Anda di halaman 1dari 47

PENGKAJIAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH LANJUT

KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE


(PENDEKATAN TEORI CALLISTA ROY)

OLEH :

LELY JUMRIANI BAKTI


R012221023

DOSEN : Dr. Rosyidah Arafat, S.Kep., Ns., M.Kep., Sp.KMB

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan arus globalisasi banyak memberikan perubahan pada

perilaku, kebiasaan atau gaya hidup masyarakat serta kondisi lingkungan menjadi

beberapa factor risiko terjadinya perubahan pola penyakit. Chronic Kidney

Disease (CKD) adalah penyakit yang sering kita temui di masyarakat.

Penderitanya tidak mengenal usia, dari anak, dewasa, hingga lanjut usia.

(Webster, et al., 2017) mendefenisikan Gagal Ginjal Kronik atau Chronic

Kidney Disease (CKD) sebagai suatu kondisi adanya penurunan fungsi ginjal

yang ditandai dengan menurunnya Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) < 60

mL/menit/1,73 m2 yang terjadi selama 3 bulan atau lebih dengan adanya gejala

kerusakan pada ginjal yang dapat dilihat melalui konsentrasi albuminuria.

Penurunan fungsi ginjal dengan LFG < 15mL/menit/1,73 m2 termasuk ke dalam

kategori penyakit ginjal stadium akhir (CKD stase 5) yang menandakan bahwa

ginjal tidak dapat berfungsi dengan baik dalam waktu jangka panjang. Gagal

ginjal kronis adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif dan tidak dapat pulih

Kembali, dimana tubuh tidak mampu memelihara metabolisme dan gagal

memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit yang berakibat pada peningkatan

ureum, memerlukan pengobatan seperti transplantasi ginjal, dialysis peritonial,

hemodialisis, dan rawat jalan dalam waktu yang lama (Black & Hawks, 2014)
Menurut data dari (World Health Organization, 2015), angka penderita

gangguan ginjal cukup tinggi. Setiap tahunnya angka kejadian penyakit gagal

ginjal terus meningkat. Data di Amerika Serikat tahun 2015 menemukan bahwa

angka kejadian CKD mencapai 19,2 juta (11%) dari seluruh populasi dewasa dan

0,22% berada pada stadium akhir. Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)

tahun 2018 angka kejadian CKD di Indonesia yaitu sebesar 0,38% dari jumlah

penduduk Indonesia sebesar 252.124.458 jiwa, maka setidaknya ada 713.783

jiwa yang menderita gagal ginjal kronis di Indonesia, angka ini mengalami

peningkatan dibanding dengan Riskesdas 2013 yakni 2% menjadi 3,8%.

Pasien ketika awal terdiagnosa penyakit serius seperti CKD, tidak sedikit

dari mereka yang mengalami perasaan cemas akan banyak hal yang berhubungan

dengan kondisinya. Pasien yang menjalani hemodialisis sebagian besar

ketergantungan terhadap mesin hemodialisis yang mengakibatkan terjadinya

perubahan seperti masalah finansial, kesulitan dalam mempertahankan pekerjaan,

dorongan seksual yang menghilang, impotensi, dan berisikomengalami depresi

(Wakhid, et al., 2018). Pasien dengan gagal ginjal membutuhkan support system

yang adekuat, yang dapat memahami perasaannya, dan dapat dipercaya untuk

menumbuhkan semangatnya untuk menjalani perawatan dan pengobatan.

Ada banyak teori keperawatan yang dijadikan dasar dalam pelaksanaan

pelayanan keperawatan, khususnya pada pengkajian pasien dengan CKD, salah

satu yang paling erat kaitannya yaitu teori tentang adaptasi agar pasien mampu

beradaptasi dengan segala bentuk perubahan yang terjadi dalam kehidupannya.


Sister Callista Roy menciptakan teori keperawatan tentang adaptasi. Roy dalam

teorinya menjelaskan empat macam elemen penting dalam adaptasi keperawatan

yaitu: manusia, lingkungan, kesehatan dan keperawatan. Model adaptasi Roy

menjelaskan manusia sebagai mahluk yang holistik dapat meningkatkan

kesehatan dan mempertahankan perilaku secara adaptif dalam menghadapi

masalah kesehatan yang dialaminya (Alligood, 2014).

Pasien dengan CKD sering kali mengalami perubahan, baik secara fisik

maupun psikologis seperti, perasaan takut, cemas dan ketidakberdayaan.Selain

itu, pasien sering kali mengalami gangguan konsep diri serta gangguan citra

tubuh dan sulit menerima dirinya karena perubahan yang terjadi pada gagal ginjal

(Morton, 2011). Oleh karena itu, penting bagi perawat untuk menerapkan teori

tentang adaptasi. Pemberian asuhan keperawatan yang professional dan holistic,

diharapkan mampu meningkatkan kemampuan pasien dalam beradaptasi

sehingga berefek pada peningkatan derajat Kesehatan pasien.

B. Tujuan

a. Untuk memberikan pemahaman tentang penerapan teori Callista Roy

pada pengkajian KMB lanjut sesuai kasus CKD.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Chronic Kidney Disease (CKD)

1. Defenisi

Secara definisi, penyakit ginjal kronik disebut juga sebagai Chronic

Kidney Disease (CKD). Penyakit ginjal kronik atau penyakit gagal ginjal

stadium akhir adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif dan irreversible

dimana kemapuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan

keseimbangan cairan serta elektrolit sehingga menyebabkan uremia yaitu

retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah (Smeltzer and Bare,

2014).

Penyakit ginjal kronis merupakan penyakit pada ginjal yang

perisisten (berlangsung lebih dari 3 bulan) dengan kerusakan ginjal dan

kerusakan Glomerular Fitration Rate (GFR) dengan angka GFR lebih dari 60

ml/menit/1.73 m2 (Prabowo & Pranata, 2014).

Gagal ginjal kronis adalah kondisi penyakit pada ginjal yang

persisten (keberlangsungan lebih dari 3 bulan dengan kerusakan ginjal dan

kerusakan glomerulus filtration rate (GFR) dengan angka GFR

2. Klasifikasi

Perlu diketahui klasifikasi dari derajat gagal ginjal kronis untuk mengetahui

tingkat prognosisnya (Prabowo & Pranata,2014).

Stage 1 :
Kidney damage with normal or increase of GFR
GFR ≥ 90 (ml/menit/1.73m2 )
Stage 2 :

Kidney damage with mild decrease GFR

GFR 60-89 (ml/menit/1.73m2 )

Stage 3 :

Moderate decrease of GFR

GFR 30-59 (ml/menit/1.73m2 )

Stage 4 :

Severe decrease of GFR

GFR 15-29 (ml/menit/1.73m2 )

Stage 5 :

Kidney Failure

GFR <15 ( or dialysis) (ml/menit/1.73m2 )

3. Etiologi

GBD 2015 Disease and Injury Incidence and Prevalence

menyebutkan, penyebab tersering penyakit ginjal kronis yang diketahui

adalah diabetes melitus, selanjutnya diikuti oleh tekanan darah tinggi dan

glomerulonephritis. Penyebab lainnya dapat berupa idiopatik. Namun

penyebab-penyebab dari penyakit ginjal kronis dapat diklasifikasikan

berdasarkan anatomi ginjal yang terlibat.


- Penyakit vaskular, yang dapat melibatkan pembuluh darah besar seperti

bilateral artery stenosis, dan pembuluh darah kecil seperti nefropati

iskemik, hemolytic-uremic syndrome, dan vasculitis.

- Kelainan pada glomerulus yang dapat berupa penyakit glomerulus

primer seperti nefritis dan focal segmental glomerulosclerosis, penyakit

glomerulus sekunder seperti nefropati diabetic dan lupus nefritis.

- Penyakit bawaan seperti penyakit ginjal polikistik.

- Nefropati obstruktif yang dapat berupa batu ginjal bilateral dan

hyperplasia prostate

- Infeksi parasite (yang sering berupa enterobiasis) dapat menginfeksi

ginjal dan menyebabkan nefropati.

- Penyakit ginjal kronis juga dapat idiopatik yang mempunyai gejala

yang berupa penurunan aliran darah ke ginjal yang menyebabkan sel

ginjal menjadi nekrosis.

(Prabowo & Eko, 2014) menyebutkan bahwa penyakit gagal ginjal

kronik sering kali disebabkan oleh penyakit lain, penyebab yang sering

adalah diabetes mellitus dan hipertensi. Selain itu ada penyebab lainnya dari

gagal ginjal kronis diantaranya:

1. Penyakit dari ginjal

a. Penyakit pada saringan (glomerulus) : glomerulonefritis.

b. Infeksi kronis : pyelonefritis, ureteritis.

c. Batu ginjal : nefrolitiasis


d. Kista di ginjal : polcystis kidney.

e. Keganasan pada ginjal.

f. Sumbatan: batu, tumor, penyempitan/striktur

2. Penyakit umum di luar ginjal

a. Penyakit sistemik : diabetes melitus, hipertensi, kolesterol tinggi.

b. Dyslipidemia.

c. SLE (Systemic Lupus Erythematosus)

d. Infeksi di badan : TBC paru, sifilis, malaria, hepatitis

e. Preeklampsia

f. Obat-obatan

g. Kehilangan banyak cairan yang mendadak (luka bakar)

4. Patofisiologi

Secara umum penyebab dari penyakit ginjal kronis adalah penurunan

aliran darah ke ginjal yang umumnya disebabkan oleh Hipertensi , kerusakan

sel mesangial oleh Diabetes Melitus (Wong, 2012).

a. Hipertensi

Mekanisme kerusakan ginjal oleh hipertensi disebabkan oleh

penebalan sel-sel tunica intima pada glomerulus ginjal, penebalan sel

tunica intima menyebabkan mengecilnya vaskular yang berujung pada

mengecilnya aliran pembuluh darah ke bagian glomerulus,

berkurangnya aliran pembuluh darah ke glomerulus menyebabkan

aktifnya system Renin- 8 Angiotensin-Aldosteron yang menyebabkan


kenaikan tekanan darah lebih lanjut sehingga terjadi kerusakan ginjal

yang permanen.

Awalnya mekanisme aktifasi system Renin-Angiotensin-

Aldosterone dapat mengkompensasi kurangnya aliran darah ke ginjal,

namun seiring waktu akan menyebabkan nekrosis pada sel ginjal.

Kerusakan glomerulus ginjal dapat menyebabkan Global sclerosis

dimana terjadi kerusakan yang permanen dari glomerulus atau Focal

segmental necrosis yang merupakan system kompensasi ginjal dimana

terjadi pembesaran glomerulus pada suatu area karena kerusakan nefron

pada area lain pada ginjal. Secara kronik perubahan-perubahan pada

glomerulus ginjal akan menyebabkan kematian nefron yang akan

menyebabkan penurunan GFR secara perlahan.

b. Diabetes Melitus

Patofisiologi penyakit ginjal kronis untuk diabetes melitus

melibatkan hiperglikemia yang memicu pembentukan reactive oxygen

species (ROS) dan Advanced Glycosylation End Products (AGE).

Pembentukan AGE dan ROS menyebabkan terjadi stress oxidative pada

jaringan nefron ginjal. Peningkatan stress oxidative pada nefron ginjal

menyebabkan kenaikan permeabilitas ginjal lalu terjadinya proteinuria,

efek lain kenaikan permeabilitas glomerulus juga mengaktifkan system

RAAS yang menyebabkan kenaikan tekanan darah dan lebih jauh

meningkatkan permeabilitas ginjal dan memperparah kerusakan ginjal.


Mekanisme lain dari kerusakan ginjal dimana AGE dan ROS

menstimulasi pembentukan growth factor, growth factor yang terbentuk

berupa TGF, VEGF, dan PDGF. Pembentukan growth factor tersebut

dapat menyebabkan terjadinya fibrosis pada ginjal dan menurunkan

GFR.

(Suzanne & Bare, 2001) menjelaskan bahwa pada periode terjadinya

kegagalan fungsi ginjal, sebagian nefron (termasuk glomerulus dan tubulus)

diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-

nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang

meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan

GFR/daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi

sampai ¾ dari nefron-nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi

lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik

disertai poliuri dan haus.

Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak

oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-

gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas

kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80%-90%. Pada

tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai

15 ml/menit atau lebih rendah itu.

Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang

normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi


uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan

produk sampah, akan semakin berat.

a. Gangguan klirens ginjal

Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari

penurunan jumlah glomeruli yang berfungsi, yang menyebabkan

penurunan klirens substansi darah yang sebenarnya dibersihkan oleh

ginjal. Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat dideteksi dengan

mendapatkan urin 24-jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin. Menurut

filtrasi glomerulus (akibat tidak berfungsinya glomeruli) klirens

kreatinin akan menurunkan dan kadar kreatinin akan meningkat. Selain

itu, kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya meningkat. Kreatinin

serum merupakan indicator yang paling sensitif dari fungsi karena

substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh. BUN tidak hanya

dipengaruhi oleh penyakit renal, tetapi juga oleh masukan protein dalam

diet, katabolisme (jaringan dan luka RBC) dan medikasi seperti steroid.

b. Retensi cairan dan ureum

Ginjal juga tidak mampu untuk mengkonsentrasi atau

mengencerkan urin secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir,

respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan

elektrolit sehari-hari, tidak terjadi. Pasien sering menahan natrium dan

cairan, meningkatkan resiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif,

dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis rennin
angiotensin dan kerja sama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron.

Pasien lain mempunyai kecenderungan untuk kehilangan garam,

mencetuskan resiko hipotensi 8 dan hipovolemia. Episode muntah dan

diare menyebabkan penipisan air dan natrium, yang semakin

memperburuk status uremik.

c. Asidosis

Dengan semakin berkembangnya penyakit renal, terjadi asidosis

metabolic seiring dengan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan

muatan asam (H+) yang berlebihan. Penurunan sekresi asam terutama

akibat ketidakmampuan tubulus gjnjal untuk menyekresi ammonia

(NH3‾) dan mengabsopsi natrium bikarbonat (HCO3) . penurunan

ekskresi fosfat dan asam organik lain juga terjadi.

d. Anemia

Anemia timbul sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang

tidak adekuat, memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan

kecenderungan untuk mengalami perdarahan akibat status uremik

pasien, terutama dari saluran gastrointestinal. Pada gagal ginjal,

produksi eritropoetin menurun dan anemia berat terjadi, disertai

keletihan, angina dan sesak napas.

e. Ketidakseimbangan Kalsium dan Fosfat

Abnormalitas yang utama pada gagal ginjal kronis adalah

gangguan metabolisme kalsium dan fosfat. Kadar serum kalsium dan


fosfat tubuh memiliki hubungan saling timbal balik, jika salah satunya

meningkat, maka yang satu menurun. Dengan menurunnya filtrasi

melalui glomerulus ginjal, terdapat peningkatan kadar serum fosfat dan

sebaliknya penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar kalsium

serum menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid.

Namun, pada gagal ginjal tubuh tak berespon secara normal terhadap

peningkatan sekresi parathormon dan mengakibatkan perubahan pada

tulang dan pebyakit tulang. Selain itu juga metabolit aktif vitamin D

(1,25-dehidrokolekalsiferol) yang secara normal dibuat di ginjal

menurun.

f. Penyakit tulang uremik Disebut Osteodistrofi renal, terjadi dari

perubahan kompleks kalsium, fosfat dan keseimbangan parathormon.


5. Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala penyakit ginjal kronis berkembang seiring waktu jika

kerusakan ginjal berlangsung lambat. Tanda dan gejala penyakit ginjal

diantaranya (Kardiyudiani & Brigitta 2019) :

a. Mual

b. Muntah

c. Kehilangan nafsu makan

d. Kelelahan dan kelemahan

e. Masalah tidur

f. Perubahan volume dan frekuensi buang air kecil

g. Otot berkedut dan kram

h. Pembengkakan kaki dan pergelangan kaki

i. Gatal terus menerus

j. Nyeri dada jika cairan menumpuk di dalam selaput jantung

k. Sesak napas jika cairan menumpuk di paru-paru

l. Tekanan darah tinggi yang sulit dikendalikan

6. Pemeriksaan Penunjang

Berikut adalah pemeriksaan penunjang menurut Prabowo dan Pranata

(2014) yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis CKD :

a. Biokimiawi Pemeriksaan utama dari analisa fungsi ginjal adalah ureum

dan keratin plasma. Hasil yang lebih akurat untuk mengetahui fungsi

ginjal adalah dengan analisa creatinine clearance (klirens kreatinin).


b. Urinalisasi Dilakukan untuk menapis ada atau tidaknya infeksi ginjal atau

perdarahan aktif akibat infamasi pada jaringan ginjal.

c. Ultrasonografi Ginjal Memberikan informasi yang mendukung

menegakkan diagnosis gagal ginjal.

d. Osmolalitas serum; lebih dari 285 mOsm/kg

e. Pelogram retrograd; abnormalitas pelvis ginjal dan ureter

f. Endoskopi ginjal, nefroskopi; untuk menentukan pelvis ginjal, keluar

batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif

g. Arteriogram ginjal; mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi

ekstravaskular, masa

h. EKG; ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa.

i. Foto polos abdomen; menunjukkan ukuran ginjal/ureter /kandung kemih

dan adanya obstruksi (batu). GFR / LFG dapat dihitung dengan formula

Cockcroft-Gault : Laki-laki : ( 140 - umur ) x BB ( kg ) CCT = 72 x

Kreatinin serum ( mg/dl ) Wanita : (140 - umur) x BB (kg) CCT = x 0,85

72 x Kreatinin serum (mg/dl). Perhitungan terbaik LFG adalah dengan

menentukan bersihan kreatinin yaitu : Kreatinin Urin (mg/dl ) x Vol. Urin

( mL/24 jam) Bersihan Kreatinin = Kreatinin serum (mg/dl ) x 1440 menit

Nilai normal : Laki-laki : 97 - 137 mL/menit/1,73 m3 atau 0,93 - 1,32

mL/detik/m2 Wanita : 88-128 mL/menit/1,73 m3 atau 0,85 - 1,23

mL/detik/m2.
7. Komplikasi

Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari penyakit gagal ginjal kronis

adalah (Prabowo & Pranata, 2014) :

a. Penyakit Tulang

Penurunan kadar kalsium secara langsung akan mengakibatkan

dekalsifikasimatriks tulang, sehingga tulang akan menjadi rapuh dan jika

berlangsung lama akan menyebabkan fraktur pathologis.

b. Penyakit Kardiovaskuler.

Ginjal sebagai kontrol sirkulasi sistemik akan berdampak secara

sistemik berupa hipertensi, kelainan lifid, intoleransi glukosa, dan kelainan

hemodinamik (sering terjadi hipertrofi ventrikel kiri).

c. Anemia.

Selain berfungsi dalam sirkulasi, ginjal juga berfungsi dalam

rangkaian hormonal (endokrin). Sekresi eritropoeitin yang mengalami

defiensi di ginjal akan mengakibatkan penurunan hemoglobin.

d. Disfungsi seksual. Dengan gangguan sirkulasi pada ginjal, maka libido

sering mengalami penurunan dan terjadi impoten pada pria. Pada wanita

dapat terjadi hiperprolaktinemia.


8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi, terapi spesifik terhadap

penyakit yang mendasarinya, pencegahan dan terapi terhadap kondisi

komorbid, pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuar, pencegahan

dan terapi terhadap komplikasi, terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau

transplantasi ginjal. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya diberikan ketika

sebelum terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), sehingga perburukan

fungsi ginjal tidak terjadi. Jika sudah terjadi penurunan LFG maka terapi

terhadap penyakit dasarnya ini sudah tidak banyak bermanfaat. Pencegahan dan

terapi terhadap kondisi komorbid juga penting, sedangkan terapi pengganti

ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5 ketika LFG kurang dari

15 ml/menit (Sudoyo, 2006).

B. Teori Keperawatan Callista Roy

1. Fokus Adaptasi Roy

Menurut Alligood, 2014), Model adaptasi Roy berfokus pada proses

adaptasi manusia yang konsepnya membahas tentang keperawatan, manusia,

kesehatan dan lingkungan yang berkaitan dengan adaptasi. Proses ini dapat

memberikan respon adaptif maupun maladaptif. Manusia adalah sistem yang

terbuka sehingga mampu menerima stimulus dan stressor dari lingkungan.

Model adaptasi Roy memiliki manfaat bagi praktik keperawatan karena

menjelaskan sifat dan disiplin ilmu keperawatan serta memberikan arahan


baik bagi praktik keperawatan itu sendiri, pendidikan serta penelitian

keperawatan.

2. Komponen dan Sistem Adaptasi Roy

Komponen sistem dalam model adaptasi Roy merupakan suatu

kesatuan yang saling dihubungkan untuk beberapa tujuan karena adanya

saling ketergantungan dari setiap bagian-bagiannya. Adapun komponen

sistem dalam adaptasi Roy adalah sebagai berikut (Alligood, 2014):

a. Input

Roy mengidentifikasikan input sebagai stimulus yang merupakan kesatuan

informasi, bahan-bahan atau energy dari lingkungan yang dapat

menimbulkan respon. Dimana input dibagi lagi kedalam tiga tingkatan

yaitu:

a) Stimulus fokal yaitu stimulus yang langsung berhadapan dengan

seseorang dan segera menimbulkan efek, misalnya infeksi.

b) Stimulus konstektual yaitu stimulus yang dialami seseorang baik

internal maupun eksternal yang kemudian mempengaruhi situasi

namun dapat diobservasi, diukur, dan secara subyektif di laporkan.

Stimulus ini muncul secara bersamaan sehingga menimbulkan respon

yang negatif pada stimulus fokal. Contoh anemia dan isolasi sosial.

c) Stimulus residual yaitu stimulus dengan ciri-ciri tambahan yang ada,

relevan dengan situasi dan sulit untuk dibservasi kepercayaanya,

sikap, sifat individu yang berkembang berdasarkan pengalaman yang


lalu. Namun hal ini akan memberikan proses belajar untuk saling

bertoleransi. Contoh nyeri pada pinggang, ada yang bisa di toleransi

dan ada yang tidak.

b. Kontrol

Proses kontrol merupakan bentuk mekanisme koping yang digunakan

dalam teori adaptasi Roy. Mekanisme kontrol ini dibagi atas:

a) Subsistem regulator yaitu subsistem dengan komponen input-proses

dan output. Input stimulus berupa internal atau eksternal. Transmitter

regulator system adalah kimia, neural atau endokrin. Reflex otonom

adalah respon neural dan brain system dan spinal cord yang

dirteruskan sebagai perilaku output dari regulator system.

b) Subsistem kognator. Stimulus untuk subsistem kognator yaitu

eksternal dan internal. Proses internal berhubungan dengan persepsi

atau proses informasi dalam penyelesaian masalah dan pengambilan

keputusan. Emosi adalh proses pertahanan untuk mencari keringanan,

mempergunakan penilaian dan kasih sayang.

c. Output

Perilaku adalah merupakan output dari suatu sistem yang dapat

diukur dan diamati kemudian secara subyektif dapat dilaporkan baik

berasal dari dalam maupun dari luar. Roy mengkategorikan output system

sebagai respon yang adaptif atau respon yang tidak mal adaptif (Ardi,

2016).
Di bawah ini adalah model sistem adaptasi manusia (McEwen &

M. Wills, 2019) :

Gambar 1. Model sistem adaptif manusia (Sumber: Roy, C., & Andrews, HA (1999)
Model adaptasi Roy (edisi ke 2) Stamford, CT: Appleton & Lange, dikutip dari (McEwen
& M. Wills, 2019).

(Roy, 2009) dalam (McEwen & M. Wills, 2019) menerangkan

bahwa ada empat model adaptasi yang merupakan respon klien untuk

berinteraksi dengan lingkungannya yaitu :

a) Mode Fungsi Fisiologis: proses fisik dan kimia yang terlibat dalam

fungsi dan aktivitas organisme hidup; Kebutuhan mendasar adalah


integritas fisiologis: tingkat keutuhan dicapai melalui adaptasi

terhadap perubahan kebutuhan. Dalam kelompok, inilah cara di mana

sistem manusia mewujudkan adaptasi terhadap sumber daya operasi

dasar.

b) Mode Konsep Diri: Berfokus pada integritas psikologis dan spiritual

dan rasa kesatuan, artinya, tujuan di alam semesta.

c) Mode Fungsi peran: Mengacu pada peran yang dimiliki individu

dalam masyarakat untuk memenuhi kebutuhan akan integritas sosial;

Ini adalah mengetahui siapa seseorang, dalam hubungannya dengan

orang lain.

d) Mode Interdependensi: Hubungan erat orang dan tujuan, struktur, dan

perkembangan mereka, secara individu dan kelompok dan potensi

adaptasi.

Model adaptasi tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut (Roy,

2009) dalam (McEwen & M. Wills, 2019):

a) Fungsi fisiologis, komponen sistem adaptasi fisiologis diantaranya:

oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, integritas kulit,

indra, cairan dan elektrolit, fungsi neurologis dan fungsi endokrin.

b) Konsep diri yaitu bagaimana seseorang mengenal pola-pola interaksi

sosial dalam berhubungan dengan orang lain.


c) Fungsi peran merupakan proses penyesuaian yang berhubungan

dengan bagaimana peran seseorang dalam mengenal pola-pola

interaksi sosial dalam berhubungan dengan orang lain.

d) Interdependen merupakan kemampuan seseorang mengenal pola-pola

kasih sayang dan cinta yang diberikan melalui hubungan interpersonal

baik pada individu maupun kelompok.

3. Proses Keperawatan dalam Model adaptasi Roy

(Alligood, 2014) menjelaskan bahwa dalam praktik keperawatan

menurut Calista Roy, proses keperawatan diartikan sebagai pemecahan

masalah menggunakan pendekatan yang berorientasi pada tujuan untuk

memandu penyediaan perawatan yang komprehensif untuk orang atau

kelompok orang. Tujuan keperawatan adalah untuk membantu proses adaptasi

seseorang dalam pengelolaan lingkungan agar tercapai tingkat kesejahteraan

optimal. Proses keperawatan berhubungan langsung dengan cara pandang

seseorang sebagai sistem adaptif. Roy melakukan konseptualisasi proses

keperawatan kedalam enam simultan yaitu Pengkajian perilaku, pengkajian

stimulus, diagnosis keperawatan, tujuan, intervensi dan evaluasi.

a. Pengkajian Perilaku

Callista Roy memandang perilaku adalah tindakan atau reaksi

terhadap stimulus. Terdapat empat mode adaptif dalam mengeksplorasi

perilaku yakni yang memungkinkan perawat mencapai pemahaman

tentang tingkat adaptasi saat ini dan untuk merencanakan intervensi yang
akan dilakukan. Pada awal hubungan perawat-klien, evaluasi menyeluruh

terhadap perilaku harus dilakukan dan penilaian harus berkelanjutan

(Alligood, 2014).

b. Pengkajian stimulus

Stimulus adalah setiap perubahan pada lingkungan baik internal

maupun eksternal yang menyebabkan terjadinya respon dalam sistem

adaptif. Rangsangan yang timbul dari lingkungan dapat diklasifikasikan

sebagai stimulus fokal, kontekstual atau sisa atau residual. Dalam

pengkajian ini perawat melakukan analisa terhadap perilaku subyektif dan

obyektif untuk mengkaji lebih dalam penyebab perilaku individu (M. R

Alligood, 2014).

c. Diagnosis Keperawatan

Dalam menetukan diagnosis keperawatan, pendidikan dan

pengalaman yang dimiliki oleh perawat memungkinkan untuk membuat

penilaian mengenai perawatan kesehatan dan kebutuhan adaptif klien.

Penilaian ini diungkapkan dalam sebuah penyataan yaitu diagnosis

keperawatan yang menunjukkan actual ataupun potensial masalah yang

berkaitan dengan adaptasi. Pernyataan diagnosis mengacu pada sebuah

pertimbangan mengenai stimuli yang mungkin mengancam ataupun dapat

diadaptasikan. Diagnosis keperawatan didefinisikan sebagai proses

penilaian yang dihasilkan dalam laporan sistem adaptif (Alligood, 2014).

d. Penetapan Tujuan
Penetapan tujuan atau outcome pada dalam proses keperawatan

berfokus pada promosikan perilaku adaptif. Perawat dan klien secara

bersama-sama menyepakati tujuan dari asuhan keperawatan yang

dilakukan. Pernyataan hasil harus mencerminkan perilaku adaptif tunggal,

realistis, dan terukur. Pernyataan tujuan harus mencakup perilaku yang

akan diubah, dan waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya perubahan

perilaku (Alligood, 2014).

e. Intervensi

Intervensi berfokus pada cara yang dilakukan agar tujuan tercapai.

Sebuah intervensi keperawatan apapun yang diambil oleh perawat

professional yang ia percaya akan mempromosikan perilaku adaptif oleh

klien. Intervensi keperawatan timbul dari basis pengetahuan yang solid

dan bertujuan mengatasi stimulus fokal. Intervensi apapun yang dilakukan

dalam pendekatan keperawatan dimaksudkan untuk mempromosikan

adaptasi dengan mengubah stimuli atau memperkuat proses adaptif

(Alligood, 2014).

f. Evaluasi

Evaluasi merupakan jawaban dari pertanyaan, “apakah orang

tersebut bergerak kearah adaptasi?”. Evaluasi mengharuskan analisa dan

penilaian untuk menentukan apakah perubahan perilaku yang dinyatakan

dalam tujuan telah dicapai oleh penerima asuhan keperawatan (Alligood,

2014).
BAB III
ISI

Kasus

Pasien Tn.“S” usia 38 tahun masuk rumah sakit (RS) pada tanggal 22 Oktober

2022. Pasien masuk ruang perawatan dari ruang Hemodialisa (HD) dengan

keluhan lemas dan sesak setelah menjalani tindakan hemodialisa hari ini, juga

nampak bengkak pada kaki. Klien Tn.”S” 1 bulan lalu di diagnosis gagal ginjal

dan harus menjalani cuci darah 3 kali seminggu .Tn.“S” adalah seorang kepala

keluarga dengan 2 orang anak yang masih kecil, Tn.“S” bekerja sebagai guru di

sebuah Sekolah Dasar di daerahnya. Selama dalam perawatan pasien Tn.”S” lebih

banyak murung, saat ditanya oleh perawat, pasien mengatakan ia masih seperti

bermimpi harus mengidap penyakit gagal ginjal di usianya yang masih muda.

Tn.”S” mengatakan ia cemas akan istri dan anak-anaknya yang masih kecil.,

pasien harus berpisah dengan anaknya di kampung karena tidak tersedianya RS

dengan fasilitas HD di daerahnya.

Tn.”S” memiliki Riwayat penyakit hipertensi sejak 6 tahun terakhir, dan tidak

rutin minum obat. 1 bulan lalu Tn.”S” masuk RS dengan keluhan demam, lemas,

nyeri pinggang, dan gatal-gatal, dan pada saat itu dokter mendiagnosis Tn.”S”

menderita gagal ginjal kronik dan harus menjalani hemodialisis.

Tanda-tanda vital saat masuk yaitu, TD : 190/110 MmHg, HR : 90 kali/menit, S :

36,80 C, RR : 32 kali/menit. Pasien terpasang oksigen via nasal canule 4

liter/menit. Hasil auskultasi didapatkan adanya bunyi ronchi pada kedua lapang
paru, ada batuk, dan retraksi dinding dada. Akral dingin, CRT <3 detik,

conjungtiva anemis, hasil laboratorium, Hb: 8,6 gr/dl, Ur: 213 mg/dl Cr: 8,6

mg/dl pasien nampak lemas.

Satu hari dirawat di ruang perawatan, pasien masih nampak lemas, sesak

berkurang. tanda-tanda vital diperoleh TD: 190/100 MmHg, HR: 88 kali/menit,

RR: 28 kali/menit, Suhu : 36,70 C, masih terpasang oksigen 3 liter/menit, pasien

mendapat terapi amlodipine 10 mg/24 jam/oral, furosemide 40 mg/12 jam/intra

vena. Pasien lebih banyak diam, hanya berbicara saat ditanya. Saat perawat “H”

mengkaji masalah psikososial pasien, Tn.”S” menyampaikan kekhawatiran

kepada istri dan anak-anaknya yang masih kecil, ia masih nampak belum

menerima sepenuhnya kondisi yang dialaminya. Selama menjalani HD sebulan

terakhir, Tn.”S” hanya ditemani oleh istrinya, ia terpaksa berpisah dengan anak

dan keluarganya di kampung. Tn.”S” juga memikirkan pekerjaannya sebagai PNS

yang harus absen dari kantor karena harus HD di Makassar.

Aktifivitas pasien Sebagian besar di tempat tidur karena masih sesak jika tidak

mendapatkan oksigen tambahan, Sebagian aktifitas pasien dibantu oleh istrinya.

Istri pasien mengatakan Tn.”S” kadang sulit untuk tidur malam, gelisah seperti

memikirkan banyak hal tapi tidak mau bercerita.

Medical problem and plan : CKD on HD reguler + hipertensi. Pasien

direncanakan untuk dilakukan transfusi 1 bag saat HD berikutnya. Terapi

dilanjutkan, dengan target TD <140/90 MmHg.


PENGKAJIAN UMUM

Nama : Tn.”S”

Usia : 38 tahun

Jenis Kelamin :L

Pendidikan : S1

Status Pernikahan : Menikah

Suku bangsa : Bugis

Pekerjaan : PNS (guru)

Agama : Islam

Tanggal masuk RS : 22 Oktober 2022

Tanggal Pengkajian : 22 Oktober dan 23 Oktober 2022

A. Alasan Masuk
Keluhan utama : lemas, sesak nafas setelah menjalani HD,
bengkak
pada kaki.
Riwayat Keluhan utama : Pasien mengalami sesak nafas sejak 2 hari
sebelum HD, memberat pada hari saat pasien
dilakukan HD, disertai perasaan lemas, pucat,
sehingga pasien di anjurkan untuk rawat inap.
B. Riwayat Kesehatan

Pasien didiagnosis menderita gagal ginjal sejak 1 bulan yang lalu, ia menjalani
HD reguler 2 kali dalam seminggu. Tn.”S” juga memiliki Riwayat penyakit
hipertensi sejak 6 tahun yang lalu dan tidak rutin minum obat, ia hanya minum
obat anti hipetensi jika merasakan gejala leher tegang dan sakit kepala.
PENGKAJIAN FISIK

1. Pemeriksaan Fisik Umum


BB : 63 Kg
Tekanan Darah : 190/110 mmHg
Nadi : 90x/i
Frekuensi Nafas : 32x/i
Suhu : 36,8 oC
Keadaan Umum : CM
Kesadaran : E4 M6 V5
2. Kesadaran : Compos Mentis
GCS : 15 (E4M6V5)
Refleks cahaya : +
3. Rambut dan Kepala : Bersih, tidak ada benjolan dan luka.
4. Mata :
Konjungtiva : anemis.
Pupil : isokor
5. Hidung : Tidak ada masalah
6. Telinga : bersih
Pendengaran normal tanpa alat bantu
7. Mulut : bersih
Labio : mukosa lembab
Lidah : bersih
Gigi : bersih
Faring : tidak ada pembengkakan tonsil
8. Leher : tidak ada kelainan
Pembengkakan kelenjar tiroid : tidak ada
9. Dada :
Batuk : ada
Bentuk dada : AP/Lat =1:2
Ekspansi dada : simetris
Retraksi dada : ada
Pola napas : tachipnea
Bunyi napas : Ronchi
Bunyi Jantung : S1/S2 murni regular
10. Abdomen : datar
Nyeri tekan : tidak ada
Massa : tidak teraba adanya massa
Bising usu : normal
Stoma : tidak adaVesika urinaria : tidak teraba
11. Genitalia : Bersih
Pengeluaran cairan : tidak ada
Alat bantu berkemih : tidak ada
Anus : tidak ada kelainan
12. Ekstremitas : tak
Bentuk : simetris
Persendian : takKulit ekstremitas : tak
Sirkulasi : hangat

ROM kekuatan Motorik:

A A 5 5

A A 5 5

13. Punggung : lurus

Kulit : tak

Warna kulit : normal


STATUS FUNGSIONAL DAN AKTIVITAS HARIAN

1. Asesmen Status Fungsional

a. Sensorik

Penglihatan : normal

Penciuman : normal

Pendengaran : normal

b. Kognitif

Orientasi : penuh

c. Motorik

Aktivitas harian : Bantuan minimal

Berjalan : tidak ada kesulitan

2. Pola Aktivitas Harian

a. Istirahat dan Tidur

Gelisah saat tidur

b. Makan dan Minum

Makan : 3 kali/hari, 1 porsi

Diet khusus : diet rendah garam

Diet per : oral

Minum : 1000 cc/hari

Akses intra vena : conecta

c. Eliminasi

BAB : Frekuensi 1 kali/hari

Warna : kuning
Frekuensi BAK : 2-3 kali, produksi urine sedikit

Riwayat penyakit ginjal : ya

d. Kebersihan Diri : tak

Mandi : 2 kali/hari, sikat gigi : 2 kali/hari

e. Olahraga : jarang

f. Aktivitas secara umum : butuh bantuan.

g. Identifikasi Derajat Ketergantungan

Skor Barthel Index : 18

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan laboratorium

WBC : 12.750
HGB : 8,4 gr/dl
Neut : 74,2
HCT: 25,9
MCV: 81,6
MCH: 28,7
Ur : 213 mg/dl
Cr: 8,6 mg/dl
PT: 13,5
APTT:66,3
2. Foto Thoraks : Efusi Pleura Bilateral

3. Elektrokardiogram :normal sinus rhythm


PENGKAJIAN STATUS PSIKOLOGIS, SOSIAL EKONOMI, BUDAYA,

SPIRITUAL, KOMUNIKASI

1. Psikologi ( Respon Emosi)

Masalah terkait emosi : ada

Cemas : ada

Gelisah : ada

Klien mengatakan belum percaya akan menderita penyakit seperti ini.

2. Riwayat Sosial-Ekonomi

Tinggal di rumah keluarga selama pengobatan

Tinggal Bersama istri dan keluarga

Pekerjaan : PNS

Status pernikahan : menikah

Peran dalam struktur keluarga : Kepala Keluarga

Klien nampak sering murung selama di rumah sakit

3. Spiritual

Agama : Islam

Menjalankan ibadah : ya

Keyakinan terhadap penyembuhan : Pasien nampak kurang bersemangat.

4. Budaya

Nilai-nilai dan kepercayaan : baik

5. Komunikasi

Verbal : normal. Klien mengatakan belum percaya dengan penyakitnya,

cemas memikirkan anak dan istrinya juga pekerjaannya.


PENGKAJIAN BERDASARKAN TEORI ADAPTASI ROY

(PERILAKU DAN STIMULUS)

A. Mode Adaptasi Fisiologis

1. Oksigenasi

a. Ventilasi

Pengkajian Perilaku :

Klien mengeluh sesak, frekuensi nafas 32 x/menit, irama irreguler,

bentuk dan gerakan dada simetris, nampak retraksi dada, bunyi nafas

ronchi pada kedua paru.

Pengkajian Stimulus:

Stimulus fokal: ada masalah pada status oksigenasi, tachipnea,

terdapat bunyi napas tambahan. Stimulus kontekstual: efusi pleura

bilateral . Stimulus residual: riwayat merokok.

b. Transportasi Gas

Pengkajian Perilaku :

Tekanan darah 130/90 mmHg, frekuensi nadi 88 x/menit, regular, tidak

terdapat distensi jugularis, bunyi jantung S1 dan S2 terdengar normal

dan regular, murmur tidak ada, gallop tidak ada. CRT < 3 detik,

denyut nadi perifer normal lemah, dan akral teraba hangat.

Pengkajian Stimulus :

Stimulus fokal: tidak ada. Stimulus kontekstual: riwayat merokok.

Stimulus residual: tidak ada.


2. Nutrisi

Pengkajian Perilaku

Pasien mengatakan bahwa nafsu makan baik, muntah tidak ada,

anoreksia tidak ada, kesulitan menelan tidak ada, mukosa mulut lembab,

karies gigi tidak ada, tinggi badan 168 cm, berat badan 63 kg (IMT

22,32 kg/m2).

Pengkajian Stimulus

Stimulus fokal: nafsu makan baik.

Stimulus kontekstual: Indeks Massa tubuh normal.

Stimulus residual: tidak ada.

3. Eliminasi

Pengkajian Perilaku :

a. Buang air besar tidak ada masalah 1 x /hari, warna feces kuning,

konsistensi padat, bising usus 16x/menit.

b. Buang air kecil tidak lancar, produksi urine sedikit, kadang nyeri

pada pinggang.

Pengkajian Stimulus

Stimulus fokal: ada masalah pada pola BAK, BAK tidak lancar, urine

sedikit

Stimulus kontekstual: masalah pada fungsi ginjal (gagal ginjal)

Stimulus residual: tidak ada

4. Aktivitas dan Istirahat

Pengkajian Perilaku
Klien lebih banyak beraktivitas di tempat tidur karena sesak, namun

masih mampu ke kamar mandi dengan bantuan. Gelisah saat tidur.

Tingkat ketergantungan ringan, klien dapat makan, minum sendiri.

Pengkajian Stimulus

Stimulus fokal: ketergantungan ringan-sedang, stimulus kontekstual:

aktivitas dapat dilakukan dengan bantuan minimal. Stimulus residual:

tidak ada.

5. Proteksi dan Perlindungan

Pengkajian Perilaku

Integritas kulit utuh, membrane mukosa normal, tidak ada luka atau

masalah pada kulit

Pengkajian Stimulus

Stimulus fokal: suhu tubuh normal (36,8oC), Stimulus kontekstual: tidak

ada. Stimulus residual: tidak ada

6. Sensasi

Pengkajian Perilaku

Fungsi pendegaran, penghiduan, sentuhan dan tidak ada kelainan.

Pengkajian Stimulus

Stimulus fokal: tidak ada. Stimulus kontekstual: tidak ada. Stimulus

residual: tidak ada.

7. Cairan dan Elektrolit

Pengkajian Perilaku
Masukan cairan +1000 ml/hari, klien menyadari pentingnya membatasi

cairan pada pasien dengan penyakit ginjal. Klien mengaku tidak lagi

mengkonsumsi minuman lain selain air putih.

Pengkajian Stimulus

Stimulus fokal: Produksi urine sedikit, Stimulus konstektual: pembatasan

asupan cairan, masalah gagal ginjal, stimulus residual: tidak ada.

8. Fungsi Neurologi

Pengkajian Perilaku

Kesadaran composmentis, status kognitif baik, emosi normal, koordinasi

dan kontrol gerakan tubuh baik, fungsi sensorik dan motorik baik,

kelumpuhan atau parasilisis tidak ada.

Pengkajian stimulus

Stimulus fokal: tidak ada. Stimulus kontekstual: tidak ada. Stimulus

residual: tidak ada.

9. Fungsi Endokrin

Pengkajian Perilaku

Riwayat mengalami DM tidak ada, Riwayat hipertiroid dan hipotiroid

tidak ada.

Pengkajian Stimulus

Stimulus fokal: tidak ada. Stimulus kontekstual: tidak ada. Stimulus

residual; tidak ada. Semua perilaku adaptif.


B. Mode Adaptasi Konsep Diri

Pengkajian Perilaku

Sensasi tubuh: klien mengatakan belum percaya akan terkena

penyakit seperti ini, cemas dengan kondisi kesehatannya, cemas

terhadap istri dan anak-anaknya, juga pekerjaannya yang ia tinggalkan

di kampung.

Citra tubuh: klien merasa ia berbeda dengan dirinya yang dulu.

Konsistensi diri: Pasien lebih banyak murung, namun pasien tetap

mengikuti seluruh rangkaian perawatan dan pengobatan dan patuh

pada segala hal yang dianjurkan oleh dokter dan akan menjaga

kesehatannya.

Ideal diri: ingin sehat dan aktif walau punya penyakit berat.

Moral- spiritual-etika diri: beragama islam, patuh melaksanakan

ibadah. Sering berdoa untuk kesembuhannya.

Pengkajian Stimulus

Stimulus fokal: Gagal ginjal yang membuat banyak aspek kehidupan

klien berubah, kebiasaan, fungsi peran, dan aktivitas .

Stimulus kontekstual: kekhawatiran kan perkembangan penyakitnya,

serta efek dari sakitnya.

C. Mode Adaptasi Fungsi Peran

Pengkajian Perilaku

Selama ini pasien adalah orang yang aktif. Kegiatan sehari-hari

sebagai guru berjalan dengan baik sampai kemudian klien mengalami


penyakit CKD yang mengharuskan ia menjalani cuci darah di

Makassar sementara ia bekerja di daerah. Klien mencemaskan

tugasnya, ia tidak lagi menjalankan tugas karena harus HD 3 kali

seminggu. Klien juga cemas dengan anak-anaknya di kampung yang

masih kecil.

Pengkajian Stimulus

Stimulus fokal: ketakutan terhadap perkembangan penyakit.

Stimulus kontekstual: merasa cemas dan tidak tidak berdaya.

Stimulus residual: tidak ada.

D. Mode Adaptasi Interdependen

Pengkajian Perilaku

Selama dirawat pasien selalu didampingi oleh isterinya.

Pengkajian Stimulus

Stimulus fokal: tingkat ketergantungan ringan-sedang dalam pemenuhan

aktivitas.

Stimulus kontekstual: aktivitas saat ini terbatas karena masalah fisik

Stimulus residual: tidak ada.


ANALISA DATA

MASALAH
NO DATA
KEPERAWATAN

1. Data Subjektif Pola napas tidak efektif

- Klien mengeluh sesak


Data Objektif

- Frekuensi napas :32x/menit


- Nampak retraksi dada
- Bunyi napas tambahan ronchi
1. Data Subjektif Gangguan Eliminasi urine
- Klien mengeluh buang air kecil
tidak lancer dan urine sedikit

Data Objektif

- Urine berwarna kuning pekat


- Kateter tidak terpasang
- Diagnosa medis CKD

3. Data Subjektif : Kecemasan


- Klien mengatakan merasa
cemas dengan kondisinya, istri,
anak dan pekerjaannya.
- Klien mengatakan masih sulit
menerima penyakitnya
Data Objektif :
- Tingkat cemas: sedang-berat
- Tampak murung
A. Diagnosa Keperawatan

Berdasarkan analisa data dapat dirumuskan diagnosa keperawatan


berdasarkan Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (SDKI), sebagai
berikut :
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas.
2. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan masalah diagnostik
(chronic kidney disease)
3. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional dan kekhawatiran
mengalami kegagalan.
BAB IV

PEMBAHASAN

Pengkajian pada pasien Tn.”S” dengan diagnose Chronic Kidney Disease

(CKD) didapatkan beberapa masalah keperawatan sesuai hasil pengkajian yang

dilakukan dengan berdasar pada teori adaptasi dari Callista Roy. Teori Adaptasi

Sister Callista Roy mengidentifikasi masalah pada pasien dengan pengkajian

perilaku dan stimulus. Melalui pengkajian perilaku dan stimulus ini, diidentifikasi

bagaimana pasien dapat beradaptasi dengan keadaannya dan masalah-masalah apa

yang perlu diidentifikasi oleh perawat untuk membantu dalam penentuan

intervensi keperawatan.

Menurut (Siregar et al., 2021), pengkajian adalah step pertama dalam

proses keperawatan yang terdiri dari pengumpulan data yang sistematis, analisa

data, pengorganisasian data, interpretasi data, dan melakukan pendokumentasian

data oleh perawat yang profesional dalam bidang Kesehatan. Berdasarkan data

yang diperoleh dari pengkajian perilaku dan stimulus pada pasien dapat

dijabarkan bahwa pasien memerlukan proses adaptasi dalam proses perawatan

yang dijalaninya. Apabila dari hasil pengkajian ditemukan masalah keperawatan,

maka berikutnya dilakukan analisis untuk penentuan diagnosis keperawatan dan

rencana keperawatan.
(PPNI, 2016) mendefenisikan diagnosis keperawatan sebagai suatu

penilaian kritis terhadap respon klien terhadap masalah kesehatan atau proses

kehidupan yang dialaminya baik yang bersifat aktual maupun potensial. Pada

pasien Tn. S, setelah dilakukan pengkajian perilaku dan stimulus melalui 4 mode

diantaranya: fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi ditemukan 3

masalah keperawatan diantaranya gangguan pola napas, gangguan pola eliminasi

urine, dan kecemasan. Diagnosis ini ditegakkan sesuai standar diagnosis

keperawatan Indonesia (SDKI) (2016). Dalam Konsep Adaptasi Roy, diagnosis

keperawatan dikembangkan dengan dengan menilai perilaku dan rangsangan yang

paling relevan (Masters, 2014).

Setelah diagnosis ditegakkan, kemudian disusunlah Intervensi

keperawatan yang merupakan segala bentuk terapi yang dikerjakan oleh perawat

yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai

peningkatan, pencegahan dan pemulihan kesehatan klien individu, keluarga

(PPNI, 2018). Dalam teori adaptasi Roy, intervensi apapun yang dilakukan dalam

pendekatan keperawatan dimaksudkan untuk mempromosikan adaptasi dengan

mengubah stimuli atau memperkuat proses adaptif (Alligood, 2014). Dalam

penentuan intervensi keperawatan yang merujuk pada teori adaptasi Roy selalu

berdasar pada tujuan untuk meningkatkan kemampuan adaptasi klien yang juga

dipadukan dengan Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI).


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Penerapan teori keperawatan Callista Roy tentang adaptasi pada

pasien dengan penyakit kronik seperti CKD sangat penting. Pengkajian

bedasarkan konsep teori, membantu perawat dalam menganalisis lebih

mendalam tentang masalah klien khususnya dalam hal adaptasi, baik

terhadap masalah fisiologis, konsep diri, fungsi peran, dan hubungan

interdependen.

Pengkajian yang baik dan terstruktur, akan membantu perawat

dalam menemukan masalah-masalah keperawatan yang ada, sehingga

selanjutnya akan memudahkan perawat dalam penentuan intervensi

keperawatan.

B. Saran

Untuk penulisan makalah selanjutnya, agar mencari lebih banyak

lagi literatur sesuai Evidence Based Nursing terbaru, yang mungkin dapat

nantinya dipadukan dalam Menyusun makalah terkait teori keperawatan

model adaptasi dengan lebih baik lagi.


DAFTAR PUSTAKA

Alligood, M. R. (2014). Nursing Theorists and Their Work. In Contemporary


Nurse (8th ed.). Elsevier.
https://doi.org/https://doi.org/10.5172/conu.2007.24.1.106a

Ardi, A. P. (2016). Trend dan Issu Keperawatan. In Media Publisher.

Black, Joyce M. & Jane Hokanson Hawks. Medical Surgical Nursing Clinical
Management for Positive Outcome Seventh Edition. China : Elsevier inc.

2014

GBD 2015 Disease and Injury Incidence and Prevalence, Collaborators. (8


October 2016). "Global, regional, and national incidence, prevalence, and
years lived with disability for 310 diseases and injuries, 1990-2015: a
systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2015". Lancet.
388 (10053): 1545–1602.

Kardiyudiani & Susanti,Brigitta A.D. (2019). Keperawatan Medikal Bedah.


Yogyakarta : Pustaka Baru.

McEwen, M., & M. Wills, E. (2019). Theoretical Basis for Nursing (Fifth).
Wolters Kluwer Health | Lippincott Williams & Wilkins.

Morton, Patrici, G. (2011). Keperawatan Kritis : Pendekatan Asuhan Holistik.


Edisi 8. Bahasa Indonesia. Jakarta : EGC

PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) (Tim Pokja


SDKI DPP PPNI (ed.); 1st ed.). Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.

PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) (Tim Pokja SIKI

DPP PPNI (ed.); 1st ed.). Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional

Indonesia.

Prabowo, Eko & Pranata, A.E. (2014). Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan.
Yogyakarta : Naha Medika

Riskesdas 2018 [Internet]. Depkes.go.id. 2018 [cited 6 July 2019]. Available


from: http://www.depkes.go.id/resources/download/info-terkini/hasil-riskesdas-
2018.pdf Smeltzer SC, Bare BG. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Vol. 2. Edisi. 8. Jakarta : EGC

Siregar, D., Pakpahan, M., Togatorop, L. B., Manurung, E. I., Sitanggang, Y. F.,
Umara, A. F., Sihombing, R. M., Florensa, M. V. A., Perangin-angin, M. A.,
& Mukhoirotin. (2021). Pengantar Proses Keperawatan: Konsep, Teori dan
Aplikasi (A. Karim (ed.); Cetakan 1). Yayasan Kita Menulis.

Sudoyo.(2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Suzanne, S., Bare, B. G. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC

Wakhid, A., Kamsidi, Widodo, G. (2018). Gambaran Tingkat Depresi Pasien


Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis. Jurnal Keperawatan Jiwa,
Volume 6 No 1 Hal 25- 28, Mei 2

Webster, A. C., Nagler, E. V., Morton, R. L., & Masson, P. (2017). Chronic
Kidney Disease. Lancet (London, England), 389(10075), 1238–1252.
https://doi.org/10.1016/S0140-6736(16)32064-5

WHO (2015) Angka kejadian penderita CKD di dunia


Wong E. Chronic Kidney Disease. Lancet. 2012;379(8911):80-165.

Anda mungkin juga menyukai