NAMA KELOMPOK :
1. Hesti Pebriyanti
2. Idil Fitriani
3. Hera Dwiyanti
Penulis
2
DAFTAR ISI
JUDUL .........................................................................................i
A. Latar Belakang...................................................................4
B. Rumusan Masalah ............................................................5
C. Tujuan ................................................................................5
A. Kesimpulan ........................................................................29
B. Saran .................................................................................29
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyakit ginjal merupakan salah satu penyakit kronik yang paling
banyakmenyerang warga dunia. Siapapun dapat terserang penyakit
ginjal, tanpamemandang usia ataupun ras. Salah satunya adalah gagal
ginjal kronik yaitu terjadi kerusakan ginjal secara perlahan- lahan dalam
waktu lebih dari tiga bulan atau bahkan sampai bertahun-tahun dan juga
merupakan akibat terminal destruksi jaringan dan kehilangan fungsi
ginjal yang berlangsung berangsur-angsur. Keadaan ini dapat pula
terjadi karena penyakit yang progresif cepat disertai awitan mendadak
yang menghancurkan nefron dan menyebabkan kerusakan ginjal yang
ireversibel (Kowalak, Welsh, & Mayer,2017).
4
skeletal, parestesia, disfungsi saraf motorik (foot drop dan paralisis
flasid), fraktur patologis (Kowalak, Welsh, & Mayer, 2017).
B. RUMUSAH MASALAH
C. TUJUAN
5
BAB II
PEMBAHASAAN
KONSEP MEDIS
B. Klasifikasi
Menurut Setiati (2015) dan Lemone, Burke, & Bauldoff (2016) gagal
ginjal kronik dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat penyakit dan
Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) yaitu:
6
1. Stadium 1 memiliki nilai LFG > 90 ml/menit/1,73m²
C. Etiologi
7
seperti DM yang menyebabkan mobilisasi lemak meningkat sehingga
terjadi penebalan membrane kapiler dan di ginjal dan berlanjut
dengan disfungsi endotel sehingga terjadi nefropati amyloidosis yang
disebabkan oleh endapan zat-zat proteinemia abnormal pada dinding
pembuluh darah secara serius merusak membrane glomerulus.
5. Gangguan tubulus primer :
terjadinya nefrotoksis akibat analgesik atau logam berat.
6. Obstruksi traktus urinarius :
oleh batu ginjal, hipertrofi prostat, dan kontstriksi uretra.
7. Kelainan kongenital dan herediter :
penyakit polikistik sama dengan kondisi keturunan yang
dikarakteristik oleh terjadinya kista atau kantong berisi cairan
didalam ginjal dan organ lain, serta tidak adanya jaringan ginjal yang
bersifat konginetal (hypoplasia renalis) serta adanya asidosis.
D. Patofisiologi
Menurut (Suzanne & Bare,2001), pada waktu terjadi kegagalan
ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan tubulus) diduga utuh
sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang
utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai
reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR/daya saring.
Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari
nefron-nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih
besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik
disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak
bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik
dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan
muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal
telah hilang 80%-90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai
kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu.
8
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang
normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi
uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak
timbunan produk sampah, akan semakin berat.
9
c). Asidosis
Dengan semakin berkembangnya penyakit renal, terjadi asidosis
metabolic seiring dengan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan
muatan asam (H+) yang berlebihan. Penurunan sekresi asam
terutama akibat ketidakmampuan tubulus gjnjal untuk menyekresi
ammonia (NH3 ̅) dan mengabsopsi natrium bikarbonat (HCO3) .
penurunan ekskresi fosfat dan asam organik lain juga terjadi.
d). Anemia
Anemia timbul sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak
adekuat, memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan
kecenderungan untuk mengalami perdarahan akibat status uremik
pasien, terutama dari saluran gastrointestinal. Pada gagal ginjal,
produksi eritropoetin menurun dan anemia berat terjadi, disertai
keletihan, angina dan sesak napas.
e). Ketidakseimbangan Kalsium dan Fosfat
Abnormalitas yang utama pada gagal ginjal kronis adalah gangguan
metabolisme kalsium dan fosfat. Kadar serum kalsium dan fosfat
tubuh memiliki hubungan saling timbal balik, jika salah satunya
meningkat, maka yang satu menurun. Dengan menurunnya filtrasi
melalui glomerulus ginjal, terdapat peningkatan kadar serum fosfat
dan sebaliknya penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar
kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar
paratiroid. Namun, pada gagal ginjal tubuh tak berespon secara
normal terhadap peningkatan sekresi parathormon dan
mengakibatkan perubahan pada tulang dan pebyakit tulang. Selain
itu juga metabolit aktif vitamin D (1,25-dehidrokolekalsiferol) yang
secara normal dibuat di ginjal menurun
f). Penyakit tulang uremik Disebut Osteodistrofi renal, terjadi dari
perubahan kompleks kalsium, fosfat dan keseimbangan
parathormon.
10
E. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan cairan
elektrolit dan mencegah komplikasi, yaitu sebagai berikut (Muttaqin,
2011) :
1. Dialisis
Dialisis dapat dilakukan dengan mencegah komplikasi gagal ginjal
yang serius, seperti hyperkalemia, pericarditis, dan kejang. Dialisis
memperbaiki abnormalitas biokimia, menyebabkan cairan, protein
dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas, menghilangkan
kecenderungan perdarahan dan membantu penyembuhan luka.
Dialisis atau dikenal dengan nama cuci darah adalah suatu metode
terpi yang bertujuan untuk menggantikan fungsi/kerja ginjal yaitu
membuang zat-zat sisa dan kelebihan cairan dari tubuh. Terapi ini
dilakukan apabila fungsi kerja ginjal sudah sangat menurun (lebih
dari 90%) sehingga tidak lagi mampu untuk menjaga kelangsungan
hidup individu, maka perlu dilakukan terapi. Selama ini dikenal ada 2
jenis dialisis :
a) Hemodialisis (cuci darah dengan mesin dialiser) Hemodialisis atau
HD adalah jenis dialisis dengan menggunakan mesin dialiser yang
berfungsi sebagai ginjal buatan. Pada proses ini, darah dipompa
keluar dari tubuh, masuk kedalam mesin dialiser. Didalam mesin
dialiser, darah dibersihkan dari zat-zat racun melalui proses difusi
dan ultrafiltrasi oleh dialisat (suatu cairan khusus untuk dialisis), lalu
setelah darah selesai di bersihkan, darah 31 dialirkan kembali
kedalam tubuh. Proses ini dilakukan 1-3 kali seminggu di rumah salit
dan setiap kalinya membutuhkan waktu sekitar 2-4 jam.
b) Dialisis peritoneal (cuci darah melalui perut) Terapi kedua adalah
dialisis peritoneal untuk metode cuci darah dengan bantuan
membrane peritoneum (selaput rongga perut). Jadi, darah tidak perlu
dikeluarkan dari tubuh untuk dibersihkan dan disaring oleh mesin
dialisis.
11
2. Koreksi hiperkalemi
Mengendalikan kalium darah sangat penting karena hiperkalemi
dapat menimbulkan kematian mendadak. Hal pertama yang harus
diingat adalah jangan menimbulkan hiperkalemia. Selain dengan
pemeriksaan darah, hiperkalemia juga dapat didiagnosis dengan
EEG dan EKG. Bila terjadi hiperkalemia, maka pengobatannya
adalah dengan mengurangi intake kalium, pemberian Na
Bikarbonat, dan pemberian infus glukosa.
3) Koreksi anemia
Usaha pertama harus ditujukan untuk mengatasi factor defisiensi,
kemudian mencari apakah ada perdarahan yang mungkin dapat
diatasi. Pengendalian gagal ginjal pada keseluruhan akan dapat
meninggikan Hb. Tranfusi darah hanya dapat diberikan bila ada
indikasi yang kuat, misalnya ada infusiensi coroner.
4) Koreksi asidosis
Pemberian asam melalui makanan dan obat-obatan harus
dihindari. Natrium Bikarbonat dapat diberikan peroral atau
parenteral. Pada permulaan 100 32 mEq natrium bikarbonat diberi
intravena perlahan-lahan, jika diperlukan dapat diulang.
Hemodialisis dan dialisis peritoneal dapat juga mengatasi
asidosis.
5) Pengendalian hipertensi
Pemberian obat beta bloker, alpa metildopa dan vasodilatator
dilakukan. Mengurangi intake garam dalam mengendalikan
hipertensi harus hati-hati karena tidak semua gagal ginjal disertai
retensi natrium.
6) Transplantasi ginjal
Dengan pencakokkan ginjal yang sehat ke pasien gagal ginjal
kronik, maka seluruh faal ginjal diganti oleh ginjal yang baru.
12
F. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala penyakit ginjal kronis berkembang seiring waktu
jika kerusakan ginjal berlangsung lambat (Kardiyudiani & Brigitta 2019).
Tanda dan gejala penyakit ginjal mungkin termasuk :
a). Mual
b). Muntah
c). Kehilangan nafsu makan
d). Kelelahan dan kelemahan
e). Masalah tidur
f). Perubahan volume dan frekuensi buang air kecil
g). Otot berkedut dan kram
h). Pembengkakan kaki dan pergelangan kaki
i). Gatal terus menerus
j). Nyeri dada jika cairan menumpuk di dalam selaput jantung
k). Sesak napas jika cairan menumpuk di paru-paru
l). Tekanan darah tinggi yang sulit dikendalikan
1) Identitas pasien
Meliputi nama lengkat, tempat tinggal, umur, tempat lahir, asal suku
bangsa, nama orang tua, pekerjaan orang tua.
2) Keluhan utama
13
Kelemahan, susah berjalan/bergerak, kram otot, gangguan istirahat
dan tidur, takikardi/takipnea pada waktu melakukan aktivitas dan
koma.
4) Aktifitas/istirahat :
5) Sirkulasi
6) Integritas ego
7) Eliminasi
8) Makanan/Cairan
14
Peningkatan berat badan cepat (oedema), penurunan berat badan
(malnutrisi), anoreksia, nyeriulu hati, mual/muntah, rasa metalik tak
sedap pada mulut (pernapasan ammonia), penggunaan diuretic,
distensi abdomen/asietes, pembesaran hati (tahap akhir), perubahan
turgor kulit/kelembaban, ulserasi gusi, perdarahan gusi/lidah
9) Neurosensori
10) Nyeri/kenyamanan
Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot/nyeri kaki dan perilaku berhati-
hati/distraksi, gelisah.
11) Pernapasan
12) Keamanan
13) Seksualitas
15
Penurunan libido, amenorea, infertilitas
15) Penyuluhan/Pembelajaran
B. Diagnosis
16
ginjal kronis adalah sebagai berikut (Brunner&Sudart, 2013 dan SDKI,
2016): 1) Hipervolemia
2) Defisit nutrisi
3) Nausea
6) Intoleransi aktivitas
9) Nyeri akut
C. Perencanaan
17
Tabel 2.1
18
deuretik
9. Kolaborasi pemberian
continuous renal
replecement therapy
(CRRT), jika perlu
2 Defisit Nutrisi Setelah dilakukan Manajemen Nutrisi
tindakan Observasi
keperawatan 1. Identifikasi status
selama 3x8 jam nutrisi
diharapkan 2. Identifikasi makanan
pemenuhan yang disukai
kebutuhan nutrisi 3. Monitor asupan
pasien tercukupi makanan
dengan kriteria 4. Monitor berat badan
hasil: 1. intake Terapeutik
nutrisi tercukupi 5. Lakukan oral hygiene
2. asupan sebelum makan, jika perlu
makanan dan 6. Sajikan makanan
cairan tercukupi secara menarik dan suhu
yang sesuai
7. Berikan makanan tinggi
serat untuk mencegah
konstipasi Edukasi
8. Anjurkan posisi duduk,
jika mampu
9. Ajarkan diet yang
diprogramkan
Kolaborasi
10. Kolaborasi dengan
ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori
19
3 Nausea Setelah dilakukan Manajemen Mual
tindakan Observasi
keperawatan 1. Identifikasi pengalaman
selama 3x8 jam mual
maka nausea 2. Monitor mual (mis.
membaik dengan Frekuensi, durasi, dan
kriteria hasil: tingkat keparahan)
1. Nafsu makan Terapeutik
membaik 3. Kendalikan faktor
2. Keluhan mual lingkungan penyebab
menurun (mis. Bau tak sedap,
3. Pucat membaik suara, dan rangsangan
4. Takikardia visual yang tidak
membaik (60-100 menyenangkan)
kali/menit) 4. Kurangi atau hilangkan
keadaan penyebab mual
(mis. Kecemasan,
ketakutan, kelelahan)
Edukasi
5. Anjurkan istirahat dan
tidur cukup
6. Anjurkan sering
membersihkan mulut,
kecuali jika merangsang
mual
7. Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengatasi mual(mis.
Relaksasi, terapi musik,
akupresur)
Kolaborasi
20
8. Kolaborasi pemberian
antiemetik, jika perlu
4 Kerusakan Setelah dilakukan Perawatan integritas
Integritas Kulit tindakan kulit Obsevasi
keperawatan 1. Identifikasi penyebab
selama 3x8 jam gangguan integritas kulit
diharapkan (mis. Perubahan sirkulasi,
integritas kulit perubahan status nutrisi)
dapat terjaga Terapeutik
dengan kriteria 2. Ubah posisi tiap 2 jam
hasil: jika tirah baring
1. Integritas kulit 3. Lakukan pemijataan
yang baik bisa pada area tulang, jika
dipertahankan perlu
2. Perfusi jaringan 4. Hindari produk
baik berbahan dasar alkohol
3. Mampu pada kulit kering
melindungi kulit 5. Bersihkan perineal
dan dengan air hangat
mempertahankan Edukasi
kelembaban kulit 6. Anjurkan menggunakan
pelembab (mis. Lotion
atau serum)
7. Anjurkan mandi dan
menggunakan sabun
secukupnya
8. Anjurkan minum air
yang cukup
9. Anjurkan menghindari
terpapar suhu ekstrem
5 Gangguan setelah dilakukan Pemantauan respirasi
21
pertukaran tindakan Observasi
gas keperawatan 1. Monitor frekuensi,
selama 3x8 jam irama, kedalaman dan
diharapkan upaya napas
pertukaran gas 2. Monitor pola napas
tidak terganggu 3. Monitor saturasi
dengak kriteria oksigen
hasil: 4. Auskultasi bunyi napas
1. Tanda-tanda Terapeutik
vital dalam rentang 5. Atur interval
normal 2. Tidak pemantauan respirasi
terdapat otot bantu sesuai kondisi pasien
napas 6. Bersihkan sekret pada
3. Memlihara mulut dan hidung, jika
kebersihan paru perlu
dan bebas dari 7. Berikan oksigen
tanda-tanda tambahan, jika perlu
distress 8. Dokumentasikan hasil
pernapasan pemantauan
Edukasi
9. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan 10.
Informasikan hasil
pemantauan
Kolaborasi
11. Kolaborasi penentuan
dosis oksigen
6 Intoleransi Setelah dilakukan Manajemen Energi
aktifitas tindakan Observasi
keperawatan 1. Monitor kelelahan fisik
selama 3x8 jam 2. Monitor pola dan jam
22
toleransi aktivitas tidur
meningkat dengan Terapeutik
kriteria hasil: 3. Lakukan latihan
1. Keluhan lelah rentang gerak pasif/aktif
menurun 4. Libatkan keluarga
2. Saturasi oksigen dalam melakukan
dalam rentang aktifitas, jika perlu
normal (95%- Edukasi
100%) 5. Anjurkan melakukan
3. Frekuensi nadi aktifitas secara bertahap
dalam rentang 6. Anjurkan keluarga
normal (60-100 untuk memberikan
kali/menit) penguatan positif
4. Dispnea saat Kolaborasi
beraktifitas dan 7. Kolaborasi dengan ahli
setelah beraktifitas gizi
menurun (16-20
kali/menit)
7 Resiko Setelah dilakukan Perawatan Jantung
penurunan asuhan Observasi:
curah jantung keperawatan 1. Identifikasi tanda dan
selama 3x8 jam gejala primer penurunan
diharapkan curah jantung (mis.
penurunan curah Dispnea, kelelahan)
jantung meningkat 2. Monitor tekanan darah
dengan kriteria 3. Monitor saturasi
hasil: oksigen
1. Kekuatan nadi Terapeutik
perifer meningkat 4. Posisikan semi-fowler
2. Tekanan darah atau fowler
membaik 100- 5. Berikan terapi oksigen
23
130/60-90 mmHg Edukasi
3. Lelah menurun 6. Ajarkan teknik relaksasi
4. Dispnea napas dalam
menurun dengan 7. Anjurkan beraktifitas
frekuensi 16-24 fisik sesuai toleransi
x/menit Kolaborasi
8. kolaborasi pemberian
antiaritmia, jika perlu
8 Perfusi perifer Setelah dilakukan Perawatan sirkulasi
tidak efektif tindakan Observasi
perawatan selama 1. Periksa sirkulasi perifer
3x8 jam maka (mis. Nadi perifer, edema,
perfusi perifer pengisian kapiler, warna,
meningkat dengan suhu)
kriteria hasil: 2. Monitor perubahan kulit
1. denyut nadi 3. Monitor panas,
perifer meningkat kemerahan, nyeri atau
2. Warna kulit bengkak
pucat menurun 4. Identifikasi faktor risiko
3. Kelemahan otot gangguan sirkulasi
menurun Terapeutik
4. Pengisian 5. Hindari pemasangan
kapiler membaik infus atau pengambilan
5. Akral membaik darah di area
6. Turgor kulit keterbatasan perfusi
membaik 6. Hindari pengukuran
tekanan darah pada
ekstremitas dengan
keterbatasan perfusi
7. Lakukan pencegahan
infeksi
24
8. Lakukan perawatan
kaki dan kuku
Edukasi
9. Anjurkan berhenti
merokok
10.Anjurkan berolahraga
rutin
11.Anjurkan mengecek air
mandi untuk menghindari
kulit terbakar
12.Anjurkan meminum
obat pengontrol tekanan
darah secara teratur
Kolaborasi
13.Kolaborasi pemberian
kortikosteroid, jika perlu
9 Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri
tindakan Observasi
keperawatan 1. Identifikasi factor
selama 3x8 jam pencetus dan pereda
maka tautan nyeri nyeri
meningkat dengan 2. Monitor kualitas nyeri
kriteria hasil: 3. Monitor lokasi dan
1. Melaporkan penyebaran nyeri
nyeri terkontrol 4. Monitor intensitas nyeri
meningkat dengan menggunakan
2. Kemampuan skala
mengenali onset 5. Monitor durasi dan
nyeri meningkat frekuensi nyeri
3. Kemampuan Teraupetik
menggunakan 6. Ajarkan Teknik
25
teknik nonfarmakologis untuk
nonfarmakologis mengurangi rasa nyeri
meningkat 7. Fasilitasi istirahat dan
4. Keluhan nyeri tidur
penggunaan Edukasi
analgesik menurun 8. Anjurkan memonitor
5. Meringis nyeri secara mandiri
menurun 9. Anjurkan menggunakan
6. Frekuensi nadi analgetik secara tepat
membaik Kolaborasi
7. Pola nafas 10. Kolaborasi pemberian
membaik obat analgetik
8. Tekanan darah
membaik
D. Implementasi
1) Tahap Prainteraksi
26
Membaca rekam medis pasien, mengeksplorasi perasaan, analisis
kekuatan dan keterbatasan professional pada diri sendiri, memahami
rencana keperawatan yang baik, menguasai keterampilan teknis
keperawatan, memahami rasional ilmiah dan tindakan yang akan
dilakukan, mengetahui sumber daya yang diperlukan, memahami
kode etik dan aspek hukum yang berlaku dalam pelayanan
keperawatan, memahami standar praktik klinik keperawatan untuk
mengukur keberhasilan dan penampilan perawat harus meyakinkan
2) Tahap Perkenalan
3) Tahap Kerja
4) Tahap Terminasi
E. Evaluasi
27
Evaluasi merupakan suatu proses yang berkelanjutan untuk
menilai efek dari tindakan keperawatan pada pasien. Evaluasi
dilakukan terus-menerus terhadap respon pasien pada tindakan
keperawatan yang telah dilakukan. Evaluasi proses atau promotif
dilakukan setiap selesai tindakan. Evaluasi dapat dilakukan
menggunakan SOAP sebagai pola pikirnya.
28
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B.Saran
29
DAFTAR PUSTAKA
30