Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN CKD STAGE V ON HD DENGAN

VASCULAR ACCES DISFUNCTION

OLEH:
Solehun
2021-01-14901-069

YAYASAN STIKES EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PROGRAM PROFESI NERS ANGKATAN IX
TAHUN 2021/2022
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan ini di susun oleh :


Nama : Solehun
NIM : 2021.01.14901.069
Program Studi : Profesi Ners
Judul : Asuhan Keperawatan Pada Tn. G Dengan Diagnosa Medis CKD
(Chronic Kidney Disease) Stage V On HD Dengan Anemia Di
Ruang Hemodialisa Rumah Sakit Universitas Airlangga

Telah melakukan asuhan keperawatan sebagai persyaratan untuk menyelesaikan


Stase Keperawatan Medikal Bedah Program Studi Profesi Ners Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Eka Harap Palangka Raya.

Asuhan Keperawatan ini telah disetujui oleh:

Pembimbing Klinik

Erna Kustiyaningsih, S.Kep.,Ners.


KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa Karena atas
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan pendahuluan yang berjudul
“Asuhan Keperawatan Pada Tn. G Dengan Diagnosa Medis CKD (Chronic Kidney
Disease) Stage V On HD Dengan Anemia Di Ruang Hemodialisa Rumah Sakit
Universitas Airlangga”
Penyusun menyadari tanpa bantuan dari semua pihak maka laporan studi kasus ini
tidak akan selesai sesuai dengan waktu yang diharapkan. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini pula penyusun mengucapkan banyak terima kasih terutama kepada:
1. Ibu Maria Adelheid Ensia, S.Pd., M.Kes selaku Ketua STIKES Eka Harap
Palangka Raya.
2. Ibu Meilitha Carolina, Ners., M.Kep selaku ketua program studi Sarjana
Keperawatan.
3. Ibu Erna Kustiyaningsih, S.Kep,Ners selaku pembimbing Klinik yang telah
memberikan bantuan dalam proses praktik lapangan dan penyelesaian asuhan
keperawatan dan laporan pendahuluan ini.
4. Orang tua kami, keluarga kami, dan orang terdekat yang telah memberikan
bimbingan, motivasi dan bantuan kepada saya dalam hal material.
5. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan studi kasus ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan
studi kasus ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari
semua pihak yang bersifat membangun untuk menyempurnaan penulisan studi kasus ini.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih dan semoga laporan studi kasus ini
bermanfaat bagi kita semua.
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Chronic Kidney Disease (CKD) atau gagal ginjal kronik adalah suatu penyakit
dimana ginjal mengalami penurunan fungsi yang progresif dan ireversibel. The Kidney
Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of The National Kidney Foundation
menyebutkan bahwa CKD adalah penyakit ginjal yang telah berlangsung selama lebih
2
dari 3 bulan dan penurunan LFG (Laju Filtrasi Glomerulus) sebanyak 60 ml/min/1.73m
(Lewis, 2011).
Data dari United States Renal Data System (USRDS) pada tahun 2014
menunjukan bahwa prevalensi kejadian CKD di Amerika Serikat meningkat setiap
tahunnya, tercatat sebanyak 2,7 juta jiwa pada tahun 2011 dan tercatat menjadi 2,8 juta
jiwa ditahun 2012. Prevalensi penyakit CKD di Indonesia pada tahun 2013 sebanyak
0,2% sedangkan di Jawa Tengah prevalensinya sebanyak 0,3% (Riskesdas, 2013).
Penyakit CKD sering tidak teridentifikasi sampai pada tahap 3 karena bersifat
asymptomatic atau tanpa gejala hingga tahap uremik akhir tercapai. Uremia adalah
sindrom atau gejala yang terkait dengan CKD. Adanya uremia tersebut akan
mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit, pengaturan dan fungsi endokrin
ginjal rusak, dan akumulasi produk sisa secara esensial memengaruhi setiap sistem
organ lain (Lemone, 2012; Black & Hawks, 2009). Penyakit CKD akan mempengaruhi
penurunan LFG dan fungsi ginjal memburuk lebih lanjut, retensi natrium dan air biasa
terjadi. Hal ini dapat menyebabkan resiko edema dan hipertensi, pasien juga akan
merasa cepat lelah, sesak nafas, dan nafsu makan menurun. Penanganan pada pasien
CKD tahap akhir dilakukan beberapa terapi diantaranya yaitu terapi pengganti ginjal
seperti transplantasi ginjal, dialisis peritoneal, maupun hemodialisa (Lemone, 2012;
Tanto, dkk, 2014; Black & Hawks, 2009).
Hemodialisa (HD) adalah sebuah proses yang bertujuan untuk mengeluarkan
produk limbah dan cairan yang berada didalam tubuh, serta menggantikan fungsi ginjal
dalam tubuh yang tidak dapat berfungsi dengan baik (Smeltzer & Bare, 2013). Didunia
saat ini tercatat ada lebih dari 2 juta pasien yang menjalani terapi HD. Pasien HDdi
Amerika Serikat mencapai 350 ribu orang, Jepang 300 ribu orang, sedangkan di
Indonesia hampir mencapai 15 ribu orang (Setiati, dkk, 2014). Hemodialisa menjadi
terapi pengganti ginjal utama disebagian besar negara di dunia dengan prevalensi yang
mencapai angka 2 juta tersebut. Pasien yang memilih terapi pengganti ginjal HD harus
memahami hal-hal penting seperti pembatasan asupan cairan, hal ini mempunyai tujuan
untuk mengurangi resiko edema dan komplikasi kardiovaskuler. Komplikasi
kardiovaskuler pada pasien HD akan meningkatkan angka mortalitas dan morbiditas
lebih dari 50%. Cairan yang dikonsumsi kedalam tubuh harus sama jumlahnya dengan
air yang keluar, maka jumlah asupan cairan harus dibatasi sesuai dengan jumlah urine
yang keluar pada hari sebelumnya ditambah dengan cairan yang keluar melalui
insensible water losses (IWL) (Setiati, dkk, 2014; Smeltzer & Bare, 2013). Cairan yang
dikonsumsi pasien CKD harus diawasi dengan benar. Sebagian besar pasien merasa
kesulitan untuk membatasi asupan cairan yang masuk, karena tidak mendapatkan
pengetahuan atau tidak paham bagaimana cara yang bisa memudahkan pasien dalam
pembatasan asupan cairan tersebut. Salah satu faktor yang diperlukan dalam
pembatasan asupan cairan adalah pengetahuan (Tovazzi & Mazzoni, 2012).
Pengetahuan adalah sesuatu yang dihasilkan dari panca indera manusia, atau hasil
“tahu” seseorang terhadap objek tertentu melalui panca indera yang dimilikanya.
Pengetahuan akan mempengaruhi bagaimana seseorang akan bersikap terhadap sesuatu,
sikap yang terbentuk ini berfungsi sebagai pendukung seseorang untuk melakukan suatu
tindakan tertentu (Notoatmodjo, 2012). Terbentuknya tindakan dari hasil pengetahuan
pasien HD akan menunjang kepatuhan pasien dalam membatasi asupan cairannya
sehingga dapat mengurangi resiko komplikasi. Keluarga pasien juga sangat berperan
penting dalam membatasi asupan cairan pasien. Keluarga memiliki fungsi kesehatan
yang berperan sebagai support system dalam pemeliharaan kesehatan anggota
keluarganya. Oleh karena itu, dukungan dan pengetahuan keluarga sangat dibutuhkan
untuk memberikan perhatian dan motivasi, serta mengingatkan pasien untuk selalu
membatasi asupan cairan sesuai dengan anjuran untuk pasien CKD dari tim medis
(Smeltzer & Bare, 2013; Padila, 2012). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Umayah
(2015) tercatat bahwa pasien dengan pengetahuan baik sebanyak 77,8% patuh dalam
membatasi asupan cairannya, sedangkan sebanyak 76,9% pasien dengan pengetahuan
yang kurang tidak patuh dalam membatasi asupan cairan. Sebanyak 61,5% pasien
dengan dukungan keluarga yang kurang baik tidak patuh dalam membatasi asupan
cairan. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Hidayati (2016) yang menunjukan bahwa
pengetahuan pasien HD masih dipengaruhi oleh pemberian konseling tentang
pembatasan asupan cairan, hal ini dibuktikan dengan adanya penurunan Intradialytic
Weight Gain (IDWG) pada kelompok yang diberikan intervensi dengan nilai p 0,003.
Penurunan IDWG pada kelompok intervensi sebanyak 1,92 Kg dari 2,66 Kg, sedangkan
pada kelompok kontrol hanya menurun sampai di angka 2,46 Kg.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana Asuhan Keperawatan dengan diagnosa CKD Stage V On HD dengan
Vascular Access Disfunction ?
1.3 Tujuan Penulisan
1.4 Untuk mengetahui pengkajian keperawatan tentang CKD Stage V On HD dengan
Vascular Access Disfunction
1) Untuk mengetahui diagnosa keperawatan tentang CKD Stage V On HD dengan
Vascular Access Disfunction
2) Untuk mengetahui intervensi keperawatan tentang CKD Stage V On HD
dengan Vascular Access Disfunction
3) Untuk mengetahui implementasi keperawatan tentang CKD Stage V On HD
dengan Vascular Access Disfunction
4) Untuk mengethui evaluasi tentang CKD Stage V On HD dengan Vascular
Access Disfunction
1.5 Manfaat Penulisan
1) Manfaat Teoritis
Menambah pengetahuan, wawasan, serta untuk bahan kajian tentang hubungan
antara kepatuhan menjalani terapi hemodialisa dan kualitas hidup pasien chronic kidney
disease (CKD).
2) Manfaat Praktis
a. Bagi Rumah Sakit
Manfaat penulisan laporan asuhan keperawatan ini bagi rumah sakit yaitu dapat
digunakan sebagai acuan dalam melakukan tindakan asuhan keperawatan bagi pasien
khususnya dengan CKD Stage V On HD dan melakukan pencegahan dengan memberi
penyuluhan kesehatan kepada pasien yang beresiko CKD Stage V On HD dengan
Vascular Access Disfunction
b. Bagi Instansi Akademik
Manfaat praktis bagi instansi akademik yaitu dapat digunakan sebagai referensi
bagi institusi pendidikan untuk mengembangkan ilmu tentang asuhan keperawatan pada
pasien dengan CKD Stage V On HD dengan Vascular Access Disfunction
e. Bagi Mahasiswa
Manfaat penulisan laporan asuhan keperawatan bagi mahasiswa yaitu menjadi
sumber referensi dan informasi bagi mahasiswa supaya mengetahui dan lebih
mendalami tentang CKD Stage V On HD dengan Vascular Access Disfunction
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Penyakit


2.1.1 Pengertian
Chronic Kidney Disease merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan
irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit, sehingga menyebabkan uremia (retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah) (Smeltzer & Bare, 2014).

Chronic Kidney Disease adalah suatu proses fisiologis dengan etiologi beragam,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan umumnya berakhir dengan
gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Hal ini terjadi bila
laju filtrasi glomerulus kurang dari 50ml/menit (Sudoyo, 2006).

Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Chronic Kidney


Disease merupakan suatu sindrom klinis ginjal yang bersifat menahun, progresif dan
irreversible yang disebabkan oleh penurunan filtrasi glomerulus kurang dari 50ml/menit
yang akan mengakibatkan terjadinya uremia.

2.1.2 Etiologi

Menurut Muttaqin (2011) banyak kondisi klinis yang bisa menyebabkan


terjadinya gagal ginjal kronis. Akan tetapi, apapun penyebabnya, respon yang terjadi
adalah penurunan fungsi ginjal secara progresif. Kondisi klinis tersebut antara lain :

a. Penyakit dari ginjal


1) Penyakit pada glomerulus : glomerulonefritis.
2) Infeksi kuman : pyelonefritis, ureteritis.
3) Nefrolitiasis.
4) Kista di ginjal : polcystic kidney.
5) Trauma langsung pada ginjal.
6) Keganasan pada ginjal.
7) Obstruksi : batu, tumor, penyempitan atau striktur.
b. Penyakit di luar ginjal
1) Penyakit sistemik : diabetes mellitus, hipertensi, kolesterol tinggi.
2) Dyslipidemia.
3) Infeksi di badan : TBC paru, sipilis, malaria, hepatitis.
4) Pre eklamsia.
5) Obat – obatan.
6) Kehilangan cairan yang mendadak (luka bakar).
Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI, 2000, dalam Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006) mencatat penyebab Chronic Kidney Disease
yang menjalani hemodialisa di Indonesia, yaitu :

Tabel 1.1 Etiologi Chronic Kidney Disease di Indonesia

Penyebab Insiden

Glomerulonefritis 46,39%

Diabetes Melitus 18,65%

Obstruksi dan infeksi 12,85%

Hipertensi 8,46%

Sebab lain 13,65%

(Sumber : Sudoyo, 2006)


2.1.3 Klasifikasi

Klasifikasi stadium pada pasien Chronic Kidney Disease ditentukan oleh nilai laju
filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi yang
lebih rendah. Kidney Disease Outcome Quality Initiative (KDOQI) (2002)
mengklasifikasikan Chronic Kidney Disease dalam lima stadium , antara lain :

Tabel 1.2

Klasifikasi Penyakit Chronic Kidney Disease

Stadium Fungsi ginjal Laju filtrasi glomerulus (LFG)

(ml/menit/1.73 m2)

Risiko Normal >90 (ada faktor resiko)


Meningkat

Stadium 1 Normal / Meningkat >90 (ada kerusakan ginjal,


proteinuria)

Stadium 2 Penurunan ringan 60 - 89

Stadium 3 Penurunan ringan 30 - 59

Stadium 4 Penurunan berat 15 – 29

Stadium 5 Gagal ginjal <15

(Sumber : KDOQI, 2002)

2.1.4 Patofisiologi

Awal perjalanan penyakit Chronic Kidney Disease tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih
sama. Pengurangan massa ginjal yang mengakibatkan hipertrofi struktural dan
fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi
yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors, hal ini
mengakibatkan terjadinya hiperventilasi dan diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler
dan aliran darah glomerulus.

Proses adaptasi ini berlangsung singkat dan akhirnya timbul proses maladaptasi
berupa sklerosis nefron yang masih tersisa, yang pada akhirnya proses ini diikuti dengan
penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif
lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis–renin–angiotensin–aldosteron intrarenal, ikut
memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas
tersebut. Aktivitas jangka panjang aksis renin–angiotensis–aldosteron, sebagian
diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor ß (TGF-ß). Beberapa
hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik
adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.

Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang
ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah
meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron
yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada LFG sebesar 60% pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik),
tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG
sebesar 30% mulai terjadi keluhan pada psien seperti nokturia, badan lemah, mual,
nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG dibawah 30%
pasien menunjukkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan
tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan
lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi
saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna juga akan terjadi gangguan keseimbangan
air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain
natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang
lebih serius dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement
therapy) antara lain dialysis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan
pada stadium gagal ginjal terminal atau End Stage Renal Disease (Sudoyo, 2006).
Glomerulonfritis Obstruksi dan Diabetic kidney Nefritis hipertensi SLE ( nefritis
kronis infeksi disease lupus )

WOC CKD
( Chronic Kidney Disease ) Gangguan tubulus dan glomerulus

Jaringan ginjal kekurangan O2 dan nutrisi

Penurunan fungsi nefron

Penurunan GFR

BUN dan creatinin meningkat

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

B1 B2 B3 B4 B5 B6
( Breathing ) ( Blood ) ( Brain ) ( Bladder ) ( Bowel ) ( Bone )

Cairan tidak bisa di Penurunan Bun, Kreatinin ↑ Peningkatan Penumpukan zat- Sindrom uremik
keluarkan dari tubuh produksi eritro aktivitas system zat toksin
oleh ginjal protein RAA
Penurunan
Respon
kesadaran Anoreksia
Cairan menumpuk di Masa hidup eritrosit Retensi air dan Na musculoskeletal
paru berkurang dan jumlah ureum pada jaringan
eritrosit menurun otot meningkat
sesak Anemia Penurunan Keram otot,
MK : Risiko MK : Gangguan
produksi urine kelemahan fisik
Jatuh nutrisi kurang dari
Kelelahan kebutuhan
Pola napas MK :
Edema
MK : Gangguan - Intoleransi
MK :
perfusi jaringan Aktivitas
perifer MK : Hipervolemia
- Pola nafas tidak
efektif
- Gangguan
pertukaran gas

Barbara C Long, 2016


2.1.5 Manifestasi Klinis

Sudoyo (2006) berpendapat bahwa stadium paling dini pada gagal ginjal kronis
adalah terjadi kehilangan daya cadang ginjal dan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) masih
normal atau meningkat, mengakibatkan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif
ditandai dengan peningkatan kadar ureum dan kreatinin, manifestasinya antara lain :

a. Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, sesak nafas akibat perikarditis, efusi perikardiak, gagal
jantung akibat penurunan cairan, gangguan irama jantung dan edema.
b. Gangguan integumen
Kulit pucat akibat anemia dan gatal-gatal akibat toksik.
c. Gangguan pulmoner
Suara krekels, batuk dengan sputum kental dan liat, napas dangkal, napas
kussmaul.
d. Gangguan gastrointestinal
Napas berbau ammonia, ulserasi dan perdarahan mulut, anoreksia, mual,
muntah, perdarahan saluran gastrointestinal.
e. Gangguan muskuloskeletal
Kram otot, rasa kesemutan dan terbakar, tremor, kelemahan dan hipertropi
pada otot-otot ekstrimitas.
f. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa
Biasanya retensi garam dan air yang dapat juga terjadi kehilangan natrium
dan dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia.
g. Gangguan endrokrin
Gangguan seksual : libido fertilitas dak ereksi menurun, gangguan menstruasi
dan aminore, gangguan metabolic glukosa lemak dan vitamin
h. Sistem hematologi
Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin, sehingga
rangsangan eritopoesis pada sumsum tulang berkurang.
2.1.6 Komplikasi

a. Hiperkalemia
Akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik, katabolisme dan masukan diet
berlebihan.
b. Perikarditis, efusi perikardial dan tamponade jantung
Akibat retensi produk sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi
Retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem rennin-angiotensin-aldosteron.
d. Anemia
Penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah, perdarahan
gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin dan kehilangan darah selama
hemodialisa.
e. Penyakit tulang
Retensi fosfat, kadar kalsium serum yang rendah, metabolism vitamin D
abnormal, dan peningkatan kadar aluminium.

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang


a. Urin
1) Volume : biasanya kurang dari 400ml/24 jam atau tak ada (anuria)
2) Warna : secara abnormal urin keruh kemungkinan disebabkan oleh pus,
bakteri, lemak, fosfat atau uratsedimen kotor, kecoklatan menunjukkkan
adanya darah, Hb, mioglobin, porfirin.
3) Berat jenis : kurang dari 1,010 menunjukkn kerusakan ginjal berat
4) Osmoalitas : kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakn ginjal tubular
dan rasio urin/serum sering 1:1
5) Klirens kreatinin : mungkin agak menurun
6) Natrium : lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi
natrium
7) Protein : Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkkan kerusakan
glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada
b. Darah
1) BUN/ kreatinin : meningkat, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahap akhir
2) Ht : menurun pada adanya anemia. Hb biasanya kurang dari 7-8 gr/dl
3) SDM : menurun, defisiensi eritropoitin
4) GDA : asidosis metabolik, ph kurang dari 7,2
5) Natrium serum : rendah
6) Kalium : meningkat
7) Magnesium : meningkat
8) Kalsium : menurun
9) Protein (albumin) : menurun
c. Osmolalitas serum : lebih dari 285 mOsm/kg
d. Pelogram retrograde : abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
e. Ultrasono ginjal : menentukan ukuran ginjal dan adanya masa , kista,
obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas
f. Endoskopi ginjal, nefroskopi : untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu,
hematuria dan pengangkatan tumor selektif
g. Arteriogram ginjal : mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskular, masa.
h. EKG : ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa
2.1.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan CKD Stage V dapat dibagi menjadi 2 tahap, yaitu : tindakan


konservatif dan dialisis atau transplantasi ginjal (Suharyanto, 2006) :
a. Tindakan konservatif
Tujuan pengobatan pada tahap ini adalah untuk meredakan atau memperlambat
gangguan fungsi ginjal (Suharyanto, 2006).
1. Pengaturan diet protein, kalium, narium
a. Pembatasan protein
Pembatasan asupan protein telah terbukti memperlambat terjadinya gagal ginjal.
Apabila pasien mendapatkan terapi dialisis teratur, jumlah kebutuhan protein
biasanya dilonggarkan 60 – 80 gr/hari (Smeltzer & Bare, 2002).
b. Diet rendah kalium
Hiperkalemia biasanya merupakan masalah pada gagal ginjal lanjut. Diet yang
dianjurkan adalah 40 – 80 mEq/hari. Penggunaan makanan dan obat – obatan
yang tinggi kadar kaliumnya dapat menyebabkan hiperkalemia (Black & Hawks,
2005).
c. Diet rendah natrium
Diet natrium yang dianjurkan adalah 40 – 90 mEq/hari (1-2 gr Na). Asupan
natrium yang terlalu banyak dapat mengakibatkan retensi cairan, edema perifer,
edema paru, hipertensi dan gagal jantung kongestif (Lewis, 2007).
d. Pengaturan cairan
Cairan yang diminum penderita gagal ginjal tahap lanjut harus diawasi dengan
seksama. Parameter yang tepat untuk diikuti selain data asupan dan pengeluaran
cairan yang dicatat dengan tepat adalah pengukuran berat badan harian. Intake
cairan yang bebas dapat menyebabkan beban sirkulasi menjadi berlebihan dan
edema. Sedangkan asupan yang terlalu rendah mengakibatkan dehidrasi,
hipotensi dan gangguan fungsi ginjal.
2. Pencegahan dan pengobatan komplikasi misalnya hipertensi, hiperkalemia,
anemia, asidosis, diet rendah fosfat, pengobatan hiperuresemia.
a. Hipertensi
Manajemen hipertensi pada pasien gagal ginjal kronik menurut Suharyanto
(2006) dapat dikontrol dengan pembatasan natrium dan cairan, dapat juga
diberikan obat antihipertensi seperti metildopa (aldomet, propanolol, klonidin
(catapres). Apabila penderita sedang menjalani terapi hemodialisa, pemberian
antihipertensi dihentikan karena dapat mengakibatkan hipotensi dan syok yang
diakibatkan oleh keluarnya cairan intravaskuler melalui ultrafiltrasi.
b. Hiperkalemia
Hiperkalemia merupakan komplikasi yang paling serius, karena apabila K +
serum mencapai sekitar 7 mEq/L dapat mengakibatkan aritmia dan juga henti
jantung. Hiperkalemia dapat diobati dengan pemberian glukosa dan insulin
intravena, yang akan memasukkan K+ ke dalam sel, atau dengan pemberian
Kalsium Glukonat 10% (Sudoyo, 2009).
c. Anemia
Anemia pada gagal ginjal kronik diakibatkan penurunan sekresi eritropoeitin
oleh ginjal. Pengobatannya adalah pemberian hormone eritropoeitin, yaitu
rekombinan eritropoeitin (r-EPO) selain dengan pemberian vitamin dan asam
folat, besi dan transfusi darah (Sudoyo, 2009).
d. Asidosis
Asidosis ginjal biasanya tidak diobati kecuali HCO3 plasma turun dibawah
angka 15 mEq/L. Bila asidosis berat akan dikoreksi dengan pemberian Na HCO 3
(Natrium Bikarbonat) parenteral. Koreksi pH darah yang berlebihan dapat
mempercepat timbulnya tetani, maka harus dimonitor dengan seksama (Sudoyo,
2009).
e. Diet rendah fosfat
Diet rendah fosfat dengan pemberian gel yang dapat mengikat fosfat di dalam
usus. Gel yang dapat mengikat fosfat harus dimakan bersama dengan makanan
(Sudoyo, 2009).
f. Dialisis dan transplantasi
Pengobatan penyakit gagal ginjal kronik stadium akhir adalah dengan dialisis
dan transplantasi ginjal. Dialisis dapat digunakan untuk mempertahankan pasien
dalam keadaan klinis yang optimal sampai tersedia donor ginjal. Dialisis
dilakukan apabila kadar kreatinin serum biasanya diatas 6ml/100ml pada laki –
laki, sedangkan pada wanita 4 ml/100ml dan LFG kurang dari 4 ml/menit (Black
& Hawks, 2005).

A. VASKULER ACCES DISFUNCTION


1. Definisi
Akses vaskuler adalah istilah yang berarti jalan untuk memudahkan mengeluarkan
darah dari pembuluhnya untuk keperluan tertentu, dalam kasu gagal ginjal terminal
adalah untuk proses hemodialisis.
Untuk melakukan hemodialis intermitten jangka panjang, maka perlu ada jalan
masuk kedalam sistem vaskuler penderita. Darah harus keluar dan masuk tubuh
penderita dengan kecepatan 200 sampai 400 ml/menit.
2. Klasifikasi
2.1 Akses Vaskuler Eksternal (sementara)
2.1.1 Pirau Arterivenosa/Shunt External/AV Shunt Scribner
Shunt Scribner dibuat dengan memasang selang silastic dengan ujung teflon
yang sesuai ke dalam arteri radialis dan vena sefalika pada pergelangan tangan
atau ke dalam arteri tibialis posterior dan vena saphenousus pada pergelangan
kaki. Bila shunt ingin digunakan, maka selang silastic dihubungkan secara
langsung dengan selang darah dan mesin dialisa, jika tidak digunakan maka
selang dihubungkan dengan konektor teflon. Adapun kerugian karena
pemakaian shunt Scribner adalah trombosis, mudah tercabut dan perdarahan.
Karena banyaknya kekurangan shunt Scribner tersebut, maka shunt ini sekarang
sudah jarang dipakai untuk hemodialisis.

2.1.2 Catheter Double Lumen (CDL)


CDL adalah sebuah alat yang terbuat dari bahan plastic PVC yang mempunyai 2
cabang, selang merah (arteri) untuk keluarnya darah dari tubuh ke mesin dan
selang biru (vena) untuk masuknya darah dari mesin ke tubuh (Allen R
Nissesnson, dkk, 2004)

Lokasi penusukan kateter dobel lumen dapat dilakukan dibeberapa tempat yaitu:
2.1.2.1. Vena Femoralis
Pengertian kateter femoralis adalah pemasangan kanul kateter secara
perkutaneous pada vena femoralis. Kateter dimasukkan ke dalam vena femoralis
yang terletak di bawah ligamen inguinalis.

2.1.2.2. Vena Subclavia


Kateter double lumen dimasukkan melalui midclavicula dengan tujuan kateter
tersebut dapat sampai ke suprasternal. Kateter vena subclavikula lebih aman dan
nyaman digunakan untuk akses vascular sementara dibandingkan kateter vena
femoral, dan tidak mengharuskan pasien dirawat di rumah sakit. Hal ini
disebabkan karena rendahnya resiko terjadi infeksi dan dapat dipakai selama 6-8
minggu kecuali ada komplikasi, seperti pneumotoraks, stenosis vena
subklavikula, dan menghalangi akses pembuluh darah di lengan ipsilateral oleh
karena itu pemasangannya memerlukan operator yang terlatih daripada
pemasangan pada kateter femoral. Dengan adanya komplikasi ini maka kateter
vena subklavikula ini sebaiknya dihindari dari pasien yang mengalami fistula
akibat hemodialisa.

2.1.2.3. Vena Jugularis Internal


Kateter dimasukkan pada kulit dengan sudut 200 dari sagital, dua jari di bawah
clavicula, antara sternum dan kepala clavicula dari otot sternocleidomastoideus.
Pemakaian kateter jugularis internal lebih aman dan nyaman. Dapat digunakan
beberapa minggu dan pasien tidak perlu di rawat di rumah sakit. Kateter
jugularis internal memiliki resiko lebih kecil terjadi pneumothoraks daripada
subclavian dan lebih kecil terjadi thrombosis. Oliver, Callery, Thorpe, Schwab
& Churchill (2000) mengatakan bahwa dari 318 pemakaian kateter pada lokasi
tusukan yang baru, terjadi bakteremia 5,4% setelah pemakaian lebih dari 3
minggu pada kateter jugularis internal.
2.2. Akses Vaskuler Internal (permanen)
2.2.1. AV Shunt atau AV Fistula
AV Shunt adalah penyambungan pembuluh darah vena dan arteri dengan tujuan
untuk memperbesar aliran darah vena supaya dapat digunakan untuk keperluan
hemodialisis.
Keuntungan pemakaian AV Shunt dapat digunakan untuk waktu beberapa tahun,
sedikit terjadi infeksi, aliran darahnya tinggi dan memiliki sedikit komplikasi
seperti thrombosis. Sedangkan kerugiannya adalah memerlukan waktu cukup
lama sekitar 6 bulan atau lebih sampai fistula siap dipakai dan dapat gagal
karena fistula tidak matur atau karena gangguan masalah kesehatan lainnya.

Teknik penyambungan atau anatomosis pada AV Shunt adalah sebagai berikut:


2.2.2.1. Side to End
adalah teknik penyambungan dengan menyambungkan pembuluh darah vena
yang dipotong dengan sisi pembuluh darah arteri.

2.2.2.2. Side to side


adalah teknik penyambungan dengan menyambungkan sisi pembuluh darah vena
dengan sisi pembuluh darah arteri.

2.2.2.3. End to End


adalah teknik penyambungan dengan menyambungkan pembuluh darah vena
yang dipotong dengan pembuluh darah arteri yang juga di potong.
2.2.2.4. End to side
adalah teknik penyambungan dengan menyambungkan pembuluh darah arteri
yang dipotong dengan sisi pembuluh darah vena.

Teknik penyambungan side to end merupakan teknik yang tersering dilakukan


karena aliran darah vena yang menuju ke jantung adalah yang terbesar
volumenya dan mencegah terjadinya hipertensi vena selain itu teknik ini juga
dapat mencegah pembengkakan.
2.2.2. AV Graft
AV Graft adalah suatu tindakan pembedahan dengan menempatkan graft
polytetrafluoroethylene (PRFE) pada lengan bawah atau lengan atas (arteri
brachialis ke vena basilica proksimal). Keuntungannya graft ini dapat dipakai
dalam waktu lebih kurang 3 minggu untuk bias dipakai. Kerugiannya dapat
terjadi thrombosis dan infeksi lebih tinggi daripada pemakaian AV Shunt.
Akhir-akhir ini di temukan bahwa graft PTFE dilakukan pada dinding dada
(arteri aksilaris ke vena aksilaris atau arteri aksilaris ke vena jugularis) atau pada
paha (arteri femoralis ke vena femoralis).

3. Permasalahan Akses Vaskuler dan Penanggulangan Masalah


3.1. Permasalahan Akses Vaskuler
Akses vaskuler dapat menyebabkan masalah yang memerlukan tindakan bahkan
pembedahan. Masalah yang paling sering adalah sumbatan dan infeksi. Infeksi
terjadi akibat migrasi mikroorganisme dari kulit pasien melalui lokasi tusukan
kateter dan turun kepermukaan luar kateter atau dari kateter yang terkontaminasi
selama prosedur. Sedangkan trombosis dapat terjadi setelah pemasangan kateter
karena kesalahan teknik.

Dan yang paling sedikit masalahnya adalah AV Fistula. Walaupun demikian


bukan berarti AV fistula tidak mempunyai masalah. AV graft paling sering
bermasalah dalam bentuk sumbatan oleh bekuan darah dan trombus serta
infeksi. Umur AV graft ini biasanya jauh lebih pendek dibandingkan AV fistula.
Jika terjadi infeksi AV graft harus segera dibuang.

Kateter vena sering bermasalah akibat infeksi ataupun sumbatan oleh bekuan
darah. Pada kateter tunneled dapat diberikan antibiotika untuk mengatasi infeksi
sementara pada kateter non tunneled harus segera diganti. Pada pemakaian
kateter subclavia lebih sering terjadi stenosis vena sentral.
3.2. Penanggulangan Masalah
3.2.1 Stenosis Vena Sentral
Penderita biasanya datang dengan keluhan akses tidak dapat digunakan,
tangan bengkak dan kemerahan. Kadang kadang bisa juga kronik dan
penderita datang dengan keluhan pembuluh darah dilengan menonjol pada
beberapa tempat dan jika selesai hemodialisa darah susah berhenti.
Sumbatan biasanya akibat tusukan bekas akses HD didaerah leher dan
dada yang menyempit.Untuk mengatasi masalah ini dilakukan venografi
untuk mengetahui lokasi sumbatan dan jika memungkinkan dilakukan
venoplasti.
3.2.2 Pseudoaneurisma
Terjadi benjolan merah dan jika pecah terjadi perdarahan hebat. Ini adalah
suatu kondisi emergensi, karena perdarahan biasanya berat. Pada kasus ini
biasanya dilakukan operasi untuk penutupan pseudoaneurisma.
3.2.3 Stenosis Draining Vein
Biasanya penderita datang dengan keluhan akses nya mulai mengalami
masalah dengan mesin. Pada waktu penarikan, darah yang dapat ditarik
tidak mencukupi. Pada kondisi ini dilakukan venografi dan kalau perlu
dilakukan venoplasti.

4. Pemeliharaan Akses Vaskuler Agar Bertahan Lama


a. Kontrol teratur baik kepada nefrologis maupun kepada spesialis bedah vaskular
untuk memastikan akses hemodialisanya tidak bermasalah.
b. Akses harus dijaga tetap bersih.
c. Pastikan bahwa akses digunakan hanya untuk hemodialisa
d. Periksa getaran (thrill) pada akses setiap hari, segera kedokter spesialis bedah
vaskular jika thrill menghilang.
e. Perhatikan tanda infeksi seperti bengkak, mengkilat, kemerahan, ada nanah
f. Tidak boleh mengukur tekanan darah pada lengan yang digunakan untuk akses
HD
g. Jangan menggunakan pakaian ketat dan jam tangan pada lengan yang
digunakan sebagai akses.
h. Jangan sampai tangan yang digunakan sebagai akses tertimpa badan bahkan
bantal pada saat tidur.
i. Jangan mengangkat beban berat dengan menggunakan lengan akses.

2.1.1 Diagnosa Keperawwatan


1) Hipervolemia berhubungan dengan retensi Na dan H2O (SDKI. D.0022. Hal:
62)
2) Risiko Jatuh berhubungan dengan riwayat jatuh (SDKI. D.0143. Hal: 306)
3) Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan kelemahan (SDKI.D.0056. Hal :
128)
2.1.2 Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1 Hipervolemia Setelah dilakukan tindakan Manajemen Hipervolemia SIKI.I. 03114, Hal 181
berhubungan dengan keperawatan selama 1 x 7 jam Observasi
retensi Na dan H2O hipervolemi dapat teratasi dengan 1. Periksa tanda dan gejala hipervolemia (dyspnea,
(SDKI. D.0022. Hal: 62) kriteria hasil: edema, suara nafas tambahan).
SLKI. L. 03020 2. Identifikasi penyebab hipervolemia
1. Asupan Cairan meningkat (1-5) 3. Monitor status hemodinamik (frekuensi jantung,
2. Haluaran urin meningkat (1-5) tekanan darah, MAP)
3. Kelembaban membran mukosa 4. Monitor intake dan output cairan
meningkat (1-5) 5. Monitor tanda hemokonsentrasi
4. Edema menurun (1-5) 6. Monitor tanda peningkatan tekanan onkotik plasma
5. Dehidrasi menurun (1-5) 7. Monitor kecepatan infus secara ketat
6. Tekanan darah membaik (1-5) 8. Monitor efek samping diuretik
7. Denyut nadi radikal membaik (1- Terapeutik
5) 1. Timbang berat badan
8. Tekanan arteri rata-rata membaik 2. Batasi asupan cairan dan garam
(1-5) 3. Tinggikan kepala tempat tidur 30-40o
9. Membran mukosa membaik (1-5) Edukasi
Turgor kulit membaik (1-5) 1. Anjurkan melapor jika haluaran urin <0,5mL/kg/jam
dalam 6 jam
2. Anjurkan melapor jika BB bertambah> 1 Kg dalam
sehari
3. Anjurkan cara mengukur dan mencatat asupan dan
haluaran cairan
4. Ajarkan cara membatasi cairan
Terapeutik
1. Kolaborasi pemberian obat diuretik
2. Kolaborasi penggantian kehilangan kalium akibat
diuretik
2 Risiko jatuh Setelah dilakukan tindakan Observasi
berhubungan dengan keperawatan selama 1 x 7 jam risiko 1. identifikasi faktor jatuh ( mis, usia > 65 tahun, penurunan
riwayat jatuh (SDKI. jatuh dapat teratasi dengan kriteria tingkat kesadaran, defisit kognitif, hipotensi ortotastik,
D.0143. Hal: 306) hasil: gangguan keseimbangan , gangguan penglihatan, neorapati)
1. Jatuh dari tempat tidur cukup Terapeutik
menurun dengan skor 4 1.Orientasikan ruangan pada pasien keluarga
2. Jatuh saat berdiri dengan skor 2.Tempatkan pasien berisiko tinggi jatuh dekat dengan
cukup menurun skor 4 pantauan perawat dari nurse station
3. Jatuh saat berjalan dengan skor Edukasi
cukup menurun skor 4 1.Anjurkan memanggil perawat jika membutuhkan bantuan
4. Jatuh saat dikamar mandi dengan untuk berpindah
skor 4 2. Anjurkan berkonsentrasi untuk menajaga keseimbangan
tubuh
3 Intoleransi Aktivitas Setelah dilakukan tindakan Observasi
keperawatan selama 1 x 7 jam 1. Identifikasi gangguan tubuh yang mengakibatkan
berhubungan dengan
Intoleransi Aktivitas dapat teratasi kelelahan
kelemahan dengan kriteria hasil: 2. Monitor kelelahan fisik dan emasional
1. Kemudahan dalam melakukan Edukasi
(SDKI.D.0056. Hal :
aktivitas sehari- hari dengan skor 3. Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
128) cukup meningkat skor 4 Terapeutik
2. Kekuatan bagian tubuh atas dan 4. Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus
bawah dengan skor 4 5. Lakukan latihan rentang gerak pasif dan/atau aktif
3. Keluhan lelah dengan skor 4
2.1.3 Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan adalah tindakan yang dilakukan sesuai dengan rencana
asuhan keperawatan yang telah disusun sebelumnya berdasarkan tindakan yang
telah dibuat dimana tindakan yang dilakukan mencakup tindakan mandiri dan
kolaborasi.

2.1.4 Evaluasi Keperawatan


Evaluasi menyediakan nilai informasi mengenai pengaruh intervensi yang
telah direncanakan dan merupakan perbandingan dari hasil yang dialami.
Adapun evaluasi keperawatan yang diharapkan sesuai dengan tujuan adalah sebagai
berikut:
a. Pola nafas kembali efektif
b. Tidak ada gangguan perfusi jaringan perifer
c. Volume cairan kembali normal
d. Kebutuhan nutrisi terpenuhi
e. Pasien mampu beraktifitas kembali
f. Tidak terjadi kerusakan integritas kulit
g. Tidak terjadi penurunan curah jantung

Anda mungkin juga menyukai