Anda di halaman 1dari 34

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN


DENGAN GGA DAN GGK

Dosen Pengajar : Bapak Edy Siswantoro, S.Kep.Ns.M.Kes

DISUSUN OLEH :
1. Putri Dyah Nur Puspitasari [17.035]
2. Aprilya Vera Damayanti [19.004]
3. Maya Rahmawati [19.021]

AKADEMI KEPERAWATAN DIAN HUSADA


MOJOKERTO
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah “Asuhan Keperawatan Klien
Dengan GGA dan GGK”. Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat membantu proses
pembelajaran serta dapat menambah pengetahuan pembaca. Kami selaku penyusun
makalah ini juga tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberikan bantuan, dorongan dan doa sehingga makalah ini dapat terselesaikan
tepat pada waktunya.
Tidak lupa, kami mengharap kritik dan saran untuk memperbaiki makalah ini,
dikarenakan masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini.
 

Mojokerto, 20 September 2021


Penyusun

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................................... 2


Daftar Isi .............................................................................................................................. 3
Bab I Pendahuluan .............................................................................................................. 4
1.1 Latar belakang .......................................................................................................... 4
1.2 Rumusan masalah .................................................................................................... 4
1.3 Tujuan penulisan ...................................................................................................... 5
Bab II Pembahasan ............................................................................................................. 6
2.1 Gagal Ginjal Akut (GGA) ........................................................................................... 6
2.1.1 Definisi .............................................................................................................. 7
2.1.2 Etiologi .............................................................................................................. 8
2.1.3 Faktor resiko ..................................................................................................... 8
2.1.4 Patifisiologi ....................................................................................................... 9
2.1.5 Manifestasi klinis .............................................................................................. 9
2.1.6 Pemeriksaan diagnostik .................................................................................... 9
2.1.7 Komplikasi ....................................................................................................... 10
2.1.8 Penatalaksanaan medis ................................................................................... 10
2.1.9 Asuhan keperawatan ...................................................................................... 17
2.2 Gagal Ginjal Kronis (GGK) ........................................................................................ 17
2.2.1 Definisi ............................................................................................................ 17
2.2.2 Etiologi ............................................................................................................ 19
2.2.3 Faktor resiko ................................................................................................... 29
2.2.4 Patifisiologi ..................................................................................................... 22
2.2.5 Manifestasi klinis ............................................................................................ 23
2.2.6 Pemeriksaan diagnostik .................................................................................. 23
2.2.7 Komplikasi ...................................................................................................... 24
2.2.8 Penatalaksanaan medis .................................................................................. 26
2.2.9 Asuhan keperawatan ...................................................................................... 27
Bab III Penutup .................................................................................................................. 33
3.1 Simpulan ................................................................................................................. 33
3.2 Saran ....................................................................................................................... 33
Daftar Pustaka ................................................................................................................... 34

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit gagal ginjal termasuk salah satu penyakit ginjal yang paling berbahaya.
Penyakit ginjal tidak menular, namun menyebabkan kematian. Penyakit gagal ginjal
dibedakan menjadi dua, yaitu gagal ginjal akut (GGA) dan gagal ginjal kronik (GGK)
(Muhammad, 2012). Penyakit GGK pada stadium akhir disebut dengan End Stage
Renal Disease (ESDR). Penyakit GGK merupakan masalah kesehatan masyarakat
global dengan prevalensi dan insidensi gagal ginjal yang meningkat, prognosis yang
buruk dan biaya yang tinggi (Word Kidney Day n.d., diakses 7 September 2018).
Perawatan penyakit ginjal di Indonesia merupakan ranking kedua pembiayaan
terbesar dari BPJS kesehatan setelah penyakit jantung (Infodatin, 2017). Menurut
data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 prevalensi GGK di Indonesia
sekitar 0,2%. Prevalensi kelompok umur ≥ 75 tahun dengan 0,6% lebih tinggi daripada
kelompok umur yang lain.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang akan di bahas yaitu :
1. Apa definisi dari “Gagal Ginjal Akut” ?
2. Bagaimana etiologi dari “Gagal Ginjal Akut” ?
3. Apa saja faktor resiko dari “Gagal Ginjal Akut” ?
4. Bagaimana patofisiologi dari “Gagal Ginjal Akut” ?
5. Bagaimana manifestasi klinis dari “Gagal Ginjal Akut” ?
6. Apa saja pemeriksaan diagnostik dari “Gagal Ginjal Akut” ?
7. Apa saja komplikasi dari “Gagal Ginjal Akut” ?
8. Bagaimana penatalaksanaan dari “Gagal Ginjal Akut” ?
9. Bagaimana asuhan keperawatan “Gagal Ginjal Akut” ?
10. Apa definisi dari “Gagal Ginjal Kronis” ?
11. Bagaimana etiologi dari “Gagal Ginjal Kronis” ?
12. Apa saja faktor resiko dari “Gagal Ginjal Kronis” ?
13. Bagaimana patofisiologi dari “Gagal Ginjal Kronis” ?
14. Bagaimana manifestasi klinis dari “Gagal Ginjal Kronis” ?
15. Apa saja pemeriksaan diagnostik dari “Gagal Ginjal Kronis” ?
16. Apa saja komplikasi dari “Gagal Ginjal Kronis” ?
17. Bagaimana penatalaksanaan dari “Gagal Ginjal Kronis” ?
18. Bagaimana asuhan keperawatan “Gagal Ginjal Kronis” ?

4
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk :
1. Memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah III;
2. Agar pembaca mengetahui apa itu GGA dan GGK, serta bagaimana asuhan
keperawatannya.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Gagal Ginjal Akut (GGA)


2.1.1 Definisi
Gagal ginjal akut (GGA) adalah suatu sindrom klinik akibat adanya
gangguan fungsi ginjal yang terjadi secara akut, ditandai dengan berkurangnya
volume urin dalam 24 jam. Penderita gagal ginjal akut dilakukan perbaikan aliran
darah ke ginjal, dengan menghentikan penggunaan obat-obatan yang merusak
ginjal dan memperberat kerja ginjal atau mengangkat sumbatan pada saluran
kencing. Stadium ini, fungsi ginjal masih dapat dikembalikan seperti semula
(Erwinsyah, 2009).
Gagal ginjal akut (GGA) adalah suatu keadaan fisiologik dan klinik yang
ditandai dengan pengurangan tiba-tiba glomerular filtration rate (GFR) dan
perubahan kemampuan fungsional ginjal untuk mempertahankan eksresi air
yang cukup untuk keseimbangan dalam tubuh. Atau sindroma klinis akibat
kerusakan metabolik atau patologik pada ginjal yang ditandai dengan penurunan
fungsi yang nyata dan cepat serta terjadinya azotemia (Davidson 1984).
Gagal ginjal akut adalah penurunan laju filtrasi glomerulus secara tiba-tiba,
sering kali dengan oliguri, peningkatan kadar urea dan kreatinin darah, serta
asidosis metabolic dan hiperkalemia (D. Thomson 1992 : 91).

2.1.2 Etiologi
Tiga kategori utama kondisi penyebab gagal ginjal akut menurut Muttaqin,
arif 2011, yaitu :
a. Kondisi Pre Renal (hipoperfusi ginjal)
Kondisi pra renal adalah masalah aliran darah akibat hipoperfusi ginjal
dan turunnya laju filtrasi glumerulus. Kondisi klinis yang umum menyebabkan
terjadinya hipoperfusi renal adalah :
- Penipisan volume
- Hemoragi
- Kehilangan cairan melalui ginjal (diuretik, osmotik)
- Kehilangan cairan melalui saluran GI (muntah, diare, selang nasogastrik)
- Gangguan efisiensi jantung
- Infark miokard
- Gagal jantung kongestif
- Disritmia
- Syok kardiogenik
6
- Vasodilatasi
- Sepsis
- Anafilaksis
- Medikasi antihipertensif atau medikasi lain yang menyebabkan vasodilatasi
b. Kondisi Intra Renal (kerusakan aktual jaringan ginjal)
Penyebab intra renal gagal ginjal akut adalah kerusakan glumerulus atau
tubulus ginjal yang dapat disebabkan oleh hal-hal berikut ini :
- Cedera akibat terbakar dan benturan.
- Reaksi transfusi yang parah.
- Agen nefrotoksik.
- Antibiotik aminoglikosida.
- Agen kontras radiopaque.
- Logam berat (timah, merkuri).
- Obat NSAID.
- Bahan kimia dan pelarut (arsenik, etilen glikol, karbon tetraklorida).
- Pielonefritis akut.
- Glumerulonefritis.
c. Kondisi Post Renal (obstruksi aliran urin)
Kondisi pasca renal yang menyebabkan gagal ginjal akut biasanya akibat
dari obstruksi di bagian distal ginjal. Obstruksi ini dapat disebabkan oleh
kondisi-kondisi sebagai berikut :
- Batu traktus urinarius.
- Tumor.
- BPH.
- Striktur.
- Bekuan darah.

2.1.3 Stadium
a. Stadium I
Tahap stadium ini adalah tahap yang paling ringan, dimana kondisi ginjal
masih baik karena disini hanya terjadi penurunan tahap ginjal. Yaitu tahap
dimana kreatinin serum dan kadar BUN atau Blood Urea Nitrogen dalam batas
normal. Gangguan fungsi ginjal pada tahap ini hanya akan diketahui ketika
ginjal diberikan beban kerja yang berat, seperti tes pemekatan kemih yang
lama dengan melaksanakan test GFR yang teliti.
b. Stadium II
Tahap stadium dua disebut dengan tahap influens ginjal, karena pada
tahap ini terjadi kerusakan jaringan pada fungsi ginjal lebih dari 75% jaringan.
7
Di tahap ini pasien akan mengalami tanda gejala nokturia dan poliuria, dengan
perbandingan jumlah kemih siang hari dan malam hari adalah 3:1 atau 4:1
serta bersihan kreatinin 10-30 ml/menit. Faal ginjal akan sangat menurun dan
menimbulkan gejala-gejala anemia, tekanan darah naik, dan aktivitas
penderita akan terganggu.
c. Stadium III
Tahap stadium tiga adalah gagal ginjal tahap akhir, hal ini dikarenakan
90% dari massa nefron sudah hancur atau hanya sekitar 200.000 nefron yang
masih utuh. Pada tahap ini penderita mulai merasakan gejala yang cukup
parah, karena ginjal tidak lagi sanggup mempertahankan homeostatis cairan
dan elektrolit dalam tubuh. Pasien akan mengalami oliguri atau pengeluaran
kemih kurang dari 500/hari karena kegagalan glomeroulus meskipun proses
penyakit menyerang tubulus ginjal (Ariani, 2016).

2.1.4 Faktor Resiko


Kemungkinan seseorang mengalami gagal ginjal akut akan lebih besar
ketika sudah tua atau memiliki kondisi medis :
a. Riwayat penyakit ginjal,
b. tekanan darah tinggi (hipertensi),
c. Diabetes,
d. Obesitas,
e. penyakit autoimun,
f. Dirawat di rumah sakit, terutama ketika menjalani perawatan intensif, serta
g. Penyumbatan pembuluh darah pada lengan dan kaki (peripheral arterial).

2.1.5 Patofisiologi
Umumnya gagal ginjal akut terjadi disebabkan oleh penurunan dan
kerusakan nefron yang mengakibatkan fungsi ginjal yang progresif menghilang.
Total laju filtrasi glomerolus (GFR) dan klirens mengalami penurunan sedangkan
terjadi peningkatan pada Blood urea nitrogen dan kreatin. Kemudian nefron yang
masih ada menjadi hipertrofi karena fungsinya untuk menyaring menjadi lebih
banyak. Hal ini berakibat pada ginjal, dimana ginjal kehilangan kemampuan
dalam mengentalkan urine. Ditahap ekskresi urine dikeluarkan dalam jumlah
besar sehingga pasien mengalami kehilangan cairan. Tubulus pada akhirnya akan
kehilangan kemampuan dalam menerima elektrolit dan urine yang dibuang
mengandung banyak sodium yang mengakibatkan terjadinya poliuri (Bayhakki,
2013) dalam (Khanmohamadi, 2014).

8
2.1.6 Manifestasi Klinis
Ada beberapa gejala yang timbul oleh adanya penyakit gagal ginjal,
diantaranya yaitu (Haryono, 2013) dan (Nursalam & B, 2009) :
a. Kardiovaskular : darah tinggi, perubahan EKG, perikarditis, efusi perikardium,
dan tamponade perikardium.
b. Gastrointestinal : biasanya terdapat ulserasi pada saluran pencernaan dan
pendarahan.
c. Respirasi : edema paru, efusi pleura, dan pleuritis.
d. Neuromuskular : kelemahan , gangguan tidur, sakit kepala, letargi, gangguan
muskular, neuropati perifer, bingung, dan koma.
e. Metabolik/Endokrin : inti glukosa, hiperlipidemia, gangguan hormon seks
menyebabkan penurunan libido, impoten.
f. Muskuloskeletal : kram otot, kehilangan kekuatan otot, fraktur tulang.
g. Integumen : warna kulit abu-abu, mengilat, pruritis, kulit kering bersisik,
ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar.

2.1.7 Pemeriksaan Diagnostik


a. Tes urine (urinalisis) untuk memeriksa volume dan kandungan urine.
b. Tes darah untuk menguji kadar kreatinin, urea darah, dan kalium dalam darah.
c. GFR untuk melihat fungsi laju filtrasi glomerulus, apakah bekerja dengan baik
atau tidak.
d. USG dan CT-scan untuk memudahkan dokter melihat kondisi dan bentuk
ginjal.
e. Biopsi ginjal dengan mengambil jaringan ginjal dengan jarum khusus.

2.1.8 Komplikasi
a. Penumpukan cairan. Kondisi ini terjadi saat gagal ginjal akut menyebabkan
penumpukan cairan di paru-paru yang dapat mengakibatkan sesak napas.
b. Sakit dada. Kondisi ini terjadi saat lapisan yang menutupi jantung
(perikardium) meradang, sehingga pengidap gagal ginjal akut bisa mengalami
nyeri dada.
c. Kelemahan otot. Kondisi ini terjadi saat cairan dan elektrolit tubuh tidak
seimbang akibat fungsi ginjal menurun, sehingga kelemahan otot dapat
terjadi.
d. Kerusakan ginjal permanen. Terkadang gagal ginjal akut dapat menyebabkan
kehilangan fungsi ginjal permanen atau penyakit ginjal tahap akhir. Orang
dengan penyakit ginjal tahap akhir membutuhkan dialisis permanen, yaitu

9
penyaringan mekanis yang digunakan untuk menghilangkan racun dan limbah
dari tubuh atau transplantasi ginjal untuk bertahan hidup.

2.1.9 Penatalaksanaan Medis


Penyakit gagal ginjal merupakan penyakit yang tidak bisa disembuhkan.
Namun terdapat beberapa cara untuk mengobati gagal ginjal yang secara khusus
bertujuan untuk mengurangi resiko munculnya penyakit lain yang berpotensi
menambah masalah bagi pasien. Beberapa pengobatannya yaitu :
d. Menjaga Tekanan Darah
Dengan menjaga tekanan darah maka dapat mengontrol kerusakan
ginjal, karena tekanan darah sendiri dapat mempercepat kerusakan tersebut.
Obat penghambat ACE merupakan obat yang mampu memberi perlindungan
tambahan pada ginjal dan mengurangi tekanan darah dalam tubuh dan aliran
pembuluh darah.
e. Perubahan Gaya Hidup
Hal yang bisa dilakukan ialah dengan merubah gaya hidup seperti
mengurangi konsumsi garam, menurunkan berat badan diutamakan bagi
penderita obesitas.
f. Obat-Obatan
Obat-obatan seperti anthipertensi, suplemen besi, agen pengikat fosfat,
suplemen kalsium, furosemid (membantu berkemih), transfusi darah.
g. Intake Cairan dan Makanan
Yaitu dengan cara minum air yang cukup dan pengaturan diit rendah
protein memperlambat perkembangan gagal ginjal.
h. Hemodialisis
Yaitu terapi pengganti ginjal yang berfungsi mengeluarkan sisa-sisa
metabolisme atau racun dari peredaran darah manusia seperti air, natrium,
kalium, hydrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui
membran semi permiable sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada
ginjal. (Rudy Hartyono, 2013)

2.1.10 Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian
Pengkajian merupakan proses pengumpulan data secara sistematis yang
bertujuan untuk menentukan status kesehatan dan fungsional dan untuk
menentukan pola respon pasien.
 Biodata : Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan, pendidikan,
alamat.
10
 Riwayat Kesehatan
- Keluhan utama : Keluhan utama yang sering adalah terjadi penurunan
produksi miksi.
- Riwayat kesehatan sekarang : Pengkajian ditujukan sesuai dengan
predisposisi etiologi penyakit terutama pada prerenal dan renal. Secara
ringkas perawat menanyakan berapa lama keluhan penurunan jumlah
urine output dan apakah penurunan jumlah urine output tersebut ada
hubungannya dnegna predisposisi penyebab, seperti pasca perdarahan
setelah melahirkan, diare, muntah berat, luka bakar nluas, cedera luka
bakar, setelah mengalami episode serangan infark, adanya riwayat minum
obat NSAID atau pemakaian antibiotik, adanya riwayat pemasangan
tranfusi darah, serta adanya riwayat trauma langsung pada ginjal.
- Riwayat kesehatan dahulu : Kaji adanya riwayat penyakit batu saluran
kemih, infeksi sistem perkemihan yang berulang, penyakit diabetes melitus
dan penyakit hipertensi pada masa sebelumnya yang menjadi predisposisi
penyebab pasca renal. Penting untuk dikaji tentang riwayat pemakaian
obat-obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat dan
dokumentasikan.
- Riwayat psikososialcultural : Adanya kelemahan fisik, penurunan urine
output dan prognosis penyakit yang berat akan memberikan dampak rasa
cemas dan koping yang maladaptif pada klien.
 Pemeriksaan Fisik
- Keadaan umum dan TTV :
Keadaan umum klien lemah, terlihat sakit berat, dan letargi. Pada TTV
sering didapatkan adanya perubahan, yaitu pada fase oliguri sering
didapatkan suhu tubuh meningkat, frekuensi denyut nadi mengalami
peningkatan dimana frekuensi meningkat sesuai dengan peningkatan suhu
tubuh dan denyut nadi. tekanan darah terjadi perubahan dari hipetensi
rinagan sampai berat.
- Pemeriksaan Pola Fungsi :
· B1 (Breathing)
Pada periode oliguri sering didapatkan adanya gangguan pola napas
dan jalan napas yang merupakan respons terhadap azotemia dan sindrom
akut uremia. Klien bernapas dengan bau urine (fetor uremik) sering
didapatkan pada fase ini. Pada beberapa keadaan respons uremia akan
menjadikan asidosis metabolik sehingga didapatkan pernapasan
kussmaul.
· B2 (Blood)
11
Pada kondisi azotemia berat, saat perawat melakukan auskultasi
akan menemukan adanya friction rub yang merupakan tanda khas efusi
perikardial sekunder dari sindrom uremik. Pada sistem hematologi sering
didapatkan adanya anemia. Anemia yang menyertai gagal ginjal akut
merupakan kondisi yang tidak dapat dielakkan sebagai akibat dari
penurunan produksi eritropoetin, lesi gastrointestinal uremik, penurunan
usia sel darah merah, dan kehilangan darah, biasanya dari saluran G1.
Adanya penurunan curah jantung sekunder dari gangguan fungsi jantung
akan memberat kondisi GGA. Pada pemeriksaan tekanan darah sering
didapatkan adanya peningkatan.
· B3 (Brain)
Gangguan status mental, penurunan lapang perhatian,
ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan
tingkat kesadaran (azotemia, ketidakseimbangan elektrolit/ asam/ basa).
Klien berisiko kejang, efek sekunder akibat gangguan elektrolit, sakit
kepala, penglihatan kabur, kram otot/kejang biasanya akan didapatkan
terutama pada fase oliguri yang berlanjut pada sindrom uremia.
· B4 (Bladder)
Perubahan pola kemih pad aperiode oliguri akan terjadi penurunan
frekuensi dan penurunan urine output <400 ml/hari, sedangkan pada
periode diuresis terjadi peningkatan yang menunjukkan peningkatan
jumlah urine secara bertahap, disertai tanda perbaikan filtrasi glomerulus.
Pada pemeriksaan didapatkan perubahan warna urine menjadi lebih
pekat/gelap.
· B5 (Bowel)
Didapatkan adanya mual dan muntah, serta anoreksia sehingga
sering didapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan.
· B6 (Bone)
Didapatkan adnaya kelemahan fisik secara umum efek sekunder dari
anemia dan penurunan perfusi perifer dari hipetensi.

B. Diagnosa Keperawatan
a. D.0022 - Hipervolemia b.d kelebihan asupan cairan.

b. D.0056 - Intoleransi aktivitas b.d kelemahan.


c. D.0080 - Ansietas b.d kurang terpapar informasi.

C. Intervensi Keperawatan

12
Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh
perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk
mencapai luaran (outcome) yang diharapkan (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018).
Intervensi keperawatan :

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


1. Hipervolemia Keseimbangan cairan Manajemen hipervolemia
(D.0022) b.d (L.05020) (I.03114)
kelebihan asupan Setelah dilakukan Observasi :
cairan. tindakan keperawatan, - Periksa tanda dan gejala
diharapkan keseimbangan hipervolemia.
cairan meningkat. - Identifikasi penyebab
Dengan Kriteria Hasil : hipervolemia.
1. Asupan cairan - Monitor status
meningkat. hemodinamik, jika
2. Keluaran urin tersedia.
meningkat. - Monitor intake dan
3. Kelembaban membran output cairan.
mukosa meningkat. - Monitor tanda
4. Edema menurun. hemokonsentrasi.
5. Dehidrasi menurun. - Monitor tanda
6. Tekanan darah peningkatan tekanan
membaik. onkotik plasma.
7. Denyut nadi radial - Monitor kecepatan infus
membaik. secara ketat.
8. Tekanan arteri rata-rata - Monitor efek samping
membaik. diuretik.
9. Membran mukosa Terapeutik :
membaik. - Timbang berat badan
10. Mata cekung setiap hari pada waktu
membaik. yang sama.
11. Turgor kulit membaik. - Batasi asupan cairan dan
garam.
- Tinggikan kepala tempat
tidur 30-40o.
Edukasi :
- Anjurkan melapor jika
haluaran urin
<0,5mL/kg/jam dalam 6
jam.
- Anjurkan melapor jika BB
bertambah >1kg dalam
sehari.
- Ajarkan cara mengukur
dan mencatat asupan dan
haluaran cairan.
- Ajarkan cara membatasi
cairan.

13
Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian
diuretik.
- Kolaborasi penggantian
kehilangan kalium akibat
diuretik.
- Kolaborasi pemberian
continous renal
replacement therapy
(CRRT), jika perlu.
2. Intoleransi Toleransi aktivitas Manajemen energi
aktivitas (D.0056) (L.05047) (I.05178)
b.d kelemahan. Setelah dilakukan Observasi :
tindakan keperawatan, - Identifikasi gangguan
diharapkan toleransi fungsi tubuh yang
aktivitas meningkat. mengakibatkan kelelahan.
Dengan Kriteria Hasil : - Monitor kelelahan fisik
1. Frekuensi nadi dan emosional.
meningkat. - Monitor pola dan jam
2. Keluhan lelah menurun. tidur.
3. Dispnea saat aktivitas - Monitor lokasi dan
menurun. ketidaknyamanan selama
4. Dispnea setelah melakukan aktivitas.
aktivitas menurun. Terapeutik :
- Sediakan lingkungan
nyaman dan rendah
stimulus.
- Lakukan latihan rentang
gerak pasif dan/atau aktif.
- Berikan aktivitas distraksi
yang menenangkan.
- Fasilitasi duduk di sisi
tempat tidur, jika tidak
dapat berpindah atau
berjalan.
Edukasi :
- Anjurkan tirah baring.
- Anjurkan melakukan
aktivitas secara bertahap.
- Anjurkan menghubungi
perawat jika tanda dan
gejala kelelahan tidak
berkurang.
- Ajarkan strategi koping
untuk mengurangi
kelelahan.
Kolaborasi :
- Kolaborasi dengan ahli gizi
tentang cara
14
meningkatkan asupan
makanan.
3. Ansietas (D.0080) Tingkat ansietas Terapi relaksasi (I.09326)
b.d kurang (L.09093) Observasi :
terpapar Setelah dilakukan - Identifikasi penurunan
informasi. tindakan keperawatan, tingkat energi,
diharapkan tingkat ketidakmampuan
ansietas menurun. berkonsentrasi, atau
Dengan Kriteria Hasil : gejala lain yang
1. Verbalisasi mengganggu kemampuan
kebingungan menurun. kognitif.
2. Verbalisasi khawatir - Identifikasi teknik
akibat kondisi yang relaksasi yang pernah
dihadapi menurun. efektif digunakan.
3. Perilaku gelisah - Identifikasi kesediaan,
menurun. kemampuan dan
4. Perilaku tegang penggunaan teknik
menurun. sebelumnya.
5. Konsentrasi membaik. - Periksa ketegangan otot,
6. Pola tidur membaik. frekuensi nadi, tekanan
darah, dan suhu sebelum
dan sesudah latihan.
- Monitor respons terhadap
terapi relaksasi.
Terapeutik :
- Ciptakan lingkungan
tenang dan tanpa
gangguan dengan
pencahayaan dan suhu
ruang nyaman, jika
memungkinkan.
- Berikan informasi tertulis
tentang persiapan dan
prosedur teknik relaksasi.
- Gunakan pakaian longgar.
- Gunakan nada suara
lembut dengan irama
lambat dan berirama.
- Gunakan relaksasi sebagai
strategi penunjang
dengan analgetik atau
tindakan medis lain, jika
sesuai.
Edukasi :
- Jelaskan tujuan, manfaat,
batasan dan jenis
relaksasi yang tersedia.
- Jelaskan secara rinci
intervensi relaksasi yang
15
dipilih.
- Anjurkan mengambil
posisi nyaman.
- Anjurkan rileks dan
merasakan sensasi
relaksasi.
- Anjurkan sering
mengulangi atau melatih
teknik yang dipilih.
- Demonstrasikan dan latih
teknik relaksasi.

D. Implementasi Keperawatan
Tindakan keperawatan adalah perilaku atau aktivitas spesifik yang
dikerjakan oleh perawat untuk mengimplementasikan intervensi keperawatan
(Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018).
Merupakan pelaksanaan tindakan yang sudah direncanakan dengan
tujuan kebutuhan pasien terpenuhi secara optimal dalam rencana
keperawatan. Tindakan keperawatan mencakup tindakan mandiri
(independent), saling ketergantungan/ kolaborasi, dan tindakan rujukan/
ketergantungan (dependent). (Tartowo & Wartonah, 2015)

E. Evaluasi
Menurut (Tartowo & Wartonah, 2015) Adalah proses keperawatan
dengan cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana
keperawatan tercapai atau tidak dan perbandingan yang sistematis dan
terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan,
keluarga dan tenaga kesehatan lainnya. Tujuan evaluasi untuk melihat
kemampuan klien dalam mencapai tujuan yang disesuaikan dengan kriteria
hasil pada tahap perencanaan. Untuk mempermudah mengevaluasi/
memantau perkembangan pasien digunakan komponen SOAP adalah sebagai
berikut :
S : Data subjektif. Perawat menuliskan keluhan pasien yang masih dirasakan
setelah dilakukan tindakan keperawatan.
O : Data objektif. Data berdasarkan hasil pengukuran atau observasi perawat
secara langsung kepada pasien dan yang dirasakan pasien setelah dilakukan
tindakan keperawatan.
A : Analisa. Merupakan suatu masalah atau diagnosis keperawatan yang masih
terjadi, atau juga dapat dituliskan suatu masalah/ diagnosis baru yang terjadi

16
akibat perubahan status kesehatan pasien yang telah teridentifikasi datanya
dalam data subjektif dan objektif.
P : Planning. Perencanaan keperawatan yang dilanjutkan, dihentikan,
dimodifikasi atau ditambahkan dari rencana tindakan keperawatan yang
telah ditentukan sebelumnya, tindakan yang telah menunjukkan hasil yang
memuaskan data tidak memerlukan tindakan ulang pada umumnya
dihentikan.

2.2 Gagal Ginjal Kronis (GGK)


2.2.1 Definisi
Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap-akhir merupakan gangguan
fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogenlain dalam darah)
(Suzanne & Brenda, 2002).
Gagal ginjal kronik merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan
irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia
(Corwin, 2001).
Gagal ginjal merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan
lambat (biasanya berlangsung beberapa tahun) (Price, 2006).
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi
yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progesif, dan pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal.
Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan
fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal (FKUI, 2006).
Gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) adalah
penyimpangan progresif, fungsi ginjal yang tidak dapat pulih dimana kemampuan
tubuh untuk mempertahankan keseimbangan metabolik, dan cairan dan
elektrolit mengalami kegagalan, yang mengakibatkan uremia (Baughman, 2000).
Dari beberapa pengertian diatas penulis menyimpulkan bahwa gagal ginjal
kronik adalah gangguan fungsi renal yang irreversible dan berlangsung lambat
sehingga ginjal tidak mampu mempertahankan metabolisme tubuh dan
keseimbangan cairan dan elektrolit dan menyebabkan uremia.

17
2.2.2 Etiologi
Menurut Sylvia Anderson (2006) klasifikasi penyebab gagal ginjal kronik
adalah sebagai berikut :
a. Penyakit infeksi tubulointerstitial : Pielonefritis kronik atau refluks nefropati
Pielonefritis kronik adalah infeksi pada ginjal itu sendiri, dapat terjadi akibat
infeksi berulang, dan biasanya dijumpai pada penderita batu. Gejala–gejala
umum seperti demam, menggigil, nyeri pinggang, dan disuria. Atau
memperlihatkan gambaran mirip dengan pielonefritis akut, tetapi juga
menimbulkan hipertensi dan gagal ginjal (Elizabeth, 2000).
b. Penyakit peradangan : Glomerulonefritis akut adalah peradangan glomerulus
secara mendadak. Peradangan akut glomerulus terjadi akibat peradangan
komplek antigen dan antibodi di kapiler-kapiler glomerulus. Komplek biasanya
terbentuk 7-10 hari setelah infeksi faring atau kulit oleh Streptococcus
(glomerulonefritis pascastreptococcus) tetapi dapat timbul setelah infeksi lain
(Elizabeth, 2000). Glomerulonefritis kronik adalah peradangan yang lama dari
sel-sel glomerulus. Kelainan ini dapat terjadi akibat glomerulonefritis akut
yang tidak membaik atau timbul secara spontan. Glomerulonefritis kronik
sering timbul beberapa tahun setelah cidera dan peradangan glomerulus sub
klinis yang disertai oleh hematuria (darah dalam urin) dan proteinuria (protein
dalam urin) ringan, yang sering menjadi penyebab adalah diabetes mellitus
dan hipertensi kronik. Hasil akhir dari peradangan adalah pembentukan
jaringan parut dan menurunnya fungsi glomerulus. Pada pengidap diabetes
yang mengalami hipertensi ringan, memiliki prognosis fungsi ginjal jangka
panjang yang kurang baik (Elizabeth, 2000).
c. Penyakit vaskuler hipertensif : Nefrosklerosis benigna, Nefrosklerosis maligna,
Stenosis arteria renalis Nefrosklerosis Benigna merupakan istilah untuk
menyatakan berubah ginjal yang berkaitan dengan skerosis pada arteriol ginjal
dan arteri kecil. Nefrosklerosis Maligna suatu keadaan yang berhubungan
dengan tekanan darah tinggi (hipertensi maligna), dimana arteri-arteri yang
terkecil (arteriola) di dalam ginjal mengalami kerusakan dan dengan segera
terjadi gagal ginjal. Stenosis arteri renalis (RAS) adalah penyempitan dari satu
atau kedua pembuluh darah (arteri ginjal) yang membawa darah ke ginjal.
Ginjal membantu untuk mengontrol tekanan darah. Renalis menyempit
menyulitkan ginjal untuk bekerja. RAS dapat menjadi lebih buruk dari waktu
ke waktu. Sering menyebabkan tekanan darah tinggi dan kerusakan ginjal.
d. Gangguan jaringan ikat : Lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa,
sklerosis sistemik progresif Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus

18
eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem
yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem imun.
e. Gangguan congenital dan herediter : Penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus
ginjal.
f. Penyakit metabolic : Diabetes mellitus, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis.
g. Nefropati toksik : Penyalahgunaan analgesi, nefropati timah.
h. Nefropati obstruktif : Traktus urinarius bagian atas (batu/calculi, neoplasma,
fibrosis, retroperitineal), traktus urinarius bawah (hipertropi prostat, striktur
uretra, anomaly congenital leher vesika urinaria dan uretra).

2.2.3 Stadium
Gagal ginjal kronik selalu berkaitan dengan penurunan progresif GFR.
Stadium-stadium gagal ginjal kronik didasarkan pada tingkat GFR yang tersisa dan
mencakup menurut Corwin (2001) adalah :
a. Penurunan cadangan ginjal, yang terjadi apabila GFR turun 50% dari normal.
b. Insufisiensi ginjal, yang terjadi apabila GFR turun menjadi 20-35% dari normal.
Nefron-nefron yang tersisa sangat rentan mengalami kerusakan sendiri karena
beratnya beban yang mereka terima.
c. Gagal ginjal, yang terjadi apabila GFR kurang dari 20% normal. Semakinn
banyak nefron yang mati.
d. Penyakit ginjal stadium-akhir, yang terjadi apabila GFR menjadi kurang dari 5%
dari normal. Hanya sedikit nefron fungsional yang tersisa. Di seluruh ginjal
ditemukan jaringan parut dan atrofi tubulus.

2.2.4 Faktor Resiko


a. Diabetes
Dapat menyebabkan nefropati sebagai komplikasi Mikrovaskular.
Diabetes nefropati merupakan glomerulopati yang paling banyak terjadi, dan
merupakan penyebab pertama dari end stage renal disease atau gagal ginjal
tahap akhir di USA dan Eropa (Molitch et al, 2004). Selain itu United States
Renal Data System (2009) menunjukkan bahwa sekitar 50% pasien dengan
gagal ginjal tahap akhir adalah penderita diabetes titik penelitian dari NHAES
III, HUNT II, UK cross-sectional study dan longitudinal study menunjukkan
bahwa diabetes berhubungan secara signifikan meningkatkan resiko CKD (The
National Center For Chronic Conditions, 2008).
b. Hipertensi
Hipertensi merupakan penyebab kedua dari end stage renal disease
atau gagal ginjal tahap akhir. Sebagai contoh, berdasarkan United States Renal
19
Data System (2009) sekitar 51 sampai 63% dari seluruh pasien dengan CKD
mempunyai hipertensi (Novoa at al, 2010). Pada 4 penelitian lain di Australia,
Washington, US menunjukkan orang dengan hipertensi mempunyai resiko
yang lebih besar untuk berkembang menjadi CKD dibandingkan orang dengan
normotensi (The National Center For Chronic Conditions, 2008). Hipertensi
menyebabkan glomerulo nefropati dengan menurunkan aliran darah karena
hal yang menjadikan arteriolar vaskulopati, obstruksi vaskular dan penurunan
densitas vaskular. Kejadian ini akan dikompensasi sehingga tidak lama akan
terjadi penurunan GFR.
c. Riwayat Keluarga dengan Penyakit Ginjal
Penelitian Freedman et al. (1997), Speckman et al. (2006) menunjukkan
riwayat penyakit keluarga dengan CKD tingkat akhir dilaporkan oleh 20%
orang dengan CKD tingkat akhir (The National Collaborating Centre for Chronic
Conditions, 2008).
d. Penyakit Kardiovaskular
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Elsayed et al pada tahun 2005,
orang dengan penyakit kardiovakular telah menunjukkan peningkatan resiko
secara signifikan pada penurunan fungsi ginjal dibanding dengan orang tanpa
penyakit kardiovaskular. (The National Collaborating Centre for Chronic
Conditions, 2008). Penyakit kardiovaskular menyebabkan menurunnya aliran
darah ke ginjal. Penurunan perfusi renal mengaktivasi sistem renin-
angiotensin-aldosteron yang menyebabkan vasokonstriksi alteriol dan
meningkatkan tekanan glomerulus sehingga dapat menjadikan nefron rusak.
Kerusakan nefron ini berdampak pada penurunan laju filtrasi glomerulus.
e. Infeksi HIV
Disfungsi ginjal merupakan komplikasi yang umum dari pasien yang
terinfeksi HIV baik akibat kerusakan dari virus itu sendiri maupun dari
keracunan obat. HIV infeksi yang berjalan dalam jangka waktu yang lama
merupakan waktu untuk berkembangnya kerusakan ginjal (Biagio, et al, 2011).
Hasil penelitian Biagio (2011) lebih lanjut menjelaskan kerusakan yang terjadi
melalui terpajanan langsung virus menyebabkan berkembangnya HIV
Associated Nephropathy (HIVAN). Selain itu, kerusakan bisa terjadi akibat
lamanya terpajan dengan obat yang berpotensial bersifat nefrotoksik seperti
IDV dan TDF, juga obat yang digunakan dalam penanganan profilaksis infeksi
oportunistik.
f. Riwayat Batu Ginjal
Gillen et al (2005) menggunakan the Third National Health and Nutrition
Examination Survey (NHANES III) pada populasi di USA mendapatkan data
20
bahwa riwayat batu ginjal dapat menurunkan fungsi ginjal pada orang dengan
berat badan berlebih (overweight). Penelitian Joseph J Keller, Yi-Kuang Chen
dan Herng-Ching Lin (2012) menunjukkan adanya hubungan antara gagal
ginjal dan batu ginjal tanpa memperhatikan lokasi batu ginjal tersebut.
g. Usia
Pada empat cross sectional study oleh Drey et al. (2003), Coresh et al.
(2003), Hallan et al. (2006), Chadban et al. (2003) menunjukkan bahwa lansia
(usia di atas 65 tahun) memiliki resiko lebih besar eGFR <60ml/ menit/
1,73m2 dibandingkan usia muda (The National Collaborating Centre for
Chronic Conditions, 2008).
h. Aktivitas Fisik
Orang dengan aktivitas fisik yang rendah mempunyai resiko lebih tinggi
gagal ginjal tingkat akhir dibandingkan orang dengan aktivitas fisik yang tinggi.
Penelitian Stengel et al (2003) membuktikan orang dengan aktivitas fisik
sedang tidak signifikan mempunyai resiko gagal ginjal dibandingkan dengan
orang dengan aktivitas fisik yang tinggi (The National Collaborating Centre for
Chronic Conditions, 2008).
i. Merokok
Efek merokok pada penurunan fungsi ginjal telah diteliti melalui
penelitian kohort dan case control study. Pada penelitian kohort oleh Orth et
al. (2005) ditemukan bahwa kelompok perokok mengalami penurunan fungsi
ginjal sebanyak 20% setelah 5 tahun dibandingkan dengan bukan perokok.
Kejadian proteinuria meningkat pada kedua kelompok perokok dan bukan
perokok, tetapi tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kedua grup
(The National Collaborating Centre for Chronic Conditions, 2008). Pada
penelitian kontrol kasus oleh Orth et al. (1998) menunjukkan bahwa perokok
secara signifikan menunjukkan proses menjadi gagal ginjal tingkat akhir (The
National Collaborating Centre for Chronic Conditions, 2008). Tiga penelitian
lain yaitu Haroun, et al. (2003), Stengel et al. (2003), Retnakaran et al. (2006)
juga menunjukkan bahwa perokok secara signifikan mempunyai resiko lebih
tinggi untuk mendapatkan penyakit gagal ginjal (The National Collaborating
Centre for Chronic Conditions, 2008).
j. Obesitas
Penelitian kohort (Kaiser) menemukan bahwa orang dengan Body Mass
Index (BMI) > 25 merupakan independen faktor untuk terjadinya gagal ginjal.
Sedangkan retrospective study di Norway menemukan bahwa resiko
terjadinya CKD meningkat bagi pasien prehipertensi dengan BMI > 30. Pada
penelitian Evans et al. (2005) di Swedia menunjukkan Body Mass Index (BMI)
21
tidak signifikan meningkatkan resiko terjadinya penyakit ginjal. (The National
Collaborating Centre for Chronic Conditions, 2008). Gelber et al. (2005)
membuktikan bahwa resiko CKD meningkat seiring peningkatan BMI
ditunjukkan pada kelompok laki-laki dengan peningkatan BMI >10% daripada
laki-laki dengan BMI normal (The National Collaborating Centre for Chronic
Conditions, 2008).

2.2.5 Patofisiologi
Pada awal perjalanannya, keseimbangan cairan, penanganan garam, dan
penimbunan zat-zat sisa masih bervariasi dan bergantung pada bagian ginjal yang
sakit. Sampai fungsi ginjal turun kurang dari 25% normal, manifestasi klinis gagal
ginjal kronik mungkin minimal karena nefron-nefron sisa yang sehat mengambil
alih fungsi nefron yang rusak. Nefron yang tersisa meningkat kecepatan filtrasi,
reabsorpsi, dan sekresinya serta mengalami hipertrofi. Seiring dengan makin
banyaknya nefron yang mati, maka nefron yang tersisa menghadapi tugas yang
semkain berat, sehingga nefron-nefron tersebut ikut rusak dan akhirnya mati.
Sebagaian dari siklus kematian ini tampaknya berkaitan dengan tuntutan pada
nefron-nefron yang ada untuk meningkatkan reabsorpsi protein. Seiring dengan
penyusutan progresif nefronnefron, terjadi pembentukan jaringan parut dan
aliran darah ginjal mungkin berkurang (Elizabeth, 2001).
Meskipun penyakit ginjal terus berlanjut, namun jumlah zat terlarut yang
harus diekskresi oleh ginjal untuk mempertahankan homeostasis tidaklah
berubah, kendati jumlah nefron yang bertugas melakukan fungsi tersebut sudah
menurun secara progresif. Dua adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai
respon terhadap ancaman ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron
yang ada mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh
beban kerja ginjal. Terjadi peningkatan kecepatan filtrasi, beban zat terlarut dan
reabsorpsi tubulus dalam setiap nefron meskipun GFR untuk seluruh massa
nefron yang terdapat dalam ginjal turun di bawah nilai normal. Mekanisme
adaptasi ini cukup berhasil dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan
elektrolit tubuh hingga tingkat fungsi ginjal yang sangat rendah. Namun akhirnya,
kalau sekitar 75% massa nefron sudah hancur, maka kecepatan filtrasi dan beban
zat terlarut bagi setiap nefron demikian tinggi sehingga keseimbangan
glomerulus-tubulus (keseimbangan antara peningkatan filtrasi dan peningkatan
reabsorpsi oleh tubulus tidak dapat lagi dipertahankan. Fleksibilitas baik pada
proses ekskresi maupun proses konservasi zat terlarut dan air menjadi
berkurang. Sedikit perubahan pada makanan dapat mengubah keseimbangan
yang rawan tersebut, karena makin rendah GFR (yang berarti maikn sedikit
22
nefron yang ada) semakin besar perubahan kecepatan ekskresi per nefron.
Hilangnya kemampuan memekatkan atau mengencerkan urine menyebabkan
berat jenis urine tetap pada nilai 1,010 atau 285 mOsm (yaitu sama dengan
plasma) dan merupakan penyebab gejala poliuria dan nokturia (Price, 2006).

2.2.6 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinik menurut Baughman (2000) dapat dilihat dari berbagai
fungsi sistem tubuh yaitu :
a. Manifestasi kardiovaskuler : hipertensi, pitting edema, edema periorbital,
friction rub pericardial, pembesaran vena leher, gagal jantung kongestif,
perikarditis, disritmia, kardiomiopati, efusi pericardial, temponade pericardial.
b. Gejala dermatologis/system integumen : gatal-gatal hebat (pruritus), warna
kulit abu-abu, mengkilat dan hiperpigmentasi, serangan uremik tidak umum
karena pengobatan dini dan agresif, kulit kering, bersisik, ecimosis, kuku tipis
dan rapuh, rambut tipis dan kasar, memar (purpura).
c. Gejala gastrointestinal : nafas berbau ammonia, ulserasi dan perdarahan pada
mulut, anoreksia, mual, muntah dan cegukan, penurunan aliran saliva, haus,
rasa kecap logam dalam mulut, kehilangan kemampuan penghidu dan
pengecap, parotitis dan stomatitis, peritonitis, konstipasi dan diare,
perdarahan darisaluran gastrointestinal.
d. Perubahan neuromuskular : perubahan tingkat kesadaran, kacau mental,
ketidakmampuan berkonsentrasi, kedutan otot dan kejang.
e. Perubahan hematologis : kecenderungan perdarahan.
f. Keletihan dan letargik, sakit kepala, kelemahan umum.
g. Pasien secara bertahap akan lebih mengantuk; karakter pernafasan menjadi
Kussmaul; dan terjadi koma dalam, sering dengan konvulsi (kedutan
mioklonik) atau kedutan otot.

2.2.7 Pemeriksaan Diagnostik


Pendekatan diagnosis dicapai dengan melakukan pemeriksaan yang
kronologis, mulai dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
rutin khusus (Soenarso,2004):
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang
berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK,
perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal
ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan

23
laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ
dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.
b. Pemeriksaan laboratorium
Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan
derajat penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan
perjalanan penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal :
1) Pemeriksaan faal ginjal (LFG) : Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan
asam urat serum sudah cukup memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal
(LFG).
2) Etiologi gagal ginjal kronik (GGK) : Analisis urin rutin, mikrobiologi urin,
kimia darah, elektrolit dan imunodiagnosis.
3) Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit : Progresivitas
penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin, dan pemeriksaan
lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal ginjal (LFG).
c. Pemeriksaan penunjang diagnosis
Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan
tujuannya, yaitu :
1) Diagnosis etiologi GGK Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu
foto polos perut, ultrasonografi (USG), nefrotomogram, pielografi
retrograde, pielografi antegrade dan Micturating Cysto Urography (MCU).
2) Diagnosis pemburuk faal ginjal Pemeriksaan radiologi dan radionuklida
(renogram) dan pemeriksaan ultrasonografi (USG).

2.2.8 Komplikasi
Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut O’Callaghan (2006) yaitu :
a. Komplikasi Hematologis
Anemia pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh produksi
eritropoietin yang tidak adekuat oleh ginjal dan diobati dengan pemberian
eritropoietin subkutan atau intravena. Hal ini hanya bekerja bila kadar besi,
folat, dan vitamin B12 adekuat dan pasien dalam keadaan baik. Sangat jarang
terjadi, antibodi dapat terbentuk melawan eritropoietin yang diberikan
sehingga terjadi anemia aplastik.
b. Penyakit vascular dan hipertensi
Penyakit vascular merupakan penyebab utama kematian pada gagal
ginjal kronik. Pada pasien yang tidak menyandang diabetes, hipertensi
mungkin merupakan faktor risiko yang paling penting. Sebagaian besar
hipertensi pada penyakit ginjal kronik disebabkan hipervolemia akibat retensi
natrium dan air. Keadaan ini biasanya tidak cukup parah untuk bisa
24
menimbulkan edema, namun mungkin terdapat ritme jantung tripel.
Hipertensi seperti itu biasanya memberikan respons terhadap restriksi
natrium dan pengendalian volume tubuh melalui dialysis. Jika fungsi ginjal
memadai, pemberian furosemid dapat bermanfaat.
c. Dehidrasi
Hilangnya fungsi ginjal biasanya menyebabkan retensi natrium dan air
akibat hilangnya nefron. Namun beberapa pasien tetap mempertahankan
sebagian filtrasi, namun kehilangan fungsi tubulus, sehingga mengekskresi
urin yang sangat encer, yang dapat menyebabkan dehidrsi.
d. Kulit
Gatal merupakan keluhan keluhan kulit yang paling sering terjadi.
Keluhan ini sering timbul pada hiperparatiroidime sekunder atau tersier serta
dapat disebabkab oleh deposit kalsium fosfat apda jaringan. Gatal dapat
dikurangi dengan mengontrol kadar fosfat dan dengan krim yang mencegah
kulit kering. Bekuan uremik merupakan presipitat kristal ureum pada kulit dan
timbul hanya pada uremia berat. Pigmentasi kulit dapat timbul dan anemia
dapat menyebabkan pucat.
e. Gastrointestinal
Walaupun kadar gastrin meningkat, ulkus peptikum tidak lebih sering
terjadi pada pasien gagal ginjal kronik dibandingkan populasi normal. Namun
gejala mual, muntah, anoreksia, dan dada terbakar sering terjadi. Insidensi
esofagitis serta angiodisplasia lebih tinggi, keduanya dapat menyebabkan
perdarahan. Insidensi pankreatitis juga lebih tinggi. Gangguan pengecap dapat
berkaitan dengan bau napas yang menyerupai urin.
f. Endokrin
Pada pria, gagal ginjal kronik dapat menyebabkan kehilangan libido,
impotensi, dan penurunan jumlah serta motilitas sperma. Pada wanita, sering
terjadi kehilangan libido, berkurangnya ovulasi, dan infertilitas. Siklus hormon
pertumbuhan yang abnormal dapat turut berkontribusi dalam menyebabkan
retardasi pertumbuhan pada anak dan kehilangan massa otot pada orang
dewasa.
g. Neurologis dan psikiatrik
Gagal ginjal yang tidak diobati dapat menyebabkan kelelahan,
kehilangan kesadaran, dan bahkan koma, sering kali dengan tanda iritasi
neurologis (mencakup tremor, asteriksis, agitasi, meningismus, peningkatan
tonus otot dengan mioklonus, klonus pergelangan kaki, hiperefleksia, plantar
ekstensor, dan yang paling berat kejang). Aktifitas Na+/K+ ATPase terganggu
pada uremia dan terjadi perubahan yang tergantung hormon paratiroid
25
(parathyroid hormone, PTH) pada transpor kalsium membran yang dapat
berkontribusi dalam menyebabkan neurotransmisi yang abnormal. Gangguan
tidur seringterjadi. Kaki yang tidak biasa diam (restless leg) atau kram otot
dapat juga terjadi dan kadang merespons terhadap pemberian kuinin sulfat.
Gangguan psikiatrik seperti depresi dan ansietas sering terjadi dan terdapat
peningkatan risiko bunuh diri.
h. Imunologis
Fungsi imunologis terganggu pada gagal ginjal kronik dan infeksi sering
terjadi. Uremia menekan fungsi sebagaian besar sel imun dan dialisis dapat
mengaktivasi efektor imun, seperti komplemen, dengan tidak tepat.
i. Lipid
Hiperlipidemia sering terjadi, terutama hipertrigliseridemia akibat
penurunan katabolisme trigliserida. Kadar lipid lebih tinggi pada pasien yang
menjalani dialisis peritoneal daripada pasien yang menjalani hemodialisis,
mungkin akibat hilangnya protein plasma regulator seperti apolipoprotein A-1
di sepanjang membran peritoneal.
j. Penyakit jantung
Perikarditis dapat terjadi dan lebih besar kemungkinan terjadinya jika
kadar ureum atau fosfat tinggi atau terdapat hiperparatiroidisme sekunder
yang berat. Kelebihan cairan dan hipertensi dapat menyebabkan hipertrofi
ventrikel kiri atau kardiomiopati dilatasi. Fistula dialisis arteriovena yang
besara dapat menggunakan proporsi curah jantung dalam jumlah besar
sehingga mengurangi curah jantung yang dapat digunakan oleh bagian tubuh
yang tersisa.

2.2.9 Penatalaksanaan Medis


Penatalaksanaan untuk mengatasi penyakit gagal ginjal kronik menurut
Corwin (2001) adalah :
a. Pada penurunan cadangan ginjal dan insufisiensi ginjal, tujuan
penatalaksanaan adalah memperlambat kerusakan nefron lebih lanjut,
terutama dengan restriksi protein dan obat-obat antihipertensi.
b. Pada gagal ginjal, terapi ditujukan untuk mengoreksi ketidakseimbangan
cairan dan elektrolit.
c. Pada penyakit ginjal stadium-akhir, terapi berupa dialisis atau transplantasi
ginjal.
d. Pada semua stadium, pencegahan infeksi perlu dilakukan.

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik menurut FKUI (2006) meliputi :

26
a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya.
b. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition).
c. Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal.
d. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular.
e. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi.
f. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.

2.2.10 Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian
Pengkajian merupakan proses pengumpulan data secara sistematis yang
bertujuan untuk menentukan status kesehatan dan fungsional dan untuk
menentukan pola respon pasien.
 Biodata : Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan, pendidikan,
alamat.
 Riwayat Kesehatan
- Keluhan utama
- Riwayat kesehatan sekarang
- Riwayat kesehatan dahulu
- Riwayat keluarga
 Pemeriksaan fisik
- Aktivitas/ istirahat
- Sirkulasi
- Integritas ego
- Eliminasi
- Makanan/ cairan
- Neurosensori
- Nyeri/ kenyamanan
- Pernapasan
- Keamanan
- Seksualitas
- Interaksi social
- Penyuluhan / pembelajaran.
 Pemeriksaan diagnostic
- Pemeriksaan urine
- Pemeriksaan darah
- Osmolalitas serum
- KUB foto
- Pielogram retrograde
27
- Arteriogram ginjal
- Sistouretrogram berkemih
- Ultrasono ginjal
- Biopsi ginjal
- Endoskopi ginjal
- Nefroskopi
- EKG
- Foto kaki, tengkorak, kolumna spinal, dan tangan.

B. Diagnosa Keperawatan
a. D.0019 - Defisit nutrisi b.d ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien.
b. D.0022 - Hipervolemia b.d kelebihan asupan cairan.
c. D.0056 - Intoleransi aktivitas b.d kelemahan.

C. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh
perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk
mencapai luaran (outcome) yang diharapkan (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018).
Intervensi keperawatan :

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


1. Defisit nutrisi Status nutrisi (L.03030) Manajemen nutrisi
(D.0019) b.d Setelah dilakukan (I.03119)
ketidakmampuan tindakan keperawatan, Observasi :
mengabsorbsi diharapkan status nutrisi - Identifikasi status nutrisi.
nutrien. membaik. - Identifikasi alergi dan
Dengan Kriteria Hasil : intoleransi makanan.
1. Porsi makanan yang - Identifikasi makanan yang
dihabiskan meningkat. disukai.
2. Berat badan membaik. - Identifikasi kebutuhan
3. IMT membaik. kalori dan jenis nutrien.
- Identifikasi perlunya
penggunaan selang
nasogastrik.
- Monitor asupan makanan.
- Monitor berat badan.
- Monitor hasil
pemeriksaan
laboratorium.
Terapeutik :
- Lakukan oral hygiene
sebelum makan, jika
perlu.

28
- Fasilitasi menentukan
pedoman diet.
- Berikan makanan tinggi
serat untuk mencegah
konstipasi.
- Berikan makanan tinggi
kalori dan tinggi protein.
- Berikan suplemen
makanan, jika perlu.
- Hentikan pemberian
makanan melalui selang
NGT jika asupan oral
dapat ditoleransi.
Edukasi :
- Anjurkan posisi duduk,
jika mampu.
- Ajarkan diet yang di
programkan.
Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum makan,
jika perlu.
- Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis
nutrien yang dibutuhkan,
jika perlu.
2. Hipervolemia Keseimbangan cairan Manajemen hipervolemia
(D.0022) b.d (L.05020) (I.03114)
kelebihan asupan Setelah dilakukan Observasi :
cairan. tindakan keperawatan, - Periksa tanda dan gejala
diharapkan keseimbangan hipervolemia.
cairan meningkat. - Identifikasi penyebab
Dengan Kriteria Hasil : hipervolemia.
1. Asupan cairan - Monitor status
meningkat. hemodinamik, jika
2. Keluaran urin tersedia.
meningkat. - Monitor intake dan
3. Kelembaban membran output cairan.
mukosa meningkat. - Monitor tanda
4. Edema menurun. hemokonsentrasi.
5. Dehidrasi menurun. - Monitor tanda
6. Tekanan darah peningkatan tekanan
membaik. onkotik plasma.
7. Denyut nadi radial - Monitor kecepatan infus
membaik. secara ketat.
8. Tekanan arteri rata-rata - Monitor efek samping
membaik. diuretik.
9. Membran mukosa Terapeutik :
29
membaik. - Timbang berat badan
10. Mata cekung setiap hari pada waktu
membaik. yang sama.
11. Turgor kulit membaik. - Batasi asupan cairan dan
garam.
- Tinggikan kepala tempat
tidur 30-40o.
Edukasi :
- Anjurkan melapor jika
haluaran urin
<0,5mL/kg/jam dalam 6
jam.
- Anjurkan melapor jika BB
bertambah >1kg dalam
sehari.
- Ajarkan cara mengukur
dan mencatat asupan dan
haluaran cairan.
- Ajarkan cara membatasi
cairan.
Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian
diuretik.
- Kolaborasi penggantian
kehilangan kalium akibat
diuretik.
- Kolaborasi pemberian
continous renal
replacement therapy
(CRRT), jika perlu.
3. Intoleransi Toleransi aktivitas Manajemen energi
aktivitas (D.0056) (L.05047) (I.05178)
b.d kelemahan. Setelah dilakukan Observasi :
tindakan keperawatan, - Identifikasi gangguan
diharapkan toleransi fungsi tubuh yang
aktivitas meningkat. mengakibatkan kelelahan.
Dengan Kriteria Hasil : - Monitor kelelahan fisik
1. Frekuensi nadi dan emosional.
meningkat. - Monitor pola dan jam
2. Keluhan lelah menurun. tidur.
3. Dispnea saat aktivitas - Monitor lokasi dan
menurun. ketidaknyamanan selama
4. Dispnea setelah melakukan aktivitas.
aktivitas menurun. Terapeutik :
- Sediakan lingkungan
nyaman dan rendah
stimulus.
- Lakukan latihan rentang
gerak pasif dan/atau aktif.
30
- Berikan aktivitas distraksi
yang menenangkan.
- Fasilitasi duduk di sisi
tempat tidur, jika tidak
dapat berpindah atau
berjalan.
Edukasi :
- Anjurkan tirah baring.
- Anjurkan melakukan
aktivitas secara bertahap.
- Anjurkan menghubungi
perawat jika tanda dan
gejala kelelahan tidak
berkurang.
- Ajarkan strategi koping
untuk mengurangi
kelelahan.
Kolaborasi :
- Kolaborasi dengan ahli gizi
tentang cara
meningkatkan asupan
makanan.

D. Implementasi
Tindakan keperawatan adalah perilaku atau aktivitas spesifik yang
dikerjakan oleh perawat untuk mengimplementasikan intervensi keperawatan
(Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018).
Merupakan pelaksanaan tindakan yang sudah direncanakan dengan
tujuan kebutuhan pasien terpenuhi secara optimal dalam rencana
keperawatan. Tindakan keperawatan mencakup tindakan mandiri
(independent), saling ketergantungan/ kolaborasi, dan tindakan rujukan/
ketergantungan (dependent). (Tartowo & Wartonah, 2015)

E. Evaluasi
Menurut (Tartowo & Wartonah, 2015) Adalah proses keperawatan
dengan cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana
keperawatan tercapai atau tidak dan perbandingan yang sistematis dan
terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan,
keluarga dan tenaga kesehatan lainnya. Tujuan evaluasi untuk melihat
kemampuan klien dalam mencapai tujuan yang disesuaikan dengan kriteria
hasil pada tahap perencanaan. Untuk mempermudah mengevaluasi/
memantau perkembangan pasien digunakan komponen SOAP adalah sebagai
berikut :
31
S : Data subjektif. Perawat menuliskan keluhan pasien yang masih dirasakan
setelah dilakukan tindakan keperawatan.
O : Data objektif. Data berdasarkan hasil pengukuran atau observasi perawat
secara langsung kepada pasien dan yang dirasakan pasien setelah dilakukan
tindakan keperawatan.
A : Analisa. Merupakan suatu masalah atau diagnosis keperawatan yang masih
terjadi, atau juga dapat dituliskan suatu masalah/ diagnosis baru yang terjadi
akibat perubahan status kesehatan pasien yang telah teridentifikasi datanya
dalam data subjektif dan objektif.
P : Planning. Perencanaan keperawatan yang dilanjutkan, dihentikan,
dimodifikasi atau ditambahkan dari rencana tindakan keperawatan yang
telah ditentukan sebelumnya, tindakan yang telah menunjukkan hasil yang
memuaskan data tidak memerlukan tindakan ulang pada umumnya
dihentikan.

32
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Gagal ginjal akut (GGA) adalah suatu sindrom klinik akibat adanya gangguan
fungsi ginjal yang terjadi secara akut, ditandai dengan berkurangnya volume urin
dalam 24 jam. Penderita gagal ginjal akut dilakukan perbaikan aliran darah ke ginjal,
dengan menghentikan penggunaan obat-obatan yang merusak ginjal dan
memperberat kerja ginjal atau mengangkat sumbatan pada saluran kencing. Stadium
ini, fungsi ginjal masih dapat dikembalikan seperti semula (Erwinsyah, 2009).
Sedangkan Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap-akhir merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogenlain dalam darah) (Suzanne
& Brenda, 2002).

3.2 Saran
Diharapkan pembaca dapat memahami isi dari makalah ini, yaitu apa GGA dan
GGK, serta bagaimana asuhan keperawatannya.

33
DAFTAR PUSTAKA

www.google.com.asuhan keperawatan gagal ginjal akut


http://repository.unimus.ac.id/1148/3/BAB%20II.pdf
http://eprints.umm.ac.id/63604/4/BAB%20II.pdf
https://hellosehat.com/urologi/ginjal/gagal-ginjal-akut/
http://ners.unair.ac.id/site/lihat/read/492/pentingnya-mengetahui-faktor-risiko-
pencegahan-dan-penanganan-gagal-ginjal-kronik
http://repository.unimus.ac.id/2476/3/BAB%20II.pdf
https://www.halodoc.com/artikel/waspada-ini-5-komplikasi-dari-gagal-ginjal-akut
SDKI 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
SLKI 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
SIKI 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

34

Anda mungkin juga menyukai