DISUSUN OLEH:
Evita Peninta Dwi Savitri
030.15.071
PEMBIMBING:
dr. Hendra Samanta, Sp. S
KEPANITERAAN KLINIK
ILMU PENYAKIT SARAF RSAU DR. ESNAWAN ANTARIKSA
PERIODE 2 DESEMBER – 4 JANUARI 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat
dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas referat dalam kepaniteraan
Ilmu Penyakit Saraf dengan judul “Dialysis Disequilibrium Syndrome Pada
Penyakit CKD”. Referat ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam
Kepaniteraan Klinik di Stase Ilmu Penyakit Saraf RSAU dr. Esnawan Antariksa.
Dalam penyusunan tugas referat ini tidak terlepas dari bantuan dan
bimbingan serta dukungan dalam membantu penyusunan dan penyelesaian
makalah ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima
kasih terutama kepada dr. Hendra Samanta, Sp.S selaku pembimbing atas
pengarahannya selama penulis belajar dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Saraf dan kepada para dokter dan staff Ilmu Penyakit Saraf di RSAU dr. Esnawan
Antariksa, serta rekan-rekan seperjuangan dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Saraf.
Tugas ini ditulis berdasarkan acuan dari berbagai sumber yang ada.
Penulis sangat terbuka dalam menerima kritik dan saran karena penyusunan
makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Semoga makalah ini bisa bermanfaat
bagi setiap orang yang membacanya.
030.15.071
LEMBAR PENGESAHAN
iii
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
Ginjal merupakan organ vital bagi kelangsungan hidup manusia. Fungsi utama
ginjal dalam keadaan normal adalah mengatur cairan tubuh, mempertahankan
keseimbangan elektrolit, mengatur keseimbangan asam basa dan pH dalam darah,
serta memiliki fungsi endokrin dan hormonal. Penyakit ginjal kronik (Chronic
Kidney Disease / CKD) adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif dan
ireversibel, dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme
serta keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga menyebabkan uremia. Penyakit
ginjal tahap akhir (End Stage Renal Disease / ESRD) merupakan tahap akhir dari
CKD yang ditunjukkan dengan ketidakmampuan ginjal dalam mempertahankan
homeostasis tubuh.(1,2)
Bila pasien berada pada tahap ESRD, terapi pengganti ginjal menjadi satu-
satunya pilihan untuk mempertahankan fungsi tubuh. Saat ini hemodialisis
merupakan terapi pengganti ginjal yang paling banyak dilakukan dan jumlahnya
dari tahun ketahun terus meningkat. Data dari Indonesia Renal Registry, jumlah
pasien hemodialisis di Indonesia mencapai 2260 orang pada tahun 2008.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa
kelainan structural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju
filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi: kelainan patologis, terdapat
tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin,
atau kelainan dalam tes pencintraan (imaging test)
Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60ml/menit/1,73m2 selama 3
bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
2.1.2 Epidemiologi
CKD merupakan penyakit yang sering dijumpai pada praktik klinik sehari-hari.
Prevalensinya di negara maju mencapai 10-13% dari populasi. Sebuah studi yang
dilakukan Perhimpunan Nefrologi Indonesia melaporkan sebanyak 12,5%
populasi di Indonesia mengalami penurunan fungsi ginjal.(3)
2.1.3 Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu atas dasar derajat
(stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dalam
mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut: (4)
7
Penyakit pada Rejeksi kronik
transplantasi Keracunan obat (sikloporin/takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy
2.1.4 Etiologi
Dari data yang di kumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun
2017 di dapatkan etiologi terbanyak sebagai berikut: hipertensi (36%), nefropati
diabetik atau di kenal diabetic kidney disease (29%), glumerulopati primer (12%),
pielonefritis kronik (7%), nefropati obstruksi (4%), ginjal polikistik (1%),
nefropati asam urat (1%).(6-8)
1. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik
≥ 90 mmHg. Klasifikasi tekanan darah sistolik, diastolik, modifikasi gaya hidup,
serta terapi obat berdasarkan Joint National Committee (JNC) VIII: (6)
2. Nefropati diabetik
Gejala nefropati diabetik dibagi menjadi beberapa tahap, yang paling sederhana
adalah 3 tahap, yaitu mikroalbuminuria (berlangsung 5-15 th); makroalbuminuria
(5-10 th); dan gagal ginjal terminal (3-6 th). Mogensen membagi ND menjadi 5
tahap dengan menambahkan 2 tahap sebelum mikroalbuminuria pada DM tipe 1.
Tahap pertama adalah pembesaran ginjal akibat hiperfiltrasi dan tahap kedua
adalah silent stage dimana ekskresi albumin normal tetapi struktur glomerolus
berubah.(7)
3. Glomerulopati primer
4. Pielonefritis kronik
Pielonefritis kronik adalah penyakit infeksi kronik pada ginjal yang disebabkan
oleh infeksi berulang pada ginjal yang memicu terjadinya perubahan struktur
ginjal berupa fibrosis pada korteks dan dan perubahan bentuk kaliks ginjal dan
atrofi ginjal. Ditandai dengan proteinuria asimptomatik dengan atau tanpa
hematuria, ISK berulang, hipertensi, pada gambaran USG kedua ginjal
mengisut.(6)
9
5. Nefropati obstruksi
6. Ginjal polikistik
Ditandai dengan pembesaran ginjal pada perabaan dengan salah satu atau semua
gejala: protenuria, hematuria, ISK berulang, peningkatan tekanan darah dan nyeri
pinggang. (6)
Nefropati asam urat adalah penyakit ginjal yang disebabkan oleh asam urat atau
kristal urat. Ditandai dengan terdapatnya riwayat gout arthritis yang berulang, ISK
berulang. Hasil laboratorium kadar asam urat biasanya >13mg% pada laki-laki
dan >10mg% pada perempuan, terdapat proteinuria dengan atau tanpa hematuria
tanpa keluhan. (6)
2.1.6 Patofisiologi
Pada stadium paling dini CKD, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal
reserve), pada keadaan mana basal GFR masih normal atau malah meningkat.
Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang
progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada GFR sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan
(asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada GFR sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti,
nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berab badan.
Sampai pada GFR dibawah 30% pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia
yang nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolism
fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga
11
mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih infeksi saluran napas, maupun
infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo
atau hypervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan
kalium. Pada GFR di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih
serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement
therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien
dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.(2)
Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat
kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan
hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan
kelainan kardiovaskular. (10,11)
a. Kelainan hemopoeisis
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL atau
hematokrit < 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum /
serum iron, kapasitas ikat besi total / Total Iron binding Capacity (TIBC), feritin
serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya
hemolisis dan sebagainya.(2,10)
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal
ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah
masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora
usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau
rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini
akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.(10)
c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien
gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat
pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan
saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan
retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering
dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium
pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan
hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal
ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier. (10)
d. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga
berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera
hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak
jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost.
(2,12)
13
e. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi
sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat seperti
konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada
pasien CKD. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien
dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya
(personalitas).
f. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat
kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi
sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada
stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.
Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi: a). sesuai dengan
penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, infeksi traktus urinarius,
batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, lupus eritomatosus sistemik
(LES), dan lain sebagainya. b). Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah,
letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume
overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, pericarditis, kejang-kejang
sampai koma. c). gejala komplikasi lainnya antara lain, hipertensi, anemia,
osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolic, gangguan kesembangan
elektrolit (sodium, kalium, khlorida).
Gambaran Laboratoris
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi: a). sesuai dengan
penyakit yang mendasarinya. B). penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan
kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung dengan
rumus kockcroft-gault. C). kelainan biokimiawi darah, meliputi penurunan
kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemi,
hiponatremi, hipo atau hiperchloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia dan
asidosis metabolic. D). kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria,
leukosuria.
Gambaran radiologi
a). pemeriksaan foto polos abdomen, bias ditemukan batu radioopak. B).
ultrasonografi, memperlihatkan ukuran ginjal mengecil, korteks yang menipis,
adanya hidronefrosis, batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi. C). pemeriksaan
pemindaian ginjal atau renografi yang sering dikerjakan bila ada indikasi. D)
pyelografi intravena sesuai dengan indikasi.
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal
Biopsi dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati
normal, dimana diagnosis secara non invasive tidak bias ditegakkan,
pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk memngtahui etiologi, penerapan
terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi
ginjal indikasi-kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang
sudah mengecil, ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi
perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.(2)
2.1.9 Penatalaksanaan
15
Derajat LFG (ml/mn/1.73m2) Rencana tatalaksana
1 ≥90 terapi penyakit dasar, kondisi kormoboid,
evaluasi perburukan fungsi ginjal
memperkecil risiko kardiovaskular
2 60-89 menghambat perburukan fungsi ginjal
3 30-59 evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 <15 terapi pengganti ginjal
Farmakoterapi menurut NICE Guidelines 2008
Pada GGK dengan diabetes dan ACR lebih dari 2,5 mg/mmol (pria) atau
lebih dari 3,5 mg/mmol (wanita), tanpa adanya hipertensi atau stadium
GGK.
GGK pada non-diabetik dengan hipertensi dan ACR 30 mg/mmol atau
lebih (kira-kira ekuivalen dengan PCR 50 mg/mmol atau lebih,
proteinuria 0,5 gr/24 jam atau lebih)
GGK pada non-diabetik dan ACR 70 mg/mmol atau lebih (kira-kira
ekuivalen dengan PCR 100 mg/mmol atau lebih, proteinuria 1 gr/24 jam
atau lebih), tanpa adanya hipertensi atau penyakit kardiovaskular.
GGK pada non-diabetik dengan hipertensi dan ACR <30 mg/mmol
(kira-kira ekuivalen dengan PCR 50 mg/mmol atau lebih, proteinuria
<0,5 gr/24 jam atau lebih)
Saat menggunakan ACE inhibitor/ARBs, upayakan mencapai dosis
terapi maksimal yang masih dapat ditoleransi sebelum menambahkan
2nd line (spironolakton)
Hal-hal yang perlu diingat saat menggunakan ACE inhibitor/ARBs:
- Orang dengan GGK, harus mengetahui konsentrasi serum potassium
dan perkiraan LFG sebelum memulai terapi. Pemeriksaan ini diulang
antara 1 sampai 2 minggu setelah penggunaan obat dan setelah
peningkatan dosis.
- Terapi ACE inhibitor/ARBs tidak boleh dimulai apabila konsentrasi
serum potassium secara signifikan >0,5 mmol/L
- Keadaan hiperkalemia menghalangi dimulainya terapi tersebut
- Stop terapi tersebut, bila konsentrasi serum potassium meningkat >0,6
mmol/L atau lebih dan obat lain yang diketahui dapat meningkatkan
hiperkalemia sudah tidak digunakan
- Dosis terapi tidak boleh ditingkatkan bila bata LFG saat sebelum
terapi kurang dari 25% atau kreatinin plasma meningkaat dari batas
awal kurang dari 30%
- Apabila perubahan LFG 25% atau lebih atau perubahan kreatinin
plasma 30% atau lebih :
Investigasi adanya deplesi volume ataupun penggunaan NSAIDs
Apabila tidak ada penyebab (yang diatas), stop terapi atau dosis
harus diturunkan dan alternative antihipertensi lain bisa
digunakan
17
c. Pemilihan statin dan antiplatelet
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis,
dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal.(10)
2.1.10 Hemodialisis
19
2.1.11 Komplikasi
- Hiperkalemia dapat terjadi akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik,
katabolisme dan masukan diit berlebih.
- Prikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
- Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiotensin aldosterone.
- Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah
merah.
- Gagal jantung terjadi karena anemia yang mengakibatkan jantung yang harus
bekerja lebih keras, sehingga terjadi pelebaran bilik jantung kiri (LVH).
Lama-kelamaan otot jantung akan melemah dan tidak mampu lagi memompa
darah sebagaimana mestinya.
- penyakit tulang serta kalsifikasi akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan kadar
alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik. (2,13)
2.2.1 Definisi
Pertama kali dideskripsikan pada tahun 1962, DDS adalah suatu gangguan sistem
saraf pusat yang menjadi suatu masalah klinis yang penting pada pasien dialisis.
Gangguan ini ditandai dengan gejala neurologi dengan keparahan yang bervariasi
yang dianggap disebabkan oleh edema serebri. Pasien baru yang mulai menjalani
hemodialysis berada pada resiko terbesar, terutama jika kadar ureum meningkat
secara nyata ( di atas 175 mg/dL atau 60 mmol/L). Faktor predisposisi lain
meliputi asidosis metabolik berat, usia tua, pasien anak, dan adanya penyakit
susunan saraf pusat lainnya seperti bangkitan yang telah ada sebelumnya.(15)
Gejala-gejala mencakup nyeri kepala, mual, kram otot, iritabilitas saraf, agitasi,
mengantuk dan konvulsi. Nyeri kepala, yang dapat bersifat bilateral dan
berdenyut, dapat menyerupai migrain, terjadi pada sekitar 70% pasien, sementara
21
gejala lainnya dijumpai pada 5-10%pasien, biasanya pada pasien yang menjalani
dialisis cepat atau pada tahap awal program dialisis. Gejala-gejala cenderung
berlangsung pada jam ketiga atau keempat saat dialisis dan berlangsung selama
beberapahari. Kadang-kadang muncul 8 hingga 48 jam setelah dialisis.
Gejalagejala ini disebabkan oleh penurunan yang cepat dari ureum, menyebabkan
kadar ureum di otak yang lebih tinggi daripada diserum dan menyebabkan
pergeseran cairan ke dalam otak untuk menyeimbangkan gradien osmotik (reverse
urea syndrome). Sekarang juga diduga bahwa pergeseran air ke dalam otak mirip
dengan intoksikasi air dan disebabkan oleh sekresi hormon antidiuretik yang tidak
sesuai. Gejala hematoma subdural, yang dijumpai pada 3-4 % pasien yang
menjalani dialisisdapat disalahartikan sebagai disequilibrium syndrome.(14)
Gambaran klasik DDS mengacu pada gejala akut yang terjadi selama atau
seketika setelah hemodialysis. Gejala awal meliputi sakit kepala, mual,
disorientation, kegelisahan, pandangan kabur, dan asterixis. Pasien yang lebih
berat akan berkembang ke confusion, bangkitan, pingsan, dan bahkan kematian.
Sekarang telah dikenali, bahwa banyak gejala dan tanda lebih ringan berhubungan
dengan dialisis seperti kram otot, anorexia, dan hoyong yang terjadi pada akhir
dari dialisis adalah juga bagian dari sindrom ini. Insiden DDS bervariasi menurut
populasi pasien. DDS yang berat kini jarang dijumpai pada orang dewasa oleh
karena penggunaan standar rekomendasi berikut ini. Bagaimanapun, anak-anak
tetap berada pada risiko yang besar. Suatu analisa retrospektif 180 anak remaja
dan dewasa muda pada dialisis menemukan bahwa 13 ( 7 persen) mempunyai
dialysis-associated seizures. Hampir semua pasien ini menjalani hemodialysis.
Perkembangan dari gejala diatas selama dialisis menunjukkan DDS.(14)
2.2.3 Patofisiologi
Saat dialisis terjadi proses difusi salut melalui membran semipermeabel dialiser
dan dalam membran semipermeabel pada seluruh kompartemen tubuh dari
kompartemen intraseluler, interstistial dan intravaskuler. Proses difusi ini
seharusnya sama agar terjadi keseimbangan. Penarikan ureum yang terlalu cepat
dari tubuh mengakibatkan plasma darah menjadi lebih hipotonik dari pada cairan
di dalam sel. Akibatnya akan meningkatkan tekanan osmotik. Hal ini
mengakibatkan perubahan signifikan pada cairan cerebrospinal dan sel otak.
Perubahan tekanan osmotik menyebabkan pergerakan air kedalam sel otak
sehingga terjadi edema serebral. Perubahan gradient CO2 antara cairan
serebrospinal dan plasma juga menyebabkan penurunan pH intraseluler dalam
serebral dan jaringan otak. Perubahan ini meningkatkan osmolalitas sel otak
karena peningkatan konsentrasi H+. Edema otak akhirnya akan menyebabkan
disfungsi serebral.(16)
2.2.4 Penatalaksanaan
Pencegahan adalah hal utama dalam terapi DDS, terutama sekali pada pasien yang
baru didialisis yang berada pada resiko paling tinggi. Dialisis awal harus berhati-
hati, tetapi sering diulangi. Tujuannya adalah pengurangan ureum bertahap, yang
akan bersifat melindungi tetapi mungkin tidak mencegah gejala ringan seperti
sakit kepala dan rasa tidak enak badan. Penurunan ureum perlahan dapat dicapai
oleh salah satu dari metoda berikut : dengan hemodialysis, terapi dapat dimulai
dengan dua jam dialisis dengan laju alir darah yang rendah yaitu 150 hingga 250
mL/min dengan suatu dialyzer dengan area permukaan kecil.(17,15)
23
Cara ini, yang dapat diulang tiap hari selama tiga atau empat hari, berbeda dengan
standar yang ada. Jika pasien tidak menunjukkan tanda DDS, laju aliran darah
dapat ditingkatkan hingga 50 mL/min tiap perawatan ( sampai ke 300 hingga 400
mL/min) dan durasi dialisis dapat ditingkatkan dalam 30 menit ( sampai empat
jam atau lebih, sebagaimana diperlukan untuk perpindahan solute adekuat). Pasien
yang juga sudah menunjukkan kelebihan cairan dapat ditangani dengan
ultrafiltration ( yang memindahkan lebih sedikit ureum per unit waktu) yang
diikuti oleh hemodialisis jangka pendek. Pasien dapat dimulai dengan peritoneal
dialisis di mana tingkat yang rendah dari arus darah peritoneal mengakibatkan
suatu bersihan urea per waktu unit yang lebih rendah dari pada dengan
hemodialisis. DDS belum dilaporkan dengan peritoneal dialisis rutin. Beberapa
dokter merekomendasikan pencegahan fenitoin ( dosis awal1000 mg yang diikuti
oleh 300 mg/day sampai uremia dikendalikan) dan/atau administrasi 12.5 g
mannitol hypertonic intravena tiap jam dialisis pada high-risk pasien dengan
azotemia nyata ( ureum di atas 150 hingga 200 mg/dL [ 54 hingga 71 mmol/L])
atau suatu perubahan status mental. Gejala DDS adalah self-limited dan pada
umumnya menghilang dalam beberapa jam. DDS berat dengan bangkitan dapat
dibalikkan dengan cepat dengan peningkatan osmolalitas plasma dengan 5 mL
saline 23% atau 12.5 g mannitol hipertonik.(17,15)
BAB III
KESIMPULAN
Penyakit ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) adalah suatu keadaan klinis yang
di tandai dengan penurunan fungsi ginjal bersifat ireversibel. Kriteria penyakit
ginjal kronik, meliputi (1) kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari
3 bulan, berupa kelainan structural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan
LFG, dengan manifestasi: kelainan patologis, terdapat tanda kelainan ginjal,
termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes
pencintraan (imaging test), (2) LFG kurang dari 60ml/menit/1,73m2 selama 3
bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Pada penyakit ginjal kronik stadium 5 yang ditandai dengan LFG kurang dari 15
ml/menit, terapi yang dapat dilakukan adalah terapi pengganti ginjal. Saat ini
hemodialisis merupakan terapi pengganti ginjal yang paling banyak dilakukan.
Tetapi meskipun hemodialisis aman dan bermanfaat untuk pasien, Berbagai
permasalahan dan komplikasi dapat terjadi saat pasien menjalani hemodialisis.
Salah satu komplikasi intradialisis yang dapat dialami pasien saat menjalani
hemodialisis adalah disequlibrium syndrome.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Levey AS, Coresh J. Chronic kidney disease. Lancet. 2012; 379: 165-180
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing;
2009:1035-37
3. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta E.A. Kapita selekta kedokteran:
edisi 4 jilid 2. jakarta: media aesculapius. 2014.
4. Irshad. Estimation of glomerular filtration rate. Nephrology 2011: 121-8.
5. (Guideline) Kidney Disease: improving global outcomes (KDIGO) CKD
Work Group. KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the evaluation
and management of chronic kidney disease. Kidney Int Suppl. 2013; 3(1)-
150
6. IRR (Indonesia Renal Registry). 2017. 10th Report of Indonesian Renal
Registry [online]. Avalaible:
https://www.indonesianrenalregistry.org/data/IRR%202017%20.pdf
[accesed 02 Juni 2019]
7. Dannis L., Dan L, Eugene B, Stephen L, Jameson J. Harrison"Principles of
Internal Medicine. New York: McGraw-Hill; 2007.
8. Fuller K, Cateriine CG. Pathology : Implication for the Physical therapist.
United States of America : Saunders Elsevier. 2013.
9. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riskesdas 2013. Jakarta:
Badan Litbangkes Kemenkes RI; 2013.
10. Richard JJ, Mark SS, Srinivas T, Ejaz A, Mu W, Ronca C. Essential
hypertension, progressive renal disease, and uric acid: a pathogenetic link.
American Society of Nephrology. 2009; 16(7):1909-19.
11. Williams S, Malatesta K, Norris K. Vitamin d and chronic kidney disease.
Ethnicity & Diseas. 2009: 19(4 Suppl 5):S9.
12. Ozkan G, Ulusoy S. Acute Complication of Hemodialysis. In: Technical
Problems in Patients on Hemodialysis. Editor: Penido MG. In Tech,
Croatia 2011: 251-94
13. Jamenson LJ, Loscalzo J. Nefrologi dan Gangguan Asam-Basa. Jakarta:
EGC, 2013:122-23
14. Victor M, Ropper AH. Adams and Victor’s Principles of Neurology,8th
edition. New York : McGraw-Hill Company.2005
15. Kostadarus A. Dialysis dysequilibrium Syndrome. 2008. Available from :
http://kidneydoctor.com
16. Lopezalmaraz, E . (2008). Dialysis disequilibrium syndrome; Research on
dialysis disequilibrium syndrome detailed.
http://proquest.umi.com/pqdweb?index=0&did=1535958081&SrchMode=
2&
sid=11&Fmt=3&VInst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName=PQD
&T S=1234605159&clientId=45625.
17. Tan MM, Carton J. Molecular basis for the dialysis disequilibrium
syndrome : altered aquaporin and urea transporter expression in the brain.
Nephrology Dial Transplant. 2005 : 20; 1984-1988.
27