Anda di halaman 1dari 25

Referensi Artikel

HUBUNGAN PERIODONTITIS DENGAN GAGAL GINJAL


KRONIS

Disusun Oleh:
Erlyn Merika
G991905021

Periode: 30 Desember – 12 Januari 2020

PEMBIMBING :

Dr. Risya Cilmiaty AR, drg., MSi, Sp.KG

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI SURAKARTA
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Referensi artikel ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan


Klinik/Program Studi Profesi Bagian Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret/RSUD Dr. Moewardi dengan judul:

Hubungan periodontitis dengan gagal ginjal kronis

Hari, tanggal: Senin , 6 Januari 2020

Oleh:
Erlyn Merika G991905021

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Presentasi

Dr. Risya Cilmiaty AR, drg., MSi, Sp.KG

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gagal ginjal kronik merupakan penurunan fungsi ginjal secara progresif
dan ireversibel yang berkaitan dengan penurunan laju filtrasi glomerulus.
Hipertensi kronik, diabetes melitus dan glomerulonefritis merupakan penyebab
paling sering dari gagal ginjal kronik.1
Hemodialisis menjadi salah satu terapi yang sangat dibutuhkan oleh
penderita gagal ginjal kronik untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme dalam
darah.2
Gagal ginjal kronik serta hemodialisis dapat mempengaruhi kondisi
rongga mulut.Diperkirakan 90% pasien gagal ginjal kronik mengalami perubahan
pada jaringan lunak mulut serta tulang rahang.3 Salah satu manifestasi oral yang
dapat timbul adalah periodontitis.Periodontitis pada penderita gagal ginjal kronik
yang menjalani terapi hemodialisis dapat disebabkan oleh produksi vitamin D
yang tidak adekuat pada ginjal sehingga terjadi resorbsi tulang, keadaan
xerostomia, dan buruknya kebersihan mulut.4 Pasien cenderung lebih fokus
terhadap penyakitnya dan terapi hemodialisis yang sangat menyita waktu menjadi
alasan kurangnya menjaga kesehatan mulut.5

B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui hubungan gagal ginjal
kronik dengan periodontitis.

C. Manfaat Penulisan
Dengan membuat tulisan ini diharap dapat lebih mengetahui dan
memahami hubungan antara gagal ginjal kronik dengan periodontitis.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Gagal Ginjal Kronis


1. Definisi
Penyakit Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu proses
patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan
fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir dengan gagal
ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai
dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel pada suatu saat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis atau
transplantasi ginjal4. Glomerulonefritis dalam beberapa bentuknya
merupakan penyebab paling banyak yang mengawali gagal ginjal kronik.
Kemungkinan disebabkan oleh terapi glomerulonefritis yang agresif dan
disebabkan oleh perubahan praktek program penyakit ginjal tahap akhir
yang diterima pasien, diabetes mellitus dan hipertensi sekarang adalah
penyebab utama gagal ginjal kronik1. Uremia adalah suatu sindrom klinik
dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi
ginjal pada penyakit ginjal kronik, penyajian dan hebatnya tanda dan
gejala uremia berbeda dari pasien yang satu dengan pasien yang lain,
tergantung paling tidak sebagian pada besarnya penurunan massa ginjal
yang masih berfungsi dan kecepatan hilangnya fungsi ginjal 6,9.
Kriteria Penyakit Ginjal Kronik antara lain4 :
1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa
kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju
filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi :
o kelainan patologis
o terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam
komposisi darah dan urin atau kelainan dalam tes
pencitraan (imaging tests)

3
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m² selama
3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan dan LFG
sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m², tidak termasuk kriteria penyakit
ginjal kronik.

2. Klasifikasi 9
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu atas dasar
derajat (stage) penyakit dan dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar
derajat penyakit dibuat atas dasar LFG yang dihitung dengan
mempergunakan rumus Kockcorft-Gault sebagai berikut:
LFG (ml/menit/1,73m²) = (140-umur)x berat badan / 72x kreatinin plasma
(mg/dl)*)
*) pada perempuan dikalikan 0,85
Klasifikasi tersebut tampak pada tabel 1
Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit
Derajat Penjelasan LFG(ml/mnt/1,73m²)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ > 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG↓ ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG↓ sedang 30-59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG↓ berat 15- 29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

Klasifikasi atas dasar diagnosis tampak pada tabel 2


Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas dasar Diagnosis Etiologi
Penyakit Tipe mayor (contoh)
Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes Penyakit glomerular (penyakit otoimun,
infeksi sistemik, obat, neoplasia)
Penyakit vascular (penyakit pembuluh
darah besar, hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis
kronik, batu, obstruksi, keracunan obat)

4
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporin /
takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy

3. Epidemiologi 6,9
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens
penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun,
dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan
populasi 18 juta diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal
pertahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini
diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk pertahun 6.

4. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada
penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses
yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal menyebabkan
hipertrofi sisa nefron secara struktural dan fungsional sebagai upaya
kompensasi. Hipertrofi “kompensatori” ini akibat hiperfiltrasi adaptif yang
diperantarai oleh penambahan tekanan kapiler dan aliran glomerulus.
Proses adaptasi ini berlangsung singkat akhirnya diikuti oleh proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini
akhirnya iikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif walaupun
penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas
aksis renin-angiotensinaldosteron intrarenal ikut memberikan konstribusi
terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progesifitas tersebut.
Aktivitas jangka panjang aksis renin-angiotensinaldosteron, sebagian
diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor ß.
Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya
progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi,

5
hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk
terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial.
Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik terjadi
kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal
LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi
pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai
dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG
sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi
sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada
LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia,
badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan.
Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda
uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan
metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain
sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran
kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan
terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia,
gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada
LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius,
dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement
therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini
pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.

5. Pendekatan Diagnosis
Gambaran Klinis 7,8,9,10
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes malitus, infeksi
traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus
Eritomatosus Sistemik (LES),dll.
b. Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia,
mual,muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload),

6
neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai
koma.
c. Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal,
payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, khlorida).
Gambaran Laboratorium 7,8,9,10
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus
Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan
untuk memperkirakan fungsi ginjal.
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper
atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalemia, asidosis metabolic
d. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria
Gambaran Radiologis 7,8,9,10
Pemeriksaan radiologis penyakit GGK meliputi:
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh
toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan
c. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
kalsifikasi
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada
indikasi.

6. Penatalaksanaan Medis
Perencanaan tatalaksana (action plan) penyakit GGK sesuai dengan
derajatnya, dapat dilihat pada tabel 3 9.

7
Tabel 3. Rencana Tatalaksanaan Penyakit GGK sesuai dengan derajatnya
Derajat LFG(ml/mnt/1,73m²) Rencana tatalaksana
1 > 90 terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,
evaluasi pemburukan (progession)
fungsi ginjal, memperkecil resiko
kardiovaskuler
2 60-89 menghambat pemburukan (progession)
fungsi ginjal
3 30-59 evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 <15 terapi pengganti ginjal

Terapi Nonfarmakologis:9,10
a. Pengaturan asupan protein:
Tabel 4. Pembatasan Asupan Protein pada Penyakit GGK
LFG ml/menit Asupan protein g/kg/hari
>60 tidak dianjurkan
25-60 0,6-0,8/kg/hari
5-25 0,6-0,8/kg/hari atau tambahan 0,3 g
asam amino esensial atau asam keton
<60 0,8/kg/hari(=1 gr protein /g proteinuria
atau 0,3 g/kg tambahan asam amino
esensial atau asam keton.
(sindrom nefrotik)

b. Pengaturan asupan kalori: 35 kal/kgBB ideal/hari


c. Pengaturan asupan lemak: 30-40% dari kalori total dan mengandung
jumlah yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh
d. Pengaturan asupan karbohidrat: 50-60% dari kalori total
e. Garam (NaCl): 2-3 gram/hari
f. Kalium: 40-70 mEq/kgBB/hari
g. Fosfor:5-10 mg/kgBB/hari. Pasien HD :17 mg/hari
h. Kalsium: 1400-1600 mg/hari
i. Besi: 10-18mg/hari
j. Magnesium: 200-300 mg/hari

8
k. Asam folat pasien HD: 5mg
l. Air: jumlah urin 24 jam + 500ml (insensible water loss)

Terapi Farmakologis 6,7,8,9:


a. Kontrol tekanan darah
- Penghambat EKA atau antagonis reseptor Angiotensin II → evaluasi
kreatinin dan kalium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin > 35%
atau timbul hiperkalemia harus dihentikan.
- Penghambat kalsium
- Diuretik
b. Pada pasien DM, kontrol gula darah → hindari pemakaian metformin
dan obat-obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C
untuk DM tipe 1 0,2 diatas nilai normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah
6%
c. Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl
d. Kontrol hiperfosfatemia: polimer kationik (Renagel), Kalsitrol
e. Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/l
f. Koreksi hiperkalemia
g. Kontrol dislipidemia dengan target LDL,100 mg/dl dianjurkan golongan
statin
h. Terapi ginjal pengganti.
B. Penyakit Periodontal
Penyakit periodontal merupakan suatu penyakit peradangan atau
kerusakan pada jaringan pendukung gigi yang disebabkan oleh faktor lokal,
yaitu plak bakteri. Selain faktor tersebut, terdapat juga beberapa penyakit
sistemik ataupun kelainan tertentu yang dapat menurunkan respon hospes. Hal
tersebut dapat mendukung terjadinya kelainan pada jaringan periodontal.
Kebersihan gigi dan mulut yang tidak adekuat dapat memudahkan
terjadinya penumpukan bakteri patogen dalam jaringan periodontal di celah
gingiva dan membentuk struktur terorganisir yang dikenal sebagai "biofilm
bakteri". Dalam biofilm matang, bakteri memiliki sejumlah faktor virulensi,

9
termasuk lipopolisakarida (LPS) yang mungkin menyebabkan kerusakan
langsung pada jaringan periodontal atau merangsang host untuk mengaktifkan
respon inflamasi lokal.Biofilm plak gigi merupakan struktur kompleks bakteri
yang ditandai dengan ekskresi matriks pelindung dan perekat. Dalam matriks
tersebut terdapat di dalamnya bakteri Gram negatif anaerob dan bakteri
mikroaerofilik yang berkoloni pada struktur gigi dan kemudian memulai
proses inflamasi sehingga dapat menyebabkan hilangnya tulang dan migrasi
junctional epithelium. Aktivitas bakteri tersebut kemudian dapat menyebabkan
kerusakan jaringan periodontal.
Terdapat lima tahapan yang diketahui pada perkembangan penyakit
periodontal, yaitu :
1. Pristine gingiva (hanya ditemukan pada hewan percobaan) yang memiliki
lapisan epitelium yang intak dan melapisi gingival crevice serta tidak terdapat
sel inflamasi dalam jaringan ikat. Terdapat perpindahan yang kontinyu dari
leukosit neutrofil ke bagian korona dari epithelium junctional dan gingival
crevice.
2. Gingiva sehat yang normal memiliki sejumlah sel inflamasi dalam epithelium
junctional dan jaringan ikat. Meskipun gingivitis pada tahap ini tidak dapat
dideteksi secara klinis, perubahan inflamasi dapat dideteksi secara
mikroskopik.
3. Early gingivitis nampak setelah 10-20 hari setelah akumulasi plak. Terdapat
peningkatan sel inflamasi di dalam jaringan dan meningkatnya migrasi
neutrofil ke dalam gingival crevice. Epitelium gingiva menjadi lebih tebal.
Jaringan ikat gingiva telah banyak mengandung sel inflamasi, yaitu sekitar
15% dan terjadi dilatasi pada pembuluh darah, serta dekstruksi dini pada
kolagen, seperti pada gambar 2.1.

10
Gambar 2.1: Permulaan lesi gingivitis
(sumber: Essential of microbiology for dental students)

4. Established gingivitis memiliki jaringan ikat yang lebih banyak didominasi


oleh sel plasma (10-30%) serta terjadi proliferasi dari dentogingival
epithelium seperti pada gambar 2.2.

Gambar 2.2: Pembentukan gingivitis


(sumber: Essential of microbiology for dental students)
5. Periodontitis ditandai dengan migrasi ke arah apikal dari junctional
epithelium – tahap pertama dari hilangnya perlekatan. Infiltrasi yang sama
dari sel inflamasi dapat dilihat, namun lebih dominan (>50%). Kehilangan
tulang mulai terjadi di sini.

Penyakit periodontal dapat diklasifikasikan dalam beberapa jenis,


antara lain adalah periodontitis kronis, agresif periodontitis, periodontitis
sebagai manifestasi penyakit sistemik, necrotizing periodontal disease, abses
pada jaringan periodonsium, periodontitis terkait dengan lesi endodontik dan
deformitas, serta kondisi perkembangan atau dapatan.
Penyakit atau kelainan yang dapat mempengaruhi jaringan periodontal
antara lain adalah penuaan, stress emosional dan psikososial, kelainan genetik,
ketidakseimbangan endokrin, ketidakseimbangan hormon seks,
penyakit/kelainandarah, defisiensi nutrisi dan gangguan metabolik, obat-obatan
yang memiliki efek negatif terhadap jaringan periodontal, dan lain sebagainya.

C. Periodontitis

11
1. Pengertian periodontitis
Periodontitis adalah peradangan atau infeksi pada jaringan
periodontium. Periodontium adalah jaringan di sekitar perlekatan gigi
yang mempunyai fungsi untuk mempertahankan dan menyokong gigi.
Jaringan ini terdiri dari dentoginggival junction, cementum, periodontal
ligament, dan alveolar bone.11
Suatu keadaan dapat disebut periodontitis bila perlekatan antara
jaringan periodontal dengan gigi mengalami kerusakan. Selain itu alveolar
bone juga mengalami kerusakan. Periodontitis dapat berkembang dari
gingivitis (peradangan atau infeksi pada gusi) yang tidak dirawat. Infeksi
akan meluas dari gusi ke arah tulang di bawah gigi sehingga menyebabkan
kerusakan yang lebih luas pada jaringan periodontal.11

2. Struktur jaringan periodontal

Gambar 2.3 struktur jaringan


periodontal pada gigi-geligi
manusia

a) Dentoginggival
junction
Dentoginggival
junction adalah
ginggiva yang melapisi gigi. Dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu
epithelial dan connective tissue component.

12
Epithelium ini dibentuk oleh sel basal (flattened cell), sel
superbasal, dan sel permukaan yang terdiri dari basal lamina,
merupakan sel perlekatan. Sel-sel tersebut memiliki banyak
sitoplasma, retikulum endoplasma, dan badan golgi.
Connective tissue terdiri dari 2 bagian, yaitu superficial dan deep.
Terletak bersebelahan dengan junctional epithelium yang berfungsi
untuk menyokong epithelium. Selain itu connective tissue memiliki
peranan untuk memulihkan dentoginggival junction setelah
pembedahan periodontal. Jaringan ini dibentuk oleh inflammatory
cell infiltrate. Jaringan yang berbatasan dengan epithelium adalah
extensive vascular plexus.12
b) Cementum
Cementum merupakan bagian yang menyelimuti akar gigi. Bersifat
keras, tak berpembuluh darah, serta merupakan perlekatan utama
periodontal ligament.11
c) Periodontal ligament
Sebagian besar periodontal ligament bersifat lunak, terutama
jaringan yang berada diantara cementum yang menyelimuti akar gigi
dan tulang. Fungsi dari periodontal ligament adalah senantiasa
menjaga gigi pada tempatnya yang disesuaikan dengan kekuatan
mengunyah, dan sebagai sensori reseptor pada rahang selama
pengunyahan,serta sebagai cadangan sel untuk regenerasi.11
d) Alveolar bone
Adalah tulang yang berongga, tepatnya di samping periodontal
ligament. Lapisan luar terdiri dari compact bone, lapisan tengah
spongiosa bone, serta lapisan dasar adalah alveolar bone.Lapisan
luar(compact bone) dan lapisan tengah (spongiosa/ trabecular bone)
tersusun atas lamel-lamel dengan system havers.Trabecular tulang
tidak hadir pada daerah anterior dari gigi, dan pada beberapa kasus,
cortical plate dan alveolar bone yang melekat satu sama lain, tanpa
adanya spongiosa bone.12

13
3. Bakteri pada jaringan periodontal
Ada beberapa macam bakteri yang berhubungan dengan
periodontitis, antara lain P.gingivalis, A. Actinomycetemcomitans,
tannerella forsythia, treponema denticola, eikonolla corrodens. Akan
tetapi bakteri yang tergolong periodontopatogenik adalah P.gingivalis, A.
Actinomycetemcomitans.13

4. Faktor yang mempengaruhi periodontitis


Pengamatan klinis menunjukkan bahwa mikroorganisme cepat
berkumpul di permukaan gigi ketika sesorang berhenti menjaga kebersihan
mulutnya. Hanya dengan beberapa hari, tanda-tanda mikroskopis dan
klinis dari gingivitis sudah terlihat. Perubahan peradangan bisa
ditanggulangi ketika orang tersebut kembali menjaga kesehatan mulutnya
secara intensif.
Mikroorganisme yang berasal dari plak pada gigi dan
menyebabkan gingivitis juga termasuk pelepasan bakteri yang
menyebabkan peradangan jaringan. Percobaan klinis menekankan pada
kebutuhan untuk membuang microbial plaque pada supra- dan
subgingival dalam perawatan gingivitis dan periodontitis.13
Plak gigi merupakan microbial yang mengawali terjadinya
penyakit jaringan periodontal. Namun bagaimana hal itu dapat
mempengaruhi suatu subjek, bagaimana penyakit tersebut timbul dan
bagaimana dengan progressnya, semuanya tergantung dari kekebalan atau
pertahanan dari host itu sendiri. Faktor pendukung yang mempengaruhi
semua hal dari periodontitis secara utama dengan efeknya terhadap
kekebalan normal dan pertahanan terhadap pembengkakan adalah sebagai
berikut :
a) Infeksi HIV
Meskipun banyak orang yang terinfeksi HIV tanpa periodontitis,
mereka mungkin sering mengalami gangguan dalam rongga mulut,
beberapa ditemukan pada periodontium. Jaringan periodontal pada
penderita HIV-positif termasuk linear gingival erythema, necrotizing

14
ulcerative gingivitis, periodontitis lokal parah dan severe destructive
necrotizing stomatitis yang mempengaruhi gingival dan tulang (mirip
noma dan cancrum oris) 14
b) Tekanan Emosi
Stress yang berkepanjangan telah menjadi faktor pendukung
timbulnya necrotizing ulcerative gingivitis. Dampak negatif dari stress
pada jaringan periodontium dapat disebabkan juga oleh perubahan
perilaku, misalnya kebersihan mulut yang buruk dan rokok. Hal ini
dapat merusak fungsi imun sehingga meningkatkan kerentanan
terkena infeksi. Pengaruh stress pada jaringan periodontium yaitu
dapat meningkatkan level sirkulasi kortikostiroid. Meskipun stress
merupakan faktor yang tidak mudah diukur, level kortikostiroid pada
urin dapat diukur dan ditemukan lebih tinggi pada pasien necrotizing
ulcerative gingivitis. 14
c) Diabetes Mellitus
Penyakit jaringan periodontal merupakan komplikasi ke enam dari
penyakit diabetes mellitus. Beberapa review menunjukkan bukti dari
keterkaitan secara langsung antara diabetes mellitus dengan penyakit
periodontitis. Hubungan antara diabetes mellitus dengan periodontitis
tampak dengan kuat dalam populasi khusus.
Sebuah studi melibatkan 75 penderita diabetes diabetes (IDDM dan
NIDDM) bertujuan untuk memeriksa hubungan antara kontrol
diabetes, sebagaimana dievaluasi oleh glycosylated hemoglobin levels
dan periodontitis. Dalam studi tersebut, keakutan dari dari
periodontitis meningkat seiring dengan control yang buruk dari
diabetes. Sebuah laporan menyebutkan bahwa metabolik kontrol
dapat menjadi faktor terpenting antara kesehatan periodontal dengan
IDDM. Data tersebut mendukung hipotesis bahwa diabetes dan level
dari metabolik kontrol penting dalam hubungannya dengan penyakit
periodontitis.14
d) Hormon Sex

15
Elevasi di level plasma dari hormone sex selama kehamilan
menyebabkan modifikasi dari respon host pada plak gigi, namun hal
ini mempegaruhi jaringan yang lembut yang meningkatkan
pembengkakan dan gingivitis kronis. Beberapa studi menyebutkan
keadaan dari kemerahan gusi, edema, pendarahan, meningkat pada
bulan ke-2 kehamilan sampai bulan ke-8 dan akhirnya menurun.
Fluktuasi gingivitis dengan fase siklus menstruasi dan efek dari
kontrasepsi oral pada gingival merupakan efek dari hormon sex
terhadap jaringan periodontal. Lebih lanjut pubertas juga merupakan
hal yang dapat menaikkan pembengkakan gingiva dan peningkatan
respon pada plak merupakan akibat dari konsentrasi hormone sex
dalam plasma.15
e) Osteoporosis
Penelitian pada hewan studi pada domba menunjukkan bahwa
kekurangan estrogen dapat menyebabkan meningkatnya penyakit
periodontal. Sebuah studi pada 28 wanita berumur antara 23 dan 78
tahun dengan membaginya menjadi 2 kelompok, kelompok yang lebih
tua postmenopausal dan yang lebih muda premenopausal. Kelompok
yang lebih tua mengalami kekurangan dalam kepadatan alveolar bone,
dimana penulis menyimpulkan bahwa menopause dapat menyebabkan
berkurangnya kepadatan dalam alveolar bone. Studi yang lain pada
manusia dengan osteopenia dan osteoporosis, menunjukkan bahwa
keakutan dari osteopenia berhubungan dengan berkurangnya alveolar
cristal height dan gigi tanggal pada wanita yang mengalami
postmenopause.15
f) Gangguan Genetik
Jumlah dari gangguan genetik meningkat seiring dengan
periodontitis kronis. Plak microbial, berubah sesuai level dan durasi
penumpukan faktor lingkungan, misal merokok, diabetes, systemic
health, dan genetik seseorang.
salah satu gangguan genetik yaitu Down’s syndrome dikarakteristik
oleh awal dari periodontitis yang bermanifestasi pada dentition utama

16
dan berlanjut hingga dewasa. Keakutan dari penyakit periodontal
tersebut sangat tinggi dibandingkan dengan lainnya, atau individu
cacat mental lainnya.14

17
BAB III
PEMBAHASAN

Memasuki usia tua, seseorang mengalami banyak kemunduran pada sistem


organ tubuhnya. Berbagai penyakit sistemik seperti penyakit hati, ginjal, dan
jantung dan penyakit-penyakit yang mengancam jiwa banyak yang berawal dari
penyakit gigi dan mulut.
Menurut National Kidney Foundation, satu dari sembilan orang dewasa di
Amerika Serikat menderita penyakit ginjal kronik. Penyakit ini dapat
mempengaruhi tekanan darah dan kesehatan tulang. Pada akhirnya penyakit ini
dapat mengarah kepada penyakit jantung atau gagal ginjal. Beberapa penelitian
menyebutkan faktor risiko seperti penyakit periodontal, kurangnya pendidikan
dan pengetahuan tentang kesehatan, serta buruknya akses terhadap fasilitas dan
sarana kesehatan sangat berkaitan dengan penyakit ginjal kronik.
Penyakit periodontal adalah penyakit pada jaringan pendukung gusi, di
mana terjadi peradangan atau pun infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang
kemudian disebut periodontitis, dalam tingkat lanjut periodontitis menyebabkan
kerusakan tulang dan mengakibatkan kegoyangan gigi sehingga gigi akhirnya
harus dicabut. Periodontitis merupakan penyebab utama hilangnya gigi pada
orang dewasa.
Dalam penelitian yang dipublikasikan Journal of Periodontology, didapati
bahwa orang dewasa yang tidak bergigi lebih besar kemungkinan untuk menderita
penyakit ginjal kronik ketimbang orang dewasa yang gigi geliginya masih cukup
lengkap. Penelitian yang dilakukan oleh penelitian dari Case Western Reserve
University, Cleveland, Ohio tersebut melibatkan 4.053 orang dewasa berusia 40
tahun ke atas. Fungsi ginjal dan kesehatan periodontal pada partisipan tersebut
diperiksa, dan dari hasil penelitian tersebut terungkap bahwa partisipan yang
sudah kehilangan semua gigi ternyata lebih besar kemungkinan untuk menderita
penyakit ginjal kronik daripada partisipan yang giginya masih lengkap.

18
Peradangan kronik yang destruktif pada jaringan periodontal dapat berperan
dalam tingginya angka penyakit ginjal kronik di antara pasien tidak bergigi.
Pada penelitian lain yang dilakukan oleh peneliti dari Medical University
Polandia, didapati angka periodontitis yang lebih tinggi pada penderita ginjal
kronik dibandingkan dengan populasi umum terutama pada penderita gagal ginjal
yang harus menjalani cuci darah secara rutin. Dapat diasumsikan bahwa penyakit
ginjal kronik dan penyakit periodontal memiliki hubungan kausatif dua arah.
Angka prevalensi dari komplikasi aterosklerosis (infark miokard, stroke,
dan sudden death) meningkat pada pasien gagal ginjal tahap akhir, terutama pada
hemodialisis pasien. Suatu penelitian menyatakan bahwa inflamasi sistemik
memainkan peranan penting terhadap kejadian aterosklerosis. Pada populasi
umum, penelitian menunjukkan bahwa periodontitis sedang-berat
mengkonstribusi terhadap inflamasi dan diperberat dengan peningkatan kadar
CRP dan mungkin meningkat pada aterosklerosis. Selain itu, hasil penelitian
terbaru menyatakan bahwa terapi periodontal fase I dapat menurunkan kadar CRP
serum. CRP adalah protein fase akut yang menandai inflamasi sistemik dan
disfungsi endotel, juga digunakan sebagai prediktor inisial ( utama ) kejadian
aterosklerosis. Periodontal disease sedang – berat memiliki prevalensi lebih tinggi
pada CKD dan pasien dialisis. Penyakit periodontal digambarkan sebagai sebuah
kelompok penyakit inflamasi infeksius yang mempengaruhi jaringan yang
mendukung gigi. Pada sample pasien dengan periodontitis kronik predominan
bakteri gram negatif ( hampir 85% anaerob atau anaerob fakultatif). Patogen :
Actinobacillus actinomycetemcomitans serotype a and b, Bacteroides forsythus
and Tannerella forsythensis, Campylobacter rectus, Eubacteriumnodatum,
Fusobacterium nucleatum, Peptostreptococcus micros, Porphyromonas
gingivalis, Prevotella intermedia, Prevotella nigrescens, Streptococcus
intermedius, and Treponema sp.(Treponema denticola).
Patofisiologi penyakit periodontal adalah adanya kolonisasi bakteri
pathogen pada permukaan gigi yang memproduksi enzim-enzim bakteri,
endotoksin, eksotoksin dan sisa produk metabolit yang memicu sekresi mediator
proinflamasi sitokin seperti TNFα, IL-1β, INFϒ dan PGE2 serta respon imun

19
sehingga terjadi proses inflamasi dari permukaan jaringan (ginggiva) ke jaringan
yang lebih dalam yang menyebabkan hilangnya tulang alveolar dan rusaknya
ligament periodontal. Jaringan yang berdekatan dengan pocket periodontal akan
diinfiltrasi oleh infiltrate seluler leukosit PMN, monosit, limfosit B dan T. Pocket
periodontal mengalami infeksi dan inflamasi mengandung banyak bakteri gram
negative yang dapat memproduksi Lipopolisakarida (metabolit sisa bakteri) yang
dapat menyebar ke dalam darah. Seseorang dengan penyakit Periodontal aktif atau
periodontitis agresif mungkin memiliki respon imun yang lebih dibandingkan
dengan periodontitis inaktif atau kronik. Progresifitas penyakit Periodontitis
sendiri terjadi peningkatan IgG serum terhadap Porphyromonas gingivalis.
Davidovich et al., Proctor et al. (2005) menyebutkan pengaruh CKD
terhadap keadaan intraoral meliputi Xerostomia,Erupsi gigi tertunda, Hipoplasia
enamel, Penurunan tingkat karies, perubahan pH saliva. Pada pasien transplantasi
ginjal terjadi cyclosporine induced gingival hyperplasia. Pada pasien ESRD (End
Stage Renal Disease) didapatkan plak & calculus meningkat, peningkatan
inflamasi gingival, peningkatan resiko dan derajat keparahan penyakit
periodontal. Beberapa penelitian di Brazil, Canada, Yordania, Spanyol, Israel,
Taiwan, US menyebutkan pembentukan plak terdapat lebih banyak pada pasien
hemodialisa yang menyebabkan pembentukan kalkulus yang meningkat sehingga
terjadilah peningkatan inflamasi gingival.
Banyak kemungkinan penyebab penyakit periodontal pada pasien CKD
dan ESRD. Yang terpenting adalah pasien berada pada status uremia disertai
perubahan sistem imun yg disebabkan kelainan fungsi sel limfosit T dan B
(monosit dan makrofag) menyebabkan respon pertahanan tubuh terhadap
Mikroorganisme gram (-) di subgingiva menurun sehingga terjadilah inflamasi
gingiva & periodontitis. Studi lain menemukan pada sampel pasien CKD dan
ESRD yang kurang menjaga oral higiene & periksa layanan kesehatan gigi dan
mulut oleh karena beban psikologis dan keterbatasan waktu. Penyakit lain yang
berperan pada pasien CKD & ESRD yaitu DM yang mempunyai korelasi kuat
dengan penyakit periodontal (Grossi et al. 1994) dan Hiperparatiroidisme
sekunder yang menyebabkan alveolar bone loss pada pasien hemodialisis.

20
Penelitian Rahmati dkk dengan menggunakan 86 pasien HD di USA
menyebutkan bahwa periodontitis berkonstribusi terhadap inflamasi sistemik pada
pasien ERSD yg menjalani HD.

21
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Angka kejadian peny.periodontal sedang-berat banyak terjadi pada
populasi umum, dan meningkat pada pasien CKD dan ESRD. Terdapat
korelasi positif antara peningkatan marker inflamasi sistemik dan
periodontitis. Pada populasi general maupun pasien CKD dilaporkan bahwa
pemberian terapi secara dini pada peny.periodontal dapat menurunkan kadar
biomarker proinflamasi serum
Semua pasien ESRD yang berpotensi untuk dilakukan transplantasi ginjal
maka pada pasien CKD pre dialisis perlu dilakukan evaluasi & terapi
kesehatan periodontal untuk menekan inflamasi sistemik sehingga
perkembangan penyakit ginjal dapat dicegah.

B. Saran
Setiap orang diharapkan lebih memperhatikan kesehatan gigi dan
mulutnya agar terhindar dari berbagai macam bakteri penyebab infeksi di
dalam tubuh. Dibutuhkan penelitian lanjutan dengan intervensi pada populasi
yang lebih besar untuk mengevaluasi:
1. apakah pemberian terapi pada peny.periodontal dapat menurunkan
seluruh penyebab kematian karena penyakit kardiovaskular pada
pasien CKD
2. apakah dengan menurunkan inflamasi sistemik dapat menurunkan
progresivitas penyakit renal

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Proctor R, Kumar N, Stein A, Moles D, Porter S. Oral and dental aspect of


chronic renal failure. Journal of Dental Research.2005; 84(3): 199-208.
2. Cerveró AJ, Bagán JV, Soriano YJ, Roda RP. Dental management in renal
failure: patient on dialysis. Med Oral Patol Oral Cir Bucal.2008; 13(7):
E419 - 26.
3. DeRossi SS, Cohen DL. Renal Disease. In: Greenberg MS, Glick M, Ship
JA, editors. Burket‟s Oral Medicine. 11th ed. Hamilton: BC Decker;
2008.p.363-65.
4. Bhatsange A, Patil SR. Assessment of periodontal health status in patients
undergoing renal dialysis: a descriptive, cross-sectional study. Journal of
Indian Society of Periodontology.2012; 16(1): 41
5. Gavalda C, Bgan JV, Scully C, Silvestre FJ, Milian MA, Jimenez Y. Renal
Hemodialysis Patients: Oral, Salivary, Dental and Periodontal Findings in
105 adult cases. Oral Disease.1999; 5: 300-1
6. Brenner BM, Lazarus JM. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 3
Edisi 13. Jakarta: EGC, 2000.1435-1443.
7. Mansjoer A, et al.Gagal ginjal Kronik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II
Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius FKUI, 2002.
8. Suhardjono, Lydia A, Kapojos EJ, Sidabutar RP. Gagal Ginjal Kronik.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi 3. Jakarta: FKUI, 2001.427-
434.
9. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I
Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI, 2006.581-584.
10. Tierney LM, et al. Gagal Ginjal Kronik. Diagnosis dan Terapi
KedokteranPenyakit Dalam Buku 1. Jakarta: Salemba Medika.2003.
11. Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG.2004.Biology 5th ed vol.3. Jakarta:
Erlangga.P81-2.
12. Andra. Ancaman Gigi Terhadap Jantung. http://www.majalah-
farmacia.com

23
13. Kinene,Denis F et al.2006.Environmental and The Modifying Factors of
The Periodontal Disease. Periodonology 2000. vol 40. pp 107-19
14. Janet HS, George WT, and Panagiota GS.2006. commonality in chronic
inflammatory disease:Periodontitis, diabetes and coronary artery disease.
Periodontology 2000. vol 40. pp 130-43
15. Taguchi A. , Sanada M., Suei Y., et al. Tooth Loss Is Associated With an
Increased Risk of Hypertension in Postmenopausal Women.
http://hyper.ahajournals.org

24

Anda mungkin juga menyukai