Anda di halaman 1dari 59

LAPORAN PLENO

BLOK KEPERAWATAN KRITIS


GAGAL GINJAL KRONIK

OLEH :
KELOMPOK 2
1. Elisa Putri G1B117009
2. Heri Yawanto G1B117010
3. Mariyati Kiptiah G1B117011
4. Safira Angelia Saragih G1B117012
5. Windi Clariska G1B117022
6. Alda Ratika G1B117023
7. Fitri Yanti Rahayu G1B117024
8. Ditya Rahma Risky G1B117025
9. Pazela Kumala Putri G1B117003
10. Rika Amaliya G1B117003
11. Rhetiya Mekiza G1B117003
12. Fiqry Prasetyo G1B116029

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan Tutor Kasus
1 ini, disusun dalam rangka melengkapi tugas mata kuliah “Keperawatan Kritis”.
Kami ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah  membantu
dalam penyusunan Laporan ini.

Kami menyadari bahwa Laporan ini masih jauh dari kesempurnaan dan
masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan, baik dari segi penulisan,
penyusunan kata demi kata maupun dalam penyusunan bahasa. Oleh karena itu,
kami mengharapkan kepada semua pihak untuk memberikan sumbangan
pemikiran berupa kritik dan saran dari para pembaca yang sifatnya membangun
demi penyempurnaan makalah ini di masa yang akan datang

Jambi, 1 Oktober 2020

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR...................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1

1.1. Latar Belakang................................................................................. 1

1.2. Rumusan Masalah ........................................................................... 1

1.3. Tujuan Penulisan.............................................................................. 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 3

2.1 Gagal Ginjal Kronik.......................................................................... 3

2.2 Hemodialiaalisa................................................................................. 7

2.3 Kualitas Hidup................................................................................... 10

2.4 Ventilator Mekanik........................................................................... 17

2.4 Askep pada pasien dengan Ventilator Mekanik................................ 25

BAB III STUDI KASUS................................................................................. 32

3.1 Kasus................................................................................................. 32

3.2 step I Identifikasi Istilah Sulit........................................................... 33

3.3 Step II Identifikasi Masalah.............................................................. 35

3.4 Step III Analisa Masalah................................................................... 35

3.5 Step IV Mind Mapping .................................................................... 38

3.6 Step V Learning Objektif.................................................................. 39

3.7 Asuhan Keperawatan Kasus.............................................................. 46

BAB IV PENUTUP......................................................................................... 53

4.1 Kesimpulan ....................................................................................... 53

ii
4.2 Saran................................................................................................... 53

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 54

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gagal ginjal kronik adalah Penyakit yang bisa timbul karena kerusakan
pada filtrasi dan sekresi ginjal akan berujung pada gagal ginjal kronik atau
disebut chronic kidney disease(CKD). Chronic kidney disease sendiri di
sebabkan oleh beberapa faktor yaitu hipertensi, glomerulonefritis, nefropati
analgesik, nefropati diabetic, nefropati refluk, ginjal polikistik, obstruksi dan
gout (Mansjoer, 2007).
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) kini telah menjadi persoalan kesehatan
serius masyarakat di dunia. Menurut WHO (2012) penyakit ginjal dan saluran
kemih telah menyebabkan kematian sekitar 850.000 orang setiap tahunnya.
Hal ini menunjukkan bahwa penyakit ini meduduki peringkat ke -12 tertinggi
angka kematian atau peringkat tertinggi ke-17 angka kecacatan. Saat ini
terdapat satu juta penduduk dunia yang sedang menjalani terapi pengganti
ginjal (dialisis) dan angka ini terus bertambah sehingga diperkirakan pada
2010 terdapat dua juta orang yang menjalani dialisis.
Menurut Suhardjono (2005), di Indonesia, berdasarkan Pusat Data &
Informasi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PDPERS jumlah
penderita PGK dianggarkan sekitar 50 orang per satu juta penduduk. Pada
tahun 2006 terdapat sekitar 100.000 orang penderita gagal ginjal kronik di
Indonesia (Sinaga,2007) .Pelayanan asuhan keperawatan ditujukan untuk
mempertahankan, meningkatkan kesehatan dan menolong individu untuk
mengatasi secara tepat masalah kesehatan sehari-hari, penyakit, kecelakaan,
atau ketidakmampuan bahkan kematian (Depkes,2005)

1.2 Rumusan Masalah


Melihat dari studi kasus blok keperawatan kritis , penulis ingin
mendalami lebih lanjut mengenai penyakit Gagal Ginjal Kronik dan
membahas mengenai hemodalisa, kualitas hidup pada pasien dengan gagal

1
ginjal kronik serta asuhan keperawatan terkait gagal ginjal kronik

1.3 Tujuan
Tujuan umum dari karya tulis ilmiah ini adalah penulis mampu
memahami konsep penyakit gagal ginjal kronik , hemodialisa ,dan kualitas
hidup pasien gagal ginjal kronik serta mempelajari asuhan keperawatan pada
pasien gagal ginjal kronik serta memberikan pemahaman pada penulis agar
dapat berfikir secara logis dan ilmiah sesuai dengan kenyataan yang ada di
lahan.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.3. Gagal Ginjal Kronik
2.1.1 Definisi Gagal Ginjal Kronik
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang
progresif, dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal
ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi
ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
Gagal ginjal kronis (chronic renal failure) adalah kerusakan ginjal
progresif yang berakibat fatal dan ditandai dengan uremia (urea dan limbah
nitrogen lainnya yang beredar dalam darah serta komplikasinya jika tidak
dilakukan dialisis atau transplantasi ginjal. Gagal ginjal kronis (GGK) atau
penyakit ginjal tahap akhir merupakan gangguan fungsi ginjal yang
progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lainnya dalam
darah).

2.1.2 Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik


Penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi
kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi
struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons)
sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti
sitokinin dan growth faktor. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi,
yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.
Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti dengan penurunan
fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif
lagi.
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron

3
intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi,
sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-
angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh transforming growth
factor β (TGF-β). Beberapa hal juga yang dianggap berperan terhadap
terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria,
hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual
untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial.
Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan
daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih
normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan
terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.

2.1.3 Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik


Kalsifikasi Gagal ginjal kronis berdasarkan sebabnya.
a. Glomerulonefritis
Peradangan pada struktur ginjal ( glomerulus ). Pengaruh peradangan
pada kedua ginjal sama dan peradangan ini bersifat menyebar ketubular,
interstisial dan vaskular. Suatu gejala yang menggambarkan penyakit
peradangan pada glomerulus tahap akhir, yang ditandai dengan
kerusakan glomerulus secara progresif lambat akibat glomerulonefritis
yang perkembangannya perlahan – lahan dan membahayakan serta
berlangsung lama (10 – 30 tahun), dan merupakan penyebab utama
penyakit renal tahap akhir.
b. Nefropati Diabetik
Penyakit ginjal akibat penyakit DM yang merupakan penyebab utama
gagal ginjal di Eropa dan USA. Ada 5 fase Nefropati Diabetika. Fase I,
adalah hiperfiltrasi dengan peningkatan GFR, AER (albumin excretion
rate) dan hipertropi ginjal. Fase II ekresi albumin relatif normal
(<30mg/24j) pada beberapa penderita mungkin masih terdapat
hiperfiltrasi yang mempunyai resiko lebih tinggi dalam berkembang
menjadi Nefropati Diabetik. Fase III, terdapat mikro albuminuria (30-

4
300mg/24j). Fase IV, Difstick positif proteinuria, ekresi albumin
>300mg/24j, pada fase initerjadi penurunan GFR dan hipertensi
biasanya terdapat. Fase V merupakan End Stage Renal Disease
(ESRD), dialisa biasanya dimulai ketika GFRnya sudah turun sampai
15ml/mnt.
c. Nefrosklerosis Hipertensif
Penyakit ginjal yang disebabkan karena terjadinya kerusakan
vaskularisasi di ginjal oleh adanya peningkatan tekanan darah.
Nefropati yang terjadi akibat hipertensi (nefrosklerosis hipertensive)
terbagi menjadi dua yakni nefropati hipertensi benigna (neproskelerosis
benigna) dan nefropati hipertensi maligna (nefrosklerosis maligna).
d. Penyakit ginjal polikistik
Suatu kelainan genetik yang ditandai oleh pertumbuhan banyak kista
seperti anggur yang berisi cairan di ginjal. Kedua ginjal menjadi lebih
besar dari waktu ke waktu dan kista kemudian mengambil alih dan
merusak jaringan ginjal. Kondisi ini dapat menyebabkan penyakit ginjal
kronis dan stadium akhir penyakit ginjal.
e. Pielonefritis kronis dan nefritis interstitial lain
Pielonefritis merupakan infeksi bakteri piala ginjal, tubulus, dan
jaringan interstisial dari salah satu atau kedua ginjal. Bakteri mencapai
kandung kemih melalui uretra dan naik ke ginjal. Pielonefritis akut
biasanya akan berlangsung selama 1 sampai 2 minggu. Pielonefritis
yang kronis dapat merusak jaringan ginjal secara permanen akibat
inflamasi yang berulangkali dan timbulnya parut dan dapat
menyebabkan terjadinya renal failure (gagal ginjal) yang kronis.
f. Diabetes Melitus
Suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemi
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-
keduanya, yang menimbulkan berbagai kompilkasi pada seluruh organ
tubuh antara lain ginjal.
g. Hipertensi

5
Terjadi apabila tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg.
Hipertensi oleh karena adanya hal-hal sebagai berikut dapat
menyebabkan gagal ginjal kronik, diantaranya :
i. Retensi natrium.
ii. Peningkatan sistem RAA akibat iskemi relatif karena kerusakan
regional.
iii. Aktifitas saraf simpatis meningkat akibat kerusakan ginjal.
iv. Hiperparatiroid Sekunder.
v. Pemberian eritropoetin.
h. Obstruksi dan infeksi
Berdasarkan perjalanan klinis, gagal ginjal dapat dibagi menjadi
tiga stadium), yaitu :
a. Stadium I, dinamakan penurunan cadangan ginjal
Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar BUN normal, dan
penderita asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal hanya dapat
diketahui dengan tes pemekatan kemih dan tes GFR yang teliti.
b. Stadium II, dinamakan insufisiensi ginjal
Pada stadium ini dimana lebih dari 75 % jaringan yang berfungsi
telah rusak. GFR besarnya 25 % dari normal. Kadar BUN dan
kreatinin serum mulai meningkat dari normal. Gejala-gejala
nokturia atau pengaturan berkemih di malam hari sampai 700 ml
dan poliuria (akibat dari kegagalan pemekatan) mulai timbul.
Stadium III, dinamakan gagal ginjal stadium akhir atau uremia
Sekitar 90 % dari massa nefron telah hancur atau rusak, atau hanya
sekitar 200.000 nefron saja yang masih utuh. Nilai GFR hanya 10
% dari keadaan normal. Kreatinin serum dan BUN akan meningkat
dengan mencolok. Gejala-gejala yang timbul karena ginjal tidak
sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit
dalam tubuh, yaitu : oliguri karena kegagalan glomerulus, sindrom
uremic

6
2.1.4 Manifestasi Klinis Gagal Ginjal Kronik
a. Gastrointestinal
Ulserasi saluran pencernaan dan perdarahan.
b. Kardiovaskuler
Hipertensi, perubahan EKG, perikarditis, efusi pericardium, tamponade
perikardium.
c. Respirasi
Edema paru, efusi pleura, pleuritis.
d. Neuromuskular
lemah, gangguan tidur, sakit kepala, letargi, gangguan muskular,
neuropati perifer, bingung dan koma.
e. Metabolik/ endokrin
Inti glukosa, hiperlipidemia, gangguan hormon seks menyebabkan
penurunan libido, impoten dan ammenore.
f. Dermatologi
Pucat, hiperpigmentasi, pluritis, eksimosis, uremia frost.
g. Abnormal skeletal
Osteodistrofi ginjal menyebabkan osteomalaisia.
h. Cairan-elektrolit
Gangguan asam basa menyebabkan kehilangan sodium sehingga terjadi
dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipermagnesemia, hipokelemia.
i. Hematologi
Anemia, defek kualitas flatelat, perdarahan meningkat.
j. Fungsi psikososial
k. Perubahan kepribadian dan perilaku serta gangguan proses

2.2 Hemodisa
2.2.2 Definisi
Kata ini berasal dari kata haemo yang berarti darah dan dialisis sendiri
merupakan proses pemurnian suatu sistem koloid dari partikel-partikel
bermuatan yang menempel pada permukaan. Hemodialisa merupakan suatu

7
proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan
memerlukan terapi dialisys jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa
minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir atau end stage
renal disease (ESRD) yang memerlukan terapi jangka panjang atau
permanen. Tujuan hemodialisa adalah untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen
yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan.

2.2.2 Indikasi
Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien GGK dan GGA untuk
sementara sampai fungsi ginjalnya pulih. Pasien-pasien tersebut dinyatakan
memerlukan hemodialisa apabila terdapat indikasi :
a. Hiperkalemia ( K > 6 mEq/l)
b. Asidosis
c. kegagalan terapi konservatif
d. Kadar ureum/kreatinin tinggi dalam darah
e. Kelebihan cairan.
f. Perikarditis dan konfusi yang berat.
g. Hiperkalsemia dan hipertensi.

2.2.3 Prinsip Kerja Hemodialisa


a. Proses Difusi :
Merupakan proses berpindahnya suatu zat terlarut yang disebabkan karena
adanya perbedaan konsentrasi zat-zat terlarut dalam darah dan dialisat.
Perpindahan molekul terjadi dari zat yang berkonsentrasi tinggi ke yang
berkonsentrasi lebih rendah. Pada HD pergerakan molekul / zat ini melalui
suatu membran semi permeable yang membatasi kompartemen darah dan
kompartemen dialisat.
b. Proses Ultrafiltrasi :
Berpindahnya zat pelarut (air) melalui membrane semi permeable akibat
perbedaan tekanan hidrostatik pada kompartemen darah dan kompartemen
dialisat. Tekanan hidrostatik / ultrafiltrasi adalah yang memaksa air keluar
dari kompartemen darah ke kompartemen dialisat. Besar tekanan ini

8
ditentukan oleh tekanan positif dalam kompartemen darah (positive
pressure) dan tekanan negative dalam kompartemen dialisat (negative
pressure) yang disebut TMP (trans membrane pressure) dalam mmHg.
c. Proses Osmosis :
Berpindahnya air karena tenaga kimiawi yang terjadi karena adanya
perbedaan tekanan osmotik (osmolalitas) darah dan dialisat. Proses
osmosis ini lebih banyak ditemukan pada peritoneal dialisis.

2.2.4 Komponen Utama pada Hemodialisis


Hemodialisis terdiri dari 3 komponen dasar yaitu :
a. Sirkulasi darah
Bagian yang termasuk dalam sirkulasi darah adalah mulai dari jarum /
kanula arteri (inlet), arteri blood line (ABL), kompartemen darah pada
dializer, venus blood line (VBL), sampai jarum / kanula vena (outlet).
b. Sirkulasi Dialisat
Dialisat adalah cairan yang digunakan untuk prosedur HD. Berada dalam
kompartemen dialisat berseberangan dengan kompartemen darah yang
dipisahkan oleh selaput semi permeable dalam dializer. Terdapat 2 dialisat
yaitu dialisat pekat (concentrate) dan air.
c. Membrane Semi permeabel
Membrane semi permeabel adalah suatu selaput atau lapisan yang sangat
tipis dan mempunyai lubang (pori) sub mikroskopis. Dimana partikel
dengan BM kecil & sedang (small and middle molekuler) dapat melewati
pori membran, sedangkan partikel dengan BM besar (large molekuler)
tidak dapat melalui pori membran tersebut.

2.2.5 Penatalaksanaan Pasien yang Menjalani Hemodialisa


Hemodilisa merupakan hal yang sangat membantu pasien sebagai upaya
memperpanjang usia penderita. Hemodialisa tidak dapat menyembuhkan
penyakit ginjal yang diderita pasien tetapi hemodiaisa dapat meningkatkan
kesejahteraan kehidupan pasien yang gagal ginjal.
Pasien hemodialisa harus mendapat asupan makanan yang cukup agar

9
tetap dalam gizi yang baik. Gizi kurang merupakan prediktor yang penting
untuk terjadinya kematian pada pasien hemodialisa. Adapun anjuran
pemberian diet pada pasien hemodialisa 2 x/ minggu :
a. Protein : 1 – 1,2 gr/kgBB/hari
b. Kalori : 126 – 147 kj/ kgBB (30 – 35 kal/kgBB/hari)
c. Lemak : 30 % dari total kalori
d. Hidrat arang : sedikit gula (55 % total kalori)
e. Besi : 1,8 mmol/hari (100 mg)
f. Ca : 25 – 50 mmol/hari (1000 – 2000)
g. Air : 750 – 1000 ml/hari (500 + sejumlah urin/24 jam).

2.2.6 Komplikasi Terapi Hemodialisa


Komplikasi terapi dialisis sendiri dapat mencakup hal-hal berikut :
a. Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan.
b. Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja
terjadi jika udara memasuki sistem vaskuler pasien.
c. Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan
terjadinya sirkulasi darah di luar tubuh.
d. Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir
metabolisme meninggalkan kulit.
e. Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan
serebral dan muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi ini
kemungkinan terjadinya lebih besar jika terdapat gejala uremia yang
berat.
f. Kram otot yang nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan
cepat meninggalkan ruang ekstrasel.
g. Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi.

2.3. Kualitas Hidup


2.3.1 Definisi
Kualitas hidup seseorang tidak dapat didefinisikan dengan pasti, hanya
orang tersebut yang dapat mendefinisikannya, karena kualitas hidup

10
merupakan suatu yang bersifat subyektif. Kualitas hidup adalah persepsi
individu terhadap posisinya dalam kehidupan, dalam konteks budaya dan
sistem nilai dimana individu tersebut, dan hubungan terhadap tujuan,
harapan, standard dan keinginan. Hal ini merupakan suatu konsep, yang
dipadukan dengan berbagai cara seseorang untuk mendapat kesehatan fisik,
keadaan psikologis, tingkat independen, hubungan sosial, dan hubungan
dengan lingkungan sekitarnya.

2.3.2 Kualitas Hidup dari Berbagai Aspek


Kualitas hidup bisa dipandang dari segi subjektif dan objektif. Dari segi
subjektif merupakan perasaan enak dan puas atas segala sesuatu secara
umum, sedangkaan secara objektif adalah pemenuhan tuntutan
kesejahteraan materi, status social dan kesempurnaan fisik secara sosial atau
budaya. Penilaian kualitas hidup penderita gagal ginjal dapat dilihat pada
aspek kesehatan fisik, kesehatan mental, fungsi sosial, role function dan
perasaan sejahtera.
Kualitas hidup dapat dikelompokkan dalam tiga bagian yang berpusat
pada aspek hidup yang baik, yaitu :
a. Kualitas hidup subjektif yaitu suatu hidup yang baik yang dirasakan
oleh masing-masing individu yang memilikinya. Masing-masing
individu secara personal mengevaluasi bagaimana mereka
menggambarkan sesuatu dan perasaan mereka.
b. Kualitas hidup eksistensial yaitu seberapa baik hidup seseorang
merupakan level yang berhak untuk dihormati dan dimana individu
dapat hidup dalam keharmonisan.
c. Kualitas hidup objektif yaitu bagaimana hidup seseorang dirasakan oleh
dunia luar. Kualitas hidup objektif dinyatakan dalam kemampuan
seseorang untuk beradaptasi pada nilai-nilai budaya dan menyatakan
tentang kehidupannya.

2.3.3 Penilaian kualitas hidup

11
Terdapat beberapa instrumen untuk menganalisis kualitas hidup yang
meliputi persepsi fisik, psikologi dan hubungan sosial pasien, seperti
Sickness Impact Profile, Karnofsky Scales, Kidney Disease Quality of Life
(KDQL) kuesioner dan Medical Outcomes Study 36-Item Short-Form
Health Survey (SF-36) yang telah banyak digunakan dalam mengevaluasi
kualitas hidup pasien penderita penyakit-penyakit kronis. SF-36 adalah
salah satu instrumen untuk menilai kualitas hidup, sederhana, mudah dan
secara luas telah dipakai untuk mengevaluasi kualitas hidup pada penyakit
ginjal stadium akhir.
Instrumen non spesifik biasanya digunakan pada hampir semua
penelitian penyakit kronis dan bisa juga digunakan untuk menilai kualitas
hidup pada populasi yang sehat. SF-36 telah terbukti dapat dipakai untuk
menilai kualitas hidup penderita penyakit kronis termasuk gagal ginjal
kronis. SF-36 berisi 36 pertanyaan yang terdiri dari 8 skala antara lain :
a. Fungsi fisik (Physical Functioning)
Terdiri dari 10 pertanyaan yang menilai kemampuan aktivitas seperti
berjalan, menaiki tangga, membungkuk, mengangkat dan gerak badan.
Nilai yang rendah menunjukkan keterbatasan semua aktivitas tersebut,
sedangkan nilai yang tinggi menunjukkan kemampuan melakukan
semua aktivitas fisik termasuk latihan berat.
b. Keterbatasan akibat masalah fisik (Role of Physical)
Terdiri dari 4 pertanyaan yang mengevaluasi seberapa besar kesehatan
fisik mengganggu pekerjaan dan aktivitas sehari-hari lainnya. Nilai
yang rendah menunjukkan bahwa kesehatan fisik menimbulkan
masalah terhadap aktivitas sehari-hari, antara lain tidak dapat
melakukannya dengan sempurna, terbatas dalam melakukan aktivitas
tertentu atau kesulitan di dalam melakukan aktivitas. Nilai yang tinggi
menunjukkan kesehatan fisik tidak menimbulkan masalah terhadap
pekerjaan ataupun aktivitas sehari-hari.
c. Perasaan sakit/nyeri (Bodily Pain)
Terdiri dari 2 pertanyaan yang mengevaluasi intensitas rasa nyeri dan

12
pengaruh nyeri terhadap pekerjaan normal baik di dalam maupun di luar
rumah. Nilai yang rendah menunjukkan rasa sakit yang sangat berat dan
sangat membatasi aktivitas. Nilai yang tinggi menunjukkan tidak ada
keterbatasan yang disebabkan oleh rasa nyeri.
d. Persepsi kesehatan umum (General Health)
Terdiri dari 5 pertanyaan yang mengevaluasi kesehatan termasuk
kesehatan saat ini, ramalan tentang kesehatan dan daya tahan terhadap
penyakit. Nilai yang rendah menunjukkan perasaan terhadap kesehatan
diri sendiri buruk atau memburuk. Nilai yang tinggi menunjukkan
perasaan terhadap kesehatan diri sendiri sangat baik.
e. Energi/Fatique (Vitality)
Terdiri dari 4 pertanyaan yang mengevaluasi tingkat kelelahan, capek
dan lesu. Nilai yang rendah menunjukkan perasaan lelah, capek dan
lesu sepanjang waktu. Nilai yang tinggi menunjukkan perasaan penuh
semangat dan energi selama 4 minggu yang lalu.
f. Fungsi Sosial (Social Functioning)
Terdiri dari 2 pertanyaan yang mengevaluasi tingkat kesehatan fisik
atau masalah emosional mengganggu aktivitas sosial yang normal. Nilai
yang rendah menunjukkan gangguan yang sering dan sangat terganggu.
Nilai yang tinggi menunjukkan tidak ada gangguan selama 4 minggu
yang lalu.
g. Keterbatasan akibat masalah emosional (Role Emotional)
Terdiri dari 3 pertanyaan yang mengevaluasi tingkat dimana masalah
emosional mengganggu pekerjaan atau aktivitas sehari-hari lainnya.
Nilai yang rendah menunjukkan masalah emosional mengganggu
aktivitas termasuk menurunnya waktu yang dihabiskan untuk aktivitas,
pekerjaan menjadi kurang sempurna dan bahkan tidak dapat bekerja
seperti biasanya. Nilai yang tinggi menunjukkan tidak ada gangguan
aktivitas karena masalah emosional.
h. Kesejahteraan mental (Mental Health)
Terdiri dari 5 pertanyaan yang mengevaluasi kesehatan mental secara

13
umum termasuk depresi, kecemasan dan kebiasaan mengontrol emosional.
Nilai yang rendah menunjukkan perasaan tegang dan depresi sepanjang
waktu. Nilai yang tinggi menunjukkan perasaan penuh kedamaian, bahagia
dan tenang sepanjang 4 minggu yang lalu.
Skala SF-36 ini kemudian dibagi menjadi 2 dimensi, dimana persepsi
kesehatan umum, energi, fungsi sosial dan keterbatasan akibat masalah
emosional disebut sebagai dimensi Kesehatan Mental (Mental Component
Scale) dan fungsi fisik, keterbatasan akibat masalah fisik, perasaan
sakit/nyeri, persepsi kesehatan umum dan energi disebut sebagai dimensi
Kesehatan Fisika (Physical Component Scale). Masing-masing skala
dinilai dengan kemungkinan cakupan nilai 0-100, dimana skor yang lebih
tinggi menandakan kualitas hidup yang lebih baik.

2.3.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal


Kronis
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien Gagal
Ginjal Kronik, yaitu :
a. Umur
Pada umumnya kualitas hidup menurun dengan meningkatnya umur.
Penderita GGK usia muda akan mempunyai kualitas hidup yang lebih
baik oleh karena biasanya kondisi fisiknya yang lebih baik dibanding
yang berusia tua. Penderita yang dalam usia produktif merasa terpacu
untuk sembuh mengingat dia masih muda mempunyai harapan hidup
yang tinggi, sementara yang sudah berusia tua lebih menyerahkan
keputusan pada keluarga atau anak-anaknya. Tidak sedikit dari mereka
merasa sudah tua, capek hanya menunggu waktu, akibatnya mereka
kurang motivasi dalam menjalani terapi haemodialisis.
b. Jenis Kelamin
Laki-laki mempunyai kualitas hidup lebih jelek dibanding perempuan
dan semakin lama menjalani hemodialisa akan semakin rendah kualitas
hidup penderita.

14
c. Status Nutrisi
Penderita gagal ginjal terminal yang dilakukan hemodialisa kronis
sering mengalami protein kalori malnutrisi. Malnutrisi akan
menyebabkan defisiensi respon imun, sehingga penderita mudah
mengalami infeksi dan septikemia. Ternyata semakin jelek status nutrisi
semakin jelek kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal. Malnutrisi
pada gagal ginjal terminal disebabkan oleh toksin uremi dan oleh
prosedur hemodialisa.
d. Pendidikan
Pada penderita yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan mempunyai
pengetahuan yang lebih luas juga memungkinkan pasien itu dapat
mengontrol dirinya dalam mengatasi masalah yang dihadapi,
mempunyai rasa percaya diri yang tinggi, berpengalaman, dan
mempunyai perkiraan yang tepat bagaimana mengatasi kejadian serta
mudah mengerti tentang apa yang dianjurkan oleh petugas kesehatan,
akan dapat mengurangi kecemasan sehingga dapat membantu individu
tersebut dalam membuat keputusan. Perilaku yang didasari pengetahuan
akan lebih langgeng daripada yang tidak didasari pengetahuan.
e. Pekerjaan
Pekerjaan adalah merupakan sesuatu kegiatan atau aktifitas seseorang
yang bekerja pada orang lain atau instasi, kantor, perusahaan untuk
memperoleh penghasilan yaitu upah atau gaji baik berupa uang maupun
barang demi memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Penghasilan
yang rendah akan berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan
kesehatan maupun pencegahan. Seseorang kurang memanfaatkan
pelayanan kesehatan yang ada mungkin karna tidak mempunyai cukup
uang untuk membeli obat atau membayar tranportasi.
f. Lama menjalani Hemodialisa
Pada awal menjalani hemodialisa respon pasien seolah-olah tidak
menerima atas kehilangan fungsi ginjalnya, marah dengan kejadian
yang ada dan merasa sedih dengan kejadian yang dialami sehingga

15
memerlukan penyesuaian diri yang lama terhadap lingkungan yang baru
dan harus menjalani hemodialisa dua kali seminggu. Waktu yang
diperlukan untuk beradaptasi masing-masing pasien berbeda lamanya,
semakin lama pasien menjalani hemodialisa adaptasi pasien semakin
baik karena pasien telah mendapat pendidikan kesehatan atau informasi
yang diperlukan semakin banyak dari petugas kesehatan
g. Anemia
Anemia adalah kondisi klinis yang dihasilkan akibat insufisiensi suplai
darah merah yang sehat, volume sel darah merah, dan atau jumlah
hemoglobin (Hb) dengan hasil pemeriksaan laboratorium kadar Hb
<11 gr/dl. Nilai Hb yang direkomendasikan pada pasien gagal ginjal
kronik berdasarkan National Kidney Foundation’s Kidney Disease
Quality Initiative (NKF-K/DOQI) adalah pada level 11-12 gr/dl.

h. Hipertensi
Tekanan darah adalah tekanan yang dihasilkan oleh darah terhadap
pembuluh darah. Tekanan darah dipengaruhi volume darah dan
elastisitas pembuluh darah. Peningkatan tekanan darah disebabkan
peningkatan volume darah atau elastisitas pembuluh darah. Sebaliknya,
penurunan volume darah akan menurunkan tekanan darah, adapun
klsifikasi tekanan darah:
Tabel 2.1. Klasifikasi Tekanan Darah dari JNC VII
Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal <120 < 80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi
Derajat 1 140-159 90-99
Derajat 2 ≥ 160 ≥100

16
2.4 Ventilasi Mekanik
2.4.1 Definisi
Ventilator mekanis adalah alat pernafasan bertekanan negatif atau
positif yang dapat mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen selama
waktu yang lama (Brunner and Suddarth, 2001).
Merawat pasien pada ventilator mekanis telah menjadi bagian integral
dari asuhan keperawatan di unit perawatan kritis, di unit medikal bedah
umum, di fasilitas perawatan yang luas, dan bahkan di rumah. Perawat,
dokter, dan ahli terapis pernapasan harus mengerti masing-masing
kebutuhan pernapasan spesifik pasien dan bekerja bersama untuk membuat
tujuan yang realistis. Rumusan penting untuk hasil pasien yang positf
termasuk memahami prinsip-prinsip ventilasi mekanis dan perawatan yang
dibutuhkan dari pasien, juga komunikasi terbuka diantara tim perawatan
kesehatan tentang tujuan terapi, rencana penyapihan (weaning), dan
toleransi pasien terhadap perubahan dalam pengesetan ventilator.

2.4.2 Klasifikasi Ventilator


Terdapat beberapa jenis ventilator mekanis.Ventilator diklasifikasikan
berdasarkan cara alat tersebut mendukung ventilasi. Dua kategori umum
adalah ventilator tekanan-negatif dan tekanan-positif. Sampai sekarang
kategori yang paling umum digunakan adalah ventilator tekanan-positif.
Ventilator tekanan-positif juga termasuk klasifikasi metoda fase inspirasi
akhir (tekanan-bersiklus, waktu-bersiklus dan volume-bersiklus).
a. Ventilator Tekanan Negatif
Ventilator tekanan negatif mengeluarkan tekanan negatif pada dada
eksternal. Dengan mengurangi tekanan intratoraks selama inspirasi
memungkinkan udara untuk mengalir ke dalam paru-paru, sehingga
memenuhi volumenya. Secara fisiologis, jenis ventilasi terbaru ini
serupa dengan ventilasi spontan. Ventilator jenis ini digunakan terutama
pada gagal nafas kronik yang berhubungan dengan kondisi
neurovaskular seperti poliomielitis, distrofimuskular, sklerosis lateral
amiotrofik, dan miasteniagravis. Penggunaannya tidak sesuai untuk

17
pasien yang tidak stabil atau pasien yang kondisinya membutuhkan
perubahan ventilatori sering. Ventilator tekanan negatif adalah alat yang
mudah digunakan dan tidak membutuhkan intubasi jalan nafas pasien.
Ventilator ini digunakan paling sering untuk pasien dengan fungsi
pernafasan borderline akibat penyakit neuromuskular. Akibatnya,
ventilator ini sangat baik untuk digunakan di lingkungan rumah.
Terdapat beberapa jenis ventilator tekanan negatif: iron lung, body
wrap, dan chest cuirass. Drinker Respirator Tank (Iron Lung). Iron
Lung adalah bilik tekanan negatif yang digunakan untuk ventilasi. Alat
ini pernah digunakan secara luas selama epidemik polio pada masa lalu
dan sekarang digunakan oleh pasien-pasien yang selamat dari penyakit
polio dan kerusakan neuromuskular lainnya. Body Wrap (Pneumowrap)
dan Chest Cuirass (Tortoise Shell). Kedua alat portabel ini
membutuhkan sangkar atau shell yang kaku untuk menciptakan bilik
tekanan negatif disekitar toraks dan abdomen. Karena masalah-masalah
dengan ketepatan ukuran dan kebocoran sistem, jenis ventilator ini
hanya digunakan dengan hati-hati pada pasien tertentu.
b. Ventilator Tekanan Positif
Ventilator tekanan positif menggembungkan paru-paru dengan
mengeluarkan tekanan positif pada jalan nafas, serupa dengan
mekanisme di bawah, dan dengan demikian mendorong alveoli untuk
mengembang selama inspirasi. Ekspirasi terjadi secara pasif.
Pada ventilator jenis ini diperlukan intubasi endotrakea atau
trakeostomi. Ventilator ini secara luas digunakan di lingkungan rumah
sakit dan meningkat penggunaannya di rumah untuk pasien dengan
penyakit paru primer. Terdapat tiga jenis ventilator tekanan positif,
yaitu:
1. Ventilator Tekanan-Bersiklus.
Ventilator tekanan bersiklus adalah ventilator tekanan positif yang
mengakhiri inspirasi ketika tekanan preset telah tercapai. Dengan
kata lain, siklus ventilator hidup, mengantarkan aliran udara sampai

18
tekanan tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya tercapai, dan
kemudian siklus mati. Keterbatasan utama dengan ventilator jenis
ini adalah bahwa  volume udara atau oksigen dapat beagam sejalan
dengan perubahan tahanan atau kompliens jalan napas pasien.
Akibatnya adalah suatu ketidakkonsistensian dalam jumlah volume
tidal yang dikirimkan dan kemungkinan mengganggu ventilasi.
Konsekuensinya, pada orang dewasa, ventilator tekanan-bersiklus
dimaksudkan hanya untuk penggunaan jangka pendek di ruang
pemulihan. Jenis yang paling umum dari ventilator jenis ini adalah
mesin IPPB.
2. Ventilator Waktu-Bersiklus
Ventilator waktu-bersiklus mengakhiri atau mengendalikan
inspirasi setelah waktu yang ditentukan. Volume udara yang
diterima pasien diatur oleh kepanjangan inspirasi dan frekuensi
aliran udara. Sebagian besar ventilator mempunyai frekuensi
kontrol yang menentukan frekuensi pernapasan, tetapi waktu-
pensiklus murni jarang digunakn untuk orang dewasa. Ventilator
ini digunakan pada neonatus dan bayi.
3. Ventilator Volume-Bersiklus
Ventilator volume bersiklus sejauh ini adalah ventilator tekanan-
positif yang paling banyak digunakan sekarang. Dengan ventilator
jenis ini, volume udara yang akan dikirimkan pada setiap inspirasi
telah ditentukan. Mana kala volume preset ini telah dikirimkan
pada pasien, siklus ventilator mati dan ekshalasi terjadi secara
pasif. Dari satu nafas ke nafas lainnya, volume udara yang
dikirimkan oleh ventilator secara relatif konstan, sehingga
memastikan pernapasan yang konsisten, adekuat meski tekanan
jalan nafas beragam.

2.4.3 Gambaran dan Pengesetan Volume Vetilator


Berbagai gambaran digunakan dalam penatalaksanaan pasien pada
ventilator mekanis. Ventilator disesuaikan sehingga pasien merasa nyaman

19
dan ”dalam harmoni” dengan mesin. Perubahan yang minimal dari dinamik
kardiovaskuler dan paru diharapkan. Jika volume ventilator disesuaikan
dengan tepat, kadar gas darah arteri pasien akan terpenuhi dan akan ada
sedikit atau tidak ada sama sekali gangguan kardiovaskuler.
Pengesetan awal ventilator setting :
1. Atur mesin untuk memberikan volume tidal yang dibutuhkan (10-15
ml/kg).
2. Sesuaikan mesin untuk memberikan konsentrasi oksigen terendah untuk
mempertahankan PaO2 normal (80-100 mmHg). Pengesetan ini dapat
diatur tinggi dan secara bertahap dikurangi berdasarkan pada hasil
pemeriksaan gas darah arteri.
3. Catat tekanan inspiratori puncak.
4. Atur cara (bantu-kontrol atau ventilasi mandatori intermiten) dan
frekuwensi sesuai dengan program medik dokter.
5. Jika ventilator diatur pada cara bantu kontrol, sesuaikan sensivitasnya
sehingga pasien dapat merangsang ventilator dengan upaya minimal
(biasanya 2 mmHg dorongan inspirasi negatif).
6. Catat volume 1 menit dan ukur tekanan parsial karbondioksida (PCO2)
dan PO2, setelah 20 menit ventilasi mekanis kontinu.
7. Sesuaikan pengesetan (FO2 dan frekuwensi) sesuai dengan hasil
pemeriksaan gas darah arteri atau sesuai dengan yang ditentukan oleh
dokter.
8. Jika pasien menjadi bingung atau agitasi atau mulai “Bucking”
ventilator karena alasan yang tidak jelas, kaji terhadap hipoksemia dan
ventilasikan manual pada oksigen 100% dengan bag resusitasi.

2.4.4 Indikasi Ventilasi Mekanis


Jika pasien mengalami penurunan kontinu oksigenasi (PaO2),
peningkatan kadar karbondioksida arteri (PaCO2), dan asidosis persisten
(penurunan pH), maka ventilasi mekanis kemungkinan diperlukan. Kondisi
seperti pascaoperatif bedah toraks atau abdomen, takar lajak obat, penyakit
neuromuskular, cedera inhalasi, PPOM, trauma multipel, syok, kegagalan

20
multisistem, dan koma semuanya dapat mengarah pada gagal nafas dan
perlunya ventilasi mekanis. Kriteria untuk ventilasi mekanis berfungsi
sebagai pedoman dalam membuat keputusan untuk menempatkan pasien
pada ventilator. Pasien dengan apnea yang tidak cepat pulih juga merupakan
kandidat untuk ventilasi mekanis.
NO PARAMETER NILAI TINDAKAN
1. Frekuensi Pernafasan. <10 kali/menit Evaluasi pasien
(penurunan kendali dan hilangkan
pernafasan. penyebab.
Normal.
16-20 kali/per menit. Evaluasi pasien
28-40 kali/menit. dan lakukan
tindakan yang
tepat.
Pertimbangkan
intubasi/ventilasi
2. Kapasitas Vital. terencana.
<10-20 ml/kg(cadangan Lihat tanda gagal
3. Tekanan inspirasi. pernafasan buruk). nafas.
<20 cm H2O atau Siapkan dukungan
4. Gas darah Arteri. cenderung menurun. ventilator.
   Ph
<7,25 Evaluasi
dikombinasi
dengan
peningkatan
    PaCO2 PaCO2.
<50mm/Hg Evaluasi
dikombinasi
dengan penurunan
pH.

21
     PaO2 <50 mmHg dengan Evaluasi
terapi O2 dikombinasi
dengan pH dan
5. Gradien pirau A-a ≥ 300 mmHg PaCO2.
≥ 25-30
6. Auskultasi dada Penurunan atau tidak Beri O2 100%
ada bunyi nafas. Siapkan dukungan
ventilator.
7. Irama dan frekuwensi Nadi lebih dari 120, Monitor disritmia.
jantung disritmia
8. Aktivitas Kelelahan berat, Evaluasi hal diatas
penurunan tolenransi dan lakukan
aktivitas tindakan tepat.
9. Status mental Monitor aktivitas
Kacau mental, delirium, kejang hipoksik.
10. Observasi fisik samnolen. Siapkan dukungan
Penggunaan otot asesori, ventilator.
kelelahan, kerja
pernafasan berat.

2.4.5 Komplikasi Ventilasi Mekanis


Pasien dengan ventilator mekanis memerlukan observasi, keterampilan
dan asuhan keperawatan berulang. Komplikasi yang dapat terjadi dengan
terapi ventilator ini adalah:
1. Komplikasi pada jalan nafas
 Aspirasi dapat terjadi sebelum, selama, atau setelah intubasi. Kita dapat
meminimalkan resiko aspirasi setelah intubasi dengan mengamankan
selang, mempertahankan manset mengembang, dan melakukan
penghisapan oral dan selang kontinu secara adekuat. Bila resusitasi
diperpanjang dan distensi gastrik terjadi, jalan nafas harus diamankan
sebelum memasang selang nasogastrik untuk dekompresi lambung. Bila

22
aspirasi terjadi potensial untuk terjadinya SDPA meningkat.
Kebanyakan pasien dengan ventilator perlu dilakukan restrein pada
kedua tangan, karena ekstubasi tanpa disengaja oleh pasien sendiri
dengan aspirasi adalah komplikasi yang pernah terjadi. Selain itu self-
extubation dengan manset masih mengembang dapat menimbulkan
kerusakan pita suara.
     Prosedur intubasi itu sendiri merupakan resiko tinggi. Contoh
komplikasi intubasi meliputi:
a. Intubasi lama dan rumit meningkatkan hipoksia dan trauma trakea.
b. Intubasibatangutama (biasanya kanan) ventilasi tak seimbang,
meningkatkan laju mortalita
c. Intubasi sinus piriformis (jarang) abses faringeal Pnemonia
Pseudomonas sering terjadi pada kasus intubasi lama dan selalu
kemungkinan potensial dari alat terkontaminasi.
2. Masalah Selang Endotrakeal
 Bila selang diletakkan secara nasotrakeal, infeksi sinus berat dapat terjadi.
Alternatifnya, karena posisi selang pada faring, orifisium ke telinga tengah
dapat tersumbat, menyebabkan otitis media berat, kapanpun pasien
mengeluh nyeri sinus atau telinga atau terjadi demam dengan etiologi yang
tidak diketahui, sinus dan telinga harus diperiksa untuk kemungkinan
sumber infeksi. Beberapa derajat kerusakan trakeal disebabkan oleh
intubasi lama. Stenosis trakeal dan malasia dapat diminimalkan bila
tekanan manset diminimalkan. Sirkulasi arteri dihambat oleh tekanan
manset kurang lebih 30 mm/Hg. Penurunan insiden stenosis dan malasia
telah dilaporkan dimana tekanan manset dipertahankan kurang lebih 20
mm/Hg. Bila edema laring terjadi, maka ancaman kehidupan
paskaekstubasi dapat terjadi.
3. Masalah Mekanis
Malfungsi ventilator adalah potensial masalah serius. Tiap 2-4 jam
ventilator diperiksa oleh staf keperawatan atau pernafasan. VT tidak
adekuat disebabkan oleh kebocoran dalam sirkuit atau manset, selang atau

23
ventilator terlepas, atau obstruksi aliran. Selanjutnya disebabkan oleh
terlipatnya selang, tahanan sekresi, bronkospasme berat, spasme batuk,
atau tergigitnya selang endotrakeal. Secara latrogenik menimbulkan
komplikasi melampaui kelebihan ventilasi mekanis yang menyebabkan
alkalosis respiratori dan karena ventilasi mekanis menyebabkan asidosis
respiratori atau hipoksemia. Penilaian GDA menentukan efektivitas
ventilasi mekanis. Perhatikan, bahwa pasien PPOM diventilasi pada nilai
GDA normal mereka, yang dapat melibatkan kadar karbondioksida tinggi.
4. Barotrauma
Ventilasi mekanis melibatkan “pemompaan” udara kedalam dada,
menciptakan tekanan positif selama inspirasi. Bila TEAP ditambahkan,
tekanan ditingkatkan dan dilanjutkan melalui ekspirasi. Tekanan positif ini
dapat menyebabkan robekan alveolus atau emfisema. Udara kemudian
masuk ke area pleural, menimbulkan tekanan pneumotorak-situasi darurat.
Pasien dapat mengembangkan dispnea berat tiba-tiba dan keluhan nyeri
pada daerah yang sakit. Tekanan ventilator menggambarkan peningkatan
tajam pada ukuran, dengan terdengarnya bunyi alarm tekanan. Pada
auskultasi, bunyi nafas pada area yang sakit menurun atau tidak ada.
Observasi pasien dapat menunjukkan penyimpangan trakeal.
Kemungkinan paling menonjol menyebabkan hipotensi dan bradikardi
yang menimbulkan henti jantung tanpa intervensi medis. Sampai dokter
datang untuk dekompresi dada dengan jarum, intervensi keperawatannya
adalah memindahkan pasien dari sumber tekanan positif dan memberi
ventilasi dengan resusitator manual, memberikan pasien pernafasan cepat.
5. Penurunan Curah Jantung.
Penurunan curah jantung ditunjukkan oleh hipotensi bila pasien pertama
kali dihubungkan ke ventilator ditandai adanya kekurangan tonus simpatis
dan menurunnya aliran balik vena. Selain itu hipotensi adalah tanda lain
dan gejala dapat meliputi gelisah yang tidak dapat dijelaskan, penurunan
tingkat kesadaran, penurunan haluarana urine, nadi perifer lemah,

24
pengisian kapiler lambat, pucat, lemah, dan nyeri dada. Hipotensi biasanya
diperbaiki dengan meningkatkan cairan untuk memperbaiki hipovolemia.
6. Keseimbangan air positif
Penurunan aliran balik vena ke jantung dirangsang oleh regangan reseptor
vagal pada atrium kanan. Manfaat hipovolemia ini merangsang
pengeluaran hormon antidiuretik dari hipofise posterior. Penurunan curah
jantung menimbulkan penurunan haluaran urine melengkapi masalah
dengan merangsang respons aldosteron renin-angiotensin. Pasien yang
bernafas secara mekanis, hemodinamik tidak stabil, dan yang memerlukan
jumlah besar resusitasi cairan dapat mengalami edema luas, meliputi
edema sakral dan fasial.

2.5 Asuhan Keperawatan dengan Ventilator Mekanis


2.5.1    Pengkajian
Perawat mempunyai peran penting dalam mengkaji status pasien dan
fungsi ventilator. Dalam mengkaji pasien, perawat mengevaluasi hal-hal
berikut:
a. Tanda-tanda vital.
b. Bukti adanya Hipoksia (Gelisah, Ansietas, Takikardia, Peningkatan
Frekuensi Pernapasan, Sianosis).
c. Frekuensi dan Pola Pernapasan.
d. Bunyi Napas.
e. Status Neurologis.
f. Volume Tidal, Ventilasi Satu Menit, Kapasitas Vital Kuat.
g. Kebutuhan Penghisapan.
h. Upaya Ventilasi Spontan Pasien.
i. Status Nutrisi.
j. Status Psikologis.

         Pengkajian fungsi jantung. Perubahan dalam curah jantung dapat


terjadi sebagai akibat ventilator tekanan positif. Tekanan intratorak positif
selama inspirasi menekan jantung dan pembuluh darah besar, dengan

25
demikian mengurangi arus balik vena dan curah jantung. Hal ini biasanya
diperbaiki selama ekshalasi ketika tekanan positif mati. Tekanan positif
yang berlebihan dapat menyebabkan pneumotoraks spontan akibat trauma
pada alveoli. Kondisi ini dapat dengan cepat berkembang menjadi
pneumotoraks tension, yang lebih jauh lagi mengganggu arus balik vena,
curah jantung, dan tekanan darah.
Untuk mengevaluasi fungsi jantung, perawat pertama-tama harus
memperhatikan tanda-tanda dan gejala-gejala hipoksemia dan hipoksia
(gelisah, gugup, kelam pikir, takikardia, takipnea, pernapasan labored, pucat
yang berkembang menjadi sianosis, berkeringat, hipertensi transien, dan
penurunan haluaran urin). Jika terpasang kateter arteri pulmonal, curah
jantung, indeks jantung, dan nilai-nilai hemodinamik lainnya dapat
ditentukan.
         Pengkajian peralatan. Ventilator juga harus dikaji untuk memastikan
bahwa ventilator berfungsi dengan tepat dan bahwa pengesetannya telah
dibuat dengan tepat. Meski perawat tidak benar-benar bertanggung jawab
terhadap penyesuaian pengesetan pada ventilator atau pengukuran parameter
ventilator (biasanya ini merupakan tanggung jawab dari ahli terapi
pernapasan). Perawat bertanggung jawab terhadap pasien dan karenanya
harus mengevaluasi bagaimana ventilator mempengaruhi status pasien
secara keseluruhan. Dalam memantau ventilator, perawat harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Jenis ventilator (volume bersiklus, tekanan bersiklus, tekanan negatif).
2. Cara pengendalian (kontrol, bantu/kontrol, intermitent mandatory,
ventilation).
3. Pengesetan volume tidal dan frekuensi.
4. Pengesetan F1O2 (fraksi oksigen yang diinspirasi).
5. Tekanan inspirasi yang dicapai dan batasan tekanan.
6. Pengesetan sigh (biasanya 1,5x dari volume tidal dan berkisar dari 1-
3/jam) jika memungkinkan.

26
7. Adanya air dalam selang, terlepasnya sambungan, atau terlipatnya
selang.
8. Humidifikasi (humidifier dengan air).
9. Alarm (fungsi yang sesuai).
10. PEEP (tekanan akhir ekspiratori positif) atau tingkat dukungan tekanan,
jika memungkinkan

2.5.2  Diagnosa keperawatan


Berdasarkan pada data pengkajian, diagnosa keperawatan mayor pasien
dapat  mencangkup :
1. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan penyakit yang
mendasari, atau penyesuaian pengesetan ventilator selama stabilisasi
penyapihan.
2. Ketidak efektifan jalan napas yang berhubungan sengan pembentukan
lendir yang berkaitan dengan ventilasi mekanis tekanan positif kontinu.
3. Resiko terhadap trauma dan infeksi berhubungan dengan inkubasi
endotrakea dan trakeostomi.
4. Kerusakan mobilitas fisik yang berhungan dengan ketergantungan
ventilator.
5. Kerusakan komunikasi verbal berhungan dengan tekanan selang
endotrakea dan pemasangan pada ventilator.
6. Koping individu tidak efektif dan ketidak berdayaan yang berhungan
dengan ketergantunagn pada ventilator

2.5.3 Intervensi Keperawatan
Meningkatkan pertukaran gas. Tujuan menyeluruh ventilasi mekanis
adalah untuk mengoptimalkan pertukaran gas dengan mempertahankan
ventilasi alveolar dan pengiriman oksigen. Perubahan pertukaran gas dapat
dikarenakan penyakit yang mendasari atau faktor-faktor mekanis yang
berhubungan dengan penyesuaian dari mesin dengan pasien. Tim perawatan
kesehatan, termasuk perawat, dokter, dan ahli trapi pernapasan, secara

27
kontinu mengkaji pasien terhadap pertukaran gas yang adekuat, tanda dan
gejal hipoksia, dan respon terhadap tindakan.
Intervensi keperawatan dengan pasien ventilator mekanis tidak
berbeda secara unik dengan pasien gangguan paru lainnya namun kebutuhan
akan pengamatan keperawatan dan penegakan hubungan perawat-pasien
yang terapeutik adalh sangat penting. Konstilasi intervensi yang digunakan
oleh perawat ditentukan oleh proses penyakit yang mendasari dan respon
pasien. Sebagai contoh pertukaran gas yang tidak adekuat dapat
berhubungan dengan faktor yang sangat beragam: tingakat kesadaran yang
berubah, atelektasis, kelebihan cairan, nyeri insisi, atau penyakit primer
seperti pnemonia.
         Sebagai akibat, intervensi keperawatan untuk meningkatkan
pertukaran gas yang optimal termaksud pemberian medikasi nyeri secara
bijaksana untuk menghilangkan nyeri tetapi bukan untuk secara signifikan
menurunan dorongan pernapasan, dan seringnya perubahan posisi untuk
menghilangkan efek pernapasan terhadap inmobilitas.
         Perawat juga memantau keseimbangan cairan yang adekuat dengan
mengkaji adanya edema perifer. Menghitung pasukan dan haluaran urin,
Dan memantau berat badan harian. Perawat memberikan medikasi untuk
mengontrol penyakit primer dan memantau potensial efek samping obat
yang diberikan. Pengisapan steril jalan napas bawah disertai dengan fisio
trapi dada (perkusi, fibrasi) adalah stategi lain untuk membersihkan jalan
napas dari kelebihan sekresi.
Dua intervensi keperawatan umum yang terutama penting untuk
pasien yang mendapat ventilasi secara mekanis adalah auskultasi paru dan
interpretasi gas darah arteri. Perawat sering menjadi orang pertama yang
mengetahui perubahan dalam temuan pengkajian fisik atau kecendrungan
siknifikan dalam gas darah yang menandakan terjinya masalah siknifikan
(pnemotorak, perubahan letak selang, embolisme pulmonal)
Penatalaksanaan jalan nafas. Ventilasi tekanan positif kontinu
meningkatkan pembentukan sekresi apapun kondisi pasien yang mendasari,

28
perawat harus mengidentifikasi adanya sekresi dengan auskultasi paru
sedikitnya setiap 2/4 jam. Tindakan untuk membersihkan jalan nafas dari
sekresi termasuk pengisapan. Fisioterapi dada, perubahan posisi yang
sering, dan peningkatan mobilitas secepat mungkin.
Mekanisme sigh pada ventilator mungkin dapat disesuaikan untuk
memberikan sedikitkan 1/3 sigh/jam pada 1,5 kali volume tidal jika pasien
menggunakan ventilator bantu kontrol. Karena resiko hiperventilitas dan
trauma pada jaringan paru akibat kelebihan tekanan ventilator (baro trauma,
pneumothorax). Jika pasien menggunakan mode ventilasi madatori
intermitent (IMV). Ventilasi mandatori bekerja sebagai sigh karena ventilasi
ini mempunyai volume lebih besar dibanding pernafasan spontan pasien
Sigh priodik mencegah atelektasis dan retensi sekresi lanjut.
Humidifikasi dengan cara ventilator dipertahankan untuk membantu
pengenceran sekresi sehingga sekresi lebih mudah dikeluarkan.
Bronkodilator, baik intravena atau inhalasi, diberikan sesuai dengan resep
untuk mendilatasi bronkiolus sehingga sekresi dapat dengan mudah
dikeluarkan.
Mencegah trauma dan infeksi.  Penatalaksanaan jalan nafas harus
mencakup pemeliharaan selang endotrakeal atau trakeostomi. Selang
ventilator diposisikan sedemikian rupa sehingga hanya sedikit kemungkinan
tertarik penyimpangan selang dalam trakea. Hal ini mengurangi trauma pada
trakea. Tekanan manset harus dipantau setiap 8 jam untuuk
mempertahankan dibawah 25 cm H2O. Adanya kebocoran cuff dievaluasi
pada waktu yang sama
Perawat trakeostomi dilakukan sedikitnya setiap 8 jam dan lebih
sering jika diindikasikan karena peningkatan resiko infeksi. Higiene oral
sering dilakukan karena rongga oral merupakan sumber utama kontaminasi
paru-paru pasien yang diintubasi dan pasien lemah. Adanya selang
nasogastrik dan penggunaan antasida pada pasien dengan ventilasi mekanis
juga telah mempredisposisikan pasien pada pneumonia nosokomial akibat
aspirasi subklinis. Pasien juga harus diposisikan dengan kepala dinaikkan

29
lebih tinggi dari perut sedapat mungkin untuk mengurangi aspirasi isi
lambung.
Peningkatan tingkat mobilitas optimal. Mobilitas pasien terbatas
karena dihubungkan dengan ventilator. Pasien yang kondisinya menjadi
stabil harus dibantu untuk turun dari tempat tidur dan kekursi segera saat
memungkinkan. Mobilitas dan aktivitas otot sangat bermanfaat karena
menstimulasi pernafasan dengan memperbaiki semangat mental. Jika pasien
tidak mampu untuk turun dari tempat tidur, maka latihan rentang gerak pasif
dan aktif dilakukan setiap 8 jam untuk mencegah atrofi otot, kontraktur dan
stasis vena.
Meningkatkan komunikasi optimal. Metode komunikasi alternatif
harus dikembangkan untuk pasien dengan ventilator. Perawat mengkaji
komunikasi pasien bila keterbatasan pasien diketahui, perawat memberikan
beberapa pendekatan komunikasi; membaca gerak bibir, kertas dan pinsil,
papan komunikasi; bahasa gerak tubuh, penggunaan ‘’berbicara’’ dapat
disarankan pada dokter untuk memungkinkan pasien bicara sementara iya
dengan ventilator pasien harus dibantu untuk menemukanmetoda
komunikasi yang paling cocok. Beberapa metoda dapat membuat frustasi
baik bagi pasien maupun bagi perawat. Dan metode ini hal diidentifikasi
dan diminimalkan.
Meningkatkan kemampuan koping. Ketergantungan pada ventilator
sangat menakutkan baik bagi pasien maupun keluarga. Dengan memberika
dorongan pada mereka untuk mengungkapkan perasaan mereka dengan
ventilator, kondisi pasien, lingkungan, akan sangat bermanfaat. Memberikan
penjelasan semua prosedur setiap kali dilakukan untuk membantu
mengurangi ansietas, untuk memulihkan rasa kontrol pasien didorong untuk
ikut serta dalam pembuatan keputusan tentang perawatan, jadwal,  dan
tindakan bila memungkinkan. Pasien mungkin menjadi menarik diri selama
ventilasi mekanis, trauma jika berkepanjangan akibatnya perawat harus
menginformasikan tentang kemajuannya pada pasien bila memungkinkan.
Tekhnik penurunan stres (pijat punggung, tindakan relaksasi) membantu

30
mlepaskan ketegangan dan memampukan pasien untuk menghadapi ansietas
dan ketakutan tentang kondisi dan ketergantungan pada ventilator

2.5.4    Evaluasi Keperawatan


Hasil yang diharapkan:
1. Menunjukkan pertukaran gas, kadar gas darah arteri, tekanan arteri 
pulmonal, dan tanda-tanda vital adekuat.
2. Menunjukkan ventilasi yang adekuat dengan akumulasi lendir yang
minimal.
3. Bebas dari cedera atau infeksi seperti yang dibuktikan dengan suhu
tubuh dan jumlah sel darah putih.
4. Dapat aktif dalam keterbatasan kemampuan.
5. Berkomunikasi secara efektif melalui pesantertulis, gerak tubuh, alat
komunikasi lainnya.
6. Dapat mengatasi masalah secara efektif.

31
BAB III
STUDI KASUS

3.1 Kasus 1
Tn. D usia 54 tahun dirawat di ICU karena mengalami penurunan kesadaran
pada saat dilakukan Haemodialisa. Riwayat kesehatan saat ini. Tampak
selang nefrostomi kiri dan kanan. 3 Bulan sebelum masur rumah sakit pasien
mengalami nyeri pinggang kiri dan kanan. Nyeri hilang timbul dan panas
badan. Terdapat nyeri pada saat BAK, BAK panas dan keruh. Pasien merasa
mual dan lemah. Keluhan ini sudah dirasakan pasien sejak 2 tahun yang lalu
dan pasien disarankan untuk operasi, namun pasien menolak. 6 hari SMRS
pasien dirujuk ke RS Santosa untuk dilakukan HD. Pada saat dilakukan HD
pasien mengalami penurunan kesadaran, sesak, dan batuk. Riwayat kesehatan
dahulu pasien memilii penakit hipertensi sejak 5 tahun lalu namun tidak
pernah dikontrol. Klien terpasang alat bantu nafas ventilator dengan mode
SIMV PS yang disetting dengan FiO2 80%, Peep 5, , RR 10 x/m, Peak
pressure dalam rentang 13-18, tidal volume dalam rentang 315-500, SaO2
dalam rentamg 97-100%. Tidak tampak adanya retraksi interkostal. perkusi
redup, sura nafas vesikuler, ronkhi basah (crackles) pada bagian kiri bawah.
Klien terpasang CVP dengan tekanan 12.5 cmH20 , TD : 150/100 mmHg,
Nadi teraba lemah dan cepat 112 x/m. akral terlihat pucat, CRT < 2’, terdapat
edema pada ekstremitas atas dan bawah +/+ dengan grade 3, konjungtiva
anemis. TD sistolik dalam rentang 105-155 mmHg, MAP dalam rentang 55-
110 mmHg, dan diastolic dalam rentang 80-100 mmHg. Hasil pemeriksaan
AGD pH : 7,44, PaO2 : 80, HCO3 : 21, PCO2 : 30
Pasien terpasang NGT. Hasil pemeriksaan foto thorax menunjukkan terdapat
infiltrat, pneumonia susp efusi pleura pada paru kiri. Terapi yang
didapatkan NorAdrenalin : 0,3 mg/kgbb/jam, lasik : 20 mg/jam, paracetamol :
4 x 1 gt. Meronem : 3 x 1 gr, dan midazolam : 3 mg/jam yang diberikan
melalui syringe pump.

Lo :

32
1. Askep pada kasus tersebut
2. Prinsip-prinsip penatalaksanaan ventilasi mekanik.

3.2 Step I (Identifikasi Istilah Sulit)


1. Ventilator mode SIM V PS
2. Selang nefrostomi
3. FiO2 80%, peep 5
4. Cvp
5. Hemodialialisa
6. Refraksi interkostal
7. infiltrat
8. Lasix
9. Meronem
10. Midazolam
11. Peak preasure
Jawab :
1. Jika VC adalah bantuan penuh maka SIMV adalah bantuan sebagian
dengan targetnya volume. SIMV memberikan bantuan ketika usaha nafas
spontan pasien mentriger mesin ventilator. Tapi jika usaha nafas tidak
sanggup mentriger mesin, maka ventilator akan memberikan bantuan
sesuai dengan jumlah frekwensi yang sudah diatur.
2. Nefrostomi adalah prosedur yang dilakukan untuk mengalirkan urine
langsung dari ginjal melalui kateter. Tindakan ini dilakukan bila terdapat
sumbatan pada ureter, yang semestinya berfungsi mengalirkan urine dari
ginjal ke kandung kemih.
3. FiO2 adalah jumlah oksigen yg dihantarkan/diberikan oleh ventilator ke
pasien. Konsentrasi berkisar 21-100%. Rekomendasi untuk setting FiO2
pada awal pemasangan ventilator adalah 100%. Namun pemberian 100%
tidak boleh terlalu lama sebab rersiko oxygen toxicity (keracunan oksigen)
akan meningkat. Sedangkan PEEP meningkatkan kapasitas residu
fungsional paru dan sangat penting untuk meningkatkan PaO2 yg refrakter.

33
Nilai PEEP selalu dimulai dari 5 cmH2O. Setiap perubahan pada PEEP
harus berdasarkan analisa gas darah, toleransi dari PEEP, kebutuhan FiO2
dan respon kardiovaskular. Jika PaO2 masih rendah sedangkan FiO2 sudah
60% maka PEEP merupakan pilihan utama sampai nilai 15 cmH2O.
4. CVP adalah memasukkan kateter poli ethylene dari vena tepi sehingga
ujungnya berada di dalam atrium kanan atau di muara vena cava. CVP
disebut juga kateterisasi vena sentralis (KVS).
5. Hemodialisa berasal dari kata hemo = darah dan dialisa = pemisahan zat-
zat terlarut. Hemodialisa adalah suatu metode terapi dialisis yang
digunakan untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam
tubuh ketika secara akut atau secara progresif ginjal tidak mampu
melaksanakan proses tersebut.
6. Retraksi interkostal menunjukkan bahwa ada sesuatu yang menghalangi
atau mempersempit jalan napas Anda. Asma, pneumonia, dan penyakit
pernapasan lainnya dapat menyebabkan penyumbatan.
7. Infiltrat merupakan gambaran radiologi paru yang abnormal, yang
berbentuk titik-titik atau bercak dengan batas tidak tegas. Infiltrat
menggambarkan proses peradangan paru yang aktif. 
8. asix/Furosemide obat apa? Lasix/Furosemix adalah diuretik loop atau pil
air yang mencegah tubuh Anda untuk menyerap banyak garam, sehingga
garam tidak akan lewat untuk dibuang ke urine. Obat Lasix/Furosemide
adalah obat yang biasanya digunakan untuk para penderita edema.
9. Meropenem adalah antibiotik yang digunakan untuk menangani berbagai
kondisi yang diderita akibat adanya infeksi bakteri. Obat ini bekerja
dengan cara mencegah pertumbuhan bakteri dan membunuh penyebab
infeksi tersebut.
10. Midazolam adalah obat golongan benzodiazepine yang diberikan sebelum
operasi, untuk mengatasi rasa cemas, membuat pikiran dan tubuh menjadi
rileks, serta menimbulkan rasa kantuk dan tidak sadarkan diri. Obat ini
bekerja dengan cara memperlambat kerja otak dan sistem saraf.

34
11. Peak inspiratory pressure (PIP) adalah tingkat tekanan tertinggi yang
diterapkan ke paru-paru selama penghirupan. Dalam ventilasi mekanis,
angka tersebut mencerminkan tekanan positif dalam sentimeter tekanan air
(cmH2O). Pada pernapasan normal, terkadang disebut sebagai tekanan
inspirasi maksimal (MIPO), yang merupakan nilai negatif.

3.3 Step 2 (Identifikasi Masalah)


1. Jelaskan hubungan riwayat kesehatan dahulu dengan yangg dialami
sekarang ?
2. Masalah keperawatan pada kasus ?
3. Penyebab pasian mengalami efusi pleura ?
4. Mengapa pada saat dilakukan HD pasien mengalami penurunan kesadaran,
sesak dan batuk, apakah ada hubungan dgn kesehatan yg lalu atau yg
sekarang?
5. Penyebab pasien merasa mual dan lemah ?
6. Interpretasi hasil pemeriksaan pada kasus ?
7. Pada pasien dengan gejala dan penyakit apa saja yang dapat dilakukan
pemasangan ventilasi mekanik?
8. Penyebab nyeri bak, bak panas dan keruh ?
9. Apakah ada hubungan hipertensi dengan penyakit ginjal yang sekarang ?
10. Komplikasi apa saja yang dialami pasien? Jelaskan keterkaitannya satu
sama lain
11. Bagaimana pengkajian nyeri pada pasien dengan penurunan kesadaran ?

3.4 Step 3 (Analisa Masalah)


1. Ada Hubunganya,Karena seseorang yang menderita PGK tekana darah
tinggi akan berisiko memburuknya penyakit ginjal.jika cairan sudah
bertumpuk dalam pembulu darah itulah yang meningkatkan tekanan darah
njadi lebih tinggi sehingga dapat mengakibatkan pecah pembulu darah di
Ginjal maka sangat besar kemungkinanya untuk terjadi Gagal Ginjal
Kronik ( GGK )

35
2. LO
3. Tertimbunya cairan dalam ruang pleura sehingga menyebabkan ketidak
mampuan ginjaluntuk membuang cairan menuyebabkan terjadinya
overload cairan pada tubuh
Dan akhirnya terjadi peningkatan tekana darah hidrostatik yang berujung
pada kebocoran cairan ke ruang – ruang potensial tubuh termasuk rongga
pleura
4. Karena pasien mengalami Gagal Ginjal Kronik.Ada,karena tekana darah
tinggi dapat menjadi penyebab utama Penyakit Ginjal Kronik
(PGK),Seiring waktu tekanan darah tinggi dapat merusak pembuluh darah
Ke seluruh tubuh termasuk pembulu darah ginjal menjadi menebal dan
kaku (atheroscleorosis).Jika terjadi pembuluh darah pecah tersebut di
ginjal,maka penyakit gagal ginjal kronik sangat besar kemungkinan untuk
terjadi
5. Karna pasien mengalami hipertensi peningkatan tekanan darah dikepala
ketika pembulu darah menjadi rusak nefron yang menyaring darah tidak
menerima oksigen
Dan nutrisi yang mereka butuhkan agar berfungsi dengan baik
6. AGD Ph : 7,44 ↑ Meningkat
PaO2 : 80 Normal
HCO3 : 21 Normal
PaCO2 : 30 Normal
7. Pada pasien dengan Gangguan paru-paru berat seperti,Gagal Napas,Asma
Berat,Pneumonia,Penyakit Paru Obstruktif Kronis ( PPOK ).Dan
Pembengkakan Paru ( Edema Paru )
8. Terjadinya infeksi pada saluran kencing,yang berawal dari uretra atau
kandung kemih dan menyebar pada salah satu atau kedua ginjal,yang
disebabkan oleh bakteri e-Coli yang memasuki saluran kemih melalui
uretra kemudian berkembang biak dan menyebar ke ginjal
9. ADA,Karena penyakit yang di alami pasien saat ini merupakan
komplikasi dari penyakit yng di alami pasien dahulu

36
10. Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah.Karena terjadi penumpukan
kelebihan cairan di rongga tubuh.Misalnya edema Paru atau
Asites.Anemia atau kekurangan sel darah merah.Kerusakan sistem saraf
pusat dan dapat menimbulakan kejang.
11. LO

37
3.5 Step 4 (Mind Mapping)

Riwayat kesehatan dahulu :


Tn. D 54 tahun
a. hipertensi sejak 5 tahun lalu
(tidak pernah kontrol)
b. 2 tahun lalu px nyeri pada
saat BAK, BAK panas dan
6 hari SMRS pasien dirujuk untuk keruh. Pasien merasa mual
dilakukan HD. dan lemah. (disrankan operasi
namun ditolak)
c. 3 bulan lalu nyeri pinggang
kiri dan kanan Nyeri hilang
Saat dilakukan Haemodialisa timbul dan panas badan.
pasien mengalami penurunan
kesadaran, sesak, dan batuk

Riwayat kesehatan saat ini :


a. Tampak selang nefrostomi kiri dan kanan
b. Klien terpasang alat bantu nafas ventilator
Dx Gagal ginjal kronik mode SIMV PS :
1. Fio2 80%,
2. Peep 5,
3. RR 10 x/m,
4. Peak pressure dalam rentang 13-18,
Terapi yang didapatkan : 5. Tidal volume dalam rentang 315-500,
a. Noradrenalin : 0,3 mg/kgbb/jam,
6. Sao2 dalam rentamg 97- 100%.
b. Lasik : 20 mg/jam,
c. Tidak tampak adanya retraksi interkostal.
c. Paracetamol : 4 x 1 gt.
Perkusi redup, sura nafas vesikuler, ronkhi
d. Meronem : 3 x 1 gr,
basah (crackles) pada bagian kiri bawah.
e. Midazolam : 3 mg/jam yang
d. Klien terpasang CVP dengan tekanan 12.5
diberikan melalui syringe pump.
cmh20 ,
e. TD : 150/100 mmhg,
f. Nadi teraba lemah dan cepat 112 x/m.
g. Akral terlihat pucat,
h. CRT < 2’,
i. Terdapat edema pada ekstremitas atas dan
bawah +/+ dengan grade 3,
j. Konjungtiva anemis.
k. TD sistolik dalam rentang 105-155 mmhg,
l. MAP dalam rentang 55-110 mmhg,
m. Diastolic dalam rentang 80-100 mmhg.
n. Hasil pemeriksaan AGD ph : 7,44, pao2 :
80, HCO3 : 21, PCO2 : 30
o. Pasien terpasang NGT.
p. Hasil pemeriksaan foto thorax
menunjukkan terdapat infiltrat, pneumonia
susp efusi pleura pada paru kiri
38
3.6 Step 5 ( Learning Objective)
1. LO STEP 2
1) Nomor 2: Masalah keperawatan pada kasus
a. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi
b. Kelebihan volume cairan berhubungan gangguan mekanisme regulasi
c. Resiko Infeksi berhubungan dengan prosedur invasif
2) Nomor 11: Pengkajian nyeri pada pasien dengan penurunan kesadaran
Critical Care Pain Observation Tool (CPOT) merupakan alat ukur nyeri
yang direkomendasikan untuk mengukur nyeri pada pasien dengan
penurunan kesadaran. CPOT adalah sebuah skala sikap yang disarankan
oleh para ahli untuk menilai nyeri pada pasien-pasien kritis yang tidak
dapat berkomunikasi secara verbal. CPOT dikembang oleh Gelines (dkk)
pada tahun 2006.
Petunjuk Penilaian Nyeri dengan CPOT (Gelinas, 2006)
1. Amati pasien selama satu menit
2. Kemudian pasien harus diamati selama mendapatkan tindakan
pengobatan untuk mendeteksi perubahan yang terjadi
3. Pasien harus diamati sebelum dan pada puncah tindakan pengobatan
untuk menilai apakah pengobatan efektif atau tidak dalam
menghilangkan nyeri
4. Amati nilai CPOT setelah dilakukan tindakan pengobatan.

No Indikator Kriteria Skor Deskripsi


1. Ekspresi Santai, netral 0 Tidak ada ketegangan otot
wajah Tegang 1 Merengut, alis menurun,
orbit menegang dan
terdapat kerutan lewator
atau perubahan lainnya
(misalnya membuka mata
atau menangis selama

39
prosedur invasive)

Meringis 2 Semua gerakan mata pada


skor 1 ditambah kelopak
tertutup rapat (pasien
dapat mengalami mulut
terbuka atau menggigit
endotrakeal tube)
2. Gerakan Tidak 0 Tidak bergerak sama
tubuh adanya sekali (tidak berarti
gerakan atau adanya rasa sakit) atau
posisi poisis normal (gerakan
normal tidak dilakukan terhadap
bagian yang terasa nyeri
atau tidak dilakukan untuk
tujuan perlindungan)
Ada gerakan 1 Gerakan lambat, gerakan
perlindungan hati-hati, menyentuh atau
menggosok bagian yang
nyeri (mencari perhatian
melalui gerakan)
Kegelisahan/ 2 Menarik-narik tube,
agitasi mencoba untuk duduk,
menggerakan tungkai /
meronta-ronta, tidak
mengikuti perintah,
menyerang staf, mencoba
turun dari tempat tidur.
3. Kepatuhan Toleransi 0 Alarm tidak aktif/tidak
terhadap terhadap bunyi, ventilasi mudah

40
pemasangan ventilator
ventilator atau gerakan
(pasien Batuk tapi 1 Batuk, alarm aktif/bunyi
terpasang masih tapi berhenti secara
intubasi) toleransi spontan
Melawan 2 Tidak singkron, ventilasi
ventilator tertahan, alarm sering
berbunyi.
4. Vokalisasi Berbicara 0 Berbicara dalam suara
(Pasien dalam nada normal atau tidak sama
yang tidak normal atau sekali
terpasang tidak ada
ventilator) suara
Menghela 1 Menghela napas, merintih
napas,
merintih
Menangis, 2 Menangis, terisak-isak
terisak-isak
5. Ketegangan Santai 0 Tidak ada perlawanan
otot pada gerakan pasif
Tegang kaku 1 Ada perlawanan pada
gerakan pasien
Sangat 2 Perlawanan kuat pada
tegang dan gerakan pasif atau tidak
sangat kaku biasa dilakukan gerakan
pasif
2. LO Kasus
1) Askep pada kasus tersebut
2) Prinsip-prinsip penatalaksanaan ventilasi mekanik.
a. Ada 3 golongan Ventilator :

41
1. Ventilator Tekanan Negative
Bekerja dengan cara membuat lingkungan bertekanan negative di
sekeliling dada, sehingga udara dapat masuk kedalam paru-paru.
2. Ventilator Tekanan Positive
Bekerja dengan cara membuat tekanan positive kedalam jalan
nafas, sehingga udara dapat masuk kedalam paru-paru.
3. Extra Corporeal Membrane Oxygenation.
b. Tujuan Bantuan nafas dengan Ventilator:
1. Mengurangi kerja pernafasan.
2. Memperbaiki ventilasi alveolar.
3. Memberikan oksigenasi adekuat.
c. Indikasi Bantuan nafas dengan Ventilator:
1. Gangguan Ventilasi
a) Gangguan fungsi otot pernafasan (kelelahan, gangguan dinding
dada).
b) Penyakit Neuromuskuler.
c) Ventilatory drive menurun.
d) Obstruksi atau airway resistence meningkat.
2. Gangguan Oksigenasi
a) Hypoxemia berulang.
b) Perlu pemberian PEEP.
c) Kerja pernafasan berat.
3. Indikasi lain
a) Mencegah atelectase.
b) Menurunkan TIK ( ICP ).
c) Menurunkan kebutuhan oksigen ( systemic atau myocardial ).
d) Penggunaan muscle relaxant dan sedasi.
d. Mode pada ventilator mekanik
1. Controlled Mechanical Ventilation
Pernafasan pasien diatur sepenuhnya oleh ventilator, tergantung
frekuensi yang ditetapkan. Digunakan pada pasien yang tidak dapat

42
bernafas spontan dan diberikan Trigger of sensitivity = - 20
cmH2O, sehingga pasien tidak dapat membuka katup inspirasi pada
ventilator. Pada umumnya diberi muscle relaxant dan sedasi.
2. Assist Controle Ventilation
Bantuan nafas diberikan atas dasar pacuan nafas pasien. Trigger of
sensitivity = - 2 cmH2O.
3. Intermittent Mandatory Ventilation.
IMV merupakan campuran antara nafas spontan pasien dan control
ventilator. Ventilator memberikan bantuan inspirasi sesuai dengan
frekuensi yang ditetapkan pada selang waktu tertentu, diluar itu
pasien masih dapat bernafas sendiri, sehingga dapat terjadi
tabrakkan antara pernafasan pasien dan pernafasan dari ventilator.
Trigger of sensitivity = - 2 cmH2O. Frekuensi nafas ventilator
harus lebih rendah dari frekuensi nafas spontan pasien.
4. Synchronized Intermittent Mandatory Ventilation.
SIMV berbeda dari IMV karena mandatory breath was
synchronized. Ventilator memberikan bantuan inspirasi sesuai
dengan frekuensi nafas yang ditetapkan, tetapi bantuan inspirasi
jatuh tepat pada saat pasien memulai usaha nafas spontan. SIMV
frequency dimulai dari 10 breaths/min, respiratory rate pasien
sesuai kemampuan (mis: 20 x/min). Trigger of sensitivity = - 2
cmH2O.
5. SIMV + Pressure Support.
Ventilator bekerja untuk SIMV dengan volume cycle sedangkan
untuk PS dengan pressure cycle. Di mulai dengan PS = 15 cmH2O
( pressure limit = 15 cmH2O ). SIMV disini sebagai back up, bila
dengan PS terjadi apnea.
6. Continuous Positive Airway Pressure.
Pasien bernafas spontan, tetapi ventilator memberikan bantuan
tekanan positive yang kontinyu sepanjang siklus respirasi. Tekanan
positive yang diberikan antara 2 – 7 cmH2O, tekanan yang terlalu

43
tinggi akan mengganggu venous return. CPAP dapat meningkatkan
FRC dan memperbaiki oksigenasi.
e. Variasi pada Ventilator.
1. Sigh function ( nafas dalam ).
Diberikan untuk mencegah collapse alveoli. Besarnya 1,5 – 2 kali
TV normal, frekuensi diatur berapa kali perjam.
2. Positive End Expiratory Pressure.
a) Ventilator memberikan tekanan positive pada akhir ekspirasi.
PEEP fisiologis:
Pediatrik = 2 – 3 cm H2O
Dewasa = 3 – 5 cm H2O.
Pada umumnya PEEP dinaikkan antara 5 – 15 cmH2O, untuk
memperbaiki oksigenasi.
b) Pemberian PEEP awal sebesar 5 cm H2O dan dititrasi secara
bertahap 2-3 cm H2O. Pengaruh pemberian PEEP tidak akan
terlihat dalam waktu beberapa jam. Monitor blood pressure,
heart rate dan PaO2 selama pemberian PEEP secara titrasi dan
pada interval waktu tertentu selama terapi pemberian PEEP.
c) Efek samping penggunaan PEEP:
1) Barotrauma.
2) Hipotensi dan penurunan cardiac output
3) Peningkatan PaCO2.
4) Oksigenasi memburuk
3. Inspiratory Pause.
Selesai phase inspirasi, ventilator dapat menahan aliran gas di
dalam paru-paru selama beberapa saat untuk memberi kesempatan
difusi oksigen dari alveoli kedalam kapiler.
4. Inspiratory Time dan I : E ratio.
Inspiratory time adalah waktu yang dibutuhkan oleh aliran gas dari
ventilator untuk masuk kedalam paru-paru. Expiratory time adalah
waktu yang diperlukan oleh aliran gas untuk keluar dari paru-paru,

44
yang dimulai pada akhir inspirasi sampai inspirasi berikutnya.
Waktu inspirasi lebih pendek dari waktu ekspirasi ( I : E ratio = 1:
2 ), bila sebaliknya disebut I : E ratio terbalik. Bila I : E ratio
terbalik terlalu besar akan terjadi : retensi CO2, venous return
terganggu, barotrauma. Inspiratory time normal = 0,3 – 1,5 detik,
dengan rata-rata = 0,75 detik. Siklus respirasi terdiri dari :
inspiratory time + inspiratory pause + expiratory time  I : E ratio
= ( Ti + Tp ) : Te.
5. Peak Inspiratory Pressure.
Nilai normal:
Pediatrik = 12 – 18 cmH2O
Dewasa = 25 – 35 cmH2O.
6. Respiratory Rate.
Usia: < 2 tahun = 20 – 25 breaths/min.
2 – 10 tahun = 15 – 20 breaths/min.
> 10 tahun = 10 – 15 breaths/min.
7. Minute Volume and Tidal Volume.
Minute Volume = TV x RR.
Tidal Volume : Pediatrik = 7 – 8 ml/kg
Dewasa = 9 –10 ml/kg.
Dead space volume = 2 ml/kg.
Compressible Volume adalah volume gas dari ventilator yang
berada pada pipa penyalur, yang tidak ikut dalam pertukaran gas.
Besarnya 1 – 2 ml/cm H2O pada pediatric dan 2 – 4 ml/cmH2O
pada dewasa (pertekanan tekanan gas inspirasi). Agar ventilasi
alveolar adekuat, maka tidal volume minimal = 15 – 20 ml/kg
( TV pasien + dead space volume + compressible volume ).
7. Inspiratory Fraction of Oxygen ( FiO2 ).
Awal berikan 100 %, secepatnya turunkan jadi < 50%.
8. Flow Rate.

45
Batas aliran gas terendah adalah 2 kali minute ventilation.
Sebagian
besar ventilator bayi dapat bekerja dengan flow rate gasses 4 – 10
L/min. Maka pada flow cycle diberikan flow = 2 –3 L/kg

3.7 Asuhan Keperawatan Kasus


A. Pengkajian
1. Biodata
Identitas Pasien
Nama : Tn. D
Jenis Kelamin : Laki- Laki
Umur : 54 Tahun
Ruangan : ICU
Dx. Medis : Gagal Ginjal Kronik
Identitas Penanggung Jawab : Tidak terkaji
2. Keluhan Utama : Klien mengalami penurunan kesadaran pada saat
haemodialisa
3. Riwayat Kesehatan Sekarang : Klien terpasang selang nefrostomi kiri dan
kanan. Klien terpasang alat bantu nafas ventilator dengan mode SIMV PS
yang disetting dengan FiO2 80%, Peep 5, , RR 10 x/m, Peak pressure
dalam rentang 13-18, tidal volume dalam rentang 315-500, SaO2 dalam
rentamg 97- 100%. Tidak tampak adanya retraksi interkostal. perkusi
redup, sura nafas vesikuler, ronkhi basah (crackles) pada bagian kiri
bawah. Klien terpasang CVP dengan tekanan 12.5 cmH20 dan klien
terpasang NGT
4. Riwayat Kesehatan Masa Lalu : Klien memiliki riwayat penyakit hipertensi
5 tahun yang lalu tetapi tidak pernah dikontrol. 6 hari SMRS klien dirujuk
ke RS Santosa untuk dilakukan HD. Pada saat dilakukan HD klien
mengalami penurunan kesadaran, sesak, dan batuk. 3 Bulan sebelum masur
rumah sakit klien mengalami nyeri pinggang kiri dan kanan. Nyeri hilang
timbul dan panas badan. Terdapat nyeri pada saat BAK, BAK panas dan
keruh. Klien merasa mual dan lemah. Keluhan ini sudah dirasakan pasien

46
sejak 2 tahun yang lalu dan pasien disarankan untuk operasi, namun pasien
menolak.
5. Riwayat Kesehatan Keluarga : Tidak Terkaji
6. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Klien mengalami penurunan kesadaran
b. TTV :
Nadi : 112 x/ menit
RR : 10 x/menit
TD : 150/100
c. Pemeriksaan Head to Toe
- Kepala :
Mata : konjungtiva anemis
Mulut dan faring : Klien terpasang NGT
- Pemeriksaan Thorax dan Paru: Klien terpasang alat bantu nafas
ventilator dengan mode SIMV PS. Tidak tampak adanya retraksi
interkostal. perkusi redup, sura nafas vesikuler, ronkhi basah
(crackles) pada bagian kiri bawah. Klien terpasang CVP dengan
tekanan 12.5 cmH20.
- Pemeriksaan Jantung : Nadi teraba lemah dan cepat, MAP dalam
rentang 55 – 110 mmHg, Sistolik dalam Rentang 105- 155 mmHg,
dan Diastolic dalam rentang 80-100 mmHg
- Pemeriksaan Integumen : CRT < 2
- Ekstremitas : Terdapat edema pada ekstremitas atas dan bawah +/+
grade 3.
7. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium :

Jenis pemeriksaan Hasil

47
Pemeriksaan AGD :
- pH 7,44 (Normal)
- PaO2 80 (Normal)
- HCO3 21 (Menurun)
- PCO2 30 (Menurun)
- SaO2 97 – 100%
(Normal)

Foto Thorax : Hasil pemeriksaan foto thorax menunjukkan terdapat


infiltrate, pneumonia susp efusi pleura pada paru kiri.

8. Terapi Obat – Obatan : NorAdrenalin : 0,3 mg/kgbb/jam, lasik : 20 mg/jam,


paracetamol : 4 x 1 gt. Meronem : 3 x 1 gr, dan midazolam : 3 mg/jam yang
diberikan melalui syringe pump.

Analisa Data

No Data Fokus Etiologi Problem


1 DS : Ketidakseimbangan Gangguan
ventilasi- perfusi Pertukaran Gas
DO :

1. Klien mengalami penurunan


kesadaran
2. Tidak tampak adanya retraksi
interkostal.
3. Perkusi redup, sura nafas
vesikuler, ronkhi basah
(crackles) pada bagian kiri
bawah
4. Hasil pemeriksaan AGD pH :
7,44, PaO2 : 80, HCO3 : 21,

48
PCO2 : 30
5. Klien terpasang alat bantu
nafas ventilator dengan mode
SIMV PS yang disetting
dengan FiO2 80%, Peep 5, ,
RR 10 x/m, Peak pressure
dalam rentang 13-18, tidal
volume dalam rentang 315-
500, SaO2 dalam rentamg 97-
100%
2 DS : Gangguan Kelebihan
mekanisme volume cairan
1. 3 bulan sebelum masuk rumah
regulasi
sakit pasien mengalami nyeri
pinggang kiri dan kanan (hidronefrosis)
2. Nyeri hilang timbul dan panas
badan

DO :

1. Terdapat edema pada


ekstremitas atas dan bawah
dengan grade 3
2. TD : 150/100
3. Hasil foto thorax terdapat
efusi pleura pada paru kiri
4. Pekusi redup
5. Diberikan terapi lasik 20
mg/jam
3 DS : Prosedur Invasif Resiko Infeksi

DO :

1. Tampak terpasang selang

49
nefrostomi kanan dan kiri
2. Klien terpasang alat bantu
nafas ventilator
3. Klien terpasang NGT

B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi
2. Kelebihan volume cairan berhubungan gangguan mekanisme regulasi
3. Resiko Infeksi berhubungan dengan prosedur invasif

C. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil
1 Gangguan Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor ventilator
pertukaran keperawatan selama 1 x 24 2. Setting ventilator
gas jam diharapkan gangguan dengan kemampuan
pertukaran gas dapat pernafasan pasien
teratasi kriteria hasil : 3. Pantau analisa gas
darah
1. Adanya tanda
4. Meningkatkan
ventilasi da
frekuensi nafas
oksigenasi yang
5. Sesuaikan dengan
adekuat
mask yang di pakai
2. Agd dalam rentang
6. Auskultasi suara
normal
nafas, catat adanya suara
3. TTV dalam rentang
nafas tambahan
normal
7. Auskultasi suara paru
setelah tindakan untuk

50
mengetahui hasilnya
8. Kolaborasi
pemasangan cest
cube/wsd
2 Kelebihan Setelah dilakukan tindakan 1. Catat intake dan output
Volume keperawatan selama 2x24 cairan
Cairan jam diharapkan volume 2. Monitor status
cairan seimbang dengan hemodinamik termasuk
Penumpuk
kriteria hasil : CVP, MAP
an natrium
3. Monitor tanda-tanda vital
1. Terbebas dari edema,
Treatment 4. Monitor status nutrisi
efusi pleura
kelebihan 5. Monitor status cairan dan
2. Bunyi nafas bersih
volume elektrolit
tidak ada dyspnea
cairan dgn 6. Pasang kateter urin bila
3. TTV dalam rentang
ggk diperlukan
normal
7. Kolaborasi dengan dokter
pemberian diuretic sesuai
indikasi

3 Resiko Setelah dilakukan tindakan 1. Bersihkan lingkungan


Infeksi keperawatan selama 3 x 24 setelah dipakai pasien lain
jam diharapkan resiko 2. Pertahankan teknik isolasi
Dimana,
infeksi teratasi dengan 3. Batasi pengunjung
lebih
kriteria hasil : 4. Instruksikan pada
spesifik
pengunjung untuk
1. Klien bebas dari tanda
Oral mencuci tangan saat
dan gejala infeksi
hygine berkunjung dan setelah
2. Menunjukkan perilaku
berkunjung meninggalkan
hidup sehat
pasien
5. Gunakan sabun
antimikroba untuk cuci

51
tangan
6. Gunakan baju, sarung
tangan sebagai alat
pelindung
7. Pertahankan lingkungan
aseptik selama
pemasangan alat
8. Monitor tanda dan gejala
infeksi sistemik dan lokal
9. Monitor kerentanan
terhadap infeksi
10. Berikan terapi antibiotik
bila perlu untuk proteksi
terhadap infeksi

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Gagal ginjal kronis (chronic renal failure) adalah kerusakan ginjal
progresif yang berakibat fatal dan ditandai dengan uremia (urea dan limbah
nitrogen lainnya yang beredar dalam darah serta komplikasinya jika tidak

52
dilakukan dialisis atau transplantasi ginjal. Penyakit ginjal kronik pada
awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam
perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional
nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi,
yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokinin dan growth factor.

4.2 Saran
Demikianlah makalah ini kami buat dengan sebaik baiknya, namun
sebagai manusia kami tidak lepas dari kesalahan. Oleh karena itu, saran dan
kritik yang membangun kami sangat mengharapkan untuk menyempurnakan
makalah ini diwaktu yang akan datang

DAFTAR PUSTAKA

Anymous. 2008. Weaning from a ventilator diakses dari


httpm://www/northeastcenter.com/weaning from a ventilator.htm pada
tanggal 13 Desember 2010.

Anymous.2006.Ventilator mekanik. diakses dari


http://wikipedia.org/wiki/Mechanical_ventilation pada tanggal 13
Desember 2010

53
Bayhakki. 2012. Sari Asuh Keperawatan Klien Gagal Ginjal Kronik. Jakarta :
EGC.

Dianati, N.A. 2015. Gout and Hyperuricemia. Jurnal Majority. 4 (3) : 82-89

Edmund, L. 2010. Clinical chemistry and molecular diagnosis. 4th ed. Kidney
function tests. America: Elsevier.

Frank, C. 2010. Biomarkers of impaired renal function. Wolters Kluwer Health.


Gowda S, dkk. 2010. Pemeriksaan Fungsi Ginjal. Jurnal Amerika Utara tentang
Ilmu Kedokteran 2 (4): 170-173.

Hudak, Carolyn dkk.1997. Keperawatan Kritis Volume 1. Jakarta: EGC

Mantiri, dkk. 2017. Gambaran Kadar Asam Urat pada Pasien Penyakit Ginjal
Kronik Stadium 5 yang belum Menjalani Hemodialisis. Jurnal e-Biomedik
(eBm). 5 (2) : 148-154

Myers, G. 2012. Penanda risiko penyakit ginjal dan kardiovaskuler.


Cardiovascular.

Pranata, PB. 2012. Hubungan Kadar Asam Urat dalam Darah pada Penderita
Penyakit Gnjal Kronik dengan Kejadian Artritis Gout Di RSUD
Dr.Moewardi Surakarta. Skipsi. Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

Prasasti, SP. 2009. Pengaruh Pemberian Allopurinol Terhadap Perubahan kadar


Asam Urat Penyakit Ginjal Kronik dengan Hiperurisemia. Skripsi.
Universitas Airlangga.

Price, S. A dan Wilson, L. M. 2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Jakarta : EGC.

Putra, TR. 2009. Hiperurisemia, dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5.
Jakarta : EGC.
Rahmawati, F. 2018. Aspek laboratorium Gagal Ginjal Kronik. Jurnal Ilmiah
Kedokteran Wijaya Kusuma. 6 (1) : 14-22.

Rohayati. 2014. Korelasi Kadar Gula Darah Terhadap kadar Ureum dan Kreatinin
pada Penderita diabetes Mellitus tipe 2 di RSUD Brebes. Skripsi.
Universitas Muhammadiyah Semarang.

Silbernagl dan Lang. 2012. Gagal Ginjal Kronis : Gangguan Fungsi, Dalam :
Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta : EGC.

54
Smeltzer, Suzanne, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Volume 1.
Jakarta: EGC

Soeroso, Joewono dan Hafid Algristian. 2011. Asam Urat. Jakarta : Penebar Plus.
Wong, D.L. et all. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik vol 2. Jakarta: EGC
Wortmann, RL. 2009. Gout and Hyperuricemia, dalam Firestein GS, dkk. 8 th ed.
Philadelphia: Saunders.

55

Anda mungkin juga menyukai