Anda di halaman 1dari 56

MAKALAH PROJECT BASED LEARNING LOWER UPPER URINARY TRACT INFECTION AND INFLAMMATION DISORDERS (Infeksi Saluran Kemih

Atas-Bawah dan Kelainan Inflamasi)

Disusun Oleh : EKY MADYANING NASTITI 0910721004

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

CURRICULUM VITAE

NAMA NI M JURUSAN ANGKATAN TTL ALAMAT

: EKY MADYANING NASTITI : 0910721004 : ILMU KEPERAWATAN : 2009 A : JEMBER, 20 MEI 1991 : JLN. RIAU NO 28 JEMBER

RIWAYAT PENDIDIKAN :
SDN JEMBER LOR II (SEKARANG JEMBER LOR 1) SMP NEGERI 2 JEMBER SMA NEGERI 1 JEMBER JURUSAN KEPERAWATAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

LOWER AND UPPER URINARY TRACT INFECTIONS AND INFLAMMATION DISORDERS


A. KLASIFIKASI Menurut Price&W ilson Infeksi Traktus Urinarius umumnya dibagi menjadi 2 subkategori besar yaitu: 1. Lower Urinary Tract Infection / UTI bagian bawah, meliputi : Uretritis Sistitis Prostatitis 2. Upper Urinary Tract Infection / UTI bagian atas, meliputi: Pielonefritis Sedangkan untuk gangguan inflamasi pada traktus urinarius adalah : Glomerulonefritis Akut , Kronis dan Progresif Cepat (subakut) Menurut Purnomo, Basuki B (2003), Infeksi Traktus Urinarius umumnya dibagi menjadi 2 subkategori besar yaitu: 1. Lower Urinary Tract Infection / UTI bagian bawah, meliputi : Uretritis Sistitis Prostatitis 2. Upper Urinary Tract Infection / UTI bagian atas, meliputi: Pielonefritis Abses Ginjal Menurut Brunner Studdart (2001), Infeksi Traktus Urinarius umumnya dibagi menjadi 2 subkategori besar yaitu: 1. Lower Urinary Tract Infection / UTI bagian bawah, meliputi : Uretritis Sistitis Prostatitis

2. Upper Urinary Tract Infection / UTI bagian atas, meliputi: Pielonefritis Abses Ginjal Abses Perinefrik Sedangkan untuk gangguan inflamasi pada traktus urinarius adalah : Glomerulonefritis Akut dan Kronis Dari beberapa klasifikasi menurut ahli di atas dapat disimpulkan bahwa Infeksi Traktus Urinari dapat dibagi dalam 2 sub kelompok yakni: 1. Lower Urinary Tract Infection / UTI bagian bawah, meliputi : Uretritis Sistitis Prostatitis 2. Upper Urinary Tract Infection / UTI bagian atas, meliputi: Pielonefritis Abses Ginjal Abses Perinefrik: Glomerulonefritis yang dibagi menjadi GN Akut , Progresif Cepat (subakut) dan Kronis

B. DEFINISI 1. Lower Urinary Tract Infection a. Uretritis Definisi adalah peradangan yang terjadi pada saluran uretra. Brunner and Suddart menyatakan bahwa uretritis adalah inflamasi uretra yang biasanya merupakan infeksi yang menyebar naik. Price and W ilson menyatakan bahwa uretritis adalah peradangan uretra oleh berbagai penyebab dan merupakan sindrom yang sering terjadi pada pria.

Berdasarkan kuman

penyebab,

uretritis

dapat

digolongkan

menjadi tipe gonoreal dan nongonoreal Namun demikian kedua kondisi tersebut dapat terjadi pada satu pasien. Uretritis Gonoreal Uretritis gonoreal disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae dan ditularkan melalui kontak seksual. Pada pria, infeksi orifisium mental terjadi disertai rasa terbakar ketika urinasi. Rabas uretral purulen muncul dalam 3 sampai 14 hari (atau lebih lama) setelah kontak seksual. Meskipun demikian penyakit ini dapat bersifat asimtomatik. Pada wanita rabas uretral tidak selalu muncul dan penyakit juga asimtomatik. Oleh karena itu gonorea pada wanita sering tidak didiagnosis dan dilaporkan. Pada pria, infeksi melibatkan jaringan di sekitar uretra, menyebabkan periuretritis, prostatitis, epididimitis, dan striktur uretra. Sterilitas dapat terjadi akibat obstruksi vasoepididimal. Uretritis Nongonoreal Penyebab uretritis nongonoreal bukan N. Gonorrhoeae, melainkan disebabkan oleh Clamidia trakomatik (30%-50%) dan Ureplasma urelitykum (25%-35%). Periode inkubasi untuk NGU adalah 1-5 minggu. Jika pasien adalah pria, dia akan mengeluh adanya disuria tingkat sedang atau parah dan rabas uretral dengan jumlah sedikit sampai sedang. Uretritis nongonoreal memerlukan penanganan nonmikrobial yang tepat menggunakan tetrasiklin atau doksisiklin. Pada pasien yang tidak berespons atau alergi terhadap tetrasiklin, dapat diganti dengan eritromisin. Epidemiologi Uretritis akut paling banyak ditemukan pada pria dengan gonorea, walaupun pada beberapa pria dengan gonorea tidak pernah terlihat dan timbul tanda atau gejala uretritis. Organisme-organisme penyebab Uretritis paling banyak ditularkan melalui aktivitas seksual (Price W ilson, 2005)

Patofisiologi Uretritis Gonoreal Chlamidia trachomatis, Herpes Simplek, HPV, Tricomonas vaginalis, Neisseria gonorrhea kontak seksual Invasi & menempel pd mukosa uretra Berproliferasi Menghancurkan sel mukosa inflamasi, edema mukosa Uretritis Uretritis Nongonoreal Bakteri masuk melalui uretra Invasi & menempel pada dinding mukosa uretra Proliferasi bakteri Inflamasi dan edema mukosa ureter media yg baik pertumbuhan bakteri trauma uretra refluks vesika uretra stagnansi urin

injuri pd dinding uretra

Uretritis

Faktor Resiko Organisme yang paling sering adalah Neisseria gonorrhoeae, Chlamidia trachomatis, Ureaplasma urealyticum, Trichomonas vaginalis, virus herpes simpleks (tipe 1 & 2), serta HPV (de jong 2004). Organisme tersebut kebanyakan ditularkan melalui aktivitas seksual yang sering mengganti pasangan. Resiko bagi orang yang sering melakukan hubungan seks bebas, sangatlah rawan untuk bisa terinfeksi penyakit ini . Manifestasi Klinis Tanda dan gejala Uretritis Gonococcal (UG) dan Uretritis NonGonococcal (UNG) pada dasarnya adalah sama, namun berbeda pada derajat keparahan gejala yang timbul. Kedua uretritis baik gonococcal maupun non-gonococcal menyebabkan adanya lendir, dysuria, dan gatal pada uretra. Lendir yang sangat banyak, dan purulen lebih sering pada gonorrhea, sedangkan pada kondisi UNG, lendir yang dihasilkan lebih sedikit dan mukoid. Pada UNG, lendir sering hanya muncul pada pagi hari, atau hanya terlihat seperti krusta yang melekat di meatus atau terlihat seperti bercak pada pakaian dalam. frekuensi, hematuria, dan urgensi sering terjadi pada kedua jenis infeksi. Masa inkubasi jauh lebih pendek pada infeksi gonorrhea, yaitu dalam 2-6 hari, sedangkan pada UNG, gejala muncul dalam 1-5 minggu setelah infeksi, dengan masa inkubasi rata-rata 2-3 minggu7. Pada penelitian yang dilakukan oleh Kreiger yang membandingkan manifestasi klinis uretritis gonococcal, chlamydial, dan trichomonal. Hanya 55% pria dengan trichomoniasis yang mengalami lendir uretra, dibandingkan pada infeksi Chlamydia 82%, dan 93% pada gonorrhea. Lendir yang dihasilkan pada infeksi N. gonorrhea, 82% berjumlah sangat banyak dan purulen. Berbeda dengan infeksi Chlamydia dan Trichomonal dengan sedikit lendir berwarna jernih atau mukoid7. Gejala uretritis adalah discharge purulen dan alguria/disuria. Kebanyakan uretritis bersifat asimtomatis. Pada yang bersifat simtomatis, gejala yang terjadi antara lain adalah sebagai berikut :

a. Mukosa memerah dan oedema b. Terdapat cairan eksudat yang purulen c. Ada ulserasi pada uretra d. Ada rasa gatal yang menggelitik e. Goodmorning sign f. Ada nanah pada awal miksi g. Kesulitan dalam memulai miksi h. Nyeri pada abdomen bagian bawah i. Inflamasi pada uretra menimbulkan rasa terbakar pada saat urinasi Tanda pada Pria Gejala baru mulai timbul biasanya setelah 1-3 minggu kontak seksual dan umumnya tidak seberat gonore. Gejalanya berupa disuria ringan, perasaan tidak enak di uretra, sering kencing dan keluarnya duh tubuh seropurulen. Dibandingkan dengan gonore, perjalanan penyakit lebih lama karena masa inkubasi yang lebih lama dan ada kecenderungan kambuh kembali. Pada beberapa keadaan tidak terlihat keluarnya cairan duh tubuh, sehingga menyulitkan diagnosis. Dalam keadaan demikian sangat diperlukan pemeriksaan laboratorium. Komplikasi yang dapat terjadi berupa prostatitis, vesikulitis, epididimitis dan striktur uretra2. Tanda pada Wanita Infeksi lebih ringan terjadi di serviks bila dibandingkan dengan vagina, kelenjar Bartholin atau uretra sendiri. Sama seperti pada gonore, umumnya wanita tidak menunjukkan adanya gejala. Sebagian kecil dengan keluhan keluarnya duh tubuh vagina, disuria ringan, sering kencing, nyeri daerah pelvis dan dispareunia. Pada pemeriksaan serviks dapat dilihat tanda-tanda servisitis yang disertai adanya folikel-folikel kecil yang mudah berdarah. Komplikasi dapat berupa bartholinitis, proktitis, salfingitis dan sistitis. Peritonitis dan perihepatitis juga pernah dilaporkan2. Pemeriksaan Diagnostik Diagnosis secara klinis sukar untuk membedakan infeksi karena gonore atau non-gonore. Menegakkan diagnosis servisitis atau uretritis

oleh klamidia, perlu pemeriksaan khusus untuk menemukan atau menentukan adanya C. trachomatis. Pemeriksaan laboratorium yang umum digunakan sejak lama adalah pemeriksaan sediaan sitologi langsung dan biakan dari inokulum yang diambil dari specimen urogenital. Baru pada tahun 1980an ditemukan tehnologi pemeriksaan terhadap antigen dan asam nukleat C. trachomatis2. Pemeriksaan menyeluruh pada pasien dengan penyakit menular seksual, termasuk uretritis, sangat penting dalam mengarahkan terapi yang tepat. Kuantitas discar pada uretritis dapat dikategorikan banyak (mengalir secara spontan dari uretra), sedikit (keluar hanya jika uretra di ekspos), sedang (keluar secara spontan, namun hanya sedikit). Warna dan karakter discharge uretra harus diperhatikan. Lendir berwarna kekuningan atau hijau disebut sebagai lender purulen. Lendir berwarna putih yang bercampur cairan jernih dinamakan lender mukoid. Jika hanya lendir bening, dinamakan jernih. Adanya inflamasi pada meatus uretra, edema penis, dan pembesaran kelenjar limfe juga harus diperhatikan7. Pemeriksaan sitologi langsung dengan pewarnaan giemsa memiliki sensitivitas tinggi untuk konjungtivitis (95%), sedangkan untuk infeksi genital rendah (pria 15%, wanita 41%). Sitologi dengan Papaniculou sensitivitasnya juga rendah, 62%. Hingga saat ini pemeriksaan biakan masih menjadi baku emas pemeriksaan klamidia. Spesifitasnya mencapai 100%, tetapi sensitivitasnya bervariasi bergantung pada laboratorium yang digunakan (nilai berkisar 75-85%). Prosedur, tehnik dan biaya pemeriksaan biakan ini tinggi serta perlu waktu 3 hingga 7 hari2. Metode pendeteksian antigen ada beberapa cara, yaitu Direct Fluorescent Antibody (DFA) yang menggunakan antibodi monoklonal atau poliklonal dengan mikroskop imunofluoresen dan Enzyme Immuno Assay (EIA) atau Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) menggunakan antibodi monoklonal atau poliklonal dengan yang alat

spektrofotometri. Metode pendeteksian terbaru adalah dengan cara mendeteksi asam nukleat C. trachomatis. Hibridisasi DNA Probe (Gen

Probe) mendeteksi DNA CT lebih sensitive dibanding Elisa karena dapat mendeteksi DNA dalam jumlah kecil melalui proses hibridisasi. Cara lain menggunakan Amplifikasi Asam Nukleat (Polimerase Chain Reaction dan Ligase Chain Reaction) 2. Dalam sebuah studi yang dilakukan pada tahun 2008, didapatkan hasil bahwa tidak diperlukan adanya investigasi lebih lanjut menggunakan mikroskopi pada penderita yang asimtomatik karena hanya presentase kecil penderita didapatkan hasil yang positif akan bakteri patogen1. Penegakan diagnosis uretritis didasarkan pada tanda klinis serta pemeriksaan laboratorium, sebagai berikut: 1. Discar purulen atau mukopurulen. 2. Pengecatan Gram pada sekresi uretra menunjukkan adanya >5 leukosit per lapang pandang. Pengecatan Gram merupakan tes diagnostik yang umum digunakan untuk mengevaluasi uretritis. Pemeriksaan ini cukup sensitif dan spesifik untuk menentukan adanya uretritis dan ada tidaknya infeksi gonococcal. Infeksi gonococcal ditegakkan jika ditemukan diplococcus intraseluler pada leukosit. 3. Tes leukosit esterase pada pancaran urin pertama yang menunjukkan hasil positif atau pemeriksaan mikroskopis pancaran urin pertama menunjukkan 10 leukosit per lapang pandang besar. Jika tidak ada kriteria diatas yang positif, pasien harus di tes untuk konfirmasi infeksi N. gonorrhea atau C. trachomatis. Jika hasil tes menunjukkan infeksi N. gonorrhea atau C.trachomatis, pasien harus diberikan perawatan yang sesuai, pasangan seksual ikut untuk menjalani tes7. Penatalaksanaan Medis Penatalaksanaan terapi berdasarkan panduan The Center for Disease Control and Prevention. Antibiotika yang direkomendasikan untuk N. gonnorrheae

a. Cefixime 400 mg oral b. Ceftriaxone 250 mg IM c. Ciprofloxacine 500 mg oral d. Ofloxacin 400 mg oral Keempat antibiotika diatas diberikan dalam dosis tunggal. Infeksi gonorrheae sering diikuti dengan infeksi chlamydia. Oleh karena itu perlu ditambahkan antibiotika anti-chlamydial : a. Azithromycin, 1 gr oral (dosis tunggal) b. Doxycycline 100 mg oral 2 kali sehari selama 7 hari c. Erythromycine 500 mg oral 4 kali sehari selama 7 hari d. Ofloxacin 200 mg oral 2 kali sehati slama 7 hari Seperti pada penyakit menular seksual lainnya, penatalaksanaan terhadap pasangan seksual perlu diberikan. Secara umum, manajemen obat yang paling efektif adalah golongan tetrasiklin dan eritromisin. Di samping itu dapat juga digunakan gabungan sulfa-trimetoprim, spiramisin dan kuinolon2. Beberapa dosis obat yang dapat digunakan sebagai pada tabel berikut. Tabel II. Medikamentosa Medikasi Tetrasiklin HCl Oksitertrasiklin Doksisiklin Eritromisin Dosis 4 x 500mg sehari selama 1 minggu atau 4 x 250mg sehari selama 2 minggu 4 x 250mg sehari selama 2 minggu 2 x 100mg sehari selama 1 minggu 4 x 500mg sehari selama 1 minggu atau 4 x 250mg sehari selama 2 minggu (untuk penderita tidak tahan tetrasiklin, hamil, atau < 12 tahun) Sulfa-trimetoprim Azitromisin Spiramisin 2 x 2 tablet sehari selama 1 minggu 1 gram dosis tunggal 4 x 500mg sehari selama 1 minggu

Ofloksasin

2 x 200 mg sehari selama 10 hari

Pasien dengan infeksi klamidia harus dimonitor selama 2 minggu. Pemberian informasi kepada pasangan, pencegahan hubungan seksual sementara serta penyelesaian terapi dengan benar harus dicek. Dalam hal ini pasangan maupun semua orang yang memiliki kontak seksual langsung dengan penderita harus diidentifikasi dan diberikan saran untuk mendapatkan terapi serupa4. Pengobatan untuk infeksi mycoplasma genital, sama dengan pengobatan pada chlamydia. Fluorokuinolon dapat digunakan sebagai terapi alternatif untuk M. Hominis dan Ureaplasma sp. pada kondisi resistensi terhadap antibiotik lain3. Prognosis Kadang-kadang tanpa pengobatan, penyakit lambat laun berkurang dan akhirnya sembuh sendiri (50-70% dalam waktu sekitar 3 bulan). Setelah pengobatan, kira-kira 10% penderita akan mengalami eksaserbasi atau rekurensi2.

b. Sistitis Definisi adalah inflamasi akut pada kandung kemih/buli-buli. Basuki B Purnomo menyatakan sistitis akut adalah inflamasi akut pada mukosa buli-buli yang sering disebabkan oleh infeksi oleh bakteria. Mikroorganisme penyebab infeksi ini terutama adalah E coli, Enteroccoci, Proteus, dan Stafilokokus aureus yang masuk ke buli-buli melalui uretra. Brunner and Studdart menyatakan bahwa sistitis adalah inflamasi kandung kemih yang paling sering disebabkan oleh menyebarnya infeksi dari uretra. Hal ini dapat disebabkan oleh aliran balik urin dari uretra ke dalam kandung kemih (refluks uretrovesikal), kontaminasi fekal, pemakaian kateter atau sistoskop.

Ada pula Sistitis Interstitial yaitu suatu gangguan inflamasi noninfeksius kandung kemih yang ditandai oleh gejala yang serupa dengan infeksi traktus urinari bawah. Infeksi ini berkaitan juga dengan penggunaan kontrasepsi spermasida-diafragma karena kontrsepsi ini dapat menyebabkan obstruksi uretra parsial dan mencegah pengosongan sempurna kandung kemih. Cistitis pada pria merupakan kondisi sekunder akibat bebarapa faktor misalnya prostat yang terinfeksi, epididimitis, atau batu pada kandung kemih. Cystitis dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu; Cystitis primer,merupakan radang yang mengenai kandung kemih radang ini dapat terjadi karena penyakit lainseperti batu pada kandung kemih, divertikel, hipertropi prostat dan striktura uretra. Cystitis sekunder, merukan gejala yang timbul kemudian sebagai akibat dari penyakit primer misalnya uretritis dan prostatitis Epidemiologi Wanita lebih sering mengalami serangan sistitis daripada pria karena uretra wanita lebih pendek daripada pria. Disamping itu getah cairan prostat pada pria mempunyai sifat bakterisidal sehingga relative tahan terhadap infeksi saluran kemih. Diperkirakan bahwa paling sedikit 10%-20% wanita pernah mengalami serangan sistitis dalam hidupnya dan kurang lebih 5% dalam satu tahun pernah mengalami serangan ini (Basuki B Purnomo, 2003). Gangguan terutama dialami oleh wanita usia 40-50 tahun namun juga dapat menyerang segala usia, rasa atau seks. Sistitis interstitial menyerang lebih dari 450.000 orang di Amerika Serikat. Sebuah penelitian dari Association of Reproductive Health Professional didapatkan data secara umum diperkirakan rasio penderita Cystitis antara wanita dan pria adalah 9:1.2 Namun, dalam studi JPKM hanya disebutkan, rasio tersebut hanya 5:1.

P atofi siologi Merupakan ascending infection dari saluran perkemihan. Pada wanita biasanya berupa sistitis akut karena jarak uretra ke vagina pendek, kelaian periuretral, rectum (kontaminasi) feses, efek mekanik coitus serta infeksi kambuhan organism gram negative dari saluran vagina dan genital eksternal memungkinkan organism masuk vesika perkemihan. Infeksi ini terjadi mendadak akibat flora (E. Coli) pada tubuh pasien. Pada laki-laki abnormal, sumbatan menyebabkan striktir dan hiperplasi prostatic (penyebab paling sering). Infeksi saluran kemih atas Sistitis merupakan infeksi saluran kemih bagian bawah yang secara umum disebabkan oleh bakteri gram negatif, yaitu Escherichia Coli.Peradangan timbul dengan penjalaran secara hematogen ataupun akibat obstruksi saluran kemih bagian bawah, baik akut maupun kronik dapat bilateral maupun unilateral. Kemudian bakteri tersebut berekolonisasi pada suatu tempat misalkan pada vagina atau genetalia eksterna menyebabkan organisme melekat dan berkolonisasi di suatu tempat di periutenial dan masuk ke kandung kemih. Faktor Resiko Faktor resiko cystitis adalah pasien dengan diabetes mellitus, pasien yang mempunyai riwayat infeksi saluran kemih sebelumnya atau trauma local minor seperti pada saat senggama. (Purnomo,2009)

Infeksi

ini

berkaitan

juga

dengan

penggunaan

kontrasepsi

spermasida-diafragma karena kontrsepsi ini dapat menyebabkan obstruksi uretra parsial dan mencegah pengosongan sempurna kandung kemih. Cistitis pada pria merupakan kondisi sekunder akibat bebarapa faktor misalnya prostat yang terinfeksi, epididimitis, atau batu pada kandung kemih. Inflamasi pada buli-buli juga disebabkan oleh bahan kimia, seperti pada detergent yang dicampurkan ke dalam air untuk rendam duduk, deodorant yang disemprotkan pada vulva atau obat-obatan yang dimasukkan intravesika untuk terapi kanker buli-buli (siklofosfamid). ( Basuki P Purnomo, 2003) Faktor risiko lain yang telah diusulkan oleh Association of Reproductive Health Professional adalah keturunan. Penelitian terbaru menunjukkan keturunan yang mungkin berperan dalam patogenesis IC / PBS. Seperti terlihat pada Tabel 1, sebuah studi tahun 2004 menemukan bahwa prevalensi IC / PBS pada wanita yang memiliki kerabat tingkat pertama dengan dikonfirmasi IC / PBS 1.431 per 100,000. Sebagai perbandingan, tingkat prevalensi dalam populasi umum diperkirakan sekitar 60 per 100,000. Penelitian 2004 juga menemukan bahwa prevalensi IC / PBS di tingkat pertama saudara perempuan pasien dengan IC / PBS dikonfirmasi oleh diagnostik kriteria NIDDK adalah 17 kali lebih tinggi daripada s di populasi umum. Tabel 1: IC / PBS Faktor Risiko laporan. 5 Prevalensi gejala IC dan "mengkonfirmasikan" IC tingkat pertama di antara kerabat ICA 2058 survei / Fishbein responden dengan keluarga lengkap. Hubungan Kerabat Dekat (n) Sex Seks Individuals (n) Only IC Symptoms 678 678 227 227 360 360 Prevalence of Confirmed IC Confirmed (per 100,000) 83 83 1,431 1,431 99 159 159 46 46 1,466 1,466

Female 5,802 5,802 Male 5,663 5,663 Perempuan (313,138 3,138 73yr)

Manifetasi klinis Sistitis biasanya memperlihatkan gejala : Disuria (nyeri waktu berkemih) Peningkatan frekuensi berkemih terutama pada malam hari (nokturia) Perasaan ingin berkemih dan tertekan pada perut bagian bawah Adanya sel-sel darah merah dalam urin (hematuria) Nyeri punggung bawah atau suprapubic Demam yang disertai adanya darah dalam urine pada kasus yang parah. Seringnya berkemih, namun jumlah urin sedikit (oliguria) Urin berwarna gelap dan keruh, serta adanya bau yang menyengat dari urin Ketidaknyamanan pada daerah pelvis renalis Rasa sakit di atas bagian daerah pubis (pada wanita) Rasa tidak nyaman pada daerah rectum (pada pria) Pasien dengan sistitis akut ditemukan dengan gangguan buang air kecil, seperti dysuria, frekuensi dan urgensi. Pasien juga merasakan nyeri punggung bawah dan nyeri suprapubik. Hematuria dan urin keruh juga tanda yang sering ditemukan. Sistitis jarang disertai demam, mual,muntah, badan lemah dan kondisi umum yang menurun. Jika disertai dengan demam dan nyeri pinggang perlu dipikirkan adanya penjalaran infeksi ke saluran kemih sebelah atas. (Tanagho dan McAninch,2008) Reaksi inflamasi menyebabkan mukosa inflamasi buli-buli menjadi kemerahan (eritema), edema dan hipersensitif sehingga jika buli terisi urine, akan mudah terangsang untuk segera mengeluarkan isinya; hal ini menyebabkan gejala frekuensi. Kontraksi buli-buli akan menyebabkan rasa sakit/nyeri di daerah suprapubik dan eritema mukosa buli-buli mudah berdarah dan menimbulkan hematuria. (Basuki B Purnomo, 2003) Gejala infeksi saluran kemih pada anak anak, meliputi:

1. Diarrhea 2. Menangis tanpa henti yang tidak dapat dihentikan dengan usaha tertentu (misalnya: pemberian makan, dan menggendong) 3. Kehilangan nafsu makan 4. Demam 5. Mual dan muntah Untuk anak anak yang lebih dewasa, gejala yang ditunjukkan berupa: 1. rasa sakit pada panggul dan punggung bagian bawah (dengan infeksi pada ginjal) 2. seringnya berkemih 3. ketidakmampuan memprodukasi urin dalam jumlah yang normal, dengan kata lain, urin berjumlah sedikit (oliguria) 4. tidak dapat mengontrol pengeluaran kandung kemih dan isi perut 5. rasa sakit pada perut dan daerah pelvis 6. rasa sakit pada saat berkemih (dysuria) 7. urin berwarna keruh dan memilki bau menyengat

Pemeriksaan Diagnostik Menurut Sukandar (2009) analisis urin rutin, pemeriksaan mikroskop urin segar tanpa putar, kultur urin, serta jumlah kuman/mL urin merupakan protokol standar untuk pendekatan diagnosis ISK. Pengambilan dan koleksi urin, suhu dan teknik transportasi sampel urin harus sesuai dengan protokol yang dianjurkan.Pada pemeriksaan urinalysis ditemukan lekosit dan hematuria. Dan kultur urin akan diketahui bakteri penyebabnya. Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya adalah sebagai berikut: 1. Analisa Urin (urinalisis) Pemeriksaan urinalisis meliputi: Leukosuria (ditemukannya leukosit dalam urin).

Dinyatakan positif jika terdapat 5 atau lebih leukosit (sel darah putih) per lapangan pandang dalam sedimen urin. Hematuria (ditemukannya eritrosit dalam urin). Merupakan petunjuk adanya infeksi saluran kemih jika ditemukan eritrosit (sel darah merah) 5-10 per lapangan pandang sedimen urin. Hematuria bisa juga karena adanya kelainan atau penyakit lain, misalnya batu ginjal dan penyakit ginjal lainnya. Untuk pemeriksaan infeksi saluran kemih, digunakan urin segar (urin pagi). Urin pagi adalah urin yang pertama tama diambil pada pagi hari setelah bangun tidur. Digunakan urin pagi karena yang diperlukan adalah pemeriksaan pada sedimen dan protein dalam urin. Sampel urin yang sudah diambil, harus segera diperiksa dalam waktu maksimal 2 jam. Apabila tidak segera diperiksa, maka sampel harus disimpan dalam lemari es atau diberi pengawet seperti asam format. Bahan untuk sampel urin dapat diambil dari: Urin porsi tengah, sebelumnya genitalia eksterna dicuci dulu dengan air sabun dan NaCl 0,9%. Urin yang diambil dengan kateterisasi 1 kali. Urin hasil aspirasi supra pubik. Bahan yang dianjurkan adalah dari urin porsi tengah dan aspirasi supra pubik.

2. Pemeriksaan bakteri (bakteriologis) Pemeriksaan bakteriologis meliputi: Mikroskopis. Bahan: urin segar (tanpa diputar, tanpa pewarnaan). Positif jika ditemukan 1 bakteri per lapangan pandang. Biakan bakteri. Untuk memastikan diagnosa infeksi saluran kemih. 3. Pemeriksaan kimia

Tes ini dimaksudkan sebagai penyaring adanya bakteri dalam urin. Contoh, tes reduksi griess nitrate, untuk mendeteksi bakteri gram negatif. Batasan: ditemukan lebih 100.000 bakteri. Tingkat kepekaannya mencapai 90 % dengan spesifisitas 99%. 4. Tes Dip slide (tes plat-celup) Untuk menentukan jumlah bakteri per cc urin. Kelemahan cara ini tidak mampu mengetahui jenis bakteri. 5. Pemeriksaan radiologis dan penunjang lainnya Prinsipnya adalah untuk mendeteksi adanya faktor predisposisi infeksi saluran kemih, yaitu hal hal yang mengubah aliran urin dan stasis urin, atau hal hal yang menyebabkan gangguan fungsional saluran kemih. Pemeriksaan tersebut antara lain berupa: a. Foto polos abdomen Dapat mendeteksi sampai 90% batu radio opak b. Pielografi intravena (PIV) Memberikan gambaran fungsi eksresi ginjal, keadaan ureter, dan distorsi system pelviokalises. Untuk penderita: pria (anak dan bayi setelah episode infeksi saluran kemih yang pertama dialami, wanita (bila terdapat hipertensi, pielonefritis akut, riwayat infeksi saluran kemih, peningkatan kreatinin plasma sampai < 2 mg/dl, bakteriuria asimtomatik pada kehamilan, lebih dari 3 episode infeksi saluran kemih dalam setahun. PIV dapat mengkonfirmasi adanya batu serta lokasinya. Pemeriksaan ini juga dapat mendeteksi batu radiolusen dan memperlihatkan derajat obstruksi serta dilatasi saluran kemih. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan setelah > 6 minggu infeksi akut sembuh, dan tidak dilakukan pada penderita yang berusia lanjut, penderita DM, penderita dengan kreatinin plasma > 1,5 mg/dl, dan pada keadaan dehidrasi. c. Sistouretrografi saat berkemih Pemeriksaan ini dilakukan jika dicurigai terdapat refluks vesikoureteral, terutama pada anak anak.

d. Ultrasonografi ginjal Untuk melihat adanya tanda obstruksi/hidronefrosis, scarring process, ukuran dan bentuk ginjal, permukaan ginjal, masa, batu, dan kista pada ginjal. e. Pielografi antegrad dan retrograde Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat potensi ureter, bersifat invasive dan mengandung factor resiko yang cukup tinggi. Sistokopi perlu dilakukan pada refluks vesikoureteral dan pada infeksi saluran kemih berulang untuk mencari factor predisposisi infeksi saluran kemih. f. CT-scan Pemeriksaan ini paling sensitif untuk menilai adanya infeksi pada parenkim ginjal, termasuk mikroabses ginjal dan abses perinefrik. Pemeriksaan ini dapat membantu untuk menunjukkan adanya kista terinfeksi pada penyakit ginjal polikistik. Perlu diperhatikan bahwa pemeriksaan in lebih baik hasilnya jika memakai media kontras, yang meningkatkan potensi nefrotoksisitas. g. DMSA scanning Penilaian kerusakan korteks ginjal akibat infeksi saluran kemih dapat dilakukan dengan skintigrafi yang menggunakan (99mTc) dimercaptosuccinic acid (DMSA). Pemeriksaan ini terutama digunakan untuk anak anak dengan infeksi saluran kemih akut dan biasanya ditunjang dengan sistoureterografi saat berkemih. Pemeriksaan ini 10 kali lebih sensitif untuk deteksi infeksi korteks ginjal dibanding ultrasonografi.

Penatalaksanaan Medis Variasi program penanganan telah berhasil menangani infeksi traktus urinary bawah non komplikasi pada wanita; dari pemberian dosis tunggal, program medikasi short course (3-4 hari) atau long course ( 7-10 hari). Upaya dilakukan untuk mempersingkat perjalanan terapi antibiotic

untuk UTI nonkomplikasi sehingga 80% pasien akan sembuh dalam tiga hari penanganan. Penggunaan medikasi yang umum mencakup sulfisoxazole (Gantrisin), trimethoprim/sulfamethoxazole (TMP/SMZ, Bactrim, Septra) dan nitrofurantoin (Macrodantin). Kadang-kadang, medikasi seperti ampisilin atau amoxilin digunakan, tetapi Escherichia coli telah resisten terhadap agen ini. Pyridium, suatu analgesic urinarius, juga dapat diresepkan untuk mengurangi ketidaknyamanan akibat infeksi. ( Brunner Studdart, 2001) Pada uncomplicated sistitis cukup diberikan terapi dengan antimikroba dosis tunggal atau jangka pendek (1-3bulan), tetapi jika tidak dimungkinkan, dipilih antimikroba yang masih cukup sensitive terhadap kuman E coli, antara lain: nitrofurantoin, trimethoprim-sulfamethoxazole atau ampisilin. Kadang diperlukan obat-obatan golongan antikolenergik ( propantheline bromide) untuk mencegah hiperiritabilitas buli-buli dan fenazopiridin hidroklorida sebagai antiseptic pada saluran kemih. (Basuki B Purnomo, 2003)

c. Prostatitis Definisi adalah peradangan kelenjar prostat; dapat bersifat akut maupun kronis dan penyebabnya dapat bakterial maupun nonbakterial. Basuki B Purnomo dalam bukunya menyatakan bahwa prostatitis adalah reaksi inflamasi pada kelenjar prostat yang dapat disebabkan oleh bakteri maupun non bakteri. Brunner and Studdart menyatakan bahwa prostatitis adalah inflamasi kelenjar prostat yang disebabkan oleh agen infeksius (bakteri,fungi, mikoplasma) atau oleh berbagai masalah lain ( misalnya strikur uretra, hiperplasia prostatik). Prostatitis diklasifikasikan sebagai bakterial atau abakterial, bergantung ada tidaknya mikroorganisme dalam cairan prostat.

Price W ilson mengemukakan dalam bukunya prostatitis adalah peradangan prostat; dapat bersifat akut maupun kronik dan penyebabnya dapat berupa bakterial atau nonbakterial. Kebanyakan infeksi bakteri pada prostat disebabkan oleh organisme gram negatif; organisme yang paling sering adalah Escherichia coli. Penyebab lainnya adalah enterococus, stafilokokus, streptokokus, Chlamydia trachomatis, Ureaplasma urealycum dan Neisseria gonnorhoeae. Prostatitis menunjukkan adanya peningkatan jumlah sel-sel radang (paling sering limfosit) pada stroma prostat didekat asinus kelenjar prostat (Nickel et al 1999). Dahulu disebut prostatitis saja, sekarang Prostatitis Syndrome karena seringnya etiologi tidak lemah. Kuman patogen Kuman yang sering ditemukan adalah E. coli, Klebsiella spp, Proteus mirabilis, Enterococcus faecalis dan Pseudomonas aeruginosa. Jenis kuman yang juga dapat ditemukan adalah Staphylococci, Chlamydia trachomatis, Ureaplasma urealyticum, Mycoplasma hominis walaupun masih menimbulkan perdebatan. Klasifikasi Darch 1971 mengelompokkan prostatitis menjadi 4 (berdasarkan pemeriksaan 4 porsi urin berdasarkan Meares dan Stamey): Prostatitis bakteri Akut Prostatitis bakterial kronik Prostatitis nonbakterial Prostatodinia Klasifikasi yang baru berdasarkan National Institutes of Health classification system (1995) menjadi : NIH kategori I (Prostatitis Bakteri Akut) NIH kategori II (Prostatitis Bakteri Kronik) diketahui sehingga kriteria diagnostik

NIH kategori III (Chronic Pelvic Pain Syndromes/ (CPPS)) o NIH kategori IIIa (Inflammatory CPPS) Ditemukan sel darah putih yang bermakna pada sekresi prostat yang dimasase, sedimen urin pasca masase atau semen o NIH kategori IIIB (Non inflammatory CPPS) Tidak ditemukan sel darah putih yang bermakna pada sekresi prostat yang dimasase, sedimen urin pasca masase atau semen NIH kategori IV (asimtomatik) Pada tahun 1995, klasifikasi sindroma prostatitis pertama kali telah diusulkan oleh U.S National Institute of Health, National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease (NIH-NIDDK) dan dipublikasikan pada tahun 1998. Tabel dibawah ini membandingkan klasifikasi NIH-NIDDK dengan klasifikasi tradisional.

Epidemiologi Diperkirakan sekitar 50% laki-laki mengalami gejala peradangan prostatic sepanjang hidupnya. Dan hanya sekitar 5% dari kasus-kasus ini yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Umumnya penderita yang sering menderita prostatitis adalah kurang dari 50 tahun. Prostatitis paling sering terjadi pada pria usia 20-40 tahun. Pada awal 1990 junlah kunjungan penderita dengan prostatitis sebanyak 2 juta per tahun, menandingi jumlah kunjungan penderita dengan Benign Prostatic Hipertropy (BPH) pada tahun yang sama. Patofisiologi Pada prostatitis bakterial, transmisi bakteri secara seksual merupakan hal yang biasa, tetapi secara hematogen, limfatik, maupun infeksi langsung dapat dipertimbangkan juga. Pada inflamasi akut, sel mengalami inflamasi di dalam glandular epithelium dan lumen prostat, sedangkan pada inflamasi kronis, sel di dalam jaringan periglandular juga mengalami inflamasi.

Viral dan prostatitis granulomatosa mungkin dihubungkan dengan infeksi HIV dan dapat menyebabkan hasil kultur negative. Virus patogen yang sering menginfeksi pasien HIV ialah cytomegalovirus (CMV). Mycobacteria, seperti Mycobacterium tuberculosis dan fungi seperti Candida albicans, juga dapat menyebabkan hasil kultur yang negative (Taslan, 2010) Faktor Resiko Taslan (2010) mengungkapkan beberapa faktor resiko prostatitis, antara lain yaitu : Jenis Kelamin: Laki-laki Usia: < 35 tahun Penderita HIV Granulomatosis W egener Infeksi Fungal dengan C albicans dan Coccidioides immits dan infeksi mycobacterial M.Tuberculosis. Benign Prostatic Hiperplasia Kanker prostat Infeksi saluran kemih bawah

Manifestasi Klinis Menurut Basuki B Purnomo, manifestasi klinis prostatitis tergantung pada klasifikasinya. Berikut penjelasannya: 1. NIH kategori I (Prostatitis Bakteri Akut) Pasien yang menderita prostatitis bakteriel akut tampak sakit, demam, menggigil, rasa sakit di daerah perineal dan mengeluh adanya gangguan miksi. Pada pemeriksaan fisis dengan colok dubur, prostat teraba membengkak, hangat dan nyeri. Pada keadaan ini tidak diperbolehkan melakukan massage prostat untuk mengeluarkan getah kelenjar prostat karena dapat menimbulkan rasa sakit dan akan memacu terjadinya bakteriemia. Jidak jika tidak

ditangani dengan baik keadaan ini dapat mejadi abses prostat atau menimbulkan urosepsis. 2. NIH kategori II (Prostatitis Bakteri Kronik) Prostatitis bakterial kronis terjadi karena adanya infeksi saluran kemih yang sering kambuh. Gejal yang sering dikeluhkan pasien adalah disuri, urgensi, frekuensi, nyeri perineal dan kadang nyeri saat ejakulasi atau hematospermi. Pada pemeriksaan colok dubur mungkin teraba krepitasi yang merupakan tanda dari suatu kalkulosa prostat. 3. NIH kategori III (Chronic Pelvic Pain Syndromes/ (CPPS) o NIH kategori IIIa (Inflammatory CPPS) o NIH kategori IIIB (Non inflammatory CPPS) Terdapat nyeri pada pelvis yang tidak berhubungan dengan keluhan miksi dan sering terjadi pada usia 20-45 tahun 4. NIH kategori IV (asimtomatik) Secara klinis pasien tidak menunjukkan adanya keluhan maupun tanda dari suatu prostatitis Brunner studart dalam bukunya menuliskan bahwa secara umum manifestasi klinis prostatitis meliputi : Rasa tidak nyaman pada perineal Rasa terbakar Dorongan ingin berkemih Sering berkemih Nyeri saat/setelah ejakulasi Prostatodinia ( nyeri pada prostat ) dimanifestasikan oleh nyeri saat berkemih atau nyeri perineal tanpa adanya inflamasi / pertumbuhan bakteri daalm cairan prostat Prostatitis Bakterialis Akut : Demam mendadak dan menggigil serta nyeri perineal, rectal dan pinggang Disuria, sering berkemih, dorongan untuk berkemih dan nokturia Beberapa pasien asimptomatik

Prostatitis Bakterial Kronis: o Sering berkemih o Disuria o Kadang rabas uretral o Demam dan menggigil adalah tidak lazim

Pemeriksaan Diagnostik Diagnosis ditegakkan dengan metoda urin empat porsi (StameyMeares) pemeriksaan ini termasuk kultur urin inisial (VB1), urin porsi tengah (VB2), sekret prostat pasca masase prostat (EPS), dan urin pasca masase prostat. W alaupun pemeriksaan metoda urin empat porsi ini masih menjadi pemeriksaan baku emas, beberapa survey menunjukkan pemeriksaan ini membutuhkan banyak waktu dan lebih mahal. Saat ini dapat disarankan pemeriksaan metoda dua porsi (urin premasase dan urin post masase) yang lebih simpel. Urin premasase diambil urin porsi tengan dan urin inisial 10 cc pasca masase prostat. Pemeriksaan ini memiliki angka sensitifitas dan spesifisitas mencapai 91 %. Untuk menentukan penyebab suatu prostatitis, diambil sample urine dan getah kelenjar prostat melalui uji 4 tabung sesuai yang dilakukan oleh Meares (1976). Keempat tabung itu terdiri atas: 1. 10 cc pertama adalah contoh urine yang dikemihkan pertama kali (VB1) untuk menilai keadaan mukosa uretra 2. urine porsi tengah (VB2) untuk menilai keadaan mukosa kandung kemih 3. getah prostat yang dikeluarkan melalui masase prostat/ expressed prostatic secrection (EPS) untuk menilai keadaan kelenjar prostat 4. urine yang dikemihkan setelah masase prostat Keempat contoh itu dianalisa secara mikroskopik dan dilakukan kultur untuk mencari kuman penyebab infeksi. Prostatitis Bakterial Akut ( Kategori I ) Pada keadaan ini tidak diperbolehkan melakukan masase prostat untuk mengeluarkan getah kelenjar prostat karena dapat menimbulkan rasa sakit dan akan memicu terjadinya bakteriemia Prostatitis Bakterial Kronis ( Kategori II ) Uji 4 tabung tampak pada EPS dan VB3 didapatkan kuman yang lebih banyak daripada VB1 dan VB2; disamping itu pada pemeriksaan mikroskopik pada EPS tampak oval fat body.

Prostatitis non Bakteral ( Kategori III ) Subkategori IIIA Tidak tampak adanya kelainan pemeriksaan fisis dan pada uji 4 tabung tidak didapatkan pertumbuhan kuman; hanya saja pada EPS terlihat banyak leukosit dan bentukan oval fat body. Subkategori IIIB Pada uji 4 tabung tidak didapatkan adanya bakteri penyebab infeksi maupun sel-sel penanda inflamasi. Prostatitis inflamasi asimtomatik ( Kategori IV ) Adanya proses inflamasi pada prostat diketahui dari spesimen yang kemungkinan didapat dari cairan semen pada saat analisis semen dan jaringan prostat.

Penatalaksanaan Medis Menurut Basuki B Purnomo pengobatan Prostatitis dibedakan berdasarkan Prostatitis Akut dan Kronis. Prostatitis Bakterial Akut ( Kategori I ) Dipilih antibiotika yang sensitif terhadap kuman penyebab infeksi dan kalau perlu pasien harus menjalani perawatan di rumah sakit guna pemberian obat secara parenteral. Antibiotika yang dipilih adalah dari golongan fluroquinolone, trimetoprim-sulfametoksazol dan golongan aminoglikosida. Setelah keadaan membaik antibiotika per oral diteruskan hingga 30 hari. Jika terjadi gangguan miksi sehingga menimbulkan retensi urin sebaiknya dilakukan pemansangan kateter suprapubik karena dalam tindakan ini pemasangan kateter transuretra kadang-kadang sulit dan menimbulkan rasa nyeri. Prostatitis Bakterial Kronis ( Kategori II ) Pada prostatitis bakterial akut, hampir semua antibiotik dapat menembus barier plasma-epitelium dan masuk ke dalam sel-sel kelenjar prostat, tetapi pada infeksi kronis tidak banyak jenis antibiotik

yang dapat menembus barier itu. Jenis antimikroba yang dapat menembus adalah trimetoprin-sulfametoksasol, doksisiklin, minosiklin, karbenisilin, fluroquinolone. Antimikroba diberikan dalam jangka lama hingga pemeriksaan kultur ulangan tidak menunjukkan adanya kuman. Prostatitis non Bakteral ( Kategori III ) Subkategori IIIA Beberapa penulis menduga bahwa inflamasi ini disebabkan karena infeksi dari Ureaplasma urealitikum/Chlamidia trachomatis sehingga mereka memberikan antibiotika yang sensitif terhadap kuman itu, antara lain minosiklin, doksisiklin atau eritromisin selama 2-4 minggu. Subkategori IIIB Pemberian obat-obatan simtomatik berupa obat penghantar adrenergik alfa dapat mengurangi keluhan miksi. Prostatitis inflamasi asimtomatik ( Kategori IV ) Sebagian besar prostatitis yang tanpa menunjukkan gejala seperti pada kategori ini tidak memerlukan terapi, tetapi didapatkannya selsel inflamasi pada analisis semen seorang pria yang mandul perlu mendapatkan terapi antibiotika. Tujuan terapi untuk prostatitis bakterialis akut adalah untuk menghindari komplikasi akibat pembentukan abses dan septikemia. Preparat antibiotik berspektrum luas ( yang merupakan antibiotik yang sesnsitif terhadap mikroorganisme ) diberikan selama 10-14 hari. Pemberian preparat intravena mungkin diperlukan untuk mencapai kadar serum dan jaringan yang tinggi. Pasien disarankan untuk tetap tirah baring untuk menghilangkan gejala yang cepat. Rasa nyaman ditingkatkan dengan analgesik ( untuk menghilangkan nyeri), antispasmodik dan sedatif kandung kemih ( untuk menghilangkan iritabilitas kandung kemih), mandi rendam (untuk menghilangkan nyeri dan spasme) dan pelunak feses (untuk mencegah nyeri saat mengejan ketika defekasi).

Prostatitis bakterialis kronis sulit untuk diobati karena kebanyakan antibiotik berdifusi dengan buruk dari plasma ke dalam cairan prostat, namun demikian, antibiotik mungkin diresepkan, termasuk trimetroprimsulfamethoxazol, tetrasiklin, minosiklin, dan doksisiklin. Terapi kontinu dengan antibiotik dosis rendah untuk menekan infeksi dapat juga diindikasikan. Selain itu, pasien diberitahukan bahwa infeksi saluran kemih dapat kambuh dan diajarkan mengenali gejala-gejalnya. Seperti halnya pada prostatitis akut, tindakan untuk meningkatkan rasa nyamanmencakup antispasmodik, mandi rendam, pelunak feses, dan mengevaluasi semua pasangan seksual untuk mengurangi kemungkinan infeksi silang. ( Brunner Studdart, 2003) Prostatitis bakterial akut dapat merupakan infeksi yang serius, dibutuhkan pemberian AB parenteral dosis tinggi seperti aminoglikosid dan derivat penisillin, atau sefalosporin generasi ke 3, sampai keadaan membaik atau normalnya parameter tanda infeksi. Pada kasus yang lebih ringan dapat diberikan fluorokuinolon peroral sedikitnya 10 hari. Prostatitis bakterial kronis dan Inflamasi CPPS diberikan fluorokuinolon atau trimetoprim per oral selama 2 minggu sejak diagnosis awal. Kemudian pasien harus dinilai kembali, dan AB diteruskan jika kultur sebelum terapi positif atau pasien merasa adanya efek positif terapi. Disarankan periode pengobatan 4 6 minggu.

2. Upper Urinary Tract Infection a. Pielonefritis Definisi adalah infeksi pada pelvis dan interstisium ginjal Menurut Brunner and Studdart Pielonefritis merupakan infeksi bakteri pada piala ginjal, tubulus, dan jaringan interstisial dari salah satu atau kedua ginjal. Bakteri mencapai kandung kemih melalui uretra dan naik ke ginjal. Meskipun ginjal menerima 20% -25% curah jantung, bakteri

jarang yang mencapai ginjal melalui aliran darah; kasus penyebaran secara hematogen < 3%. Pielonefritis Akut Menurut Basuki B Purnomo,Pielonefritis Akut merupakan reaksi inflamasi akibat infeksi yang terjadi pada pielum dan parenkim ginjal. Pada umumnya kuman yang menyebabkan infeksi berasal dari saluran kemih bagian bawah yang naik ke ginjal melalui ureter. Kuman-kuman itu adalah Escherechia Coli, Proteus, Klebsiella spp dan kokus gram positif yaitu: Streptokokus faecalis dan enterokokus. Kuman Stafilokokus aureus dapat menyebabkan pielonefritis melalui penularan secara hematogen, meskipun jarang dijumpai. Pielonefritis Kronis Price W ilson mengemukakan bahwa PN kronik adalah penyakit tubulointerstitial kronik dengan peradangan dan terbentuknya jaringanparut pada tubulointerstitial kronik akibat terlibatnya patologis pelvis ginjal dan kaliks. Epidemiologi Pielonefritis adalah penyakit yang sangat umum terjadi, dengan frekuensi 12-13 kasus per tahun pada 10.000 penduduk yang berjenis kelamin wanita dan 3-4 kasus per 10.000 pada pria. W anita muda umumnya yang paling mungkin akan terkena karena secara tradisional mencerminkan aktivitas seksual dalam kelompok umur. Bayi dan orang tua juga berisiko tinggi karena mencerminkan perubahan anatomi dan status hormonal. Anak perempuan dan perempuan dewasa mempunyai insiden UTI dan pielonefritis akut yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak lakilaki dan laki-laki dewasa, karena bentuk uretra yang lebih pendek dan letaknya berdekatan dengan anus sehingga mudah terkontaminasi oleh feses. Studi
5

epidemiologi

menunjukkan

adanya

bakteriuria

yang

bermakna (10 organisme/ml urine) pada 1%-4% gadis pelajar, 5%-10%

pada perempuan usia subur dan sekitar 10% perempuan yang usianya lebih dari 60% (Kunin, 1997). Hanya sedikit dari kasus ini yang memperlihatkan gejala-gejala klinis UTI. Penelitian jangka panjang yang dilakukan pada gadis usia sekolah menyatakan bahwa gadis yang pernah mengalami bakteriuria bermakna akan lebih mudah terkena UTI berulang pada dewasanya, biasanya tidak lama setelah menikah atau selama kehamilan pertama. Infeksi pada laki-laki jarang ditemukan dan bila terjadi biasanya disebabkan oleh obstruksi. Patofisiologi Bakteri dari blader Obstruksi ureter dan kantung kemih Refluks urin vesikoureter

Bakteri menempel di urotelium pielum&parenkim ginjal Invasi dan proliferasi Inflamasi dan infeksi Pielonefritis

Faktor Resiko Faktor predisposisi Kehamilan terutama dengan riwayat keracunan (toksemi gravidarum) Diabetes mellitus Hipertensi Anemia Umur lebih dari 60 tahun

Hematuri Instrumensasi Riwayat penyakit ginjal Faktor risiko yang membuat seseorang bisa terkena ISK. a. Salah cebok. Kurang menjaga kebersihan dan kesehatan daerah seputar saluran kencing, bisa memicu ISK. Apalagi dengan cara cebok yang salah, yaitu dari belakang ke depan. Cara cebok seperti ini sama saja menarik kotoran ke daerah vagina atau saluran kencing. b. Kebiasaan menahan kencing. Pada perempuan, jika menahan kencing, uretra jadi semakin pendek dan memungkinkan kuman masuk ke dalam saluran kencing. Sedangkan pada pria, meski dia menahan kencing, uretranya tetap panjang. c. Tidak kencing sebelum melakukan hubungan seks. Hal ini menyebabkan uretra penuh. Jika uretranya pendek, terkena gesekan saat berhubungan seks, bisa menyebabkan kuman-kuman gampang terdorong masuk ke salurang kencing . d. Penyakit kelamin. Yaitu berhubungan seksual dengan orang yang punya penyakit kelamin seperti penyakit kencing nanah. Hal ini akan menyebabkan infeksi pada uretra dan menghasilkan nanah. e. Anak perempuan,karena ureter yang lebih pendek dibandingkan lakilaki. f. Anak laki-laki tidak disirkumsisi g. Pemasangan kateter pada buli-buli Manifestasi Klinis Pielonefritis Akut Pasien Pielonefritis akut mengalami demam dan menggigil, nyeri panggul, nyeri tekan pada sudut kostovertebral (CVA), lekositosis dan

adanya bakteri dan sel darah putih dalam urin. Selain itu gejala saluran urinarius bawah seperti disuria dan sering berkemih umunya terjadi. Ginjal pasien pielonefritis akut biasanya membesar disertai infiltrasi interstitial sel-sel inflamasi. Abses dapat dijumpai pada kapsul ginjal dan pada taut kortikomedularis. Pielonefritis Kronis Pasien pielonefritis kronis biasanya tanpa gejala infeksi kecuali terjadi eksaserbasi. Tanda-tanda utama mencakup keletihan, sakit kepala, nafsu makan rendah, poliuria, haus yang berlebihan dan kehilangan berat badan. Infeksi yang menetap atau kambuh dapat menyebabkan jaringan parut progresif di ginjal, disertai gagal ginjal pada akhirnya. Pemeriksaan Diagnosa Pielonefritis Akut Suatu urogram intravena dan ultrasound dapat dilakukan untuk mengetahui lokasi obstruksi di traktus urinarius; menghilangkan obstruksi adalah penting untuk menyelamatkan ginjal dari kehancuran. Kultur urin dan tes sensitivitas dilakukan untuk menentukan organism penyebab sehingga agens antimicrobial yang tepat dapat diresepkan. Pielonefritis Kronis Luasnya penyakit dikaji melalui urogram intravena dan pengukuran BUN, kadar kreatinin dan klirens kreatinin. Jika bakteri terdapat dalam bakteri tersebut harus dimusnahkan. Beberapa pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan adalah : 1. Urinalisis - Leukosuria atau piuria merupakan salah satu petunjuk penting adanya ISK. Leukosuria positif terdapat lebih dari 5 leukosit/ lapang pandang besar (LPB) sedimen air kemih

- Hematuria : hematuria positif bila terdapat 5-10 eritosit/LPB sediment air kemih. Hematuria disebabkan berbagai keadaan patologis baik berupa kerusakan glumerolus maupun urolitiasis 2. Bakteriologis - Mikroskop : satu bakteri lapang pandang minyak emersi, 102-103 organisme kaliform/mL urin plus piuria - Biakan bakteri - Tes kimiawi : tes reduksi griess nitrate berupa berubahan warna pada uji carik 3. Kultur urien untuk mengidentifikasi adanya organisme spesifik 4. Hitung koloni : hitung koloni sekitar 10.000 koloni per mililiter urin dari urin tampung aliran tengah atau dari spesimen dalam kateter dianggap sebagai adanya kriteria utama adanya infeksi 5. Metode tes - Tes dipstick multi strip untuk W BC (tes esterase laktat) dan nitrit (tes Griess untuk pengurangan nitrat) - Tes esterase lekosit positif : maka pasien mengalami piuria - Tes pengurangan nitrat, Griess positif jika terdapat bakteri yang mengurangi nitrat urin normal menjadi nitrit 6. Penyakit Menular Seksual (PMS) : uretritia akut akibat organisme penyakit menular secara seksual (misal, klamidia trakomatis, neisseria gonorrhoeae, herpes simplek) 7. Tes-tes tambahan: - urogram intravena (IVU) - pielografi (IVP), mesistografi dan ultrasonografi juga dapat dilakukan untuk menentukan apakah infeksi akibat dari abnormalitas traktus urinarius, adanya batu, massa renal/abses, hidronerosis atau hiperplasia prostat. - urogram IV atau ultrasonic, sistoskopi dan prosedur urodinamik dapat dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab kambuhnya infeksi yang resisten

b. Abses Ginjal Definisi adalah abses yang terjadi pada parenkim ginjal. Biasanya hal ini berkaitan dengan pielonefritis atau UTI akibat Enterobactiaceaeu atau berasal dari infeksi hematogen biasanya stafilokokus. Pasien mungkin sebelumnya mempunyai riwayat bisul atau karbunkel sebelumnya. Basuki B Purnomo menyatakan bahwa Abses Ginjal dibedakan 2 yaitu Abses Korteks Ginjal dan Abses Kortiko-Meduler. Abses Korteks Ginjal/karbunkel ginjal pada umumnya disebabkan oleh penyebaran infeksi kuman Stafilokokus aureus yang menjalar secara hematogen dari focus infeksi di luar system saluran kemih (antara lain dari kulit). Abses Kortiko-medular merupakan penjalaran infeksi secara ascending oleh bakteri E.coli, proteus, atau Klebsiella spp. Abses renal adalah infeksi lokal di korteks ginjal. Biasanya hal ini berkaitan dengan Pielonefritis atau UTI akibat enterobactactiaceaeu, atau berasal dari infeksi hematogen (biasanya stafilokokus). Pasien mungkin memiliki riwayat bisul atau karbunkel sebelumnya. (Brunner & Suddarth, 2002: 1438). Epidemiologi AS insiden abses ginjal berkisar 1 sampai 10 kasus per 10.000 penerimaan rumah sakit. Dengan tingkat kematian 1,5% sampai 15%. 75% kasus terjadi pada laki- laki. Meskipun pada perempuan memiliki tingkat resiko yang sama tergantung faktor predisposisi. Etiologi Abses ginjal bisa disebabkan oleh bakteri yang berasal dari suatu infeksi yang terbawa ke ginjal melalui aliran darah atau akibat suatu infeksi saluran kemih yang terbawa ke ginjal dan menyebar ke dalam jaringan ginjal. Abses di permukaan ginjal (abses perinefrik) hampir selalu disebabkan

oleh pecahnya suatu abses di dalam ginjal, yang menyebarkan infeksi ke permukaan dan jaringan di sekitarnya. Faktor Resiko a. Faktor resiko tradisional Usia tua Jenis kelamin laki-laki Hipertensi LDL kolesterol tinggi HDL kolesterol rendah Diabetes Merokok Kurang gerak fisik Menopause Riwayat keluarga penyakit kardiovaskuler Hipertropi ventrikular kiri b. Faktor resiko non-tradisional Albuminiuria/proteinuria Homosistein Lipoprotein (a) dan Lipoprotein (a) isoform Bekas lipoprotein Anemia Abnormalitas metabolisme ca-fosfat Cairan ekstraseluler berlebihan Stress oksidatif Inflamasi (C-reactive protein) Malnutrisi Faktor trombogenik Gangguan tidur Perubahan keseimbangan nitrit oksida/ Endotelin

Patofisiologi Infeksi Saluran Kemih(uretritis,prostatitis,dll) Tidak terkontrol Bakteri yang menyebabkan ISK bakteri menyebar ke ginjal melalui aliran darah Inflamasi sel darah putih melakukan fagosit Jika terlalu lama dan tidak terobati(komplikasi) Abses Ginjal Manifestasi Klinis Tanda dan gejala mencakup demam, malese, nyeri tumpul di area ginjal, kelemahan, anoreksia dan kehilangan berat badan serta lekositosis. Pemeriksaan Diagnostik a. Laboratorium 1) Lekositosis (shift to the left) 2) Bila belum berhubungan dengan sistem kolekting bacteriuria (-) 3) Pada Medullary absces pada urin & darah 4) Glukosuri & hiperglikemi b. Radiologi 1) BNO : bayangan ginjal membesar, perselubungan (+), m.psoas (-), batu 2) IVP : abses pada kortek space occupying lesion D.M. piuria (+), bakteriuria (+) & kultur (+) piuria (-),

3) USG

masa kistik

4) CT Scan

c. Abses Perinefrik adalah abses renal yang meluas ke dalam jaringan lemak di sekitar ginjal.

d. Glomerulonefritis Definisi adalah suatu penyakit dimana terjadi inflamasi di glomerulus. Price W ilson dalam bukunya menyampaikan bahwa Glomerulonefritis adalah penyakit peradangan ginjal bilateral. Peradangan dimulai dalam glomerulus dan bermanifestasi sebagai protenuria dan/atau hematuria. Meskipun lesi terutama ditemukan pada glomerulus, tapi seluruh nefron pada akhirnya akan mengalami kerusakan, sehingga terjadi gagal ginjal kronik. Definisi lainnya disampaikan oleh W illie Japaries, mengemukakan bahwa Glomerulonefritis adalah peradangan dan kerusakan pada alat penyaring darah sekaligus kapiler ginjal. Menurut Barbara Engran, Glomerulonefritis merupakan sindrom yang ditandai peradangan dari glomerulus diikuti pembentukan beberapa antigen. Istilah umum Glomerulonefritis (GN) biasanya dipakai untuk menyatakan sejumlah penyakit ginjal primer yang terutama menyerang Glomerulus yang adapat ataupun tidak disebabkan oleh penyakit ginjal primer. a. Glomerulonefritis Akut (APSGN) GN akut adalah istilah yang secara luas digunakan yang mengacu pada sekelompok penyakit ginjal dimana terjadi inflamasi di glomerulus. Pada

hampir semua tipe glomelonefritis, immunoglobulin utama, IgG (antibody) ditemukan di serum manusia dan dapat dideteksi pada dinding kapiler glomerular. Akibat dari reaksi antigen-antibodi, agregat molekul(kompleks) dibentuk dan beredar ke seluruh tubuh. Beberapa dari kompleks ini terperangkap di glomerulus, suatu bagian penyaring di ginjal dan mencetuskan respon inflamasi. Organisme penyebab lazim adalah streptokukus beta hemolitikus grup A tipe 12 atau 4 dan 1; jarang oleh penyebab lainnya. Produk streptokokus, berlaku sebgai antigen, menstimulasi sirkulasi antibody dan menghasilkan endapan kompleks di glomerulus menyebabkan cedera pada ginjal. Namun sebenarnya bukan streptokokus yang menyebabkan kerusakan pada ginjal. Diduga terdapat suatu antibodi yang ditujukan terhadap antigen khusus yang merupakan unsure membran plasma streptokokal spesifik. Glomerulonefritis akut adalah penyakit yang terutama menyerang pada individu muda, namun demikian pembentukan virus glomerulonefritis terjadi pada semua spectrum usia. Menurut Corwin, Glomerulonefritis akut adalah peradangan glomerulus secara mendadak. Peradangan glomerulus terjadi akibat pengendapan kompleks antigen-antibodi di kapiler-kapiler glomerulus. Kompleks biasanya terbentuk 7-10 hari setelah infeksi faring atau kulit oelh streptokokus (glomerulonefritis pascastreptococus) tetapi dapat timbul setelah infeksi lain. Glomerulonefritis akut biasanya membaik dengan terapi antibiotic spesifk, terutama pada anak-anak. Sebagian ornag dewasa mungkin tidak dapat pulih dan mengalami glomerulonefritis progresif cepat/kronis. b. Glomerulonefritis Progresif Cepat (subakut)/ RPGN Istilah ini dipakai untuk menyatakan suatu penyakit ginjal fulminan dengan gambaran klinis dan morfologis yang khas. Terdapat hematuria, protenuria dan azotemia progresif cepat sehingga akan mengakibatkan kematian dalam jangka waktu 2 tahun.

Glomerulonefritis PC adalah peradangan glomerulus yang terjadi sedemikian cepat sehingga terjadi penurunan GFR 50% dalam 3 bulan setelah awitan penyakit. GP C dapat terjadi akibat perburukan glomerulonefritis akut, suatu penyakit otoimun atau sebabnya idiopatik. GPC berkaitan dengan proliferasi difus sel-sel glomerulus di dalam ruang Bowman. Hal ini menimbulkan struktur yang berbentuk mirip bulan sabit yang merusak ruang Bowman. GFR menurun sehingga terjadi gagal ginjal. (Corwin). c. Glomerulonefritis Kronik (CGN) Ditandai dengan kerusakan glomerulus secra progresif lambat akibat glomerulonefritis yang sudah berlangsung lama. Umumnya, CGN tidak berhubungan dengan APSGN maupun RPGN, tetapi kelihatannya menyakit de novo. Penyakit cenderung timbul tanpa diketahui asal usulnya dan biasanya baru ditemukan pada stadium lanjut ketika timbul gejala-gejala insufisiensi ginjal. Bila semua organ strukturnya telah mengalami kerusakan hebat, organ ini disebut ginjal stadium akhir dan mungkin sulit menetukan apakah lesi asalnya terjadi pada glomerulus, interstisial dan disebabkan oleh pielonefritis kronik atau vascular. Glomerulonefritis kronis adalah peradanngan lama di sel sel glomerulus. Kelainan ini dapat terjadi akibat glomerulonefritis akut yang tidak membaik atau timbul secara spontan. GK sering timbul beberapa tahun setelah cedera dan peradangan glomerulus subklinis yang disertai oleh hematuria dan protenuria ringan. Penyebabnya seringkali adalah DM dan HT kronis. Kedua penyakit ini berkaitan dengan cedera glomerulus yang bermakna dan berulang. Hasil akhir dari peradangan tersebut adlah pembentukan jaringan parut dan menurunnya fungsi glomerulus. Kerusakn glomenurulus sering diikuti oleh atrofi tubulus. Para pengidap Glomerulonefritis Kronis yang disertai Diabetes Melitus dan Hipertensi ringan, memiliki prognosis fungsi ginjal

jangka panjang yang kurang baik. Glomerulonefritis kronis juga dapat menyertai SLE kronis. Epidemiologi Glomerulonefritis sering ditemukan pada anak berumur antara 3-7 tahun dan lebih sering mengenai anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan adalah 2 : 1 dan jarang menyerang anak dibawah usia 3 tahun. Hasil penelitian multisenter di Indonesia pada tahun 1988, melaporkan adanya 170 pasien yang dirawat di rumah sakit pendidikan dalam 12 bulan. Pasien terbanyak dirawat di Surabaya (26,5%), kemudian disusul berturut-turut di Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%), dan Palembang (8,2%). Pasien laki-laki dan perempuan berbanding 2 : 1 dan terbanyak pada anak usia antara 6-8 tahun (40,6%). Patofisiologi Dari hasil penyelidikan klinis imunologis dan percobaan pada binatang menunjukkan adanya kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab glomerulonefritis akut. Beberapa ahli mengajukan hipotesis sebagai berikut : 1. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrane basalis glomerulus dan kemudian merusaknya. 2. Proses auto imun kuman streptococcus yang nefritogen dalam tubuh menimbulkan badan auto-imun yang merusak glomerulus. 3. Streptococcus nefritogen dengan membrane basalis glomerulus mempunyai komponen antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak membrane basalis ginjal.

1.1 Penyakit Glomerulus b. Menurut Corwin patofisiologi Glomerulonefritis Pengendapan kompleks antigen-antibody di glomerulus akan memacu suati reaksi peradangan. Reaksi peradangan di glomerulus menyebabkan pengaktifan komplemen dan degranulasi sel mast, sehingga terjadi peningkatan aliran darah, peningkatan permeabilitas kapuler glomerulus dan peningkatan filtrasi glomerulus. Protein plasma dan sel darah merah bocor melalui glomerulus. Akhirnya membrane glomerulus rusak sehingga terjadi pembengkakan dan edema di ruang interatitium Bowman. Hal ini meningkatkan tekanan cairan interstitium, yang dapat menyebabkan kolapsnya setiap glomerulus di daerah tersebut. Akhirnya pengingkatantekanan cairan interstitium akan melawan filtrasi glomerulus lebih lanjut. Pengaktifan reaksi penarikan peradangan juga menarik sesl-sel darah putih dan trombosit ke daerah glomerulus. Pada peradangan, terjadi pengaktifan factor-faktor koagulasi yang dapat menyebabkan pengendapan fibrin, pembentukan jarring parut dan hilangnya fungsi

glomerulus.

Membrane

glomerulus

menebal

dan

menyebabkan

penurunan GFR lebih lanjut. Patofisiologi Glomerulonefritis berdasar tingkatannya adalah : a. Glomerulonefritis Akut Kasus glomerulonefritis akut terjadi setelah infeksi streptokokus pada tenggorokan atau kadang-kadang pada kulit sesudah masa laten 1 sampai 2 minggu. Organisme penyebab lazim adalah streptokokus beta hemolitikus grup A tipe 12 atau 4 dan 1,jarang oleh penyebab lainnya. Namun sebenarnya bukan streptokukus yang menyebabkan kerusakan pada ginjal. Diduga terdapat suatu 45embrane yang ditujukan terhadap antigen khusus yang merupakan 45embrane plasma streptokokal spesifik. Terbentuk kompleks antigen-antibodi dalam darah bersikulasi ke dalam glomerulus tempat kompleks tersebut secara mekanis terperangkap dalam 45embrane basalis. lesi Selanjutnya dan komplemen yang akan menarik terfiksasi leukosit mengakibatkan peradangan

polimerfonuklear(PMN) dan trombosit menuju tempat lesi. Kasus glomerulonefritis akut terjadi setelah infeksi streptokokus pada tenggorokan atau kadang-kadang pada kulit sesudah masa laten 1 sampai 2 minggu. Organisme penyebab lazim adalah streptokokus beta hemolitikus grup A tipe 12 atau 4 dan 1,jarang oleh penyebab lainnya. Namun sebenarnya bukan streptokukus yang menyebabkan kerusakan pada ginjal. Diduga terdapat suatu 45embrane yang ditujukan terhadap antigen khusus yang merupakan 45embrane plasma streptokokal spesifik. Terbentuk kompleks antigen-antibodi dalam darah bersikulasi ke dalam glomerulus tempat kompleks tersebut secara mekanis terperangkap dalam 45embrane basalis. lesi Selanjutnya dan komplemen yang akan menarik terfiksasi leukosit mengakibatkan (Price, W ilson) Proliferasi seluler (peningkatan produksi sel endothelial yang melapisi glomerul), infiltrasi leukosit ke glomerulus dan penebalan peradangan

polimerfonuklear(PMN) dan trombosit menuju tempat lesi

membrane filtrasi ke glomerulus atau membrane basal menghasilkan jaringan parut dan kehilangan permukaan penyaring. Pada glomerulonefritis akut, ginjal membesar, bengkak, dan kongesti. Seluruh jaringan renal- glomerulus, tubulus dan pembuluh darah-dipengaruhi dalam berbagai tingkat tanpa memperhatikan tipe glomerulonefritis akut yang ada. Pada banyak pasien, antigen di luar tubuh (missal medikasi, serum asing) mengawali proses, menyebabkan pengendapan kompleks di glomerulus. Pada pasien yang lain, jaringan ginjal sendiri berlaku sebagai antigen penyerang. Electron-mikroskopis dan analisis imunofluoresen mekanisme imun membantu identifikasi asal lesi. (Brunner Studdart) Infeksi faring/ kulit oleh streptokokus Reaksi antigen antibody Pengendapan kompleks antigen antibody di kapiler Kapiler glomerulus Glomerulus b. Glomerulonefiris Kronis Glomerulonefritis kronis,awalnya seperti glomerulonefritis akut atau tampak sebagai tipe reaksi antigen/antibody yang lebih ringan,kadangkadang sangat ringan,sehingga terabaikan. Setelah kejadian berulang infeksi ini,ukuran ginjal sedikit berkurang sekitar seperlima dari ukuran normal,dan terdiri dari jaringan fibrosa yang luas, korteks mengecil menjadi lapisan yang tebalnya 1-2 mm atau kurang. Berkas jaringan parut merusak sistem korteks,menyebabkan permukaan ginjal kasar dan ireguler. Sejumlah glomeruli dan tubulusnya berubah menjadi jaringan parut,dan cabang-cabang arteri renal menebal. Akhirnya terjadi perusakan

glomerulonefritis yang parah,menghasilkan penyakit ginjal tahap akhir (ESRD). (Price W ilson) Glomerulonefritis kronik awitannya mungkin seperti glomerulonefritis akut atau tampak sebagai tipe reaksi antigen-antibodi yang lebih ringan, kadang-kadang sangat ringan sehingga terabaikan. Setelah kejadian berulangnya infeksi ini, ukuran ginjal sedikit berkurang sekitar seperlima dari ukuran normal dan terdiri dari jaringan fibrosa yang luas. Korteks mengecil menjadi lapisan yang tebalnya 1-2 mm atau kurang. Berkas jaringan parut merusak sisa korteks, menyebabkan permukaan ginjal kasar dan irregular. Sejumlah glomeruli dan tubulusnya berubah menjadi jaringan parut, dan cabang-cabang arteri renal menebal. Akhirnya terjadi kerusakan glomerulus yang parah, menghasilkan penyakit ginjal tahap akhir ( ESRD) (Brunner Studdart). Glomerulus akut proliferasi dan kerusakan glomerulus secara progresif membrane glomerulus menebal glomerulus kronis c. Glomerulonefritis Progresif Cepat Awitan penyakit ini sering kali tidak jelas dan juga bisa akut. Biasanya tidak didahului oleh penyakit yang dapat memberikan kesan disebabkan oleh antibody autoimun terhadap membrane basalis glomerulus yang timbul dalam darah penderita sendiri. Zat kompleks imun subendotel dapat dilihat dengan mikroskop electron. Terbentuknya antibody yang melawan sel-sel glomerulus Pembentukam jaringan parut luas di glomerulus Glomerulus Progresif Cepat

Manifestasi Klinis 1. Glomerulonefritis Akut : Gambaran APSGN yang paling sering ditemukan adalah: hematuria, protenuria, oliguria, edema dan hipertensi. Gejala umum yang berkaitan dengan permulaan penyakit adalah rasa lelah, anoreksia dan kadangkadang demam, sakit kepala, mual, dan muntah. Gangguan fisiologik utama pada APSGN biasanya menurun( meskipun aliran plasma ginjal biasanya normal). Akibatnya ekskresi air, natrium dan zat-zat nitrogen mungkin berkurang sehingga terjadi edema dan azotemia. Peningkatan aldosteron juga dapat berperan dalam retensi natrium dan air. Di pagi hari sering terjadi edema wajah terutama edema preorbita, meskipun edema lebih nyata di bagian anggota bawah tunbuh ketika menjelang siang. Derajat edema biasanya bergantung pada beratnya peradangan glomerulus. Hipertensi hampir selalu terjadi meskipun peningkatan tekanan daarh mungkin hanya sedang. Hipertensi terjadi akibat ekspansi volume cairam ekstrasel (ECF) atau akibat vasospasme masih belum diketahui dengan jelas. Kerusakan pada rumabai kapiler glomerulus mengakibatkan hematuria dan albuminuria seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Urine mungkin tampak kemerah-merahan seperti kopi. Pemeriksaan mikroskopik sedimen urin memperlihatakan adanya silindruria (banyak

silinder didalam urine), eritrosit dan silinder eritrosit; yang terakhir ini menyatakan bahwa perdarahan bersala dari glomerulus. Hilangnya protein biasanya tidak cukup banyak untuk menyebabkan hipoalbuminemia, sedangakan sindrom nefrotik jarang terjadi pada APSGN. Berat jenis urine biasanya tinggi meskipun terjadi azotemia, suatu kombinasi yang jarang ditemukan pada penyakit ginjal lain yang bukan APSGN. ( Price Wilson) Glomerulonefritis mungkin ringan sehingga dapat diketahui sehingga dapat diketahui secara incidental melalui urinalisis rutin atau riwayat

mungkin menunjukkan episode faringitis atau tonsillitis sebelumnya, disertai demam. Pada bentuk penyakit yang lebih parah, pasien mengeluh adanya sakit kepala, malase, edema wajah dan nyeri panggul. Hipertensi ringan sampai berat dapat dijumpai dan nyeri tekan dis eluruh sudut kostovetebral (CVA) umumnya terjadi. Menurut Nursalam manifestasi klinis Glumerulonefritis akut adalah: a. penyakit ringan umumnya ditemukan saat melakukan urinalisis secara rutin b. riwayat infeksi: faringitis oleh streptokokus kelompok A, virus hepatitis B dan endokarditits c. protenuria, hematuria dan oliguria d. wajah seperti bulan dan edema ekstremitas e. lemah dan anoreksia f. hipertensi (ringan,sedang atau berat) dan sakit kepala g. anemia akibat kehilangan sel darah merah ke dalam urine 2. Glomerulonefritis Kronik Penyakit cenderung timbul tanpa diketahui asal usulnya dan biasanya baru ditemukan pada stadium lanjut, ketika timbul gejala-gejala insufisiensi ginjal. Menurut stadium penyakit, mungkin akan timbul poliuria atau oliguria, berbagai derajat protenuria, hipertensi, azotemia progresif dan kematian akibat uremia. Pada CGN lanjut maka ginjal tampak mengkerut, kadang-kadang beratnya hanya 50 gram dan permukaan bergranula. Perubahanperubahan ini terjadi akibat berkurangnya jumlah nefron karena iskemia dan hilangnya nefron. Pada pemeriksaan mikroskopik tampak sebagian besar glomerulus tampak telah mengalami besar perubahan. glomerulus Mungkin telah terdapat campuran sebagian mengalami

perubahan. Mungkin terdapat campuran antara perubahan membranosa dan proliferasi dan pembentukan epitel berbentuk bulan sabit . Akhirnya tubulus mengalami atrofi, fibrosis interstitial dan penebalan didnding

arteria. Bila semua organ strukturnya telah mengalami kerusakan hebat, organ ini disebut ginjal stadium akhir, dan mungkin sulit menentukan apakah lesi asalnya terjadi pada glomerulus, interstitial dan disebabkan oleh pielonefritis kronik dan vascular. ( Price Wilson ) Gejala glomerulonefritis kronik bervariasi. Banyak pasien dengan penyakit yang telah parah memperlihatkan kondisi gejala sama sekali untuk beberapa tahun. Kondisi mereka secara incidental dijumpai terjadi ketika hipertensi atau peningkatan kadar BUN dan kreatinin serum. Diagnosis dapat ditegakkan ketika perubahan vascular atau perdarahan retina ditemukan selama pemeriksaan mata. Indikasi pertama penyakit dapat berupa perdarahan hidung, stroke, atau kejang yang terjadi secara mendadak. Beberapa pasien hanya memberitahukan bahwa tungkai mereka sedikit bengkak di malam hari. Mayoritas pasien juga mengalami gejala umum seperti kehilangan berat dan kekuatan badan, peningkatan iritabilitas, dan peningkatan berkemih di malam hari (nokturia). Sakit kepala, pusing dan gangguan pencernaan umumnya terjadi. Seiring dengan berkembangnya glomerulonefritis kronik, tanda dan gejala insifisiensi ginjal dan gagal ginjal kronik dapat terjadi. Pasien tampak sangat kurus, pigmen kulit tampak kuning keabu-abuan dan terjadi edema perifer (dependen) dan periorbital. Tekanan darah mungkin normal atau meningkat dengan tajam. Temuan pada retina mencakup hemoragik, adanya eksudat, arteriol menyempit dan berliku-liku, serta papilaedema. Membran mukosa pucat karena anemia. Pangkal vena mengalami distensi akibat cairan yang berlebihan. Kardiomegali, irama gallopdan tanda gagal jantung kongestif lain dapat terjadi. Bunyi krekel dapat didenganr diparu. Neuropati perifer disertai hilangnya reflex tendon dan perubahan neurosensori muncul stelah penyakit terjadi. Pasien mengalami konfusi dan memperlihatkan rentang perhatian yang menyempit. Temuan lain mencakup perikarditis disertai friksi pericardial dan pulsus paradoksus (perbedaan tekanan darah lebih dari 10 mmHg selama inspirasi dan ekspirasi) ( Brunner Studdart).

Komplikasi : 1. Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagai akibat berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut dengan uremia, hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hidremia. Walau aliguria atau anuria yang lama jarang terdapat pada anak, namun bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum kadang-kadang di perlukan. 2. Ensefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena hipertensi. Terdapat gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-kejang. Ini disebabkan spasme pembuluh darah lokal dengan anoksia dan edema otak. 3. Gangguan sirkulasi berupa dispnez, ortopnea, terdapatnya ronki basah, pembesaran jantung dan meningginya tekanan darah yang bukan saja disebabkan spasme pembuluh darah, melainkan juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma. Jantung dapat memberas dan terjadi gagal jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di miokardium. 4. Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia di samping sintesis eritropoetik yang menurun. Pemeriksaan Diagnostik Perangkat diagnostic yang perlu dilakukan adalah : Hematuria dapat diukur dengan urinealisis silinder SDm dalam urine Protenuria lebih dari 3-5 mg perhari Penurunan GFR seperti terukur dengan klirens kreatinin apabila keadaan tersebut disebabkan oleh glomerulonefritis pascastrepkokus akut, maka akan dijumpai enzim-enzim antisterptokokus misalnya antisterptolisin O dan antistreptokinase. (Corwin : 2009)

Menurut Nursalam pemeriksaan diagnostic yang diperlukan antara lain: 1. Urinalisis : hematuria (secara mikroskopik), protenuria, endapan sel darah merah dalam urin, sel darah putih, epitel sel renal, dan berbagai endapan dalam sedimen. 2. Darah : peningkatan BUN dan kreatinin, albumin rendah. Lipid meningkat, titer antistreptolisin meningkat ( dari reaksi organism streptokokus) 3. Biopsi dengan jarum dengan ginjal: sumbatan kapiler glomerulus dari proliferasi sel endothelia Menurut Kapita Selekta Kedokteran pemeriksaan diagnostik yang diperlukan yaitu: 1. Pemeriksaan urine: protein, darah dan silinder urin 2. Biakan sediaan dari tenggorokan dan titer antistrptolisin (ASO) untuk menentukan etiologi streptokokus 3. Tes untuk gangguan kompleks imun sekunder terhadap infeksi, neoplasma dan sarkoidosis 4. Factor antinuclear dan tes lain untuk lupus eritematosis sistemik atau poliarteritis nodosa

Penatalaksanaan Medis - apabila kelainan disebabkan oleh glomerulonefiris pascastreptokokus akut, maka diperlukan terapi antibiotik - kerusakan glomerulus akibat proses autoimun dapat diobati dengan kostikosteroid untuk imunosupresi - pada Glomerulonefritis Progresif Cepat dapat digunakan antikoagulan untuk mengurangi pengendapan fibrin dan pembentukan jaringan parut - kontrol glukosa yang ketat pada penderita Diabetes terbukti memperlambat / mengurangi progresi glomerulonefritis.

- Penelitian menunjukkan ACE inhibitor dapat mengurangi kerusakan glomerulus pada penderita diabetes bahkan jika tidak terbukti adanya Hipertensi nyata ( Corwin, 2009) a. Penatalaksanaan Glomerulonefritis Akut Penatalaksanaan glomerulonefritis akut paska streptokokus terutama ditujukan terhadap efek akut dari insufisiensi renal dan hipertensi. Meskipun pengobatan sistemik dengan penisilin selama 10 hari direkomendasikan untuk membatasi penyebaran organisme nefritogenik, terapi antibiotik tidak berpengaruh terhadap perjalanan penyakit glomerulonefritis. Restriksi natrium, diuresis, dan farmakoterapi dengan antagonis chanel kalsium, vasodilator, ataupun inhibitor enzim pengubah angiotensin merupakan terapi standar yang digunakan untuk mengobati hipertensi. Bagi pasien dengan ekspansi volume nyata dan kongesti pulmonal yang tidak memberi respon terhadap terapi diperlukan dialisis, baik hemodialisis maupun dialisis peritoneal. Untuk terapi umum, pasien disarankan istirahat di tempat tidur selama fase akut. Pasien juga diberi diet kalori adekuat terutama karbohidrat untuk memperkecil katabolisme endogen dan diet rendah garam. Seperti telah disinggung di atas, tidak ada pengobatan spesifik untuk glomerulonefritis akut paska streptokokus. 1. Antibiotik dapat diberikan penisilin prokain 50.000 U/kgBB/kali IM 2x/hari ataupun penisilin V 50 mg/kgBB/hr PO dibagi 3 dosis untuk infeksi aktif. 2. Apabila sensitif terhadap penisilin, dapat diberi eritromisin 50 mg/kgBB/hari (4 dosis). Antibiotik diberikan selama 10 hari. 3. Untuk pengobatan hipertensi, apabila hipertensi ringan (130/80 mmHg) tidak diberikan anti-hipertensi. Untuk hipertensi sedang (140/100 mmHg) diberi hidralazin 0,1-0,2 mg/kgBB/kali IM atau 0,75 mg/kgBB/hari (4 dosis) PO, atau nifedipin sublingual 0,25-0,5 mg/kgBB (kemasan 5 mg dan 10 mg).

Untuk hipertensi berat diberi klonidin drip dengan dosis 0,002 mg/kgBB/8jam+100 mL dekstrosa 5% (mikro drip) atau nifedipin sublingual. 4. Bila terdapat tanda hipovolemia (edema paru, gagal jantung) disertai oliguria,maka diberi diuretik kuat seperti furosemid dengan dosis 1-2 mg/kgBB/kali. b. Penatalaksanaan Glomerulonefritis Kronis Gejala yang muncul pada pasien glomerulonefritis kronis akan menjadi pedoman penatalaksanaan rawat jalan. Jika terdapat hipertensi, tekanan darah diturunkan dengan natrium dan pembatasan cairan. Protein dengan nilai biologis yang tinggi (produk susu, telur, daging) diberikan untuk mendukung status nutrisi yang baik pada pasien. Kalori yang adekuat juga penting untuk menyediakan protein bagi pertumbuhan dan perbaikan jaringan. Infeksi traktus urinarius harus ditangani dengan tepat untuk mencegah kerusakan renal lebih lanjut. Jika edema berat terjadi, pasien harus tirah baring. Kepala tempat tidur dinaikkan untuk kenyamanan dan dieresis. Berat badan harian dipantau, dan diuretic digunakan untuk mengurangi kelebihan cairan. Masukkan natrium dan cairan disesuaikan dengan kemampuan ginjal pasien untuk mengekresksikan air dan natrium. Dimulainya dialysis dipertimbangkan diawal terapi untuk menjaga agar kondisi fisik pasien tetap optimal, mencegah ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dan mengurangi resiko komplikasi gagal ginjal. Rangkaian penanganan dialysis sebelum pasien menunjukkan komplikasi signifikan adalah lambat. ( Brunner&Studdart ; 2003) c. Penatalaksanaan Glomerulonefritis Progresif Cepat Perubahan plasma (plasmaferesis) dan penanganan dengan menggunakan steroid dan agens sitotoksik telah digunakan untuk mengurangi respon inflamasi. Pada bentuk glomerulonefritis ini, resiko

untuk berkembang penyakit ke renal tahap akhir sangat tinggi jika tidak ditangani dengan agresif.

DAFTAR PUSTAKA Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi : Buku Saku. Jakarta: ECG Overdoff, David. 2009. Kapita Selekta Kedokteran Klinik. Tangerang: Binarupa Aksara. Purnomo, Basuki B. 2003. Dasar-Dasar Urologi. Jakarta : Sagung Seto Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:ECG Nursalam. 2006. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta : Salemba Medika Tessy A, Ardaya, Suwanto. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi 3. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Sukandar E. 2006 .Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi IV. Jakarta :Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : ECG Muttaqin,Arif dan Sari,Kumala. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai