Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN PENDAHULUAN DIAGNOSA MEDIS CKD STAGE 5

ON HD REGULER DENGAN MALNUTRISI DI RUANGAN HD


RS UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

Oleh:
KRIS KELANA
2021-01-14901-036

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PROGRAM PROFESI NERS
2022
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan ini di susun oleh:


Nama : KRIS KELANA
NIM : 2021-0114901-036
Program Studi : Profesi Ners
Judul :

Telah melakukan asuhan keperawatan sebagai persyaratan untuk


menyelesaikan Stase Keperawatan Medikal Bedah Program Studi Ners Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan Eka Harap Palangkaraya.

Asuhan Keperawatan ini telah disetujui oleh :

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa Karena
atas karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan pendahuluan
yang berjudul “Laporan Pndahuluan Diagnosa Medis CKD Stage 5 on HD
dengan Malnutrisi”. Penyusun menyadari tanpa bantuan dari semua pihak maka
laporan studi kasus ini tidak akan selesai sesuai dengan waktu yang diharapkan.
Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam
penulisan studi kasus ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun untuk menyempurnaan
penulisan studi kasus ini. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih dan
semoga laporan studi kasus ini bermanfaat bagi kita semua.

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN ........................................................................................................


LEMBAR PENGESAHAN..........................................................................................
KATA PENGANTAR.................................................................................................
DAFTAR ISI...............................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN.............................................................................................
1.1 Latar Belakang........................................................................................................
1.1 Rumusan Masalah...................................................................................................
1.1 Tujuan Penulisan.....................................................................................................
1.1 Manfaat Penulisan...................................................................................................
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Penyakit ....................................................................................................
2.1.1 Definisi..........................................................................................................
2.1.2 Anatomi dan Fisiologi ..................................................................................
2.1.3Etiologi...........................................................................................................
2.1.4 Klasifikasi .....................................................................................................
2.1.5 Patofisiologi ................................................................................................
2.1.6 Manifestasi Klinis.......................................................................................
2.1.7 Komplikasi..................................................................................................
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang..............................................................................
2.1.9 Penatalaksanaan Medis...............................................................................
2.2 Manajemen Asuhan Keperawatan.......................................................................
2.2.1 Pengkajian...................................................................................................
2.2.2 Diagnosa Keperawatan...............................................................................
2.2.3 Intervensi....................................................................................................
2.2.4 Implementasi...............................................................................................
2.2.5 Evaluasi.......................................................................................................
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Anamnesa..............................................................................................................
3.2 Pemeriksaan Fisik.................................................................................................
3.3 Analisa Data..........................................................................................................
3.4 Prioritas Masalah..................................................................................................
3.5 Intervensi Keperawatan........................................................................................
3.6 Implementasi dan Evaluasi...................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ginjal merupakan salah satu organ penting pada tubuh manusia yang
berfungsi mempertahankan homeostasis dengan cara mengatur keseimbangan
cairan dan elektrolit (Baradero dkk, 2018). Gagal ginjal kronik adalah kerusakan
ginjal yang terjadi apabila kedua ginjal mengalami kerusakan secara progresif dan
irreversible yang disebabkan karena adanya eksaserbasi nefritis, obstruksi saluran
kemih, kerusakan vaskuler akibat penyakit sistemik (diabetes mellitus, hipertensi)
dan membentuk jaringan parut pada pembuluh darah (Baradero dkk, 2018). Selain
itu dapat ditandai dengan peningkatan ureum kreatinin dan penurunan laju filtrasi
glomerulus (Baradero dkk, 2018). Seseorang dengan masalah gagal ginjal kronik
yang sudah mengalami gangguan fungsi ginjal biasanya harus menjalani terapi
pengganti ginjal atau Hemodialisa. Hemodialisa merupakan terapi jangka panjang
yang biasa dilakukan pada penderita gagal ginjal kronis. Hemodialisis berperan
sebagai penyaring untuk membuang toksin yang ada dalam darah. Namun
demikian, terapi Hemodialisa tidak dapat menyembuhkan gangguan ginjal pada
pasien.
Berdasarkan data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO, 2007) dan Burden of
disease, Gagal Ginjal Kronik telah menjadi masalah kesehatan serius di dunia.
Penyakit ginjal dan saluran kemih telah menyebabkan kematian sebesar 850.000
orang setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa penyakit ini menduduki
peringkat ke-12 tertinggi angka kematian. Di Amerika Serikat angka kejadian
penyakit ginjal meningkat tajam dalam 10 tahun, dari data tahun 2002 terjadi
34.500 kasus, tahun 2007 menjadi 80.000 kasus, dan pada tahun 2010 mengalami
peningkatan yaitu 2 juta orang yang menderita penyakit ginjal. Dari data tersebut
pravelensi penyakit ginjal kronik meningkat hingga 43% selama decade tersebut
(Lukman, 2013)). Penyakit Gagal Ginjal di Indonesia menempati urutan ke 10
dalam penyakit tidak menular. Pravelensi gagal ginjal di Indonesia mencapai
400.000 juta orang tetapi belum semua pasien tertangani oleh tenaga medis, baru
sekitar 25.000 orang pasien yang dapat ditangani, artinya ada 80% pasien yang
tidak mendapat pengobatan dengan baik (RI, 2013)).

1
2

Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit ini bisa menjadi parah jika


disebabkan oleh kondisi medis yang serius (seperti kerusakan ginjal) dan luka
yang traumatis di mana seseorang kehilangan terlalu banyak cairan darah dan
cairan tubuh. Kasus seperti itu harus diperlakukan secara berbeda dan mungkin
memerlukan pembedahan atau terapi medis jangka panjang. Gejala dari penyakit
ini tergantung pada tingkat keparahan gangguan. Misalnya, kadar natrium yang
sedikit lebih rendah bisa menyebabkan sakit kepala dan mual. Namun, jika tingkat
sodium mencapai tingkat kritis, pasien mungkin menderita kejang, koma, dan
bahkan kematian. Adapun komplikasi gagal ginjal yang serius, antara lain seperti
hiperkalemia, perikarditis dan kejang. (Black & H.J., 2014).
Pengaturan keseimbangan cairan perlu memperhatikan dua parameter
penting yaitu volume cairan ekstrasel dan osmolaritas cairan ektrasel. Ginjal
mengontrol volume cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan
garam dan mengontrol osmolaritas cairan ekstrasel dengan mempertahankan
keseimbangan cairan. Ginjal mempertahankan keseimbangan ini dengan mengatur
keluaran garam dan urine sesuai kebutuhan untuk mengkompensasi asupan dan
kehilangan abnormal dari air dan garam tersebut. Tubuh manusia tersusun kira-
kira 50%-60% cairan. Untuk menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit serta
mencegah komplikasi, pasien harus menjalani terapi Hemodialisa. Pada pasien
yang menjalani hemodialisis juga mengalami berbagai permasalahan seperti
ketidaknyamanan, atau mempengaruhi diri pasien diantaranya kesehatan fisik
seperti kelemahan. Sehingga dukungan keluarga sangat berperan penting agar
pasien merasa lebih tenang dan mengurangi tingkat stres. Peran perawat sebagai
pemberi pelayanan kesehatan, edukator dan konselor memberikan pengaruh
terhadap pasien dalam menentukan keputusan untuk penatalaksanaan
penyakitnya. Dari uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa angka kejadian
Gagal ginjal kronik yang tinggi tiap tahun, maka ini menjadi hal penting untuk
diketahui pembaca dan perawat untuk mengatasi masalah yang mungkin muncul
terkhususnya pada penyakit gagal ginjal kronik dalam pemenuhan kebutuhan
cairan yaitu kelebihan volume cairan. Oleh karena itu dilakukan asuhan
keperawatan agar dapat diberikan solusi untuk mengatasi masalah tersebut.
3

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka dirumuskan
permasalahan sebagai berikut “Bagaimana Asuhan Keperawatan pada pasien Tn.
dengan dengan diagnosa medis Chronic Kidney Disease (CKD) stage 5 On HD
dengan Malnutrisi di RS Universitas Airlangga Surabaya
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui Asuhan Keperawatan
pada pasien dengan diagnosa medis Chronic Kidney Disease (CKD) stage 5 On
HD dengan Malnutrisi di RS Universitas Airlangga Surabaya
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mampu melakukan pengkajian keperawatan secara komprehensif pada pasien
dengan Diagnosa Medis Chronic Kidney Disease (CKD) stage 5 On HD
dengan Malnutrisi di RS Universitas Airlangga Surabaya
2. Mampu menegakkan diagnosa keperawatan pada pasien dengan Diagnosa
Medis Chronic Kidney Disease (CKD) stage 5 On HD dengan Malnutrisi di
RS Universitas Airlangga Surabaya
3. Mampu menyusun intervensi tindakan keperawatan pada pasien dengan
Diagnosa Medis Chronic Kidney Disease (CKD) stage 5 On HD dengan
Malnutrisi di RS Universitas Airlangga Surabaya
4. Mampu melaksanaan tindakan keperawatan pada pasien dengan Diagnosa
Medis Chronic Kidney Disease (CKD) stage 5 On HD dengan Malnutrisi di
RS Universitas Airlangga Surabaya
5. Mampu mengevaluasi hasil tindakan yang dilaksanakan terhadap tindakan
pada pasien dengan Diagnosa Medis Chronic Kidney Disease (CKD) stage 5
On HD dengan Malnutrisi di RS Universitas Airlangga Surabaya
6. Mampu mendokumentasikan asuhan keperawatan pada pasien dengan
Diagnosa Chronic Kidney Disease (CKD) stage 5 On HD dengan Malnutrisi
di RS Universitas Airlangga Surabaya
4

1.3.3 Manfaat Penulisan


1.3.4 Manfaat Teoritis
Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang pentingnya cairan dan
elektrolit dalam mendukung kesehatan dan keseimbangan tubuh manusia. Serta
dapat memberikan asuhan keperawatan kepada pasien sesuai dengan kebutuhan
cairan dan elektrolit.
1.3.5 Manfaat Praktis
1.3.5.1 Bagi Institusi Pendidikan
Laporan pendahuluan ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan
ilmu pengetahuan terapan, khususnya berkaitan dengan melakukan asuhan
keperawatan pasien CKD dengan Malnutrisi
1.3.5.2 Bagi Rumah Sakit
Laporan pendahuluan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak pelayanan
rumah sakit untuk bahan peningkatan kinerja perawat dalam rangka peningkatan
kualitas pelayanan asuhan keperawatan, khususnya dalam melakukan asuhan
keperawatan pasien CKD degan Malnutrisi.
1.3.5.3 Bagi Mahasiswa
Laporan pendahuluan ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan serta
pemahaman mahasiswa tentang Asuhan Keperawatan pada pasien dengan
diagnosa medis CKD Stage 5 on HD dengan Malnutrisi
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Gagal Ginjal Kronik


2.1.1 Definisi Gagal Ginjal Kronik
Gagal ginjal kronik adalah kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan
metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur
ginjal yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa metabolik (toksik
uremik) di dalam darah (Muttaqin dan Kumalasari, 2012). Gagal ginjal kronis
atau penyakit ginjal tahap akhir merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif
dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia
(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Suharyanto, 2011).
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
Gagal ginjal kronis (chronic renal failure) adalah destruksi struktur ginjal yang
progresif dan terus menerus yang berakibat fatal dimana kemampuan tubuh gagal
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit
dengan manifestasi penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) di dalam darah.
Ginjal memegang peranan penting dalam homeostasis mineral dan tulang dengan
cara mengatur metabolisme kalsium, phospor, hormon paratiroid, dan vitamin
Pada penyakit ginjal kronis (PGK), gangguan pengaturan metabolisme
mineral mulai terjadi sejak stadium awal penyakit, kemudian berlanjut, dan akan
menyebabkan perubahan bone modelling, remodeling, dan pertumbuhan. Kidney
disease improving global outcome (KDIGO) membuat terminologi untuk
kelainan sistemik akibat abnormalitas metabolisme mineral dan tulang akibat
komplikasi PGK yang dikenal dengan istilah chronic kidney disease mineral bone
disorder (CKD-MBD) atau diterjemahkan sebagai “kelainan mineral tulang
akibat penyakit ginjal kronik”
2.1.2 Anatomi Fisiologi Gagal Ginjal Kronik
1. Anatomi
Manusia memiliki sepasang ginjal. Dua ginjal terletak pada dinding
posterior abdomen, di luar rongga peritoneum. Sisi medial setiap ginjal
merupakan daerah lekukan yang disebut hilum tempat lewatnya arteri dan vena

5
6

renalis, cairan limfatik, suplai saraf, dan ureter yang membawa urine akhir dari
ginjal ke kandung kemih, tempat urine disimpan hingga dikeluarkan. Ginjal
dilengkapi oleh kapsul fibrosa yang keras untuk melindungi struktur dalamnya
yang rapuh. Posisi ginjal kanan sedikit lebih rendah dari posisi ginjal kiri karena
ginjal kanan tertekan oleh organ hati. Kedua ginjal terletak di sekitar vertebra T12
hingga L3, sebagian dari bagian atas ginjal terlindungi oleh iga ke sebelas dan dua
belas.
Bentuk makroskopis ginjal pada orang dewasa, bentuknya seperti kacang
polong dengan ukuran panjang ginjal adalah sekitar 12 sampai 13 cm (4,7 hingga
5,1 inci), lebarnya 6 cm (2,4 inci), tebalnya 2,5 cm (1 inci), dan beratnya sekitar
125-150 gram, kira-kira seukuran kepalan tangan. Masing-masing ginjal manusia
terdiri dari kurang lebih satu juta nefron, masing-masing mampu membentuk
urine. Ginjal tidak dapat membentuk nefron baru. Oleh karena itu, pada trauma
ginjal, penyakit ginjal, atau proses penuaan yang normal akan terjadi penurunan
jumlah nefron secara bertahap.
Dibawah ini terdapat gambar tentang anatomi fisiologi ginjal:

Gambar 2.1 Anatomi Ginjal


(Sumber: Smeltzer, 2012)
7

Bentuk makroskopis ginjal pada orang dewasa, bentuknya seperti kacang


polong dengan ukuran panjang ginjal adalah sekitar 12 sampai 13 cm (4,7 hingga
5,1 inci), lebarnya 6 cm (2,4 inci), tebalnya 2,5 cm (1 inci), dan beratnya sekitar
125-150 gram, kira-kira seukuran kepalan tangan. Masing-masing ginjal manusia
terdiri dari kurang lebih satu juta nefron, masing-masing mampu membentuk
urine. Ginjal tidak dapat membentuk nefron baru. Oleh karena itu, pada trauma
ginjal, penyakit ginjal, atau proses penuaan yang normal akan terjadi penurunan
jumlah nefron secara bertahap. Setiap nefron terdiri dari glomerulus dan tubulus.
Glomerulus terdiri dari sekumpulan kapiler glomerulus yang dilalui
sejumlah besar cairan yang difiltrasi dari darah. Glomerulus tersusun dari suatu
jaringan kapiler glomerulus yang bercabang dan beranastomosis, yang
mempunyai tekanan hidrostatik tinggi (kira-kira 60 mmHg) bila dibandingkan
dengan kapiler lainnya. Kapiler glomerulus dilapisi oleh sel- sel epitel, dan
keseluruhan glomerulus dibungkus dalam kapsula bowman. Sedangkan tubulus
merupakan tempat cairan hasil filtrasi diubah menjadi urin dalam perjalanannya
menuju pelvis ginjal. Meskipun setiap nefron mempunyai semua komponen
seperti yang digambarkan diatas, tetapi tetap terdapat beberapa perbedaan,
bergantung pada seberapa dalam letak nefron pada massa ginjal. Nefron yang
memiliki glomerulus dan terletak di korteks sisi luar disebut nefon kortikal, nefron
tersebut mempunyai ansa henle pendek yang hanya sedikit menembus ke dalam
medula. Kira-kira20-30% nefron mempunyai glomerulus yang terletak di korteks
renal sebelah dalam dekat medula, dan disebut nefron jukstamedular, nefron ini
mempunyai ansa henle yang panjang dan masuk sangat dalam ke medula.
2. Fisiologi
Pada manusia, ginjal merupakan salah satu organ yang memiliki fungsi vital
yang berfungsi untuk mengatur keseimbangan air dalam tubuh. Ginjal melakukan
fungsinya yang paling penting ini dengan cara menyaring plasma dan
memisahkan zat filtrat dengan kecepatan yang bervariasi, brgantung pada
kebutuhan tubuh. Kemudian zat- zat yang dibutuhkan oleh tubuh akan
dikembalikan ke dalam darah dan yang tidak dibutuhkan oleh tubuh akan
dikeluarka melalui urine. Selain fungsi yang telah dijelaskan, ginjal juga
mempunyai fungsi multiple yang lainnya, diantaranya yaitu mengeksresikan
8

produk sisa metabolik dan bahan kimia asing, pengaturan keseimbangan air dan
elektrolit, pengaturan osmolalitas cairan tubuh dan konsentrasi elektrolit,
pengaturan tekanan arteri, pengaturan keseimbangan asam-basa, sekresi,
metabolisme, dan eksresi hormon serta untuk proses glukoneogenesis.
Proses pembentukan urine juga dilakukan oleh nefron yang merupakan
bagian dari ginjal.  Proses pembentukan urine terjadi melalui tiga tahapan yaitu
filtrasi di glomerulus, reabsorpsi di tubulus dan eksresi di tubulus.
Dibawah ini adalah gambar sebuah nefron yang memperlihatkan struktur
glomerulus dan tubulus serta perannya dalam pembentukan urine.

Gambar 2.2 Nefron yang memperlihatkan struktur glomerulus dan tubulus


 (Sumber: Smeltzer, 2012)
Pada saat cairan, darah, serta zat-zat masuk ke dalam ginjal, semua bahan-
bahan itu akan difiltrasi di dalam glomerulus dan selanjutnya akan mengalir ke
dalam kapsula bowman dan masuk ke tubulus proksimal yang terletak di dalam
korteks ginjal. Dari tubulus proksimal, cairan akan mengalir ke ansa henle yang
masuk ke dalam medula renal, cairan masuk ke makula densa dan kemudian ke
tubulus distal, dari tubulus distal cairan masuk ke tubulus renalis arkuatus dan
tubulus koligentes kortikal dan masuk ke duktus yang lebih besar yaitu duktus
koligentes medula. Duktus koligentes bergabung membentuk duktus yang lebih
besar yang mengalir menuju pelvis renal melalui papila renal. Dari pelvis renal,
9

urine akan terdorong ke kandung kemih melalui saluran ureter dan dikeluarkan
melalui uretra.
2.1.3 Etiologi Gagal Ginjal Kronik
Begitu banyak kondisi klinis yang bisa menyebabkan terjadinya gagal ginjal
kronis. Akan tetapi, apapun sebabnya, respon yang terjadi adalah penurunan
fungsi ginjal secara progresif. Kondisi klinis yang memungkinkan dapat
mengakibatkan gagal ginjal kronik bisa disebabkan dari ginjal sendiri dan di luar
ginjal (Muttaqin dan Kumalasari, 2012).
1. Penyakit dari ginjal
1) Penyakit pada saringan (glomerulus).
2) Infeksi kuman, pyelonefritis, ureteritis.
3) Batu ginjal.
4) Trauma langsung pada ginjal.
5) Keganasan pada ginjal.
6) Sumbatan; batu, tumor, penyempitan atau striktur.
2. Penyakit umum di luar ginjal :
1) Penyakit sistemik, diabetes melitus, hipertensi, kolesterol tinggi.
2) Dislipidemia.
3) SLE.
4) Infeksi di badan; TBC paru, sipilis, malaria, hepatitis.
5) Pre eklamsi.
6) Obat-obatan.
7) Kehilangan banyak cairan yang.
2.1.4 Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik
Sesuai dengan topik yang saya tulis didepan Cronic Kidney Disease (CKD).
Pada dasarnya pengelolaan tidak jauh beda dengan Cronoic Renal Failure (CRF),
namun pada terminologi akhir CKD lebih baik dalam rangka untuk membatasi
kelainan pasien pada kasus secara dini, kerena dengan CKD dibagi 5 grade,
dengan harapan pasien datang/ merasa masih dalam stage-stage awal yaitu 1 dan
2. secara konsep CKD, untuk menentukan derajat (stage) menggunakan
terminology CCT (Clearance Creatinin Test) dengan rumus stage 1 sampai stage
5.
10

KDOQI (Kidney Disease Outcome Quality Initiative)  merekomendasikan


pembagian CKD berdasarkan stadium dari tingkat penurunan LFG (Laju Filtrasi
Glomerolus):
1. Stadium 1: kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan
LFG yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2)
2. Stadium 2: Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara 60 -
89 mL/menit/1,73 m2)
3. Stadium 3: kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73m2)
4. Stadium 4: kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29mL/menit/1,73m2)
5. Stadium 5: kelainan ginjal dengan LFG < 15 mL/menit/1,73m2 atau gagal
ginjal terminal.
2.1.5 Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik
Pada awal perjalanannya, keseimbangan cairan, penanganan garam, dan
penimbunan produk sisa masih bervariasi dan bergantung pada bagian ginjal yang
sakit. Sampai fungsi ginjal turun kurang dari 25% normal, manifestasi klinis gagal
ginjal kronis mungkin minimal karena nefron-nefron lain yang sehat mengambil
alih fungsi nefron yang rusak. Nefron yang tersisa meningkatkan laju filtrasi,
reabsorbsi, dan sekresinya serta mengalami hipertrofi dalam proses tersebut.
Seiring dengan makin banyaknya nefron yang mati, nefron yang tersisa
menghadapi tugas yang semakin berat, sehingga nefron-nefron tersebut ikut rusak
dan akhirnya mati. Sebagian dari siklus kematian ini tampaknya berkaitan dengan
tuntutan pada nefron-nefron yang ada untuk meningkatkan reasorbsi protein.
Seiring dengan penyusutan progresif nefron, terjadi pembentukkan jaringan
parut dan penurunan aliran darah ginjal. Pelepasan renin dapat meningkat dan
bersama dengan kelebihan beban cairan, dapat menyebabkan hipertensi.
Hipertensi mempercepat gagal ginjal, mungkin dengan meningkatkan filtrasi
(karena tuntutan untuk reasorbsi) protein plasma dan menimbulkan stress
oksidatif. Kegagalan ginjal membentuk eritropoietin dalam jumlah yang adekuat
sering kali menimbulkan anemia dan keletihan akibat anemia berpengaruh buruk
pada kualitas hidup.Selain itu, anemia kronis dapat menyebabkan penurunan
oksigenasi jaringan di seluruh tubuh dan mengaktifkan refleks-refleks yang
ditujukan untuk meningkatkan curah jantung guna memperbaiki oksigenasi.
11

Refleks ini mencakup aktivasi susunan saraf simpatis dan peningkatan curah
jantung. Akhirnya, perubahan tersebut merangsang individu yang menderita gagal
ginjal mengalami gagal jantung kongestif sehingga penyakit ginjal kronis menjadi
satu faktor risiko yang terkait dengan penyakit jantung (Corwin, 2013).
Menurut (Muhammad, 2012), perjalanan umum gagal ginjal kronis dapat
dibagi menjadi 4 stadium, yaitu sebagai berikut:
1. Stadium I (Penurunan cadangan ginjal (faal ginjal antar 40%-75%)
Tahap inilah yang paling ringan, dimana faal ginjal masih baik dan laju
filtrasi glomerulus 40-50% tetapi, sekitar 40-75% nefron tidak berfungsi. Pada
tahap ini penderita ini belum merasakan gejala gejala dan pemeriksaan
laboratorium faal ginjal masih dalam batas normal. Selama tahap ini kreatinin
serum dan kadar BUN (Blood Urea Nitrogen) dalam batas normal dan penderita
asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat diketahui dengan
memberikan beban kerja yang berat, seperti tes pemekatan kemih yang lama atau
dengan mengadakan test GFR yang teliti.
2. Stadium II (Insufiensi ginjal (faal ginjal antar 20%-50%)
Pada tahap ini penderita dapat melakukan tugas tugas seperti biasa padahal
daya dan konsentrasi ginjal menurun. Pada stadium ini pengobatan harus cepat
dalam hal mengatasi kekurangan cairan, kekurangan garam, gangguan jantung dan
pencegahan pemberian obat-obatan yang bersifat mengganggu faal ginjal. Bila
langkah-langkah ini dilakukan secepatnya dengan tepat dapat mencegah penderita
masuk ketahap yang lebih berat. Pada tahap ini lebih dari 75% jaringan yang
berfungsi telah rusak. Kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal.
Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-beda, tergantung dari kadar protein
dalam diet. Pada stadium ini kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi
kadar normal.
3. Stadium III (Gagal Ginjal (faal ginjal kurang dari 10%)
Pada tahap ini laju filtrasi glomerulus 10-20% normal, BUN dan kreatinin
serum meningkat. Semua gejala sudah jelas dan penderita masuk dalam keadaan
dimana tak dapat melakukan tugas sehari-hari sebagaimana mestinya. Gejala-
gejala yang timbul antara lain mual, muntah, nafsu makan berkurang, sesak nafas,
pusing, sakit kepala, air kemih berkurang, kurang tidur, kejang-kejang dan
12

akhirnya terjadi penurunan kesadaran sampai koma. Oleh karena itu, penderita
tidak dapat melakukan tugas sehari-hari.
4. Stadium IV End Stage Meal Disease (ESRD)
Stadium akhir timbul pada sekitar 90% dari massa nefron telah hancur. Nilai
GFR nya 10% dari keadaan normal dan kadar kreatinin mungkin sebesar 5-10
ml/menit atau kurang. Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan
meningkat dengan sangat mencolok sebagai penurunan. Pada stadium akhir gagal
ginjal, penderita mulai merasakan gejala yang cukup parah karena ginjal tidak
sanggup lagi mempertahankan homeostatis caiaran dan elektrolit dalam tubuh.
Penderita biasanya menjadi oliguri (pengeluaran kemih) kurang dari 500/hari
karena kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula mula menyerang
tubulus ginjal, kompleks menyerang tubulus ginjal, kompleks perubahan biokimia
dan gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem
dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal
kecuali ia mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis
Vesikuler
(WOC)

Infeksi Arterio Skerosis Zat Toksik Obstruksi Saluran Kemih

Reaksi Antigen Antibodi Suplai Darah Ginjal Turun Tertimbun Diginjal Retensi Urin

GFR Turun

GGK

B1 B2 B3 B4 B5 B6 Sindrom Uremia

Retensi Na Sekresi eritropoitin Cardiac output Obstruksi Ginjal Sekresi protein terganggu Cardiac output Perforasi
Ospaleimia
PH,bicarbonate,
Tek. Kapiler Perfusi darah ke otak
Produksi Hb turun Fungsi Ginjal Sindrome uremia Perfusi darah
PCO2,PO2 ke jaringan
Turun Menurun
Beban Jantung Perubahan tingkat Gx. Keseimbangan
kesadaran(letargi, GFR Asam Basa Metabolisme
bingung, stupor dan anaerob
Tek. Vena pulmonalis koma), tidur terganggu Pruritis
Oksigen HB Turun Retensi air dan Asam Lambung Naik
natrium Penimbunan
Tek. Kapiler paru Gangguan Perfusi Gangguan
asam laktat
naik Suplai O2 ke otot Jaringan serebral Iritasi Lambung integritas
Edema Paru kulit
Nyeri
Mual, muntah
Resiko perusi retnal Penuunan haluaran
urine
Tidak efektif B6 Intoleransi
Aktivitas
Cardiac output
Hipervolemi
Defisit Nutrisi
Perfusi darah (Suharyanto, 2011)
ke jaringan
Gangguan
13
pertukaran gas
Metabolisme
anaerob

Penimbunan
14

HEMODILISIS

Prosedur Invasif
Pemberian Heparin Kecepatan pengeluaran darah
berlebih tinggi dalam jumlah banyak

Pajanan terhadap pathogen Nyeri pada


Nyeri tempat
pada tempat Gangguan koagulasi darah Penurunan darah di
penusukan
Penusukan jarum vaskuler
Perdarahan
Risiko Infeksi Nyeri Akut
Gangguan regulasi suhu Penurunan volume darah
tubuh intravaskuler
Risiko Perdarahan

Pergeseran termostat di
Penurunan sirkulasi ke
hipotalamus
cerebral
Risiko syok
Hipovolemia
Kekurangan volume cairan Px menggigil
Hipoksia serebral

Hipotermi
Ketidakseimbangan Cairan keluar secara aktif Merangsang pusat mual di
hipotalamus
elektrolit dalam tubuh

Nausea
15

1.1.1 Manifestasi Klinis


1.1.1.1 Gejala dini: Sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan
berkurang, mudah tersinggung, depresi. Sakit kepala awalnya pada penyakit CKD
memang tidak akan langsung terasa, namun jika terlalu sering terjadi maka akan
mengganggu aktifitas. Penyebabnya adalah ketika tubuh tidak bisa mendapatkan
oksigen dalam jumlah cukup akibat kekurangan sel darah merah, bahkan otak juga
tidak bisa memiliki kadar oksigen dalam jumlah yang cukup. Sakit kepala akan
menjadi lebih berat jika penderita juga bermasalah dengan anemia.
1.1.1.2 Gejala yang lebih lanjut: anoreksia atau mual disertai muntah, nafsu
makan turun, nafas dangkal atau sesak nafas baik waktu ada kegiatan atau tidak,
udem yang disertai lekukan. Derajat udem (Derajat I: 2 mm, Derajat II: 3-4 mm,
Derajat III: 5-6 mm, Derajat IV 8 mm), pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin
juga sangat parah. Anoreksia adalah kelainan psikis yang diderita seseorang
berupa kekurangan nafsu makan mesti sebenarnya lapar dan berselera terhadap
makanan. Gejala mual muntah ini biasanya ditandai dengan bau mulut yang kuat
yang menjadi tidak nyaman, bahkan keinginan muntah bisa bertahan sepanjang
waktu hingga sama sekali tidak bisa makan. Pada nafsu makan turun disebabkan
karena penurunan nafsu makan berlebihan, ginjal yang buruk untuk menyaring
semua racun menyebabkan ada banyak racun dalam tubuh. Racun telah
mempengaruhi proses metabolisme dalam tubuh.
1.1.1.3 Manifestasi klinis CKD-MBD sering muncul sebagai gejala nyeri tulang
yang tidak spesifik dan sulit dibedakan dari nyeri karena sebab lain sehingga
seringkali tidak dikenali. Gejala awal berupa nyeri yang tidak spesifik ini
membuat kasus CKD-MBD mungkin tidak terdiagnosis dini oleh klinisi.
Diagnosis seringkali baru dapat ditegakkan saat keluhan sudah semakin berat
seperti berjalan pincang, keterbatasan gerak dan tidak mampu berjalan sama sekali
atau bila anak mengalami fraktur akibat osteoporosis.
1.1.2 Komplikasi
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami
beberapa komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare antara
lain adalah:
16

1. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme, dan


masukan diit berlebih.
2. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiotensin aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan
kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik.
6. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
7. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.
8. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
9. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.
10. chronic kidney disease mineral bone disorder (CKD-MBD)
1.1.3 Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologi
Ditujukan untuk menilai keadaan ginjal dan derajat komplikasi ginjal.
a. Ultrasonografi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal dan
adanya massa kista, obtruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
b. Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan
untuk diagnosis histologis.
c. Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
d. EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan
asam basa.
2. Foto Polos Abdomen
Menilai besar dan bentuk ginjal serta adakah batu atau obstruksi lain.
3. Pielografi Intravena
Menilai sistem pelviokalises dan ureter, beresiko terjadi penurunan faal ginjal
pada usia lanjut, diabetes melitus dan nefropati asam urat.
4. USG
17

Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkin ginjal, anatomi sistem
pelviokalises, dan ureter proksimal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi sistem
pelviokalises dan ureter proksimal, kandung kemih dan prostat.
5. Renogram
Menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi gangguan (vaskuler, parenkhim)
serta sisa fungsi ginjal
6. Pemeriksaan Radiologi Jantung
Mencari adanya kardiomegali, efusi perikarditis
7. Pemeriksaan radiologi Tulang
Mencari osteodistrofi (terutama pada falangks /jari) kalsifikasi metatastik
8. Pemeriksaan radiologi Paru
Mencari uremik lung yang disebabkan karena bendungan.
9. Pemeriksaan Pielografi Retrograde
Dilakukan bila dicurigai adanya obstruksi yang reversible
10.EKG
Untuk melihat kemungkinan adanya hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia karena gangguan elektrolit (hiperkalemia)
11.Biopsi Ginjal
Dilakukan bila terdapat keraguan dalam diagnostik gagal ginjal kronis atau
perlu untuk mengetahui etiologinya.
12.Pemeriksaan laboratorium menunjang untuk diagnosis gagal ginjal
a. Laju endap darah
b. Urin
1)Volume: Biasanya kurang dari 400 ml/jam (oliguria atau urine tidak ada
(anuria).
2)Warna: Secara normal perubahan urine mungkin disebabkan oleh pus /
nanah, bakteri, lemak, partikel koloid, fosfat, sedimen kotor, warna
kecoklatan menunjukkan adanya darah, miglobin, dan porfirin.
3)Berat Jenis: Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan
kerusakan ginjal berat).
4)Osmolalitas: Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan
tubular, amrasio urine / ureum sering 1:1.
18

c. Ureum dan Kreatinin


1)Ureum:
2)Kreatinin: Biasanya meningkat dalam proporsi. Kadar kreatinin 10
mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5).
d. Hiponatremia
e. Hiperkalemia
f. Hipokalsemia dan hiperfosfatemia
g. Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia
h. Gula darah tinggi
i. Hipertrigliserida
j. Asidosis metabolik
1.1.4 Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga yaitu:
1.1.4.1 Konservatif
1. Dilakukan pemeriksaan Lab. Darah dan urin
2. Observasi balance cairan
3. Observasi adanya odema
4. Batasi cairan yang masuk
1.1.4.2 Dialysis
1. Peritoneal dialysis biasanya dilakukan pada kasus – kasus emergency.
Sedangkan dialysis yang bisa dilakukan dimana saja yang tidak bersifat akut
adalah CAPD (Continues Ambulatori Peritonial Dialysis).
2. Hemodialisis yaitu dialisis yang dilakukan melalui tindakan infasif di vena
dengan menggunakan mesin. Pada awalnya hemodiliasis dilakukan melalui
daerah femoralis namun untuk mempermudah maka dilakukan:
3. AV fistule: menggabungkan vena dan arteri
4. Double lumen: langsung pada daerah jantung (vaskularisasi ke jantung)
1.1.4.3 Operasi
1.Pengambilan batu
2.Transplantasi ginjal
Pasien gagal ginjal memang harus menjaga pola makannya dengan cukup
ketat. Pasalnya, banyak makanan yang mungkin bergizi untuk orang yang tidak
19

memiliki gagal ginjal, justru bisa memperparah kondisi penyakit ini. Nah, pola
makan yang sering kali dianjurkan bagi pasien gagal ginjal adalah diet rendah
protein. Diet rendah protein adalah pola makan yang membatasi protein dari
makanan atau konsumsi sehari-hari. Pada diet ini, asupan proteinnya lebih rendah
dari kebutuhan normal. Diet rendah protein diberikan kepada seseorang yang
mengalami penurunan fungsi ginjal menahun atau penyakit gagal ginjal kronis.
Tujuan diet ini menurut Kementerian Kesehatan adalah mencukupi kebutuhan zat
gizi agar sesuai dengan fungsi ginjal, mengatur keseimbangan cairan dan
elektrolit,  memperlambat penurunan fungsi ginjal lebih lanjut, serta menjaga
stamina agar pasien dapat beraktivitas normal.
Membatasi asupan protein pada pasien gagal ginjal bukan tanpa sebab.
Protein yang Anda konsumsi akan dicerna dan dipecah menjadi asam amino oleh
tubuh dengan bantuan enzim. Pencernaan protein ini akan dimulai dari lambung
kemudian usus. Asam amino yang dicerna oleh tubuh akan lantas dibawa oleh
aliran darah dan dikirim ke seluruh bagian tubuh yang membutuhkan. Tubuh
sendiri membutuhkan jumlah asam amino yang berbeda-beda, tergantung jenis
asam aminonya. Protein yang telah selesai dicerna akan diproses oleh ginjal dan
dibuang jika tidak diperlukan lagi. Zat pembuangan hasil pencernaan protein yang
dikeluarkan oleh ginjal adalah urea pada urine (air kencing). Semakin banyak
protein dicerna tubuh, semakin banyak pula asam amino yang disaring oleh ginjal
dan membuat ginjal Anda bekerja lebih keras. Terutama jika Anda adalah pasien
gagal ginjal kronis yang ginjalnya sudah tidak bisa berfungsi dengan baik. Ini
alasannya kenapa pasien gagal ginjal harus membatasi asupan protein.
Asupan protein yang dikonsumsi oleh pasien gagal ginjal harus berbeda
dengan orang yang tidak memiliki masalah gangguan ginjal.
Menurut Kementerian Kesehatan, asupan protein dalam satu hari yang
direkomendasikan untuk pasien gagal ginjal adalah 0,6 gram per kilogram berat
badan. Dari rekomendasi tersebut, usahakan agar 60 persennya berasal dari
protein hewani yang memiliki nilai biologis tinggi. Misalnya telur dan daging
ayam, daging sapi, ikan, dan susu. Bahkan telur disebut sebagai sumber protein
yang sempurna karena mempunyai kandungan asam amino yang persis seperti
asam amino yang ada di tubuh.
20

1.2 Konsep Dasar Hemodialisa


1.2.1 Definisi Mesin Hemodialisa
Mesin hemodialisis adalah suatu mesin khusus yang dirancang untuk
hemodialisis. Mesin ini mengatur dialisat dengan sistem proporsional, memantau
tekanan dan konduktivitas dialisat dan darah, mengatur suhu, kecepatan aliran
darah dan dialisat. Terdapat beberapa sensor untuk mendeteksi dan pencegahan
resiko komplikasi, pompa darah untuk mengalirkan darah dan syringe pump untuk
pemberian antikoagulan.
1.2.2 Tujuan Mesin Hemodialisa
Hemodialisis adalah suatu terapi yang mempunyai beberapa tujuan.
Tujuan dari hemodialisis itu sendiri diantaranya adalah untuk menggantikan
fungsi kerja ginjal untuk proses ekskresi (membuang produk sisa metabolisme
dalam tubuh, misalnya ureum, kreatinin, dan produk sisa metabolisme lainnya),
fungsi lainnya seperti menggantikan fungsi ginjal untuk mengeluarkan cairan
tubuh yang pada saat ginjal masih sehat cairan tersebut dikeluarkan berupa urin,
meningkatkan kualitas hidup pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal
serta mempunyai fungsi untuk menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu
pengobatan lainnya.
a. Peralatan Persiapan Hemodialisa
Arterial – Venouse Blood Line (AVBL)
21

1) Arterial Blood Line (ABL) adalah tubing tubing/line plastic yang


menghubungkan darah dari tubing akses vaskular tubuh pasien menuju
dialiser, disebut Inlet ditandai dengan warna merah.

2) Venouse Blood Line adalah tubing/line plasticyang menghubungkan darah


dari dialiser dengan tubing akses vascular menuju tubuh pasien disebut outlet
ditandai dengan warna biru. Priming volume AVBL antara 100-500 ml.
priming volume adalah volume cairan yang diisikan pertama kali pada AVBL
dan kompartemen dialiser. Bagian-bagian dari AVBL dan kopartemen adalah
konektor, ujung runcing, segmen pump, tubing arterial/venouse pressure,
tubing udara, bubble trap, tubing infuse/transfuse set, port biru obat, port
darah/merah herah heparin, tubing heparin dan ujung tumpul.

b. Dialiser (ginjal buatan)

Seperti inilah bentuk tipikal dari hollow fiber dializer. Di dalamnya


terdapat serabut yang memungkinkan darah untuk lewat. Cairan dialisis, yang
merupakan cairan pembersih dipompakan di antara serabut-serabut tersebut.
Serabut tersebut memiliki lubang-lubang halus yang memungkinkan air dan
sampah metabolisme terserap dalam cairan pembersih dan membawanya keluar.
c. Cairan Dialisis (Dialisat)
22

Cairan pencuci yang disebut dialisat, adalah cairan yang membantu


mengeluarkan sampah dan kelebihan air dari tubuh. Cairan ini terdiri dari zat
kimiawi yang membuatnya seperti spon. Dokter akan memberikan spesifikasi
cairan yang sesuai dengan keadaan pasien.
d. Air Water Treatment
Air dalam tindakan hemodialis dipakai sebagai pencampur dialisat peka
(diasol). Air ini dapat berasal dari berbagai sumber, seperti air PAM dan air
sumur, yang harus dimurnikan dulu dengan cara “water treatment” sehingga
memenuhi standar A AMI (Association for the Advancement of Medical
Instrument). Jumlah air yang dibutuhkan untuk satu session hemodilaisis seorang
pasien adalah sekitar 120 Liter.
1.2.3 Proses Hemodialisa
Pada proses hemodialisa, darah dialirkan ke luar tubuh dan disaring di
dalam ginjal buatan (dialyzer). Darah yang telah disaring kemudian dialirkan
kembali ke dalam tubuh. Rata – rata manusia mempunyai sekitar 5,6 s/d 6,8 liter
darah, dan selama proses hemodialisa hanya sekitar 0,5 liter yang berada di luar
tubuh. Untuk proses hemodialisa dibutuhkan pintu masuk atau akses agar darah
dari tubuh dapat keluar dan disaring oleh dialyzer kemudian kembali ke dalam
tubuh. Terdapat 3 jenis akses yaitu arteriovenous (AV) fistula, AV graft dan
central venous catheter.
AV fistula adalah akses vaskular yang paling direkomendasikan karena
cenderung l ebih aman dan juga nyaman untuk pasien. Sebelum melakukan proses
hemodialisa (HD), perawat akan memeriksa tanda-tanda vital pasien untuk
memastikan apakah pasien layak untuk menjalani Hemodialysis. Selain itu pasien
melakukan timbang badan untuk menentukan jumlah cairan didalam tubuh yang
harus dibuang pada saat terapi. Langkah berikutnya adalah menghubungkan
pasien ke mesin cuci darah dengan memasang blod line (selang darah) dan jarum
ke akses vaskular pasien, yaitu akses untuk jalan keluar darah ke dialyzer dan
akses untuk jalan masuk darah ke dalam tubuh. Setelah semua terpasang maka
proses terapi hemodialisa dapat dimulai. Pada proses hemodialisa, darah
sebenarnya tidak mengalir melalui mesin HD, melainkan hanya melalui selang
darah dan dialyzer.
23

Mesin HD sendiri merupakan perpaduan dari komputer dan pompa, dimana


mesin HD mempunyai fungsi untuk mengatur dan memonitor aliran darah,
tekanan darah, dan memberikan informasi jumlah cairan yang dikeluarkan serta
informasi vital lainnya. Mesin HD juga mengatur cairan dialisat yang masuk ke
dialyzer, dimana cairan tersebut membantu mengumpulkan racun – racun dari
darah. Pompa yang ada dalam mesin HD berfungsi untuk mengalirkan darah dari
tubuh ke dialyzer dan mengembalikan kembali ke dalam tubuh.
1.3 Malnutrisi Pada Pasien CKD
Malnutrisi merupakan masalah yang serius pada pasien-pasien gagal ginjal
kronik yang diterapi dengan dialisis. Hal ini berhubungan dengan malnutrisi yang
akan memberikan outcome yang buruk pada pasien (Combe, 2004).
Malnutrisi cukup sering dijumpai pada pasien dialisis dan berhubungan
dengan terjadinya inflamasi kronis. Selain itu, telah dilaporkan bahwa malnutrisi
berkaitan dengan gejala emosi pasien HD (Wang, 2012).
Protein-energy malnutrition (PEM) adalah kondisi berkurangnya
protein tubuh dengan atau tanpa berkurangnya lemak, atau suatu kondisi
terbatasnya kapasitas fungsional yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara
asupandan kebutuhan nutrient, yang pada akhirnya menyebabkan berbagai
gangguan metabolik, penurunan fungsi jaringan, dan hilangnya massa tubuh.
1.3.1 Penyebab Malnutrisi pada pasien CKD
Penurunan status gizi selama gagal ginjal yang progresif dapat disebabkan
oleh gangguan metabolisme pada protein dan energi, kekacauan
hormonal, serta oleh pengurangan spontan energi dalam makanan dan asupan
protein. Namun perlu diingat bahwa pasien yang diobati dengan HD untuk waktu
yang lama menjadi kekurangan gizi meskipun dosis dialisis yang memadai dan
asupan protein yang cukup, beberapa kondisi comorbid juga dapat
berkontribusi untuk PEM antara pasien dialisis. Secara khusus, peradangan
kronis, CVD, diabetes mellitus, dan penyakit lainnya dapat menyebabkan
anoreksia dan malnutrisi.
1.3.1.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya PEM:
1. Asupan nutrisi kurang
1) Restriksi diet berlebihan
24

a. Pengosongan lambung lambat dan diare


b. Komorbid medis lainnya
c. Kejadian sakit dan rawat inap yang berulang
d. Asupan makanan lebih menurun pada hari-hari dialisis
e. Obat-obat yang menyebabkan dispepsia (pengikat fosfat, preparat
besi)
f. Dialisis tidak adekuat
g. Depresi
h. Perubahan sensasi rasa
2) Kehilangan nutrient meningkat
a. Kehilangan darah melalui saluran cerna
b. Kehilangan nitrogen intradialytic
3) Katabolisme protein meningkat
a. Kejadian sakit dan rawat inap yang berulang
b. Komorbid medis lain
c. Asidosis metabolik
d. Katabolisme yang dikaitkan dengan hemodialisis
e. Disfungsi dari the growth hormone-insulin growth factor endocrine axis
f. Efek katabolik beberapa hormon (hormon parathyroid, kortisol,
glukagon)
1.3.2 Peran ginjal dalam metabolisme nutrisi tubuh dan kaitannya dengan
CKD
Ginjal sangat penting untuk menjaga banyak aspek homeostasis metabolik.
Fungsi utama ginjal termasuk penghapusan produk limbah, pengaturan
air, elektrolit dan keseimbangan asam-basa, dan sintesis dan regulasi hormon.
Selain itu, ginjal adalah salah satu organ utama yang terlibat dalam keseimbangan
gizi dalam tubuh. Untuk pengaturan metabolisme glukosa, ginjal menunjukkan
sintetis glukosa beberapa kali lebih tinggi dari pada yang diamati dalam hati.
Pelepasan glukosa oleh ginjal dikenal untuk memperhitungkan rata-rata hingga
20% dari semua glukosa dilepaskan setelah penyerapan utama ke dalam sirkulasi.
Karena ginjal biasanya menyimpan sedikit glikogen dan sel-sel ginjal yang dapat
menyimpan glikogen kekurangan glukosa-6-fosfatase, rilis glukosa dari ginjal
25

dianggap dominan karena glucone ogenesis. Ginjal manusia juga memainkan


peran utama dalam homeostasis dari kolam asam amino tubuh, yang dilakukan
oleh sintesis, degradasi, filtrasi, reabsorpsi dan ekskresi asam amino dalam
tubulus ginjal. Sekitar 50 - 70 g per hari asam amino yang disaring oleh ginjal
yang berfungsi normal dan mereka hampir sepenuhnya diserap kembali oleh
tubulus proksimal. Selain itu, ginjal dapat mensetting asam amino yang beredar di
dalam tubuh. Ginjal terlibat dalam pembuangan utama glutamin dan prolin dari
darah dan pelepasanbeberapa asam amino seperti serin, tirosin dan arginin. Ginjal
juga melepaskan sejumlah kecil dari treonin, lisin dan leusin ke sirkulasi sistemik.
Oleh karena itu, wajar jika perubahan progresif fungsi ginjal atau metabolisme
dapat menyebabkan efek progresif dengan gizi,serta status kardiovaskular.
1.3.3 Penilaian malnutrisi pada penderita CKD
Menetapkan dan memonitor status nutrisi protein-energi pasien dialisis
merupakan kegiatan penting dengan tujuan untuk mencegah, mendiagnosis serta
mengobati PEM. Status nutrisi protein-energi pada dasarnya menggambarkan
status kwantitatif dan kwalitatif protein, baik komponen visceral (non otot)
maupun somatik (otot), serta status keseimbangan energi. Sampai dengan
sekarang secara definitif belum ada cara tunggal yang bisa dianggap sebagai
standar emas untuk menilai status nutrisi maupun menilai respon intervensi
nutrisi. Dewasa ini didapatkan banyak cara untuk menetapkan status nutrisi,
sehingga disesuaikan dengan sarana yang ada, bisa dilakukan sebanyak mungkin
cara yang bisa membantu menetapkan status nutrisi pasien dialisis. Metode dan
cara untuk menetapkan adanya PEM pada pasien yang menjalani dialisis, secara
klasik dibagi menjadi 4 kategori, yaitu: penilaian terhadap selera makan dan
asupan makanan (assessment of appetite and dietary intake), penilaian
berdasarkan pemeriksaan biokimiawi dan laboratorium (biochemical and
laboratory assessment), pengukuran komposisi tubuh (body composition
measures), dan sistim skoring nutrisi (nutritional scoring system).
26
27

1.4 Manajemen Asuhan Keperawatan


1.4.1Pengkajian
1. Identitas
Secara otomatis, tidak faktor jenis kelamin dan usia yang signifikan dalam
proses pembentukan batu. Namun, angka kejadian urolgitiasis dilapangan sering
kali terjadi pada laki-laki dan pada masa usia dewasa. Hal ini dimungkinkan
karena pola hidup, aktifitas, dan geografis.
2. Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti DM, glomerulo
nefritis, hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme, obstruksi saluran kemih, dan
traktus urinarius bagian bawah juga dapat memicu kemungkinan terjadinya CKD.
3. Pola nutrisi dan metabolik.
Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam kurun
waktu 6 bulan. Tandanya adalah anoreksia, mual, muntah, asupan nutrisi dan air
naik atau turun.
4. Pola eliminasi
Gejalanya adalah terjadi ketidak seimbangan antara output dan input. Tandanya
adalah penurunan BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi peningkatan suhu dan
tekanan darah atau tidak singkronnya antara tekanan darah dan suhu.
5. Pengkajian fisik
a. Penampilan / keadaan umum.
28

Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran


pasien dari compos mentis sampai coma.
b. Tanda-tanda vital.
Tekanan darah naik, respirasi rate naik, dan terjadi dispnea, nadi
meningkat dan reguler.
c. Antropometri.
Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan nutrisi,
atau terjadi peningkatan berat badan karena kelebihan cairan.
d. Kepala.
Rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat kotoran
telinga, hidung kotor dan terdapat kotoran hidung, mulut bau ureum, bibir
kering dan pecah-pecah, mukosa mulut pucat dan lidah kotor.
e. Leher dan tenggorok.
Peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada leher.
f. Dada
Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar. Terdapat otot
bantu napas, pergerakan dada tidak simetris, terdengar suara tambahan
pada paru (rongkhi basah), terdapat pembesaran jantung, terdapat suara
tambahan pada jantung.
g. Abdomen.
Terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut buncit.
h. Genital.
Kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi,
terdapat ulkus.
i. Ekstremitas.
Kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema, pengeroposan
tulang, dan Capillary Refill lebih dari 1 detik.
j. Kulit.
Turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan mengkilat /
uremia, dan terjadi perikarditis.

1.4.2Diagnosa Keperawatan
29

Diagnosis keperawatan adalah sebuah label singkat, menggambarkan


kondisi pasien yang diobservasi di lapangan. Kondisi ini dapat berupa masalah-
masalah aktual atau potensial. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada
pasien dengan CKD on HD yaitu sebagai berikut:
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (SDKI. D.0077 Hal.
172)
2) Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan integritas kulit. (SDKI.
D.0142. HAL 304)
3) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan hormone aldosterone restensi
Na, edema
4) Gangguan Pertukaran Gas .berhubungan dengan adanya edema (SDKI
D.0001 Hal 18)
5) Penurunan kapasitas intra adaptif kranial berhubungan dengan 02 keotak
berkurang. (SDKI D.0066 Hal 149)
6) Perfusi jaringan serebral tidak efektif berhubungan dengan infark jaringan
serebral. (SDKI D.0017 Hal 51)
7) Defisit perawatan diri berhubungan dengan tirah baring lama. (SDKI D.0109
Hal 240)
8) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan tirah baring lama. (SDKI
D.0054 Hal 124)
9) Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan 02 keotak berkurang.
(SDKI D.0119 Hal 264)
10) Risiko defisit nutrisi berhubungan dengan menelan terganggu atau tidak
simetris. (SDKI D.0032 Hal 81)
11) Risiko luka tekan berhubungan dengan tirah baring lama. (SDKI D.0144 Hal
308)
30

1.4.3 Intervensi
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
1 Diagnosa 1 Tingkat nyeri (L.08066 Hal. 145) Manajemen nyeri (I.08238 Hal.201)
Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan keperawatan Observasi :
berhubungan selama 1x7 jam diharapkan nyeri pada  Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
dengan agen pasien berkurang dengan kriteria kualitas, intensitas nyeri
pencedera fisik hasil :  Identifikasi skala nyeri
(D.0077 Hal. 172)  Keluhan nyeri menurun (Skor 5)  Identifikasi respon nyeri nonverbal
 Meringis menurun (Skor 5)  Identifikasi factor yang memperingan dan memperberat
 Gelisah menurun (Skor 5) nyeri
 Kesulitan tidur menurun (Skor 5)  Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
 Frekuensi nadi membaik (Skor 5)  Identifikasi budaya terhadap respon nyeri
 Tekanan darah membaik (Skor 5)  Identifikasi pengaruh nyeri terhadap kualitas hidup
 Pola napas membaik (Skor 5) pasien
 Monitor efek samping penggunaan analgetik
 Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah
diberikan
Terapeutik :
 Fasilitasi istirahat tidur
 Kontrol lingkungan yang memperberat nyeri (missal:
suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan).
 Beri tekni non farmakologis untuk meredakan nyeri
(aromaterapi, terapi pijat, hypnosis, biofeedback, teknik
imajinasi terbimbimbing, teknik tarik napas dalam dan
kompres hangat/dingin)
31

Edukasi :
 Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
 Jelaskan strategi meredakan nyeri
 Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
 Anjurkan monitor nyeri secara mandiri
Kolaborasi :
 Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
32

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


Keperawatan
2 Resiko infeksi Control resiko (L.14128) Pencegahan Infeksi (I.14539, hal: 278)
berhubungan Setelah diberikan asuhan kep selama Observasi :
dengan kerusakan 1x7 jam diharapkan resiko infeksi  Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
integritas kulit. teratasi. Terapeutik :
(SDKI. D.0142. Kriteria hasil:  Batasi jumlah pengunjung
HAL 304)  Kemampuan mengidentifikasi  Berikan perawatan kulit pda area edema
factor resiko meningkat (skor 5)  Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien
 Kemampuan menghindari factor dan lingkungan pasien
resiko meningkat (skor 5)  Pertahankan teknik aseptik pada pasien beresiko tinggi
 Penggunaan fasilitas kesehatan Edukasi :
meningkat (skor 5)  Jelaskan tanda dan gejala infeksi
 Perubahan status kesehatan  Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
meningkat (skor 5)  Ajarkan etika batuk
 Ajarkan cara memeriksa luka
 Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
Kolaborasi :
 Kolaborasi pemberian antibiotik, jka perlu
33

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


Keperawatan
3 Diagnosa 3 Setelah di lakukan tindakan  Kaji adanya edema ekstremitas.
Kelebihan keperawatan selama 1x7 jam, maka  Istirahatkan/anjurkan pasien untuk tirah baring pada saat
volume cairan diharapkan kelebihan volume cairan edema masih terjadi.
berhubungan berhubungan dengan meningkatnya  Kaji tanda-tanda vital.
dengan hormone aldosteron, retensi Na,  Ukur intake dan output.
meningkatnya edema dapat teratasi dengan kriteria  Edukasi kebutuhan cairan dan elektrolit tubuh.
hormone hasil: Kolaborasi:
aldosteron,  Indikator haluan urin (5)  Berikan diet tanpa garam.
retensi Na,  Kelembaban(1)  Berikan diet rendah protein tinggi kalori.
edema.  Membran(5)  Berikan diuretic.
(SDKI. D.0022  Mukosa (5)  Batasi jumlah pengunjung
Hal 62)  Edema (1)  Berikan perawatan kulit pda area edema
 Turgor Kulit (5)  Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien
dan lingkungan pasien
 Pertahankan teknik aseptik pada pasien beresiko tinggi
Edukasi :
 Jelaskan tanda dan gejala infeksi
 Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
 Ajarkan etika batuk
 Ajarkan cara memeriksa luka
 Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
 Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian antibiotik, jka perlu
34

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


Keperawatan
4 Gangguan SLKI L.01001 SIKI Latihan batuk efektif I.01006 halaman 142
Pertukaran Gas Setelah dilakukan tindakan  Monitor tanda dan gejala infeksi saluran nafas
berhubungan keperawatan selama 1 x 7 jam  Monitor input dan ouput cairan
dengan diharapakan pertukaran gas membaik  Monitor pola napas
Penumpukan Cairan dengan. Terapeutik :
(SDKI D.0001 Hal Kriteria hasil :  Atur posisi semi-Fowler
18)  Gelisah : (1)  Mengajarkan latihan teknik nafas dalam
 Frekuensi napas : (5) Edukasi :
 Pola napas : (5)  Jelaskan tujuan dan prosedur teknik nafas dalam
 Tekanan darah membaik (TD: Kolaborasi :
S=100-130 mmHg, D=60- 90
mmHg)
 Frekuensi nadi membaik (60-100)
 Suhu tubuh membaik (5)
35

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


Keperawatan
5 Penurunan SLKI L.0649 SIKI Manajemen peningkatan tekanan intrakarnial
kapasitas adaptif Setelah diberikan asuhan keperawatan I.06194 hal.205
intrakranial selama 1 x 7 jam, diharapkan Observasi :
berhubungan Penurunan kapasitas adaptif  Identifikasi penyebab peningkatan TIK
dengan 02 keotak intrakarnial stabil. (mis.lesi,gangguan metabolisme,edema serebral)
berkurang. Kriteria Hasil :  Monitor tanda/gejala peningkatan TIK (mis. Tekanan
(SDKI D.0066 Hal  Fungsi kognitif : (5) darah miningkat, tekanan nadi melabar,bradikardia,pola
149)  Gelisah : (1) napas ireguler,kesadaran menurun)
 Tekanan nadi : (5)  Monitor MAP (mean Arterial Pressure)
 Pola napas : (5)  Monitor CVP ( Sentral Venous Pressure), jika perlu
 Respon pupil : (5)  Monitor PAWP, jika perlu
 Tekanan intrakranial : (5)  Monitor PAP, jika perlu
 Monitor ICP (Intra Carnial Pressure), jika tersedia
 Monitor CPP (Cerebral Perfusion Pressure)
 Monitor gelombang ICP
 Monitor status pernapasan
 Monitor intake dan output cairan
 Monitor cairan serebro-spinalis (mis.warna,konsistensi)
Terapeutik :
 Meminimalkan stimulus dengan menyediakan
lingkungan yang tenang
 Berikan posisi semi fowler
 Hindari manuver valsava
 Cegah terjadinya kejang
36

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


Keperawatan
6 Perfusi jaringan SLKI L.02014 SIKI Manajemen peningkatan tekanan intracranial
serebral tidak Setelah dilakukan tindakan I.06294 halaman 205
efektif berhubungan keperawatan selama 1x7 risiko penfusi Obsevasi :
dengan infark serebral tidak efektif meningkat  Identifikasi penyebab TIK
jaringan serebral. dengan kriteria hasil :  Monitor tanda dan gejala peningkatan TIK
(SDKI D.0017 Hal  Tingkat kesadaran (5)  Monitor MAP
51)  Sakit kepala (5)  Monitor CVP
 Gelisah (5)  Monitor PAP
 Nilai rata-rata tekanan darah (5)  Monitor ICP (cerebral perfusion pressure)
 Kesadaran (5)  Monitor status pernapasan
 Monitor intake ouput
Terapeutik :
 Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan
yang tenang
 Berikan posisi semi fowler
 Hindari maneuver valsava
 Cegah terjadinya kejang
 Atur ventilator PaCO2 optimal
Kolaborasi :
 Kolaborasi pemebrian sedasi dan anti konvulsan
 Kolaborasi pemberian diuretic osmosis
 Kolaborasi pemberian pelunak tinja
37

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


Keperawatan
7 Defisit perawatan SLKI L.11103 SIKI dukungan perawatan diri I.11348 Halaman 36
diri berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Obsevasi :
dengan tirah baring selama 1 x7 jam Gangguam defisit  Indentifikasi kebiasaan aktivitas perawatan diri
lama. perawatan diri meningkat dengan kriteria sesuai usia
(SDKI D.0109 Hal hasil :  Monitor tingkat kemandirian
240)  Kemampuan mandi (5)  Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan diri ,
 Kemampuan mengenakan pakaian (5) berpakaian, berhias, dan makan
 Kemampuan makan (5) Terapeutik :
 Melakukan perawatan diri (5)  Sediakan lingkugan yang terapeutik misalnya
 Minat melakukan perawatan diri (5) suasana hangat
 Siapkan keperluan pribadi misalnya parfum
 Damping dalam melakukan perawatan diri sampai
mandiri
 Fasilitasi untuk menerima keadaan ketergantungan
 Fasilitasi kemandirian, bantu jika tidak mampu
melakukan perawatan diri
 Jadwalkan ritinitas perawaan diri
Edukasi :
 Anjurkan melakukan perawatan diri secara konsisten
sesui kemampuan
38

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


Keperawatan
8 Gangguan mobilitas SLKI L.05042 SIKI Dukungan ambulasi I.06171 halaman 22
fisik berhubungan Setelah diberikan asuhan keperawatan Observasi :
dengan tirah baring 1x 7 jam diharapkan mobilisasi klien  Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
lama. mengalami peningkatan.  Indentifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi
(SDKI D.0054 Hal Kriteria hasil:  Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum
124)  Pergerakan ekstermitas : (5) memulai ambulasi
 Kekuatan otot : (5)  Monitor kondisi selama melakukan ambulasi
 Rentang gerak ROM : (5) Terapeutik :
 Kecemasan : (1)  Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat bantu
 Kaku sendi : (1)  Fasilitasi melakukan ambulasi fisik
 Gerakan terbatas : (1)  Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam
 Kelemahan fisik : (1) meningkatkan ambulasi
Edukasi :
 Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi
 Anjurkan melakukan ambulasi dini
 Ajarkan ambulasi sederhana yang haru dilakukan
misalnya berjalan dari tempat tidur ke kursi roda
39

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


Keperawatan
9 Gangguan SLKI. 13118 SIKI Promosi komunikasi defisit bicara I. 13491
komunikasi verbal keperawatan selama 1 x 7 jam gangguan Observasi :
berhubungan komunikasi verbal membaik dengan  Monitor kecepatan, tekanan, kuantitas, volume dan
dengan 02 keotak kriteria hasil : diksi bicara
berkurang.  Kemampuan berbicara: (5)  Monitor proses kognitif, yang berkaitan dengan bicara
(SDKI D.0119 Hal  Kemampuan mendengan: (5)  Monitor frustasi, marah, depresi, atau hal lain yang
264)  Kesesuaian eksperesi wajah/tubuh: (5) menganggu bicara
 Kontak mata: (5)  Identifikasi perilaku emosional dan fisik sebagai
 Pemahaman komunikasi: (5) bentuk komunikasi
Terapeutik :
 Gunakan komunikasi altenatif misalnya menulis, mata
berkedip, papan komunikasi dengan gambar dan huruf,
dan isyarat tangan
 Sesuaikan gaya komunikasi dengan kebutuhan
misalnya berdiri didepan pasien
 Modifikasi lingkungan untuk meminimal bantuan
 Gunakan juru bicara
Edukasi :
 Anjurkan berbicara perlahan
 Kolaborasi :
 Rujuk ke ahli patologi bicara atau terapis
40

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


Keperawatan
10 Risiko defisit SLKI L.03030 SIKI manajemen gangguan makanan I.03111 halaman
nutrisi berhubungan Setelah dilakukan tindakan 177
dengan menelan keperawatan selama 1x7 jam resiko Obsevasi :
terganggu atau defisit nutrisi membaik dengan kriteria  Monitor asupan makanan dan keluarnya makanan dan
tidak simetris. hasil : taran serta kebutuhan kalori
(SDKI D.0032 Hal  Porsi makanan yang dihabiskan : (5) Terapeutik :
81)  Berat Badan : (5)  Timbang berat badan secara rutin
 Indeks massa tubuh IMT : (5)  Diskusi perilakukan makan dan jumlah aktifitas fisik
 Frekuensi makan : (5)  Lakukan kontrak prilaku misalnya target berat badan
 Nafsu Makan : (5)  Damping perilaku ke kamar mandi untuk pengamatan
memuntahkan kembali makanan
Edukasi :
 Anjurkan membuat catatan harian tentang perasaan dan
situasi pemicu pengeluaran maknan
 Ajarkan pengaturan diet yang tepat
 Ajarkan keterampiral koping untuk penyelesaian masalah
perilaku maknan
Kolaborasi :
 Kolaborasi dengan ahli gizi tentang target berat badan,
kebutuhan kalori dan pilihan makanan
41

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


Keperawatan
11 Risiko luka tekan SLKI L.14125 SIKI manajemen sensasi perifer I.06195
berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Obsevasi :
dengan tirah baring selama 1x7 jam risiko luka tekan  Identifikasi penyebab perubahan sensasi
lama. meningkat dengan kriteria hasil :  Identifikasi penggunaan alat pengikat
(SDKI D.0144 Hal  Elastisitas: (5)  Monitor terjadinya paretesia
308)  Hidrasi: (5)  Monitor perubahan kulit
 Kerusakan jaringan menurun: (5)  Monitor adanya tromboemboli
 Kerusakan lapisan kulit menurun: Terapeutik :
(5)  Hindari pemakaian benda-benda yang berlebihan
 Kemerahan menurun: (5) suhunya (terlalu panas atau dingin)
Edukasi :
 Anjurkan penggunaan thermometer untuk menguji suhu
air
Kolaborasi :
 Kolaborasi pemberian analgetik
 Kolaborasi pemberian kortikosteroid
42

1.4.4Implementasi
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi
ke status kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang
diharapkan. Ukuran intervensi keperawatan yang diberikan kepada klien terkait
dengan dukungan, pengobatan, tindakan untuk memperbaiki kondisi, pendidikan
untuk klien-keluarga, atau tindakan untuk mencegah masalah kesehatan yang
muncul dikemudian hari. Untuk kesuksesan pelaksanaan implementasi
keperawatan agar sesuai dengan rencana keperawatan, perawat harus mempunyai
kemampuan kognitif (intelektual), kemampuan dalam hubungan interpersonal,
dan keterampilan dalam melakukan tindakan. Proses pelaksanaan implementasi
harus berpusat kepada kebutuhan klien, faktor-faktor lain yang mempengaruhi
kebutuhan keperawatan, strategi implementasi keperawatan, dan kegiatan
komunikasi.
1.4.5Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan
yg menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan
pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. Perawat dapat memonitor kealpaan yg
terjadi slm tahap pengkajian, diagnosa, perencanaan, dan pelaksanaan tindakan.
43

DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, Arif. 2018. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika
NANDA, 2012, Diagnosis Keperawatan NANDA: Definisi dan Klasifikasi.
Price, Sylvia Anderson. (2011). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: EGC
Rumantir CU. Gangguan perkemihan. Pekanbaru: SMF RSUD Arifin Achmad/FK
UNRI. Pekanbaru, 2013.
Smeltzer SC, Brenda GB. Keperawatan Medikal-Bedah edisi 8 vol.1. Jakarta:
EGC, 2011.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim pokja SLKI DPP PPNI. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi
Dan Kretria Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
44

Anda mungkin juga menyukai