pada kulit seperti kulit kering, pruritus, ekimosis
- Lemas, malnutrisi
- Disfungsi ereksi, penurunan libido, amenorea
13
- Disfungsi platelet dengan peningkatan kemungkinan untuk perdarahan.
2.7 Diagnosis
Diagnosis pasti sering memerlukan biopsi ginjal yang meskipun sangat jarang
dilakukan karena dapat menimbulkan komplikasi. Oleh karena itu, biopsi ginjal
dilakukan pada pasien tertentu yang diagnosis pastinya hanya dapat ditegakkan
dengan biopsi ginjal atau jika diagnosis pasti tersebut akan merubah baik
pengobatan maupun prognosis. Pada sebagian pasien diagnosis ditegakkan
berdasarkan gambaran klinik yang lengkap dan faktor penyebab yang didapat dari
evaluasi klinik dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium dan
pencitraan ginjal.5
2.8 Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien CKD meliputi:1
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti hipertensi, diabetes
mellitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hiperurikemi,
Lupus Eritematosus Sistemik dan lain sebagainya.
b. Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan (volume overloaded), neuropati perifer,
pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
c. Gejala komplikasinya antara lain, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidosis metabolik, dan gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, klorida).
2.9 Gambaran Laboratorium
Gambaran laboratorium CKD meliputi:1
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus
Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan
untuk memperkirakan fungsi ginjal.
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper
atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalemia, asidosis metabolik.
14
d. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria, cast,
isostenuria.
2.10 Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis CKD meliputi:1
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh
toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan
c. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
kalsifikasi
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada
indikasi.
2.11 Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan
ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara
noninvasive tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan
untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi
hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasi – kontra dilakukan
pada keadaan dimana ukuran ginjal sudah mengecil (cintracted kidney), ginjal
polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan
pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.1,5
2.12 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan CKD meliputi:1
a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya.
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG, sehingga perburukan fungsi ginjal tidak
terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara USG, biopsy, dan
pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menetukan indikasi yang tepat
terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-
15
30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak
bermanfaat.1,2
b. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid.
Penting sekali mengikuti kecepatan penurunan LFG pada pasien CKD.
Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk
keadaan pasien. Faktor komorbid tersebut antara lain gangguan
keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus
urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras atau peningkatan
aktivitas penyakit dasarnya. 1,2
c. Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal.
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah hiperfiltrasi
glomerulus. Cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus
adalah:1
1. Restriksi Protein.
Pembatasan asupan protein dan fosfat pada CKD dapat dilihat
pada tabel berikut:
16
30-35 kkal/kgBB/hari. Sebab kelebihan protein tidak disimpan
dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen
lain yang terutama diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu,
diet tinggi protein pada pasien CKD akan mengakibatkan
penimbunan substansi nitrogen dan ion anoganik lain dan
mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut
uremia. Selain itu, asupan protein berlebih akan mengakibatkan
perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah
dan tekanan intraglomerulus yang akan meningkatkan
perburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga
berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan
fosfat selalu berasal dari sumber yang sama.
2. Terapi Farmakologis.
Pemakaian obat antihipertensi, disamping bermanfaat untuk
memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk
menghambat perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi
hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Di
samping itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan
derajat proteinuria. Proteinuria merupakan faktor resiko
terjadinya perburukan fungsi ginjal. Beberapa obat
antihipertensi terutama penghambat enzim yang merubah
angiotensin (ACE inhibitor) melalui berbagai studi dapat
memperlambat proses perburukan fungsi ginjal lewat
mekanismenya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria. 1
d. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi.
Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi terhadap penyakit
kardiovaskular adalah pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia,
anemia, hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan
keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi
terhadap komplikasi CKD secara keseluruhan.1
1. Diabetes Mellitus
17
Pada pasien DM, kontrol gula darah, hindari pemakaian metformin
dan obat-obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target
HbA1C untuk DM tipe 1 0,2 diatas nilai normal tertinggi, untuk
DM tipe 2 adalah 6%. 8
2. Hipertensi
Penghambat perubahan enzim angiotensin (Angiotensin Converting
Enzyme/ ACE inhibitor) atau antagonis reseptor Angiotensin II
kemudian dilakukan evaluasi kreatinin dan kalium serum, bila
terdapat peningkatan kreatinin > 35% atau timbul hiperkalemia
harus dihentikan. 1,2
Penghambat kalsium, diuretic, beberapa obat
antihipertensi, terutama penghambat enzim converting angotensin
(ACE inhibitor) dan angiotensin reseptor bloker melalui berbagai
studi terbukti dapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal,
hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan
antiproteinuria. Jika terjadi kontraindikasi atau terjadi efek samping
terhadap obat-obat tersebut dapat diberikan calcium channel bloker,
seperti verapamil dan diltiazem. 1,2 3.
3. Dislipidemia
Kontrol dislipidemia dengan target LDL,100 mg/dl dianjurkan
golongan statin. 1 4.
4. Anemia
Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl. Anemia pada CKD
terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal-hal lain yang
ikut berperan dalam terjadinya anemia, yaitu defisiensi asam besi,
kehilangan darah (perdarahan saluran cerna, hematuria), masa hidup
eritrosit yang pendek akibat hemolisis, defisiensi asam folat,
penekanan pada sumsum tulang, proses inflamasi akut maupun
kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar Hb ≤ 10 g%
atau Hct ≤ 30%, meliputi evaluasi terhadap status besi, mencari
sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya
hemolisis. Pemberian transfuse pada CKD harus dilakukan secara
18
hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang
cermat. Transfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat
mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan
pemburukan fungsi ginjal. 1,2 5,11
5. Hiperfosfatenemia
Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien CKD
secara umum, yaitu tinggi kalori, rendah protein, dan rendah garam,
karena fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan produk
hewan, seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800
mg.hari. Pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat tidak
dianjurkan, untuk mencegah terjadinya malnutrisi. Pemberian
pengikat fosfat dapat pula diberikan pada pasien CKD dengan
hiperfosfatemia. Pengikat fosfat yang banyak dipakai, adalah garam
kalium, aluminium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini
diberikan secara oral, untuk menghambat absorbs fosfat yang
berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah
kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium asetat. 1,2 6.
6. Kelebihan Cairan
Pembatasan cairan dan elektrolit bertujuan mencegah terjadinya
edema dan komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke dalam
tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar dengan asumsi
bahwa air keluar melalui insensible water loss antara 500- 800
ml/hari, maka air yang dianjurkan masuk 500-800 ml ditambah
jumlah urin. Elektrolit yang harus diawasi adalah Na dan K sebab
hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal dan
hipernatremia dapat mengakibatkan hipertensi dan edema. Oleh
karena itu pemberian obat-obatan yang mengandung kalium dan
makanan yang tinggi kalium seperti sayur dan buah harus dibatasi.
Kadar kalium darah dianjurkan 3.5-5.5 mEq/lt . 1,2 7.
7. Keseimbangan Asam Basa
19
Gangguan keseimbangan elektrolit utama pada CKD adalah
hyperkalemia dan asidosis. Hiperkalemia dapat tetap asimptomatis
walaupun telah mengancam jiwa.
8. Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/l
Asidosis menyebabkan keluhan mual, lemah, air hunger dan
drowsiness. Pengobatan intravena dengan NaHCO3 hanya diberikan
pada asidosis berat, sedangkan jika tidak gawat dapat diberikan
secara peroral.
e. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
Dialisis dilakukan pada CKD stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15
ml/mnt. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau
transplantasi ginjal. Pembuatan akses vaskular sebaiknya sudah
dikerjakan sebelum klirens kreatinin dibawah 15 ml/menit. Dianjurkan
pembuatan akses vaskular jika klirens kreatinin telah dibawah 20
ml/menit.
Perencanaan tatalaksana (action plan) CKD sesuai dengan derajatnya
dapat dilihat pada tabel berikut.1
Tabel 5. Rencana Tatalaksana CKD Sesuai dengan Derajatnya1
20
Penyebab utama terjadinya anemia pada pasien CKD adalah penurunan produksi
eritropoetin oleh ginjal. Disamping itu faktor non renal yang juga ikut berkontribusi
antara lain infeksi, inflamasi, masa hidup sel darah merahyang pendek pada CKD dan
faktor yang berpotensi menurunkan fungsi sumsum tulang seperti defisiensi besi,
defisiensi asam folat dan toksisitas aluminium. Selain itu adanya perdarahan saluran
cerna tersembunyi dan malnutrisi dapat menambah beratnya keadaan anemia.1
Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan dan status besi harus
diperhatikan karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Tujuan
pemberian EPO adalah untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb = 10g/dL.
Target pencapaian Hb dengan transfusi darah adalah 7-9g/dL. Pemberian transfusi darah
pada pasien CKD harus hati-hati dan hanya diberikan pada keadaan khusus yaitu:
Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik
Hb < 7g/dL dan tidak memungkinkan menggunakan EPO
Hb < 8g/dL dengan gangguan hemodinamik
Pasien dengan defisiensi besi yang akan deprogram dengan EPO ataupun yang
telah mendapat EPO namun respon tidak adekuat, diberi preparat besi intravena.
2. Osteodistrofi Renal
Osteodistrofi adalah istilah yang menggambarkan secara umum semua
kelainan tulang akibat gangguan metabolisme Kalsium karena terjadinya
penurunan fungsi ginjal. Penatalaksanaannya dilakukan dengan cara
mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol. Hiperfosfatemia
diatasi dengan pembatasan asupan fosfat 600-800mg/hari, pemberian
pengikat fosfat seperti kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium asetat serta
pemberian bahan kalsium mimetik yang dapat menghambat reseptor Ca pada
kelenjar paratiroid dengan nama sevelamer hidroklorida. Dialisis yang
dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga berperan dalam mengatasi
hiperfosfatemia. 1,6
Pemberian kalsitriol dibatasi pada pasien dengan kadar
fosfat darah normal dan kadar hormon PTH > 2,5 kali normal karena
pemakaian kalsitriol pada kadar fosfat darah yang tinggi dapat menyebabkan
terbentuk garam fosfat yang mengendap di jaringan lunak dan dinding
pembuluh darah (kalsifikasi metastatik). Selain itu pemberian kalsitriol juga
21
dapat mengakibatkan penekanan berlebihan terhadap kelenjar paratiroid.
1,6,7,10
2.14 Prognosis
Pasien dengan CKD secara keseluruhan memiliki kemungkinan untuk
mengalami penurunan fungi ginjal yang progresif dan mencapai derajat akhir
dari penyakit ginjal. Tingkat progresifitas tersebut bergantung pada umur,
penyebab dasar, dan kesuksesan implementasi pada pencegahan sekunder
dan individu dari pasien itu sendiri. Pengobatan yang dilakukan pada CKD
pada umumnya adalah untuk memperlambat progresifitas penurunan fungsi
ginjal dan mencegah terjadinya komplikasi akibat uremia yang dapat
menyebabkan morbiditas dan kematian.6,7 Secara garis besar prognosis dari
CKD yang tidak ditangani adalah buruk. Mortality rate untuk pasien yang
menjalani dialisis adalah sebesar 20%. Apalagi jika disertai dengan gangguan
kardiovaskular, mortality rate dapat meningkat menjadi 30%. Prediksi
prognosis dapat dilihat melalui beberapa parameter seperti penyebab CKD,
kategori LFG, kategori albuminuria dan faktor resiko serta komplikasi yang
sudah terjadi.2 Prognosis berdasarkan LFG dan kategori albuminurianya
sebagai berikut.
22
BAB III
LAPORAN KASUS
Nama : Tn. K
Usia : 25 tahun
No. RM : 19.85.53
3.2 Anamnesis
wajah bengkak sejak 2 minggu SMRS. . Bengkak terutama saat bangun tidur
dibagian pipi dan kelopak mata dan berangsur-angsur menghilang saat siang.
23
Keluhan bengkak ini juga disertai dengan kencing yang jarang. Pasien hanya
kencing 2 kali dalam sehari walaupun minum banyak, dan kencing pasien
hanya sedikit.
Lebih kurang 4 bulan yang lalu pasien mengaku kadang kadang kencing
berbuih.
Selain itu pasien juga sering merasa lelah dan malas beraktifitas. Keluhan ini
berbaring di tempat tidur. Nafsu makan juga menurun, serta mual namun tidak
Riwayat Pengobatan: -
Riwayat Alergi: -
- Tanda-tanda vital :
24
Suhu: 37,2o C
SpO2: 98%
GCS : 4-5-6
BMI : ideal
Leher : deviasi trakea (-), pembesaran limfa nodi servikalis (-), peningkatan JVP
(-)
Thoraks:
Palpasi : nyeri (-), fremitus normal, batas jantung tidak bergeser, kuat angkat
Abdomen:
Inspeksi : Flat, tidak tampak massa, tidak tampak pelebaran pembuluh darah.
Palpasi : Supel (+), hepar tidak teraba membesar, Nyeri tekan (-)
25
Ekstremitas
- Motorik: 5|5|5|5
- Edema -/-/-/-
- Petechiae (-)
26
3.4 Pemeriksaan Penunjang
Jenis Pemeriksaan
Hasi 12
10-03-2022 hasil
l -03-2022
10-15, sil.granula
halus : 0-1
bakteri positif
Trigliserida 270
Ureum 100
BUN 46,60
Creatinin 13,9
Albumin 3,50
27
3.5 Diagnosis
- Hipertensi
- CKD st.V
- Glomerulonefritis
- PO Amlodipin 1 x 1 tab
- PO Nitrokaf 2 x 1 tab
3.7 Prognosis
3.8 Follow Up
Tanggal S O A P
10-03-2022 Bengkak pada TD 160/90 -CKD st.V -IVFD Nacl asnet
wajah dan HR 85x/m -Hipertensi -inj. Ceftriaxone 1
tangan kanan RR 17x/m -Anemia g/12 j
(+) T 36,6C -inj.furosemide/8 j
K/L : CA (+/+), -PO. Ca lactate 3x1
28
SI (-/-), edema -PO. Amlodipin 1x1
periorbita (+/-) -PO. Nitrokaf 2x1
Thorax : Rh (-/-), -Pro transfusi 2 kolf
Wh (-/-) -Pro hemodialisa
S1 > S2 tunggal
Abdomen : BU
(+)
Ekstremitas:
edema
ekstremitas atas
(+/-)
11-03-2022 Bengkak pada TD 150/80 -CKD st.V - IVFD NS 12 tpm
wajah (<) HR 88x/m -hipertensi - Inj. Ceftriaxone 1
RR 17x/m -Anemia g/12 j
T 37,7C -GN - inj. Furosemide/8 j
K/L : CA (+/+), - inj. Ranitidine 3x1
SI (-/-), edema - PO. Amlodipin 10
periorbita (+/-) mg 1x1 tab
Thorax : Rh (-/-), -PO. Candesartan
Wh (-/-) 16 mg 1x1 tab
S1 > S2 tunggal - PO. ISDN 3x1
Abdomen : BU - PO. Paracetamol
(+) 500mg 3x1 tab
Ekstremitas:
edema
ekstremitas atas
(-/-)
12-03-2022 Bengkak pada TD 130/90 -CKD st.V - PO. Amlodipin 10
wajah (+/-) HR 81x/m -hipertensi mg 1x1 tab
Tidak kencing RR 18x/m -Anemia -PO. Candesartan
(+) T 36,7C -GN 16 mg 1x1 tab
K/L : CA (+/+), - PO. ISDN 3x1
SI (-/-), edema - PO. Paracetamol
periorbita (+/-) 500mg 3x1 tab –
Thorax : Rh (-/-), BLPL
Wh (-/-) KIE kontrol poli
S1 > S2 tunggal
29
Abdomen : BU
(+)
Ekstremitas:
edema
ekstremitas atas
(-/-)
30
BAB IV
PENUTUP
31
Eritropoietin (EPO) adalah suatu hormon yang dihasilkan oleh ginjal
yang memajukan pembentukan dari sel-sel darah merah oleh sumsum
tulang (bone marrow). Eritropoietin secara kimia adalah suatu protein
dengan suatu gula yang melekat (suatu glikoprotein). Eritropoietin adalah
satu dari sejumlah dari glikoprotein yang serupa sebagai stimulans-
stimulans (perangsang) untuk pertumbuhan dari tipe-tipe spesifik dari sel-
sel darah didalam sumsum tulang.7
Sel-sel ginjal yang membuat eritropoietin adalah khusus sehingga
dapat peka pada tingkat oksigen yang rendah didalam darah yang mengalir
melalui ginjal. Sel-sel ginjal membuat dan melepaskan eritropoietin ketika
tingkat oksigen terlalu rendah.Tingkat oksigen yang rendah mungkin
mengindikasikan anemia, suatu jumlah sel-sel darah merah yang
berkurang, atau molekul-molekul hemoglobin yang membawa oksigen
keseluruh tubuh.7
32
hal ini diakibatkan karena efek dari disfungsi homeostasis kalium pada ginjal
yang terjadi pada pasien dengan penyakit ginjal kronik. Bila K + serum mencapai
kadar > 5,5 mEq/L itu sudah merupakan hiperkalemia, dan jika sudah mencapai
> 6,0 mEq/L dapat terjadi aritmia yang serius atau terhentinya denyut jantung.
Karena alasan ini, jantung penderita harus dipantau terus untuk mendeteksi efek
hiperkalemia terhadap konduksi jantung. Hiperkalemia terjadi karena pergeseran
kalium ke ekstraseluler, hal ini disebabkan karena penurunan ekskresi ginjal.
Peningkatan asupan makanan yang mengandung kalium juga berperan penting
dalam peningkatan kadar K+ dalam serum yang dapat memicu terjadinya
hiperkalemia.8
Terapi yang dapat mengatasi hiperkalemia antara lain adalah dengan
pemberian glukosa dan insulin intravena, dimana insulin akan memasukkan K +
ke dalam sel atau dengan pemberian kalsium glukonat 10% intravena dengan
terus memeriksa EKG (elektrokardiogram) pasien karena dapat menimbulkan
hipotensi. Mekanisme insulin dalam menurunkan kalium, yaitu insulin akan
memasukkan kalium ke dalam sel dengan cara merangsang aktivitas Na+ dan
H+ di membran sel yang kemudian akan memasukkan Na+ ke dalam sel dan
menyebabkan aktivasi dari Na+, K+ (diatur oleh adenosis trifosfat intraselular
yaitu kanal KATP) yang akan mengikat K+ di ekstrasel untuk masuk ke dalam
intrasel, sehingga kadar K+ di serum akan turun.
Menurut Davis dalam sebuah jurnal menjelaskan penggunaan insulin dan
glukosa dengan dosis dari glukosa yaitu 0,5 – 2 g/Kg dan rasio yang tepat untuk
terapi kombinasi adalah insulin 1 unit dengan 4 g glukosa. Namun menurut
Morgan dan Mikhail dalam jurnal tersebut menyarankan bahwa infus IV terapi
kombinasi glukosa dengan insulin adalah 30-50 g glukosa setiap 10 IU insulin,
hal ini efektif dalam penurunan tingkat kalium di plasma, namun membutuhkan
waktu 1 jam untuk mencapai onset terapinya.
33
terjadi hiperaktivitas kelenjar paratiroid dan peningkatan sekresi hormon
paratiroid (PTH) sebagai mekanisme kompensasi untuk mempertahankan
kadar fosfat, kalsium dan kalsitriol dalam batas normal pada penderita
penyakit ginjal kronik (PGK).1, 2
Terjadinya peningkatan kadar PTH pada berbagai keadaan
hiperparatiroidisme sering dikaitkan dengan aksi utama PTH, yaitu:
melepaskan kalsium dan fosfat tulang, menurunkan ekskresi kalsium ginjal,
meningkatkan ekskresi fosfat dan merangsang produksi kalsitriol.26
Gangguan metabolisme kalsium dan fosfat yang ditemukan pada penderita
PGK tahap dini jika tidak teratasi dengan peningkatan PTH sebagai
mekanisme adaptif dan berlangsung terus menerus maka akan diikuti dengan
hiperplasia kelenjar paratiroid disertai peningkatan kadar PTH yang lebih
tinggi, hiperfosfatemia, defisiensi kalsitriol dan hipokalsemia yang disebut
sebagai HPTS. Pada HPTS baik produksi maupun sekresi dari PTH
mengalami peningkatan.26
Beberapa faktor yang berperan penting terhadap kejadian HPTS pada gagal
ginjal adalah kadar kalsium, fosfat dan kalsitriol plasma; keadaan resistensi
skeletal terhadap iPTH dan beberapa faktor lainnya.
Pada penelitian ditemukan bahwa pada kondisi gagal ginjal kronik terjadi nekrosis
pada sel-sel hepatosit. Hal ini dimungkinakan karena terdapat kaitan antara hepar
dan ginjal yang sangat erat dalam fungsi mengekresikan zat sisa yang sudah tidak
diperlukan dalam tubuh. Pada gagal ginjal kronik kadar BUN dan creatinine
serum akan meningkat. Urea yang bersifat toksik yang ada di dalam tubuh akan
didetoksifikasi oleh organ hepar dan apabila terakumulasi sangat banyak didalam
tubuh akan dapat merusak hepatosit. Walaupun demikian, indikator terbaik dalam
mengukur terjadi kerusakan pada hepar keseluruhan adalah level serum
bilirubin.5,6 Nekrosis terjadi terutama di sekitar vena sentralis dan periportal zone.
Kondisi ini terjadi akibat faktor iskemia maupun obat-
obatan.
Penelitian ini juga ditemukan bahwa simvastatin secara signifikan memperbaiki
nekrosis pada sel hepatosit. Hal ini kemungkinan karena statin memiliki efek
34
protektif, antiproliferatif, dan apoptosis. Statin juga dilaporkan dapat
menginduksi kruppel-like factor 2 (KLF2) sebagai factor penghambat hepatic
stellate cells (HSC) yang memicu sirosis hati, serta dapat memperbaiki sel endotel
hati yang disfungsional. Penggunaan statin yang menyebabkan toksitas terhadap
hepatosit juga masih langka, hanya sekitar 3% terkecuali penggunaan dosis tinggi
serta penggunaan jangka panjang. Statin juga dilaporkan memiliki efek
antioksidan, yang mampu memperbaiki sel. Rosuvastatin dosis 20mg/hari,
dilaporkan mampu menurunkan kadar oxidative-stress dan menurunkan kadar
LDL (low-density lipoprotein) pada tubuh.7
35
DAFTAR PUSTAKA
1. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI;1035-1040.
5. Johnson CA, Levey AS, Coresh J. Clinical Practices Guidelines for Chronic
Kidney Disease in Adults. Carolina: American Family Physician; 2004. Hal 870-
876.
36