Anda di halaman 1dari 25

Makassar, 31 Juli 2019

LAPORAN PBL “MODUL IMUNOLOGI”


BLOK IMUNOLOGI DAN HEMATOLOGI

Pembimbing : dr. Nurfadhillah Khalid


Disusun Oleh :
Kelompok 6A
Resti 11020180006
Putri Reni 11020180023
Muhammad Ardiansyah Paputungan 11020180067
Sitti Zhaharah Khairunnisah 11020180103
Ananda Putra Difa 11020180027
A. Dwi Hermin Alfian 11020180036
Ayudini Oktavia 11020120159
Adela Ainiyyah Calista Rahmat 11020180065
Andi Rizaldi Kurniawan Misbah 11020180076
Nurul Qalbi 11020180039

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019
SKENARIO 2

Seorang wanita umur 38 tahun datang ke poliklinik RS dengan keluhan batuk


sejak 3 bulan yang lalu, pasien sudah sering berobat ke puskesmas tapi batuknya
tidak sembuh. Saat ini pasien mengeluh batuknya susah keluar dan mengganggu
terutama pada malam hari. Sebelumnya pasien sering demam sejak 5 bulan yang
lalu, kadang sakit, kadang mual tetapi tidak muntah, pusing dan lemas. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan benjolan pda daerah leher sebelah kiri, yang tidak
sakit pada penekanan. Riwayat penayakit sebelumnya dengan gejala yang sama
tidak ada tetapi ada riwayat penyakit serimg flu disertai batuk dan sulit bernapas
dialami pada umur 3 tahun sampai SMP. Riwayat penyakit yang sama dalam
keluarga tidak diketahui.

I. KATA SULIT
Tidak ada

II. KALIMAT KUNCI


1. Wanita umur 38 tahun
2. Pasien batuk 3 bulan yang lalu
3. Sering berobat tapi tidak sembuh
4. Batuk susah keluar dan mengganggu pada malm hari
5. Demam 5 bulan yang lalu menggigil tidak terus menerus
6. Nafsu makan berkurang
7. Kadang mual tidak muntah pusing dan lemas
8. Benjolan pada leher sebelah kiri, tidak sakit ketika ditekan
9. Tidak ada riwayat penyakit yang sama sebelumnya
10. Riwayat flu batuk dan sulit bernapas pada umur 3 tahun-SMP

III. PERTANYAAN
1. Apa yang dimaksud dengan imunologi ?
2. Bagaimana patomekanisme dan patofisiologi reaksi imun terhadap
skenario tersebut ?
3. Organ-organ yang berperan pada reaksi imunologi terhadap
skenario ?
4. Bagaimana patomekanisme terjadinya inflamasi ?
5. Apa penyebab terjadinya gejala pada skenario ?
6. Bagaimana cara menangani kasus tersebut ?
7. Apa hasil pemeriksaan yang ditemukan serta pemeriksaan
penunjang ?
8. Apa faktor penyulit (komplikasi) pada kasus ?
9. Bagaimana cara pengobatan FCD imunologi pada kasus ?
10. Dalil – dalil yang berkaitan dengan skenario ?

IV. JAWABAN
1. Imunologi
Imunologi berasal dari bahasa Yunani yaitu ”Immunis” yang berarti
”charges” atau ”taxes” yang harus dibayar untuk memperoleh sesuatu, sehingga
imunitas diartikan bahwa agar tahan terhadap serangan penyakit infeksi perlu
melakukan sesuatu yaitu imunisasi. Imunologi adalah ilmu yang mempelajari
respon imun dalam arti luas dan peristiwa seluler dan molekuler yang terjadi
akibat masuknya benda asing dalam tubuh manusia.
Imunologi merukapan cabang ilmu biomedikal, yang
mempelajari semua aspek sistem imunitas (kekebalan tubuh) pada semua
organisme. Di dunia kedokteran terutama sangat fokus pada status imunologis
karena penyakit dan vaksinasi. Hal tersebut mengingatkan akan penemuan
vaksin oleh Jenner pada tahun 1796. Banyak vaksin yang telah ditemukan
seperti vaksin terhadap tetanus, tuberkulosis, polio, hepatitis, rabies, dan
brusellosis. Imunologi klinik mempelajari tentang penyakit yang disebabkan
adanya gangguan kekebalan tubuh, seperti defisiensi imunologi,alergi,
transplantasi, penyakit autoimun. Perkembangan imunologi, menempatkan
sistem kekebalan sebagai alat diagnosis dan terapi.

2. Patomekanisme dan patofisiologi reaksi imun


Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang
terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi
oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit
kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB.
Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan
kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam
makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di
tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus
Primer GOHN.
Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi focus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran
limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika focus
primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika focus primer terletak di apeks
paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal.
Kompleks primer merupakan gabungan antara focus primer, kelenjar
limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang
(limfangitis). Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga
terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB.
Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu
waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit
.
Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu
dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut,
kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103 -104 , yaitu jumlah yang cukup
untuk merangsang respons imunitas seluler. 4 Selama berminggu-minggu awal
proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman TB sehingga jaringan
tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberculin, mengalami
perkembangan sensitivitas.
Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer
dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas
terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji
tuberculin. Selama masa inkubasi, uji tuberculin masih negatif. Setelah kompleks
primer terbentuk, imunitas seluluer tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada
sebagian besar individu dengan system imun yang berfungsi baik, begitu system
imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil
kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma.
Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke
dalam alveoli akan segera dimusnahkan. Setelah imunitas seluler terbentuk,
focus primer di jaringan paru biasanya mengalami resolusi secara sempurna
membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan
enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan
enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna focus primer di
jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun
dalam kelenjar ini. Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi.
Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar limfe
regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis
atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi
akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di
jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal
saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut.
Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan
eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi
dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus,
sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju
dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan
gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi
segmental kolaps-konsolidasi. Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya
imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada
penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk
kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke
dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran
hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.

3. Organ – organ yang terlibat reaksi imun


Jaringan atau organ limfoid secara kolektif adalah jaringan yang
memproduksi, menyimpan, atau memproses limfosit. Jaringan-jaringan ini
mencakup sumsum tulang, kelenjar limfe, limpa, timus, tonsil, adenoid,
apendiks, dan agregat jaringan limfoid di lapisan dalam saluran cerna yang
dinamai bercak Peyer atau gut-associated lymphoid tissue (GALT, jaringan
limfoid terkait usus). Jaringan limfoid berada di tempat-tempat strategis untuk
menghambat masuknya mikroorganisme sebelum mikroorganisme tersebut
memiliki kesempatan untuk berespons terhadap mikroba yang terhirup,
sementara mikroorganisme yang masuk melalui saluran cerna segera dihadapi
oleh limfosit di apendiks dan GALT.

Organ Limfoid
Primer

a. Sumsum tulang
Fungsi Sumsum tulang:
 Asal semua sel darah
 Tempat proses pematangan untuk limfosit B

b. Timus

Fungsi timus:

 Tempat proses pematangan untuk limfosit T


 Mengeluarkan hormon timosin
 Menyaring limfe
 Membentuk antibodi
 Membentuk limfosit
 Membatasi penyebaran sel tumor
Sekunder

a. Limfonodus
Fungsi limfonodus:

 Menyaring limfe
 Membentuk antibodi
 Membentuk limfosit
 Membatasi penyebaran sel tumor

b. Lien / Limpa / Spleen


Fungsi lien:
 Menyaring darah
 Membentuk antibodi
 Menghancurkan eritrosit tua
 Membentuk limfosit dan monosit
 Menampung kelebihan darah
 Membentuk pigmen bilirubin yang berasal dari eritrosit

c. Tonsila palatina
- Malt (Mucosa Associated Lymphoid Tissue).
Tersebar pada beberapa tempat antara lain:
 Saluran gastroenterohepatika
 Saluran respiratorius
 Saluran urogenitalia

Berdasarkan kasus, organ yang terkait adalah:

1. Malt
Tersebar pada beberapa tempat seperti pada saluran respirasi. Berdasarkan
skenario, keluhan yang ada yaitu batuk.
2. Kelenjar getah bening/ kelenjar limfe
Gejala yang ditemukan adalah pembengkakan pada leher sebelah kiri
3. Adanya TNF
Menimbulkan gejala demam yang disekresikan oleh kelenjar hypothalamus

4. Patomekanisme inflamasi

Inflamasi adalah respon pertahanan tubuh untuk mengeleminasi penyebab


jejas pada jaringan atau sel (cell injury), membersihkan jaringan dari sisa-sisa
kerusakan, dan membangun jaringan baru. Penyebab inflamasi adalah agen
infeksi (yang banyak dibicarakan dalam respon imum), benda asing, jejas sel
misalnya trauma fisik, suhu, dan kimiawi serta iskemia yang menimbulkan
kerusakan jaringan. Respon inflamasi dengan tiga tujuan tersebut dapat
berlangsung oleh karena peranan berbagai faktor sel-sel inflamasi, pembuluh
darah, dan mediator inflamasi. Pembangunan jaringan baru dimaksudkan untuk
menggantikan jaringan rusak tetapi bisa terjadi sel yang mati tidak diganti
dengan sel atau jaringan yang fungsional sama sehingga kemungkinan bekas
jaringan rusak terganti oleh jaringan fibrous maka terbentuklah scar (jaringan
parut).

Inflamasi digambarkan pertama kali 2000 tahun yang lalu (Abad I) oleh
dr. Celcus (romawi) yang menerangkan tentang reaksi lokal terhadap jejas pada
jaringan, yang terkenal dengan istilah cardinal sign yaitu rubor (merah), tumor
(bengkak), calor(hangat), dan dolor (nyeri). Seabad kemudian dr. Galen
(Yunani) menambahkan functio laesa (gangguan fungsi) sebagai cardinal sign
yang kelima. Rubor dan calor terjadi akibat vasolidatasi kapiler yang
menyebabkan banyak darah ke daerah inflamasi sehingga memberi warna merah
dan rasa hangat. Hal ini merupakan bukti partisipasi pembuluh darah untuk
mendatangkan sel-sel dan protein yang berperan dalam respon inflamasi ke
jaringan diman dibutuhkan kehadirannya. ”Tumor” (bengkak) terjadi akibat
banyaknya cairan plasma yang keluar dari pembuluh darah, membawa sel-sel
inflamsi, mediator inflamasi dan kebutuhan lain masuk ke dalam jaringan.
Terjadilah peninggian jumlah cairan intertisial yang disebur edema yang
menyebabkan pembengkakan pada daerah inflamasi. Jadi ”tumor” yang dilihat
oleh dr. Celcus sebenarnya adalah pembengkakan jaringan oleh karena edema.
Dolor terjadi akibat adanya rangsangan pada ujung-ujung saraf oleh mediator
inflamasi misalnya bradikinin yang memicu terjadinya nyeri dan penekanan
ujung-ujung saraf oleh edema. Pembengkakan dan rasa nyeri ini selanjutnya
menimbulkan gangguan fungsi.

5. Penyebab terjadinya gejala

- Batuk
Batuk merupakan mekanisme refleks yang sangat penting untuk menjaga
jalan napas tetap terbuka (paten) dengan cara menyingkirkan hasil sekresi lendir
yang menumpuk pada jalan napas. Tidak hanya lendir yang akan disingkirkan
oleh refleks batuk tetapi juga gumpalan darah dan benda asing. Namun, sering
terdapat batuk yang tidak bertujuan untuk untuk mengeluarkan lendir maupun
benda asing, seperti batuk yang disebabkan oleh iritasi jalan napas. Jalan napas
dapat terjadi hiperreaktif sehingga hanya dengan iritasi sedikit saja sudah dapat
menyebabkan refleks batuk. Batuk merupakan gejala yang paling sering
ditemukan pada infeksi jalan napas atas. Jika batuk tidak hilang selama tiga
minggu sebaliknya dilakukan pemeriksaan foto toraks untuk menentukan
kemungkinan adanya tuberkulosis, karsinoma bronkus atau penyakit paru lain.
Batuk termasuk elemen utama untuk membersihkan saluran napas dari dahak,
dan dahak merupakan stimulus untuk terjadinya batuk.

Mekanisme Batuk dapat dibagi menjadi empat fase yaitu :


 Fase iritasi
Iritasi dari salah satu saraf sensoris nervus vagus di laring, trakea, bronkus
besar, atau serat afferen cabang faring dari nervus glosofaringeus dapat
menimbulkan batuk. Batuk juga timbul bila reseptor batuk di lapisan faring dan
esofagus, rongga pleura dan saluran telinga luar dirangsang.
 Fase inspirasi
Pada fase inspirasi glotis secara refleks terbuka lebar akibat kontraksi otot
abduktor kartilago aritenoidea. Inspirasi terjadi secara dalam dan cepat,
sehingga udara dengan cepat dan dalam jumlah banyak masuk ke dalam paru.
Hal ini disertai terfiksirnya iga bawah akibat kontraksi otot toraks, perut dan
diafragma, sehingga dimensi lateral dada membesar mengakibatkan peningkatan
volume paru. Masuknya udara ke dalam paru dengan jumlah banyak
memberikan keuntungan yaitu akan memperkuat fase ekspirasi
sehingga lebih cepat dan kuat serta memperkecil rongga udara yang tertutup
sehingga menghasilkan mekanisme pembersihan yang potensial.
 Fase kompresi
Fase ini dimulai dengan tertutupnya glotis akibat kontraksi otot adduktor
kartilago aritenoidea, glotis tertutup selama 0,2 detik. Pada fase ini tekanan
intratoraks meninggi sampai 300 cm H2O agar terjadi batuk yang efektif.
Tekanan pleura tetap meninggi selama 0,5 detik setelah glotis terbuka . Batuk
dapat terjadi tanpa penutupan glotis karena otot-otot ekspirasi mampu
meningkatkan tekanan intratoraks walaupun glotis tetap terbuka.

 Fase ekspirasi/ ekspulsi


Pada fase ini glotis terbuka secara tiba-tiba akibat kontraksi aktif otot
ekspirasi, sehingga terjadilah pengeluaran udara dalam jumlah besar dengan
kecepatan yang tinggi disertai dengan pengeluaran benda-benda asing dan
bahan-bahan lain. Gerakan glotis, otot-otot pernafasan dan cabang-cabang
bronkus merupakan hal yang penting dalam fase mekanisme batuk dan disinilah
terjadi fase batuk yang sebenarnya. Suara batuk sangat bervariasi akibat getaran
sekret yang ada dalam saluran nafas atau getaran pita suara.

Berdasarkan skenario, gejala batuk sering ditemukan. Batuk terjadi karena


adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-
produk radang keluar dari saluran napas bawah. Karen terlibatnya bronkus
setiap penyakit tidak sama,mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit TB
berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu-minggu atau
berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-
produktif) kemudian setelah timbul peradangan berubah menjadi produktif
(menghasilkan dahak). Keadaan lebih lanjut dapat berupa betuk darah karena
terdapat pembuluh darah kecil yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada TB
terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada dinding bronkus. Batuk ini
sering sulit dibedakan dengan batuk karena sakit:
pneumonia,asma,bronkitis,alergi,penyakit paru obstruksi kronik,dll.

- Bengkak
Infeksi pada kasus disebabkan oleh bakteri yang masuk saluran
pernapasan menuju alveoli, sehingga terjadilah infeksi primer.Dari infeksi
primer ini, akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal) dan juga diikuti dengan pembesaran kelenjar getah bening
hilus (limfangitis regional).
Peradangan pada saluran getah bening akan memengaruhi permeabilitas
membran. Permeabilitas membran akan meningkat dan akhirnya menimbulkan
akumulasi cairan dalan rongga pleura. Kebanyakan terjadinya efusi pleura
akibat dari tuberkulosis paru melalui fokus subpleura yang robek atau melalui
aliran getah bening. Sebab lain dapat juga diakibatkan dari robeknya perkijuan
ke arah saluran getah bening yang menuju rongga pleura, iga, atau kolumna
vertebralis.
Adapun bentuk cairan efusi akibat tuberkulosis paru adalah eksudat yang berisi
protein dan terdapat pada cairan pleura akibat kegagalan aliran protein getah
bening. Cairan ini biasanya serosa, namun kadang-kadang bisa juga hemarogi.

- Sesak nafas

Pada penyakit TB paru yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan adanya
sesak nafas akan ditemukan pada penyakit TB paru yang sudah lanjut dimana
infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru

- Sering terserang flu

Gejala batuk-batuk lama kadang disertai pilek serimg terjadi karena daya tahan
tubuh pasien yang rendah sehingga mudah terserang infeksi virus seperti
influeza.

6. Aspek Tatalaksana pasien TB


Menurut Zain (2001) membagi penatalaksanaan tuberkulosis paru menjadi
tiga bagian, pengobatan, dan penemuan penderita (active case finding).
1) pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat
dengan penderita TB paru BTA positif. Pemeriksaan meliputi tes tuberkulin,
klinis dan radiologis. Bila tes tuberkulin positif, maka pemeriksaan radiologis
foto thoraks diulang pada 6 dan 12 bulan mendatang. Bila masih negatif,
diberikan BCG vaksinasi. Bila positif, berarti terjadi konversi hasil tes
tuberkulin dan diberikan kemoprofilaksis.
2) Mass chest X-ray, yaitu pemeriksaan massal terhadap kelompok kelompok
populasi tertentu misalnya:
a) Karyawan rumah sakit/Puskesmas/balai pengobatan.
b) Penghuni rumah tahanan.
3) Vaksinasi BCG
Tabrani Rab (2010), Vaksinasi BCG dapat melindungi anak yang berumur
kurang dari 15 tahun sampai 80%, akan tetapi dapat mengurangi makna pada tes
tuberkulin. Dilakukan pemeriksaan dan pengawasan pada pasien yang dicurigai
menderita tuberkulosis, yakni:
a) Pada etnis kulit putih dan bangsa Asia dengan tes Heaf positif dan
pernah berkontak dengan pasien yang mempunyai sputum positifharus
diawasi.
b) Walaupun pemeriksaan BTA langsung negatif, namun tes Heafnya
positif dan pernah berkontak dengan pasien penyakit paru.
c) Yang belum pernah mendapat kemoterapi dan mempunyai
kemungkinan terkena.
d) Bila tes tuberkulin negatif maka harus dilakukan tes ulang setelah 8
minggu dan ila tetap negatif maka dilakukan vaksinasi BCG. Apabila
tuberkulin sudah mengalami konversi, maka pengobatan harus
diberikan.
4) Kemoprofilaksis dengan mengggunakan INH 5 mg/kgBB selama 6-12 bulan
dengan tujuan menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri yang masih
sedikit. Indikasi kemoprofilaksis primer atau utama ialah bayi yang menyusu
pada ibu dengan BTA positif, sedangkan kemoprofilaksis sekunder diperlukan
bagi kelompok berikut:
a) Bayi dibawah lima tahun dengan hasil tes tuberkulin positif karena
resiko timbulnya TB milier dan meningitis TB,
b) Anak dan remaja dibawah dibawah 20 tahun dengan hasil tuberkulin
positif yang bergaul erat dengan penderita TB yang menular,
c) Individu yang menunjukkan konversi hasil tes tuberkulin dari negatif
menjadi positif,
d) Penderita yang menerima pengobatan steroid atau obat immunosupresif
jangka panjang,
e) Penderita diabetes melitus.
5) Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang penyakit tuberkulosis
kepada masyarakat di tingkat puskesmas maupun ditingkat rumah sakit oleh
petugas pemerintah maupun petugas LSM (misalnya Perkumpulan
Pemberantasan Tuberkulosis Paru Indonesia-PPTI).

7. Pemeriksaan yang ditemukan dan pemeriksaan penunjang


a. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan
sakitnya mulai dari ringan sampai berat. Pasien bisa terlihat kurus atau berat
badan menurun, suhu badan demam(subrefis), konjungtiva mata atau kulityang
pucat karena anemia. Sering pada pemeriksaan fisik pasien yang tidak
menunjukkan suatu kelainanpun terutama pada kasus-kasus dini atau yang
sudah terinfiltrasi secara asimsomatik. Secara anamnesis dan pemerksaan fisik
pun, TB paru sulit dibedakan dengan pneumonia biasa.
Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apex
paru. Bila dicurigai adanya infilrat yang agak luas maka didapatkan perkusi
yang redup dan auskultasi suara nafas bronkial. Mungkin didapatkan juga suiara
nafas tambahan berupa ronki basah kasar dan nyaring. Tetapi bila infiltrasi ini
diliputi oleh penebalan pleura, suara nafasnya menjadi vesikuler melemah. Bila
terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonor dan
timpani dan auskultasi memberikan suara amforik.
Pada TB paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan
atrofi dan retraksi otot-otot inter-costal. Bila TB paru mengenai pleura akan
terbentuklah efusi pleura. Paru yang sakit terlihat agak tertinggal dalam
pernafasan. Perkusi memberikan suara pekak. Auskultasi memberikan suara
nafas yang lemah sampaitidak terdengar sama sekali. Dalam penampilan klinik,
TB paru sering tidak memperlihatkan gejala (asimtomatik) dan penyakit baru
dicurigai dengan didapatlannya kelainan radiologik dada pada pemeriksaan rutin
atau uji tuberkulin yang positif.

b. Pemeriksaan radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis
untuk menemukan lesi TB. Lokasi lesi TB umumnya di daerah apex paru tetapi
dapat juga mengenai lobus bawah atau daerah hilus menyerupai tumor paru.
Pada awal penyakit saat lesi masih menyerupai sarang-sarang pneumonia,
gambaran radiologinya berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-
batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan
terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas dan disebut tuberkuloma
Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat dengan
densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas dengan
penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu
bagian paru. Gambaran TB milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang
umumnya tersebar merata pada seluruh maka diameter keseluruhan semua
lubang melebihi 4 cm.

c. Pemeriksaan bakteriologis
Tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan
ditemukannya BTA positif pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil
pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga pemeriksaan
dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) BTA hasilnya positif.

Berdasarkan diagnosis di atas WHO pada tahun 1991 memberikan kriteria


pada pasien TB paru menjadi:
a). Pasien dengan sputum BTA positif adalah pasien yang pada pemeriksaan
sputumnya secara mikroskopis ditemukan BTA, sekurang kurangnya pada 2
kali pemeriksaan/1 sediaan sputumnya positif disertai kelainan radiologis yang
sesuai dengan gambaran TB aktif /1 sediaan sputumnya positif disertai biakan
yang positif.

b). Pasien dengan sputum BTA negatif adalah pasien yang pada
pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sama sekali,
tetapi pada biakannya positif (Hapsari, 2007).

Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut
yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan spesimen SPS diulang.

1). Kalau hasil rontgen mendukung Tb, maka penderita didiagnosis sebagai
penderita TB BTA positif.

2). Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan dahak SPS
diulangi. Bila ketiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum luas
(misalnya, Kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1-2 minggu.

Bila tidak ada perubahan, namun gejala klinis mencurigakan TB, ulangi
pemeriksaan dahak SPS.

1). Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita tuberkulosis BTA
positif.

2). Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada,
untuk mendukung diagnosis TB:

a. Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis sebagai penderita


TB BTA negatif rontgen positif.

b. Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan


TB.
d. .Pemeriksaan Darah
Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang
sedikit meninggi dengan pergeseran hitung jenis ke kiri. Jumlah limfosit masih
di bawah normal. Laju endap darah (LED) mulai meningkat. Bila penyakit
mulai sembuh, jumlah leukosit kembali ke normal dan jumlah limfosit masih
tinggi, LED mulai turun ke arah normal lagi. Hasil pemeriksaan darah lain juga
didapatkan: anemia ringan dengan gambaran normokrom normositer, gama
globulin meningkat, dan kadar natrium darah menurun (Puspita, 2007).

Diagnosis TB paru sesuai alur yang dibuat oleh Depkes RI (2006), sebagaimana
bisa dilihat di sebagai berikut :

Pada saat ini uji tuberkulin tidak mempunyai arti dalam menentukan diagnosis
TBC pada orang dewasa sebab sebagian besar masyarakat sudah terinfeksi
dengan Mycobacterium tuberculosis karena tingginya prevalensi TBC. Suatu uji
tuberkulin positif hanya menunjukkan bahwa yang bersangkutan pernah
terpapar dengan mycobacterium tuberculosis.

Kelemahan tes ini adalah adanya positif palsu yakni pada pemberian BCG atau
terinfeksi dengan Mycobacterium lain, negatif palsu pada pasien yang baru 2-10
minggu terpajan TB, anergi, penyakit sistemik serta (Sarkoidosis, LE), penyakit
eksantematous dengan panas yang akut (morbili, cacar air, poliomielitis), reaksi
hipersensitivitas menurun pad penyakit hodgkin, pemberian obat imunosupresi,
usia tua, malnutrisi, uremia, dan penyakit keganasan. Untuk pasien dengan HIV
positif, tes mantoux ± 5 mm, dinilai positif (Bahar, 2007).

8. Faktor penyulit (komplikasi)

Penyakit TB paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan


komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut
(Bahar, 2007):

a. Komplikasi dini dengan mekanisme sebagai berikut:


1. Efusi pleura, pleuritis, empiema

Pada awalnya terjadi pleuritis karena adanya fokus pada pleura sehingga
pleura robek atau fokus masuk melalui kelenjar limfe, kemudian cairan melalui
sel mesotelial masuk kedalam rongga pleura dan juga dapat masuk ke pembuluh
limfe sekitar pleura. Proses penumpukan cairan pleura karena proses
peradangan. Bila peradangan karena bakteri piogenik akan membentuk pus/
nanah sehingga terjadi empiema. Bila mengenai pembuluh darah sekitar pleura
dapat memyebabkan hemotoraks. Efusi cairan dapat berbentuk transudat,
terjadinya karena bukan dari primer paru seperti gagal jantung kongestif, sirosis,
sindrom nefrotik dan sebagainya. Efusi yang berbentuk eksudat karena proses
peradangan yang menyebabkan permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura
meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboid dan
akhirnya terjadi pengeluaran cairan ke rongga pleura.

b. Komplikasi lanjut dengan mekanisme sebagai berikut:

1. Obstruksi jalan nafas

Komplikasi lanjut dari TB paru karena adanya peradangan pada sel-sel otot
jalan nafas. Dari keradangan yang kronis itu menyebabkan paralisis silia
sehingga terjadi statis mukus dan adanya infeksi kuman. Karena adanya infeksi
sehingga menyebabkan erosi epitel, fibrosis, metaplasi sel skamosa serta
penebalan lapisan mukosa sehingga terjadi obstruksi jalan nafas yang
irreversibel (stenosis). Dari Infeksi tersebut terjadi proses inflamasi yang
menyebabkan bronkospasme sehingga terjadi obstruksi jalan nafas yang
reversibel. Selain itu dari proses inflamasi tadi juga dapat menyebabkan
hipertrofi hiperplasi kelenjar mukus sehingga produksi mukus berlebih akhirnya
terjadi erosi epitel, fibrosis, metaplasi skuamosa serta penebalan lapisan mukosa
sehingga terjadi obstruksi jalan nafas yang irreversibel. Dari obstruksi tadi juga
dapatmenyebabkan gagal nafas (Antariksa, 2009).
2. Hemoptitis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya saluran
nafas.

4. Kolaps (pingsan) dari lobus akibat retraksi bronkial (tertariknya cabang


tenggorok).

5. Bronkiektasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan


jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.

6. Pneumotorak ( adanya udara di dalam rongga pleura)

7. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal, dan
sebagainya.

8. Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency) (jantung


tidak mampu melaksanakan tugas yang diberikan oleh paru). Penderita yang
mengalami komplikasi berat perlu dirawat inap di rumah sakit.

9. Pengobatan Tuberkulosis

Tujuan pengobatan tuberkulosis paru adalah :

- menyembuhkan penderita

- mencegah kematian

- mencegah kekambuhan

- menurunkan tingkat penularan

Sedangkan jenis dan dosis OAT adalah :

1) Isoniasid (H)

Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman
dalam beberapa hari pertama pengobatan.

2) Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi-dormant (persister) yang
tidak dapat dibunuh oleh Isoniasid.

3) Pirasinamid (Z)

Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan
lsuasana asam.

4) Streptomisin (S)

Bersifat bakterisid

5) Etambutol (E)

Bersifat sebagai bakteriostatik (Depkes RI, 2002:37-38).

Obat TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk
kuman persister) dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan
ditelan sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Apabila
paduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis, dan jangka waktu
pengobatan), kuman TBC akan berkembang menjadi kuman kebal obat
(resisten). untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan perlu
dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment)
oleh seorang Pengawas Minum Obat (PMO). Pengobatan TBC diberikan dalam
2 tahap, yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan.

a. Tahap Intensif

Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi
langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT, terutama
rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2
minggu. Sebagian besar penderita TBC BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) pada akhir pengobatan intensif.
b. Tahap Lanjutan

Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu lebih lama.

Jenis obat yang diminum penderita TB Paru Diagnosis adalah


Kombipak/FDC atau bukan Kombipak/FDC. Sebanyak 1005 penderita TB paru
(83,1%) minum Kombipak/FDC, sedangkan sisanya (16,9%) bukan
Kombipak/FDC. Dari 1005 penderita TB yang minum Kombipak/FDC terdapat
630 orang (62,7%) yang menggunakan FDC/Kombipak selama ≥ 6 bulan, 178
orang (17,7%) menggunakan FDC/Kombipak selama < 6 bulan, 81 orang
(8,2%) menggunakan FDC/Kombipak selama < 2 bulan dan sisanya sebanyak
101 orang (10,06%) berhenti minum FDC/Kombipak setelah minum selama 2–
5 bulan.

10. Makna Berobat

Dalam bahasa arab, usaha untuk mendapatkan kesembuhan biasa

disebut dengan istilah At-Tadawi yang artinya menggunakan obat; diambil dari
akar kata dawa (mufrad) yang bentuk jamaknya adalah Adwiyah. Kalimat dawa
yang biasa diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan arti obat; adalah
segala yang digunakan oleh manusia untuk menghilangkan penyakit yang
mereka derita. Sementara penyakit yang akan diobati, dalam bahasa arab biasa
disebut dengan istilah Daa-un, bentuk masdar dari kata Daa-un. Bentuk jamak
dari kalimat “Adaa-u” adalah “Adwaa-u”.

1. Pengertian kalimat Tadawi dalam sisi bahasa tidak jauh berbeda dengan
makna tadawi yang dipahami oleh para ahli fikih (pakar hukum Islam) kalimat
Tadawi diartikan oleh para pakar hukum Islam dengan makna; “menggunakan
sesuatu untuk penyembuhan penyakit dengan izin Allah SWT; baik pengobatan
tersebut bersifat jasmani ataupun alternatif.”2

B. Hukum Mengobati Penyakit dalam Pandangan Islam


Para ahli fikih dari berbagai mazhab; yaitu ulama mazhab Hanafi, Maliki,
Syafi’I dan ulama mazhab hambali sepakat tentang bolehnya seseorang
mengobati penyakit yang dideritanya. Pendapat para ulama tersebut
didasarioleh banyaknya dalil yan menunjukkan kebolehan mengobati penyakit.
Di antara dalil-dalil tersebut adalah:3 Pertama, diriwayatkan oleh Imam
Muslim:

‫دَواءَ داٍءَ ﻟُِﻜﱢﻞ اﷲ ﻋﺒﺪ ﺑﻦ ﺟﺎﺑﺮ ﻋﻦ‬، ‫اﻟﱠﺪا َء اﻟﱠﺪَوا ُء بَ أَََ ﺻﺎ ﻓَِﺈذَا‬، َ ‫ﱠﻞ ﻋﱠ َﺰ اﷲِ ﺑِﺈْذِن ﺑـَََ ﺮأ‬
َ ‫َوﺟ‬

Artinya: “Setiap penyakit pasti memiliki obat. Bila sebuah obat sesuai dengan
penyakitnya maka dia akan sembuh dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
(HR. Muslim)

Hadits di atas mengisyaratkan diizinkannya seseorang Muslim mengobati


penyakit yang dideritanya. Sebab, setiap penyakit pasti ada obatnya. Jika obat
yang digunakan tepat mengenai sumber penyakit, maka dengan izin Allah SWT
penyakit tersebut akan hilang dan orang yang sakit akan mendapatkan
kesembuhan. Meski demikian, kesembumbuhan kadang terjadi dalam waktu
yang agak lama, jika penyebab penyakitnya belum diketahui atau obatnya
belum ditemukan.

Kedua, diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, Abu


Dawud, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi:

‫اﺳﺎﻣﺔ ﻋﻦ‬: ‫ﺖ ﻛْ ُﻨ‬ ُ ‫ﻰ اﻟﻨﱠِﱢ ﱯ ﻋْﻨَ ِﺪ‬ َ َ‫اﷲِ ُرﺳْﻮ‬، ‫أ َﻧـ َﺘََﺪاَوى؟‬
َ ‫ َوﺳﻠﱠ ََﻢ ﻋﻠَْﻴِ َﻪ اﷲُ ﺻﻠﱠ‬، َ‫بُ اْﻷَْﻋَﺮا َوﺟﺎ َء َِت‬، ‫ﻓَـ َﻘﺎَل‬: ‫ل ﻳَﺎ‬
‫ﻓَـ َﻘﺎَل‬: ‫اﷲِ ﻋﺒَﺎَ ِد ﻳَﺎ ﻧـَََ ﻌْﻢ‬، ‫ﺗََﺪا َ ْووا‬، ‫ﱠﻞ ﻋﱠ َﺰ اﷲَ ﱠن ﻓَِﺈ‬ َ ‫واِﺣ ٍَﺪ داٍءَ ﻏْﻴـ َ َﺮ ﺷَﻔﺎ ِء ﻟَﻪُ َوﺿ ََﻊ إِﻻﱠ داءَ ﻀْ َﻊ ﻳَ ﱂَْ َوﺟ‬.
‫ﻗَﺎﻟُﻮا‬: ‫ﻗَﺎَل ﻫَﻮ ُ؟ ﻣ َﺎ‬: ‫اْﱂَﺮُم‬

Artinya: “Aku pernah berada di samping Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa


sallam. Lalu datanglah serombongan Arab dusun. Mereka bertanya, “Wahai
Rasulullah, bolehkah kami berobat?” Beliau menjawab: “Iya, wahai para hamba
Allah, berobatlah. Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah meletakkan
sebuah penyakit melainkan meletakkan pula obatnya, kecuali satu penyakit.”
Mereka bertanya: “Penyakit apa itu?” Beliau menjawab: “Penyakit tua.” (HR.
Ahmad, Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan
At-Tirmidzi, beliau berkata bahwa hadits ini hasan shahih).

Hadits di atas menunjukkan bahwa setiap penyakit ada obatnya terkecuali


penyakit tua. Rasulullah Saw. menganggap tua sebagai penyakit. Sebab
penyakit tersebut merusak kondisi si sakit, sebagaimana penyakit penyakit lain
yang biasanya mengakibatkan seseorang meninggal atau berat dalam menjalani
hidup.

Ketiga, hadits riwayat Abu Daud:

‫َﻞ واﻟﱠﺪَوا َء اﻟﱠﺪا َء أ َﻧْـ َﺰَل اﷲَ ﱠإِن‬


َ ‫ﱂََﺮاٍ ِم ﺗََﺪاَ ْووا وﻻَ ﻓَـﺘََﺪاَ ْووا دَواءَ داٍءَ ﻟُِﻜﱢﻞ َوﺟَﻌ‬

Artinya: “Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obatnya,


demikian pula Allah menjadikan bagi setiap penyakit ada obatnya. Maka
berobatlah kalian dan janganlah berobat dengan yang haram.” (HR. Abu
Dawud)

Hadits ini menunjukkah bahwa seorang Muslim boleh mengobati penyakitnya.


Sebab, diturunkannya penyakit oleh Allah SWT.disertai dengan diturunkan
obatnya menunjukkan bahwa seorang Muslim diizinkan untuk mengobati
penyakit yang dideritanya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Prof. Dr. Syarifuddin Wahid, PhD, SpPA (K), SpF . 2016 . IMUNOLOGI
LEBIH MUDAH DIPAHAMI .Surabaya:Brilian Internasional.
2. http://staff.ui.ac.id/system/files/users/retno.asti/material/patodiagklas.pdf
3. Setiati, Siti. 2017. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi VI.
Jakarta: Interna Publishing.
4. (Guyton. 2008)
5. Dr. R. Darmanto Djojodibroto, SpP. FCCP . 2009 . RESPIROLOGI
(RESPIRATORY MEDICINE). Jakarta: EGC
6. Muttaqin,Arif. Buku Ajar Asuhan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan.Salemba Medika
7. DEPKES RI (2011). Pedoman nasional pengedalian tuberkulosis.
8. Safitri, fathiyah . 2009 . Diagnosis TB anak dan dewasa. ISTC (
International Standart for Tb Care )
9. Pratiwi, yohana ika.2004. Kesembuhan pengobatan tb paru.UNES
10. Suharmiati1, dan Herti Maryani1. 2011. Analisis Hubungan Penggunaan
Obat FDC/Kombipak pada Penderita yang Didiagnosis TB paru
Berdasarkan Karakteristik. Surabaya
11. http://repository.uin-suska.ac.id/3969/4/BAB%20III.pdf

Anda mungkin juga menyukai