Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN PENDAHULUAN

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)


DI RUANG HEMODIALISA RSUD dr SAIFUL ANWAR MALANG

Disusun untuk memenuhi Tugas Kepaniteraan Departemen Medikal

Oleh :
DYAN EKA RIYANTO PUTRA
150070300113005

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL
DENGAN GAGAL GINJAL KRONIK (CKD) DI RUANG 28
RSUD Dr. SYAIFUL ANWAR MALANG
Disusun oleh :
DYAN EKA RIYANTO PUTRA
150070300113005
Kelompok 20

Telah diperiksa kelengkapannya pada :


Hari :
Tanggal :
Dan dinyatakan memenuhi kompetensi

Mengetahui,
Perseptor Klinik
Akademik

.............................................
NIP.

Perseptor

.............................................
NIP.

Kepala Ruang 28
RSUD Dr. Syaiful Anwar Malang

.........................................................
NIP.

1. Definisi Gagal Ginjal Kronik


Gagal ginjal kronis adalah kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan
metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur
ginjal yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa metabolit (toksik
uremik) di dalam darah. Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu
mengangkut sampah metabolik tubuh atau melakukan fungsi regulasinya.
Suatu bahan yang biasanya dieliminasi di urin menumpuk dalam cairan tubuh
akibat gangguan eksresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin
dan metabolik, cairan, elektrolit serta asam-basa. Gagal ginjal merupakan
penyakit sistemik dan merupakan jalur akhir yang umum dari berbagai peyakit
urinary tract dan ginjal (Arif Muttaqin, 2011)
Gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible
dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner and Suddart, 2002)
Gagal ginjal kronis adalah kerusakan ginjal atau penurunan kemampuan filtrasi
glomerulus (Glomerular Filtration Rate/GFR) yang terjadi selama lebih dari 3
bulan, berdasarkan kelainan patologis atau pertanda kerusakan gagal ginjal
seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit
gagal ginjal kronis ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerolus kurang dari
60ml/menit/1,73 m2 (National Kidney Disease Outcomes Quality Initiative
dikutip dari Arora. 2009)
Gagal ginjal kronis adalah kerusakan ginjal yang progresif yang berakibat fatal
dan ditandai dengan uremia (urea dan limbah nitrogen lainnya beredar dalam
darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan dialysis atau transplantasi ginjal)
(Nursalam dan Fransisca B.B. 2009)

2. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik


Klasifikasi sesuai dengan test kreatinin klien,maka GGK dapat terbagi
menjadi:

100 76 ml/mnt disebut insufiensi ginjal berkurang


75 26 ml/mnt disebut insufiensi ginjal kronik
25 5 ml/mnt disebut GGK


Derajat
A
B
C
D
E
F

<5ml/mnt disebut gagal ginjal terminal

Primer LFG (%)


Normal
50-80
20-50
10-20
5-10
<5

Sekunder Kreatinin (mg%)


Normal
Normal-2,4
2,5-4,9
5-7,9
8-12
>12

Berdasarkan stadiumnya gagal ginjal di bedakan menjadi 3 stadium :


Stadium 1 : penurunan cadangan ginjal (GFR turun 50%)
- Tahap ringan dimana faal ginjal masih bagus
- Asimptomatik
- Kreatinin dan BUN (Blood Urea Nitrogen) dalam batas normal
- Gangguan dapat di lihat dengan : tes pemekatan urin dan GFR teliti
Stadium 2 : insufisiensi ginjal
- Tahap dimana dari 75% jaringan ginjal yang berfungsi telah rusak, yang
terjadi apabila GFR turun menjadi 20-35% dari normal. Nefron-nefron
yang tersisa sangat rentan mengalami kerusakan sendiri karena beratnya
-

beban yang mereka terima.


Kreatinin dan BUN mulai meningkat diatas batas normal (tergantung dari

kadar protein diet pasien)


Nokturia dan poliuria (dapat terjadi karena gagal untuk melakukan

pemekatan urin)
Ada 3 derajat insufisiensi ginjal :
1. Ringan
40% - 80% fungsi ginjal dalam keadaan normal
2. Sedang
15% - 40 % fungsi ginjal normal
3. Berat
<20% fungsi ginjal normal
Stadium 3 : tahap akhir (GGK terminal) atau uremia
GFR menjadi kurang dari 5% dari normal. Hanya sedikit nefron fungsional

yang tersisa (sekitar 90% dari massa nefron telah hancur dan rusak).
Kreatinin dan BUN meningkat sangat mencolok sehingga penurunan fungsi

ginjal.
Gejala parah karena ketidakmapuan ginjal menjaga homeostasis cairan

dan elektrolit tubuh


Oliguria bisa terjadi (output urin kurang dari 500 ml/ hari karena kegagalan

glomerulus)
Uremia terjadi.
Pada seluruh ginjal ditemukan jaringan parut dan atrofi tubulus.

Klasifikasi gagal ginjal kronik berdasarkan nilai laju glomerulus, yaitu stadium
yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah.
(Parazella, 2005)
Tabel Klasifikasi dari GFR (Clarkson, 2005 dan K. K. Zadeh (2011) dan E. Chang
(2010):
Std
0

Deskripsi
Risiko meningkat

Kerusakan

2
3
4
5

normal/meningkat
Penurunan ringan LFG
Penurunan moderat LFG
Penurunan berat LFG
Gagal ginjal

ginjal

LFG (ml/mnt/1,73m2)
>90 dengan faktor
dengan

LFG

risiko
>90
60-89
30-59
15-29
<15 dan dialisis

Pengukuran nilai GFR untuk menentukan tahapan PGK yang paling akurat
adalah dengan menggunakan Chronic Kidney Disease Epidemiology Collaburation
(CKD-EPI) dibanding dengan model Modification of Diet in Renal Disease (MDRD)
atau dengan rumus Cockcroft-Gault (Michels, Grootendorst & Verduijn, 2010).
Praktek pengukuran GFR untuk menentukan tahapan PGK yang sering digunakan
adalah menggunakan rumus Cockcroft-Gault. Adapun rumus dari Cockcroft-Gault
dalam Ahmed & Lowder (2012) adalah :
Rumus Cockcroft-Gault untuk laki-laki :
GFR = (140-umur) x BB
72 x serum Creatin
Sedangkan untuk wanita adalah :
GFR = (140-umur) x BB x 0,85
72 x serum Creatin
Klasifikasi GGK (Tryani, 2005)
Stadium 1

Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik


Kelainan ginjal dengan albuminuria persisten dan LFG

Stadium 2

yang masih normal >90ml/menit


Kelainan ginjal dengan albuminuria persisten dan LFG

(ringan)
Stadium

antara 60-89 ml/menit


Kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 ml/menit

(sedang)
Stadium 4

Kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29 ml/menit

(berat)
Stadium 5

Kelainan ginjal dengan LFG antara 15 ml/menit

(terminal)

Klasifikasi atas dasar diagnosis dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu
penyakit ginjal diabetis seperti penyakit diabetes tipe 1 dan tipe 2,
penyakit ginjal nondiabetis seperti penyakit glomerular, penyakit vascular
(penyakit pembuluh darah besar, hipertensi dan mikroangiopati), penyakit
tubulointerstitial (infeksi saluran kemih, batu obstruksi dan toksisitas obat), penyakit

kistik
penyakit pada transplantasi seperti penyakit rejeksi kronis, keracunan obat,
penyakit recurren, transplantasi glomerulopathy (Suhardjono, 2003 dikutip dari
Susalit). Krause (2009) menambahkan bahwa penyebab dari gagal ginjal kronik
sangat beragam. Pengetahuan akan penyebab yang mendasari penyakit penting
diketahui karena akan menjadi dasar dalam pilihan pengobatan yang diberikan.
Penyebab gagal ginjal tersebut diantaranya meliputi :
a. Penyebab dengan frekuensi paling tinggi pada usia dewasa serta anak-anak
adalah glomerulonefritis dan nefritis interstitial.
b.

Infeksi kronik dari traktus urinarius (menjadi penyebab

semua golongan

usia).
c. Gagal ginjal kronik dapat pula dialami ana-anak yang menderita kelainan
kongenital seperti hidronefrosis kronik yang mengakibatkan bendungan pada
aliran air kemih atau air kemih mengalir kembali dari kandung kemih.
d.

Adanya kelainan kongenital pada ginjal.

e. Nefropati herediter.
f.

Nefropati diabetes dan hipertensi umumnya menjadi penyebab pada usia


dewasa.

g. Penyakit polisistik, kelainan pembuluh darah ginjal dan nefropati analgesik


tergolong penyebab yang sering pula.
h. Pada beberapa daerah, gangguan ginjal terkait dengan HIV menjadi
penyebab yang lebih sering.
i.

Penyakit yang tertentu seperti glomerulonefritis pada penderita transplantasi


ginjal. Tindakan dialisis merupakan pilihan yang tepat pada kondisi ini.

j.

Keadaan yang berkaitan dengan individu yang mendapat obat imunosupresif


ringan

sampai

sedang

karena

menjalani

transplantasi

ginjal.

Obat

imunosupresif selama periode atau masa transisi setelah transplantasi ginjal


yang diberikan untuk mencegah penolakan tubuh terhadap organ ginjal yang
dicangkokkan menyebabkan pasien beresiko menderita infeksi, termasuk
infeksi virus seperti herpes zoster.
3. EPIDEMIOLOGI
Menurut United State Renal Data System (USRDS, 2008) di Amerika Serikat
prevalensi penyakit gagal ginjal kronis meningkat sebesar 20-25% setiap tahunnya.
Di Kanada insiden penyakit gagal ginjal tahap akhir meningkat rata-rata 6,5 % setiap
tahun (Canadian Institute for Health Information (CIHI), 2005), dengan peningkatan
prevalensi 69,7 % sejak tahun 1997 (CIHI, 2008). Sedangkan di Indonesia prevalensi
penderita gagal ginjal hingga kini belum ada yang akurat karena belum ada data yang
lengkap mengenai jumlah penderita gagal ginjal kronis di Indonesia. Tetapi
diperkirakan, bahwa jumlah penderita gagal ginjal di Indonesia semakin meningkat.
WHO memperkirakan di Indonesia akan terjadi peningkatan penderita gagal ginjal
antara tahun 1995-2025 sebesar 41,4%. Berdasarkan data dari Yayasan Ginjal
Diatras Indonesia (YGDI) RSU AU Halim Jakarta pada tahun 2006 ada sekitar
100.000 orang lebih penderita gagal ginjal di Indonesia.
4. PATOFISIOLOGI (terlampir)
Menurut Smeltzer, dan Bare (2001) proses terjadinya CKD adalah akibat dari
penurunan fungsi renal, produk akhir metabolisme protein yang normalnya
diekresikan kedalam urin tertimbun dalam darah sehingga terjadi uremia yang
mempengarui sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka setiap
gejala semakin meningkat. Sehingga menyebabkan gangguan kliren renal. Banyak
masalah pada ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah glomerulus yang

berfungsi, sehingga menyebabkan penurunan klirens subtsansi darah yang


seharusnya dibersihkan oleh ginjal.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dapat dideteksi dengan mendapatkan
urin 24 jam untuk pemeriksaaan kliren kreatinin. Menurunya filtrasi glomelurus atau
akibat tidak berfungsinya glomeluri klirens kreatinin. Sehingga kadar kreatinin serum
akan meningkat selain itu, kadar nitrogen urea darah (NUD) biasanya meningkat.
Kreatinin serum merupakan indikator paling sensitif dari fungsi renal karena substansi
ini diproduksi secara konstan oleh tubuh. NUD tidak hanya dipengarui oleh penyakit
renal tahap akhir, tetapi juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme dan
medikasi seperti steroid.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) juga berpengaruh pada retensi cairan dan
natrium. Retensi cairan dan natrium tidak terkontol dikarenakan ginjal tidak mampu
untuk mengonsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal pada penyakit
ginjal tahap akhir, respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan
elektrolit sehari-hari tidak terjadi. Natrium dan cairan sering tertahan dalam tubuh
yang meningkatkan resiko terjadinya oedema, gagal jantung kongesti, dan hipertensi.
Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis renin angiotensin dan kerjasama
keduanya meningkatkan sekresi aldosteron. Pasien lain mempunyai kecenderungan
untuk kehilangan garam, mencetuskan resiko hipotensi dan hipovolemia. Episode
muntah dan diare menyebabkan penipisan air dan natrium, yang semakin
memperburuk status uremik.
Asidosis metabolik terjadi akibat ketidakmampuan ginjal mensekresikan muatan
asam (H+) yang berlebihan. Sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus
ginjal untuk mensekresi amonia (NH) dan mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO3).
Penurunan sekresi fosfat dan asam organik lain juga terjadi. Kerusakan ginjal pada
CKD juga menyebabkan produksi eritropoetin menurun dan anemia terjadi disertai
sesak napas, angina dan keletihan. Eritropoetin yang tidak adekuat dapat
memendekkan usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecenderungan untuk
mengalami perdarahan karena status pasien, terutama dari saluran gastrointestinal
sehingga terjadi anemia berat atau sedang. Eritropoitin sendiri adalah subtansi
normal yang diproduksi oleh ginjal untuk menstimulasi sum-sum tulang untuk
menghasilkan sel darah merah.

Pathway (Terlampir)
5. ETIOLOGI

Kondisi klinis yang memungkinkan dapat mengakibatkan gagal ginjal kronis bisa
disebabkan dari ginjal sendiri dan dari luar ginjal (Arif Muttaqin, 2011) :
1. Penyakit dari Ginjal
Glomerulonefritis
Infeksi kuman: pyelonefritis, ureteritis
Batu ginjal: nefrolitiasis
Kista di Ginjal: polcystis kidney
Trauma langsung pada ginjal
Keganasan pada ginjal
Sumbatan: batu, tumor, penyempitan/struktur.
Penyakit tubulus primer: hiperkalemia primer, hipokalemia kronik, keracunan

logam berat seperti tembaga, dan kadmium.


Penyakit vaskuler: iskemia ginjal akibat kongenital atau stenosis arteri ginjal,

hipertensi maligna atau hipertensi aksekrasi.


Obstruksi: batu ginjal, fobratis retroperi toneal, pembesaran prostat striktur

uretra, dan tumor.


Menurut David Rubenstein dkk. (2007), penyebab GGK diantaranya: Penyakit
ginjal herediter, Penyakit ginjal polikistik, dan Sindrom Alport (terkait
kromosom X ditandai dengan penipisan dan pemisahan membrane basal
glomerulus)

2. Penyakit dari Luar Ginjal


DM, hipertensi, kolesterol tinggi
Dyslipidemia
SLE
TBC paru, sifilis, malaria, hepatitis
Preeklamsi
Obat-obatan
Luka bakar
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai
berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal
polikistik (10%) (Roesli, 2008).
a. Glomerulonefritis : Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit
ginjal yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran
histopatologi tertentu pada glomerulus (Markum, 1998). Berdasarkan sumber
terjadinya

kelainan,

glomerulonefritis

dibedakan

primer

dan

sekunder.

Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri


sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit

sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma
multipel, atau amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006).
Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan
secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan
darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis
(Sukandar, 2006).
b. Diabetes melitus : Menurut American Diabetes Association (2003) dalam
Soegondo (2005) diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya.
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini
dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan.
Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan
sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang
menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang
menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai
kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya
(Waspadji, 1996).
c. Hipertensi: tekanan darah sistolik 140 mmHg dan tekanan darah diastolik 90
mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer, 2001). Berdasarkan
penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau
hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi
sekunder atau disebut juga hipertensi renal (Sidabutar, 1998).
d. Ginjal polikistik: Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan
atau material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat
ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di
medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai
keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling
sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal
polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru
bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat ditemukan
pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih tepat
dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa.
6. FAKTOR RESIKO

Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes mellitus atau
hipertensi, obesitas , perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan dengan riwayat
penyakit diabetes mellitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga. (National
Kidney Foundation, 2009)
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi, antara lain :
Diabetes : Diabetes tipe 2 merupakan penyebab nomor satu. Dengan
mengendalikan kadar gula darah risiko terjadinya kerusakan ginjal dapat dicegah.
Tekanan darah tinggi (hipertensi) : Hipertensi yang berkelanjutan dapat merusak
atau mengganggu pembuluh darah halus dalam ginjal yang lama kelamaan dapat
mengganggu kemampuan ginjal untuk menyaring darah. Dengan menjaga berat
badan tetap ideal, berolahraga teratur, dan menggunakan obat yang sudah
diresepkan

dokter

dapat

membantu

mencegah

atau

memperlambat

perkembangan penyakit ginjal menjadi gagal ginjal.


Mengkonsumsi obat pereda rasa nyeri yang mengandung ibuprofen berlebihan
maupun dalam jangka waktu panjang dapat menyebabkan timbulnya nefritis
intersitialis, yaitu peradangan ginjal yang dapat mengarah pada gagal ginjal. Jika
Anda mengalami gangguan fungsi ginjal dan sedang mengkonsumsi obat secara
rutin, coba konsultasikan ke dokter. Untuk obat baru, konsultasikan dengan dokter
bila Anda mengalami gejala tertentu. Penyalahgunaan obat / zat tertentu
Pemakaian obat terlarang, seperti heroin atau kokain, dapat menyebabkan
kerusakan fungsi ginjal yang dapat mengarah pada gagal ginjal.
Agent : NTA akibat toksik terjadi akibat menelan zat-zat nefrotoksik. Ada banyak
sekali zat atau obat-obat yang dapat merusak epitel tubulus dan menyebabkan
GGA, yaitu seperti : Antibiotik : aminoglikosoid, penisilin, tetrasiklin, amfotersisin
B, sulfonamida, dan lain-lainnya. Obat-obat dan zat kimia lain : fenilbutazon, zatzat anestetik, fungisida, pestisida, dan kalsium natrium adetat. Pelarut organik :
karbon tetraklorida, etilon glikol, fenol, dan metal alkohol. Logam berat : Hg, arsen,
bismut, kadmium, emas, timah, talium, dan uranium. Pigmen heme : Hemoglobin
dan mioglobin
Radang : Penyakit tertentu, seperti glomerulonefritis (radang pada glomerulus/unit
penyaring ginjal) dapat merusak ginjal, sehingga ginjal tidak bisa lagi menyaring
zat-zat sisa metabolisme tubuh. Untuk mengetahui lebih lanjut, biasanya dokter
akan meminta Anda melakukan serangkaian pemeriksaan di laboratorium.
Pekerjaan : Orang-orang yang pekerjaannya berhubungan dengan bahan-bahan
kimia akan dapat mempengaruhi kesehatan ginjal. Bahan-bahan kimia yang
berbahaya jika terpapar dan masuk kedalam tubuh dapat menyebabkan penyakit
ginjal. Misalnya pada pekerja di pabrik atau industri.

Perilaku minum : Air merupakan cairan yang sangat penting di dalam tubuh.
Lebih kurang 68% berat tubuh terdiri dari air. Minum air putih dalam jumlah cukup
setiap hari adalah cara perawatan tubuh terbaik. Air ini sebagai simpanan cairan
dalam tubuh. Sebab bila tubuh tidak menerima air dalam jumlah yang cukup,
tubuh akan mengalami dehidrasi. Di mulai dengan simpanan air tubuh yang
menurunan dapat mengakibatkan gangguan kesehatan. Organ-organ tubuh yang
vital juga sangat peka terhadap kekurangan air, salah satunya adalah ginjal. Ginjal
tidak dapat berfungsi dengan baik bila tidak cukup air. Pada proses penyaringan
zat-zat racun, ginjal melakukannya lebih dari 15 kali setiap jam, hal ini
membutuhkan jumlah air yang banyak sebelum diedarkan ke dalam darah. Bila
tidak cukup cairan atau kurang minum, ginjal tidak dapat bekerja dengan
sempurna maka bahan-bahan yang beredar dalam tubuh tidak dapat dikeluarkan
dengan baik sehingga dapat menimbulkan keracunan darah dan menyebabkan
penyakit ginjal.
Environment : Cuaca panas dapat mempengaruhi terjadinya penyakit ginjal. Jika
seseorang bekerja di dalam ruangan yang bersuhu panas, hal ini dapat
mempengaruhi kesehatan ginjalnya. Yang terjadi adalah berkurangnya aliran atau
peredaran darah ke ginjal dengan akibat gangguan penyediaan zat-zat yang
diperlukan oleh ginjal dan pada ginjal yang rusak hal ini akan membahayakan
Beberapa faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, adalah:
Riwayat Keluarga Penyakit Ginjal : Jika ada anggota keluarga menderita GGK,
atau yang sedang menjalani dialisis, atau transplantasi ginjal, Anda memiliki risiko
mengalami penyakit ini. Salah satu jenis penyakit yang bersifat diturunkan adalah
penyakit ginjal polikistik, yaitu penyakit ketika jaringan normal ginjal secara
perlahan digantikan oleh kista-kista berisi cairan.
Kelahiran Premature : Bayi prematur (lahir kurang dari 32 minggu kehamilan)
berisiko memiliki penumpukan endapan kalsium di bagian nefron ginjal, yang
dikenal dengan nefrokalsinosis. Hal ini mungkin disebabkan oleh menurunnya
kemampuan menghambat proses penggumpalan kristal akibat beban kalsium
yang disaring meningkat dan ekskresi sitrat berkurang. Bila tidak diatasi, bayi yang
memiliki kondisi seperti ini memiliki risiko untuk menderita gangguan fungsi ginjal
di kemudian hari.
Usia : Seiring dengan pertambahan usia, fungsi ginjal pun dapat menurun. Usia
penderita gagal ginjal berkisar antara 40-50 tahun, tetapi hampir semua usia dapat
terkena penyakit ini. Menurut penelitian D.W. Bates penyakit gagal ginjal paling
banyak pada penderita yang berumur 45 tahun.

Jenis kelamin : Kejadian pada laki-laki dan wanita hampir sama. Menurut
penelitian Orfeas Liangas dkk (2001), dari 558.032 penderita gagal ginjal 51,8%
adalah laki-laki, sedangkan perempuan sebesar 48,2%.
Ras/etnik : (African-American, Hispanic, American Indian,Asian)
Trauma atau Kecelakaan : Kecelakaan, cedera, beberapa jenis operasi, juga
dapat mengganggu atau merusak ginjal.
Jenis Penyakit Tertentu dapat meningkatkan risiko terjadinya GGK. Penyakit ini
antara lain penyakit lupus, anemia sel sabit (sickle cell anemia), kanker, AIDS,
hepatitis C dan gagal jantung berat. (Bahan dari Koesh-Bandung)
7. MANIFESTASI KLINIS
Gejala menurut (Long,1996 : 369)
Gejala dini : lethargi,sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan
berkurang,mudah tersinggung, depresi
Gejala yg lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah,nafas dangkal
Gejala berdasarkan organ yang terkena, antara lain:
1. Kardiovaskuler: Hipertensi,nyeri dada, gagal jantung kongesti,

edema

pulmoner,perikarditis, Pitting edema (kaki, tangan, sacrum), edema periorbital,


friction rub pericardial, pembesaran vena leher (peningkatan JVP)
2. Dermatologi : Warna kulit abu-abu mengkilat, pucat,kulit kering bersisik,
pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar
3. Pulmoner : Krekels, sputum kental dan liat, nafas dangkal, dan pernafasan
kussmaul
4. Gastrointestinal : Anoreksia, mual, muntah, cegukan, nafas berbau ammonia,
Ulserasi,perdarahan mulut, konstipasi, diare, perdarahan saluran cerna.
5. Neurologi : Tidak mampu konsentrasi, kelemahan, keletihan, perubahan tingkat
kesadaran, disorientasi, kejang, rasa panas pada telapak kaki, perubahan
perilaku
6. Muskuloskeletal : Keram otot, kekuatan otot hilang, pegal kaki sehingga selalu
digerakkan (kesemutan dan terbakar, terutama di telapak kaki), tremor, miopati
(kelemahan dan hipertrofi otot-otot ekstremitas)
7. Endokrin: gangguan seksualitas, libido fertilisasi dan ereksi menurun, gangguan
menstruasi dan aminore, gangguan metabolik glukosa, lemak dan vitamin D
8. Persendian : Gout, pseudogout, kalsifikasi ekstra tulang
9. Kelainan mata : Azotemia ameurosis, retinopati, nistagmus, miosis dan pupil
asimetris, red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi, Keratopati
mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronis akibat penyulit
hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
10. Sistem hematologi : Kelainan hemopoeisis, Anemia normokrom normositer dan
normositer (MCV 78-94 CU), Kelelahan dan lemah karena anemia atau
akumulasi substansi buangan dalam tubuh.

Perdarahan karena mekanisme

pembekuan darah yang tidak berfungsi. Selain itu hemopoesis dapat terjadi
karena berkurangnya produksi eritropoitin, hemolisis, defisiensi besi
11. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam basa: Biasanya retensi
garam dan air tetapi dapat juga kehilangan natrium, asidosis, hiperkalemia,
hipomagnesia, hipokalsemia
12. Farmakologi : Obat-obatan yang diekskresi oleh ginjal
13. Gejala lain : Gangguan pengecapan, berat badan turun dan lesu, gatal-gatal,
gangguan tidur, cairan diselaput jantung dan paru-paru, otot-otot mengecil,
Gerakan-gerakan tak terkendali, kram, Sesak nafas dan confusion, Perubahan
berkemih : Poliuria, nokturia, oliguria
8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIKA
Pemeriksaan Laboratorium
Laju endap darah: meninggi yang diperberat oleh adanya anemia dan

hipoalbuminemia
Hiponatremia: umumnya karena kelebihan cairan
Hiperkalemia: biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut bersama dengan

menurunnya diuresis
Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia: umumnya disebabkan gangguan

metabolisme dan diet rendah protein


Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolisme karbohidrat pada gagal

ginjal, (resistensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan perifer)


Asidosis metabolik dengan kompensasi respirasi menunjukkan pH yang
menurun, HCO3 yang menurun, PCO2 yang menurun, semuanya disebabkan

retensi asam-basa organik pada gagal ginjal.


Ht: menurun karena pasien mengalamii anemia Hb < 7-8 gr/dl
BUN/Kreatinin : meningkat, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahap akhir. Rasio

BUN dan kreatinin = 12:1 20:1


GDA: asidosis metabolic, PH <7,2
Protein albumin
: menurun
Natrium serum: rendah, Nilai normal 40-220 mEq/l/hari tergantung berapa

banyak cairan dan garam yang dikonsumsi.


Kalium, magnesium : meningkat
Kalsium
: menurun
Pemeriksaan Urin
Volume : biasanya < 400-500ml/24 jam atau bahkan tidak ada urin (anuria)
Warna : secara abnormal urin keruh kemungkinan disebabkan oleh zat yang
tidak terreabsorbsi maksimal atau terdiri dari pus, bakteri, lemak, fosfat atau

urat sedimen kotor, kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb, mioglobin.


Berat jenis : < 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal tubular
Klirens kreatinin : mungkin menurun.

Natrium : > 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium.


Protein : derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkan kerusakan

glumerulus bila SDM dan fragmen juga ada.


Osmolalitas: < 350 mOsm/kg, rasio urin/serum = 1:1

Pemeriksaan Radiologi: ditujukan untuk menilai keadaan ginjal dan menilai


derajat dari komplikasi yang terjadi
a. USG: untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal, kepadatan
parenkim ginjal, anatomi sistem pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih
serta prostat.
b. IVP (Intra Vena Pielografi): untuk menilai sistem pelviokalises dan ureter.
Pemeriksaan ini mempunyai resiko penurunan faal ginjal pada keadaan
tertentu, misalnya: usia lanjut, DM dan nefropati Asam urat.
c. Foto Polos Abdomen : untuk menilai bentuk dan besar ginjal dan apakah ada
batu atau obstruksi lain. Foto polos yang disertai dengan tomogram
memberikan hasil keterangan yang lebih baik.Dehidrasi akan memperburuk

keadaan ginjal oleh sebab itu penderita diharapkan tidak puasa.


Endoskopi : untuk menentukkan pelvis ginjal, batu, hematuria, dan

pengangkatan tumor selektif


d. Renogram: untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari gangguan
(vaskuler, parenkim, eksresi), serta sisa fungsi ginjal.
e. EKG : untuk mengetahui kemungkinan hipertropi ventrikel kiri dan kanan,
f.

tanda-tanda perikarditis, disritmia, gangguan elektrolit.


Renal anterogram : mengkaji terhadap sirkulasi ginjal dan ekstravaskularisasi

serta adanya masa.


g. Rotgen thorak : mengetahui tanda-tanda kardiomegali dan odema paru.
Pemeriksaan Patologi Anatomi
Biopsy ginjal : Dilakukan bila ada keraguan diagnostic gagal ginjal kronik atau
perlu diketahui etiologi daru penyakit ini
9. PENATALAKSANAAN MEDIS
a. Terapi konservatif : tujuannya mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan
cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).

Peranan Diet: 1) Mencapai dan mempertahankan status gizi optimal dengan


memperhitungkan sisa fungsi ginjal, agar tidak memberatkan kerja
ginjal.2)Mencegah dan menurunkan kadar ureum darah yang tinggi
(uremia).3)Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.4)Mencegah atau
mengurangi progresifitas gagal ginjal, dengan memperlambat turunnya laju

filtrasi glomerulus (Almatsier, 2006). Terapi diet rendah protein (DRP)


menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi
untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan
negatif nitrogen. Protein rendah, yaitu 0,6 0,75 gr/kg BB. Sebagian harus
bernilai biologik tinggi.Lemak cukup, yaitu 20-30% dari kebutuhan total
energi, diutamakan lemak tidak jenuh ganda. Karbohidrat cukup, yaitu :
kebutuhan

energi

total

dikurangi

yang

berasal

dari

protein

dan

lemak.Natrium dibatasi apabila ada hipertensi, edema, acites, oliguria, atau


anuria, banyak natrium yang diberikan antara 1-3 g. Kalium dibatasi (60-70
mEq) apabila ada hiperkalemia (kalium darah > 5,5 mEq), oliguria, atau
anuria.

Kebutuhan Jumlah Kalori: untuk GGK harus adekuat dengan tujuan


utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara

status nutrisi dan memelihara status gizi. Energi cukup yaitu 35 kkal/kg BB.
Kebutuhan Cairan: Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus
adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari. Cairan dibatasi yaitu
sebanyak jumlah urine sehari ditambah dengan pengeluaran cairan melalui

keringat dan pernapasan (500 ml).


Kebutuhan Elektrolit dan Mineral: bersifat individual tergantung dari LFG

dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).


Vitamin cukup, bila perlu berikan suplemen piridoksin, asam folat, vitamin

C, vitamin D.
b. Terapi Simtomatik
Asidosis Metabolic: harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera

diberikan intravena bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L.


Anemia: Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah
satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi

darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.


Keluhan Gastrointestinal: Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan
keluhan yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini
merupakan keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal
yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang
harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan
simtomatik.

Kelainan kulit : Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis

keluhan kulit.
Kelainan neuromuskular: Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu
terapi hemodialisis regular yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal

paratiroidektomi.
Hipertensi : Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
Kelainan sistem kardiovaskular : Tindakan yang diberikan tergantung dari

kelainan kardiovaskular yang diderita.


c. Terapi Medis
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis,
dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal .

Dialisis : Dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal yang serius
seperti

hiperkalemia,

perikarditis,

dan

kejang.

Dialysis

memperbaiki

abnormalitas biokimia, menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat


dikonsumsi secara bebas, menghilangkan kecenderungan perdarahan, dan
membantu penyembuhan luka. Dialisis adalah suatu proses difusi zat terlarut
dan air secara pasif melalui suatu membran berpori dari suatu kompartemen
cair menuju kompartemen cair lainnya. Terdapat dua teknik yang digunakan
dalam dialisis, yaitu :
Hemodialisis adalah suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan
cairan atau produk limbah karena dalam tubuh penderita gagal ginjal tidak
mampu melaksanakan proses tersebut (Brunner&Suddarth, 2002).
Menurut corwin (2000), hemodialisis adalah dialisa yang dilakukan di luar
tubuh. Selama hemodialisa darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah
kateter masuk kedalam sebuah mesin yang dihubungkan dengan sebuah
membran semipermeable (dializer) yang terdiri dari dua ruangan. Satu
ruangan dialirkan darah dan ruangan yang lain dialirkan dialisat, sehingga
keduanya terjadi difusi. Setelah darah dilakukan pembersihan oleh
dializer darah dikembalikan ke dalam tubuh melalui arterio venosa shunt
(AV-shunt). Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah
gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh
terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan
memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu
indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam
indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik,

bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan


diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic
Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu
LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m, mual, anoreksia, muntah, dan
astenia berat. Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan
sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan.
Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya
adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney).
Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi
sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal.
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa
antara lain :
a. Menggantikan

fungsi

ginjal

dalam

fungsi

eksresi,

yaitu

membuang sisa-sisa metabolisme (ureum, kreatinin, dll).


b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh
yang seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat
c. Meningkatan kualitas hidup klien yang menderita penurunan
fungsi ginjal.

Dialisis peritoneal merupakan alternatif hemodialisa pada penanganan


gagal ginjal akut dan kronis. Pengobatan ini jarang dipakai untuk jangka
panjang. Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi
medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65
tahun),

pasien-pasien

kardiovaskular,

yang

telah

menderita

pasien-pasien

yang

cenderung

penyakit
akan

sistem

mengalami

perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting,


pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual
urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan
co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat
intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang
jauh dari pusat ginjal.

Koreksi Hiperkalemi : Mengendalikan kalium darah sangat penting karena


hiperkalemi dapat menimbulkan kematian mendadak. Hal yang pertama diingat
jangan menimbulkan hiperkalemia. Bila terjadi hiperkalemia, maka obati dengan
mengurangi intake kalium, pemberian Na Bikarbonat, dan pemberian infuse

glukosa.
Koreksi Anemia: Usaha pertama harus dilakukan untuk mengatasi factor
defisiensi, kemudian mencari apakah ada perdarahan yang mungkin dapat
diatasi. Pengendalian gagal ginjal pada keseluruhan akan dapat meninggikan
Hb. Tranfusi darah hanya dapat diberikan bila ada indikasi kuat, misalnya:

insufisiensi koroner.
Koreksi Asidosis: Pemberian makanan dan obat harus dihindari. Natrium
Bikarbonat dapat diberikan peroral atau parenteral. Pada permulaan 100 mEq
natrium bikarbonat diberi intravena perlahan-lahan. Jika diperlukan dapat

diulang. Hemodialisis dan dialysis peritoneal juga dapat mengatasi asidosis.


Pengendalian Hipertensi : Pemberian obat Beta-Blocker, Alpa Metildopa, dan
vasodilator dilakukan. Mengurangi intake garam dan mengendalikan hipertensi

harus hati-hati karena tidak sama gagal ginjal disertai retensi natrium.
Transplantasi Ginjal: Dengan pencangkokan ginjal yang sehat ke pasien
GGK, maka seluruh faal ginjal diganti oleh ginjal baru. Pertimbangan program
transplantasi ginjal :
Cangkok ginjal dapat mengambil alih seluruh 100% fungsi dan faal ginjal
Kualitas hidup normal kembali
Survival rate meningkat
Komplikasi (biasanya dapat di antisipasi) terutama berhubungan dengan

obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan.


Tindakan standar adalah dengan merotasi ginjal donor dan meletakkan pada
fosa

iliaka

kontralateral

resipien.

Ureter

kemudian

lebih

mudah

beranastomosis atau berimplantasi kedalam kemih resipien. Arteri renalis


berimplantasi pada arteri iliaca interna dan vena renalis beranastomosis
dengan vena iliaca komunis atau eksterna.

Terapi Obat
hindari antacids or laxatives magnesium to prevent magnesium toxicity.
antipruritics, such as diphenhydramine (Benadryl)
vitamin supplements (particularly B vitamins and vitamin D)
loop diuretics, such as furosemide (if some renal function remains), along
with fluid restriction to reduce fluid retention
digoxin (Lanoxin) to mobilize edema fluids
antihypertensives to control blood pressure and associated edema
antiemetics taken before meals to relieve nausea and vomiting
famotidine (Pepcid) or nizatidine (Axid) to decrease gastric irritation.
Penatalaksanaan Menurut Derajat CKD
Derajat

LFG
(ml/mnt/1,873 m2)

>90

60-89

30-59

15-29

<15

Perencanaan
Penatalaksanaan Terapi
Dilakukan terapi pada penyakit dasarnya,
kondisi

kormobid,

evaluasi

perburukan

(progresion) fungsi ginjal, memperkecil risiko


kardiovaskuler.
Menghambat perburukan (progresion) fungsi
ginjal
Mengevaluasi dan melakukan terapi pada
komplikasi
Persiapan untuk pengganti ginjal (dialisis)
Dialysis
dan
mempersiapkan
terapi
penggantian ginjal (transplantasi ginjal)

10. KOMPLIKASI
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami beberapa
komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001) serta Suwitra
(2006) antara lain adalah :

a. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, katabolisme, dan


masukan diit berlebih.
b. Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiotensin aldosteron. Tekanan Darah Tinggi. Karena salah satu fungsi ginjal
adalah mengatur tekanan darah,maka anda bisa mengalami tekanan darah
tinggi ketika terjadi gangguan kronis dari fungsi ginjal. Selanjutnya kondisi
demikian akan mempercepat peningkatan risiko penyakit jantung.
d. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
e. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.

kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik.


Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.
Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
Hiperparatiroid dan Hiperfosfatemia.
Anemia
Perdarahan
Neuropati perifer
Esofagitis, Pankreatitis, Infeksi
Hipertrofi ventrikel kiri
Kardiomiopati dilatasi, Oateodistrofi
Penyakit Jantung. Ketika anda mengalami GGK, maka anda sangat berisiko
terkena penyakit jantung. Dan dilaporkan lebih dari separuhkematian pada
orang dengan GGK berasal dari adanya penyakit jantung ini. Serangan Jantung
dan Stroke. Penyakit jantung dan pembuluh darah merupakan penyebab utama
kematian lebih dr 20 juta org di Amerika Serikat yang menderita GGK.
Penderita dg GGK memiliki risiko lebih tinggi utk mengalami serangan jantung
atau stroke, bahkan pada penderita yg masih pada stadium awal atau ringan

sekalipun.
q. Perubahan Kulit. Ketika fungsi ginjal anda terganggu, akan tjd endapan garam
kalsium-fosfat di bawah kulit hingga menimbulkan rasa gatal. Rasa gatal ini
secara alamiah anda akan menggaruknya, hingga kadang2 sampai terluka dan
terinfeksi. Proses ini tidak kunjung membaik hingga keindahan kulit menjadi
r.

rusak, bahkan terkesan kotor & berubah seperti kulit jagung (kasar & kering)
Kematian. Risiko kematian pada penderita GGK cukup tinggi. Dalam kejadian di
lapangan, kematian sering diawali dengan sesak nafas, atau kejang otot
jantung, atau tidak sadarkan diri, atau infeksi berat sebelumnya.

11. PENCEGAHAN
Pencegahan Primer : Pengaturan diet protein, menghindari obat netrotoksik,
menghindari kontak radiologik yang tidak amat perlu, mencegah kehamilan
pada penderita yang berisiko tinggi, konsumsi garam sedikit. makin tinggi
konsumsi garam, makin tinggi pula kemungkinan ekskresi kalsium dalam air
kemih yang dapat mempermudah terbentuknya kristalisasi ikatan kalsium urat
oleh sodium.
Pencegahan Sekunder : berupa penatalaksanaan konservatif yang terdiri atas
pengobatan

penyakit-penyakit

co

morbid

(penyakit

penyerta)

untuk

menghambat progresifitas dan persiapan pengobatan pengganti yang terdiri


dari dialisis dan transplantasi ginjal. Pengobatan Konservatif : memanfaatkan

faal ginjal yang masih ada, menghilangkan berbagai faktor pemberat, dan bila
mungkin memperlambat progresivitas gagal
Pengaturan diet kalium, natrium dan cairan
Diet rendah kalium .Asupan kalium dikurangi, diet yang dianjurkan adalah 40-80
mEq/hari. Penggunaan makanan dan obat-obatan yang tinggi kadar kaliumnya
dapat menyebabkan hiperkalemia. Selain itu,Diet rendah natrium Diet Na yang
dianjurkan adalah 40-90 mEq/hari (1-2 gr Na). Dapat mengakibatkan retensi
cairan, edema perifer, edema paru, hipertensi gagal jantung kongestif.
Pengaturan cairan Asupan yang bebas dapat menyebabkan beban sirkulasi
menjadi berlebihan, dan edema. Sedangkan asupan yang terlalu rendah
mengakibatkan dehidrasi, hipotensi dan gangguan fungsi ginjal
Pencegahan Tersier : upaya mencegah terjadinya komplikasi yang lebih berat
atau kematian, tidak hanya ditujukan kepada rehabilitasi medik tetapi juga
menyangkut rehabilitasi jiwa. Pencegahan tersier bagi penderita GG dapat
berupa: mengurangi stress, menguatkan sistem pendukung sosial atau
keluarga untuk mengurangi pengaruh tekanan psikis pada penyakit GGK,
meningkatkan aktivitas sesuai toleransi, hindari imobilisasi karena hal tersebut
dapat meningkatkan demineralisasi tulang, meningkatkan kepatuhan terhadap
program

terapeutik,

mematuhi

program

diet

yang

dianjurkan

untuk

mempertahankan keadaan gizi yang optimal agar kualitas hidup dan rehabilitasi
dapat dicapai.
ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian fokus yang disusun berdasarkan pada Gordon dan mengacu pada
Doenges (2001), serta Carpenito (2006) sebagai berikut :
1. Demografi.
Penderita CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada juga yang
mengalami CKD dibawah umur tersebut yang diakibatkan oleh berbagai hal seperti
proses pengobatan, penggunaan obat-obatan dan sebagainya. CKD dapat terjadi pada
siapapun, pekerjaan dan lingkungan juga mempunyai peranan penting sebagai pemicu
kejadian CKD. Karena kebiasaan kerja dengan duduk / berdiri yang terlalu lama dan
lingkungan yang tidak menyediakan cukup air minum / mengandung banyak senyawa /
zat logam dan pola makan yang tidak sehat.
2. Riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti DM, glomerulo
nefritis, hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme, obstruksi saluran kemih, dan traktus
urinarius bagian bawah juga dapat memicu kemungkinan terjadinya CKD.

3. Pengkajian pola fungsional Gordon


a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan pasien
Gejalanya adalah pasien mengungkapkan kalau dirinya saat ini sedang sakit parah.
Pasien juga mengungkapkan telah menghindari larangan dari dokter. Tandanya adalah
pasien terlihat lesu dan khawatir, pasien terlihat bingung kenapa kondisinya seprti ini
meski segala hal yang telah dilarang telah dihindari.
b. Pola nutrisi dan metabolik.
Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam kurun waktu 6
bulan. Tandanya adalah anoreksia, mual, muntah, asupan nutrisi dan air naik atau
turun.
c. Pola eliminasi
Gejalanya adalah terjadi ketidak seimbangan antara output dan input. Tandanya
adalah penurunan BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi peningkatan suhu dan
tekanan darah atau tidak singkronnya antara tekanan darah dan suhu.
d. Aktifitas dan latiHan.
Gejalanya adalah pasien mengatakan lemas dan tampak lemah, serta pasien tidak
dapat menolong diri sendiri. Tandanya adalah aktifitas dibantu.
e. Pola istirahat dan tidur.
Gejalanya adalah pasien terliat mengantuk, letih dan terdapat kantung mata. Tandanya
adalah pasien terliat sering menguap.
f. Pola persepsi dan koknitif.
Gejalanya penurunan sensori dan rangsang. Tandanya adalah penurunan kesadaran
seperti ngomong nglantur dan tidak dapat berkomunikasi dengan jelas.
g. Pola hubungan dengan orang lain.
Gejalanya pasien sering menghindari pergaulan, penurunan harga diri sampai
terjadinya HDR (Harga Diri Rendah). Tandanya lebih menyendiri, tertutup, komunikasi
tidak jelas.
h. Pola reproduksi
Gejalanya penurunan keharmonisan pasien, dan adanya penurunan kepuasan dalam
hubungan. Tandanya terjadi penurunan libido, keletihan saat berhubungan, penurunan
kualitas hubungan.
i. Pola persepsi diri.
Gejalanya konsep diri pasien tidak terpenuhi. Tandanya kaki menjadi edema, citra diri
jauh dari keinginan, terjadinya perubahan fisik, perubahan peran, dan percaya diri.

j. Pola mekanisme koping.


Gejalanya emosi pasien labil. Tandanya tidak dapat mengambil keputusan dengan
tepat, mudah terpancing emosi.
k. Pola kepercayaan.
Gejalanya pasien tampak gelisah, pasien mengatakan merasa bersalah meninggalkan
perintah agama. Tandanya pasien tidak dapat melakukan kegiatan agama seperti
biasanya.
5. Pengkajian fisik
a. Penampilan / keadaan umum.
Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran pasien dari
compos mentis sampai coma.
b. Tanda-tanda vital.
Tekanan darah naik, respirasi riet naik, dan terjadi dispnea, nadi meningkat dan
reguler.
c. Antropometri.
Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan nutrisi, atau terjadi
peningkatan berat badan karena kelebian cairan.
d. Kepala.
Rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat kotoran telinga, hidung
kotor dan terdapat kotoran hidung, mulut bau ureum, bibir kering dan pecah-pecah,
mukosa mulut pucat dan lidah kotor.
e. Leher dan tenggorokan.
Peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada leher.
f. Dada
Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar. Terdapat otot bantu
napas, pergerakan dada tidak simetris, terdengar suara tambahan pada paru (rongkhi
basah), terdapat pembesaran jantung, terdapat suara tambahan pada jantung.
g. Abdomen.
Terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut buncit.
h. Genital.
Kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi, terdapat ulkus.
i. Ekstremitas.
Kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema, pengeroposan tulang, dan
Capillary Refil lebih dari 1 detik.

j. Kulit.
Turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan mengkilat / uremia, dan
terjadi perikarditis.
6. Pemeriksaan penunjang.
a. Pemeriksaan Laboratorium :
1. Urin
a) Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/jam (oliguria), atau urine tidak ada (anuria).
b) Warna : Secara normal perubahan urine mungkin disebabkan oleh pus / nanah,
bakteri, lemak, partikel koloid, fosfat, sedimen kotor, warna kecoklatan menunjukkan
adanya darah, miglobin, dan porfirin.
c) Berat Jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan kerusakan
ginjal berat).
d) Osmolalitas : Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan tubular, amrasio
urine / ureum sering 1:1.
2. Kliren kreatinin mungkin agak menurun.
3. Natrium : Lebih besar dari 40 Emq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi
natrium.
4. Protein : Derajat tinggi proteinuria ( 3-4+ ), secara kuat menunjukkan kerusakan
glomerulus bila sel darah merah (SDM) dan fregmen juga ada.
5. Darah
a) Kreatinin : Biasanya meningkat dalam proporsi. Kadar kreatinin 10 mg/dL diduga
tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5).
b) Hitung darah lengkap : Hematokrit menurun pada adanya anemia. Hb biasanya
kurang dari 7-8 g/dL.
c) SDM (Sel Darah Merah) : Waktu hidup menurun pada defisiensi eritropoetin seperti
pada azotemia.
d) GDA (Gas Darah Analisa) : pH, penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2)
terjadi karena kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksekresi hidrogen dan
amonia atau hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun PCO2 menurun.
e) Natrium serum : Mungkin rendah, bila ginjal kehabisan natrium atau normal
(menunjukkan status dilusi hipernatremia).
f) Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan
selular (asidosis), atau pengeluaran jaringan (hemolisis SDM). Pada tahap akhir ,
perubahan EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 mEq atau lebih besar.

Magnesium terjadi peningkatan fosfat, kalsium menurun. Protein (khuusnya albumin),


kadar serum menurun dapat menunjukkan kehilangan protein melalui urine,
perpindahan cairan, penurunan pemasukan, atau penurunan sintesis karena kurang
asam amino esensial. Osmolalitas serum lebih besar dari 285 mosm/kg, sering sama
dengan urine.
b. Pemeriksaan Radiologi
1. Ultrasono grafi ginjal digunakan untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya masa ,
kista, obtruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
2. Biopsi Ginjal dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan untuk
diagnosis histologis.
3. Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
4. EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa.
5. KUB foto digunakan untuk menunjukkan ukuran ginjal / ureter / kandung kemih dan
adanya obtruksi (batu).
6.

Arteriogram

ginjal

adalah

mengkaji

sirkulasi

ginjal

dan

megidentifikasi

ekstravaskuler, massa.
7. Pielogram retrograd untuk menunjukkan abormalitas pelvis ginjal.
8. Sistouretrogram adalah berkemih untuk menunjukkan ukuran kandung kemih, refluk
kedalam ureter, dan retensi.
9. Pada pasien CKD pasien mendapat batasan diit yang sangat ketat dengan diit tinggi
kalori dan rendah karbohidrat. Serta dilakukan pembatasan yang sangat ketat pula
pada asupan cairan yaitu antara 500-800 ml/hari.
10. pada terapi medis untuk tingkat awal dapat diberikan terapi obat anti hipertensi,
obat diuretik, dan atrapit yang berguna sebagai pengontol pada penyakit DM, sampai
selanjutnya nanti akan dilakukan dialisis dan transplantasi.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan pada masalah CKD menurut Doenges (2001), dan Carpenito
(2006) adalah sebagai berikut :
1. Perubahan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi paru.
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia mual
muntah.
3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan suplai O2 dan nutrisi ke
jaringan sekunder.

4. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluran urin dan retensi
cairan dan natrium
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk sampah
dan prosedur dialisis.
6. Resiko gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan alveolus
sekunder terhadap adanya edema pulmoner.
7. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidak seimbangan cairan
mempengaruhi sirkulasi, kerja miokardial dan tahanan vaskuler sistemik, gangguan
frekuensi, irama, konduksi jantung (ketidak seimbangan elektrolit).
8. Resiko kerusakan intregitas kulit berhubungan dengan akumulasi toksik dalam kulit
dan gangguan turgor kulit atau uremia.
9. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis, akumulasi toksik,
asidosis metabolik, hipoksia, ketidak seimbangan elektrolit, klasifikasi metastatik pada
otak.
INTERVENSI DAN RASIONAL
Intervensi keperawatan pada CKD menurut Doenges (2001), Carpenito (2006) dan,
Smeltzer dan Bare (2001) adalah.
1. Perubahan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi paru.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien menunjukkan pola napas
efektif.
Kriteria hasil : Gas Darah Analisa (GDA) dalam rentang normal, tidak ada tanda
sianosis maupun dispnea, bunyi napas tidak mengalami penurunan, tanda-tanda vital
dalam batas normal (RR 16-24 x/menit).
Intervensi :
a) Kaji fungsi pernapasan klien, catat kecepatan, adanya gerak otot dada, dispnea,
sianosis, dan perubahan tanda vital.
Rasional : Distress pernapasan dan perubahan tada vital dapat terjadi sebagai akibat
dari patofisiologi dan nyeri.
b) Catat pengembangan dada dan posisi trakea
Rasional : Pengembangan dada atau ekspansi paru dapat menurun apabila terjadi
ansietas atau edema pulmonal.
c) Kaji klien adanya keluhan nyeri bila batuk atau napas dalam.
Rasional : Tekanan terhadap dada dan otot abdominal membuat batuk lebih efektif
dan dapat mengurangi trauma.

d) Pertahankan posisi nyaman misalnya posisi semi fowler


Rasional : Meningkatkan ekspansi paru.
e) Kolaborasikan pemeriksaan laboratorium (elektrolit).
Rasional : Untuk mengetahui elektrolit sebagai indikator keadaan status cairan.
f) Kolaborasikan pemeriksaan GDA dan foto thoraks.
Rasional : Mengkaji status pertukaran gas dan ventilasi serta evaluasi dari
implementasi, juga adanya kerusakan pada paru.
g) Kolaborasikan pemberian oksigen pada ahli medis.
Rasional : Menghilangkan distress respirasi dan sianosis.
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
inadekuat, mual, muntah, anoreksia.
Tujuan : Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat.
Kriteria hasil : Pengukuran antropometri dalam batas normal, perlambatan atau
penurunan berat badan yang cepat tidak terjadi, pengukuran albumin dan kadar
elektrolit dalam batas normal, peneriksaan laboratorium klinis dalam batas normal,
pematuhan makanan dalam pembatasan diet dan medikasi sesuai jadwal untuk
mengatasi anoreksia.
Intervensi :
a) Kaji status nutrisi, perubahan berat badan, pengukuran antropometri, nilai
laboratorium (elektrolit serum, BUN, kreatinin, protein, dan kadar besi).
Rasional : Menyediakan data dasar untuk memantau perubahan dan mengevaluasi
intervensi.
b) Kaji pola diet dan nutrisi pasien, riwayat diet, makanan kesukaan, hitung kalori.
Rasional : Pola diet sekarang dan dahulu dapat dipertimbangkan dalam menyusun
menu.
c) Kaji faktor-faktor yang dapat merubah masukan nutrisi misalnya adanya anoreksia,
mual dan muntah, diet yang tidak menyenangkan bagi pasien, kurang memahami diet.
Rasional : Menyediakan informasi mengenai faktor lain yang dapat diubah atau
dihilangkan untuk meningkatkan masukan diet.
d) Menyediakan makanan kesukaan pasien dalam batasan diet.
Rasiomal : Mendorong peningkatan masukan diet.
e) Anjurkan camilan tinggi kalori, rendah protein, rendah natrium, diantara waktu
makan.

Rasional : Mengurangi makanan dan protein yang dibatasi dan menyediakan kalori
untuk energi, membagi protein untuk pertumbuhan dan penyembuhan jaringan.
f) Jelaskan rasional pembatasan diet dan hubungannya dengan penyakit ginjal dan
peningkatan urea serta kadar kreatinin.
Rasional : Meningkatkan pemahaman pasien tentang hubungan antara diet, urea,
kadar kreatinin dengan penyakit renal.
g) Sediakan jadwal makanan yang dianjurkan secara tertulis dan anjurkan untuk
memperbaiki rasa tanpa menggunakan natrium atau kalium.
Rasional : Daftar yang dibuat menyediakan pendekatan positif terhadap pembatasan
diet dan merupakan referensi untuk pasien dan keluarga yang dapat digunakan
dirumah.
h) Ciptakan lingkungan yang menyenangkan selama waktu makan.
Rasional : Faktor yang tidak menyenagkan yang berperan dalam menimbulkan
anoreksia dihilangkan.
i) Timbang berat badan harian.
Rasional : Untuk memantau status cairan dan nutrisi.
j) Kaji bukti adanya masukan protein yang tidak adekuat, pembentukan edema,
penyembuhan yang lambat, penurunan kadar albumin.
Rasional : Masukan protein yang tidak adekuat dapat menyebabkan penurunan
albumin dan protein lain, pembentukan edema dan perlambatan peyembuhan.
3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urine dan
retensi cairan dan natrium.
Tujuan : Kelebihan cairan / edema tidak terjadi.
Kriteria hasil : Tercipta kepatuhan pembatasan diet dan cairan, turgor kulit normal
tanpa edema, dan tanda-tanda vital normal.
Intervensi :
a. Monitor status cairan, timbang berat badan harian, keseimbangan input dan output,
turgor kulit dan adanya edema, tekanan darah, denyut dan irama nadi.
Rasional : Pengkajian merupakan dasar berkelanjutan untuk memantau perubahan
dan mengevaluasi intervensi.
b. Batasi masukan cairan
Rasional : Pembatasan cairan akan menentukan berat tubuh ideal, keluaran urine dan
respons terhadap terapi.

c. Identifikasi sumber potensial cairan, medikasi dan cairan yang digunakan untuk
pengobatan, oral dan intravena.
Rasional : Sumber kelebihan cairan yang tidak diketahui dapat diidentifikasi.
d. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan.
Rasional : Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam
pembatasan cairan.
e. Bantu pasien dalam menghadapi ketidaknyamanan akibat pembatasan cairan.
Rasional : Kenyamanan pasien meningkatkan kepatuhan terhadap pembatasan diet.
f. Kolaborasi pada medis dalam pembatasan cairan intravena antara 5-10 tetes
permenit, dan pembatasan obat-obatan cair.
Rasional : dengan pembatasan cairan intravena dapat membantu menurunkan resiko
kelebian cairan.
4. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidakseimbangan cairan
mempengaruhi sirkulasi, kerja miokardial dan tahanan vaskuler sistemik,
gangguan frekuensi, irama, konduksi jantung (ketidakseimbangan elektrolit).
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan curah jantung dapat dipertahankan.
Kriteria hasil : Tanda-tanda vital dalam batas normal, tekanan darah 120/80 mmHg,
nadi 60-80 x/menit, kuat, teratur, akral hangat, Capillary refil kurang dari 3 detik, nilai
laboratorium dalam batas normal (kalium 3,5-5,1 mmol/L, urea 15-39 mg/dl).
Intervensi :
a) Auskultasi bunyi jantung dan paru, evaluasi adanya edema perifer atau kongesti
vaskuler dan keluhan dispnea, awasi tekanan darah, perhatikan postural misalnya
duduk, berbaring dan berdiri.
Rasional : Mengkaji adanya takikardi, takipnea, dispnea, gemerisik, mengi dan
edema.
b) Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikan lokasi dan beratnya.
Rasional : Hipertensi ortostatik dapat terjadi sehubungan dengan defisit cairan.
c) Evaluasi bunyi jantung akan terjadi frictionrub, tekanan darah, nadi perifer,
pengisisan kapiler, kongesti vaskuler, suhu tubuh dan mental.
Rasional : Mengkaji adanya kedaruratan medik.
d) Kaji tingkat aktivitas dan respon terhadap aktivitas.
Rasional : Kelelahan dapat menyertai gagal jantung kongestif juga anemia.
e) Kolaborasikan pemeriksaan laboratorium yaitu kalium.
Rasional : Ketidakseimbangan dapat mengangu kondisi dan fungsi jantung.

f) Berikan obat anti hipertensi sesuai dengan indikasi.


Rasional : Menurunkan tahanan vaskuler sistemik.

DAFTAR PUSTAKA

Corwin, E.J. 2009. Buku Saku Patofisiologi, edisi 3. Jakarta: EGC.


Doenges, Marilynn, dan Alice C. Geissler. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan
Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien.
Jakarta: EGC.
Mansjoer A, et al. 2002. Gagal ginjal Kronik. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II Edisi 3.
Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
NIH. 2008. The National Kidney and Urologic Diseases Information Clearinghouse
(NKUDIC). the National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases
(NIDDK). (http://www.kidney.niddk.nih.gov).
Patel, P. R. 2007. Lecture Notes: Radiologi Ed. 2. Surabaya: Erlangga.
Purnomo, B. Basuki.2000.Dasar-dasar Urolog , cetakan I. Jakarta : CV. Infomedika
Purnomo, Basuki. B. 2011. Dasar Dasar Urologi. Edisi Ke Tiga. Jakarta :Sagung Seto
Rasad, Sjahriar. 2005. Radiologi Diagnostik Ed. 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Renal Services & Urology Directorate. 2005. Nephrotic Syndrome. a patients guide.
(http://www.kidney.org.uk).
Rindiastuti, Yuyun. 2006. Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8. Jakarta: EGC.
Silvia A. Price, Lorraince M. Wilson. Patofisiologi. Jakarta: EGC. 2003.
Sjamsuhidajat, R. & Jong, Wim de. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EG

Smeltzer C.S. dan Bare Brenda. 2003. Brunner and Suddarths Textbook of Medical
Surgical Nursing 10th edition. Philadelphia: Lippincott.
Soeparman & Waspadji . 2001. Ilmu Penyakit Dalam, Jld.I. Jakarta: BP FKU
Sudoyo, Aru W., dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. ed. IV. Jakarta: FKUI. 2006.
Suhardjono, Lydia A, Kapojos EJ, Sidabutar RP. 2001. Gagal Ginjal Kronik. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi 3. Jakarta: FKUI.427-434.
Susanne, C Smelzer. 2002. Keperawatan Medikal Bedah (Brunner &Suddart) , Edisi
VIII, Volume 2. Jakarta: EGC
Suwitra K. 2006. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 581-584.
Tierney LM, et al. 2003. Gagal Ginjal Kronik. Diagnosis dan Terapi Kedokteran
Penyakit Dalam Buku 1. Jakarta: Salemba Medika
Universitas
Sumatera
Utara.
2011.
Bab
2

Tinjuan

Pustaka.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16742/4/Chapter%20II.pdf.
diakses pada tanggal 09 Juli 2015

Anda mungkin juga menyukai