Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. T DENGAN


CKD ON HD DI RUANGAN RAWAT INAP GILEAD
SILOAM HOSPITALS KEBON JERUK

D
I

S
U
S
U
N

OLEH :

CINDY PRICELYA SESA


2100002540
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia-Nya,
laporan responsi yang berjudul “Chronic Kidney Disease Stage V on Hemodialisis” ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.

Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis banyak memperoleh bimbingan, petunjuk serta
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Melalui kesempatan ini, penulis menyampaikan
terima kasih yang sebesar – besarnya kepada Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu
persatu atas dukungan dan bantuan yang telah diberikan dalam penyelesaian laporan ini.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga laporan kasus ini dapat memberikan
sumbangan ilmiah dalam masalah kesehatan dan memberi manfaat bagi masyarakat.

Jakarta, Mei 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................


DAFTAR ISI...........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................
2.1 Definisi.............................................................................................................
2.2 Klasifikasi ........................................................................................................
2.3 Etiologi....................................................................................................
2.4 Faktor Risiko....................................................................................................
2.5 Patofisiologi ...................................................................................................
2.6 Tanda dan Gejala ....................................................................................... …
2.7 Penatalaksanaan ..............................................................................................
2.8 Komplikasi.........................................................................................................
2.9 Laboratorium dan Penunjang lainnya………………………………………….
3.0 Diagnosa Keperawatan ………………………………………………….........
3.1 Perencanaan ………… ………………………………………………………
BAB III LAPORAN KASUS................................................................................
I.Identitas Pasien...........................................................................................
II. Anamnesis..................................................................................................
III. Pemeriksaan Fisik.......................................................................................
IV. Pemeriksaan Penunjang...............................................................................
V. Diagnosis .....................................................................................................
VI. Penatalaksanaan..........................................................................................
BAB IV PEMBAHASAN.....................................................................................
BAB V SIMPULAN .............................................................................................
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN

Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronis (PGK) merupakan suatu
keadaan menurunnya fungsi ginjal yang telah berlangsung lama (kronis) yaitu lebih dari 3 bulan.
Keadaan ini terkait dengan berbagai faktor risiko yang kemudian mengakibatkan penurunan
fungsi ginjal secara progresif, dan biasanya berakhir dengan gagal ginjal.

Definisi CKD berdasarkan The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of
the National Kidney Foundation (NKF) adalah kerusakan ginjal secara struktural atau fungsional
yang berlangsung dalam waktu lebih dari 3 bulan, atau penurunan Laju Filtrasi Glomerulus
(LFG) kurang dari 60 mL/min/1.73 m2 dalam waktu 3 bulan atau lebih dengan atau tanpa
kerusakan struktur ginjal.

Chronic Kidney Disease dipengaruhi oleh banyak faktor risiko dengan patofisiologi yang
masih belum dimengerti secara sempurna. Penderita CKD memiliki risiko tinggi untuk
mengalami penyakit komplikasi, salah satunya adalah penyakit kardiovaskular yang seringkali
menyebabkan kematian. Insiden dan prevalensi CKD didapatkan semakin meningkat saat ini dan
menjadi masalah kesehatan global.

Angka peningkatan kasus dialisis di negara barat meningkat 6-8% per tahun
menunjukkan CKD telah menjadi masalah kesehatan yang perlu diperhatikan. Peningkatan yang
progresif di Amerika Serikat adalah meningkatnya penderita CKD yang membutuhkan terapi
pengganti ginjal dalam dua dekade terakhir. Jumlah penderita CKD di Indonesia sendiri pun
makin meningkat. Data IRR pada tahun 2014 mencatat penderita baru CKD sebanyak 17.193
dan khususnya untuk daerah Bali sebanyak 1.258 pasien.

Chronic Kidney Disease disebabkan oleh berbagai etiologi yang mendasari, yang
mengakibatkan kerusakan massa ginjal yang ireversibel dan hilangnya nefron sehingga
mengarah ke penurunan progresifitas LFG. Ginjal memiliki kemampuan untuk mempertahankan
LFG ketika menghadapi cidera sehingga meskipun kerusakan nefron terjadi secara progresif,
LFG dipertahankan dengan hiperfiltrasi dan hipertropi nefron sehat yang tersisa sebagai
kompensasi. Kandungan toksin dalam plasma seperti urea dan kreatinin mulai menunjukkan
peningkatan yang signifikan hanya setelah LFG total menurun hingga 50%, yaitu ketika ginjal
sudah tidak mampu mengkompensasi lagi.

Fungsi ekskresi dan sekresi ginjal pada CKD menurun dan menyebakan berbagai gejala
secara sistemik. Pasien dengan penyakit gagal ginjal kronik stadium I - III umumnya bersifat
asimtomatik, sedangkan manifestasi klinis biasanya muncul pada stadium IV - V. Manifestasi
klinis CKD dapat sesuai dengan penyakit yang mendasari, adanya sindrom uremia, maupun
gejala dari komplikasi yang ditimbulkan.

Diagnosis dini CKD sangat penting dilakukan karena prognosisnya akan jauh lebih baik
dan intervensi dapat segera dilakukan untuk memperlambat penurunan fungsi. Penanganan CKD
memerlukan kerjasama tim medis, pasien, serta keluarga dan lingkungan karena melibatkan
modiikasi gaya hidup. Edukasi terhadap pasien dan keluarganya tentang penyakit dan komplikasi
yang memungkinkan akan sangat membantu memperbaiki hasil pengobatan sehingga meskipun
CKD merupakan penyakit yang ireversibel, akan tetapi dengan penangan yang baik akan dapat
mengurangi gejala yang muncul dan memperbaiki kualitas hidup penderitanya. Deteksi CKD
pada pasien dengan risiko tinggi sangat penting karena CKD stadium 1- 3 umumnya asimtomatis
sehingga dapat memberikan intervensi sebelum penderita mengalami gagal ginjal atau mencapai
stadium yang lebih lanjut dan terjadi komplikasi akibat CKD.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimanakah Asuhan Keperawatan Pasien Gagal Ginjal Kronik dengan Hemodialisa di


Ruang Rawat Inap Gilead Siloam Hospitals Kebon Jeruk ?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum penulisan ini adalah penulis dapat memberikan asuhan keperawatan pasien
gagal ginjal kronik dengan hemodialisa di ruang Rawat Inap Gilead Siloam Hospitals Kebon
Jeruk.
2. Tujuan Khusus

Secara khusus penulisan ini bertujuan agar dapat:

1. Melakukan pengkajian pada pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisa.

2. Menegakkan diagnosa keperawatan pada pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisa.

3. Menyusun intervensi keperawatan pada pasien dengan gagal ginjal kronik dengan
hemodialisa.

4. Melakukan implementasi keperawatan pada pasien dengan gagal ginjal kronik dengan
hemodialisa.

5. Melakukan evaluasi keperawatan pada pasien dengan gagal ginjal kronik dengan hemodialisa.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronis (PGK) adalah suatu proses

patofisiologis yang didasari oleh etiologi yang beragam, yang mengakibatkan penurunan fungsi

ginjal secara progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah

suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel yang

mencapai pada derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal tetap, yaitu dapat berupa dialisis

atau transplantasi ginjal. Kerusakan ginjal mengacu pada berbagai macam kelainan yang

ditemukan selama pemeriksaan, yang bisa saja bersifat non-spesifik terhadap penyakit

penyebabnya tetapi dapat mengarah pada penurunan fungsi ginjal. Fungsi ekskresi, endokrin, dan

metabolik menurun secara bersamaan pada hampir semua kasus CKD. Kriteria CKD menurut

KDIGO 2012 adalah kerusakan ginjal ≥ 3 bulan, baik berupa kelainan struktural atau fungional

yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium (proteinuria; Albumin-Creatinine-Ratio

> 30 mg/g; total protein-creatinine-ratio > 200 mg/g), abnormalitas sedimen urin, gangguan

elektrolit atau yang lain oleh karena gangguan pada tubulus, kelainan pada pemeriksaan

histologi, kelainan struktural yang terdeteksi melalui pemeriksaan radiologi, atau riwayat

transplantasi ginjal serta penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG < 60 ml/menit/1,73 m2 )

dalam waktu lebih dari 3 bulan, dengan atau tanpa kelainan struktural ginjal.
2.1 HEMODIALIS

2.2.1 Definisi

Hemodialisis merupakan suatu proses terapi pengganti ginjal dengan menggunakan

selaput membran semi permeabel (dialiser), yang berfungsi seperti nefron sehingga dapat

mengeluarkan produk sisa metabolisme dan mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan

elektrolit pada pasien gagal ginjal.4,6 Hemodialisis digunakan pada pasien dalam keadaan sakit

akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau

pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir atau end stage renal disease (ESRD) yang

memerlukan terapi jangka panjang atau permanen. Hemodialisis bertujuan untuk mengeluarkan

zat-zat nitrogen dan racun lain yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang

berlebihan.

Pada penderita gagal ginjal kronis, hemodialisis akan mencegah kematian. Hemodialisis

bukan bertujuan untuk menyembuhkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya

aktivitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal, tetapi

terapi hemodialisa ini 27 bertujuan untuk menggantikan kerja ginjal sebagai alat filtrasi dan

ekskresi serta berdampak terhadap kualitas hidup pasien.


2.1.1 Klasifikasi

Klasifikasi CKD didasarkan atas dua hal yaitu berdasarkan derajat penyakit dan

berdasarkan etiologi. Klasifikasi berdasarkan derajat penyakit didasarkan pada LFG yang

dihitung dengan mempergunakan rumus KockroftGault sebagai berikut:

LFG (ml/menit/1,73m2 ) = (140 – umur) x berat badan (kg) 72 x kreatinin plasma (mg/dl)

Kockroft-Gault tidak berlaku pada umur di bawah 18 tahun atau di atas 80 tahun, berat
badan di bawah 40 kg atau di atas 100 kg, wanita hamil, pasien penderita Acute Kidney Injury
(AKI), kerusakan otot yang luas (crush syndrome, tetraparesis), atau ada anggota tubuh yang
tidak lengkap (amputasi).

Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dapat dilihat di tabel berikut:

Tabel 1. Klasfikasi derajat CKD berdasarkan LFG

STADIUM DESKRIPSI LFG (ml/menit/1,73 m2 )

I Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ≥90

meningkat

II Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan 60 – 89

III Penurunan LFG sedang 30 – 59

IV Penurunan LFG berat 15 - 29

V Gagal ginjal < 15 atau dialisis


Sedangkan klasifikasi atas dasar diagnosis etiologi dilihat di tabel berikut:
Tabel 2. Klasifikasi berdasarkan etiologi

Penyakit Tipe Mayor


Penyakit Ginjal Diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit Ginjal Non Diabetes Penyakit glomerular (penyakit autoimun,
infeksi sistemik, obat, neoplasia) Penyakit
vaskular (renal artery disease, hipertensi,
mikroangiopati) Penyakit tubulointerstitial
(pielonefritis kronis, batu, obstruksi,
keracunan obat) Penyakit kistik (ginjal
polikistik)
Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik Keracunan obat (siklosporin
/takrolimus) Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant gromerulopathy

Berdasarkan etiologinya, CKD juga dapat diklasifikasikan atas dasar ada atau tidaknya
penyakit sistemik yang mendasarinya dan lokasi dari kelainan anatomis atau patologis dari
ginjal. Klasifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 3. Penyakit sistemik dan kelainan ginjal

Contoh penyakit sistemik Contoh Penyakit Ginjal


yang mempengaruhi ginjal Primer (tidak disertai
penyakit sistemik yang
mempengaruhi ginjal)
Penyakit Glomerular Diabetes, penyakit autoimun Glomerulonefritis diffuse,
sistemik, infeksi sistemik, focal, crescentic proliferative,
obat, neoplasia (termasuk gromerulonekrosis focal dan
amyloidosis) segmental, mefropati
membrane, minimal change
disease
Penyakit tubulointerstitial Infeksi sistemik, autoimun, Infeksi saluran kemih, batu,
sarcoidosis, obat, urat, toksin obstruksi
lingkungan, neoplasia
(myeloma)
Penyakit pembuluh darah Aterosklerosis, hipertensi, Associated renal limited
iskemia, emboli kolesterol, vasculitis, fibromuscular
vaskulitis sistemik, dysplasia
mikroangiopati trombotik,
sklerosis sistemik
Penyakit kistik dan congenital Penyakit polikistik ginjal, Displasia renal, penyakit
Alport syndrome, Fabry kistik medulla, podositopati
disease

2.1.2.Etiologi

Pada dasarnya, penyebab gagal ginjal kronik adalah penurunan laju filtrasi glomerulus
atau yang disebut juga penurunan glomerulus filtration rate (GFR). Penyebab gagal ginjal kronik
menurut Andra & Yessie, 2013):

1. Gangguan pembuluh darah : berbagai jenis lesi vaskuler dapat menyebabkan iskemik ginjal
dan kematian jaringan ginajl. Lesi yang paling sering adalah Aterosklerosis pada arteri renalis
yang besar, dengan konstriksi skleratik progresif pada pembuluh darah. Hyperplasia
fibromaskular pada satu atau lebih artieri besar yang juga menimbulkan sumbatan pembuluh
darah. Nefrosklerosis yaitu suatu kondisi yang disebabkan oleh hipertensi lama yang tidak di
obati, dikarakteristikkan oleh penebalan, hilangnya elastistisitas system, perubahan darah ginjal
mengakibatkan penurunan aliran darah dan akhirnya gagal ginjal.

2. Gangguan imunologis : seperti glomerulonephritis

3. Infeksi : dapat dijelaskan oleh beberapa jenis bakteri terutama E.Coli yang berasal dari
kontaminasi tinja pada traktus urinarius bakteri. Bakteri ini mencapai ginjal melalui aliran darah
atau yang lebih sering secara ascenden dari traktus urinarius bagiab bawah lewat ureter ke ginjal
sehingga dapat menimbulkan kerusakan irreversible ginjal yang disebut pielonefritis.
4. Gangguan metabolik : seperti DM yang menyebabkan mobilisasi lemak meningkat sehingga
terjadi penebalan membrane kapiler dan di ginjal dan berlanjut dengan disfungsi endotel
sehingga terjadi nefropati amiloidosis 29 yang disebabkan oleh endapan zat-zat proteinemia
abnormal pada dinding pembuluh darah secara serius merusak membrane glomerulus.

5. Gangguan tubulus primer : terjadinya nefrotoksis akibat analgesik atau logam berat.

6. Obstruksi traktus urinarius : oleh batu ginjal, hipertrofi prostat, dan kontstriksi uretra.

7. Kelainan kongenital dan herediter : penyakit polikistik sama dengan kondisi keturunan yang
dikarakteristik oleh terjadinya kista atau kantong berisi cairan didalam ginjal dan organ lain,
serta tidak adanya jaringan ginjal yang bersifat konginetal (hypoplasia renalis) serta adanya
asidosis.

Sedangkan etiologi berdasarkan letak penyebab :


A. Pre renal ( Hipoperfusi Ginjal )
Gagal ginjal tipe pre renal di sebabkan oleh menurunnya aliran cairan ( perfusi cairan )
tubuh ke ginjal , misalnya terjadi pada keadaan seperti Dehidrasi , atau perdarahan hebat ,
pasca operasi dan sebagainya.
B. Intra renal ( kerusakan actual jaringan ginjal )
Gagal ginjal akut tipe renal disebabkan oleh adanya batu ginjal yang mengganggu filtrasi
cairan di ginjal. Adanya batu ginjal yang tidak di tatalaksanakan dengan baik, pada
akhirnya akan dapat menyebabkan terjadinya gagal ginjal akut , bahkan juga kronik.
C. Pro renal ( obstruksi aliran urin )
Gagal ginjal tipe post renal disebabkan oleh adanya sumbatan pada saluran yang keluar
dari ginjal , seperti adanya batu di ureter , terjadinya pembesaran prostat atau adanya
tumor di kandung kemih dan sebagainya.
2.1.3 Faktor Risiko

Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) tahun 2000 mencatat penyebab gagal


ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia, seperti pada tabel 4. Walaupun menurut data
Indonesian Renal Registry (IRR) tahun 2014, hipertensi muncul sebagai penyebab tertinggi.
Dikelompokkan pada sebab lain diantaranya nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi obat,
penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak diketahui.

Tabel 4 Penyebab Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisis di Indonesia Tahun 2000 dan
Tahun 2014

Penyebab Insiden Tahun 2000 Insiden Tahun 2014


Glomerulonefritis 46,39% 10%
Diabetes mellitus 18,65% 27%
Obstruksi dan infeksi 12,85% 14%
Hipertensi 8,46% 37%
Sebab lain 13,65% 11%

2.1.4.1 Glomerulonefritis

Seluruh bentuk dari penyakit glomerulonephritis akut dapat menjadi progresif dan
menyebabkan perubahan menjadi glomerulonephritis kronik. Kondisi ini dikarakteristikan
sebagai ireversibilitas dan progresifitas glomerulus dan fibrosis dari tubulointerstitial, yang
menyebabkan terjadinya penurunan pada laju filtrasi glomerulus (LFG) dan retensi terhadap
racun uremia. Bila progresifitas dari glomerulonephritis kronik tidak segera ditangani, maka
glomerulonephritis kronik dapat berubah menjadi CKD, penyakit gagal ginjal, dan bahkan
penyakit kardiovaskular.

2.1.4.2 Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus merupakan penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup.
Diabetes dapat terjadi saat tubuh tidak memproduksi insulin yang cukup atau tubuh tidak dapat
menggunakan insulin yang sudah ada. Insulin merupakan hormon yang sangat penting untuk
mengatur kadar glukosa dalam darah.
Diabetes dapat merusak ginjal dengan memberikan gangguan pada aliran darah yang
melewati ginjal. Sistem filtrasi pada ginjal dipenuhi oleh pembuluh darah yang sangat kecil.
Seiring waktu, tingginya kadar gula dalam darah dapat menyebabkan pembuluh darah tersebut
menjadi sempit dan terhambat. Tanpa darah yang cukup, kerusakan dapat terjadi pada ginjal dan
albumin dapat melewati sistem filtrasi tersebut dan akan didapatkan pada urin, dimana hal
tersebut tidak seharusnya terjadi.

Selain itu, sistem saraf di tubuh juga dapat terganggu. Sistem saraf membawa pesan ke
otak dan seluruh tubuh termasuk kandung kemih untuk memberi tahu bila kandung kemih sudah
penuh. Namun, apabila sistem saraf pada kandung kemih mengalami gangguan, maka pasien
tidak akan dapat merasakan apabila kandung kemih sudah penuh. Tekanan pada kandung kemih
yang tinggi akan dapat merusak ginjal

Terdapat dua tipe dari diabetes mellitus :

1. Diabetes Mellitus Tipe 1


Diabetes mellitus tipe 1 merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan ketidakmampuan
tubuh dalam memproduksi insulin karena proses penghancuran sel β di pankreas oleh autoimun.
Biasanya diabetes mellitus tipe 1 sudah dapat ditemukan sejak anak-anak, namun penyakit ini
juga dapat berkembang pada dewasa dengan umur 30-40 tahun.
Tidak seperti pasien dengan diabetes mellitus tipe 2, pasien dengan diabetes mellitus tipe 1
biasanya tidak mengalami obesitas dan biasanya muncul diawali dengan diabetic ketoacidosis
(DKA). Karakteristik yang 11 terlihat pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 adalah, apabila
pasien tersebut berhenti menggunakan insulin, ketosis dan ketoasidosis juga akan muncul.
Sehingga pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 bergantung dan diobati dengan exogenous
insulin yang digunakan sehari-hari disertai dengan diet makanan yang sudah direncanakan.

2. Diabetes Mellitus Tipe 2

Diabetes mellitus tipe 2 terdiri dari beberapa kelainan fungsi yang dikarakteristikkan dengan
hyperglikemia dan merupakan hasil kombinasi dari resistensi terhadap kinerja insulin, sekresi
insulin yang inadekuat, dan sekresi glukagon yang berlebihan. Diabetes mellitus tipe 2 yang
tidak di tangani dengan baik akan menyebabkan komplikasi yang melibatkan gangguan pada
sistem mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropatik.
Komplikasi mikorvaskular meliputi penyakit pada retina, renal dan juga neuropatik.
Komplikasi makrovaskular yang dapat terjadi meliputi gangguan arteri coroner dan penyakit
pada pembuluh darah perifer. Sedangkan komplikasi yang terjadi pada sistem neuropati dapat
mempengaruhi sistem saraf autonomik maupun perifer.

2.1.4.3 Hipertensi

Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90
mmHg. Hipertensi dapat dibedakan menjadi primer/esensial dan sekunder berdasarkan
penyebabnya. Hipertensi primer/esensial apabila tidak diketahui penyebabnya dan hipertensi
sekunder apabila diketahui penyakit pada ginjalnya atau disebut juga hipertensi renal. Penyakit
ginjal hipertensif merupakan salah satu penyebab CKD.

Faktor resiko dari CKD juga dapat dibagi berdasarkan:

a. Faktor klinis yaitu diabetes, hipertensi, penyakit autoimun, infeksi sistemik, infeksi saluran
kencing, batu kandung kencing, obstruksi saluran kencing bawah, keganasan, riwayat keluarga
CKD, penurunan massa ginjal, paparan banyak obat, serta berat lahir rendah.

b. Faktor sosial demografi yaitu umur tua, etnik, terpapar banyak bahan kimia dan kondisi
lingkungan dan rendahnya pendidikan.

2.1.4 Patofisiologi

Chronic Kidney Disease disebabkan oleh adanya gangguan atau kerusakan pada ginjal,
terutama pada komponen filtrasi ginjal seperti membrane basal glomerulus, sel endotel, dan sel
podosit. Kerusakan komponen ini dapat disebabkan secara langsung oleh kompleks imun,
mediator inflamasi, atau toksin serta dapat pula disebabkan oleh mekanisme progresif yang
berlangsung dalam jangka panjang.

Patofisiologi CKD pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi
dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa
ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving
nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin
dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan
tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya
diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya
diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walapun penyakit dasarnya sudak tidak
aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis reninangiotensin-aldosteron intrarenal ikut
memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut.
Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron sebagian diperantarai oleh growth
factor seperti transforming growth factor β (TGF-β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan
terhadap terjadinya progresifitas CKD adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia,
dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis
glomerulus maupun tubulointerstitial.
2.1.4. Tanda dan Gejala

Menurut perjalanan klinisnya (Corwin, E (2009):

(1) Menurunnya cadangan ginjal pasien asimtomatik, namun GFR dapat menurun hingga 25%
dari normal.

(2) Insufisiensi ginjal, selama keadaan ini pasien mengalami polyuria dan nokturia, GFR 10%
hingga 25% dari normal, kadar kreatinin serum dan BUN sedikit meningkat diatas normal.

(3) Penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) atau sindrom uremik (lemah, letargi, anoreksia, mual
muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati perifer, pruritus, uremic frost, pericarditis,
kejang-kejang sampai koma), yang ditandai dengan GFR kurang dari 5-10 ml/menit, kadar serum
kreatinin dan BUN meningkat tajam, dan terjadi perubahan biokimia dan gejala yang komplek

2.7 Penatalaksanaan medis.


A. Terapi konservatif.
Tujuan dari terapi ini adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progesif ,
meringankan keluhan akibat akumulasi toksin azotemia , memperbaiki metabolism secara
optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.

a. Peranan diet.

Terapi diet rendah protein ( DRP ) menguntungkan untuk mencegah atau


mengurangi toksin azotemia , tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama
gangguan keseimbangan negative nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori.
Kebutuhan jumlah kalori untuk GGK harus adekuat dengan tujuan ,
mempertahankan keseimbangan positif nitrogen dan memlihara status gizi.

c. Kebutuhan cairan .
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan caira tubuh adekuat supaya jumlah
dieresis mencapai 2 L per hari.

d. Kebutuhan elektrolit dan mineral.


Kebutuhan jumlah elektrolit dan mineral besifat individual tergantung dari LFG
dan penyakit ginjal dasar.
B. Terapi simtomatik.

a. Asidosis Metabolik.

Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolic dapat diberikan suplemen


alakali. Terapi Alkali ( Sodium bicarbonate ) harus segera diberikan intravena
bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
b. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell ( PRC ) merupakan satu pilihan terapi
alternative , murah , dan efektif.

c. Kelainan kulit.
Tindakan yang di berikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.

d. Hipertensi.
Pemberian obat – obatan anti hipertesi.

C, Terapi Pengganti Ginjal.

Terapi pengganti ginjal di lakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5 , yaitu pada
LFG kurang dari 15 ml/menit.
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialysis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia
dan malnutrisi. Tetapi terapi dialysis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang
belim tahap akhir akan memperburuk faal ginjal ( LFG ).
b. Dialysis ginjal.
Dialysis ginjal adalah proses penyesuaian kadar elektrolit dan air dalam darah pada
orang yang fungsi ginjalnya buruk atau rusak.
c. Transplantasi ginjal.
Transpalntasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal ( anatomi dan faal ).
Pertimbangannya yaitu :
1. Cangkok ginjal ( Kidney transplant ) dapat mengambil alih seluruh ( 100 % )
faal ginjal , sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70 -80 % faal
ginjal alamiah.
2. Kualitas hidup normal kembali.
3. Masa hidup lebih lama.
4. Komplikasi terutama berhubungan dengan obat imunosurpresif untuk
mencegah reaksi penolakan
5. Biaya lebih murah dan dapat di batasi.
d. Pemasangan double lumen.
Double lumen adalah salah satu akses temporer yaitu berupa kateter yang di
pasang pada pembuluh darah balik ( vena ) di daerah leher.

2.8 Komplikasi.
Gagal ginjal kronik dapat memicu sejumlah komplikasi , yaitu :
a. Gangguan elektrolit , seperti penumpukan fosfor dan hiperkalemi atau kenaikan kadar
kalium yang tinggi dalam darah.
b. Penyakit jantung dan pembuluh darah
c. Penumpukan kelebihan cairan di rongga tubuh , misalnya edema paru atau asites.
d. Anemia
e. Kerusakan system saraf pusat yang bias menyebabkan kejang.

Hemodialisis merupakan tindakan untuk mengganti sebagian dari fungsi ginjal. Tindakan ini
rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal tahap akhir stadium akhir. Walaupun tindakan
hemodialisis saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun masih banyak
penderita yang mengalami masalah medis saat menjalani hemodialisis. Komplikasi yang sering
terjadi pada penderita yang menjalani hemodialisis adalah gangguan hemodinamik.

1. Komplikasi Akut
Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis
berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya adalah hipotensi, kram otot, mual
dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil

2. Komplikasi Kronis

Komplikasi kronik yang terjadi pada pasien hemodialisis yaitu penyakit jantung,
malnutrisi, hipertensi/volume excess, anemia, renal osteodystrophy, neurophaty, disfungsi
reproduksi, komplikasi pada akses, gangguan perdarahan, infeksi, amiloidosis, dan
Acquired cystic kidney disease.
2.9 Laboratorium dan / atau penunjang lainnya.

a. Pemeriksaan laboratorium .
Tujuan nya yaitu memastikan dan menentukan derajat penurunan faal ginjal ( LFG ) ,
identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan penyakit termasuk semua factor
pemburuk faal ginjal.

1. Pemeriksaan Faal Ginjal ( LFG ).


Pemeriksaan Ureum, Kreatinin Serum dan Asam Urat serum sudah cukup
memadai sebagai uji saring untk faal ginjal (LFG).

2. Etiologi gagal ginjal kronik ( GGK ) .


Analisis urin rutin , mikrobiologi urin , kimia darah , elektrolit dan
imunodiagnosis.

3. Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit.


Progresivitas penurunan faal ginjal , hemopoiesis , elektrolit endoktrin dan
pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama factor pemburuk faal ginjal.

b. Pemeriksaan penunjang diagnosis.


1. Urine : Volume , warna , sediemn , berat , jenis , kreatrinin , protein.
2. Darah : BUN / Kreatinin , Hitung darah lengkap , sel darah merah , natrium serum
, kalium , magnesium fosfat , protein , osmolaritas serum.
3. Pielografi intravena : menunjukan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter.
4. Pielografi retrograde : dilakukan bila fi curigai ada obstruksi yang reversible ,
arteriogram ginjal , mengkaji sirkulasi ginjal , dan mengidentifikasi
ekstravaskuler massa
5. Ultrasono ginjal : menunjukan ukuran kandung kemih dan adanya massa , kista ,
obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
6. Biopsy ginjal : mungkin dilakukan secara endoskopi untuk menentukan sel
jaringan untuk diagnosis histologist.
DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa keperawatan ditegakkan atas dasar data pasien. Kemungkinan diagnosa


keperawatan dari orang dengan kegagalan ginjal kronis adalah sebagai berikut (Brunner&Sudart,
2013 dan SDKI, 2016):

1) Hipervolemia

2) Intoleransi aktivitas

3) Resiko penurunan curah jantung

4) Perfusi perifer tidak efektif

5) Nyeri akut

Perencanaan

Tahap perencanaan memberi kesempatan kepada perawat, pasien, keluarga, dan orang
terdekat pasien untuk merumuskan rencana tindakan keperawatan guna mengatasi masalah yang
dialami pasien. Tahap perencanaan ini memiliki beberapa tujuan penting, diantaranya sebagai
alat komunikasi antar sesama perawat dan tim kesehatan lainnya, meningkatkan kesinambungan
asuhan keperawatan bagi pasien, serta mendokumentasikan proses dan kriteria hasil asuhan
keperawatan yang ingin dicapai. Unsur terpenting dalam tahap perencanaan ini adalah membuat
orioritas urutan diagnoa keperawatan, merumuskan tujuan, merumuskan kriteria evaluasi, dan
merumuskan intervensi keperawatan (Asmadi, 2008).
Perencanaan asuhan keperawatan pada pasien Gagal Ginjal Kronik (sumber: SIKI, 2018)

No Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi


keperawatan
1 Hipervolemia Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Hipervolemia Observasi:
selama 3x8 jam maka hipervolemia 1. Periksa tanda dan gejala hipervolemia (edema,
meningkat dengan kriteria hasil: dispnea, suara napas tambahan)
1. Asupan cairan meningkat 2. Monitor intake dan output cairan
2. Haluaran urin meningkat 3. Monitor jumlah dan warna urin Terapeutik
3. Edema menurun 4. Batasi asupan cairan dan garam
4. Tekanan darah membaik 5. Tinggikan kepala tempat tidur Edukasi
5. Turgor kulit membaik 6. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
cairan Kolaborasi
7. Kolaborasai pemberian diuretik
8. Kolaborasi penggantian kehilangan kalium
akibat deuretik
9. Kolaborasi pemberian continuous renal
replecement therapy (CRRT), jika perlu
2 Intoleransi Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Energi Observasi
Aktifitas selama 3x8 jam toleransi aktivitas 1. Monitor kelelahan fisik
meningkat dengan kriteria hasil: 2. Monitor pola dan jam tidur Terapeutik
1. Keluhan lelah menurun 3. Lakukan latihan rentang gerak pasif/aktif
2. Saturasi oksigen dalam rentang 4. Libatkan keluarga dalam melakukan aktifitas,
normal (95%- 100%) jika perlu Edukasi
3. Frekuensi nadi dalam rentang normal 5. Anjurkan melakukan aktifitas secara bertahap
(60-100 kali/menit) 6. Anjurkan keluarga untuk memberikan
4. Dispnea saat beraktifitas dan setelah penguatan positif
beraktifitas menurun (16-20 kali/menit) Kolaborasi
7. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara
meningkatkan asupan makanan

3. Resiko Setelah dilakukan asuhan keperawatan Perawatan Jantung Observasi:


Penurunan selama 3x8 jam diharapkan penurunan
Curah Jantung curah jantung meningkat dengan kriteria 1. Identifikasi tanda dan gejala primer penurunan
hasil: curah jantung (mis. Dispnea, kelelahan)
1. Kekuatan nadi perifer meningkat 2. Monitor tekanan darah
2. Tekanan darah membaik 100-130/60- 3. Monitor saturasi oksigen
90 mmHg Terapeutik:
3. Lelah menurun 4. Posisikan semi-fowler atau fowler
4. Dispnea menurun dengan frekuensi 5. Berikan terapi oksigen
16-24 x/menit Edukasi
6. Ajarkan teknik relaksasi napas dalam
7. Anjurkan beraktifitas fisik sesuai toleransi
Kolaborasi
8. kolaborasi pemberian antiaritmia, jika perlu
4. Perfusi Perifer Setelah dilakukan tindakan perawatan Perawatan sirkulasi Observasi
Tidak Efektif selama 3x8 jam maka perfusi perifer 1. Periksa sirkulasi perifer (mis. Nadi perifer,
meningkat dengan kriteria hasil: edema, pengisian kapiler, warna, suhu)
1. denyut nadi perifer meningkat 2. Monitor perubahan kulit
2. Warna kulit pucat menurun 3. Monitor panas, kemerahan, nyeri atau
3. Kelemahan otot menurun bengkak
4. Pengisian kapiler membaik 4. Identifikasi faktor risiko gangguan sirkulasi
5. Akral membaik Terapeutik
6. Turgor kulit membaik 5. Hindari pemasangan infus atau pengambilan
darah di area keterbatasan perfusi
6. Hindari pengukuran tekanan darah pada
ekstremitas dengan keterbatasan perfusi
7. Lakukan pencegahan infeksi
8. Lakukan perawatan kaki dan kuku
Edukasi
9. Anjurkan berhenti merokok
10.Anjurkan berolahraga rutin
11.Anjurkan mengecek air mandi untun
menghindari kulit terbakar
12.Anjurkan meminum obat pengontrol tekanan
darah secara teratur
Kolaborasi
13.Kolaborasi pemberian kortikosteroid, jika
perlu
5. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Nyeri Observasi
selama 3x8 jam maka tautan nyeri 1. Identifikasi factor pencetus dan pereda nyeri
meningkat dengan kriteria hasil: 2. Monitor kualitas nyeri
1. Melaporkan nyeri terkontrol 3. Monitor lokasi dan penyebaran nyeri
meningkat 4. Monitor intensitas nyeri dengan menggunakan
2. Kemampuan mengenali onset nyeri skala
meningkat 5. Monitor durasi dan frekuensi nyeri
3. Kemampuan menggunakan teknik Teraupetik
nonfarmakologis meningkat 6. Ajarkan Teknik nonfarmakologis untuk
4. Keluhan nyeri penggunaan analgesik mengurangi rasa nyeri
menurun 7. Fasilitasi istirahat dan tidur
5. Meringis menurun Edukasi
6. Frekuensi nadi membaik 8. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
7. Pola nafas membaik 9. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
8. Tekanan darah membaik Kolaborasi
10. Kolaborasi pemberian obat analgetik
LAPORAN KASUS

DATA KLIEN

A. DATA UMUM KLIEN


1. Nama inisial klien : Tn. T
2. Jenis kelamin : Laki-laki
3. Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta , 9 April 1949
4. Umur : 73 Tahun
5. Pekerjaan : Pegawai
6. Pendidikan : S1
7. Suku/bangsa : Indonesia
8. Alamat : Pasar Baru Sawah Besar
9. Agama : Kristen
10.Status : Kawin
11.Tanggal masuk RS : 16 Mei 2022
12.Nomor Rekam Medis : 10412230
13.Diagnosa medis : CKD On HD
A. DATA PENANGGUNG JAWAB
1. Nama : Ny. T
2. Umur : 61 Tahun
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Hubungan dengan Klien : Istri
5. Pekerjaan :IRT
6. Alamat : Pasar baru Sawah Besar

Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum
Klien tampak sesak , Lemas
2. Kesadaran
Composmentis (E4 V5 M6)
3. Tanda-tanda Vital :
TD : 131/76 mmHg N: 40x/menit
RR : 26 /menit S: 36,1oC
4. Sistem Integumen
- Keadaan kulit bersih, warna kulit pucat, tidak ada lesi, turgor kulit baik
5. Sistem Penglihatan
- Inspeksi : Mata simestris, keadaan mata bersih tidak ada edema, seklera
mata putih, konjungtiva anemis, reflek cahaya (+).
6. Sistem Pendengaran
- Inspeksi :Bentuk telinga simetris, , fungsi pendengaran baik klien mampu
berkomunikasi dengan baik dan kooperatif, tidak menggunakan suara
keras, tidak nampak menggunakan alat bantu dengar.
7. Sistem Pernafasan
- Inspeksi : Bentuk dada simetris, frekuensi nafas 26 kali/menit, irama nafas
teratur, pola napas dispnea pernafasan cuping hidung tidak ada,
penggunaan otot bantu nafas tidak ada, pasien menggunakan alat bantu
nafas oksigen nasal kanul 3 liter/menit
- Palpasi : Pemeriksaan taktil/vocal vermitus: -, getaran antara kanan dan
kiri sama
- Perkusi : Area paru sonor
- Auskultasi Suara nafas:vesikuler bersih
8. Sistem Pencernaan :
- Inspeksi : Bentuk abdomen datar. Masa atau benjolan -, kesimetrisan +,
bayangan pembuluh darah vena -.
- Auskultasi : Frekuensi peristaltik usus 8x/menit.
- Palpasi : tidak terkaji
9. Sistem Kardiovaskuler :
- Inspeksi : Tidak terlihat adanya pulsasi iktus kordis, CRT < 2 detik dan
Tidak ada sianosis
- Palpasi: palpasi pada dinding thoraks teraba: tidak teraba/tidak terkaji.
- Perkusi : Tidak ada pembesaran
Batas atas : ICS II
Batas bawah : ICS V
Batas kiri : ICS VMid Clavikula.
Batas kanan : ICS IV Mid Sternalis Dextra.
- Auskultasi :
BJ I : Terdengar “LUB” tunggal (reguler), keras
BJ II : Terdengar “LUB” tunggal (reguler), keras.
10. Sistem Perkemihan
- Klien tidak terpasang kateter
11. Sistem Persyarafan
- Tidak ada keluhan nyeri , Kesadaran compos mentis dengan GCS E4 V5
M6.
12. Sistem perkemihan :
- Pola : 4-5x sehari
- Inkontinensia: tidak inkontinesia urin
13. Sistem Muskuloskeletal :
- Inspeksi : Otot antara sisi kanan dan kiri simetris,
Deformitas -, fraktur -, terpasang gips -.
- Palpasi : Oedem - -/- -/-
Uji kekuatan otot 5/5 5/5
A. Pemeriksaan diagnostik
- Pemeriksaan penunjang :

Laboratorium Hasil Nilai Rujukan Satuan


1. Hb 7,9 g/dL

2. Leukosit 7,36 10^3 / ul

3. Eritrosit
2,52 10^6 / uL

4. Trombosit : 10^3 / ul
167

101
5. Ureum Mg/dL
Darah :
Mg/dL
7,87
6. Kreatinin
Darah :

Mmol/L
7. Natrium 133

Darah :

Mmol/L
8. Kalium 6,8

Darah :

Mmol/L
9. Klorida 102
Darah :
10. pH : 7,37

mmHg
11. P O2 : 80,0
mmHg
12. P CO2 :
32,2
mmol/L
13. Bikarbona 18,9
t %
95,2
14. O2
saturasi :
%
36

15. FIO2 :

B. Therapy
- Cairan Ns 0,9% 500ml/24 jam
- Hytroz 1 x 2mg IV
- Rillus 1 x 1 tab
- Daylax 1 x 1 tab
- Concor 1 x 5 mg
- Blopress 2 x 16 mg
- Asam folat 1 x 1 mg

Analisa Data
No Data Etiologi Masalah Keperawatan
1. Data Subjektif: Perubahan Afterload Resiko penurunan curah
a. Pasien mengatakan jantung
merasa sesak napas

Data objektif:
a. Tekanan darah 131/76
mmHg
b. Nadi melemah HR
40x/m
c. RR 26x/m
d. Adanya sianosis
e. Tampak sesak
f. Spo2 89%
g. Terpasang o2 NC 3 lpm
2. Data Subjektif: Kelemahan Intoleransi aktifitas
a. Pasien mengatakan
merasa sesak napas
b. Pasien mengatakan
lemas
Data objektif:
a. Tekanan darah 121/ 82
mmHg
b. Nadi melemah HR
40x/m
c. RR 26 x/m
d. Adanya sianosis
e. Tampak sesak
f. Spo2 89%

Diagnosa keperawatan
1. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan afterload
2. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan
Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan Intervensi keperawatan


Keperawatan
1. Resiko penurunan Setelah dilakukan asuhan keperawatan Observasi:
curah jantung selama 3x8 jam diharapkan penurunan 2.1 Identifikasi tanda dan gejala
beruhubungan curah jantung meningkat dengan kriteria primer penurunan curah jantung
dengan perubahan hasil: (mis. Dispnea, kelelahan)
afterload 1. Kekuatan nadi perifer meningkat 2.2 Monitor tekanan darah
2. Tekanan darah membaik 100-130/60- 2.3 Monitor saturasi oksigen
90 mmHg Terapeutik:
3. Lelah menurun 2.4 posisikan semi-fowler atau
4. Dispnea menurun (frekuensi 16-24 fowler 2.5 Berikan terapi oksigen
x/menit) Edukasi
2.6 Ajarkan teknik relaksasi napas
dalam
2.7 Anjurkan beraktifitas fisik
sesuai toleransi
Kolaborasi
2.8 kolaborasi pemberian
antiaritmia, jika perlu
2. Intoleransi Altifitas Setelah dilakukan tindakan keperawatan Observasi
berhubungan dengan selama 3x8 jam toleransi aktivitas 4.1 Monitor kelelahan fisik dan
kelemahan meningkat dengan kriteria hasil: emosional
5. Keluhan lelah menurun 4.2 Monitor pola dan jam tidur
6. Saturasi oksigen dalam rentang normal Terapeutik
(95%- 100%) 4.3 Lakukan latihan rentang gerak
7. Frekuensi nadi dalam rentang normal pasif/aktif
(60-100 kali/menit) 4.4 Libatkan keluarga dalam
8. Pernapasan saat beraktifitas dan setelah melakukan aktifitas, jika perlu
beraktifitas menurun (16- 20 kali/menit)
Edukasi
4.5 Anjurkan melakukan aktifitas
secara bertahap
4.6 Anjurkan keluarga untuk
memberikan penguatan positif
Kolaborasi
4.7 Kolaborasi dengan ahli gizi
tentang cara meningkatkan asupan
makanan

IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEERAWATAN

Nama : Tn T No.RM : 10412230


Usia :73 tahun Dx Medis : CKD On HD
Senin , 16 mey 2022

Diagnosa Jam Implementasi Evaluasi Paraf


Resiko 09.00 1. Mengobservasi Tanda tanda Cindy
penurunan WIB Vital dan mengkaji keluhan pasien S : pasien mengatakan masih agak
curah lemas , sesak sedikit berkurang
jantung 2. Identifikasi tanda dan gejala
primer penurunan curah
O : Keadaan umum lemah , TD :
jantung (mis. Dispnea,
130 / 76 , HR : 40x /m , RR : 24 x /
kelelahan,
m , suhu : 36,1 , Spo2 95%,
3. Monitor saturasi oksigen
trpasang O2 NC 3 lpm
4. posisikan semi-fowler atau
fowler
A : Resiko penurunan curah
5. Berikan terapi oksigen
jantung
6. Ajarkan teknik relaksasi napas
dalam Intoleransi aktifitas
7. Anjurkan beraktifitas fisik
sesuai toleransi P : diharapkan dalam 3x24 jam
masalah teratasi .
8. kolaborasi pemberian terapi.
Intoleransi 1. Monitor kelelahan fisik - Monitor keluhan dan TTV per
aktifitas 2. observasi pola dan jam tidur shift
berhubungan 3. lakukan latihan rentang gerak - Monitor Saturasi
dengan aktif / pasif - Beri posisi nyaman
kelemahan 4. anjurkan melakukan aktifitas - Kaji kemampuan pasien
secara bertahap - Batasi aktifitas berlebih
5. Pertahankan nutrisi adekuat. - Anjurkan untuk beristirahat
- Kolaborasi terapi dengan
RMO dan DPJP
- Kolaborasi dengan gizi

Selasa , 17 mey 2022

Diagnosa Jam Implementasi Evaluasi Paraf


Resiko 1.0 WI 1. Mengobservasi Tanda tanda Cindy
penurunan B Vital dan mengkaji keluhan S : pasien mengatakan masih agak
curah jantung pasien lemas , sesak berkurang
2. Identifikasi tanda dan gejala
primer penurunan curah
jantung (mis. Dispnea, O : Keadaan umum lemah , TD :
kelelahan,
3. Monitor saturasi oksigen 130 / 80 , HR : 45 x /m , RR : 24 x
4. posisikan semi-fowler atau / m , suhu : 36,1 , Spo2 96%,
fowler
5. Berikan terapi oksigen trpasang O2 NC 3 lpm , posisi
6. Ajarkan teknik relaksasi semi fowler
napas dalam
7. Anjurkan beraktifitas fisik
sesuai toleransi A : Resiko penurunan curah
8. kolaborasi pemberian terapi.
Intoleransi 1. Monitor kelelahan fisik jantung
aktifitas 2. observasi pola dan jam tidur Intoleransi aktifitas
berhubungan 3. lakukan latihan rentang gerak
dengan aktif / pasif
kelemahan 4. anjurkan melakukan aktifitas P : diharapkan dalam 3x24 jam
secara bertahap masalah teratasi .
5. Pertahankan nutrisi adekuat.
- Monitor keluhan dan TTV per
shift
- Monitor Saturasi
- Beri posisi nyaman
- Kaji kemampuan pasien
- Batasi aktifitas berlebih
- Anjurkan untuk beristirahat
- Kolaborasi terapi dengan
RMO dan DPJP
- Kolaborasi dengan gizi

Rabu , 18 mey 2022

Diagnosa Jam Implementasi Evaluasi Paraf


Resiko 09.0 WIB 1. Mengobservasi Tanda tanda
penurunan Vital dan mengkaji keluhan S : pasien mengatakan masih Cindy
curah jantung pasien lemas berkurang , sesak sedikit
2. Identifikasi tanda dan gejala
primer penurunan curah berkurang
jantung (mis. Dispnea,
kelelahan,
3. Monitor saturasi oksigen O : Keadaan umum lemah , TD :
4. posisikan semi-fowler atau 128 / 80, HR : 51x /m , RR : 24
fowler
5. Berikan terapi oksigen x / m , suhu : 36,1 , Spo2 98%,
6. Ajarkan teknik relaksasi trpasang O2 NC 3 lpm , posisi
napas dalam
7. Anjurkan beraktifitas fisik semi fowler
sesuai toleransi
8. kolaborasi pemberian terapi.
Intoleransi 1. Monitor kelelahan fisik A : Resiko penurunan curah
aktifitas 2. observasi pola dan jam tidur jantung
berhubungan 3. lakukan latihan rentang gerak
dengan aktif / pasif Intoleransi aktifitas
kelemahan 4. anjurkan melakukan aktifitas
secara bertahap
P : diharapkan dalam 3x24 jam
5. Pertahankan nutrisi adekuat.
masalah teratasi .

- Monitor keluhan dan TTV


per shift
- Monitor Saturasi
- Beri posisi nyaman
- Kaji kemampuan pasien
- Batasi aktifitas berlebih
- Anjurkan untuk beristirahat
- Kolaborasi terapi dengan
RMO dan DPJP
- Kolaborasi dengan gizi

DAFTAR PUSTAKA

Toto, Abdul.(2015). Asuhan Keperawatan Pada Sistem Perkemihan. Jakarta : Trans Info Media
Nurarif & Kusuma, (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Dan NANDA
NIC-NOC Jilid 2 Medaction

Desfrimadona, (2016). Kualitas Hidup pada Pasien Gagal ginjal Kronik dengan Hemodialisa di
RSUD Dr. M. Djamil Padang. Diploma Thesis Univesitas Andalas

PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik,
Edisi 1. Jakarta:DPP PPNI.

KEMENKES (2018). Cegah dan Kendalikan Penyakit Ginjal Dengan CERDIK dan PATUH.
Diakses pada tanggal 07 Desember 2018 dari www.depkes.go.id

PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keprawatan,
Edisi 1. Jakarta:DPP PPNI

PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai