Anda di halaman 1dari 26

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Trauma Abdomen

Trauma adalah cedera/rudapaksa atau kerugian psikologis atau

emosional (Dorland, 2002). Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya

atau cedera fisiologis akibat gangguan emosional yang hebat (Brooker,

2001). Trauma perut merupakan luka pada isi rongga perut dapat terjadi

dengan atau tanpa tembusnya dinding perut dimana pada

penanganan/penatalaksanaan lebih bersifat kedaruratan dapat pula

dilakukan tindakan laparatomi (FKUI, 2000).

Trauma adalah penyebab kematian utama pada anak dan orang

dewasa kurang dari 44 tahun. Penyalahgunaan alkohol dan obat telah

menjadi faktor implikasi pada trauma tumpul dan tembus serta trauma

yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001). Trauma abdomen

adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus

serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer, 2001).

Trauma abdomen adalah pukulan / benturan langsung pada

rongga abdomen yang mengakibatkan cidera tekanan/tindasan pada isi

rongga abdomen, terutama organ padat (hati, pancreas, ginjal, limpa)

atau berongga (lambung, usus halus, usus besar, pembuluh – pembuluh

1
darah abdominal) dan mengakibatkan ruptur abdomen

(Sjamsuhidayat,2002).

Trauma abdomen didefinisikan sebagai cedera yang terjadi

anterior dari garis puting ke lipatan inguinal dan posterior dari ujung

skapula ke lipatan gluteal. Gerakan pernapasan diafragma

memperlihatkan isi intraabdomen yang cedera, pada pandangan

pertama, tampaknya terisolasi ke dada (Ferman, 2003).

B. Etiologi Trauma Abdomen

Menurut (Hudak & Gallo, 2001) kecelakaan atau trauma yang

terjadi pada abdomen, umumnya banyak diakibatkan oleh trauma tumpul.

Pada kecelakaan kendaraan bermotor, kecepatan, deselerasi yang tidak

terkontrol merupakan kekuatan yang menyebabkan trauma ketika tubuh

klien terpukul setir mobil atau benda tumpul lainnya.

Trauma akibat benda tajam umumnya disebabkan oleh luka

tembak yang menyebabkan kerusakan yang besar didalam abdomen.

Selain luka tembak, trauma abdomen dapat juga diakibatkan oleh luka

tusuk, akan tetapi luka tusuk sedikit menyebabkan trauma pada organ

internal diabdomen.

Trauma pada abdomen disebabkan oleh 2 kekuatan yang

merusak, yaitu :

1. Paksaan /benda tumpul

2
Merupakan trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga

peritoneum. Luka tumpul pada abdomen bisa disebabkan oleh jatuh,

kekerasan fisik atau pukulan, kecelakaan kendaraan bermotor,

cedera akibat berolahraga, benturan, ledakan, deselarasi, kompresi

atau sabuk pengaman. Lebih dari 50% disebabkan oleh kecelakaan

lalu lintas.

2. Trauma tembus

Merupakan trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam rongga

peritoneum. Luka tembus pada abdomen disebabkan oleh tusukan

benda tajam atau luka tembak.

C. Klasifikasi Trauma Abdomen

1. Trauma Tumpul

Trauma tumpul paling sering terjadi pada kasus kecelakaan

kendaraan bermotor. Cedera terjadi sekunder terhadap geser, robek,

atau kekuatan dampak langsung. Kehadiran tanda sabuk pengaman

merupakan indikasi cedera intra-abdomen dalam setidaknya 25%

kasus. Memastikan apakah hanya sabuk pangkuan digunakan,

terutama pada anak-anak. Lap-satunya hambatan pada anak-anak

mempengaruhi mereka untuk cedera intra-abdomen seperti perforasi

usus dan robekan mesenterika. Evaluasi tulang belakang lumbal

direkomendasikan karena cedera ini mungkin terkait dengan fraktur

transversal tulang belakang lumbal (Chance fracture) (Stone,2003).

3
2. Trauma Tajam

Setiap luka di bawah garis yang ditarik melintang antara

puting harus diperlakukan sebagai memiliki potensi untuk lintasan

intra-abdominal. Seperti disebutkan sebelumnya, cairan intravena

harus digunakan dengan bijaksana dalam manajemen pra-rumah

sakit. Sebelum tiba di Departemen Kegawatdaruratan, pasien dapat

diberikan cairan yang cukup untuk mempertahankan tekanan darah

sistolik 90 mmHg, bukan resusitasi multiliter. Jika luka tembus hadir,

dimulai terapi antibiotik dan mengelola booster tetanus awal

pengobatan(Stone,2003).

a) Luka tembak

Diamanatkan bahwa semua luka tembak dengan lintasan

intra-abdomen diperlukan laparotomi eksplorasi. Beberapa penulis

telah menggambarkan pendekatan yang kurang agresif untuk

subset yang dipilih dengan cermat pasien dengan trauma tembus

ke perut termasuk beberapa luka tembak kecepatan rendah.

Manajemen nonoperative luka tembak yang menembus peritoneum

yang kontroversial. Pasien dengan hipotensi meskipun diberi

resusitasi kristaloid akan memerlukan laparotomi segera

eksplorasi, antibiotik untuk menutupi flora pada abdomen, dan

booster tetanus. Untuk pasien hemodinamik stabil, invasi

4
intraperitoneal telah dikesampingkan, manajemen konservatif luka

yang dangkal dan tangensial ke abdomen dapat digunakan

(Stone,2003).

b) Luka Tusukan

Pasien dengan luka tusukan memerlukan resusitasi serta

booster tetanus dan antibiotik jika kemungkinan keterlibatan

intraperitoneal diduga. DPL, CT scan, dan laparoskopi dapat

digunakan. Jika kemungkinan keterlibatan peritoneal telah

dikesampingkan, pasien dapat dengan aman diarahkan kepada

instruksi perawatan luka lokal. Jika peritoneum telah terkena,

diperlukan laparotomi eksplorasi. Serupa dengan pengelolaan luka

tembak kecepatan rendah seperti yang disebutkan di atas,

beberapa ahli bedah telah mulai mengamati subset yang dipilih

dengan cermat pada pasien dengan tidak ada tanda cedera

intraperitoneal pada pemeriksaan fisik atau diidentifikasi oleh

modalitas pencitraan seperti CT scan.

D. Manifestasi Klinis Trauma Abdomen

Menurut (Hudak & Gallo, 2001) tanda dan gejala trauma abdomen, yaitu :

1. Nyeri tekan

2. Nyeri spontan

3. Nyeri lepas

5
4. Distensi abdomen tanpa bising usus bila telah terjadi peritonitis

umum

5. Syok

6. Takikardi

7. Peningkatan suhu tubuh

8. Leukositosis

9. Anorexia

10. Mual dan muntah

Pada trauma non penetrasi biasanya terdapat adanya :

1. Jejas atau ruktur dibagian dalam abdomen

2. Terjadi perdarahan intra abdominal

3. Apabila trauma terkena usus, mortilisasi usus terganggu sehingga

fungsi usus tidak normal dan biasanya akan mengakibatkan

peritonitis dengan gejala mual, muntah, dan BAB hitam (melena)

4. Kemungkinan bukti klinis tidak tampak sampai beberapa jam

setelah rauma

5. Cedera serius dapat terjadi walaupun tak terlihat tanda kontusio

pada dinding abdomen.

Pada trauma penetrasi biasanya terdapat :

a. Terdapat luka robekan pada abdomen

b. Luka tusuk sampai menembus abdomen

6
c. Penanganan yang kurang tepat biasanya memperbanyak

perdarahan/memperparah keadaan

d. Biasanya organ yang terkena penetrasi bisa keluar dari dalam

abdomen

E. Penatalaksanaan Medis Trauma Abdomen

Pasien trauma tumpul abdomen harus dievalusi lanjut apakah

diperlukan perawatan operatif atau tidak. Setelah melakukan resusitasi

dan penatalaksanaan awal berdasarkan protokol ATLS, harus

dipertimbangkan indikasi untuk laparotomi melalui pemeriksaan fisik,

ultrasound (USG), computed tomography (CT), dan DPT/DPL

1. Penatalaksanaan di Ruang Emergensi

Penatalaksanaan segera yang dianjurkan untuk pasien

dengan trauma abdomen menurut American College of Surgeons

(2004), adalah :

a. Mulai prosedur resusitasi ABC (memperbaiki jalan napas,

pernapasan dan sirkulasi).

b. Pertahankan pasien pada brankard; gerakan dapat menyebabkan

fragmentasi bekuan pada pembuluh darah besar dan menimbulkan

hemoragi massif

c. Pastikan kepatenan dan kestabilan pernapasan

d. Gunting pakaian penderita dari luka.

e. Hitung jumlah luka dan tentukan lokasi luka masuk dan keluar.

7
f. Kontrol perdarahan dan pertahankan volume darah sampai

pembedahan dilakukan.

g. Berikan kompresi pada luka dengan perdarahan eksternal dan

lakukan bendungan pada luka dada.

h. Pasang kateter IV berdiameter besar untuk penggantian cairan

secara cepat dan memperbaiki dinamika sirkulasi.

i. Perhatikan kejadian syok setelah respon awal terhadap terapi

transfusi; ini sering merupakan tanda adanya perdarahan

internal.

j. Aspirasi lambung dengan memasang selang nasogastrik. Prosedur

ini membantu mendeteksi luka lambung, mengurangi kontaminasi

terhadap rongga peritonium, dan mencegah komplikasi paru

karena aspirasi.

k. Pasang kateter urin untuk mendapatkan kepastian adanya

hematuria dan pantau jumlah urine perjam.

l. Tutupkan visera abdomen yang keluar dengan balutan steril,

balutan dibasahi dengan salin untuk mencegah kekeringan visera

m. Fleksikan lutut pasien; posisi ini mencegah protusi yang lanjut.

n. Tunda pemberian cairan oral untuk mencegah meningkatnya

peristaltik dan muntah.

o. Siapkan pasien untuk parasentesis atau lavase peritonium ketika

terdapat ketidakpastian mengenai perdarahan intraperitonium.

8
p. Siapkan pasien untuk sinografi untuk menentukan apakah terdapat

penetrasi peritonium pada kasus luka tusuk.

q. Berikan profilaksis tetanus sesuai ketentuan.

r. Berikan antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi. Trauma

dapat menyebabkan infeksi akibat karena kerusakan barier

mekanis, bakteri eksogen dari lingkungan pada waktu cedera dan

manuver diagnostik dan terapeutik (infeksi nosokomial).

s. Siapkan pasien untuk pembedahan jika terdapat bukti adanya

syok, kehilangan darah, adanya udara bebas dibawah diafragma,

eviserasi, atau hematuria.

2. Pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil

Pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil,

penatalaksanaan bergantung pada ada tidaknya perdarahan

intraperitoneal. Pemeriksaan difokuskan pada USG abdomen atau

DPL untuk membuat keputusan.

Walaupun ada banyak penelitian retrospektif dan beberapa

penelitian prespektif mendukung penggunaan USG sebagai alat untuk

skrening trauma, beberapa ahli masih mempertanyakan USG pada

penatalaksanaan trauma. Mereka menekankan pada tingkat

sensitifitas dan adanya kemungkinan hasil negatif pada penggunaan

USG untuk mendeteksi cedera intraperitoneal. Walaupun demikian

kebanyakan trauma center memakai Focused Assesment with

9
Sonography for Trauma (FAST) untuk mengevaluasi pasien yang tidak

stabil. FAST dilakukan secepatnya setelah primary survey, atau ketika

kliknisi bekerja secara paralel, biasanya dilakukana bersamaan

dengan primary survey, sebagai bagian dari C (Circulation) pada ABC.

Jika tersedia USG, sangat disarankan penggunaan FAST

pada semua pasien dengan trauma tumpul abdomen. Jika hasil FAST

jelek, misalnya kualitas gambar yang tidak bagus, maka selanjutnya

perlu dilakukan DPL. Jika USG dan DPL menunjukkan adanya

hemoperitoneum, maka diperlukan laparotomi emergensi.

Hemoperitoneum pada pasien yang tidak stabil secara klinis, tanpa

cedera lain yang terlihat, juga mengindikasikan untuk dilakukan

laparotomi. Jika melalui USG dan DPL tidak didapati adanya

hemoperitoneum, harus dilakukan investigasi lebih lanjut terhadap

lokasi perdarahan. Pada penatalaksanaan pasien tidak stabil dengan

fraktur pelvis mayor, harus diingat bahwa USG tidak bisa

membedakan hemoperitoneum dan uroperitoneum.

X-ray dada harus dilakukan sebagai bagian dari initial

evalutiaon karena dapat menunjukkan adanya perdarah pada cavum

thorax. Radiography antero-posterior pelvis bisa menunjukkan adanya

fraktur pelvis yang membutuhkan stabilisasi segera dan kemungkinan

dilakukan angiography untuk mengkontrol perdarahan.

3. Pasien dengan hemodinamik yang stabil

10
Penilaian klinis pada pasien trauma tumpul abdomen dengan

kondisi sadar dan bebas dari intoksikasi, pemeriksaan abdomen saja

biasanya akurat tapi tetap tidak sempurna. Satu penelitian prospective

observational terhadap pasien dengan hemodinamik stabil, tanpa

trauma external dan dengan pemeriksaan abdomen yang normal,

ternyata setelah dibuktikan melalui CT-scan ditemukan sebanyak 7,1%

kasus abnormalitas.

USG dan CT sering digunakan untuk mengevaluasi pasien

trauma tumpul abdomen yang stabil. Jika pada USG awal tidak

terdetekdi adanya perdarahan intraperitoneal, maka perlu dilakukan

pemeriksaan fisik, USG, dan CT secara serial. Pemeriksaan fisik serial

dilakukan jika hasil pemeriksaan dapat dipercaya, misal pada pasien

dengan sensoris normal, dan cedera yang mengganggu. Penelitian

prospective observational terhadap 547 pasien menunjukkan USG

kedua (FAST) yang dilakukan selama 24 jam dari trauma,

meningkatkan sensitifitas terhadap cedra intraabdominal.

Jika USG awal mendeteksi adanya darah di intraperitoneal,

maka kemudian dilakukan CT scan untuk memperoleh gambaran

cedera intraabdominal dan menaksir jumlah hemoperitoneum.

Keputusan apakah diperlukan laparotomy segera atau hanya terapi

non operatif tergantung pada cedera yang terdetaksi dan status klinis

pasien. CT abdominal harus dilakukan pada semua pasien dengan

11
hemodinamik stabil, tapi tidak untuk pasien dengan perubahan

sensoris dan status mental karena cedera kepala tertutup, intoksikasi

obat dan alkohol, atau cedera lain yang mengganggu.

4. Indikasi Klinis Laparotomi

Laparotomi segera diperlukan setelah terjadinya trauma jika

terdapat indikasi klinis sebagai berikut :

a. kehilangan darah dan hipotensi yang tidak diketahui penyebabnya,

dan pada pasien yang tidak bisa stabil setelah resusitasi, dan jika

ada kecurigaan kuat adanya cedera intrabdominal

b. adanya tanda - tanda iritasi peritoneum

c. bukti radiologi adanya pneumoperitoneum konsisten

d. dengan ruptur viscera

e. bukti adanya ruptur diafragma

f. jika melalui nasogastic drainage atau muntahan didapati adanya GI

bleeding yang persisten dan bermakna.

12
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

Pasien Dengan Trauma Abdomen

1. Pengkajian

a. Identitas Pasien

1) Nama :
2) Jenis Kelamin :
3) Umur :

13
4) Alamat :
5) Agama :
6) Status Perkawinan :
7) Pendidikan :
8) Pekerjaan :
9) No. Register :
10) Diagnosa Medis :
b. Identitas Penanggung Jawab

1) Nama :
2) Pekerjaan :
3) Umur :
4) Hubungan dengan klien :

c. Primary Survey

1) Airway

Airway harus dijaga dengan baik pada semua

penderita trauma abdomen. Membuka jalan napas

menggunakan teknik head tilt, chin lift atau jaw thrust, periksa

adakah benda asing yang dapat mengakibatkan tertutupnya

jalan napas. Bila penderita tidak sadar dan tidak ada refleks

bertahak (gag reflex) dapat dipakai oropharyngeal tube. Bila

ada keraguan mengenai kemampuan menjaga airway, lebih

baik memasang airway definitif. Jika ada disertai dengan

cedera kepala, leher atau dada maka tulang leher (cervical

14
spine) harus dilindungi dengan imobilisasi in-line (American

College of Surgeons, 2004).

2) Breating

Kontrol jalan nafas pada penderita trauma abdomen

yang airway terganggu karena faktor mekanik, ada gangguan

ventilasi atau ada gangguan kesadaran, dicapai dengan

intubasi endotrakeal. Setiap penderita trauma diberikan

oksigen. Bila tanpa intubasi, sebaiknya diberikan dengan face

mask. Pemakaian pulse oximeter baik untuk menilai saturasi

O2 yang adekuat (American College of Surgeons, 2004).

3) Circulation

Resusitasi pasien dengan trauma abdomen penetrasi

dimulai segera setelah tiba. Cairan harus diberikan dengan

cepat. NaCl atau Ringer Laktat dapat digunakan untuk

resusitasi kristaloid. Rute akses intravena adalah penting,

pasang kateter intravena perifer berukuran besar (minimal 2) di

ekstremitas atas untuk resusitasi cairan. Pasien yang datang

dengan hipotensi sudah berada di kelas III syok (30-40%

volume darah yang hilang) dan harus menerima produk darah

sesegera mungkin, hal yang sama berlaku pada pasien dengan

perdarahan yang signifikan jelas. Upaya yang harus dilakukan

untuk mencegah hipotermia, termasuk menggunakan selimut

15
hangat dan cairan prewarmed (American College of Surgeons,

2004).

4) Disability

Dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis

secara cepat. Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran,

ukuran dan reaksi pupil (American College of Surgeons, 2004).

5) Exsposure

Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya

dengan cara menggunting untuk memeriksa dan evaluasi

penderita. Paparan lengkap dan visualisasi head-to-toe pasien

adalah wajib pada pasien dengan trauma abdomen penetrasi.

Ini termasuk bagian bokong, bagian posterior dari kaki, kulit

kepala, bagian belakang leher, dan perineum. Setelah pakaian

dibuka penting penderita diselimuti agar penderita tidak

kedinginan (American College of Surgeons, 2004).

6) Foley Cateter

Tujuan pemasangan adalah mengatasi retensi urin,

dekompresi buli-buli sebelum melakukan DPL, dan untuk

monitor urinary output sebagai salah satu indeks perfusi

jaringan. Hematuria menunjukkan adanya cedera traktus

urogenitalis. Perhatian: ketidak mampuan untuk kencing,

fraktur pelvis yang tidak stabil, darah pada metus urethra,

16
hematoma skrotum ataupun ekimosis perineum maupun

prostat yang letaknya tinggi pada colok dubur menjadi petunjuk

agar dilakukan pemeriksaan uretrografi retrograd agar bisa

diyakinkan tidak adanya rupture urethra sebelum pemasangan

kateter. Bilamana pada primary survey maupun secondary

survey kita ketahui adanya robek uretra, mungkin harus

dilakukan pemasangan kateter suprapubik oleh dokter yang

berpengalaman (American College of Surgeons, 2004).

7) Gastric Tube

Tujuan terapeutik dari pemasangan gastric tube sejak

masa resusitasi adalah untuk mengatasi dilatasi lambung akut,

dekompresi gaster sebelum melakukan DPL, dan

mengeluarkan isi lambung yang berarti mencegah aspirasi.

Adanya darah pada NGT menunjukkan kemungkinan adanya

cedera esofagus ataupun saluran gastrointestinal bagian atas

bila nasofaring ataupun orofaringnya aman. Perhatian: gastric

tube harus dimasukkan melalui mulut (orogastric) bila ada

kecurigaan fraktur tulang fasial ataupun fraktur basis cranii agar

bisa mencegah tube masuk melalui lamina cribiformis menuju

otak (American College of Surgeons, 2004).

d. Secondary Survey

1) Symptom

17
Biasanya pada pasien dengan trauma abdomen datang

kerumah sakit karena adanya keluhan mual, muntah,

penurunan kesadaran. Biasanya pasien dengan kecelakaan

lalu lintas maupun akibat luka tembak.

2) Alergi

Perlu dikaji riwayat pasien terhadap obat maupun terhadap

makanan dan alergi lain (seperti : cuaca).

3) Medikasi

Yang perlu dikaji adalah pengobatan yang sedang di jalani

pasien (misalnya pasien dengan konsumsi rutin obat diabetes,

hipertensi dan penyakit lainnya).

4) Past Illness

Yang perlu dikaji adalah penyakit yang pernah dialami pasien

sebelumnya.

5) Last Meal

Kaji waktu pasien terakhir makan. Apabila pasien dengan

penurunan kesadaran kaji kepada keluarga.

6) Event

Kaji kronologi kecelakaan atau mekasnisme trauma

yang dialami pasien . Riwayat trauma sangat penting untuk

menilai penderita yang cedera dalam tabrakan kendaraan

bermotor. Keterangan ini dapat diberikan oleh penderita,

18
penumpang lain, polisi atau petugas medis gawat darurat di

lapangan. Keternagan menbgenai tanda-tanda vital, cedera

yang kelihatan, dan respon terhadap perawatan pre-hospital

juga harus diberikan oleh para petugas yang memberikan

perawatan pre-hospital. Pada trauma tumpul abdomen

terutama yang merupakan akibat dari kecelakaan lalu lintas,

petugas medis harus menanyakan hal-hal sebagai berikut :

a) fatalitas dari kejadian ?

b) tipe kendaraan dan kecepatan ?

c) apakah kendaraan terguling ?

d) bagaimana kondisi penumpang lainnya ?

e) lokasi pasien dalam kendaraan ?

f) tingkat keparahan rusaknya kendaraan ?

g) deformitas setir ?

h) apakah korban menggunakan sabuk pengaman? Tipe sabuk

pengaman?

i) apakah airbag di samping dan depan korban berfungsi

ketika kejadian?

j) apakah ada riwayat pengunaan alkohol dan obat-obatan

sebelumnya?

e. Pemeriksaan Fisik

19
Pemeriksaan fisik diarahkan untuk mencari bagian tubuh

yang terkena trauma, kemudian menetapkan derajat cedera

berdasarkan hasil analisis riwayat trauma (Stone,2003).

Pemeriksaan fisik abdomen harus dilakukan dengan teliti dan

sistimatis meliputi inspeksi, auskultasi, perkusi, dan palpasi.

Temuan-temuan positif ataupun negatif didokumentasi dengan

baik pada status (Fremann,2003).

Syok dan penurunan kesadaran mungkin akan

memberikan kesulitan pada pemeriksaan perut. Trauma penyerta

kadang-kadang dapat menghilangkan gejala-gejala perut.

1) Pemeriksaan Abdomen

a) Inspeksi

Umumnya pasien harus diperiksa tanpa pakaian.

Adanya jejas pada dinding perut dapat menolong ke arah

kemungkinan adanya trauma abdomen. Abdomen bagian

depan dan belakang, dada bagian bawah dan perineum

diteliti apakah mengalami ekskoriasi ataupun memar

karena alat pengaman, adakah laserasi, liang tusukan,

benda asing yang menancap, omentum ataupun bagian

usus yang keluar, dan status kehamilan. Harus dilakukan

log-roll agar pemeriksaan lengkap.

b) Auskultasi

20
Di ruang IGD yang ramai sulit untuk

mendengarkan bising usus, yang penting adalah ada atau

tidaknya bising usus tersebut. Darah bebas di

retroperitoneum ataupun gastrointestinal dapat

mengakibatkan ileus, yang mengakibatkan hilangnya

bising usus. Pada luka tembak atau luka tusuk dengan isi

perut yang keluar, tentunya tidak perlu diusahakan untuk

memperoleh tanda-tanda rangsangan peritoneum atau

hilangnya bising usus. Pada keaadan ini laparotomi

eksplorasi harus segera dilakukan. Pada trauma tumpul

perut, pemeriksaan fisik sangat menentukan untuk

tindakan selanjutnya (Wibowo,2007).

Cedera struktur lain yang berdekatan seperti iga,

vertebra, maupun pelvis bisa juga mengakibatkan ileus

walaupun tidak ada cedera intraabdominal. Karena itu

hilangnya bising usus tidak diagnostik untuk trauma

intraabdominal (Freman,2003).

c) Perkusi

Manuver ini mengakibatkan pergerakan

peritoneum dan mencetuskan tanda peritonitis. Dengan

perkusi bisa kita ketahui adanya nada timpani karena

dilatasi lambung akut di kwadran kiri atas ataupun adanya

21
perkusi redup bila ada hemoperitoneum (Freman,2003).

Adanya darah dalam rongga perut dapat ditentukan

dengan shifting dullness, sedangkan udara bebas

ditentukan dengan pekak hati yang beranjak atau

menghilang (Wibowo,2007).

d) Palpasi

Adanya kekakuan dinding perut yang volunter

(disengaja oleh pasien) mengakibatkan pemeriksaan

abdomen ini menjadi kurang bermakna. Sebaliknya,

kekakuan perut yang involunter merupakan tanda yang

bermakna untuk rangsang peritoneal. Tujuan palpasi

adalah untuk mendapatkan adanya nyeri lepas yang

kadang-kadang dalam. Nyeri lepas sesudah tangan yang

menekan kita lepaskan dengan cepat menunjukkan

peritonitis, yang bisanya oleh kontaminasi isi usus,

maupun hemoperitoneum tahap awal.

2) Menilai stabilitas pelvis

Penekanan secara manual pada sias ataupun crista

iliaca akan menimbulkan rasa nyeri maupun krepitasi yang

menyebabkan dugaan pada fraktur pelvis pada pasien dengan

trauma tumpul. Harus hati-hati karena manuver ini bisa

menyebabkan atau menambah perdarahan yang terjadi.

22
3) Pemeriksaan penis, perineum dan rectum

Adanya darah pada meatus uretra menyebabkan

dugaan kuat robeknya uretra. Inspeksi pada skrotum dan

perineum dilakukan untuk melihat ada tidaknya ekimosis

ataupun hematom dengan dugaan yang sama dengan diatas.

Tujuan pemeriksaan rektum pada pasien dengan trauma

tumpul adalah untuk menentukan tonus sfingter, posisi prostat

(prostat yang lelaknya tinggi menyebabkan dugaan cedera

uretra), dan menentukan ada tidaknya fraktur pelvis. Pada

pasien dengan luka tusuk, pemeriksaan rektum bertujuan

menilai tonus sfingter dan melihat adanya perdarahan karena

perforasi usus.

4) Pemeriksaan vagina

Bisa terjadi robekan vagina karena fragmen tulang

dari fraktur pelvis ataupun luka tusuk.

5) Pemeriksaan glutea

Regio glulealis memanjang dari crista iliaca sampai

Iipatan glutea. Luka tusuk di daerah ini biasanya berhubungan

(50%) dengan cedera intraabdominal.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul:

a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan agen cidera bilogis

23
b. Defisit Volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan

perdarahan

c. Gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan

inadekuatnya oksigen ke otak

d. Nyeri berhubungan dengan adanya trauma abdomen atau luka

penetrasi abdomen.

e. Gangguan eliminasi urine

f. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma tumpul

abdomen

g. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan fisik

h. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan pembedahan, tidak

adekuatnya pertahanan tubuh.

i. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi dan perubahan status

kesehatan

j. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

anoreksia, mual, muntah.

k. PK : Perdarahan

l. PK : Syok Hipovolemik

24
DAFTAR PUSTAKA
Stone, CK, 2003. Current Diagnosis & Treatment Emergency Medicine. 6th
edition. USA : The McGraw-Hill Companies, Inc.

Fermann, GJ, 2003. Emergency Medicine-An Approach to Clinical Problem


Solving. In: Hamilton, et al., Emergency Medicine-An Approach to
Clinical Problem Solving. 2nd edition. USA : W. B. Saunders
Company.

Wibowo, D.S., dan Paryana, W., 2007. Dinding Abdomen. Anatomi Tubuh
Manusia. Graha Ilmu. Yogyakarta: 273-279.

Williams, et al., 2008. Bailey & Love’s Short Practice of Surgery. 25th edition.
UK: Edward Arnold Ltd.

Beauchamp, et al., 2008. Townsend: Sabiston Textbook of Surgery. 18th


edition. USA : Elvesier, Inc.

Brunicardi, FC, 2007. Schwartz’s Principles of Surgery. 8th edition. USA: The
McGraw-Hill Companies, Inc.

American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support Untuk Dokter


Edisi 7. Jakarta: IKABI, 2004, Bab 5; Trauma Abdomen.

Offner, P., 2013. Penetrating Abdominal Trauma Treatment & Management.


Available from : http://emedicine.medscape.com/article/2036859-
treatment [Accessed 26 June 2013]

Wilkinson, D.A, 2000. Primary Trauma Care. Available from :


http://www.primarytraumacare.org/wpcontent/uploads/2011/09/PTC_
ENG.pdf [Accessed 26 June 2013]

Isenhour J.L., Marx J., 2007. Advances in abdominal trauma. Emerg Med Clin
N Am 25 (2007), pg 713–733. Available from: http://
emed.theclinics.com. [ Accessed on: 26 Jun 2013]

Stanton-Maxey K.J, et al. 2011. Penetrating Abdominal Trauma. Available


from: http://emedicine.medscape.com/article/2036859-overview
[Accessed on 27 Jun 2013]

Hudak & Gallo. 2001. Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik. Jakarta :


EGC

25
26

Anda mungkin juga menyukai