Anda di halaman 1dari 18

1

BAB I
PENDAHULUAN

Uretritis merupakan kondisi inflamasi yang terjadi pada uretra yang dapat
disebabkan oleh proses infeksi atau non infeksi dengan manifestasi discharge,
disuria, atau gatal pada ujung uretra. Temuan fisik yang paling sering ditemukan
berupa discharge uretra, sedangkan temuan laboratorium menunjukkan adanya
peningkatan jumlah leukosit polimorfonuklear dengan pengecatan Gram pada apusan
uretra atau dari sedimen pancaran urin awal. Infeksi uretritis sering diklasifikasikan
menjadi Uretritis Gonococcal dan Uretritis Non-gonococcal (disebut pula uretritis
non spesifik) (Khairani, 2010).
Urethritis non gonococcal terjadi pada hampir 80% kasus urethritis,
sedangkan urethritis gonococcal terjadi pada 20% kasus urethritis. Etiologi dari
urethritis non gonococcus antara lain: Chlamydia trachomatis, Ureaplasma
urelitikum, Mycoplasma genitalium, Trichomonas vaginalis, virus herpes simpleks,
Candida albicans, dan bakteri lain (seperti E. Colli, spesies haemophilus, kuman
gram positif (Recant, 2007).
Urethritis gonococcal adalah infeksi yang disebabkan oleh Neisseria
gonorrheae. Secara umum ciri-ciri neisseriae adalah bakteri gram negatif, diplokokus
non motil, berdiameter mendekati 0,8 μm. Masing-masing cocci berbentuk ginjal;
ketika organisme berpasangan sisi yang cekung akan berdekatan. Kultur selama 48
jam pada media yang diperkaya (misalnya Mueller-Hinton, modified Thayer-
Martin), koloni gonococci berbentuk cembung, berkilau, meninggi dan sifatnya
mukoid berdiameter 1-5 mm. Koloni transparan atau pekat, tidak berpigmen dan
tidak bersifat hemolitik (Jawetz, 1996).

Gambar 1. Gambaran Diplococcus Gram Negatif

1
Gonococcus menyerang selaput lendir saluran genitourinari, mata, rektum,
dan tenggorokan, mengakibatkan supurasi akut yang dapat menyebabkan invasi
jaringan; hal ini diikuti oleh peradangan kronis dan fibrosis. Pada pria biasanya
terdapat uretritis, dengan nanah yang berwarna krem kuning dan nyeri waktu
kencing. Proses dapat menjalar ke epididimis. Pada infeksi yang tidak diobati,
sementara supurasi mereda, terjadi fibrosis, yang kadang-kadang mengakibatkan
striktur uretra. Infeksi uretra pada pria dapat tanpa gejala. Pada wanita, infeksi
primer terjadi di endoserviks dan meluas ke uretra dan vagina, mengakibatkan sekret
mukopurulen. Infeksi kemudian dapat menjalar ke tuba uterina dan menyebabkan
salpingitis, fibrosis, dan obliterasi tuba. Infertilitas terjadi pada 20% wanita yang
menderita salpingitis gonococci. Servisitis kronis atau proktitis akibat gonococci
sering tanpa gejala (Jawetz, 1996).
Ada beberapa perbedaan antara manifestasi klinis urethritis gonorrhea dan
urethritis non gonorrhea. Masa inkubasi untuk urethritis gonorrhea adalah 2-8 hari,
sedangkan urethritis non gonorrhea 7-14 hari. Onset untuk urethritis gonorrhea
adalah secara tiba-tiba, sedangkan urethritis non gonorrhea bertahap. Dysuria yang
terjadai urethritis non gonorrhea bersifat ringan, sedangkan pada urethritis gonorrhea
bersifat berat. Duh yang keluar pada urethritis non gonorrhea bersifat purulen,
sedangkan pada urethritis gonorrhea bersifat mukopurulen. Duh yang keluar pada
urehtritis non gonorrhea lebih sedikit dibandingkan dengan urethritis gonorrhea.
(Recant, 2007)
Komplikasi gonore sangat erat hubungannya dengan susunan anatomi dan
faal genitalia. Komplikasi lokal pada pria bisa berupa tisonitis (radang kelenjar
Tyson), parauretritis, littritis (radang kelnjar Littre), dan cowperitis (radang kelenjar
Cowper). Namun,penyulit yang paling sering adalah epididimoorkitis. Selain itu,
infeksi dapat pula menjalar keatas (asendens), sehingga terjadi prostatitis, vesikulitis,
funikulitis, epididimitis, yang dapat menimbulkan infertilitas. Infeksi dari uretra pars
posterior, dapat mengenai trigonum kandung kemih menimbulkan trigonitis, yang
memberi gejala poliuria, disuria terminal, dan hematuria. Komplikasi diseminata
pada pria dan wanita dapat berupa artritis, miokarditis, endokarditis, perikarditis,
meningitis, dan dermatitis. Kelainan yang timbul akibat hubungan kelamin selain
cara genito-genital, pada pria dan wanita dapat berupa infeksi nongenital, yaitu
orofaringitis, proktitis, dan konjungtivitis. Sedangkan untuk uretritis non gonore,
komplikasi yang timbul biasanya berupa tisonitis, cowperitis, abses periuretra,
striktur uretra, epididimitis, dan mungkin prostatitis (Julistia, 2011).
Diagnosis urethritis gonorrhea ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan laboratorium. Pada pewarnaan gram akan
ditemukan diplokokus gram negatif, berbentuk biji kopi yang terletak intraseluler
dan ekstraseluler, dan terdapat peningkatan leukosit polimorfonuklear (leukosit
>5/lpb pada spesimen duh urethra dan >10/lpb pada urin). Bahan pemeriksaan di
ambil dari duh tubuh, pada pria diambil dari daerah fosa navikularis, sedangkan
pada wanita diambil dari uretra, muara kelenjar bartholin, serviks, dan rectum
(Julistia, 2011).
Pengobatan Gonorrhea berdasarkan buku atlas Kulit dan Kelamin RSUD Dr.
Soetomo untuk gonorrhea tanpa komplikasi antara lain : ciprofloxacin 500 mg oral
single dose, ofloxacine 400 mg, cefixime 400 mg oral single dose, dan ceftriaxone
125 mg IM single dose. Bila dicurigai adanya infeksi campuran dengan chlamydia
dapat ditambahkan : Erythromycin 4 x 500 mg oral selama 7 hari, doxycycline 2 x
100 mg/hari per oral selama 7 hari. Untuk gonorrhea dengan komplikasi meningitis
dan endocarditis diberikan ceftriaxone 1-2 g IV setiap 12 jam, untuk meningitis
dilanjutkan 10-14 hari, dan untuk endocarditis diteruskan paling sedikit 4 minggu.
Jika terjadi artritis, tenosynovitis dan dermatitis dapat diberikan antara lain :
ciprofloxacin 500 mg IV setiap 12 jam, ofloxacine 400 mg setiap 12 jam, cefotaxime
1 g IV setiap 8 jam, dan ceftriaxone 1 g IM / IV tiap 24 jam (Murtiastutik, 2007).
Untuk mencegah penularan gonore, gunakan kondom dalam melakukan
hubungan seksual. Jika menderita gonore, hindari hubungan seksual sampai
pengobatan antibiotik selesai. Walaupun sudah pernah terkena gonore, seseorang
dapat terkena kembali, karena tidak akan terbentuk imunitas untuk gonore. Sarankan
juga pasangan seksual pasien untuk diperiksa untuk mencegah infeksi lebih jauh dan
mencegah penularan.
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. R
Umur : 21 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Arjawinangun
Status : Belum Kawin
No. RM : 10******
Tanggal : 11 Maret 2019

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama:
Kencing mengeluarkan nanah.
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang dengan keluhan mengeluarkan nanah dari kemaluannya. Keluhan
terjadi sejak 4 hari yang lalu. Awalnya kencing terasa panas dan nyeri. Saat ini pasien
mengeluh demam sejak 2 hari yang lalu, dan terdapat benjolan pada selangkangan
kiri. Pasien mempunyai riwayat hubungan seksual dengan pasangannya 5 hari
sebelum keluhan. Pasien juga mengatakan bahwa sebelum nya sering melakukan
hubungan seksual dengan bukan pasangan nya. Keluhan tersebut dirasakan baru
pertama kali.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya.
Riwayat Pengobatan
Belum pernah berobat
Riwayat Perilaku Seksual
- Pasien melakukan hubungan seksual dengan pasangan nya dan bukan pasangan
nya.
- Terakhir melakukan hubungan 5 hari yang lalu.
- Riwayat hubungan dengan selain pasangan diakui.
Riwayat Atopi
Pasien mengaku tidak ada riwayat asma, pilek-pilek saat terkena udara dingin dan
terkena debu ataupun biduran.
Riwayat keluarga:
Keluarga pasien tidak pernah ada yang menderita penyakit seperti ini.

2.3 Pemeriksaan fisik


2.3.1 Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Hiegene : Tampak terawat
Tanda Vital : Tensi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Nadi : Tidak dilakukan pemeriksaan
RR : Tidak dilakukan pemeriksaan
Tax : Tidak dilakukan pemeriksaan
Kepala/Leher : Pembesaran KGB (-)
Thorax : Cor/Pulmo : Tidak dilakukan pemeriksaan
Abdomen : Hepar/Lien : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ektremitas : Edema -/-, Pembesaran KGB + di inguinal sinistra

Kelainan kulit  Pada status dermatologis

2.3.2 Status Dermatologis

Gambar 2. Lokasi Ruam


Lokasi : Orificium uretra eksternum (OUE)
Distribusi : Lokal
Ruam : Tampak duh tubuh berwarna putih kekuningan, purulen, yang
keluar dari Orificium uretra eksternum (OUE), edema (-), eritem (-)

Gambar 3. Tampak Duh keluar dari OUE

2.3.3 Status Veneriologis


Lnn : Ditemukan pembesaran di inguinal sinistra
Corpus penis : tidak ditemukan kelainan
Preputium : (-) pasien telah disirkumsisi
Glans penis : tidak ditemukan kelainan
OUE : tidak ditemukan kelainan
Scrotum : tidak ditemukan kelainan
Epididimis : tidak ada nyeri tekan
Testis : tidak ada nyeri tekan
Discharge : purulen, berwarna putih kekuningan

2.4 Diagnosis Banding


1. Urethritis Gonorrhoe
2. Urethritis Non Gonorrhoe
2.5 Pemeriksaan Penunjang
Pengecatan gram discharge :
- Tidak dilakukan
2.6 Diagnosis
Urethritis Gonorrhoe

2.7 Penatalaksaan
Terapi yang diberikan pada pasien yaitu:
1. Kausatif : - Azitromycin 1x500 mg selama 7 hari
- Levofloxacin 1x100 mg selama 7 hari
- Vitamin C 1x1 selama 7 hari
2. KIE : - Obat diminum sesuai dosis
- tidak melakukan hubungan seksual dulu selama masa
pengobatan, atau menggunakan kondom bila berhubungan
seksual
- Pemeriksaan terhadap pasangan (penderita

2.8 Prognosis
Quo ad Vitam : Bonam
Quo ad Sanam : Bonam
Quo ad Fuctionam : Bonam
Quo ad kosmeticam : Bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3. Gonore
3.1 Definisi
Menurut Centers for Disease Control and Prevention (2015), gonore adalah
penyakit menular seksual yang disebabkan oleh bakteri Neisseria
gonorrhoeae yang dapat menginfeksi baik pria dan wanita yang
mengakibatkan infeksi pada alat kelamin, rektum dan tenggorokan.

3.2 Klasifikasi
Centers for Disease Control and Prevention (2015) mengklasifikasikan gonore
menjadi 4 golongan yaitu:

1) Infeksi gonokokal non komplikasi/ Uncomplicated Gonococcal Infections.


Infeksi gonokokal yang termasuk dalam golongan ini adalah infeksi
gonokokal urogenital (serviks, uretra dan rektum), faring dan gonokokal
konjungtivitis. Contoh infeksi gonokokal non komplikasi untuk lebih jelas
ditunjukkan pada Gambar .

Gambar 1. Contoh infeksi gonokokal non komplikasi (A) infeksi


gonokokal serviks (B) infeksi gonokokal uretra (C) infeksi gonokokal
faring (D) infeksi gonokokal konjungtivis (Centers for Disease Control
and Prevention, 2005).

2) Infeksi gonokokal diseminasi/ Disseminated Gonococcal Infections.


Infeksi gonokokal diseminasi ditandai dengan munculnya lesi pada kulit,
arthritis dan seringkali komplikasi perihepatitis, endokarditis dan
meningitis. Contoh infeksi gonokokal diseminasi untuk lebih jelas
ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Contoh infeksi diseminasi gonokokal (A) infeksi gonokokal lesi


pada jari (B) infeksi gonokokal lesi pada kaki (C) infeksi gonokokal
arthritis (Centers forDisease Control and Prevention, 2005).

3) Infeksi gonokokal pada neonatus/ Gonococcal Infections Among Neonates.


Infeksi gonokokal dapat menjadi masalah serius bagi ibu hamil yang
terinfeksi dikarenakan dapat mengakibatkan ophtalmia neonatorum/
infeksi konjungtivitis pada bayi baru lahir sehingga terjadi kebutaan pada
bayi baru lahir. Infeksi gonokokal pada neonatus terdiri dari ophtalmia
neonatorum dan gonococcal scalp abscesses, untuk lebih jelas ditunjukkan
pada gambar dibawah ini.

Gambar 3. Contoh infeksi gonokokal neonatus (A) ophtalmia


neonatorum (B) gonococcal scalp abscesses (Centers for
DiseaseControl and Prevention, 2005)

4) Infeksi gonokokal pada bayi dan anak/ Gonococcal Infections Among


Infants and Children.
Golongan klasifikasi ini sama dengan golongan infeksi gonokokal non
komplikasi dan infeksi gonokokal diseminasi, tetapi golongan ini dibuat
untuk memberikan panduan pengobatan yang lebih efektif berdasarkan
usia.

3.3 Etiologi dan Morfologi


Infeksi gonore disebabkan oleh bakteri Neisseria gonorrhoeae. Bakteri
Neisseria gonorrhoeae bersifat gram negatif, yang terlihat di luar atau di
dalam sel polimorfonuklear (leukosit), tidak tahan lama di udara bebas, cepat
mati pada keadaan kering, tidak tahan suhu di atas 39° C dan tidak tahan
terhadap zat desinfektan (Jawas & Murtiastutik, 2008).

Gambar 4. Bakteria Neisseria gonorrhoeae (Centers for Disease


Control and Prevention, 2005).

Kumar (2012) membagi bakteri Neisseria gonorrhoeae menjadi 4 macam


morfologi koloni yaitu T1, T2, T3, T4. Koloni T1 dan T2 kecil dan memiliki pili
sedangkan koloni T3 dan T4 lebih besar, lebih datar dan tidak memiliki pili. Pili
akan memfasilitasi adhesi cocci ke permukaan mukosa dan meningkatkan
virulen sehingga strain yang memiliki pili (T1 dan T2) lebih efisien serta
memiliki virulensi yang lebih tinggi dibandingkan non pili (T3 dan T4). Pili
akan melekat pada mukosa epitel dan akan menimbulkan reaksi inflamasi.
Hanya pili tipe I dan II yang patogen terhadap manusia.

3.4 Faktor Risiko


Manhart et al. (2004) dalam penelitiannya menjelaskan beberapa faktor
resiko penularan infeksi gonore antara lain:

1) Usia muda (18-39 tahun)


2) Berganti-ganti pasangan seksual
3) Homoseksual
4) Status sosial ekonomi yang rendah
5) Mobilitas penduduk yang tinggi
6) Tidak menggunakan kondom
7) Seks anal
8) Memiliki riwayat penyakit menular seksual

3.5 Gejala Klinik


Irianto (2014) menjelaskan bahwa gejala infeksi gonore mungkin muncul 1
sampai 14 hari setelah terpapar, meskipun ada kemungkinan untuk terinfeksi
gonore tetapi tidak memiliki gejala. Pada wanita, muncul cairan vagina yang
banyak dengan warna kuning atau kehijauan dengan bau yang menyengat.
Pada pria, muncul cairan putih atau kuning (nanah) keluar dari penis. Pada
umumnya penderita juga akan mengalami sensasi terbakar atau nyeri saat
buang air kecil dan cairan yang keluar dari penis.

3.6 Diagnosis
Kementerian Kesehatan RI (2011)b memberikan pedoman tentang tata cara
melakukan diagnosis gonore yang terdiri dari:

1) Anamnesis
Anamnesis dapat dilakukan oleh tenaga medis atau paramedis dengan
menanyakan beberapa informasi terkait penyakit kepada pasien untuk
membantu menentukan faktor resiko pasien, menegakkan diagnosis
sebelum melakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
lainnya.

2) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan di daerah sekitar genital pria atau wanita
dengan bantuan lampu sorot yang dilakukan oleh tenaga kesehatan ahli.
Jenis pemeriksaan yang dilakukan pada wanita dan pria memiliki
perbedaan seperti:

a) Pasien wanita, diperiksa dengan berbaring pada meja ginekologik


dengan posisi litotomi. Pemeriksaan dilakukan dengan memisahkan
kedua labia dan diperhatikan adanya tanda kemerahan,
pembengkakan, luka/ lecet, massa atau duh tubuh vagina (cairan yang
keluar dari dalam vagina, bukan darah dan bukan air seni).
Gambar 5. Posisi litotomi (Kementerian Kesehatan RI,
2011)b.

b) Pasien pria, diperiksa dengan posisi duduk/ berdiri. Pemeriksaan


dilakukan dengan melihat pada daerah penis adanya tanda kemerahan,
luka/ lecet, duh tubuh uretra (cairan yang keluar dari uretra, bukan
darah dan bukan air seni) dan lesi lain. Pada pasien pria sebelum
dilakukan pemeriksaan diharapkan untuk tidak berkemih selama 1 jam
(3 jam lebih baik).
3) Pengambilan spesimen
Pengambilan spesimen berdasarkan Kementerian Kesehatan RI (2011) b
dengan gejala duh tubuh uretra terdiri dari:

a) Pasien laki-laki, pengambilan bahan duh tubuh genitalia dengan


sengkelit steril atau dengan swab berujung kecil.

Gambar 6. Pengambilan spesimen pada pria (Kementerian


Kesehatan RI, 2011)b.

b) Pasien wanita sudah menikah, pengambilan spesimen dilakukan


dengan menggunakan spekulum steril yang dimasukkan kedalam
vagina.
c) Pasien wanita belum menikah, pengambilan spesimen dilakukan tidak
menggunakan spekulum karena dapat merusak selaput darahnya,
tetapi digunakan sengkelit steril untuk pengambilan spesimen dari
dalam vagina.
4) Pemeriksaan laboratorium
Menurut Daili (2009), pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan dengan
cara:

a) Pemeriksaan gram
Pemeriksaan gram dengan menggunakan sediaan langsung dari duh
uretra yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi terutama pada
duh uretra pria, sedangkan duh endoserviks memiliki sensitivitas yang
tidak terlalu tinggi. Pemeriksaan ini akan menunjukkan Neisseria
gonorrhoeae yang merupakan bakteri gram negatif dan dapat
ditemukan di dalam maupun luar sel leukosit.

b) Kultur bakteri
Kultur untuk bakteri N.gonorrhoeae umumnya dilakukan pada media
pertumbuhan Thayer-Martin yang mengandung vankomisin untuk
menekan pertumbuhan kuman gram positif dan kolimestat untuk
menekan pertumbuhan bakteri gram negatif dan nistatin untuk
menekan pertumbuhan jamur. Pemeriksaan kultur ini merupakan
pemeriksaan dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi, sehingga
sangat dianjurkan dilakukan pada pasien wanita.

c) Tes definitif
Tes definitif dengan oksidasi akan ditemukan semua Neisseria
gonorrhoeae yang mengoksidasi dan mengubah warna koloni yang
semula bening menjadi merah muda sampai merah lembayung,
sedangkan pada tes fermentasi dapat dibedakan N.gonorrhoeae yang
hanya dapat meragikan glukosa saja.

d) Tes betalaktamase
Tes ini menggunakan cefinase TM disc dan akan tampak perubahan
warna koloni dari kuning menjadi merah.
3.7 Tatalaksana
Penatalaksana gonore menurut Kemenkes RI (2011)b dilakukan secara
kombinasi yaitu terhadap kuman gonokokus ( N.gonorrhoeae ) dan non
gonokokus (Chlamydia trachomatis) yang dapat dilihat pada Tabel 1 dan
Tabel 2.

Tabel 1. Penatalaksana gonokokus menurut Kementerian


Kesehatan RI (2011)b
Jenis Infeksi Pengobatan Alternatif pengobatan
Gonore non
komplikasi
Uretritis, servisitis Sefiksim 400 mg dosis tunggal Kanamisin 2 g IMa dosis
per oral atau levofloksasin* tunggal atau tiamfenikol
500 mg 3,5 g per oral dosis tunggal
dosis tunggal per oral atau seftriakson
Gonore dengan 250 mg IMa dosis tunggal
komplikasi
Sindrom nyeri perut
bagian bawah Sefiksim 1 x 400 mg/hari Kanamisin 1 x 2 g/hari IMa
peroral selama 5 hari atau selama 3 hari atau
levofloksasin* 1 x 500 tiamfenikol 1 x 3,5 g/hari
mg/hari per oral selama 5 per oral selama 5 hari atau
hari seftriakson 1 x 250
mg/hari
Pembengkakan IMa selama 3 hari
skrotum

Sefiksim 1 x 400 mg/hari Kanamisin 1 x 2 g/hari IMa


peroral selama 5 hari atau selama 3 hari atau
levofloksasin* 1 x 500 tiamfenikol 1 x 3,5 g/hari
mg/hari per oral selama 5 per oral selama 3 hari atau
hari seftriakson 1 x 250
mg/hari
IMa dosis tunggal

Tabel 1. Lanjutan
Jenis Infeksi Pengobatan Alternatif
pengobatan
Gonore konjungtivitis
neonatorum
Pengobatan untuk bayi Seftriakson 50-100 mg/kgBB
IMa dosis tunggal atau
kanamisin 25 mg/kgBB
(maksimal 75 mg) IM
dosis tunggal

Pengobatan ibu Kanamisin 2 g IMa


dengan bayi yang Sefiksim 400 mg dosis dosis tunggal atau
menderita tunggal per oral atau tiamfenikol 3,5 g per
konjungtivitis levofloksasin* 500 mg dosis oral dosis tunggal atau
neonatorum tunggal per oral (tidak boleh seftriakson 250 mg
diberikan untuk ibu IMa dosis tunggal
menyusui)
* tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui
dan anak di bawah 12 tahun a intramuskular

Tabel 2. Penatalaksana non-gonokokus menurut


Kementrian Kesehatan RI (2011)b
Jenis Infeksi Pengobatan Alternatif Pengobatan
Non-gonokokus
(klamidosis) Azitromisin 1g, dosis Eritromisin
Ureteritis,servisitis, tunggal, per oral atau 4x500mg/hari, per
konjungtivitis pada ibu Doksisiklin* oral, 7 hari
dengan bayi 2x100mg/hari, per oral,
konjungtivitis selama
neonatrum, dan sindrom 7 hari
nyeri perut bagian
bawah
Eritromisin
Non-gonokokus Azitromisin 1g, dosis 4x500mg/hari, per oral,
(klamidosis) tunggal, per oral atau
7 hari atau tetrasiklin*
Pembengkakan skrotum Doksisiklin*
4x500mg/hari per oral
(orkitis) 2x100mg/hari, per oral,
selama 7 hari
selama
7 hari

Konjungtivitis neonatrum Sirup eritromisin


basa,
50mg/kgBB/hari per oral,
4 kali sehari, selama 14
hari atau Trimetoprim-
sulfametoksazol 40-
200mg, per oral, 2 kali
sehari selama 14 hari

* tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui dan anak di bawah
12 tahun

Penatalaksanaan gonore dilakukan dengan pemberian salah satu terapi


antibiotik yang disebabkan oleh kuman gonokokus yaitu sefiksim, levofloksasin,
kanamisin, tiamfenikol, dan seftriakson yang dikombinasikan dengan salah satu
antibiotik untuk kuman non gonokokus yaitu azitromisin, doksisiklin, dan
eritromisin.

Pemberian kombinasi antibiotik tersebut diatur dalam Permenkes No. 874 Tahun
2011c Tentang Pedoman Penggunaan Antibiotik. Tujuan pengobatan kombinasi
pada penyakit gonore menurut Knodel (2008) karena gonore merupakan
penyakit koinfeksi dengan klamidia.
DAFTAR PUSTAKA

Barakah, Jusuf, dkk. 2005. Pedoman Diagnosis dan Terapi Edisi III. SMF Kulit
dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo. Surabaya : Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga. Hal : 133-137.
Jawetz, M. & A., 1996, Mikrobiologi Kedokteran, Edisi 20, 281-285 EGC, Jakarta
Julistia, Renita. 2011. Uretritis Gonore Akut. http://www.scribd.com/doc/
44487945/Uretritis-Gonore-Akut.
Khairani, Erika. 2010. Uretritis Non Spesifik. http://www.scribd.com/doc/
47739961/uretritis-non-GO.
Murtiastutik, Dwi, dkk. 2007. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 2. SMF
Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo. Surabaya : Airlangga University
Press. Hal : 226-228.
Recant, R. 2007. Urethritis. http://depts.washington.edu/nnptc/core_training
/clinical/PDF/Urethritis2007.pdf.

Anda mungkin juga menyukai