Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KELOMPOK PBL

“MODUL II ”
BLOK IMUNOLOGI DAN HEMATOLOGI

Tutor : Dr. dr. Nurelly N Wospodo, SpKK


Disusun Oleh :
Kelompok 2 A

 Dian Anugrah Safitri 11020150024


 Andi Rezky Maulana 11020160046
 Reizaldy Musarra Mauli 11020180073
 Nur Fadillah 11020180083
 Iqra Anugrah 11020180116
 Wira Dharma Pratiwi 11020180109
 Nur Afifah Usri 11020180072
 Lidiana 11020180098
 Ahmad Fahd Alfian 11020180096
 A. Karina Isnaeny N 11020180101

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019
SKENARIO 3

Seorang wanita umur 35 tahun datang ke polikinik dengan keluhan utama bercak
kemerahan diseluruh tubuh yang timbul sejak 1 tahun yang lalu. Riwayat
sebelumnya timbul warna bercak ungu kehitaman tetapi tidak gatal dan nyeri,
makin lama makin banyak dan menyebar ke seluruh tubuh. Pasien sudah berobat
ke dokter dan sembuh tapi muncul lagi. Pasien juga mengeluh kulit warna merah
bila terkena matahari, rambut rontok dan demam, lemas, nyeri otot dan sendi.
Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga dan riwayat alergi disangkal.

A. KALIMAT KUNCI :
1. Wanita umur 35 tahun.
2. Bercak kemerahan di seluruh tubuh sejak 1 tahun yg lalu.
3. Timbul warna merah bercak ungu kehitaman tetapi tidak gatal dan nyeri,
makin lama makin banyak dan menyebar ke seluruh tubuh, .
Kkulit warna merah bila terkena matahari .
4. Rambut rontok.
5. Demam & lemas .
6. Nyeri otot & sendi.
7. Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga dan riwayat alergi disangkal.

B. PERTANYAAN :
1. Jelaskan konsep dasar imunologi ?
2. Jelaskan imunopatogenesis tiap gejala dari scenario diatas ?
3. Apa saja factor factor yang dapat menimbulkan gejala sesuai scenario
diatas ?
4. Jelaskan patofisiologi penyakit autoimun?
5. Jelaskan patogenesis autoimun untuk SLE?
6. Organ organ apa saja yang terkait untuk scenario diatas?
7. Jelaskan penatalaksanaan untuk penanganan kasus imunologik skenario
diatas?
8. Jelaskan pemeriksaan penunjang pada skenario diatas?
9. Jelaskan faktor penyulit (komplikasi) pada kasus sesuai skenario diatas?
10. Jelaskan cara pengobatan imunologi pada skenario diatas?
11. Jelaskan mengenai perspektif Islam mengenai skenario di atas?

C. JAWABAN PERTANYAAN :

1. Jelaskan konsep dasar imunologi ?


Imunologi berasal dari kata latin yaitu IMMUNITAS yang berarti
perlindungan, kekebalan. Imunologi adalah ilmu yang mempelajari tentang
respon imun dan peristiwa seluler dan molekuler yang terjadi akibat
masuknya benda asing dalam tubuh manusia. Secara historis, kekebalan
berarti perlindungan dari penyakit terutama penyakit menular. Sel-sel dan
molekul yang bertanggung jawab untuk kekebalan disebut sistem
kekebalan tubuh.Respon kolektif dan terkoordinasi untuk masuknya zat-
zat asing disebut respon imun. Reaksi terhadap komponen mikroba serta
makromolekul, seperti protein dan polisakarida, dan bahan kimia kecil
sebagai benda asing dan molekul atau jaringan dari tubuh sendiri disebut
respon autoimun.

1. SISTEM IMUNITAS
Keutuhan tubuh dipertahankan oleh sistem pertahanan yang terdiri
atas sistem imun non-spesifik (natural/innate) dan
spesifik(adaptive/acquired). Komponen sistem imun nonspesifik dan
spesifik terlihat dalam gambar .
Gambar Bagan Pembagian Sistem Imun

Referensi : Abbas,AK,Lichtman.AH. Basic Imunology. 2nd edition.


Philadelphia: WB Saunders Company.2004.

2. Jelaskan imunopatogenesis tiap gejala dari scenario diatas ?

A.IMUNPPATOGENESIS DEMAM

Demam terjadi oleh karena pengeluaran zat pirogen dalam tubuh.


Zat pirogen sendiri dapat dibedakan menjadi dua yaitu eksogen dan
endogen. Pirogen eksogen adalah pirogen yang berasal dari luar tubuh
seperti mikroorganisme dan toksin. Sedangkan pirogen endogen
merupakan pirogen yang berasal dari dalam tubuh meliputi
interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), dan tumor necrosing factor-
alfa (TNF-A). Sumber utama dari zat pirogen endogen adalah
monosit, limfosit dan neutrofil (Guyton, 2007). Seluruh substansi di
atas menyebabkan selsel fagosit mononuclear (monosit, makrofag
jaringan atau sel kupfeer) membuat sitokin yang bekerja sebagai
pirogen endogen, suatu protein kecil yang mirip interleukin, yang
merupakan suatu mediator proses imun antar sel yang penting.
Sitokin-sitokin tersebut dihasilkan secara sistemik ataupun local dan
berhasil memasuki sirkulasi. Interleukin-1, interleukin-6, tumor
nekrosis factor α dan interferon α, interferon β serta interferon γ
merupakan sitokin yang berperan terhadap proses terjadinya demam.
Sitokin-sitokin tersebut juga diproduksi oleh sel-sel di Susunan Saraf
Pusat (SSP) dan kemudian bekerja pada daerah preoptik hipotalamus
anterior. Sitokin akan memicu pelepasan asam arakidonat dari
membrane fosfolipid dengan bantuan enzim fosfolipase A2. Asam
arakidonat selanjutnya diubah menjadi prostaglandin karena peran
dari enzim siklooksigenase (COX, atau disebut juga PGH sintase) dan
menyebabkan demam pada tingkat pusat termoregulasi di
hipotalamus.

GAMBAR IMUNOPATOGENESIS DEMAM

B. IMUNOPATOGENESIS NYERI OTOT DAN SENDI


Perubahan asam arakidonat menjadi prostaglandin dengan bantuan
enzim cyclooxygenase (COX) dapat dihambat dengan pemberian
AINS (anti-inflamasi non-steroid) yang juga dikenal sebagai “COX-
inhibitor”. Pembentukan prostaglandin dapat ditingkatkan oleh
bradikinin dan interleukin-1. Di perifer, prostaglandin dapat
merangsang reseptor EP1 yang meningkatkan sensasi nyeri dan
reseptor EP4 yang menurunkan sensasi nyeri. Namun prostaglandin
yang dibentuk melalui aktivasi COX-2 berperan dalam percepatan
transmisi nyeri di syaraf perifer dan di otak. Di perifer, kepekaan
nociceptor terhadap stimulus yang menyakitkan makin meningkat
oleh adanya prostaglandin, bradikinin, histamine dan lainnya. Dengan
demikian mekanisme modulasi nyeri di perifer adalah berawal dari
adanya sensitisasi ujung syaraf oleh mediator prostaglandin E-2 yang
terbentuk akibat cedera jaringan dan peningkatan jumlah COX-2.
Memang benar, hasil penelitian menunjukkan adanya peran sentral
bradikinin (dibebaskan dari plasma darah) dan sitokin (dibebaskan
dari jaringan dan sel-sel) dalam kejadian nyeri inflamasi.

GAMBAR IMUNOPATOGENESIS NYERI OTOT DAN SENDI

Referensi: Bannwarth B, Netter P, Pourel J, Royer RJ, Gaucher A.


Clinical pharmacokinetics of nonsteroidal anti-inflammatory drugs in
the cerebrospinal fluid. Biomed Pharmacother. 43(2):121-6,1989.

Sherwood, lauralee. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem.Edisi


8:EGC)
C. IMUNOPATOGENESIS BERCAK MERAH PADA KULIT
Kemerahan yang terjadi diakibatkan karena proses inflamasi.
Proses inflamasi sangat berkaitan erat dengan sistem imunitas tubuh.
Secara garis besar imunitas tubuh dibagi atas 2 yaitu sistem imun
bawaan/nonspesifik dan sistem imun didapat/spesifik. Nonspesifik
akan menyerang semua antigen yang masuk, sedangkan spesifik
merupakan pertahanan selanjutnya yang memilih-milih antigen yang
masuk. Ketika antigen masuk kedalam tubuh, maka spesialis-spesialis
fagositik(makrofag dan neutrofil) akan memfagosit antigen tersebut.
Hal tersebut bersamaan dengan terjadinya pelepasan histamin oleh sel
mast di daerah jaringan yang rusak. Histamin yang dilepaskan ini
membuat pembuluh darah bervasodilatasi untuk meningkatkan aliran
darah pada daerah yang terinfeksi. Selain itu, histamin juga membuat
permeabilitas kapiler meningkat sehingga protein plasma yang
seharusnya tetap berada di dalam pembuluh darah akan mudah keluar
ke jaringan. Hal ini yang menyebabkan kulit berwarna kemerahan
akibat proses inflamasi.

Referensi: Matt.2003.systemic lupus erythemathous.A patiens guide to


systemic lupus erythemathous

3. Faktor-faktor yang menimbulkan gejala?

1. Faktor Genetik
Mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi
penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat
(first degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada
saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara kembar
non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen
yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-
DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi
pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gen-
gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin
2. Faktor Lingkungan
Yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah
struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan
sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel
keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada
asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi
obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga
memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal
ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk
kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing
tersebut . Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam
amino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B
sehingga dapat menyebabkan SLE . Selain itu infeksi virus dan bakteri
juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme
menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B
limfosit nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE
3. Infeksi
Yaitu virus Epstein-Barr, mikoplasma, streptokok, Klebsiella, malaria, dll,
berhubungan dengan beberapa penyakit autoimun;
4. Sifat Autoantigen
Yaitu enzim dan protein (heat shock protein) sering sebagai antigen
sasaran dan mungkin bereaksi silang dengan antigen mikroba;
5. Obat-Obatan
Yaitu obat tertentu dapat menginduksi penyakit autoimun;
6. Umur
Yaitu sebagian besar penyakit autoimun terjadi pada usia dewasa.

Referensi :Matt.2003.systemic lupus erythemathous.A patiens guide to


systemic lupus erythemathous.
4. Jelaskan patofisiologi penyakit autoimun?

Gangguan autoimun adalah kegagalan fungsi sistem kekebalan tubuh yang


membuat badan menyerang jaringannya sendiri. Sistem imunitas menjaga tubuh
melawan pada apa yang terlihatnya sebagai bahan asing atau berbahaya. Bahan
seperti itu termasuk mikro-jasad, parasit (seperti cacing), sel kanker, dan malah
pencangkokan organ dan jaringan.

Bahan yang bisa merangsang respon imunitas disebut antigen. Antigen


adalah molekul yang mungkin terdapat dalam sel atau di atas permukaan sel
(seperti bakteri, virus, atau sel kanker). Beberapa antigen ada pada jaringan
sendiri tetapi biasanya, sistem imunitas bereaksi hanya terhadap antigen dari
bahan asing atau berbahaya, tidak terhadap antigen sendiri. Sistem munitas
kadang-kadang rusak, menterjemahkan jaringan tubuh sendiri sebagai antigen
asing dan menghasilkan antibodi (disebut autoantibodi) atau sel imunitas
menargetkan dan menyerang jaringan tubuh sendiri. Respon ini disebut reaksi
autoimun. Hal tersebut menghasilkan radang dan kerusakan jaringan. Efek
seperti itu mungkin merupakan gangguan autoimun, tetapi beberapa orang
menghasilkan jumlah yang begitu kecil autoantibodi sehingga gangguan
autoimun tidak terjadi.

Sistem kekebalan pada keadaan tertentu tidak mampu bereaksi terhadap


antigen yang lazimnya berpotensi menimbulkan respon imun. Keadaan tersebut
disebut toleransi kekebalan (immunological tolerance) dan terjadi melalui
beberapa mekanisme, yaitu :

1.Deleksi klonal, yaitu eliminasi klon (kelompok sel yang berasal dari satu sel)
limfosit, terutama limfosit T dan sebagian kecil lmfosit B, selama proses
pematangan;
2.Anergi klon, yaitu ketidakmampuan klon limfosit menampilkan fungsinya;
3.Supresi klon, yaitu pengendalian fungsi “pembantu” limfosit T.
Pada umumnya, sistem kekebalan dapat membedakan antar antigen diri (self
antigen) dan antigen asing atau bukan diri (non-self antigen). Dalam hal ini
terjadi toleransi imunologik terhadap antigen diri (self tolerance). Apabila sistem
kekebalan gagal membedakan antara antigen self dan non-self, maka terjadi
pembentukan limfosit T dan B yang auto reaktif dan mengembangkan reaksi
terhadap antigen diri (reaksi auto imun).

Penyakit autoimun terdiri dari dua golongan, yaitu :

1.Khas organ (organ specific)


Dengan pembentukan antibodi yang khas organ; contoh : Thiroiditis,
dengan auto-antibodi terhadap tiroid; Diabetes Mellitus, dengan auto-
antibodi terhadap pankreas; sclerosis multiple, dengan auto-antibodi
terhadap susunan saraf; penyakit radang usus, dengan auto-antibodi
terhadap usus.
2.Bukan khas organ (non-organ specific)
Dengan pembentukan auto antibodi yang tidak terbatas pada satu organ.
Contoh : Systemic lupus erythemathosus (SLE), arthritis rheumatika,
vaskulitis sistemik dan scleroderma, dengan auto-antibodi terhadap
berbagai organ.
Referensi : Matt.2003.systemic lupus erythemathous.A patiens guide to systemic

lupus erythemathous.

5. Jelaskan patogenesis autoimun untuk SLE?

Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi
sel B, peningkatan jumlah sel yang imun . Aktivasi sel T dan sel B disebabkan
karena adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar seperti
bahan-bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau
yang berasal dari dalam yaitu protein DNA dan RNA. Antigen ini dibawa oleh
antigen presenting cells (APCs) atau berikatan dengan antibodi pada
permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan APCs menjadi peptida dan
dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T akan
teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B untuk
membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi antara sel B dan sel T serta
APCs dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4 .

Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel
Th1 berfungsi mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2 menekan
sel tersebut dan membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien
SLE ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 yang
berfungsi menekan sel Th1 sehingga mengganggu cell-mediated immunity.

Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya produksi


IL-2 dan hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat
membantu meningkatkan ekspresi sel T. Abnormalitas dan diregulasi sistem
imun pada tingkat seluler dapat berupa gangguan fungsi limfosit T dan B,
NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi seiring dengan limfositopenia sel
T karena antibodi antilimfosit T. Peningkatan sel B yang teraktivasi
menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia yang berhubungan dengan
reaktivitas self-antigen. Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami
peningkatan sedangkan CR1 menurun. Hal ini juga meningkatkan heat shock
protein 90 (hsp 90) pada sel B dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi
pada permukaan sel limfosit dan akan menyebabkan terjadinya respon imun.
Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+
(inducer/helper). SLE ditandai dengan peningkatan sel B terutama
berhubungan dengan subset CD4+ dan CD45R+. CD4+ membantu
menginduksi terjadinya supresi dengan menyediakan signal bagi CD8+ .
Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan berkurangnya subset tersebut
sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan menyebabkan
kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua
subset sel T ini yang umum disebut double negative (CD4-CD8-) mengaktifkan
sintesis dan sekresi autoantibodi . Ciri khas autoantibodi ini adalah bahwa
mereka tidak spesifik pada satu jaringan tertentu dan merupakan komponen
integral dari semua jenis sel sehingga menyebabkan inflamasi dan kerusakan
organ secara luas melalui 3 mekanisme yaitu pertama kompleks imun
(misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam membran jaringan dan
mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan. Kedua,
autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang terjebak
di dalam jaringan, komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan.
Mekanisme yang terakhir adalah autoantibodi menempel pada membran dan
menyebabkan aktivasi komplemen yang berperan dalan kematian sel atau
autoantibodi masuk ke dalam sel dan berikatan dengan inti sel dan
menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui mekanismenya
terhadap kerusakan jaringan .

Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks
imun, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-
take kompleks imun pada limpa. Gangguan klirens kompleks imun dapat
disebabkan berkurangnya CR1 dan juga fagositosis yang inadekuat pada IgG2
dan IgG3 karena lemahnya ikatan reseptor FcγRIIA dan FcγRIIIA. Hal ini
juga berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen C1, C2, C4.
Adanya gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan antigen
terhadap sistem imun dan terjadinya deposisi kompleks imun pada berbagai
macam organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut.
Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan mediator-
mediator inflamasi yang menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang inilah
yang menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang
bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dan
sebagainya.

Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat menginduksi
apoptosis sel keratonosit) atau beberapa obat (seperti klorpromazin yang
menginduksi apoptosis sel limfoblas) dapat meningkatkan jumlah apoptosis sel
yang dilakukan oleh makrofag. Sel dapat mengalami apoptosis melalui
kondensasi dan fragmentasi inti serta kontraksi sitoplasma. Phosphatidylserine
(PS) yang secara normal berada di dalam membran sel, pada saat apoptosis
berada di bagian luar membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan dengan CRP,
TSP, SAP, dan komponen komplemen yang akan berinteraksi dengan sel
fagosit melalui reseptor membran seperti transporter ABC1, complement
receptor (CR1, 3, 4), reseptor αVβ3, CD36,CD14 dan lektin mannose receptor
menghasilkan sitokin anti inflamasi .

Sedangkan pada SLE yang terjadi adalah ikatan dengan autoantibodi


yang kemudian akan berinteraksi dengan reseptor FcγR yang akan
menghasilkan sitokin proinflamasi. Selain gangguan apoptosis yang dilakukan
oleh makrofag, pada pasien SLE juga terjadi gangguan apoptosis yang
disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-2 .
Referensi: Matt.2003.systemic lupus erythemathous.A patiens guide to systemic

lupus erythemathous

6. Organ organ apa saja yang terlibat dari scenario diatas?

1. Kulit

Kelainan kulit dapat berupa fotosensitifitas, diskoid LE (DLE), Subacute


Cutaneous Lupus Erythematosus (SCLE), lupus profundus / paniculitis,
alopecia. Selain itu dapat pula berupa lesi vaskuler berupa eritema
periungual, livedo reticularis, telangiektasia, fenomena Raynaud’s atau
vaskulitis atau bercak yang menonjol bewarna putih perak dan dapat pula
ditemukan bercak eritema pada palatum mole dan durum, bercak atrofis,
eritema atau depigmentasi pada bibir
2. Muskuloskeletal

Lebih dari 90% penderita LES mengalami keluhan muskuloskeletal.


Keluhan dapat berupa nyeri otot (mialgia), nyeri sendi (artralgia) atau
merupakan suatu artritis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi.
Keluhan ini sering dianggap sebagai manifestasi artritis reumatoid karena
keterlibatan sendi yang banyak dan simetris. Namun pada umumnya pada
LES tidak meyebabkan kelainan deformitas.1 Pada 50% kasus dapat
ditemukan kaku pagi, tendinitis juga sering terjadi dengan akibat
subluksasi sendi tanpa erosi sendi. Gejala lain yang dapat ditemukan
berupa osteonekrosis yang didapatkan pada 5-10% kasus dan biasanya
berhubungan dengan terapi steroid. Miositis timbul pada penderita LES<
5% kasus. Miopati juga dapat ditemukan, biasanya berhubungan dengan
terapi 11 steroid dan kloroquin. Osteoporosis sering didapatkan dan
berhubungan dengan aktifitas penyakit dan penggunaan steroid.

3. Hemopoetik

Terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan


anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit
kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan
anemia hemolitik autoimun.

Referensi: Matt.2003.systemic lupus erythemathous.A patiens guide to


systemic lupus erythemathous
7. Jelaskan penatalaksanaan untuk penanganan kasus imunologik skenario
diatas?

Tatalaksana umum yang harus dilakukan adalah :

o Menghindari kegiatan fisik yang berlebihan.


o Menghindari merokok.
o Hindari perubahan cuaca karena memengaruhi proses inflamasi
o Menghindari stres dan trauma fisik.
o Diet khusus sesuai organ yang diganti.
o Hindari pajanan sinar matahari secara langsung, khusus UV pada
pukul 10.00 hingga 15.00
o Gunakan pakaian yang tertutup, tabir surya minimal SPF30PA ++
30 menit sebelum keluar rumah.
o Hindari pajanan lampu UV
o Menghindari kontrasepsi atau obat yang mengandung hormon
estrogen.
o Kontrol secara teratur ke dokter.
o Minum obat teratur

Referensi : Info Datin Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan


RI. Situasi Lupus Di Indonesia. 2017. Pusdatin.

8. Jelaskan pemeriksaan penunjang pada skenario diatas?


Pemeriksaan Penunjang Minimal Lain yang Diperlukan untuk
Diagnosis dan Monitoring :
1. Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)*
2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila
diperlukan kreatinin urin.
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, pro•il lipid)*
4. PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
5. Serologi ANA§, anti-dsDNA†, komplemen †(C3,C4))
6. Foto polos thorax
§ pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk
monitoring.
* Setiap 3-6 bulan bila stabil
† Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.
ANA, antibodi antinuklear; PT/PTT, protrombintime/partialtromboplastin
time Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi SLE.
Waktu pemeriksaan untuk monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis
pasien.

Referensi : Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia Untuk


Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemi. 2011.
Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Hal 7

9. Jelaskan faktor penyulit (komplikasi) pada kasus sesuai skenario diatas?


Kompilkasi SLE yang mungkin terjadi meliputi:
1. Infeksi lain yang terjadi secara bersamaan
2. Infeksi saluran kemih
3. Gagal ginjal
4. Osteonekrosis tulang pinggul/pangkal paha akibat penggunaan steroid
jangka panjang.
(kowalak dkk, 2003)

Komplikasi lupus eritematosus sistemik :


1. Serangan pada Ginjal
a) Kelainan ginjal ringan (infeksi ginjal)
b) Kelainan ginjal berat (gagal ginjal)
c) Kebocoran ginjal (protein terbuang secara berlebihan melalui urin).

2. Serangan pada Jantung dan Paru


a. Pleuritis
b. Pericarditis
c. Efusi pleura
d. Efusi pericard
e. Radang otot jantung atau Miocarditis
f. Gagal jantung
g. Perdarahan paru (batuk darah)

3. Serangan Sistem Saraf


a) Sistem saraf pusat
 Cognitive dysfunction
 Sakit kepala pada lupus
 Sindrom anti-phospholipid
 Sindrom otak
 Fibromyalgia.
b) Sistem saraf tepi
 Mati rasa atau kesemutan di lengan dan kaki
c) Sistem saraf otonom
 Gangguan suplai darah ke otak dapat menyebabkan kerusakan
jaringanotak, dapat menyebabkan kematian sel-sel otak dan kerusakan
otak yang sifatnya permanen (stroke). Stroke dapat menimbulkan
pengaruh sistem saraf otonom.

4. Serangan pada Kulit


• Lesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena langsung
cahaya disebut lesi diskoi
• Ciri-ciri lesi spesifik ditemukan oleh Sonthiemer dan Gilliam pada akhir
70-an :
a. Berparut, berwarna merah (erythematosus), berbentuk koin sangat
sensitif terhadap sengatan matahari. Jenis lesi ini berupa lupus kult
subakut/cutaneus lupus subacute. Kadang menyerupai luka psoriasis atau
lesi tidak berparut berbentuk koin.
b. Lesi dapat terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu atau dapat mencakup
area yang luas di bagian tubuh
c. Lesi non spesifik
• Rambut rontok (alopecia)Vaskullitis : berupa garis kecil warna merah
pada ujung lipatan kuku dan ujung jari. Selain itu, bisa berupa benjolan
merah di kaki yang dapat menjadi borok.
• Fotosensitivitas : pipi menjadi kemerahan jika terkena matahari dan
kadang di sertai pusing.
d. Serangan pada Sendi dan Otot
• Radang sendi pada lupus
• Radang otot pada lupus
e. Serangan pada Mata
f. Serangan pada Darah
• Anemia
• Trombositopenia
• Gangguan pembekuan
• Limfositopenia
• Serangan pada Hati

Referensi : Kowalak, P., Welsh, William., Mayer, Brenna. 2013. Buku Ajar
Patofisiologi. Jakarta : EGC (online).

10. Jelaskan cara pengobatan pada skenario diatas?

Pilar Pengobatan
Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan
strategi pengobatan atau disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini
seyogyanya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan
pengobatan tercapai. Perlu dilakukan upaya pemantauan penyakit mulai dari
dokter umum di perifer sampai ke tingkat dokter konsultan, terutama ahli
reumatologi.
Pilar Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik
I. Edukasi dan konseling
II. Program rehabilitasi
III. Pengobatan medikamentosa
a. OAINS
b. An• malaria
c. Steroid
d. Imunosupresan / Sitotoksik
e. Terapi lain

I. Edukasi / Konseling
Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan
dukungan dari sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu
dijelaskan akan perjalanan penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan
pengetahuan akan masalah aktivitas •isik, mengurangi atau mencegah
kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan sinar matahari (ultra violet)
dengan memakai tabir surya, payung atau topi; melakukan latihan secara teratur.
Pasien harus memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet agar
tidak kelebihan berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia. Diperlukan
informasi akan pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan aktivitas
penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan. Terkait dengan pendekatan
biopsikososial dalam penatalaksanaan SLE, maka setiap pasien SLE perlu
dianalisis adanya masalah neuro-psikologik maupun
sosial.
Berdasarkan data penelitian di RSCM (2010) ditemukan adanya gangguan
fungsi kognitif sebesar 86,49%.21 Pembuktian dilakukan menggunakan alat
pemeriksaan yang lebih teliti seperti TRAIL A, TRAIL B maupun Pegboard. Hal
ini memperlihatkan besarnya gangguan neuropsikiatrik yang tersembunyi pada
SLE, karena secara nyata gangguan tersebut tidak melebihi 20%. Adanya stigmata
psikologik pada keluarga pasien masih memerlukan pembuktian lebih lanjut.
Namun adanya gangguan •isik dan kognitif pada pasien SLE dapat memberikan
dampak buruk bagai pasien didalam lingkungan sosialnya baik tempat kerja atau
rumah.
Edukasi keluarga diarahkan untuk memangkas dampak stigmata
psikologik akibat adanya keluarga dengan SLE, memberikan informasi perlunya
dukungankeluarga yang tidak berlebihan. Hal ini dimaksudkan agar pasien dengan
SLE dapat dimengerti oleh pihak keluarganya dan mampu mandiri dalam
kehidupan kesehariannya.

II. Program Rehabilitasi


Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan
SLE tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal penting adalah
pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30% apabila pasien dengan SLE
dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2 minggu. Disamping itu
penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-5% per hari dalam kondisi
imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk mempertahankan kestabilan sendi.
Modalitas fisik seperti pemberian panas atau dingin diperlukan untuk mengurangi
rasa nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Demikian pula modalitas
lainnya seperti transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) memberikan
manfaat yang cukup besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan otot. Secara
garis besar, maka tujuan, indikasi dan tekhnis pelaksanaan program rehabilitasi
yang melibatkan beberapa maksud di bawah ini, yaitu:
a. Istirahat
b. Terapi fisik
c. Terapi dengan modalitas
d. Ortotik
e. Lain-lain.

III. Terapi Medikamentosa


Berikut ini adalah jenis, dosis obat yang dipakai pada SLE serta pemantauannya,
selanjutnya dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Jenis dan Dosis Obat yang Dapat Dipakai pada SLE
Referensi : Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia Untuk Diagnosis
dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemi. 2011. Perhimpunan Reumatologi
Indonesia. Hal 10-13

11. Jelaskan mengenai perspektif Islam mengenai skenario di atas?

َ ‫َّبَ َرأَََّّبهإهذْ هنََّّللاهََّّ َعز‬،‫ابََّّالد َواءََّّالدا َء‬


َّ‫ََّّو َجل‬ َ ‫ص‬َ َ ‫َّفَإهذَاَّأ‬،‫عنَّجابرَّبنَّعبدَّللاَّ هلك هلََّّدَاءََّّدَ َوا ٌء‬

“Setiap penyakit pasti memiliki obat. Bila sebuah obat sesuai dengan penyakitnya
maka dia akan sembuh dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR.
Muslim)

ََّّ‫َّنَعَ ْم‬:َ‫َّأَنَتَدَ َاوى؟َّفَقَال‬،‫اَّرس ْو َلََّّللاه‬


َ َ‫َّي‬:َ‫َّفَقَال‬،‫تََّّاْألَع َْراب‬ ‫َّو َجا َء ه‬،
َ ‫سل َم‬ َ ‫صلىَّللاََّّ َعلَ ْي هه‬
َ ‫ََّّو‬ َ ََّّ‫َّك ْنتََّّ هع ْندَََّّالنبهيه‬:‫عنَّاسامة‬
ْ ‫َّ َماَّه َو؟َّ َقال‬:‫َّ َقالوا‬.‫احَّد‬
َّ‫َّال َه َرم‬:َ َ ‫ض َعََّّلَهََّّ هشفَاءََّّ َغي َْرََّّدَاء‬
‫ََّّو ه‬ َ ‫ََّّو‬ َ َ‫ََّّو َجلََّّلَ ْمََّّي‬
َ ‫ض ْعََّّدَاءََّّإهل‬ َ ‫َّفَإهنََّّللاَََّّ َعز‬،‫َّتَدَ َاو ْوا‬،‫يَاَّ هعبَادَََّّللاه‬

Aku pernah berada di samping Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu


datanglah serombongan Arab dusun. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah,
bolehkah kami berobat?” Beliau menjawab: “Iya, wahai para hamba Allah,
berobatlah. Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah meletakkan sebuah
penyakit melainkan meletakkan pula obatnya, kecuali satu penyakit.” Mereka
bertanya: “Penyakit apa itu?” Beliau menjawab: “Penyakit tua.” (HR. Ahmad,
Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi,
beliau berkata bahwa hadits ini hasan shahih.)

َّ‫اَّولَََّّتَدَ َاو ْواَّبه َح َرام‬


َ ‫ََّّو َجعَ َلََّّ هلك هلََّّدَاءََّّدَ َواءََّّفَتَدَ َاو ْو‬ َ ‫إهنََّّللاَََّّأ َ ْنزَ َلََّّالدا َء‬
َ ‫ََّّوالد َوا َء‬

“Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obatnya, demikian pula


Allah menjadikan bagi setiap penyakit ada obatnya. Maka berobatlah kalian dan
janganlah berobat dengan yang haram.” (HR. Abu Dawud dari Abud Darda`
radhiallahu ‘anhu)

Pesan :

Setiap penyakit pasti ada obatnya, walaupun sebagian penyakit belum ditemukan
obatnya. Dan segala hal yang ada di dunia ini berasal dari Allah, termasuk
penyakit. Oleh karena itu, agama islam sangat menyuruh umatnya untuk terus
berusaha untuk mendapakan obat terhadap segala penyakit yang ia alami, dan
yang terpenting adalah kehalalan obat tersebut, karena islam sangat melarang
umatnya untuk berobat dengan hal-hal yang dilarang oleh agama selama masih
ada obat yang lain dan tidak dalam keadaan darurat.

Anda mungkin juga menyukai