FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seorang laki-laki, berusia 34 tahun, diantar polisi ke IGD RSUD Dr.
Muwardi. 1 jam MRS pasien mengalami kecelakaan lalu lintas saat
mengendarai mobil tanpa mengenakan sabuk pengaman dengan kecepatan
tinggi. Pasien menabrak pohon saat menghindari becak. Pasien terbentur setir
mobil pada perut bagian bawah. Pasien dalam keadaan sadar (compos mentis)
mengeluh nyeri pada perut bagian bawah dan disertai tidak bisa kencing
setelah kejadian tabrakan.
Dari hasil pemeriksaan dokter IGD didapatkan kesadaran pasien compos
mentis (GCS E4V5M6= 15), pupil isokhor, refleks cahaya (+/+), lateralisasi (-
). Jalan nafas bebas. Didapatkan vital sign: nadi 120x/menit, tekanan darah
90/60 mmHg, t: 36oC, akral dingin dan lembab RR 24x/menit. Terdapat jejas
pada regio hipokondriaka kanan. Nampak darah keluar dari anus, orificium
urethra externum dan hematom pada regio perineum sehingga dokter tidak
melakukan pemsangan kateter (ada kontra indikasi). Dari pemeriksaan rectal
toucher didapatkan prostat melayang, teraba pecahan tulang di daerah rectum
bagian depan. Dalam pemeriksaan stabilitas pelvis (tes kompresi +, tes
distraksi +). Dokter IGD melengkapi pemeriksaan primary survey, adjunct
primary survey dan secondary survey untuk menegakkan diagnosis dan terapi
selanjutnya. Dokter jaga IGD melakukan konsul pada dokter bedah
(orthopaedi, digestif, dan urologi).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah anatomi pelvis dan abdomen?
2. Bagaimanakah patofisiologi gejala yang muncul pada skenario ini?
- tidak bisa kencing
- hematom regio perineum
- tensi rendah-nadi tinggi
- prostat melayang
3. Bagaimanakah patofisiologi, etiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan
penunjang, serta komplikasi dari trauma uretra?
4. Bagaimanakah patofisiologi, etiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan
penunjang, serta komplikasi dari ruptur recum?
5. Bagaimanakah patofisiologi, etiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan
penunjang, serta komplikasi dari trauma pelvis?
6. Bagaimanakah patofisiologi, etiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan
penunjang, serta komplikasi dari syok e.c dehidrasi?
7. Bagaimanakan primary survey, adjunct survey dan secondary survey dari
skenario ini?
C. Manfaat Penulisan
1. Mengetahui anatomi pelvis dan abdomen.
2. Mengetahui patofisiologi gejala yang muncul pada skenario ini:
- tidak bisa kencing
- hematom regio perineum
- tensi rendah-nadi tinggi
- prostat melayang
3. Mengetahui patofisiologi, etiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan
penunjang, serta komplikasi dari trauma uretra.
4. Mengetahui patofisiologi, etiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan
penunjang, serta komplikasi dari ruptur recum.
5. Mengetahui patofisiologi, etiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan
penunjang, serta komplikasi dari trauma pelvis.
6. Mengetahui patofisiologi, etiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan
penunjang, serta komplikasi dari syok e.c dehidrasi?
7. Mengetahui primary survey, adjunct survey dan secondary survey yang
harus dilakukan dari skenario ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
D. Ruptur Rectum
Ruptur rectum merupakan kondisi cedera pada rectum. Cedera
pada rectum dapat diakibatkan oleh luka peneterasi maupun luka tumpul
misalnya benturan, ledakan, deselarasi (perlambatan), atau kompresi.
Trauma pada rectum lebih banyak ditemui diakibatkan oleh luka tajam.
Kejadian ruptur rektum akibat trauma tumpul sebenarnya jarang
ditemukan karena rektum terletak dalam perlindungan cincin pelvis.
Ruptur rectum ditemukan pada beberapa kasus fraktur pelvis (de Jong,
2005; Snell, 2006).
Mekanisme terjadinya trauma pada trauma tumpul disebabkan
adanya deselerasi cepat dan adanya organ-organ yang tidak mempunyai
kelenturan (noncomplient organ) seperti hati, limpa, pankreas, dan ginjal.
Kerusakan intra abdominal sekunder untuk kekuatan tumpul pada
abdomen secara umum dapat dijelaskan dengan 3 mekanisme, yaitu :
Pertama, saat pengurangan kecepatan menyebabkan perbedaan gerak di
antara struktur. Akibatnya, terjadi tenaga potong dan menyebabkan
robeknya organ berongga, organ padat, organ viseral dan pembuluh darah,
khususnya pada ujung organ yang terkena. Contoh pada aorta distal yang
mengenai tulang torakal dan mengurangi yang lebih cepat dari pada
pergerakan arkus aorta. Akibatnya, gaya potong pada aorta dapat
menyebabkan ruptur. Situasi yang sama dapat terjadi pada pembuluh darah
ginjal dan pada cervicothoracic junction.Kedua, isi intra-abdominal hancur
di antara dinding abdomen anterior dan columna vertebra atau tulang
toraks posterior. Hal ini dapat menyebabkan remuk, biasanya organ padat
(spleen, hati, ginjal) terancam. Ketiga, adalah gaya kompresi eksternal
yang menyebabkan peningkatan tekanan intra-abdomen yang tiba-tiba dan
mencapai puncaknya pada ruptur organ berongga (de Jong, 2005; Odle,
2007; Nestor, 2007).
Pada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan kondisi umum, wajah,
denyut nadi, pernapasan, suhu badan, dan sikap baring pasien, sebelum
melakukan pemeriksaan abdomen. Gejala dan tanda dehidrasi, perdarahan,
syok, dan infeksi atau sepsis juga diperhatikan. Pemeriksaan fisik pada
pasien trauma tumpul abdomen harus dilakukan secara sistematik meliputi
inspeksi, auskultasi, palpasi, dan perkusi (de Jong, 2005; Salomone, 2007;
Odle, 2007; Nestor, 2007).
Peritonitis merupakan komplikasi tersering dari trauma tumpul
abdomen karena adanya ruptur pada organ. Penyebab yang paling serius
dari peritonitis adalah terjadinya suatu hubungan (viskus) ke dalam rongga
peritoneal dari organ-organ intra-abdominal (esofagus, lambung,
duodenum, intestinal, colon, rektum, kandung empedu, apendiks, dan
saluran kemih), yang dapat disebabkan oleh trauma, darah yang
menginfeksi peritoneal, benda asing, obstruksi dari usus yang mengalami
strangulasi, pankreatitis, PID (Pelvic Inflammatory Disease) dan bencana
vaskular. Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang
sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen
(misalnya apendisitis, salpingitis), ruptur saluran cerna, atau dari luka
tembus abdomen. Organisme yang sering menginfeksi adalah organisme
yang hidup dalam kolon pada kasus ruptur apendiks, sedangkan
stafilokokus dan stretokokus sering masuk dari luar. Pada luka tembak
atau luka tusuk tidak perlu lagi dicari tanda-tanda peritonitis karena ini
merupakan indikasi untuk segera dilakukan laparotomi eksplorasi. Namun
pada trauma tumpul seringkali diperlukan observasi dan pemeriksaan
berulang karena tanda rangsangan peritoneum bisa timbul perlahan-lahan
(de Jong, 2005; Salomone, 2007; Nestor, 2007).
E. Syok Hipovolemik
1. Definisi
Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana
terjadi kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan
beberapa organ, disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat
dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat. Paling sering, syok
hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah yang cepat (syok
hemoragik).
Kehilangan darah dari luar yang akut akibat trauma tembus dan
perdarahan gastrointestinal yang berat merupakan dua penyebab yang
paling sering pada syok hemoragik. Syok hemoragik juga dapat
merupakan akibat dari kehilangan darah yang akut secara signifikan
dalam rongga dada dan rongga abdomen (Kolecki, 2008).
2. Etiologi
Menurut Ashadi (2006), Syok hipovolemik yang dapat disebabkan
oleh hilangnya cairan intravaskuler, misalnya terjadi pada:
a. kehilangan darah atau syok hemorargik karena perdarahan yang
mengalir keluar tubuh seperti hematotoraks, ruptur limpa, dan
kehamilan ektopik terganggu.
b. trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung
kehilangan darah yang besar. Misalnya: fraktur humerus
menghasilkan 500-1000 ml perdarahan atau fraktur femur
menampung 1000-1500 ml perdarahan.
c. kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena
kehilangan protein plasma atau cairan ekstraseluler, misalnya
pada:
− Gastrointestinal: peritonitis, pankreatitis, dan gastroenteritis
− Renal: terapi diuretik, krisis penyakit addison
− Luka bakar (kompustio) dan anafilaksis
3. Patofisiologi
Tubuh manusia berespon terhadap perdarahan akut dengan
mengaktivasi sistem fisiologi utama sebagai berikut: sistem hematologi,
kardiovaskuler, ginjal, dan sistem neuroendokrin.
Pada syok hipovolemik akibat kehilangan darah, sistem hematologi
berespon dengan mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi
pembuluh darah (melalui pelelepasan tromboksan A2 lokal). Selain itu,
platelet diaktivasi (juga melalui pelepasan tromboksan A2 lokal) dan
membentuk bekuan darah immatur pada sumber perdarahan. Pembuluh
darah yang rusak menghasilkan kolagen, yang selanjutnya
menyebabkan penumpukan fibrin dan menstabilkan bekuan darah.
Dibutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk menyempurnakan fibrinasi dari
bekuan darah dan menjadi bentuk yang sempurna.
Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap syok
hipovolemik dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan
kontraktilitas miokard, dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer.
Respon ini terjadi akibat peningkatan pelepasan norepinefrin dan
penurunan ambang dasar tonus nervus vagus (diatur oleh baroreseptor
di arcus caroticus, arcus aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah
pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga berespon dengan mengalirkan
darah ke otak, jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi kulit, otot,
dan traktus gastrointestinal.
Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan
peningkatan sekresi renin dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan
mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I, yang selanjutnya
akan dikonversi menjadi angiotensin II di paru-paru dah hati.
Angotensin II mempunyai 2 efek utama, yang keduanya membantu
perbaikan keadaan pada syok hemoragik, yaitu vasokonstriksi arteriol
otot polos, dan menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal.
Aldosteron bertanggungjawab pada reabsorbsi aktif natrium dan
akhirnya akan menyebabkan retensi air.
Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hemoragik dengan
meningkatan Antidiuretik Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH
dilepaskan dari glandula pituitari posterior sebagai respon terhadap
penurunan tekanan darah (dideteksi oleh baroreseptor) dan terhadap
penurunan konsentrasi natrium (yang dideteksi oleh osmoreseptor).
Secara tidak langsung ADH menyebabkan peningkatan reabsorbsi air
dan garam (NaCl) pada tubulus distalis, duktus kolektivus, dan
lengkung Henle (Kolecki, 2008).
4. Manifestasi klinis
Tanda-tanda syok adalah menurut Ashadi (2006) adalah:
1. Kulit dingin, pucat, dan vena kulit kolaps akibat penurunan
pengisian kapiler selalu berkaitan dengan berkurangnya perfusi
jaringan.
2. Takhikardi: peningkatan laju jantung dan kontraktilitas adalah
respon homeostasis penting untuk hipovolemia. Peningkatan
kecepatan aliran darah ke homeostasis penting untuk
hopovolemia.peningkatan kecepatan aliran darah ke mikrosirkulasi
berfungsi mengurangi asidosis jaringan.
3. Hipotensi: karena tekanan darah adalah produk resistensi
pembuluh darah sistemik dan curah jantung, vasokontriksi perifer
adalah faktor yang esensial dalam mempertahankan tekanan darah.
Autoregulasi aliran darah otak dapat dipertahankan selama tekanan
arteri turun tidak dibawah 70 mmHg.
4. Oliguria: produksi urin umumnya akan berkurang pada syok
hipovolemik. Oliguria pada orang dewasa terjadi jika jumlah urin
kurang dari 30ml/jam.
5. Penatalaksanaan
Penanganan Sebelum di Rumah Sakit menurut Kolecki (2008):
• Pencegahan cedera lebih lanjut.
• Transportasi segera pasien ke rumah sakit,
• Immobilisasi (pada pasien trauma), menjamin jalan napas yang
adekuat, menjamin ventilasi, dan memaksimalkan sirkulasi.
• Dalam penanganan syok hipovolemik, ventilasi tekanan positif
dapat mengurangi aliran balik vena, mengurangi cardiac output,
dan memperburuk status/keadaan syok. Walaupun oksigenasi dan
ventilasi penting, kelebihan ventilasi tekanan positif dapat merusak
pada pasien dengan syok hipovolemik.
• Penanganan yang sesuai biasanya dapat dimulai tanpa
keterlambatan transportasi. Beberapa prosedur, seperti memulai
pemberian infus atau fiksasi ekstremitas, dapat dilakukan ketika
pasien sudah dibebaskan. Namun, tindakan yang memperlambat
pemindahan pasien sebaiknya ditunda. Keuntungan pemberian
cairan intravena segera pada tempat kejadian tidak jelas. Namun,
infus intravena dan resusitasi cairan harus dimulai dan dilanjutkan
dalam perjalanan ke tempat pelayanan kesehatan.
Penanganan di Rumah Sakit menurut Kolecki (2008):
• Memaksimalkan penghantaran oksigen
• Kontol perdarahan lanjut
• Resusitasi Cairan
BAB III
PEMBAHASAN
A. Kesimpulan
1. Pada scenario ini pasien mengalami trauma pada abdomen karena
benda tumpul serta fraktur pelvis yang mengakibatkan syok
hipovolemik.
2. Tindakan yang harus dilakukan pada pertolongan kasus trauma
berprinsip pada rangkaian primary survey, adjunct primary survey, dan
secondary survey.
B. Saran
1. Pelaksanaan tutorial berjalan cukup baik. Namun diharapkan peran
serta mahasiswa lebih aktif lagi sehingga semua Learning Objective
dapat diselesaikan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA