Anda di halaman 1dari 49

CASE STUDY

(NAMA PENYAKIT)
STASE KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

LOGO STIKES

OLEH

NAMA (NIM)
……………… (……………..)

PRECEPTOR

…………………………………………….

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKES BINA GENERASI POLEWALI MANDAR
2019/2020

i
KATA PENGANTAR

………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………
..
………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………..

Polewali , ……………. 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ………………………………………………… i


KATA PENGANTAR ………….……………………………………… ii
DAFTAR ISI …………………………….…………………………….. iii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………... 1
BAB II KONSEP DASAR PENYAKIT……………………………….. 3
BAB III ANALISA KASUS CASE STUDY…………..……….……… 10
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN ..………………..…………….. 27
BAB IV PENUTUP…………………………………………..………… 30
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Smeltzer & Bare tahun 2002 dalam Hidayati (2012) Gagal
ginjal kronis (GGK) atau penyakit ginjal tahap akhir atau ESRD (End Stage
Renal Desease) merupakan gangguan fungsi gagal yang progresif
dan irreversibel dimana kemampuan tubuh ginjal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia
(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah).
Gagal Ginjal kronik bersifat ireversibel dan akhirnya mematikan,
gagal ginjal kronik merupakan disfungsi ginjal yang rusak hingga 75 %
sebelum penurunan fungsi ginjal. Terapi ditujukan untuk mempertahankan
fungsi ginjal melalui metode-metode alternatif, misalnya dialisis dan
transplantasi ginjal. Lebih dari 300.000 orang AS saat ini menjalani dialisis,
dan jumlah ini diperkirakan meningkat seiring dengan penuaan populasi dan
insiden diabetes melitus, salah satu penyebab gagal ginjal kronik, terus
berlanjut. Gagal ginjal kronik stadium akhir (kurang dari 10% fungsi ginjal)
yang disebabkan oleh diabetes melitus meningkat dengan laju pertumbuhan
lebih dari 11 % setiap tahunnya. Gagal ginjal stadium akhir terjadi jika 90 %
fungsi ginjal telah lenyap. Lebih dari 26 juta orang AS menderita berbagai
tahap gagal ginjal, yang menyebabkan lebih dari 80.000 kematian per tahun
(Sherwood, 2016).
Word Health Organization (WHO) telah mengumumkan bahwa
prevalensi diabetes melitus (DM) akan meningkat di seluruh dunia pada
milenium ketiga ini, termasuk negara di Asia Tenggara seperti di Indonesia.
Sebagian besar penyakit ini adalah DM tipe 2. Sekitar 40 % dari pasien DM
terdapat keterlibatan ginjal, sehingga dapat di pahami bahwa masalah
penyakit ginjal diabetik (PGD) juga akan mengalami peningkatan di era awal
abad 21 ini. Pada dekade ini juga, dibanyak negara maju PGD tercatat sebagai
komponen terbanyak dari pasien baru yang menjalani terapi pengganti ginjal
(Sudoyo, A.W., Sutiyahadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., &Setiati, 2009)

1
Penurunan fungsi ginjal akibat DM akan mengakibatkan kegagalan
fungsi ginjal itu sendiri baik fungsi ekskresi, fungsi pengaturan dan fungsi
hormonal dari ginjal. Sebagai kegagalan sistem sekresi menyebabkan
menumpuknya zat-zat toksik dalam tubuh yang kemudian menyebabkan
sindrom uremia. Terapi pengganti pada pasien GGK dapat memeprtahankan
hidup sampai beberapa tahun, salah satunya ialah terapi hemodialisis (HD)
yang bertujuan menggantikan fungsi ginjal sehingga dapat memperpanjang
kelangsungan hidup dan memperbaiki kualitas hidp pada penderita gagal
ginjal (Kamaluddin, 2009).
Para peneliti memperkirakan bahwa 25% sampai 50% klien dengan
diabetes melitus insulin-dependen (IDDM, atau diabetes melitus tipe 1)
mengembangkan ESRD dalam 10 sampai 20 tahun dari awal terapi insulin.
Penyakit ginjal juga terjadi pada klien non-insulin dependen atau diabetes
melitus tipe 2. Kejadian proteuinuria adalah 25% setelah 20 tahun diabetes
melitus (Joyce M Black & Hawks, 2014)

B. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Penyakit Ginjal Kronik
2. Untuk Mengetahui pentingnya Hemodialisis dalam terapi Gagal Ginjal
Kronik
3. Menganalisis Kasus Gagal Ginjal Kronik stadium Akhir yang diakibatkan
nefropati diabetik/Diabetes melitus tipe I
4. Merencanakan Asuhan Keperawatan terkait kasus

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Penyakit Ginjal Kronik


1. Pengertian
Penyakit Ginjal Kronik merupakan suatu patofisiologi dengan
etiologi beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang
progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Dimana
gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang di tandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau
transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan
laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi
ginjal pada penyakit ginjal kronik.
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3
bulan, dan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) sama atau lebih dari 60
ml/menit/1,73 m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal Kronik.
2. Klasifikasi
a. Derajat (stage) penyakit
Klasifikasi derajat (stage) penyakit di buat berdasarkan LFG
dengan rumus Kockcroft-Gault :
( 140−umur ) X Berat Badan
2
LFG (ml/mnt/1,73 m ) = mg *)
72 X Kreatinin Plasma( )
dl
*) pada perempuan di kalikan 0,85

3
Tabel Klasifikasi Penyakit Ginjal
Derajat Uraian LFG(ml/mnt/1,73 m2)
Kerusakan Ginjal dengan LFG
1 ≥ 90
normal atau meningkat
Kerusakan ginjal dengan LFG
2 60 – 89
menurun ringan
Kerusakan ginjal dengan LFG
3 30 – 59
menurun sedang
Kerusakan ginjal dengan LFG
4 15 – 29
menurun berat
5 Gagal Ginjal < 15

b. Diagnosis Etiologi
Tabel Diagnosis Etiologi
Penyakit Tipe Mayor (Contoh)
Penyakit Ginjal Diabetes tipe 1 dan 2
diabetes
Penyakit Ginjal Penyakit Glomerular (penyakit otoimun,
Nondiabetes infeksi istemik, obat, neoplasia)
Penyakit vaskuler (penyakit pembuluh dara
besar, hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis kronik,
batu, obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik (Ginjal Polistik)
Penyakit pada Rejeksi kronik
Transplantasi Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)
Penyakit Recurrent (glomerular)
Transpalant Glomerulopathy

3. Patofisiologi
Fitur patofisiologi meliputi fibrosis, hilangnya sel ginjal dan
infiltrasi jaringan ginjal oleh monosit dan magrofage. Proteunuria,
hipoksia dan produksi angiotensin II berlebih yang semuanya
berkonstribusi terhadap patofisiologi, dalam upaya menjaga GFR,
glomerulus berhiperplasi; hal ini mengakibatkan cedera endotel.
Proteinuria disebabkan oleh meningkatkan permeabilitas glomerolus
dan meningkatnya tekanan kapiler. Hipoksia juga berkonstribusi

4
terhadap perkembangan penyakit. Angiontensin II meningkatkan
hipertensi glomerulus, yang merusak ginjal lebih jauh.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi
kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), kemudia secara
perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif
yang di tandai dengan peningkatak kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien belum merasakan keluhan
(asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin
serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada
pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan, penurunan
berat badan. LFG di bawah 30% pasien memperlihatkan gejala dengan
uremia, yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah,
gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan
lain sebagainya. Pasien mudah terkena infeksi saluran perkemihan,
saluran pernapasan dan saluran pencernaan, akan terjadi gangguan
keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan
kesimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di
bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius dan
pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal antara lain dialisis
atau transplantasi ginjal dan sudah terjadi gagal ginjal .
4. Pendekatan Diagnostik
a. Gambaran Klinis
1) Sesuai dengan penyakti yang mendasari seperti diabetes
melitus, infeksi saluran perkemihan, batu saluran perkemihan,
hipertensi, hiperurikemi, lupus erimatosus sistemik (LES) dan
lain sebagainya.
2) Sindrom uremia seperti lemah, letargi, anoreksia, mual
muntah, nokturia, kelebihan cairan, neuropati perifer, pruritus,
uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma

5
3) Gejala komplikasi antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi
renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan
keseimbangan elektrolit (Sodium, kalium, klorida).

b. Gambaran Laboratoris
1) Sesuai dengan penyakit yang mendasari
2) Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan
kreatinin serum, penurunan LFG, kadar kreatinin serum saja
tidak dapat dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.
3) Kelainan biokimia darah meliputi penurunan kadar
hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hipe atau
hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipofosfatemia, hipokalsemia, asidosis
metabolik
4) Kelainan urinalitis meliputi proteunuria, hamaturi, leukosuria,
cast, isostenuria
c. Gambaran Radiologis
1) Poto polos abdomen bisa tampak batu
2) Pielografi antegraf atau retrograf dilakukan sesuai indikasi
3) Ultrasonografi bisa memperlihatkan ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal,
kista, massa, kalsifikasi
4) Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi.
d. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal dilakukan bila
ukuran ginjal masih mendekati normal, yang bertujuan untuk
mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis dan
mengevaluasi hasil terapi yang diberikan. Kontra indikasi
pemeriksaan ini bila ginjal sudah mengecil, ginjal polikistik,
hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan
pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.

6
5. Penatalaksanaan
a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya
adalah sebelum penurunan LFG, sehingga pronosis fungsi ginjal
tidak terjadi. Dan bila LFG menurun sampai 20-30% dari normal,
terapi penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat lagi.
b. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Mengobservasi kecepatan penurunan LFG pada pasien
penyakit ginjal kronik sangat penting untuk mengetahui kondisi
komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor
komorbid tersebut antara lain gangguan keseimbangan cairan,
hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi saluran perkemihan,
obstruksi saluran perkemihan, obat-obatan nefrotoksik, bahan
radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.
c. Menghambat perburukan fungsi ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah
terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Dua cara penting untuk
mengurangi hiperfiltrasi glumerolus adalah
1) Pembatasan asupan protein
Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG
≤60 ml/mnt, protein di berikan 0,6-0,8/kgBB/hari. Yang 0,35 –
0,50 gram diantaranya merupakan protein nilai biologi tinggi.
Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30 -35 kkal/kgBB/hari.
Dipantau secara teratur, bila terjadi malnutrisi jumlah asupan
kalori dan protein dapat di tingkatkan.
Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan
protein tidak di simpan dalam tubuh namun di pecah menjadi
urea dan subtansi nitrogen lainnya yang di ekskresikan melalui
ginjal. Selain itu makanan yang tinggi protein mengandung ion
hidrogen, posfat sulfat dan yang lainnya juga di ekskresikan
melalui ginjal dan hal ini akan berakibat pada penimbunan

7
subtansi nitrogen dan ion anorganik lain yang menyebabkan
uremia. Selain daripada itu asupan protein berlebih akan
mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa
peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus yang
memperburuk fungsi ginjal.
2) Terapi farmaklogis untuk mengurangi hipertensi
intraglomerulus, selain bermanfat untuk memeprkecil resiko
kardiovaskuler juga sangat penting untuk memperlambat
pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi
intraglomerulus dan hipertropi glumerulus. Beberapa obat
antihipertensi terutama menghambat ensim konvering
angiotensin (ACE-inhibitor), melalui berbagai studi terbukti
dapat memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal.

Gambar skematik patogenesis pemburukan fungsi ginjal

Nefropati Kompensasi
hiperfiltrasi &
hipertropi

Berkurangnya
jumlah nefron

Hipertensi Kebocoran Protein


Angiotensin II
sistemik lewat glomerulus

Ekspresi growth medistorsi


Glomerulusklerosis inflamasi/fibrosis

d. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuler


Hal hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi
penyakit kardiovaskuler adalah pengendalian diabetes,
pengendalian hipertensi, pengendalian lislipidemia, pengenadalian

8
anemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan
kesimbangan elektrolit.

e. Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapy)


Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal
kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/mnt. Terapi
pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis
atau transplantasi ginjal.

B. Tinjauan Teori Nefropati Diabetik/ Penyakit Ginjal Diabetik


1. Pengertian
Penyakit eksternal yang paling utama mempengaruhi ginjal
adalah diabetes melitus. Diabetes nefropati sebuah proses progresif
yang umumnya mengakibatkan gagal ginjal. Sekitar 30% klien dengan
penyakit ginjal stadium akhir (ERSD) yang di kenal dengan penyakit
ginjal kronis stadium 5 (CKD) .
Nefropati diabetik (DN) merupakan salah satu penyebab utama
penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) dan mungkin di antara penyakit
ginjal yang paling menantang di banyak negara di seluruh dunia.
Nefropati diabetik adalah sindrom klinis pada pasien diabetes
melitus yang ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam)
pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6
bulan yang berhubungan dengan peningkatan tekanan darah dan
penurunan LFG (laju filtrat glomerulus).
2. Patofisiologi
Patofisiologi, gambaran klinis, dan bentuk nefropati diabetik
adalah mirip antara DM tipe 1 dan tipe 2, meskipun sejalannya waktu
mungkin pada DM tipe 2 lebih singkat. Hipertensi glomerular dan
hiperfiltrasi adalah abnormalitas ginjal yang paling awal pada hewan
eksperimental dan manusia yang diabetes dan diobservasi dalam
beberapa hari hingga beberapa minggu diagnosis. Hiperfiltrasi masih

9
dianggap sebagai awal dari mekanisme patogenik dalam laju
kerusakan ginjal. Penelitian Brenner dkk pada hewan menunjukkan
bahwa pada saat jumlah nefron mengalami pengurangan yang
berkelanjutan, filtrasi glomerulus dari nefron yang masih sehat akan
meningkat sebagai bentuk kompensasi. Hiperfiltrasi yang terjadi pada
sisa nefron yang sehat lambat laun akan menyebabkan sklerosis dari
nefron tersebut. (Hendromartono,2007)

Gambar patofisologi Nefropati diabetik

Mekanisme terjadinya peningkatan laju filtrasi glomerulus


pada nefropati diabetik masih belum jelas, tetapi kemungkinan
disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang tergantung

10
glukosa yang diperantarai hormon vasoaktif, IGF-1, nitrit oksida,
prostaglandin dan glukagon. Efek langsung dari hiperglikemia adalah
rangsangan hipertrofi sel, sintesis matriks ekstraseluler, serta produksi
TGF-β yang diperantarai oleh aktivasi protein kinase-C yang termasuk
dalam serine-threonin kinase yang memiliki fungsi pada vaskular
seperti kontraktilitas, aliran darah, proliferasi sel dan permeabilitas
kapiler
Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi
nonenzimatik asam amino dan protein. Pada awalnya glukosa akan
mengikat residu asam amino secara non-enzimatik menjadi basa Schiff
glikasi, lalu terjadi penyusunan ulang untuk mencapai bentuk yang
lebih stabil tetapi masih reversibel dan disebut sebagai produk
amadori. Jika proses ini berlanjut terus, akan terbentuk Advanced
Glycation End Product (AGEs) yang ireversibel. AGEs diperkirakan
menjadi perantara bagi beberapa kegiatan seluler seperti ekspresi adesi
molekul yang berperan dalam penarikan sel-sel mononuklear, juga
pada terjadinya hipertrofi sel, sintesa matriks ekstraseluler serta
inhibisi sintesis nitrit oksida. Proses ini akan terus berlanjut sampai
terjadi ekspansi mesangium dan pembentukan nodul serta fibrosis
tubulointerstisialis
3. Diagnosis dan Perjalanan Klinis
Diagnosis Penyakit Ginjal Diabetik (PGD) di mulai dari
dikenalinya Albuminuria pada pasien DM, baik tipe 1 maupun tipe 2.
Albumin di dalam urin masih sangat rendah.
Tabel Tingkat kerusakan ginjal yang dihubungkan
dengan ekskresi albumin/protein dalam urin
Urine
Kumpulan Kumpulan
sewaktu
Kategori Urin 24 jam Urin Sewaktu
(µg/mg
(mg/24hr) (µg/min)
creat)
Normal < 30 <20 <30
Mikroalbuminuria 30 – 299 20-199 30-299
Albuminuria Klinis ≥300 ≥200 ≥300

11
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan 2-3 spesimen urin dalam 3-6 bulan.
Hati hati terhadap proteinuria yang timbul pada latihan fisik dalam
24 jam terakhir, infeksi, demam, payah jantung, hiperglikemia berat,
tekanan darah sangat tinggi, piuria dan hematuria. (dikutip dari
ADA, 2004)
Penyakit ginjal diabetik selalu di bagi dalam tahapan sebagai berikut :
a. Tahap 1
Pada tahap ini LPG meningkat sampai 40% di atas normal
yang disertaipembesaran ukuran ginjal. Albumiuria belum nyata
dan tekanan darah biasanya normal. Tahap ini masih reversibel
dan berlangsung 0-5 tahun sejak awal DM tipe 1 di tegakkan.
Dengan pengendalian Glukosa darah yang ketat biasaya fungsi dan
struktur ginjal akan normal kembali.
b. Tahap II
Terjadi setelah 5 – 10 tahun diagnosis diabetes melitus,
perubahan struktur ginjal berlanjut dan LPG masih tetap
meningkat. Albuminaria hanya akan meningkat setelah latihan
jasmani, keadaan stress atau kendali metabolik yang memburuk.
Keadaan ini dapat berlangsung lama. Disebut sebagai tahap sepi
(silent stage)
c. Tahap III
Tahap awal nefropati (incipient diabetik nephropathy),
saat mikroalbuminuria telah nyata. Tahap ini biasanya terjadi
setelah 10-15 tahun didiagnosa diabetes. Secara histopatologis
telah jelas penebalan membran basalis glomerulus. LFG masih
tetap tinggi dan tekanan darah sudah mulai meningkat. Keadaan
ini dapat bertahan bertahun tahun dan progresivnya masih
mungkin di cegah dengan kontrol glukosa dan tekanan darah yang
ketat
d. Tahap IV

12
Tahap ini merupakan tahapan saat nefropati diabetik
bermanisfestasi secara klinis dengan proteinuria yang nyata
dengan pemeriksaan biasa, tekanan darah sering meningkat serta
LFG yang sudah menurun di bawah normal. Ini terjadi setelah 15-
20 tahun diabetes. Penyulit diabetes lain sudah mulai terlihat
seperti retinopati, neuropati, gangguan profil lemak, gangguan
vaskular umum. Progresivitas ke arah gagal ginjal hanya dapat
diperlambat dengan pengendalian glukosa darah, lemak darah dan
tekanan darah.
e. Tahap V
Tahap ini adalah tahap gagal ginjal, saat LFG sudah
demikian rendah sehingga pasien menunjukkan tanda-tanda
sindrom uremik dan memerlukan tindakan khusus yaitu terapi
pengganti, dialisis maupun cangkok ginjal.
4. Terapi dan Pencegahan
a. Pengendalian Kadar Gula Darah
Berbagai penelitian jangka panjang (5-7 tahun) dengan
melibatkan ribuan pasien menunjukkan bahwa pengendalian kadar
glukosa darah secara intensif. Akan mencegah progresivitas dan
mencegah timbulnya penyulit kardiovaskuler baik pada pasien DM
tipe I dan DM tipe 2. Dimana pencapaian kadar HbA1c <7%,
Kadar gula dara preprandial (GDP) 90-130 mg/dl, post prandial (2
jam pp) <180 mg/dl.
b. Pengendalian Tekanan Darah
Pada umumnya target tekanan darah adalah < 130/90 mmHg,
akan tetapi bila proteinuria lebih berat, >1gr/24 jam maka target
perlu lebih rendah yaitu < 125/75 mmHg. Terapi karena agiotensin
coverting enzyme inhibitor (ACE-I) dan angiotensin receptor
blocker (ARB) di kenal mempunyai efek antiproteinurik maupun
renoproteksi yang baik, maka obat-obatan ini sebagai awal
pengobatan hipertensi pada pasien DM.

13
c. Pengaturan Diet
Pemberian diet rendah protein sangat penting. Dalam suatu
penelitian klinik selama 4 tahun pada apasien DM tipe 1 yang di
beri diet mengandung protein 0,9gram/kgBB/hari selama 4 tahun
menurunkan resiko penyakit ginjal tahap akhir sebanyak 76%.
Umumnya di sepakati pemberian protein sebanyak
0,8gram/kgBB/hari, atau sekitar 10% kebutuhan kalori, pada
pasien dengan nefropati berat, tetapi LFGtelah mulai menurun
maka pembatasan protein dalam diet menjadi 0,6gram/kgBB/hari.
Begitupun harus di antisipasi terjadinya kekurangan nutrisi.
Pasien DM sendiri cenderung mengalami dislipidemia.
Keadaan ini perlu diatasi dengan diet dan obat. Bila diperlukan
dislipidemia diatasi dengan statin dengan target LDL kolesterol
<100 mg/dl pada pasien DM dan <70 mg/dl bila sudah ada
kelainan kardiovaskuler.
d. Penanganan Multifaktorial
Suatu penelitian klinik dari Steno Diabetes centre di
Copenhagen mendapatkan bahwa penanganan intensif secara
multifaktorial pada pasien DM tipe 2 dengan mikroalbuminuria
menunjukkan penurunan faktor resiko yang jauh melebihi
penanganan sesuai panduan umum penanganan diabetes nasional
mereka. Yang dimaksud dengan intensif adalah terapi yang di
titrasi sampai mencapai target , baik tekanan darah, Kadar gula
darah, lemak darah dan mikroalbuminuria serta juga disertai
pencegahan penyakit kardiovaskuler dengan pemberian aspirin.
Dalam kenyataannya pasien dengan terapi intensif lebih banyak
mendapat obat golongan ACE-I dan ARB. Demikian dengan obat
hipoglikemik oral dan insulin, untuk mengendalikan lemak darah
lebih banyak mendapat statin.
Bagi apsien yang berada pada tahap 5, gagal ginjal terapi
yang khusus perlu di jalankan, seperti pemberian diet rendah

14
protein, pemberian obat pengikat fosfat dalam makanan,
pencegahan dan pengobatan anemia dengan pemebrian eritopoetin.

C. Tinjauan Teori Hemodialisis


1. Pengertian
Hemodialisis merupakan suatu proses terapi pengganti ginjal
dengan menggunakan selaput membran semi permeabel (dialiser)
yang dapat berfungsi mengeluarkan produk sisa metabolisme dan
mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien
penyakit ginjal kronik(Joyce M Black & Hawks, 2014).
Hemodialisis dilakukang dengan mengalirkan darahke dalam
suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua
kompartemen terpisah. Darah pasien di pompa dan dialirkan ke
kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput semipermeabel buatan
(artifisial) denga kompartemen dialist.
Hemodialisis dilakukan untuk menggantikan fungsi ekskresi
ginjal sehingga tidak dapat terjadi gejala uremia yang lebih berat.
Pada pasien penyakit ginjal kronik dengan fungsi ginjal minimal
terapi hemodialisis dilakukan untuk dapat mencegah komplikasi yang
membahayakan yang dapat menyebabkan kematian (PERNEFRI,
2011)

15
2. Tujuan Hemodialisis
Tujuan hemodialisis adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen
yang bersifat toksik dari dalam tubuh dan mengeluarkan air yang
berlebihan.Pada hemodialisis, aliran darah yang penuh dengan toksin
dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dialiser tempat
darah tersebut dibersihkan dan dikembalikan lagi ke dalam tubuh
pasien (Suharyato & Abdul Madjid, 2009)
3. Indikasi Hemodialsis
Konsensus Dialisis Pernefri (2003) menyebutkan bahwa
indikasi dilakukan tindakan dialisis adalah pasien penyakit ginjal
kronik dengan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) <15 ml/menit, pasien
dengan Tes Klirens Kreatinin (TKK)/LFG <10 ml/menit dengan
gejala uremia, atau TKK/LFG <5 ml/menit walau tanpa gejala. Pada
TKK/LFG <5 ml/menit, fungsi ekskresi ginjal sudah minimal
sehingga mengakibatkan akumulasi zat toksik dalam darah dan
komplikasi yang membahayakan bila tidak dilakukan tindakan dialisis
segera.
Sehingga dialisis dianggap perlu bila dijumpai salah satu dari hal di
bawah ini :

16
a) Keadaan umum buruk dengan gejala klinis nyata
b) Kreatinin serum > 6 mEq/L
c) Ureum darah > 200 mg/L
d) Ph darah <7.1
e) Anuria berkepanjangan (> 5 hari)
f) Fluid overload
4. Penyebab Hemodialisis (PERNEFRI, 2011)
a. Ditandai dengan riwayat DM (+), proteinuria, pada funduskopi
terdapat mikroaneurisma kapiler, tanpa adanya bukti riwayat
penyakit ginjal lain sebelumnya.
b. Nefropati Diabetika: Ditandai dengan riwayat DM (+), proteinuria,
pada funduskopi terdapat mikroaneurisma kapiler, tanpa adanya
bukti riwayat penyakit ginjal lain sebelumnya.
c. Nefropati Lupus: Adanya gambaran klinik SLE, hasil laboratorium
urine terdapat proteinuria persisten, hematuria, kelainan sedimen
aktif, kenaikan titer antinukleus (ANA) dan DNAbinding antibody
(dsDNA).
d. Penyakit Ginjal Hipertensif: Adanya riwayat hipertensi, ditandai
dengan proteinuria, hematuria mikroskopik, serta adanya target
organ damaged yang lain, seperti LVH/ hypertensive heart disease,
retinopathy hypertensive
e. Ginjal Polikistik: Ditandai dengan pembesaran ginjal pada
perabaan dengan salah satu atau semua gejala: proteinuria,
hematuria, ISK berulang, peningkatan tekanan darah dan nyeri
pinggang.
f. Nefropati Asam Urat: Terdapat riwayat Artritis Gout yang berulang
serta ISK juga berulang. Hasil laboratorium kadar asam urat
biasanya >13mg% pada laki-laki dan >10mg% pada perempuan,
terdapat proteinuria dengan/ tanpa hematuria tanpa keluhan
g. Nefropati Obstruktif: Ada riwayat obstruksi saluran kemih pada
lithiasis, BPH, vesicouretral reflux, Ca vesica urinaria, Ca prostat

17
atau Ca servix. Ditandai dengan ISK berulang, hipertensi dan
hidronefrosis.
h. Pielonefritis Kronik/ PNC: Ditandai dengan proteinuria
asimptomatik dengan/ tanpa hematuria, ISK berulang, Hipertensi,
gambaran USG: kedua ginjal mengisut.
i. Tidak Diketahui
5. Prinsip Kerja
Ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis yaitu difusi,
osmosis, dan ultrafiltrasi. Difusi berarti perpindahan zat terlarut
(toksik) yang bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi ke
cairan dialisat dengan konsentrasi rendah. Osmosis menyangkut
pergerakan air melalui membran semipermeabel dari tempat yang
berkonsentrasi rendah ke tempat yang berkonsentrasi tinggi
(osmolaritas). Ultrafiltrasi adalah pergerakan cairan melalui membran
semipermeabel sebagai akibat tekanan gradient buatan. Tekanan
gradien buatan dapat bertekanan positif (didorong) atau negatif
(ditarik). Pada saat dialisis, prinsip difusi, osmosis dan ultrafiltrasi
digunakan secara simultan atau bersamaan(Suharyato & Abdul
Madjid, 2009)

6. Sistim Kerja Dialiser


Dialiser tipe hallow fiber adalah tipe dialiser yang paling sering
digunakan yang terdiri dari serabut kapiler halus yang tersusun

18
parallel. Setiap serabut mempunyai dinding setebal 30 µm, dan
diameter dalam setebal 200 µm, dan panjangnya 21 cm. Darah
mengalir melalu lubang-lubang tengah kecil ini, dan cairan dialisis
membasahi bagian luarnya. Aliran cairan dialisis berlawanan dengan
arah aliran darah.

Suatu sistim dialisis terdiri dari dua sirkuit, satu untuk darah
dan satu lagi untuk cairan dialisis. Bila sistim ini bekarja, darah
mengalir dari penderita melalui tabung plastik (jalur arteri), melalui
hallow fiber pada alat dialisis dan kembali kependerita melalui jalur
vena. Cairan dilisis membentuk sirkuit kedua. Air kran difiltrasi dan
dihangatkan sampai sesuai dengan suhu tubuh kemudian dicampur
dengan konsentrat dengan perantaraan pompa pengatur, sehingga
terbentuk dialisat atau bak dialisis.
Dialisat kemudian dimasukan kedalam alat dialisis, dan cairan
akan mengalir diluar serabut berongga sebelum keluar melalui
drainase. Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi disepanjang
membran dialisis melalui proses difusi, osmosis, dan ultrsfiltrasi.
Komposisi cairan dialisis diatur sedemikian rupa sehingga mendekati
komposisi ion darah normal, dan sedikit dimodifikasi untuk
memperbaiki gangguan cairan dan elektrolit yang menyertai gagal
ginjal. Unsur-unsur yang umum adalah K+, Na+, Ca++, Cl-, asetat dan
glukosa. Urea, kreatinin, asam urat dan fosfat dapat berdifusi dengan
mudah dari darah kedalam cairan dialisis karena unsur-unsur ini tidak
terdapat dalam cairan dialisis. Natrium asetat yang lebih tinggi

19
konsentrasinya dalam cairan dialisis, akan berdifusi kedalam darah.
Tujuan menambahkan asetat adalah untuk mengoreksi asodosis
penderita uremia. Asetat dimetabolisme oleh tubuh penderita menjadi
bikarbonat(Suharyato & Abdul Madjid, 2009)

7. Anti Koagulan
Tindakan hemodialisis memerlukan antikoagulan untuk mencegah
bekuan darah di sirkuit ekstrakorporeal yang dapat diakibatkan oleh
berbagai faktor diantaranya: Kecepatan aliran darah (Qb) yang rendah
Kadar hematokrit yang tinggi Kecepatan ultrafiltrasi yang tinggi
Resirkulasi pada akses vaskular Transfusi darah, produk darah dan
lipid intradialitik Pemakaian drip chambers (paparan udara,
terbentuknya buih, turbulensi)
Pemberian heparin terdiri dari dua:
a. Dosis awal: 25-50 U/kgBB IV pre hemodialisis
b. Dosis selanjunya: 50-100 U/kgBB IV intra hemodialsis
Heparin secara terus menerus dimasukkan pada jalur arteri
melalui syringe pump untuk mencegah pembekuan. Perangkap atau
detektor bekuan darah atau gelembung udara dalam jalur vena akan
menghalangi udara atau bekuan darah kembali kedalam aliran darah
penderita(Korwil & Barat, n.d.)

20
Hemodialisis pada pasien End Stage Renal Desease (ESRD)
dilakukan dua sampai tiga kali seminggu, dengan waktu hemodialisis
4 – 5 jam di sepanjang hidup klien
8. Akses Sirkulasi
Akases sirkulasi darah pasien hemodialisis terdiri dari : akses
vascular eksternal dan akses vascular internal.
a. Akses vascular eksternal (Sementara)
Yang terdiri dari kateter vena femoralis dan subklavia. Dimana
kateter femoralis memiliki lumen ganda, satu lumen untuk
mengeluarkan darah menuju alat dialisis dan satu lagi untuk
mengembalikan darah ketubuh penderita. Komplikasi yang terjadi
pada kateter vena femoralis adalah laserasi arteria femoralis,
perdarahan, trombosis, emboli, hematoma dan infeksi(Joyce M
Black & Hawks, 2014)
Kateter vena subklavia semakin banyak dipakai sebagai
alat akses vascular sementara karena pemasangannya mudah dan
komplikasinya lebih sedikit dibandingkan dengan kateter vena
femoralis. Kateter vena subklavia juga mempunyai lumen ganda
untuk aliran masuk dan keluar. Kateter yang dibiarkan
ditempatnya diantara waktu dialisis, diisi dengan larutan heparin
untuk mencegah terjadinya pembekuan. Komplikasi yang
disebabkan oleh kateter vena subklavia serupa dengan yang
terdapat pada kateter vena femoralis, yang termasuk

21
pneumotoraks, robeknya arteri subklavia, perdarahan, thrombosis,
embolus, hematoma dan infeksi(Suharyato & Abdul Madjid,
2009)

b. Akses vascular internal (Permanen)


Akses vascular internal atau permanen terdiri dari(Joyce M Black
& Hawks, 2014)
1. Arteri Venous Fistula
AV fistula pertama kali diperkenalkan oleh Cimino dan
Brescia (1962), AV fistula di buat melalui anastomosis arteri
secara langsung ke vena pada lengan yang tidak dominan.
Lengan bawah adalah tempat yang paling sering digunakan
dimana terletak arteri radialis dan vena cepalika.
Tehnik penyambungan atau anastomosis pada AV fistula :
a) Side (sisi) to end (ujung) adalah tehnik penyambungan
dengan menyambungkan pembuluh darah vena yang di
potong dengan sisi pembuluh darah arteri.
b) Side (sisi) to side (sisi) adalah tehnik penyambungan
dengan menyambungkan sisi pembuluh darah vena dengan
sisi pembuluh darah arteri.
c) End (ujung) to end (ujung) adalah tehnik penyambungan
pembuluh darah arteri yang di potong dengan pembuluh
darah vena yang di potong.

22
d) End (ujung) to side (sisi) adalah tehnik penyambungan
pembuluh darah arteri yang di potong dengan sisi pembuluh
darah vena.

Tehnik penyambungan sisi side to end merupakan


tehnik yang tersering dilakukan karena aliran darah vena yang
menuju jantung adalah yang terbesar volumenya dan
mencegah terjadinya hipertensi vena selain itu juga tehnik ini
dapat mencegah pembengkakan. AV fistula tersebut
membutuhkan waktu 4 sampai 6 minggu untuk menjadi
“matang” sebalum digunakan.Waktu ini diprlukan untuk
memberi kesempatan agar AV fistula pulih dan segmen vena
berdilatasi dengan baik sehingga dapat menerima jarum
berlumen besar dengan ukuran 14 sampai 16. Kepada pasien
dianjurkan untuk melakukan latihan guna meningkatkan
ukuran pembuluh darah dengan meremas-remas bola karet
untuk melatih fistula yang di buat dilengan bawah(Pusat Data
dan Informasi Kemenkes RI, 2017). Perawatan fistula dapt
dilakukan dengan memeriksa secara rutin dan mencegah
terjadinya clloting dan infeksi. Perawatan AV fistula di
lakukan dengan :
1. Hindari hipotensi atau dehidrasi
2. Hindari pengukuran tekanan darah atau mengambil darah
pasien dari lengan yang terdapat fistula.
3. Pasien disarankan untuk menghindari pakaian yang ketat
pada daerah fistula.

23
4. Hindari pemakaian tourniquet pada lengan yang terdapat
fistula
2. AV Tandur
Pada beberapa kasus pembuatan AVF yang tidak
memungkinkan akibat adanya penyakit, kerusakan akibat
prosedur sebelumnya, atau pembuluh darah dengan ukuran
kecil dan halus, maka sebuah tandur buatan AV dapat
dianastomosiskan antara sebuah arteri dan vena, dimana tandur
ini bekerja sebagai saluran bagi aliran darah dan tempat
penusukan jarum selama dialisis. Tandur AV adalah sebuah
tabung prostetik yang dibuat dari bahan biologis (arteri karotis
sapi, arteria tali pusat manusia) atau bahan sintetik (Gore-Tex
atau politetrafluoroetilen, materi yang mirip Teflon).
Komplikasi tandur sama dengan AV fistula yaitu thrombosis,
infeksi, aneurisma, dan iskemia tangan(Joyce M Black &
Hawks, 2014)
9. Kontra indikasi terapi hemodialisis
Kontraindikasi pasien hemodialisis adalah :
a) Hipotensi yang tidak responsive terhadap pressor
b) Penyakit stadium terminal
c) Sindroma otak organic
10. Komplikasi terapi hemodialisis
Beberapa komplikasi yang terjadi pada pasien hemodialisis(Joyce M
Black & Hawks, 2014)
a) Hipotensi dapat terjadi selama terapi hemodialisis ketika cairan
dikeluarkan.
b) Emboli udara merupakan komplikasi yang tetapi dapat saja ketika
udara memasuki sistim vaskuler pasien.
c) Nyeri dada dapat terjadi ketika PCO2 menurun bersamaan dengan
terjadinya sirkulasi darah diluar tubuh.

24
d) Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir
metabolism meninggalkan kulit.
e) Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan
serebral dan muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi ini
kemungkinan terjadinya lebih besar jika terdapat gejala uremia
yang berat.
f) Kram otot yang nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan
cepat meninggalkan ruang ekstrasel.
g) Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi.
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia(Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI, 2017) komplikasi
yang jarang terjadi misalnya disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia,
tamponade jantung, perdarahan intracranial, kejang, hemolysis,
neutropenia, serta aktivasi kompleman akibat dialisis dan hipoksemia.

25
BAB III
ANALISA KASUS CASE STUDY

K.B. Adalah seorang wanita berusia 32 tahun yang dirawat di ruang perawatan
karena keluhan kelelahan dan dehidrasi. Saat melihat riwayatnya, ditemukan
bahwa dia menderita diabetes melitus (DM) dan telah mengalami ketergantungan
insulin sejak usia 8 tahun. Dia telah menjalani hemodialisis (HD) selama 3 tahun
terakhir. Hasil pengkajian awal ditemukan wajah pucat, kurus, sedikit mengantuk.
Kulitnya hangat dan kering saat disentuh dengan turgor kulit yang jelek,
dan membran mukosa kering. Tanda vitalnya (VS) adalah TD 140/88, Nadi 116
kali/menit, pernafasan 18 kali/menit, suhu 99,9 ° F (37,7 ° C). Ny.K.B
mengatakan mual selama 2 hari sehingga dia belum makan atau minum. Klien
juga mengatakan diare berat. Kalsium serum, fosfat, magnesium, dan darah
lengkap (CBC) telah diambil tapi hasil belum ada. Hasil kimia darah dibawah ini:
Hasil pemeriksaan Lab
Sodium 145 mEq/L
Kalium 6.0 mEq/L
Chloride 93 mEq/L
Bicarbonate 27 mEq/L
BUN 48 mg/dL
Creatinine 5.0 mg/dL
Glucose 238 mg/dL

1. Apa hasil pengkajian anda yang mendukung diagnosa dehidrasi?


 Ny.K.B mengatakan mual selama 2 hari sehingga dia belum makan atau
minum.
 Ny.K.B mengatakan diare berat
 Klien sedikit mengantuk
 Kelelahan
 Kulit klien hangat dan kering saat disentuh dengan turgor kulit yang jelek
 Membran mukosa kering

26
 Nadi 116 kali/menit
 Suhu 99,9 ° F (37,7 ° C).
2. Jelaskan hasil lab yang menjadi fokus perhatian?
Hasil lab yang mengalami peningkatan yaitu :
a. Kalium 6.0 mEq/L
Hasil lab kalium mengalami peningkatan karena gangguan ekskresi
kalium oleh ginjal. Efek dari hiperkalemia ringan hingga sedang inilah
yang menyebabkan takikardia dan diare, jika kadarnya meningkat
mendekati 7 mEq/L berpotensi menyebabkan aritmia jantung .
b. Creatinine 5.0 mg/dL
Nilai creatinin serum Ny.KB 5.0 mg/dl, dalam hal ini mengalami
peningkatan (nilai normal pada wanita 0,5-1,1 mg/dl), hal ini terjadi
karena adanya disfungsi renal pada pasien sehingga salah satu fungsi
ginjal yang terpenting yaitu ekskresi produk sisa metabolik seperti
kreatinin tidak optimal sehingga kreatinin serum akan meningkat.
Peningkatan kadar kreatinin serum dua kali lipat mengindikasikan adanya
penurunan fungsi ginjal sebesar 50%, demikian juga peningkatan kadar
kreatinin serum tiga kali lipat merefleksikan penurunan fungsi ginjal
sebesar 75%.
c. Glucose 238 mg/dL
Kadar glukosa Ny’KB mengalami peningkatan, klien mengalmi DM type
1 sejak kecil dan mendapat terapi insulin sejak umur 8 tahun, hal inilah
yang menjadi penyebab klien mengalami gagal ginjal sehingga harus
menjalani dialisis.
3. Identifikasi dua penyebab sehingga Ny.KB mengalami demam ringan ?
Ny.KB mengalami demam ringan (suhu 37,7 ° C), hal ini terjadi karena klien
mual selama 2 hari sehingga dia belum makan atau minum dan disertai
dengan diare berat, tidak ada asupan cairan yang masuk sehingga klien
mengalami dehidrasi atau kekurangan volume cairan sehingga tubuh
kesulitan mengatur atau menjaga suhu tetap normal.
Case Study Progress

27
Penilaian fisik K.B lainnya berada dalam batas normal. Anda mencatat bahwa
dia memiliki arteriovenous (AV) fistula di lengan kirinya.
4. Apa itu AV fistula?mengapa Ny.KB punya satu?
Arteriovenous (AV) fistula adalah pilihan akses untuk klien yang menerima
dialisis kronis. AVF dibuat melalui prosedur bedah, dimana sebuah arteri
dilengan bawah dianastomosis (disambungkan) kevena, dari ujung kesisi, dari
sisi kesisi, sisi keujung atau ujung keujung (J.M. Black & Hawks, 2014;
Rose, Sonaike, & Hughes, 2013). Fistula tersebut membutuhkan waktu 4
sampai 6 minggu menjadi matang sebelum siap digunakan. Waktu ini
diperlukan untuk memberikan kesempatan agar fistula pulih dan segmenvena
fistula berdilatasi dengan baik sehingga dapat menerima jarum berlumen
besar dengan ukuran 14-16 (Scholz, 2015). Jarum ditusukkan ke dalam
pembuluh darah agar cukup banyak aliran darah yang akan mengalir melalui
dializer. Segmen vena fistula digunakan untuk memasukkan kembali (reinfus)
darah yang sudah didialisis (Smeltzer, Suzanne C., Bare, Brenda G., Hinkle,
Janice L., Cheever, 2013).
5. Langkah apa yang anda ambil untuk menilai AV fistula Ny.KB dan apa
temuan fisik yang diharapkan.
Pada AVF perlu dikaji kepatenannya dengan melakukan palpasi untuk
merasakan sensasi “vibrasi halus (thrill)” atau getaran halus dan kemudian
dengarkan dengan stetoskop apabila terdapat bunyi bruit berarti AV fistula
dalam kondisi baik.
Perawatan fistula dapat dilakukan dengan memeriksa secara rutin dan
mencegah terjadinya clloting dan infeksi. Perawatan AV fistula di lakukan
dengan :
a. Hindari hipotensi atau dehidrasi
b. Hindari pengukuran tekanan darah atau mengambil darah pasien dari
lengan yang terdapat fistula.
c. Pasien disarankan untuk menghindari pakaian yang ketat pada daerah
fistula.
d. Hindari pemakaian tourniquet pada lengan yang terdapat fistula

28
6. Sewaktu anda melanjutkan pengkajian, anda memperhatikan bahwa seorang
petugas pendamping keperawatan (NAP) datang untuk mengambil tekanan
darah K.B. NAP menempatkan manset tekanan darah pada lengan kiri
Ny.K.B. apa yang Anda lakukan?
Menyampaikan kepada NAP untuk tidak menempatkan manset tekanan darah
pada lengan kiri, karena terdapat AV fistula pada lengan kiri pasien. Lengan
yang terdapat AV fistula tidak boleh diberikan tekanan karena dapat
menyebabkan kebocoran.

Case Study Progress


Hasil Lab Darah Rutin KB
WBC 7600/mm3
RBC 3.2 million/mm3
Hgb 8.1 g/dL
Hct 24.3%
Platelets 333,000/mm3
7. Apakah nilai-nilai ini normal? Jika tidak, apa saja kelainannya
Nilai lab yang tidak normal yaitu :
RBC 3.2 million/mm3 (N : 4,2-5,4 million/mm3)
Hgb 8.1 g/dL (N : 12-16 gr/dl)
Hct 24.3% (37-43%)
Ketiga nilai lab tersebut mengindikasikan adanya anemia.
8. Dokter K.B. mencatat bahwa dia menderita anemia, yang menjadi penyebab
dia mengalami kelelahan. Mengapa K.B. anemik?
Ny.KB mengalami anemia sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang
tidak adekuat, memendeknya usia sel darah merah dan defisiensi nutrisi.
Eritropoetin merupakan suatu substansi normal yang dihasilkan oleh ginjal
yang akan menstimulasi sumsum tulang untuk menghasilkan sel darah merah.
Namun pada kondisi Ny.KB yang mengalami gagal ginjal, produksi
eritropoetin menurun sehingga terjadi anemia berat disertai kelelahan
(Smeltzer, Suzanne C., Bare, Brenda G., Hinkle, Janice L., Cheever, 2013).

29
Case Study Progress
K.B. dikirim untuk pengobatan hemodialisis (HD). Selama 24 jam
berikutnya, mual K.B. mereda, dan dia bisa makan dengan normal. Ketika
anda membantunya dalam perawatan dipagi hari, dia mengaku pada Anda
bahwa dia tidak mengerti diet ginjal "Saya hanya menjalani dialisis setiap
minggu dan bertemu dengan ahli diet dialisis sekali sebulan, saya hanya
makan apa yang dia katakan untuk saya makan”.
9. Karena Ny.K.B. Berada di HD, apa kebutuhan nutrisinya?
Pasien hemodialisis harus mendapat asupan makanan yang cukup agar tetap
dalam gizi yang baik. Gizi kurang merupakan prediktor yang penting untuk
terjadinya kematian pada pasien hemodialisis. Asupan protein diharapkan 1-
1,2 gr/kgBB/hari dengan 50 % terdiri atas asupan protein dengan nilai
biologis tinggi. Asupan kalium diberikan 40-70 meq/hari. Pembatasan kalium
sangat diperlukan, karena itu makanan tinggi kalium seperti buah-buahan dan
umbi-umbian tidak dianjurkan untuk dikonsumsi. Jumlah asupan cairan
dibatasi sesuai dengan jumlah urin yang ada ditambah insensible water loss.
Asupan natrium dibatasi 40-120 mEq per hari guna mengendalikan tekanan
darah dan edema. Asupan tinggi natrium akan menimbulkan rasa haus yang
selanjutnya mendorong pasien untuk minum. Bila asupan cairan berlebihan
maka selama periode di antara dialisis akan terjadi kenaikan berat badan yang
besar (Smeltzer, Hinkle, Bare, & Cheever, 2010).
10. Pasien gagal ginjal berpotensi untuk mengembangkan kondisi komorbid.
Identifikasi lima masalah potensial, tentukan bagaimana Anda menilai
masalah, lalu gambarkan intervensi keperawatan dan strategi pendidikan
pasien?
Menurut Indonesian renal Registry, (2012), 5 Penyakit penyerta pasien
GGK yang menjalani hemodialisis pada tahun 2012 didapatkan sebagai
berikut Hipertensi 44%, DM 25%, Penyakit Kardiovaskuler 9%, Penyakit
serebrovaskuler 7%, penyakit Saluran Pencernaan 3%. Dengan adanya
berbagai macam komorbid akan menambah gejala yang dialami pasien, dan
akan berdampak pada kunjungan rumah sakit, biaya rawat, dan kematian.

30
Faktor komorbid tersebut antara lain gangguan keseimbangan cairan,
hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi saluran perkemihan, obstruksi saluran
perkemihan, obat-obatan nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan
aktivitas penyakit dasarnya
Untuk pasien dengan penyakit penyerta seperti DM, perlu diberikan
health education akan pentingnya memeriksa kadar gula darah secara rutin,
membatasi asupan gula yang masuk ke dalam tubuh dan mengonsumsi menu
makanan yang sehat.Olahraga secara teratur setiap hari untuk membantu
menjaga keseimbangan tubuh dan mengontrol kadar gula darah.

Case Study Progress


Keesokan harinya,Ny. K.B. merasa jauh lebih baik dan dengan pemahaman
yang baik tentang pembatasan makanannya. Kandungan besinya telah
dievaluasi dan ternyata rendah. Dokternya telah menginstruksikannya
untuk melanjutkan pemberian obatnya, kecuali penambahan obat besi sulfat 5
mL PO tid dengan makanan dan epoetin (Epogen) diberikan tiga kali
seminggu IV dengan dialisis. Dia juga diberi resep suplemen vitamin
Nephrocaps harus diminum setiap hari.
11. Informasi apa yang akan Anda berikan pada Ny.K.B. tentang obat barunya?
Menjelaskan kepada Ny.KB bahwa terapi epoetin (Epogen) yang diberikan
tiga kali seminggu IV dengan dialisis, berguna untuk memulihkan gejala
anemia, sehingga dapat menurunkan rasa letih, meningkatkan kadar energi
dan toleransi aktivitas semakin membaik. Efek samping terapi epogen ini
yaitu hipertensi dan menunjukkan gejala mirip flu pada permulaan terapi,
namun cenderung menghilang setelah dosis diulang. Cadangan besi yang
adekuat dibutuhkan untuk berespon terhadap eritropoetin sehingga
ditambahkan obat besi sulfat 5 mL PO tid dengan makanan. Selama terapi
epogen, kadar hematokrit, besi serum, kalium serum dan tekanan darah akan
dipantau secara periodik. Suplemen vitamin Nephrocaps (vitamin B
kompleks) harus diminum setiap hari, untuk mengganti hilangnya vitamin
akibat dialisis

31
12. K.B. bertanya, "Mengapa saya memerlukan resep vitamin? Saya hanya bisa
mengambil sesuatu yang dijual di apotik, kan? "bagaimana tanggapan anda?
Semua klien dengan gagal ginjal memerlukan suplemen vitamin dan asam
folat, karena vitamin yang larut didalam air akan didialisis keluar, dan karena
pembatasan diet menghalangi asupan diet yang mencukupi.
13. Saat memantau respons Ny. K.B. terhadap epoetin, efek buruk apa yang akan
terjadi?
Efek samping akibat terapi epoetin adalah Hipertensi, oleh karena itu tekanan
darah perlu dipantau secara periodik. Adanya hipertensi ditangani dengan
memberikan obat hipertensi. Tetapi jika hipertensi tidak dapat dikontrol maka
terapi epoetin harus dihentikan.
14. Selama minggu-minggu berikutnya, hasil laboratorium mana yang paling
penting untuk dipantau oleh Ny.KB terkait terapi epoetin? jelaskan.
Hasil lab yang perlu dipantau oleh Ny.KB selama mendapat terapi epoetin
adalah kadar hematokrit dan fe serum. Kadar hematokrit setelah pemberian
terapi akan meningkat jika pemberian terapi efektif sehingga dapat
memulihkan gejala anemia, biasanya memerlukan waktu 2 hingga 6 minggu.
Fe serum juga perlu diperhatikan, karena kadar fe tubuh yang adekuat
diperlukan untuk berespon terhadap eritropoetin.

32
BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Anamnese
a. Identitas
1) Nama : Ny.KB
2) TTL/Umur : 32 Tahun
3) Jenis Kelamin : Perempuan
4) Diagnosa Mds : DM type I, GGK/HD
b. Keluhan Utama:
Kelelahan dan dehidrasi
c. Riwayat Keluhan Utama:
Ny.K.B mengatakan mual selama 2 hari sehingga dia belum makan atau
minum. Klien juga mengatakan diare berat..
d. Keluhan Yang Menyertai
- Klien mengatakan mual selama 2 hari sehingga dia belum makan
atau minum. Klien juga mengatakan diare berat
e. Riwayat Kesehatan Lalu
- Klien menderita diabetes melitus (DM) dan telah mengalami
ketergantungan insulin sejak usia 8 tahun.
- Klien telah menjalani hemodialisis (HD) selama 3 tahun terakhir.
f. ADL
1) Nutrisi: Kurang makan dan Minum karena mual, klien mengatakan
tidak mengerti diet ginal
2) Eliminasi: klien diare berat
2. Pemeriksaan Fisik
a. TTV:
- TD 140/88
- Nadi 116 kali/menit
- Pernafasan 18 kali/menit

33
- Suhu 99,9 ° F (37,7 ° C).
b. Inspeksi:
1) Klien tampak lemah
2) Wajah pucat
3) Klien nampak kurus
4) Klien nampak sedikit mengantuk
5) Membran Mukosa kering
c. Palpasi:
1) Kulitnya teraba hangat dan kering
2) Turgor kulit jelek
3. Pemeriksaan Penunjang
Hasil Lab
Sodium 145 mEq/L
Kalium 6.0 mEq/L (TD)
Chloride 93 mEq/L
Bicarbonate 27 mEq/L
BUN 48 mg/dL
Creatinine 5.0 mg/dL
Glucose 238 mg/dL
WBC 7600/mm3
RBC 3.2 million/mm3
Hgb 8.1 g/dL
Hct 24.3%
Platelets 333,000/mm3
4. Pengobatan
- Besi sulfat 5 mL PO tid dengan makanan
- Epoetin (Epogen) diberikan tiga kali seminggu IV dengan dialisis.
- Vitamin Nephrocaps harus diminum setiap hari.

34
B. Patoflow keperawatan

35
C. Diagnosa Keperawatan
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif
2. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan kurang asupan makanan
3. Intoleran aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai dan
kebutuhan oksigen

36
D. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Nursing Outcome Classsification Nursing Intervention Classification (Bulechek,


(Moorhead, Marion, Maas, & Elizabeth, Butcher, Dochterman, & Wagner, 2013)
2013)
1. Kekurangan volume cairan Setelah perawatan 3x24 jam hidrasi Manajemen cairan :
berhubungan dengan efektif dengan kriteria hasil : 1. Timbang berat badan setiap hari
kehilangan cairan aktif, 1. Nadi 60-100 kali/menit 2. Jaga intake/asupan yang akurat dan catat output
ditandai dengan : 2. Suhu 36,5° C - 37,2° C 3. Monitor status hidrasi (membran mukosa lembab,
DS : 3. Turgor kulit baik denyut nadi adekuat)
- Klien mengatakan 4. Membran mukosa lembab 4. Monitor tanda-tanda vital
mual selama 2 hari 5. Intake cairan adekuat 5. Monitor perubahan berat badan pasien sebelum
sehingga dia belum 6. Diare tidak ada dan setelah dialisis
makan atau minum Termoregulasi efektif dengan kriteria 6. Berikan terapi IV seperti yang ditentukan
- Klien mengatakan diare Hasil: Manajemen diare
berat 1. Suhu tubuh normal (36,5° C - 37,2° 1. Instruksikan pasien atau keluarga memberitahu
DO : C) setiap kali mengalami episode diare
- TD 140/88 Keparahan mual dan muntah teratasi 2. Instruksikan pasien atau anggota keluarga untuk
- Nadi 116 kali/menit dengan kriteria hasil : mencatat warna, volume, frekuensi dan
- Pernafasan 18 1. Frekuensi mual berkurang konsistensi tinja
kali/menit 2. Kalium normal 3,5-5 mEq/L 3. Berikan makanan dalam porsi kecil dan sering
- Suhu 99,9 ° F (37,7 ° serta tingkatkan porsi secara bertahap
C) 4. Identifikasi faktor yang dapat menyebabkan diare
- Klien tampak lemah (misalnya medikasi,bakteri)
- Klien nampak kurus 5. Konsultasi dengan dokter jika tanda dan gejala
- Klien nampak sedikit diare menetap
mengantuk (perubahan
status mental)

37
- Membran Mukosa Manajemen elektrolit : hiperkalemia
kering 1. Monitor penyebab terjadinya peningkatan kalium
- Kulitnya teraba hangat serum (misal, gagal ginjal, asupan yang
dan kering berlebihan)
- Turgor kulit jelek 2. Monitor akibat hiperkalemia terhadap jantung
- Kalium 6.0 mEq/L ( misalnya penurunan curah jantung, blok jantung,
- Creatinine 5.0 mg/dL puncak gelombang T, fibrilasi atau asistol)
3. Monitor akibat hiperkalemia terhadap
gastrointestinal (misalnya mual, kolik usus)
4. Monitor respon hemodinamik pasien terhadap
tindakan dialisis
5. Dukung kepatuhan pasien terhadap diet (misalnya
menghindari makanan tinggi kalium)
6. Monitor kadar kalium setelah terapi dialisis
Perawatan Demam
1. Pantau suhu dan tanda-tanda vital lainnya
2. Monitor warna kulit
3. Monitor asupan dan keluaran cairan
4. Anjurkan klien menggunakan pakaian yang
ringan/tipis
5. Fasilitasi istirahat, anjurkan klien untuk
membatasi aktivitas
6. Tingkatkan sirkulasi udara
7. Beri obat antipiretik
2. Ketidakseimbangan Setelah perawatan 3x24 jam status nutrisi Manajemen nutrisi
nutrisi: kurang dari : asupan nutrisi adekuat dengan kriteria 1. Tentukan status gizi pasien dan kemampuan
kebutuhan tubuh hasil : pasien memenuhi kebutuhan gizinya
berhubungan dengan 1. Asupan kalori adekuat 2. Lakukan atau bantu pasien terkait dengan

38
kurang asupan makanan, 2. Asupan vitamin adekuat perawatan mulut sebelum makan
ditandai dengan : 3. Asupan zat besi adekuat 3. Anjurkan pasien terkait dengan kebutuhan diet
DS : untuk kondisi sakit (yaitu untuk pasien dengan
- Klien mengatakan Mengetahui diet yang disarankan untuk penyakit ginjal, pembatasan natrium, kalium,
mual selama 2 hari ginjal dengan kriteria hasil : protein dan cairan)
sehingga dia belum 1. Klien mengetahui diet yang 4. Ciptakan lingkungan yang optimal pada saat
makan atau minum dianjurkan mengkonsumsi makan (misalnya bersih, santai,
- Klien mengatakan diare 2. Klien mengetahui manfaat atau dan bebas bau menyengat)
berat tujuan diet 5. Pastikan makanan disajikan dengan cara yang
- Klien mengatakan tidak 3. Klien mengetahui makanan yang menarik dan dalam kondisi hangat
mengerti diet ginjal diperbolehkan dalam diet 6. Monitor kecenderungan terjadinya penurunan dan
4. Klien mengetahui makanan yang kenaikan berat badan
DO : tidak diperbolehkan dalam diet Pengajaran:peresepan diet
- Klien nampak kurus 5. Klien mengetahui perencanaan menu 1. Kaji pengetahuan klien tentang diet yang
- Wajah pucat berdasarkan diet yang dianjurkan disarankan untuk penyakit ginjal
- Membran mukosa 6. Klien dapat menginterpretasi 2. Kaji pola makan pasien saat ini dan sebelumnya,
kering informasi gizi pada label makanan termasuk makanan yang disukai dan pola makan
- Glucose 238 mg/dL 7. Klien mengetahui strategi saat ini
meningkatkan kepatuhan diet 3. Ajarkan pasien nama-nama makanan yang sesuai
dengan diet yang disarankan
4. Jelaskan kepada pasien mengenai tujuan
kepatuhan terhadap diet yang disarankan
5. Instruksikan pasien untuk menghindari makanan
yang dipantang dan mengkonsumsi makanan yang
diperbolehkan
6. Bantu pasien untuk memilih makanan kesukaan
sesuai dengan diet yang disarankan
7. Instruksikan pasien untuk membaca label dan

39
memilih makanan yang sesuai
8. Sediakan contoh menu makanan yang sesuai
9. Dukung informasi yang disampaikan tenaga
kesehatan lain
Manajemen hiperglikemia
1. Monitor kadar glukosa darah
2. Monitor tanda dan gejala hiperglikemia (poliuri,
polidipsi, polifagi, kelemahan, letargi, malaise,
pendangan kabur)
3. Berikan insulin sesuai resep
4. Konsultasikan dengan dokter tanda dan gejala
hiperglikemia yang menetap atau memburuk
3 Intoleran aktivitas Setelah perawatan 3x24 jam tingkat Manajemen energi
berhubungan dengan kelelahan teratasi dengan kriteria hasil : 1. Kaji status fisiologis klien yang menyebabkan
ketidakseimbangan suplai 1. Kelelahan ringan kelelahan
dan kebutuhan oksigen, 2. Tidak ada Gangguan konsentrasi 2. Anjurkan pasien mengungkapkan perasaan secara
ditandai dengan : 3. Kegiatan sehari-hari tidak terganggu verbal mengenai keterbatasan yang dialami
DS : 4. Hematokrit normal (37-48%) 3. Anjurkan periode istirahat dan kegiatan secara
Klien mengeluh kelelahan 5. Hemoglobin normal ( 12-16 mg/dl) bergantian
4. Bantu pasien dalam aktivitas sehari-hari sesuai
DO : kebutuhan
- Wajah pucat 5. Anjurkan aktivitas fisik sesuai kemampuan
- RBC 3.2 million/mm3 6. Ajarkan pasien atau keluarga menghubungi
- Hgb 8.1 g/dL tenaga kesehatan jika tanda dan gejala kelelahan
- Hct 24.3% tidak berkurang
- Glucose 238 mg/dL

40
E. Evaluasi
Proses keperawatan sering digambarkan sebagai proses bertahap. Proses
keperawatan dikatakan efektif bila pencapaian hasil teridentifikasi dan
dievaluasi sebagai penilaian pada status pasien (Heather, 2015)

No. Diagnosa Evaluasi


Keperawatan
1 Kekurangan volume Setelah dilakukan perawatan terkait
cairan berhubungan kekurangan volume cairan pada pasien
dengan kehilangan menunjukkan :
cairan aktif 1. Nadi 60-100 kali/menit
2. Suhu tubuh normal 36,5° C - 37,2° C
3. Turgor kulit baik
4. Membran mukosa lembab
5. Intake cairan adekuat
6. Diare tidak ada
7. Frekuensi mual berkurang
8. Kalium normal 3,5-5 mEq/L

2. Ketidakseimbangan Setelah dilakukan perawatan terkait


nutrisi : kurang dari ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari
kebutuhan tubuh kebutuhan tubuh berhubungan dengan kurang
berhubungan dengan asupan makanan pada pasien menunjukkan :
kurang asupan 1. Asupan kalori adekuat
makanan 2. Asupan vitamin adekuat
3. Asupan zat besi adekuat
4. Klien mengetahui diet yang dianjurkan
5. Klien mengetahui manfaat atau tujuan diet
6. Klien mengetahui makanan yang
diperbolehkan dalam diet
7. Klien mengetahui makanan yang tidak
diperbolehkan dalam diet
8. Klien mengetahui perencanaan menu
berdasarkan diet yang dianjurkan
9. Klien dapat menginterpretasi informasi
gizi pada label makanan
10. Klien mengetahui strategi meningkatkan
kepatuhan diet

3. Intoleran aktivitas Setelah dilakukan perawatan terkait tingkat

41
berhubungan dengan kelelahan pada pasien menunjukkan :
ketidakseimbangan 1. Kelelahan ringan
suplai dan kebutuhan 2. Tidak ada Gangguan konsentrasi
oksigen 3. Kegiatan sehari-hari tidak terganggu
4. Hematokrit normal (37-48%)
5. Hemoglobin normal ( 12-16 mg/dl)

BAB V

42
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang di tandai dengan penurunan
fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal,
dimana terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan Laju Filtrasi
Glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2
2. Nefropati diabetik adalah sindrom klinis pada pasien diabetes melitus
yang ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam) pada
minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan yang
berhubungan dengan peningkatan tekanan darah dan penurunan LFG (laju
filtrat glomerulus)
3. Hemodialisis merupakan suatu proses terapi pengganti ginjal dengan
menggunakan selaput membran semi permeabel (dialiser) yang dapat
berfungsi mengeluarkan produk sisa metabolisme dan mengoreksi
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien penyakit ginjal
kronik.
4. Pasien pada kasus sudah menderita diabetes melitus 24 tahun dan
mendapatkan terapi dialisis di usia 21 tahun dengan demikian pasien di
kategorikan dalam nefropati diabetik pada tahap 5
5. Intervensi keperawatan yang diberikan berdasarkan diagnosa keperawatan
yang ditegakkan yaitu Kekurangan volume cairan berhubungan dengan
kehilangan cairan aktif, Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan kurang asupan makanan dan
Intoleran aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai dan
kebutuhan oksigen.

B. SARAN

43
1. Untuk mengetahui tahap nefropati diabetik tidak hanya nilai BUN yang di
perlukan namun nilai LFG sangat penting, dalam kasus untuk menilai
LFG tidak terdapat berat badan sehingga tidak dapat di hitung LFG,
sehingga kami menyarankan agar nilai berat badan di tuliskan dalam
kasus.
2. Terapi pengganti (hemodialisis) pada pasien GGK yang bertujuan
menggantikan fungsi ginjal sehingga dapat memperpanjang kelangsungan
hidup dan memperbaiki kualitas hidup pada penderita gagal ginjal,
sehingga pasien dengan HD sangat memerlukan dukungan dari keluarga
dan orang orang di sekitar pasien sehingga dapat memperbaiki psikologis
dari pasien dan dapat berpartisipasi dalam pengobatan dan proses terapi

44
DAFTAR PUSTAKA

Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah : Manajemen


Klinis untuk Hasil yang Diharapkan (8th ed.). Singapura: Elsevier.
Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah Manajemen
Klinis untuk Hasil yang Diharapkan (8th ed.). Singapore: Elsevier.
Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2013).
Nursing Intervention Classification (NIC). (I. Nurjannah & R. D.
Tumanggor, Eds.) (Edisi Keen). United Kingdom: Elsevier.
Heather, H. T. (2015). NANDA International Inc. Diagnosis Keperawatan :
Defenisi & Klasifikasi 2015-2017 (Edisi 10). Jakarta: EGC.
Indonesian renal Registry. (2012). 5 th Report Of Indonesian Renal Registry
2012. Program Indonesia Renal Registry, 12–13.
https://doi.org/10.2215/CJN.02370316
Korwil, P., & Barat, J. (n.d.). Antikoagulan pada hemodialisis : peranan Low
Molecular Weight Heparin ( LMWH ) RS Hasan Sadikin-FK Unpad
Bandung.
Moorhead, S., Marion, J., Maas, M. L., & Elizabeth, S. (2013). Nursing Outcones
Classification (NOC). (I. Nurjannah & R. D. Tumanggor, Eds.) (Edisi Keli).
United Kingdom: Elsevier.
PERNEFRI. (2011). 4 th Report Of Indonesian Renal Registry 2011 4 th Report
Of Indonesian Renal Registry 2011, 13–15.
Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI. (2017). Situasi Penyakit Ginjal Kronis.
InfoDATIN.

45
Rose, D. A., Sonaike, E., & Hughes, K. (2013). Hemodialysis access. Surgical
Clinics of North America (Vol. 93). Retrieved from
http://www.embase.com/search/results?
subaction=viewrecord&from=export&id=L52645006%5Cnhttp://dx.doi.org/
10.1016/j.suc.2013.05.002
Scholz, H. (2015). Arteriovenous Access Surgery. https://doi.org/10.1007/978-3-
642-41139-7
Smeltzer, Suzanne C., Bare, Brenda G., Hinkle, Janice L., Cheever, K. H. (2013).
Brunner & Suddarth Textbook of Medical Surgical Nursing.
Smeltzer, S. C., Hinkle, J. L., Bare, B. G., & Cheever, K. H. (2010). BRUNNER
& SUDDATH’S Textbook of Medical-Surgical Nursing (Twelfth Ed).
Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins.
Sudoyo, A.W., Sutiyahadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., &Setiati, S. (2009).
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (v (jilid I). Jakarta: Internal Publishing.
Suharyato, T., & Abdul Madjid. (2009). Asuhan Keperawatan Pada Klien
Dengan Gangguan Sistem Perkememihan. (Agung Wijaya, Ed.). Jakarta:
CV. Trans Info Media.

46

Anda mungkin juga menyukai