D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia-Nya,
laporan responsi yang berjudul “Chronic Kidney Disease Stage V on Hemodialisis” ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.
Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis banyak memperoleh bimbingan, petunjuk serta
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Melalui kesempatan ini, penulis menyampaikan
terima kasih yang sebesar – besarnya kepada Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu
persatu atas dukungan dan bantuan yang telah diberikan dalam penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga laporan kasus ini dapat memberikan
sumbangan ilmiah dalam masalah kesehatan dan memberi manfaat bagi masyarakat.
Penulis
DAFTAR ISI
Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronis (PGK) merupakan suatu
keadaan menurunnya fungsi ginjal yang telah berlangsung lama (kronis) yaitu lebih dari 3 bulan.
Keadaan ini terkait dengan berbagai faktor risiko yang kemudian mengakibatkan penurunan
fungsi ginjal secara progresif, dan biasanya berakhir dengan gagal ginjal.
Definisi CKD berdasarkan The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of
the National Kidney Foundation (NKF) adalah kerusakan ginjal secara struktural atau fungsional
yang berlangsung dalam waktu lebih dari 3 bulan, atau penurunan Laju Filtrasi Glomerulus
(LFG) kurang dari 60 mL/min/1.73 m2 dalam waktu 3 bulan atau lebih dengan atau tanpa
kerusakan struktur ginjal.
Chronic Kidney Disease dipengaruhi oleh banyak faktor risiko dengan patofisiologi yang
masih belum dimengerti secara sempurna. Penderita CKD memiliki risiko tinggi untuk
mengalami penyakit komplikasi, salah satunya adalah penyakit kardiovaskular yang seringkali
menyebabkan kematian. Insiden dan prevalensi CKD didapatkan semakin meningkat saat ini dan
menjadi masalah kesehatan global.
Angka peningkatan kasus dialisis di negara barat meningkat 6-8% per tahun
menunjukkan CKD telah menjadi masalah kesehatan yang perlu diperhatikan. Peningkatan yang
progresif di Amerika Serikat adalah meningkatnya penderita CKD yang membutuhkan terapi
pengganti ginjal dalam dua dekade terakhir. Jumlah penderita CKD di Indonesia sendiri pun
makin meningkat. Data IRR pada tahun 2014 mencatat penderita baru CKD sebanyak 17.193
dan khususnya untuk daerah Bali sebanyak 1.258 pasien.
Chronic Kidney Disease disebabkan oleh berbagai etiologi yang mendasari, yang
mengakibatkan kerusakan massa ginjal yang ireversibel dan hilangnya nefron sehingga
mengarah ke penurunan progresifitas LFG. Ginjal memiliki kemampuan untuk mempertahankan
LFG ketika menghadapi cidera sehingga meskipun kerusakan nefron terjadi secara progresif,
LFG dipertahankan dengan hiperfiltrasi dan hipertropi nefron sehat yang tersisa sebagai
kompensasi. Kandungan toksin dalam plasma seperti urea dan kreatinin mulai menunjukkan
peningkatan yang signifikan hanya setelah LFG total menurun hingga 50%, yaitu ketika ginjal
sudah tidak mampu mengkompensasi lagi.
Fungsi ekskresi dan sekresi ginjal pada CKD menurun dan menyebakan berbagai gejala
secara sistemik. Pasien dengan penyakit gagal ginjal kronik stadium I - III umumnya bersifat
asimtomatik, sedangkan manifestasi klinis biasanya muncul pada stadium IV - V. Manifestasi
klinis CKD dapat sesuai dengan penyakit yang mendasari, adanya sindrom uremia, maupun
gejala dari komplikasi yang ditimbulkan.
Diagnosis dini CKD sangat penting dilakukan karena prognosisnya akan jauh lebih baik
dan intervensi dapat segera dilakukan untuk memperlambat penurunan fungsi. Penanganan CKD
memerlukan kerjasama tim medis, pasien, serta keluarga dan lingkungan karena melibatkan
modiikasi gaya hidup. Edukasi terhadap pasien dan keluarganya tentang penyakit dan komplikasi
yang memungkinkan akan sangat membantu memperbaiki hasil pengobatan sehingga meskipun
CKD merupakan penyakit yang ireversibel, akan tetapi dengan penangan yang baik akan dapat
mengurangi gejala yang muncul dan memperbaiki kualitas hidup penderitanya. Deteksi CKD
pada pasien dengan risiko tinggi sangat penting karena CKD stadium 1- 3 umumnya asimtomatis
sehingga dapat memberikan intervensi sebelum penderita mengalami gagal ginjal atau mencapai
stadium yang lebih lanjut dan terjadi komplikasi akibat CKD.
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan ini adalah penulis dapat memberikan asuhan keperawatan pasien
gagal ginjal kronik dengan hemodialisa di ruang Rawat Inap Gilead Siloam Hospitals Kebon
Jeruk.
2. Tujuan Khusus
2. Menegakkan diagnosa keperawatan pada pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisa.
3. Menyusun intervensi keperawatan pada pasien dengan gagal ginjal kronik dengan
hemodialisa.
4. Melakukan implementasi keperawatan pada pasien dengan gagal ginjal kronik dengan
hemodialisa.
5. Melakukan evaluasi keperawatan pada pasien dengan gagal ginjal kronik dengan hemodialisa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronis (PGK) adalah suatu proses
patofisiologis yang didasari oleh etiologi yang beragam, yang mengakibatkan penurunan fungsi
ginjal secara progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah
suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel yang
mencapai pada derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal tetap, yaitu dapat berupa dialisis
atau transplantasi ginjal. Kerusakan ginjal mengacu pada berbagai macam kelainan yang
ditemukan selama pemeriksaan, yang bisa saja bersifat non-spesifik terhadap penyakit
penyebabnya tetapi dapat mengarah pada penurunan fungsi ginjal. Fungsi ekskresi, endokrin, dan
metabolik menurun secara bersamaan pada hampir semua kasus CKD. Kriteria CKD menurut
KDIGO 2012 adalah kerusakan ginjal ≥ 3 bulan, baik berupa kelainan struktural atau fungional
> 30 mg/g; total protein-creatinine-ratio > 200 mg/g), abnormalitas sedimen urin, gangguan
elektrolit atau yang lain oleh karena gangguan pada tubulus, kelainan pada pemeriksaan
histologi, kelainan struktural yang terdeteksi melalui pemeriksaan radiologi, atau riwayat
transplantasi ginjal serta penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG < 60 ml/menit/1,73 m2 )
dalam waktu lebih dari 3 bulan, dengan atau tanpa kelainan struktural ginjal.
2.1 HEMODIALIS
2.2.1 Definisi
selaput membran semi permeabel (dialiser), yang berfungsi seperti nefron sehingga dapat
mengeluarkan produk sisa metabolisme dan mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit pada pasien gagal ginjal.4,6 Hemodialisis digunakan pada pasien dalam keadaan sakit
akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau
pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir atau end stage renal disease (ESRD) yang
memerlukan terapi jangka panjang atau permanen. Hemodialisis bertujuan untuk mengeluarkan
zat-zat nitrogen dan racun lain yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang
berlebihan.
Pada penderita gagal ginjal kronis, hemodialisis akan mencegah kematian. Hemodialisis
bukan bertujuan untuk menyembuhkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya
aktivitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal, tetapi
terapi hemodialisa ini 27 bertujuan untuk menggantikan kerja ginjal sebagai alat filtrasi dan
Klasifikasi CKD didasarkan atas dua hal yaitu berdasarkan derajat penyakit dan
berdasarkan etiologi. Klasifikasi berdasarkan derajat penyakit didasarkan pada LFG yang
LFG (ml/menit/1,73m2 ) = (140 – umur) x berat badan (kg) 72 x kreatinin plasma (mg/dl)
Kockroft-Gault tidak berlaku pada umur di bawah 18 tahun atau di atas 80 tahun, berat
badan di bawah 40 kg atau di atas 100 kg, wanita hamil, pasien penderita Acute Kidney Injury
(AKI), kerusakan otot yang luas (crush syndrome, tetraparesis), atau ada anggota tubuh yang
tidak lengkap (amputasi).
meningkat
Berdasarkan etiologinya, CKD juga dapat diklasifikasikan atas dasar ada atau tidaknya
penyakit sistemik yang mendasarinya dan lokasi dari kelainan anatomis atau patologis dari
ginjal. Klasifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
2.1.2.Etiologi
Pada dasarnya, penyebab gagal ginjal kronik adalah penurunan laju filtrasi glomerulus
atau yang disebut juga penurunan glomerulus filtration rate (GFR). Penyebab gagal ginjal kronik
menurut Andra & Yessie, 2013):
1. Gangguan pembuluh darah : berbagai jenis lesi vaskuler dapat menyebabkan iskemik ginjal
dan kematian jaringan ginajl. Lesi yang paling sering adalah Aterosklerosis pada arteri renalis
yang besar, dengan konstriksi skleratik progresif pada pembuluh darah. Hyperplasia
fibromaskular pada satu atau lebih artieri besar yang juga menimbulkan sumbatan pembuluh
darah. Nefrosklerosis yaitu suatu kondisi yang disebabkan oleh hipertensi lama yang tidak di
obati, dikarakteristikkan oleh penebalan, hilangnya elastistisitas system, perubahan darah ginjal
mengakibatkan penurunan aliran darah dan akhirnya gagal ginjal.
3. Infeksi : dapat dijelaskan oleh beberapa jenis bakteri terutama E.Coli yang berasal dari
kontaminasi tinja pada traktus urinarius bakteri. Bakteri ini mencapai ginjal melalui aliran darah
atau yang lebih sering secara ascenden dari traktus urinarius bagiab bawah lewat ureter ke ginjal
sehingga dapat menimbulkan kerusakan irreversible ginjal yang disebut pielonefritis.
4. Gangguan metabolik : seperti DM yang menyebabkan mobilisasi lemak meningkat sehingga
terjadi penebalan membrane kapiler dan di ginjal dan berlanjut dengan disfungsi endotel
sehingga terjadi nefropati amiloidosis 29 yang disebabkan oleh endapan zat-zat proteinemia
abnormal pada dinding pembuluh darah secara serius merusak membrane glomerulus.
5. Gangguan tubulus primer : terjadinya nefrotoksis akibat analgesik atau logam berat.
6. Obstruksi traktus urinarius : oleh batu ginjal, hipertrofi prostat, dan kontstriksi uretra.
7. Kelainan kongenital dan herediter : penyakit polikistik sama dengan kondisi keturunan yang
dikarakteristik oleh terjadinya kista atau kantong berisi cairan didalam ginjal dan organ lain,
serta tidak adanya jaringan ginjal yang bersifat konginetal (hypoplasia renalis) serta adanya
asidosis.
Tabel 4 Penyebab Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisis di Indonesia Tahun 2000 dan
Tahun 2014
2.1.4.1 Glomerulonefritis
Seluruh bentuk dari penyakit glomerulonephritis akut dapat menjadi progresif dan
menyebabkan perubahan menjadi glomerulonephritis kronik. Kondisi ini dikarakteristikan
sebagai ireversibilitas dan progresifitas glomerulus dan fibrosis dari tubulointerstitial, yang
menyebabkan terjadinya penurunan pada laju filtrasi glomerulus (LFG) dan retensi terhadap
racun uremia. Bila progresifitas dari glomerulonephritis kronik tidak segera ditangani, maka
glomerulonephritis kronik dapat berubah menjadi CKD, penyakit gagal ginjal, dan bahkan
penyakit kardiovaskular.
Diabetes mellitus merupakan penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup.
Diabetes dapat terjadi saat tubuh tidak memproduksi insulin yang cukup atau tubuh tidak dapat
menggunakan insulin yang sudah ada. Insulin merupakan hormon yang sangat penting untuk
mengatur kadar glukosa dalam darah.
Diabetes dapat merusak ginjal dengan memberikan gangguan pada aliran darah yang
melewati ginjal. Sistem filtrasi pada ginjal dipenuhi oleh pembuluh darah yang sangat kecil.
Seiring waktu, tingginya kadar gula dalam darah dapat menyebabkan pembuluh darah tersebut
menjadi sempit dan terhambat. Tanpa darah yang cukup, kerusakan dapat terjadi pada ginjal dan
albumin dapat melewati sistem filtrasi tersebut dan akan didapatkan pada urin, dimana hal
tersebut tidak seharusnya terjadi.
Selain itu, sistem saraf di tubuh juga dapat terganggu. Sistem saraf membawa pesan ke
otak dan seluruh tubuh termasuk kandung kemih untuk memberi tahu bila kandung kemih sudah
penuh. Namun, apabila sistem saraf pada kandung kemih mengalami gangguan, maka pasien
tidak akan dapat merasakan apabila kandung kemih sudah penuh. Tekanan pada kandung kemih
yang tinggi akan dapat merusak ginjal
Diabetes mellitus tipe 2 terdiri dari beberapa kelainan fungsi yang dikarakteristikkan dengan
hyperglikemia dan merupakan hasil kombinasi dari resistensi terhadap kinerja insulin, sekresi
insulin yang inadekuat, dan sekresi glukagon yang berlebihan. Diabetes mellitus tipe 2 yang
tidak di tangani dengan baik akan menyebabkan komplikasi yang melibatkan gangguan pada
sistem mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropatik.
Komplikasi mikorvaskular meliputi penyakit pada retina, renal dan juga neuropatik.
Komplikasi makrovaskular yang dapat terjadi meliputi gangguan arteri coroner dan penyakit
pada pembuluh darah perifer. Sedangkan komplikasi yang terjadi pada sistem neuropati dapat
mempengaruhi sistem saraf autonomik maupun perifer.
2.1.4.3 Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90
mmHg. Hipertensi dapat dibedakan menjadi primer/esensial dan sekunder berdasarkan
penyebabnya. Hipertensi primer/esensial apabila tidak diketahui penyebabnya dan hipertensi
sekunder apabila diketahui penyakit pada ginjalnya atau disebut juga hipertensi renal. Penyakit
ginjal hipertensif merupakan salah satu penyebab CKD.
a. Faktor klinis yaitu diabetes, hipertensi, penyakit autoimun, infeksi sistemik, infeksi saluran
kencing, batu kandung kencing, obstruksi saluran kencing bawah, keganasan, riwayat keluarga
CKD, penurunan massa ginjal, paparan banyak obat, serta berat lahir rendah.
b. Faktor sosial demografi yaitu umur tua, etnik, terpapar banyak bahan kimia dan kondisi
lingkungan dan rendahnya pendidikan.
2.1.4 Patofisiologi
Chronic Kidney Disease disebabkan oleh adanya gangguan atau kerusakan pada ginjal,
terutama pada komponen filtrasi ginjal seperti membrane basal glomerulus, sel endotel, dan sel
podosit. Kerusakan komponen ini dapat disebabkan secara langsung oleh kompleks imun,
mediator inflamasi, atau toksin serta dapat pula disebabkan oleh mekanisme progresif yang
berlangsung dalam jangka panjang.
Patofisiologi CKD pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi
dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa
ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving
nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin
dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan
tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya
diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya
diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walapun penyakit dasarnya sudak tidak
aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis reninangiotensin-aldosteron intrarenal ikut
memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut.
Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron sebagian diperantarai oleh growth
factor seperti transforming growth factor β (TGF-β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan
terhadap terjadinya progresifitas CKD adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia,
dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis
glomerulus maupun tubulointerstitial.
2.1.4. Tanda dan Gejala
(1) Menurunnya cadangan ginjal pasien asimtomatik, namun GFR dapat menurun hingga 25%
dari normal.
(2) Insufisiensi ginjal, selama keadaan ini pasien mengalami polyuria dan nokturia, GFR 10%
hingga 25% dari normal, kadar kreatinin serum dan BUN sedikit meningkat diatas normal.
(3) Penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) atau sindrom uremik (lemah, letargi, anoreksia, mual
muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati perifer, pruritus, uremic frost, pericarditis,
kejang-kejang sampai koma), yang ditandai dengan GFR kurang dari 5-10 ml/menit, kadar serum
kreatinin dan BUN meningkat tajam, dan terjadi perubahan biokimia dan gejala yang komplek
a. Peranan diet.
c. Kebutuhan cairan .
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan caira tubuh adekuat supaya jumlah
dieresis mencapai 2 L per hari.
a. Asidosis Metabolik.
c. Kelainan kulit.
Tindakan yang di berikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
d. Hipertensi.
Pemberian obat – obatan anti hipertesi.
Terapi pengganti ginjal di lakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5 , yaitu pada
LFG kurang dari 15 ml/menit.
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialysis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia
dan malnutrisi. Tetapi terapi dialysis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang
belim tahap akhir akan memperburuk faal ginjal ( LFG ).
b. Dialysis ginjal.
Dialysis ginjal adalah proses penyesuaian kadar elektrolit dan air dalam darah pada
orang yang fungsi ginjalnya buruk atau rusak.
c. Transplantasi ginjal.
Transpalntasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal ( anatomi dan faal ).
Pertimbangannya yaitu :
1. Cangkok ginjal ( Kidney transplant ) dapat mengambil alih seluruh ( 100 % )
faal ginjal , sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70 -80 % faal
ginjal alamiah.
2. Kualitas hidup normal kembali.
3. Masa hidup lebih lama.
4. Komplikasi terutama berhubungan dengan obat imunosurpresif untuk
mencegah reaksi penolakan
5. Biaya lebih murah dan dapat di batasi.
d. Pemasangan double lumen.
Double lumen adalah salah satu akses temporer yaitu berupa kateter yang di
pasang pada pembuluh darah balik ( vena ) di daerah leher.
2.8 Komplikasi.
Gagal ginjal kronik dapat memicu sejumlah komplikasi , yaitu :
a. Gangguan elektrolit , seperti penumpukan fosfor dan hiperkalemi atau kenaikan kadar
kalium yang tinggi dalam darah.
b. Penyakit jantung dan pembuluh darah
c. Penumpukan kelebihan cairan di rongga tubuh , misalnya edema paru atau asites.
d. Anemia
e. Kerusakan system saraf pusat yang bias menyebabkan kejang.
Hemodialisis merupakan tindakan untuk mengganti sebagian dari fungsi ginjal. Tindakan ini
rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal tahap akhir stadium akhir. Walaupun tindakan
hemodialisis saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun masih banyak
penderita yang mengalami masalah medis saat menjalani hemodialisis. Komplikasi yang sering
terjadi pada penderita yang menjalani hemodialisis adalah gangguan hemodinamik.
1. Komplikasi Akut
Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis
berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya adalah hipotensi, kram otot, mual
dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil
2. Komplikasi Kronis
Komplikasi kronik yang terjadi pada pasien hemodialisis yaitu penyakit jantung,
malnutrisi, hipertensi/volume excess, anemia, renal osteodystrophy, neurophaty, disfungsi
reproduksi, komplikasi pada akses, gangguan perdarahan, infeksi, amiloidosis, dan
Acquired cystic kidney disease.
2.9 Laboratorium dan / atau penunjang lainnya.
a. Pemeriksaan laboratorium .
Tujuan nya yaitu memastikan dan menentukan derajat penurunan faal ginjal ( LFG ) ,
identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan penyakit termasuk semua factor
pemburuk faal ginjal.
1) Hipervolemia
2) Intoleransi aktivitas
5) Nyeri akut
Perencanaan
Tahap perencanaan memberi kesempatan kepada perawat, pasien, keluarga, dan orang
terdekat pasien untuk merumuskan rencana tindakan keperawatan guna mengatasi masalah yang
dialami pasien. Tahap perencanaan ini memiliki beberapa tujuan penting, diantaranya sebagai
alat komunikasi antar sesama perawat dan tim kesehatan lainnya, meningkatkan kesinambungan
asuhan keperawatan bagi pasien, serta mendokumentasikan proses dan kriteria hasil asuhan
keperawatan yang ingin dicapai. Unsur terpenting dalam tahap perencanaan ini adalah membuat
orioritas urutan diagnoa keperawatan, merumuskan tujuan, merumuskan kriteria evaluasi, dan
merumuskan intervensi keperawatan (Asmadi, 2008).
Perencanaan asuhan keperawatan pada pasien Gagal Ginjal Kronik (sumber: SIKI, 2018)
DATA KLIEN
Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum
Klien tampak sesak , Lemas
2. Kesadaran
Composmentis (E4 V5 M6)
3. Tanda-tanda Vital :
TD : 131/76 mmHg N: 40x/menit
RR : 26 /menit S: 36,1oC
4. Sistem Integumen
- Keadaan kulit bersih, warna kulit pucat, tidak ada lesi, turgor kulit baik
5. Sistem Penglihatan
- Inspeksi : Mata simestris, keadaan mata bersih tidak ada edema, seklera
mata putih, konjungtiva anemis, reflek cahaya (+).
6. Sistem Pendengaran
- Inspeksi :Bentuk telinga simetris, , fungsi pendengaran baik klien mampu
berkomunikasi dengan baik dan kooperatif, tidak menggunakan suara
keras, tidak nampak menggunakan alat bantu dengar.
7. Sistem Pernafasan
- Inspeksi : Bentuk dada simetris, frekuensi nafas 26 kali/menit, irama nafas
teratur, pola napas dispnea pernafasan cuping hidung tidak ada,
penggunaan otot bantu nafas tidak ada, pasien menggunakan alat bantu
nafas oksigen nasal kanul 3 liter/menit
- Palpasi : Pemeriksaan taktil/vocal vermitus: -, getaran antara kanan dan
kiri sama
- Perkusi : Area paru sonor
- Auskultasi Suara nafas:vesikuler bersih
8. Sistem Pencernaan :
- Inspeksi : Bentuk abdomen datar. Masa atau benjolan -, kesimetrisan +,
bayangan pembuluh darah vena -.
- Auskultasi : Frekuensi peristaltik usus 8x/menit.
- Palpasi : tidak terkaji
9. Sistem Kardiovaskuler :
- Inspeksi : Tidak terlihat adanya pulsasi iktus kordis, CRT < 2 detik dan
Tidak ada sianosis
- Palpasi: palpasi pada dinding thoraks teraba: tidak teraba/tidak terkaji.
- Perkusi : Tidak ada pembesaran
Batas atas : ICS II
Batas bawah : ICS V
Batas kiri : ICS VMid Clavikula.
Batas kanan : ICS IV Mid Sternalis Dextra.
- Auskultasi :
BJ I : Terdengar “LUB” tunggal (reguler), keras
BJ II : Terdengar “LUB” tunggal (reguler), keras.
10. Sistem Perkemihan
- Klien tidak terpasang kateter
11. Sistem Persyarafan
- Tidak ada keluhan nyeri , Kesadaran compos mentis dengan GCS E4 V5
M6.
12. Sistem perkemihan :
- Pola : 4-5x sehari
- Inkontinensia: tidak inkontinesia urin
13. Sistem Muskuloskeletal :
- Inspeksi : Otot antara sisi kanan dan kiri simetris,
Deformitas -, fraktur -, terpasang gips -.
- Palpasi : Oedem - -/- -/-
Uji kekuatan otot 5/5 5/5
A. Pemeriksaan diagnostik
- Pemeriksaan penunjang :
3. Eritrosit
2,52 10^6 / uL
4. Trombosit : 10^3 / ul
167
101
5. Ureum Mg/dL
Darah :
Mg/dL
7,87
6. Kreatinin
Darah :
Mmol/L
7. Natrium 133
Darah :
Mmol/L
8. Kalium 6,8
Darah :
Mmol/L
9. Klorida 102
Darah :
10. pH : 7,37
mmHg
11. P O2 : 80,0
mmHg
12. P CO2 :
32,2
mmol/L
13. Bikarbona 18,9
t %
95,2
14. O2
saturasi :
%
36
15. FIO2 :
B. Therapy
- Cairan Ns 0,9% 500ml/24 jam
- Hytroz 1 x 2mg IV
- Rillus 1 x 1 tab
- Daylax 1 x 1 tab
- Concor 1 x 5 mg
- Blopress 2 x 16 mg
- Asam folat 1 x 1 mg
Analisa Data
No Data Etiologi Masalah Keperawatan
1. Data Subjektif: Perubahan Afterload Resiko penurunan curah
a. Pasien mengatakan jantung
merasa sesak napas
Data objektif:
a. Tekanan darah 131/76
mmHg
b. Nadi melemah HR
40x/m
c. RR 26x/m
d. Adanya sianosis
e. Tampak sesak
f. Spo2 89%
g. Terpasang o2 NC 3 lpm
2. Data Subjektif: Kelemahan Intoleransi aktifitas
a. Pasien mengatakan
merasa sesak napas
b. Pasien mengatakan
lemas
Data objektif:
a. Tekanan darah 121/ 82
mmHg
b. Nadi melemah HR
40x/m
c. RR 26 x/m
d. Adanya sianosis
e. Tampak sesak
f. Spo2 89%
Diagnosa keperawatan
1. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan afterload
2. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan
Intervensi Keperawatan
DAFTAR PUSTAKA
Toto, Abdul.(2015). Asuhan Keperawatan Pada Sistem Perkemihan. Jakarta : Trans Info Media
Nurarif & Kusuma, (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Dan NANDA
NIC-NOC Jilid 2 Medaction
Desfrimadona, (2016). Kualitas Hidup pada Pasien Gagal ginjal Kronik dengan Hemodialisa di
RSUD Dr. M. Djamil Padang. Diploma Thesis Univesitas Andalas
PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik,
Edisi 1. Jakarta:DPP PPNI.
KEMENKES (2018). Cegah dan Kendalikan Penyakit Ginjal Dengan CERDIK dan PATUH.
Diakses pada tanggal 07 Desember 2018 dari www.depkes.go.id
PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keprawatan,
Edisi 1. Jakarta:DPP PPNI
PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI