GAGAL GINJAL
Oleh
Kelompok 9
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2020
DAFTAR ISI
1
BAB I. PENDAHULUAN
Penyakit ginjal kronis adalah penurunan progresif fungsi ginjal dalam beberapa
bulan atau tahun. penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai kerusakan ginjal
dan/atau penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR) kurang dari 2
60mL/min/1,73 m selama minimal 3 bulan (Kidney Disease Improving Global
Outcomes, 2012). Fungsi ginjal dapat diestimasi dengan menghitung ClCr dan
eGFR pasien. ClCr dapat digunakan untuk optimasi penyesuaian dosis obat dan
eGFR dapat digunakan untuk mengkuantifikasi glomerulus filtration rate (GFR)
dan dapat menunjukkan nilai tingkat kerusakan ginjal. Berikut ini merupakan rumus
yang dapat digunakan untuk menghitung ClCr (rumus Cockroft-Gault) dan eGFR
(rumus MDRD).
2
Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Menurut Diagnosis Etiologi
Penyakit Tipe mayor
(penyakit autoimun,infeksi ,
sistemik, obat, neoplasia) Penyakit vascular
(penyakit pembuluh darah besar, hipertensi,
mikroangiopati) Penyakit tubulointerstisial
(pielonefritis, kronik, obstruksi, keracunan
obat) Penyakit kistik (ginjal polikistik)
3
a. Glomerulonefritis (GN) : penyakit parenkim ginjal progesif dan difus yang
sering berakhir dengan gagal ginjal kronik, disebabkan oleh respon
imunologik dan hanya jenis tertentu saja yang secara pasti telah diketahui
etiologinya. Secara garis besar dua mekanisme terjadinya GN yaitu
circulating immune complex dan terbentuknya deposit kompleks imun
secara in-situ. Kerusakan glomerulus tidak langsung disebabkan oleh
kompleks imun, berbagai faktor seperti proses inflamasi, sel inflamasi,
mediator inflamasi dan komponen berperan pada kerusakan glomerulus
(Anonim, 2010). Glomerulonefritis ditandai dengan proteinuria, hematuri,
penurunan fungsi ginjal dan perubahan eksresi garam dengan akibat edema,
kongesti aliran darah dan hipertensi. Manifestasi klinik GN merupakan
sindrom klinik yang terdiri dari kelainan urin asimptomatik, sindrom
nefrotik dan GN kronik. Di Indonesia GN masih menjadi penyebab utama
penyakit ginjal kronik dan penyakit ginjal tahap akhir.
b. Diabetes Mellitus : kelompok penyakit metabolik dengan karateristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan
kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh,
terutama mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah. Perhimpunan
Nefrologi Indonesia pada tahun 2000 menyebutkan diabetes mellitus
sebagai penyebab nomor 2 terbanyak penyakit ginjal kronik dengan
insidensi 18,65.
c. Hipertensi : salah satu faktor pemburuk fungsi ginjal disamping faktor lain
seperti proteinuria, jenis penyakit ginjal, hiperglikemi dan faktor lain.
Penyakit ginjal hipertensi menjadi salah satu penyebab penyakit ginjal
kronik. Insideni hipertensi esensial berat yang berakhir dengan gagal ginjal
kronik <10 %. Selain Glomerulonephritis, diabetes mellitus dan hipertensi
terdapat penyebab lain penyakit ginjal kronik seperti kista dan penyakit
bawaan lain, penyakit sistemik (lupus, vaskulitis), neoplasma, serta
berbagai penyakit lainya.
4
1.4 Faktor Resiko Penyakit Ginjal Kronis
Faktor resiko yang dapat menyebabkan penyakit ginjal kronis ada tiga
(Ariyanto, 2018), yaitu:
a. Susceptibility Factors : merupakan faktor yang dapat meningkatkan resiko
terjadinya penyakit ginjal namun tidak secara langsung menyebabkan
kerusakan. Faktor-faktor ini diantaranya lansia, penurunan massa ginjal dan
kelahiran prematur, ras dan etnik, riwayat keluarga, tingkat ekonomi dan
pendidikan yang rendah, inflamasi sistemik, dan dislipidemia.
b. Initiation Factors : merupakan faktor yang dapat secara langsung
menyebabkan kerusakan ginjal dan dapat dimodifikasi dengan terapi obat.
Faktor-faktor ini diantaranya diabetes mellitus, hypertension,
glomerulonefritis, polycystic kidney disease, penyakit autoimun dan akibat
penggunaan obat.
c. Progression Factors : merupakan faktor yang dapat mempercepat
penurunan fungsi ginjal setelah inisiasi terjadinya kerusakan ginjal. Faktor-
faktor ini yaitu glikemia pada penderita diabetes, hipertensi, proteinuria,
hiperlipidemia, obesitas, kebiasaan konsumsi kopi, minuman bersoda dan
merokok.
5
1.5 Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik
6
massa ginjal berkurang, riwayat keluarga, ras/etnis tertentu, dislipidemia,
dll.
b. Faktor inisiasi yang secara langsung dapat menyebabkan penyakit ginjal dan
dapat dimodifikasi dengan terapi obat seperti diabetes mellitus,
glomerulonefritis, hipertensi, nefropati HIV, dll.
c. Faktor perkembangan yang mempercepat penurunan fungsi ginjal setelah
inisiasi kerusakan ginjal seperti glikemia pada pasien diabetes,
hipertensi,proteinuria, obesitas, hiperlipidemia, dan merokok
d. Hilangnya massa nefron, hipertensi kapiler glomerulus, dan proteinuria
yang menyebabkan kerusakan parenkim ginjal yang tidak dapat
disembuhkan dan stadium akhir penyakit ginjal.
Dalam kasus diabetes mellitus, kelebihan filtrasi glukosa dan kontak dengan
sel glomerulus dan tubular menyebabkan peningkatan tekanan osmotik seluler dan
penebalan membran basement kapiler. Glomerulopati yang dihasilkan mungkin
atau tidak menghasilkan proteinuria. Hipertensi dapat menjadi penyebab kerusakan
ginjal melalui transmisi tekanan sistemik yang meningkat ke glomeruli. Hasilnya
adalah hiperperfusi kapiler glomerulus dan hipertensi yang menyebabkan
kerusakan ginjal progresif karena kerusakan nefron berlanjut. Iskemia glomerulus
yang disebabkan oleh kerusakan pada arteri preglomerular dan arteriol juga terjadi.
Orang dengan diabetes mellitus dan hipertensi meningkatkan risiko pengembangan
ESRD lima kali lipat hingga enam kali lipat dibandingkan dengan yang hanya
memiliki hipertensi. Kebanyakan penyakit glomerular dimediasi oleh mekanisme
imun. Deposisi dan pembentukan kompleks imun dalam glomerulus menyebabkan
cedera, sehingga meningkatkan permeabilitas glomerulus terhadap makromolekul
(mis., Protein) (Alldredge, B.K., 2013). Patofisiologi penyakit ginjal kronis lebih
detil dapat dilihat pada Gambar 1.1 di atas.
7
1.6 Terapi Gagal Ginjal Kronik
1.6.1 Terapi non Farmakologi
Tujuan terapi pada CKD yaitu memperlambat progresivitas dari CKD dan
meminimalisir perkembangan penyakit dan terjadinya komplikasi. Terapi yang
dapat dilakukan yaitu memodifikasi faktor penyebab (hipertensi, diabetes
melitus, hiperlipidemia) dan mengatasi kondisi komplikasi pada CKD (anemia,
gangguan keseimbangan elektrolit, gangguan asam basa, azotemia dan
komplikasi GI) (Joseph T; Dipiro dkk., 2017).
a. Hipertensi dengan kondisi CKD
Penurunan tekanan darah pada pasien gagal ginjal akut berhubungan dengan
penurunan proteinuria. Berdasarkan KDOQI merekomendasikan untuk
target penurunan tekanan darah sebesar <140/90 mmHg pada pasien dengan
proteinuria < 30mg/hari atau tekanan darah <130/80 mmHg pada pasien
dengan proteinuria >30 mg/hari. Algoritma terapi pasien hipertensi dengan
CKD dapat dilihat pada Gambar dibawah ini. Agen hipertensi first line
therapy yang dapat digunakan yaitu ACEI, ARB, dan thiazide diuretik yang
dikombinasikan dengan ARB. Nondihydropyridine calcium channel
8
blockers umumnya digunakan sebagai obat antiproteinuria lini kedua ketika
ACEI atau ARB dikontraindikasikan atau tidak ditoleransi (Joseph T;
Dipiro dkk., 2017).
Gambar 1.2 Pengobatan hipertensi pada penderita CKD, CKD nondialisis (ND-CKD) tanpa diabetes mellitus
9
Gambar 1.3 Algoritma Diabetes dengan Penyakit Ginjal Kronis
10
Gambar 1.4 Algoritma untuk manajemen anemia menggunakan terapi zat besi dan
eritropoiesis-stimulating agent (ESA)
11
BAB II. STUDI KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Ny. ATM
Umur : 56 th BB: 67 kg TB: 159
Tanggal MRS :
Tanggal KRS :
Diagnosis : CKD stage V, udema peritoneal, HT stage 2, DM 2
II. SUBYEKTIF
2.1. Keluhan Pasien :
Sesak nafas sejak 2 bulan , mual muntah, lemas, tidak nafsu makan, perut
kembung, BAK keluar sedikit, gatal dan bentol kemerahan diseluruh
tubuh
12
III. OBJEKTIF
A. Tanda- tanda vital
Tanggal
Parameter Nilai Normal
H1 H2 H3
Tekanan 170/80
darah <130/80 mmHg 170/90 160/90
mmHg mmHg mmHg
(mmHg)
Nadi 92 92 92
(x/menit) 60-100 x/min x/min
x/min x/min
27 26 26
RR (x/menit) 12-20 x/min x/min
x/min x/min
H1 H2 H3
GCS
456 456 456
Sesak nafas +++ ++ ++
Muntah ++ +- +-
Gatal +++ ++ +-
Bentol merah +++ ++ ++
Udema
++ ++ ++
peritoneal
Udema kaki ++ ++ +-
13
C. Data laboratorium
Hari
Parameter Nilai Normal
1 2 3
GDA (mg/dL) < 200 262 233 245
GD2JPP (mg/dL) < 200 209 - -
GDP (mg/dL) < 135 190 - -
HbA1C (%) < 7% 8,9 - -
Hb (g/dL) Pria : 13 - 18 8,6 - -
Wanita : 12 - 16
Hct (%) Pria : 40% - 50% 25 - -
Wanita : 35% -40%
BUN (mg/dL) 8 – 20 32 - 30
Scr (mg/dL) 0,6 – 1,2 5,6 - 5,8
Albumin (mg/dL) 3,3 – 4,8 3,1 - -
Proteinuria - 3+ - -
Asam urat (mg/dL) 2–8 - 8,8 -
Na (mg/dL) 135 – 145 - 143 145
K (mg/dL) 3,5 – 5 - 5,7 5,1
Cl (mg/dL) 95 – 105 - 95 98
Ca (mg/dL) 8,8 – 10,8 - 7,9 7,9
Hari
Nama Obat Dosis & rute Hari ke Hari ke Hari ke
1 2 3
NS 500 cc 12 tpm (iv) √ √ √
02 2 L/menit √ √ √
Furosemid 2 x 40 mg (iv) √ √ √
Metoklopramid 3 x 10 mg (iv) √ √ √
Amlodipin 1 x 10 mg (iv) √ √ √
Glibenklamid 1 x 5 mg (po) √ √ √
Metformin 3 x 500 mg (po) √ √ √
Clonidin 2 x 0,15 mg (po) √ √ √
CTM 1 x 2 mg (po) √ √ √
Metilprednisolon 1 x 6,25 mg (iv) - √ √
10 IU + D40%
Novorapid 50 ml (iv) - √ -
Novorapid 3x 8 IU (iv)
- - √
Allupurinol 3x200 mg (po) - √ √
14
V. ANALIASIS SOAP
15
-
GDP(mg/dL
)
H1=190
16
Hipertensi Subjektif : Amlodipin Merupakan Terapi Plan: mengganti
stage II Riwayat 1x10 mg golongan tidak tepat amlodipine dengan
penyakit (Iv) Calcium obat golongan
pasien channel blocker ARB karena
(CCB) ampodipin
Objektif : dihydropyridine. memiliki efek
TD tinggi samping udema
H1 : 170/90. sedangkan pasien
H2 : 160/90. mengalami udema.
H3 : 170/80 Monitoring : TD
pasien
17
- Loop diuretik
dosis besar,
seperti 160
sampai 480 mg
furosemid,
mungkin
diperlukan
untuk pasien
dengan edema
sedang (Dipiro
edisi 11).
- Penggunaan
furosemid dapat
menyebabkan
perubahan
signifikan pada
GFR dan
konsentrasi
kalium serum
sehingga perlu
dipantau secara
ketat dan
dimasukkan ke
dalam konteks
risiko dan
manfaat
individu.
Asam Urat Subyektif : Allopurinol Allopurinol Dosis Plan :
-Gatal di 3x200 mg merupakan obat terlalu Terapi dilanjutkan
seluruh (po) golongan tinggi dengan melakukan
tubuh xanthine penurunan dosis
-Muncul oxidase menjadi 1x100
bentol inhibitor yang mg/hari
kemerahan dapat diberikan Monitoring :
pada seluruh pada pasien Kadar asam urat
tubuh dengan indikasi dan tanda klinik
komorbiditas
Obyektif : berisiko tinggi
-Nilai kadar termasuk CKD,
asam urat Hipertensi dan
hari ke-2 kadar serum
yaitu 8,8 asam urat >8
mg/dL mg/dL. Dosis
(hiperurisem awal
ia) Allopurinol
adalah 100
mg/hari (Dipiro,
edisi 11).
Mual & Subjektif : Metoklopra Golongan obat Plan : terapi
muntah Mual mid antagonis dilanjutkan
muntah 3x10mg reseptor
Objektif : (iv) dopamin yang Monitoring :
digunakan untuk keluhan mual
mengatasi mual muntah pasien
dan muntah
18
BAB III. PEMBAHASAN
19
Pada kasus ini pasien juga mengalami hipertensi stage II yang dapat dilihat
dari hasil pemeriksaan tekanan darah pasien. Hipertensi stage II menurut JNC VII
adalah jika pasien memiliki tekanan darah di atas 160mm Hg. Pasien mendapatkan
dua kombinasi terapi obat yaitu Amlodipin 1x10 mg (iv) dan Clonidin 2x 0,15 mg
(po). Penggunaan Amlodipin pada pasien ini kurang tepat dikarenakan pasien
memiliki udema kaki dan udema peritoneal, sedangkan efek samping dari
Amlodipin sendiri adalah udema. Menurut (Dipiro dkk., 2020) selain golongan
CCB, pasien hipertensi stage II dengan penyakit gagal ginjal kronik dapat diterapi
menggunakan golongan obat ACEI atau ARB. Pada kasus ini terapi yang digunakan
adalah golongan ARB karena pasien juga mendapatkan terapi allopurinol dimana
penggunaan allopurinol dan ACEI secara bersamaan menyebabkan terjadinya
potensi interaksi obat dengan tingkat keparahan major yakni dapat meningkatkan
resiko alergi, sesak nafas, ruam, nyeri otot, gatal,demam serta pembengkakan pada
wajah,bibir,lidah. Sementara untuk penggunaan clotidin tetap dilanjutkan karena
jika penghentian Clonidin secara tiba- tiba dapat menyebabkan Rebound
hypertension (peningkatan tekanan darah yang dapat menimbulkan stroke
hemoragik) (Dipiro dkk., 2017)
Pada pasien CKD dengan nilai Hb rendah < 12 %, maka perlu terapi
tambahan untuk mengatasi anemia pasien. Menurut KDIGO (2012) pasien CKD
dewasa dengan anemia yang tidak menggunakan terapi pemberian suplemen Fe
atau terapi ESA, disarankan untuk diberikan suplemen Fe iv. Pemberian suplemen
Fe merupakan first line terapi untuk pasien CKD. Sedangkan untuk pasien CKD
stage 5, disarankan untuk menghindari konsentrasi Hb turun dibawah 9.0 g/dL
dengan memulai terapi ESA ketika hemoglobin antara 9.0-10.0 g/dL. Kekurangan
zat besi adalah penyebab utama resistensi terhadap pengobatan anemia dengan
ESA. Suplementasi zat besi dibutuhkan oleh sebagian besar pasien CKD untuk
mengisi simpanan zat besi yang habis karena kehilangan darah yang terus menerus
dan peningkatan kebutuhan zat besi.
Pasien juga mengalami kondisi udema. Selama tiga hari perawatan di rumah
sakit kondisi udema pada pasien belum membaik. Diketahui jika furosemid menjadi
pilihan pengobatan untuk kondisi udema pasien namun, dosis yang diberikan perlu
20
ditingkatkan lagi agar memapu memberikan efikasi. Menurut Drug Information
Handbook (DIH) penggunaan furosemid dapat ditingkatkan 20 mg/dosis tiap 1-2
jam hingga 1000 mg/hari pada orang dewasa. Menurut DiPiro penggunaan
furosemid dengan dosis 160 mg sampai 480 mg mungkin diperlukan untuk pasien
dengan edema kondisi sedang. Oleh karena itu, perlu meningkatkan dosis
furosemide mulai 160 mg sampai 480 mg per hari. Dipilih dosis tersebut karena
penggunaan furosemid sendiri dapat menyebabkan perubahan signifikan pada GFR
dan konsentrasi kalium yang dapat berpengaruh pada kondisi ginjal. Oleh
karenanya perlu pemantauan data laboratorium seperti BUN, ClCr, cairan elektrolit
agar mampu menganalisa konteks risiko serta manfaat penggunaan furosemid.
Data laboratorium pasien juga menunjukkan adanya kondisi hiperurisemia
dengan nilai asam urat pasien sebesar 8,8 mg/dL yakni lebih dari rentang normal
(wanita : 2,3 6,6 dan laki-laki : 3,6 – 8,5). Pada pasien gagal ginjal terjadi
pengurangan massa ginjal dan penurunan fungsi ginjal, menyebabkan laju filtrasi
<50% dan mulai terjadi peningkatan asam urat. Hiperurisemia akan mencetuskan
garam monosodium urat (MSU) pada jaringan dan sendi, sehinggga mengaktifkan
mediator inflamasi (Tehupelory, 2009). Pasien hiperurisemia pada asam urat
dengan indikasi komorbiditas berisiko tinggi termasuk CKD, Hipertensi dan kadar
serum asam urat >8 mg/dL, dapat di berikan terapi obat Allopurinol. Allopurinol
digunakan sebagai terapi karena dapat menghambat enzim xanthine oxidase yang
berperan dalam sintesis asam urat (Toussaint, 2012). Dosis awal Allopurinol adalah
100 mg/hari (Dipiro, edisi 11).
21
DAFTAR PUSTAKA
Alldredge, Brian K., dkk. 2013. Applied Therapeutics The Clinical Use of Drugs.
Philadelphia USA : Lippincott Williams & Wilkins, a Wolters business.
22