Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

Penularan dari penyakit TB sebagai salah satu penyakit infeksi


dipengaruhi oleh beberapa faktor. Model teori epidemiologi yang dibuat J.
Gordon menyatakan bahwa penularan penyakit infeksi dipengaruhi oleh interaksi
dari tiga faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain : faktor penjamu (host), agent
(agent), dan lingkungan (enviroment). Untuk mencegah terjadinya penularan
adalah dengan memutuskan mata rantai.1

Sumber penularana TB anak adalah pasien dewasa TB BTA positif. Pada


waktu batuk, bersin dan berbicara, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet muclei). Umumnya penularan terjadi dalam
ruangan dimana percikan percikan dahak berada dalam waktu yang lama.ventilasi
dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat
membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan
yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh
banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parinya. Makin tinggi derajat kepositifan
hail pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. 1

Pencegahan, diagnosis dan pengobatan tuberkulosis pada orang dewasa


lebih diperioritaskan dari pada anak. Anak merupakan kelompok risiko tinggi
karena kekebalan tubuh belum berkembang sempurna. Kasus pada anak
memburuk menjadi tuberkulosis milier atau meningitis. Kasus tuberkulosis anak
mencerminkan efektivitas program pengendalian seperti deteksi kasus, pelacakan
kontak dan keberhasilan vaksinasi BCG. WHO Healt Organization (WHO)
memperkirakan setiap tahun terdapat 1,3 juta kasus baru tuberkulosis anak di
dunia. Tiga ratus empat anak yang kontak dengan penderita dewasa, 48%
diantaranya positif.2

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi


Mycobacterium tuberculosis.3

2.2 Etiologi

Mikroorganisme penyebab tuberkulosis pada manusia adalah


Mycobacterium tuberculosis. Kuman Mycobacterium tuberculosis merupakan
bakteri pleomorfik, batang gram positif lemah dengan panjang 2 sampai 4 µm.
Mikrobakteria bersifat tahan asam digunakan sebagai nama lain mikobakteria.
Mikobacteria tumbuh lambat dan waktu yang dibutuhkan untuk menumbuhkan
kuman ini di media sentetis biasanya 3 sampai 6 minggu. Tes sensitivitas obat
membutuhkan waktu tambahan 4 minggu. Pertumbuhan kuman dapat terdeksi
dalam 1 hingga 3 minggu dalam media cair tertentu menggunakan radiolabeled
nutrients. Metode polymerase chain reaction (PRC) dari spesimen klinis
digunakan berbagai laboratorium untuk diagnosis cepat.3

2.3 Epidemiologi
Data TB anak di Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB Anak di
antara semua kasus TB pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5%
pada tahun 2011 dan 8,2% pada tahun 2012. Apabila dilihat data per provinsi,
menunjukkan variasi proporsi dari 1,8% sampai 15,9%. Hal ini menunjukan
kualitas diagnosis TB anak masih sangat bervariasi pada level provinsi. Kasus TB
Anak dikelompokkan dalam kelompok umur 0-4 tahun dan 5-14 tahun, dengan
jumlah kasus pada kelompok umur 5-14 tahun yang lebih tinggi dari kelompok
umur 0-4 tahun. Kasus BTA positif pada TB anak tahun 2010 adalah 5,4% dari
semua kasus TB anak, sedangkan tahun 2011 sebanyak 6,3%, tahun 2012 menjadi
6% dan tahun 2016 naik menjadi 7%.4

2
2.4 Patogenesis

Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB
dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 µm), akan
terhirup dan dapat mencapai alveolus.. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat
dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak
terjadi respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya,
tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat
menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB
yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang
tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan
akhirnya menjadi lisis makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi
ditempat tersebut yang dinamkan fokus primer Ghon.5

Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe


menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran
limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di
saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika
fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di
apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus
primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary
complex).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya


kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa
inkubasi TB bervariasi selama 2−12 minggu, biasanya berlangsung selama 4−8
minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga
mencapai 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respon imunitas
seluler.

3
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah
terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB
terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin
masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi
baik, pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti.
Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila
imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli
akan segera dimusnahkan oleh imunitas seluler spesifik (cellular mediated
immunity, CMI).

Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya


akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi
setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga
akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer dijaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan
gejala sakit TB.

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru


atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan
menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan
yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).

Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada
awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga
bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-
valve mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang
mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan
erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk

4
fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai
lesi segmental kolaps-konsolidasi.

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat


terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut
menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen
langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh
tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut
sebagai penyakit sistemik.

Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk


penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ
di seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling
sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga
bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada
umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang),
demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan
fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB
apeks paru saat dewasa.

Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik


generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,
sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh
tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB
secara akut, yang disebut TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul
dalam waktu 2−6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung
pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya
penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun

5
pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun
(balita) terutama di bawah dua tahun.5

Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic


spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding
vaskuler pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman
TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat
penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan acute generalized hematogenic spread.4

2.5 Manifestasi Klinik


Patogenesis TB sangat kompleks, sehingga manifestasi klinis TB sangat
bervariasi dan bergantung pada beberapa faktor. Faktor yang berperan adalah
kuman TB pejamu, serta interaksi antar keduanya. Faktor kuman bergantung pada

6
jumlah dan virulensi kuman, sedangkan faktor pejamu bergantung pada usia, dan
kompetensi imum serta kerentanan pejamu pada awal terjadinya infeksi. Anak
kecil seringkali tidak menunjukkan gejala walaupun sudah tampak pembesaran
kelenjar hilus. Anak kecil seringkali tidak menunjukkan gejala walaupun sudah
tampak pembesaran kelenjar hilus pada foto thorax. Manifestasi klinis TB terbagi
dua yaitu manifestasi sistemik dan manifestasi spesifik organ/lokal.5

Manifestasi sistemik (umum/nonspesifik)

Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik
karena dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Sebagaian
besar anak dengan TB tidak memperlihatkan gejala dan tanda selama beberapa
waktu. Sesuai dengan sifat kuman TB yang lambat membelah, manifestasi klinis
TB umunnya berlangsung bertahap dan perlahan, kecuali TB diseminata yang
dapat berlangsung dengan cepat dan progresif. Seringkali, orang tua tidak dapat
menyebutkan secara pasti kapan berbagai gejala dan tanda klinis tersebut mulai
muncul. Tuberkulosis yang mengenai organ manapun dapat memberikan gejala
dan tanda klinis sistemik yang tidak khas, terkait dengan organ yang terkena.
Keluhan sistemik ini diduga berkaitan dengan peningkatan tumor necrosis factor
α (TNF-α).

Salah satu gejala sistemik yang sering terjadi adalah demam. Temuan
demam pada pasien TB berkisar antar 40-80% kasus. Demam biasanya tidak
tinggi dan hilang timbul dalam jangka waktu yang cukup lama. Manifestasi
sistemik lain yang sering dijumpai adalah anoreksia, berat badan (BB) tidak naik
(turun, tetap, atau naik, tetapi tidak sesuai dengan grafik tumbuh), dan malaise
(letih, lesu, lemah, lelah). Keluhan ini sulit diukur dan mungkin terkait dengan
penyakit penyerta.

Pada sebagian besar kasus TB paru pada anak, tidak ada manifestasi
respiratorik yang menonjol. Batuk kronik merupakan gejala tersering pada TB
paru dewasa, tetapi pada anak bukan merupakan gejala utama. Pada anak, gejala
batuk berulang lebih sering disebabkan oleh asma, sehingga jika menghadapi anak

7
dengan batuk kronik berulang telusuri terlebih dahulu kemungkinan asma. Fokus
primer TB paru pada anak umunya terdapat di daerah parenkim yang tidak
mempunyai reseptor batuk. Akan tetapi, gejala batuk kronik pada TB anak dapat
timbul bila limfadenitis regional menekan bronkus sehingga merangsang reseptor
batuk secara kronik. Selain itu, batuk berulang dapat timbul karena anak dengan
TB mengalami penurunan imunitas tubuh, sehingga mudah mengalami infeksi
respiratorik akut (IRA) berulang. Gelala batuk kronik berulang dapat disebabkan
oleh berbagai penyakit lain misalnya rinosinusitis, refluk gastroesofageal,
pertusis, rinitis kronik dan lain-lain. Gejala sesak jarang dijumpai, kecuali pada
keadaan sakit berat yang berlangsung akut, misalnya TB milier, efusi pleura, dan
pneumonia TB.

Bayi Anak Kecil Anak Besar


Refluks gastroesofagus Hiperreaktivitas saluran respiratori Asma
pasca infeksi virus
Infeksi Asma Post nasal drip
Malformasi Perokok pasif Merokok
Penyakit jantung bawaan Refluks gastroesofagus TB pulmonar
Perokok pasif Benda asing Bronkiektasis
Polusi lingkungan Bronkiektasis Batuk psikogenik
Asma
Tabel 3. Penyebab batuk kronik berulang pada anak

Rangkuman dari gejala umum TB anak sebagai berikut:

1. Demam lama ( > 2 minggu ) dan atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan
demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain), yang dapat disertai
dengan keringat malam, demam umumnya tidak tinggi.
2. Batuk lama > 3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan.
3. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas, atau tidak naik dalam 1 bulan dengan
penanganan gizi yang adekuat.
4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan BB tidak naik
dengan adekuat (failure to thrive)

8
5. Lesu atau malaise
6. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare.

Kelompok umur Bayi Anak Akil balik


Gejala
Demam Sering Jarang Sering
Keringat malam Sangat jarang Sangat jarang Jarang
Batuk Sering Sering Sering
Batuk produktif Sangat jarang Sangat jarang Sering
Hemoptisis Tidak pernah Sangat jarang Sangat jarang
Dispnu Sering Sangat jarang Sangat jarang

Tanda
Ronki basah Sering Jarang Sangat jarang
Mengi Sering Jarang Jarang
Fremitus Sangat jarang Sangat jarang Jarang
Perkusi pekak Sangat jarang Sangat jarang Jarang
Suara napas berkurang Sering Sangat jarang Jarang
Tabel 4 Frekuensi gejala dan tanda TB Paru sesuai kelompok umur

Manifestasi spesifik organ/lokal

Manifestasi klinis spesifik bergantung pada organ yang terkena, misalnya kelenjar
limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang, dan kulit.5

1. Kelenjar limfe

Pembesaran kelenjar limfe superfisialis sebagai manifestasi TB sering dijumpai.


Kelenjar yang sering terkena adalah kelenjar limfe kolli anterior atau posterior,
tetapi juga dapat terjadi di aksila, inguinal, submandibula, dan supraklavikula.
Secara klinis, karakteristik kelenjar yang dijumpai biasanya multipel, unilateral,
tidak nyeri tekan, tidak hangat pada perabaan, mudah digerakkan, dan dapat saling
melekat (confluence) satu sama lain. Perlekatan ini terjadi akibat inflamasi pada
kapsul kelenjar limfe (perifocal inflamation). Pembesaran kelenjar superfisialis ini
dapat disebabkan oleh penyakit lain, seperti dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

9
Infeksi Keganasan
Infeksi respiratorik berulang Primer
Demam tifoid Penyakit Hodgkin
Tuberkulosis Limfoma non-Hodgkin
AIDS Kelainan histiositik
Mononuklosis
CMV Penyakit autoimun
Rubella Reumatoid artritis
Varisela Lupus eritematotus
Rubeola Dermatomiositis
Histoplasmosis
Toksoplasma Reaksi Obat
Dan lain-lain
Lain-lain
Gangguan penyimpanan lemak Sarkoidosis
Penyakit Gaucher Serum sickness
Penyakit Niemann Pick
Tabel 5. Diagnosis banding pembesaran Kelenjar Limfe Superfisialis

2. Susunan Saraf Pusat (SSP)

Tuberkulosis pada SSP yang tersering adalah meningitis TB. Penyakit ini
merupakan penyakit yang berat dengan mortalitas dan kecacatan yang tinggi.
Gejala klinis yang terjadi berupa nyeri kepala, penurunan kesadaran, kaku kuduk,
muntah proyektil, dan kejang. Proses patologi meningitis TB biasanya terbatas di
basal otak, sehingga gejala neurologis lain berhubungan dengan gangguan saraf
kranial. Bentuk TB SSP yang lain adalah tuberkuloma, yang manifestasi klinisnya
lebih sama dari pada meningitis TB, sehingga biasanya terdeteksi secara tidak
sengaja. Bila telah terjadi lesi yang menyebabkan proses desak ruang, maka
manifestasi klinisnya sesuai dengan lokasi lesi.

3. Sistem Skeletal

Gejala yang umum ditemukan pada TB sistem skeletal adalah nyeri, bengkak pada
sendi yang terkena, dan gangguan atau keterbatasan gerak. Gejala infeksi biasanya
tidak nyata. Pada bayi dan anak yang sedang dalam masa pertumbuhan, epifisis
tulang merupakan daerah dengan vaskularisasi tinggiyang disukai oleh kuman TB.
Oleh karena itu, TB sistem skeletal lebih sering terjadi pada anak dari pada orang

10
dewasa. Tuberkulosis sistem skeletal yang sering terjadi adalah spondilitis TB,
koksitis TB, dan gonitis TB. Manifestasi klinis TB sistem skeletal biasanya
muncul secara perlahan dan samar sehingga sering lambat terdiagnosa.
Manifestasi klinis dapat muncul pascatrauma, yang berperan sebagai pencetus.
Tidak jarang pasien datang pada tahap lanjut dengan kelainan tulang yang sudah
lanjut dan ireversibel. Gejala dapat berupa pembengkakan sendi, gibbus, pincang,
lumpuh dan sulit membungkuk.

4. Kulit

Mekanisme terjadinya manifestasi TB pada kulit dapat melalui dua cara, yaitu
inokulasi langsung (infeksi primer) seperti tuberkulosis chancre, dan akibat
limfadenitis TB yang pecah menjadi skrofulodema (TB pascaprimer). Manifestasi
klinik TB pada kulit yang paling sering dijumpai adalah bentuk kedua, yaitu
dalam bentuk skrofuloderma. Skrofuloderma sering ditemukan di leher dan wajah,
ditempat yang mempunyai kelenjar getah bening (KGB), misalnya daerah parotis,
submandibula, supraklavikula, dan lateral leher. Pembahasan lebih jauh mengenai
TB kulit akan diuraikan di bab selanjutnya. Rangkuman dari gejala spesifik sesuai
organ yang terkena adalah sebagai berikut:

1. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di ergio kolli, multipel, tidak nyeri, dan saling
melekat).
2. Tuberkulosis otak dan saraf
 Meningitis otak dan saraf
 Tuberkulosis otak
3. Tuberkulosis sistem skeletal
 Tulang punggung (spondilitis): gibbus
 Tulang lutut (gonitis) pincang dan/atau bengkak
 Tulang kaki dan tangan
 Spina ventosa (daktilitis)
4. Tuberkulosis kulit skrofuloderma
5. Tuberkulosis mata

11
 Konjungtivitis fiktenularis (conjunctivitis phlyctenularis)
 Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi)
6. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal, dll.

Tuberkulosis dengan keadaan khusus5

Beberapa keadaan khusus pada TB anak seperti TB ekstrapulmonal, TB


perinatal, dan TB dengan HIV, TB ekstrapulmonal yang banyak ditemukan adalah
TB kelenjar, skrofuloderma, TB pleura, menigitis TB, TB tulang dan TB
abdomen, sedangkan yang jarang ditemukan adalah TB mata, kulit, jantung, hati,
limpa, dan ginjal. Insidens TB ekstrapulmonal meningkat pada anak berusia
dibawah 4 tahun, terutama meningitis dan TB kelenjar. TB ekstrapulmonal
biasanya sekunder terhadap penyakit TB paru, akibat penyebaran limfo-
hematogen, tetapi juga bisa penyebaran lesi primer.
1. Tuberkulosis milier
Tuberkulosis milier termasuk salah satu TB yang berat dan merupakan 3-
7% dari seluruh kasus TB dengan kematian yang tinggi (dapat mencapai 25%
pada bayi) TB milier merupakan penyakit limfo-hematogen sistemik akibat
penyebaran kuman M.tuberkulosis dari kompleks primer yang biasanya terjadi
dalam waktu 2-6 bulan pertama setelah infeksi awal TB milier sering terjadi
pada bayi dan anak kecil, terutama usia dibawah 2 tahun, karena imunitas
selular spesifik, fungsi makrofag, dan mekanisme lokal pertahanan paru-nya
belum berkembang sempurna sehingga kuman TB mudah berkembang biak
dan menyebar ke seluruh tubuh. Akan tetapi TB milier dapat juga terjadi pada
anak besar dan remaja akibat pengobatan penyakit paru primer sebelumnya
yang tidak adekuat, atau pada usia dewasa akibat reaktivitas kuman yang
dorman.
Terjadinya TB milier dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu kuman M.
Tuberkulosis (jumlah dan virulensi) status imunologi pasien (non spesifik dan
spesifik). Beberapa kondisi yang menurunkan sistem imun juga dapat

12
menyebabkan timbulnya. TB milier, seperti HIV, malnutrisi, infeksi campak,
pertusis, paparan asap roko, diabetesmelitus, konsumsi alkohol dan obat bius,
gagal ginjal, keganasan, penggunaan kortikostroid jangka lama. Faktor
lingkungan (kurang paparan sinar matahar, perumahan yang padat, polusi
udara, serta faktor sosial ekonomi) akan meningkatkan resiko terinfeksi.
2. Tuberkulosis ekstrapulmonal
1. Tuberkulosis kelenjar limfe superfisialis
Limfadinitis biasanya merupakan komplikasi dari TB primer, umumnya
terjadi dalam 6 bulan pertama setelah infeksi. Sebagian besar infeksi
kelenjar limfe superfisialis terjadi akibat penyebaran limfogen dan
hematogen.
2. Tuberkulosis pleura
Pleuritis dengan efusi biasanya merupakan komplikasi dari TB primer dan
smerupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi pada anak-anak.
Efusi pleura biasanya terjadi dalam waktu 6 bulan pertama setelah TB
primer. Efusi pleura adalah penumpukan abnormal cairan di dalam rongga
pleura.
3. Tuberkulosis tulang/sendi
Tuberkulosis tulang atau sendi merupakan suatu bentuk infeksi tuberkulosis
ekstrapulmonal yang mengenai tulang atau sendi. Insidens tuberkulosis
tulang dan sendi berkisar 1-7% dari seluruh TB. TB tulang belakang
merupakan kejadian tertinggi diikuti sendi panggul dan sendi lutut pada TB
tulang atau sendi.
4. Tuberkulosis abdomen
Tuberkulosis rongga abdomen hingga faring sangat jarang terjadi. Yang
sering terjadi adalah ulkus yang tidak nyeri dimukosa mulut, palatum, atau
tonsil dengan pembesaran kelenjar regional. Tuberkulosis esofagus sangat
jarang terjadi pada anak dan biasanya berhubungan dengan fistula
trakeoesofagus sangat jarang terjadi pada anak dan biasanya berhubungan
dengan fistula trakeosofagus pada bayi. Bentuk TB ini biasanya
berhubungan dengan TB paru yang luas dan sekret saluran pernafasan

13
yang tertelan, tetapi dapat juga terjadi akibat penyebaran dari kelenjar
mediastinum dan peritioneal.
5. Tuberkulosis mata
Tuberkulosis mata jarang terjadi pada anak. Tuberkulosis mata pada naka
paling sering terjadi pada konjungtiva, kornea, dan koroid. Tuberkulosis
mata dapat merupakan TB primer, tatapi sebagian besar merupakan akibat
dari penyebaran hematogen. Dampak TB pada mata dapat merupakan
akibat langsung dari kuman TB atau merupakan reaksi hipersensitifitas
terhadap tuberkuloprotein.
Tuberkulosis primer mata dapat terjadi karena infeksi langsung
misalnya sumber infeksi batuk atau bersin didepan anak, atau anak dari
menggosok–gosok matanya dengan tangan yang terkontaminasi kuman TB.
Pada TB konjungtiva biasanya terdapat tanda kemerahan dan pengeluaran
air mata yang banyal, kemudian dapat terjadi nodul dan ulkus.
Konjungtiva flikrenularis (KF) merupakan fenomena
hipersensitifitas terhadap tuberkulosis pada TB anak dan remaja. Gejala
utama adalah nyeri dan rasa mengganjal pada mata yang sering berulang.
Flikren akan berulang selama TB masih aktif.
6. Tuberkulosis hati
Tuberkulosis hati merupakan salah satu TB ekstrapulmonal yang
jarang ditemukan. Tuberkulosis hati terjadi melalui proses penyebaran
hematogen dari infeksi primer diperu, kemudian mencapai sistem
hepatobiliar melaui vena porta selain itu, tuberkel di hati dapat terbentuk
melalui jalur limfatik, yaitu rupturnya kelenjar limfe porta hepatikyang
membawa M. Tuberculosis melalui plasenta.
Lesi TB hati merupakan gambaran milier (tuberkel-tuberkel yang
kecil). Granuloma dimulai dengan proferasi fokal sel Kupffer yang
membentuk nodul kecil sebagai reaksi terhadap adanya M. Tuberculosis
dalam sinus hati.
7. Tuberkulosis ginjal

14
Tuberkulosis ginjal pada anak jarang terjadi karena manifestasi
klinis TB ginjal terjadi 5 tahun atau lebih setalah infeksi primer. Kuman
TB mencapai ginjal selama fase penyebaran hematogen. Mikroorganisme
dapat ditemukan dalam urin pada kasu TB milier dan pada beberapa kasus
TB paru, meskipun tanpa penyakit parenkim ginjal. Pada TB ginjal sejati,
fokus perkejuan kecil berkembang diparemkim ginjal.
Pada TB ginjal sejati, fokus perkejuan kecil berkembang di
parenkim ginjal dan melepaskan kuman TB ke dalam tubulus. Masa yang
besar akan terbentuk dekat dengan korteks ginjal yang mengeluarkan
kuman melalui fistula ke dalam pelvis infeksi kemudian menyebar secara
lokal ke uretra prostat atau epidedemis. Tuberkulosis ginjal serimgkali
secara klinis tenag pada fase awal, hanya ditandai dengan pluria yang steril
dan hematuria.

8. Tuberkulosis perinatal

Infeksi TB pada neonatus dapat terjadi secara kongenital (prenatal),


selama proses kelahiran (natal), maupun transmisi pascanatal oleh ibu pengidap
TB aktif, oleh karena itu, transmisi pada neonatus ini disebut sebagai TB
perinatal. Pada TB kongenital transmisi terjadi karena penyebaran hematogen
melalui vena umbilikalis atau aspirasi cairan amnion yang terinfeksi. Pada TB
tranmisi dapat terjadi melalui prosespersalinan, sedangkan pada TB pascanatal
terjadi akibat penularan secara droplet.

Mycobakterium tuberculosis tidak dapat melalui sawar plasenta yang


sehat, sehingga kuman menempel pada plasenta dan membentuk tuberkel.
Apabila tuberkelpecah, maka terjadi penyebaran hematogen dan menyebabkan
infeksi pada cairan amnion melalui vena umbilikalis. Gejala yang sering terjadi
distres pernafasan, hepatosplenomegali dan demam. Gejala lain yang dapat
temukan antara lain prematuritas, berat badan lahir rendah, sulit minum, letargi
dan kejang selain itu juga terjdi abortus/kematian janin.

15
Tabel 6. Alur tata laksana TB Perinatal

2.6 Diagnosis

Diagnosis pasti TB ditegakkan dengan ditemukan M Tuberkulosis pada


pemeriksaan sputum, bilas lambung, cairan serebrospinal (CSS), cairan pleura,
atau biopsi jaringan. Pada anak, kesulitan menegakkan diagnosis pasti disebabkan
oleh dua hal, yaitu sedikitnya jumlah kuman (paucibacillar) dan sulitnya
pengambilan spesimen (sputum).5

Penyebab pertama, yaitu jumlah kuman TB di sekret bronkus pasien anak


lebih sedikit dari pada dewasa, karena lokasi kerusakan jaringan TB paru primer
terletak di kelenjar limfe hilus dan parenkim paru bagian perifer. Selain itu,
tingkat kerusakan parenkim paru tidak seberat, pasien dewasa. Basil tahan asam

16
baru dapat dilihat dengan mikroskop bila jumlahnya paling sedikit 5.000 kuman
dalam 1 ml spesimen.

Penyebab kedua, yaitu sulit melakukan pengambilan spesimen/sputum.


Pada anak, karena lokasi kelainannya diparenkimyang tidak berhubungan
langsung dengan bronkus, maka produksi sputum tidak ada/minimal dan gejala
batuk juga jarang. Sputum yang representatif untuk dilakukan pemeriksaan
mikroskopis adalah sputum yang kental dan purulen, berwarna hijau kekuningan
dengan volume 3-5 ml, dan ini sulit diperoleh pada anak. Walaupun batuknya
berdahak, pada anak biasanya dahak akan ditelan sehingga diperlukan bilas
lambung yang diambil melalui nasogastric tube (NGT).

Beberapa alasan diatas menyebabkan diagnosis TB anak terutama


didasarkan pada penemuan klinis dan radiologis, yang keduanya seringkali tidak
spesifik. Diagnosis TB anak ditentukan berdasarkan gambaran klinis dan
pemeriksaan penunjang seperti uji tuberkulin, foto thorax, dan pemeriksaan
laboratorium. Adanya riwayat kontak dengan pasien TB dewasa BTA positif, uji
tuberkulin positif, gejala dan tanda sugesti TB, dan foto Thorax yang mengarah
pada TB (sugestif TB), merupakan dasar untuk menyatakan anak sakit TB.

Ada beberapa jenis lesi TB paru dan bentuk klinis TB pada anak. Berbagai
jenis lesi TB paru dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Kelenjar limfe : hilus paratral, mediastinum


Parenkim : fokus primer, pneumonia, atelektasis, tuberkuloma, kavitas
Saluran napas : air trapping, penyakit endobronkial, trakeobronkitis
Pleura : efusi, futula bronkopleura, empiema, pneumotoraks, hemotorak
Pembuluh darah :
Tabel 6. Lesi Tuberkulosis

Infeksi TB
Uji tuberkulin positif tanpa kelainan
Klinis, radiologi,
Laboratorium

17
Penyakit TB
Paru TB paru primer (pembesaran kelenjar hilus dengan atau tanpa
kelainan parenkim
TB paru progesif (pneumonia, TB endobronkial)
TB paru kronik (kavitas, fibrosus, tuberkuloma)
TB millier
Efusi pleura TB
Di luar paru Kelenjar limfe
Otak dan selaput otak
Tulang dan sendi
Saluran cerna termasuk hati, kantung empedu, pankreas
Saluran kemih termasuk ginjal
Kulit
Mata
Telinga dan mastoid
Jantung
Membran serous (peritonium, perikardium)
Kelenjar endokrin (adrenal)
Saluran napas bagian atas (tonsil, laring, kelenjar endokrin)
Tabel 8 Bentuk klinis Tuberkulosis pada anak

Pemeriksaan penunjang

1. Uji tuberkulin

Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat


antigenik yang kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang
telah terinfeksi TB (telah ada kompleks primer dalam tubuhnya dan telah
terbentuk imunitas selular terhadap TB), maka akan terjadi reaksi berupa indurasi
dilokasi suntikan. Indurasi ini terjadi karena vasodilatsi lokal, edema, endapan
fibrin dan terakumulasinya sel-sel inflamasi di daerah suntikan. Ukuran indurasi
dan bentuk reaksi tuberkulin tidak dapat menentukan tingkat aktivitas dan berat
proses penyakit.5

18
Uji tuberkulin merupakan alat diagnosis TB yang sudah sangat lama
dikenal, tetapi hingga saat ini masih mempunyai nilai diagnostik yang tinggi
terutama pada anak, dengan sensitivitas dan spesifitas lebih dari 90%. Tuberkulin
yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2TU (tuber unit) buatan
Statens Serum Institute Denmark, dan PPD (purified protein derivative) dari
Biofarma.

Uji tuberkulin cara Mantoux dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD


RT-23 2TU atau PPD S 5TU, secara intrakutan dibagian volar legan bawah.
Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan
terhadap durasi yang timbul, bukan hiperemi/eritemanya. Indurasi diperiksa
dengan cara palpasi untuk menentukan tepi indurasi, ditandai dengan pulpen,
kemudian diameter transversal indurasi diukur dengan alat pengukur transparan,
dan hasilnya dilaporkan sebagai 0 mm, jangan hanya dilaporkan sebagai negatif.
Selain ukuran indurasi,perlu dinilai tebal tipisnya indurasi dan perlu dicatat jika
ditemukan vesikel hingga bula.

Secara umum, hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi > 10 mm


dinyatakan positif tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian
besar disebabkan oleh infeksi TB alamiah, tetapi menghiraukan penyebabnya.
Hasil positif ini sebagian besar disebabkan oleh infeksi TB alamiah, tetapi masih
mungkin disebabkan oleh imunitas Bacille Calmette Guerin (BCG) terhadap
reaksi positif tuberkulin secara bertahap akan semangkin berkurang dengan
berjalanya waktu, dan paling lama berlangsung hingga 5 tahun setelah
penyuntikan.

Pada anak balita yang telah mendapatkan BCG, diameter indurasi 10-15
mm dinyatakan uji tuberkulin positif, kemungkinan besar karena infeksi TB
alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh BCG nya. Akan tetapi bila ukuran
indurasi > 15 mm, hasil positif ini sangat mungkin karena infeksi TB alamiah.
Jika membaca hasil tuberkulin pada anak berusia lebih dari 5 tahun, faktor BCG
dapat diabaikan.

19
Apabila diameter indurasi 0-4 mm, dinyatakan uji tuberkulin negatif.
Diameter 5-9 mm dinyatakan positif meragukan. Hal ini dapat disebabkan oleh
kesalahan teknis (trauma dan lain-lain), keadaan anergi, atau reaksi silang dengan
M. Atipik. Bila mendapatkan hasil yang meragukan, uji tuberkulin dapat diulang.
Untuk menghindari efek booster tuberkulin, ulangan dilakukan 2 minggu
kemudian dan penyuntikan dilakukan dilokasi yang lain, minimal berjarak 2 cm.

Pada keadaan tertentu, yaitu tertekannya sistem imun (imunokompromais),


maka cut off-point hasil positif yang digunakan adalah > 5 mm. Uji tuberkulin
sebaiknya tidak dilakukan dalam kurun waktu 6 minggu setelah imunisasi
morbili; measles, mumps, rubella (MMR); dan varisela, karena dapat terjadi
anergi (negatif palsukarena tergantungnya reaksi tuberkulin).

Pada reaksi uji tuberkulin dapat terjadi reaksi yang cukup kuat bagi
individu tertentu dengan derajat sensitivitis yang tinggi, berupa vesikel, bula,
hingga ulkus di tempat suntikan. Juga pernah dilaporkan terjadinya limfangitis,
limfadenopati regional, konjungtivitis fliktenularis, bahkan efusi pleura, yang
dapat disertai demam, walaupun jarang terjadi.

Tuberkulosis pada anak tidak selalu bermanifestasi klinik secara jelas,


sehingga perlu dilakukan deteksi dini yaitu dengan uji tuberkulin. Pada anak yang
tinggal di daerah endemis TB, uji tuberkulin perlu dilakukan secara rutin, bila
hasilnya negatif dapat diulang setiap tahun.

Uji tuberkulin positif dapat dijumpai pada tiga keadaan sebagai berikut:

1. Infeksi TB alamiah
a. Infeksi TB tanpa sakit TB (infeksi TB laten)
b. Infeksi TB dan sakit tb
c. TB yang telah sembuh
2. Imunisasi BCG (infeksi TB buatan)
3. Infeksi mikobakterium atipik

20
Uji tuberkulin negatif dapat dijumpai pada tiga keadaan berikut:

1. Tidak ada infeksi TB


2. Dalam masa inkubasi infeksi TB
3. Anergi
Anergi adalah keaadan penekanan sistem imun oleh berbagai keadaan,
sehingga tubuh tidak memberikan reaksi terhadap tuberkulin walaupun
sebenarnya sudah terinfeksi TB. Beberapa keadaan dapat menimbulkan anergi,
misalnya morbili, pertusis, varisela, influenza, TB yang berat serta pemberian
vaksinasi dengan vaksin virus hidup. Yang dimaksud dengan influenza adalah
infeksi oleh virus influenza, bukan batuk-pilek-panas yang biasa, yang umumnya
disebabkan oleh rhinovirus dan disebut selesma (common cold)
Satu hal yang perlu dicermatisaat pembacaa uji tuberkulin adalah
kemungkinan uji tuberkulin positif palsu/negatif palsu. Uji tuberkulin positif palsu
dapat juga ditemukan pada keadaan penyuntikan salah dan interprestasi salah,
demikian juga negatif palsu, disamping penyimpanan tuberkulin yang tidak baik
sehingga potensi menurun.

Positif palsu
Penyuntikan salah
Interpretasi tidak betul
Reaksi silang dengan Mycobacterium atipik

Negatif palsu
Masa inkubasi
Penyimpanan tidak baik dan penyuntikan salah
Interpretasi tidak betul
Menderita tuberkulosis luas dan berat
Disertai infeksi virus (campak, rubella, cacar air, influenza, HIV)
Imunoinkompetensi selular, termasuk pemakaian kortikosteroid
Kekurangan komplemen
Demam
Leukositosis
Malnutrisi
Sarkoidosis
Psoriasis
Jejunoileal by pass
Terkena sinar ultraviolet (matahari, solaria)

21
Defisiensi pernisiosa
Uremia
Tabel 9. Sebab-sebab hasil positif palsu dan negatif palsu Tuberkulin

2. Uji Interferon
Secara garis besar pemeriksaan penunjang untuk mencari bukti adanya
penyakit infeksi depat dibagi menjadi dua kelompok besar. Pertama adalah
pemeriksaan untuk menumbuhkan kuman patogen didalam spesimen, misalnya
dengan pemeriksaan langsung, pemeriksaan biakan, atau polymerase chain
reaction (PRC). Kedua adalah pemeriksaan untuk mendeteksi respons imun
terhadap kuman tersebut. Pemeriksaan untuk respon imum terhadap kuman
tersebut. Pemeriksaan untuk respons imun terhadap penyakit infeksi terdiri dari
pemeriksaan respon imun humoral (enzyme linked immunoabsorbent assy,
ELISA) dan pemeriksaan respon imunseluler. Pada penyakit infeksi non-TB, yang
banyak dipakai adalah pemeriksaan respon imun humoral yaitu pemeriksaan
serolog. Pada infeksi TB, repon imun seluler lebih memegang peranan, sehingga
pemeriksaan diagnostik yang lebih representatif adalah uji tuberkulin.
Uji tuberkulin dianggap tidak praktis karena pasien harus datang minimal
dua kali untuk diagnostik, yaitu saat penyuntikan dan pembacaan. Pemeriksaan
imunitas selular yang ada biasanya tidak dapat membedakan antara infeksi TB
dengan sakit TB, oleh karena itu telah telah dikembangkan suatu pemeriksaan
imunitas selular yang lebih praktis yaitu dengan memeriksa spesimen darah.
Hasil pemeriksaan ini diharapkan dapat membedakan infeksi TB dengan sakit TB.
Pemeriksaan yang dimaksud adalah uji interferon (interferon gamma release
assay, IGRA).
3. Radiologi
Gambaran foto thorak pada TB tidak khas, kelainan-kelainanradiologi
pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain. Sebaliknya, foto thorak yang
normal (tidak terdeteksi secara radiologis) tidak dapat menyingkirkan diagnosis
TB jika klinis dan pemeriksaan penunjang lain mendukung. Dengan demikian,
pemriksaan foto thorax saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB,
kecuali gambaran milier.

22
Secara umum, gambaran radioyang sugestif TB adalah sebagai berikut.
 Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat.
 Konsolidasi segmental/lobar.
 Milier
 Kalsifikasi dengan infiltrat
 Atelektasis
 Kavitas
 Efusi pleura
 Tuberkuloma
Foto thorax tidak cukup hanya dibuat secara anterior-posterior (AP), tetapi
harus disertai dengan foto lateral. Mengingat bahwa pembesaran KGB didaerah
hilus biasanya lebih jelas pada foto lateral. Sebagai pegangan umum, jika
dijumpai ketidaksesuaian harus dicurigai TB. Pada keadaan foto thorax tidak
jelas, bila perlu dilakukan pemeriksaan pencitraan lain seperti computed
tomography scan (CT-scan) thorax .
4. Serologi
Pada awalnya, pemeriksaan serologi diharapkan dapat membedakan antara
infeksi TB dan sakit TB. Berbagai penelitian dan pengembangan pemeriksaan
imunologik antigen-antibodi spesifik untuk M.tuberculosis ELISA dengan
menggunakan PPD, A60, 38kDa, lipoarabinomanan (LAM) dengan bahan
pemeriksaan dari darah, sputum, cairan bronkus (bronkus dan bronchoalveolar
lavage; BSL), cairan pleura, dan CSS terus dilakukan beberapa pemeriksaan
serologi yang ada : PAP TB, Mycodot, immunochromatographic test (ICT), dan
lain-lain hingga saat ini belum ada satu pun pemeriksaan tersebut yang dapat
memenuhi harapan untuk pemakaian klinis praktis.
5. Mikrobiologis
Diagnosis kerja TB biasanya dibuat berdasarkan gambaran klinis uji
tuberkulin, dan gambaran radiologis paru. Diagnosis pasti ditegakkan bila
ditemukan kuman TB pada pemeriksaan mikrobiologis. Pemeriksaan biologis
yang dilakukan terdiri dari dua macam, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan

23
langsung untuk menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman M.
tuberkulosis.
Pemeriksaan di atas sulit dilakukan pada anak karena sulitnyamendapatkan
spesimen berupa sputum. Sebagai gantinya dilakukan pemeriksaan bilas lambung
(gastric lavage) 3 hari berturut-turut, minimal 2 hari. Hasil pemeriksaan
mikroskopik langsung pada anak yang besar sebagian besar negatif, sedangkan
hasil biakan M. tuberkulosis memerlukan waktu yang lama yaitu sekitar 6-8
minggu. Saat ini ada pemeriksaan biakan yang hasilnya diperoleh lebih cepat (1-3
minggu), yaitu pemeriksaan Bactec, tetapi biayanya mahal dan secara teknologi
lebih rumit.
Perkembangan lain dibidang mikrobiologi adalah pemeriksaan PCR,
pemeriksaan PCR merupakan teknik amplikasi urutan deoxyribonucleoeic acid
(DNA) yang spesifik. Secara teori, dengan metode ini, kuman yang berasal dari
spesimen bilas lambung akandapat dideteksi meskipun hanya ada satu kuman M.
tuberkulosis pada bahan pemeriksaan. Sehingga diharappkan sensitivitasnya
cukuo tinggi.
Akan tetapi, terdapat beberapa kelemahan untuk menerapkan pemeriksaan
PCR diberbagai laboratorium, dan mudahnya terjadi kontaminasi kuman/bagian
dari kuman yang berasal dari pemeriksaan sebalumnya, sehingga dapat
menyebabkan positif palsu. Hasil positif pun tidak terdeteksi dengan pemeriksaan
ini. Selain itu teknologi yang digunakan masih tergolong rumit, sehingga
menyebabkan tingginya biaya PCR. Oleh karena itu, hingga saat ini pemeriksaan
PCR masih digunakan untuk keperluan penelitian dan belum digunakan untuk
pemeriksaan klinis rutin. Penelitian lebih lanjut untuk melihat sensitivitas dan
spesifitasnya pada anak masih diperlukan.
Akan tetapi, adanya positif palsu ini menyebabkan masih diperlukan suatu
sistem kontrol standar mutu yang lebih baik, sehingga belum digunakan sebagai
pemeriksaan rutin. Pada pasien TB dewasa, metode ini telah terbukti sensitivitas
masih kontroversial dan memerlukan penelitian lebih lanjut.
Dalam penelitian PCR ini, perlu diperhatikan aspek pemilihan
spesimenseperti kita ketahui, kuman TB ada didalam darah hanya dalam waktu

24
singkat selama masa inkubasi, sehingga pemeriksaan PCR dengan spesimen yang
dapat digunakan adalah sputum, bilas lambung, cairan pleura, atau CSS.
6. Patologi anatomi
Pemeriksaan penunjang yang mempunyai nilai tinggi meskipun tidak
setinggi mikrobiologi adalah pemeriksaan histopatologik yang dapat memberikan
gambaran yang khas. Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma
yang ukuran kecil, terbentuknya dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh
limfosit. Granuloma tersebut mempunyai karakteristik perkejuan atau area
nekrosis kaseosa ditengah granuloma. Gambaran khas lainnya adalah
ditemukannya multinucleated giant cell (sel datia Langhans), sel epiteloid,
limfosit, dan sel daptia langhans. Kadang-kadang dapat ditemukan juga BTA.
Seperti halnya pemeriksaan mikrobiologi, kendala adalah kesulitan
mendapatkan spesimen yang representatif. Spesimen yang paling mudah dan
paling sering diperiksa adalah limfadenopati kolli. Idealnya kelenjar diambil
secara utuh agar agar gambaran histopatologi yang khas dapat terlihat.
Pemeriksaan PA kelenjar limfe ini mempunyai perancu, yaitu infeksi M. atipik
dan linfadenitis BCGyang secara histopatologis sulit dibedakan dengan TB. Pada
kenyataannya, seringkali KGB kolli ini sering diambildengan cara biopsi jarum
halus. Sebenarnya, spesimen yang diambil dengan menggunakan jarumhalus
kurang representatif karena jaringan yang terambil hanya berupa sel, sehingga
lebih mendekati pemeriksaan sitologi yang sulit untuk dibuat kesimpulan pasti.

Penegakan Diagnosis

Diagnosis kerja TB anak dibuat berdasarkan adanya kontak terutama


dengan pasien TB dewasa aktif/baru, kumpulan gejala dan tanda klinis, uji
tuberkulin, dan gambaran sugestif pada foto thorax. Meskipun demikian, sumber
penularan /kontak tidak selalu dapat teridentifikasi, sehingga analisis yang
seksama terhadap semua data klinis sangat diperlukan. Diangnosis pasti dapat
ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB pada pemeriksaan apusan langsung
(direct smear), atau gambaran PA TB, hanya saja diagnosis pasti pada anak sulit

25
ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB pada pemeriksaan baku emas (gold
standard), atau gambaran PA TB. Hanya saja diagnosispasti pada anak sulit
didapatkan karena jumlah kuman yang sedikit pada TB anak (paucibacillary), dan
lokasi kuman didaerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga hanya 10-15%
pasien TB anak yang hasil pemeriksaan mikrobiologiknya positif/ditemukan
kuman TB. Diagnosis TB tidak dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan radiologis. Oleh karena itu, analisi kritis perlu dilakukan terhadap
sebanyak mungkin fakta untuk menegakkan diagnosis.5
Kesulitan menegakkan diagnosis TB pada anak menyebabkan banyak
usaha membuat pedoman diagnosis dengan sistem skoring dan alur diagnostik,
misalnya pedomen yang dibuat oleh WHO, Stegen dan Jones dan UKK
Respirologi PP IDAI.
WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) membuat kriteria untuk membuat
diagnosis TB anak

a. Dicurigai tuberkulosis
1. Anak sakit dengan riwayat kontak pasien tuberkulosis dengan diagnosis pasti
2. Anak dengan :
 Keadaan klinis tidak membaik setelah menderita campak atau batuk rejan
 Berat badan menurun, batuk dan mengi yang tidak membaik dengan
pengobatan
 Pembesaran kelenjar superfisialis yang tidak sakit
b. Mungkin tuberkulosis
Anak yang dicurigai tuberkulosis ditambah :
 Uji tuberkulin positif (10 mm atau lebih)
 Foto rontgen paru sugestif tuberkulosis
 Pemeriksaan histologi biopsi sugestif tuberkulosis
 Respon yang baik pada pengobatan dengan OAT
c. Pasti tuberkulosis (comfirmed TB)
Ditemukan basil tuberkulosis pada pemeriksaan lansung atau biakan
Identifikasi Mycobacterium tuberkulosis pada karakteristik biakan
Tabel 8. Perujuk WHO untuk diagnosis TB anak

26
27
Dalam menegakkan diagnosis TB anak, semua prosedur diagnostik dapat
dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia,
dapat menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring.
Sistem skoring tersebut dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap penelitian
oleh para ahli yang IDAI, Kemenkes dan didukung oleh WHO dan disepakati
sebagai salah satu cara untuk mempermudah penegakan diagnosis TB anak
terutama di fasilitas.4

Tabel 9. Sistem skoring diagnosis Tuberkulosis anak

Catatan :

 Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.


 Bila dijumpai gambaran atau skrofulederma, langsung di diagnosis TB.
 Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).
 Demam dan batuk tidak memiliki respon terhadap terapi baku.
 Foto thorax bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB anak.

28
 Gambaran sugestif TB berupa: pembesaran kelenjar hilus atau paratral
dengan/tanpa infiltrat; atelektasis; tuberkuloma. Gambaran milier tidak dihitung
dalam skor karena diperlukan secara khusus.
 Mengingat pentingnya peranan uji tuberkulindalam mendiagnosis TB anak, maka
sebaiknya disediakan tuberkulin di tempat pelayanan kesehatan.
 Pada anak yang diberi imunisasi BCG, bila terjadi reaksi cepat BCG (< 7 hari)
harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak. BCG bukan merupakan alat
diagnostik.
 Diagnostik kerja TB anak ditegakkan bila jumlah skor > 6 (skor maksimal 13)

2.7 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari tuberkulosis mencakup berbagai odiagnosis oleh


karena tuberkulosis dapat mengenai berbagai organ dan gejala dan tanda yang
tidak spesifik pada awal penyakit. TB paru, tuberkulosis dapat mirip dengan
pneumonia, keganasan, dan berbagai penyakit sitemik yang terjadi limfadenopati
generalisata. Tuberkulosis harus dicurigai jika uji tuberkulosis positif atau
terdapat riwayat kontak tuberkulosis.3
Diagnosis differensial limfadenopati TB mencakup infeksi yang
disebabkan oleh mikrobakteria TB mencakup infeksi yang disebabkan oleh
mikrobakteria atipik, cat-scratch disease, infeksi jamur, penyakit virus atau
bakteri, toksoplasmosis, sarkoidisis, reaksi obat dan keganasan. Diagnosis dapat
dikonfirmasi dengan biopsi jarum halus namun kadang kala juga memerlukan
biopsi eksisi disertai dengan pemeriksaan histologi dan mikrobiologi yang sesuai.

2.8 Tatalaksana
Tatalaksana TB pada anak merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisah
antara pemberian medikamentosa, penanganan gizi, dan infeksi, dan bila
ditemukan sumber infeksi juga harus mendapatkan pengobatan. Upaya perbaikan
kesehatan lingkungan juga diperlukan untuk menunjang keberhasilan pengobatan.
Pemberian medikamentosa tidak terlepas dari penyuluhan kesehatan kepada
masyarakat atau kepada orang tua pasien mengenal pentingnya menelan obat
secara teratur dalam jangka waktu yang cukup lama, pengawasan terhadap jadwal
pemberian obat, keyakinan bahwa obat diminum, dan sebagainya.5

29
1. Medikamentosa
A. Obat TB yang digunakan
Obat TB utama (first line) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H),
pirazinamid (Z), etambutol (E), dan streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid
merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan
streptomisin. Obat TB lain (scond line) adalah para-aminosalicylic acid (PAS),
cycloserin terizidone, ethionamide, prothionamide, ofloxacin, levofloxacin,
moxifloxacin, gatifloxacin, ciprofloxacin, kanamycetin,amikacin, dan
capreomycin, yang digunakan jika terjadi MDR.
 Isoniazid
Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah
5-15 mg/kgBB/hari, maksimal 300 mg/hari, dan diberikan dalam satu kali
pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300
mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg/5ml. Sediaan dalam bentuk sirup biasanya
tidak stabil, sehingga tidak dianjurkan penggunaannya. Konsentrasi puncak di
dalam darah, sputum, dan CSS dapat dicapai dalam 1-2 jam, dan menetap selama
paling sedikit 6-8 jam. Isoniazid dimetabolisme melalui asentilasi di hati.
Terdapat dua kelompok pasien berdasarkan kemampuannya melakukan asetilasi,
yaitu asetilator cepat dan asetilator lambat. Asetilasi cepat lebih sering pada orang
Afrika-Amerika dan Asia dari pada orang kulit putih, anak-anak mengeliminasi
isoniazid lebih cepat dari pada orng dewasa, sehingga memerlukan dosis
mg/kgBB yang lebih tinggi dari pada dewasa. Isoniazid terdapat pada air susu ibu
(ASI) yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta, tetapi
kadar obatyang mencapai janin/bayi tidak membahayakan.

Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksi dan neuritis
perifer. Kedua jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi pada pasien dewasa
dengan frekuensi yang meningkat dengan bertambahnya usia. Sebagian besar
pasien anak yang menggunakan isoniazid mengalami peningkatan kadar
trnsaminase darah yang tidak terlalu tinggi dalam 2 bulan pertama, tetapi akan
menurun sendiri tanpa penghentian obat. Tiga hingga sepuluh persen pasien akan

30
mengalami peningkatan kadar transaminase darah yang cukup tinggi, tetapi
hepatotoksiksisitas yang bermakna secara klinis sangat jarang terjadi. Hal tersebut
lebih munkin terjadi pada remaja atau anak dengan TB yang berat. Idealnya, perlu
pemantauan kadar transminase pada 2 bulan pertama, tetapi karena jarang
menimbulkan hepatotoksitas maka pemantauan laboratorium tidak rutin
dilakukan, kecuali bila ada gejala dan tanda klinis. Hepatotoksisitas akan
meningkat apabila isoniazid diberikan bersama dengan rifamfisin dan
pirazinamid. Penggunaan isoniazid bersama dengan fenobarbital atau fenitoin juga
dapat meningkatkan risiko terjadinya hepatotoksik. Pemberian isoniazid tidak
dilanjutkan bila kadar transaminase serum naik lebih dari lima kali harga normal,
atau tiga kali disertai ikterik dan/ataumanifestasi klinik hepatitis berupa mual,
muntah, dan nyeri perut.

Neuritis perifer timbul akibat inhibisi kompetitif karena metabolisme


piridoksin. Manifestasi klinis neuritis perifer yang paling sering adalah mati rasa
atau kesemutan pada tangan dan kedua kaki. Kadar piridoksin berkurang pada
anak yang menggunakan isoniazid, tetapi manisfestasi klinisnya jarang sehingga
tidak diperlukan pemberian peridoksin tambahan. Akan tetapi, remaja dengan diet
yang tidak adekuat, anak-anak dengan asupan susu dan daging yang kurang,
malnutrisi, serta bayi yang hanya minum ASI, memerlukan pridoksin tambahan.
Piridoksin diberikan 25-50 mg satu kali sehari atau 10 mg piridoksin setiap 100
mg isoniazid.

Manifestasi alergik atau reaksi hipersensifitas yang disebabkan oleh


isoniazid sangat jarang terjadi. Kadang-kadang, isoniazid berinteraksi denagn
teofilin, sehingga diperlukan penyesuaian dosis. Efek samping yang jarang terjadi
antara lain adalah pellagra, anemia hemolitik pada pasien denagan defisiensi
enzim glucose-6-phosphatase dehydrogenase (G-6-PD), dan reaksi mirip-lupus
yang disertai dengan ruam dan artritis.

31
 Rifampisin

Rifampisin bersifat bakterisida pada intrasel dan ekstrasel, dapat


memasuki semua jaringan, dan dapat membunuh kuman semidorma yang tidak
dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui sistem
gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan), dan kadar serum
puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini, rimfampisin diberikan dalam bentuk oral
dengan dosis 10-20 mg/kg/BB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan dosis
satu kali beri pemberian perhari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis
maksimal 600 mg/hari, dengan dosis satu kali pemberian perhari. Jika diberikan
bersamaan dengan isoniazid dosis rifampisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan
dosis isoniazid 10 mg/kg/BB/hari. Seperti halnya isoniazid, rimfampisin
didistribusikan secara luas baik pada keadaan selaput otak yang sedang
mengalami peradangan dari pada keadaan normal. Ekskresi rifampisin terutama
terjadi melalui traktus bilier. Kadar yang efektif juga dapat ditemukan di ginjaldan
urin.

Efek samping rifampisin lebih sering terjadi pada isoniazid. Efek yang
kurang menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah, keringat,
sputum, dan air mata, menjadi oranye kemerahan. Selain itu, efek samping
rifampisin adalah ganguan gastrointestinal (muntah dan mual), dan
hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang biasanya ditandai dengan peningkatan
kadar, transaminase serum yang asimtomatik. Jika rifampisin diberikan bersama
isoniazid, terjadi peningkatan risiko hepatotoksiksisitas, yang dapat diperkecil
dengan cara menurunkan dosis harian isoniazid menjadi maksimak 10
mg/kgBB/hari. Rifampisin juga dapat menyebabkan trombositopenia, dan dapat
menyebabkan kontrasepsi oral menjadi tidak efektif dan dapat berinteraksi denagn
beberapa obat, termasuk kuinidin, siklosporin, digosin, teofilin, kloramfenikol,
kortikosteroid, dan sodiumwarfarin. Rifampisin umumnya tersedia dalam sediaan
kapsul 150 mg, 300 mg, dan 450 mg, sehingga kurang sesuai untuk digunakan
berbagai jenis zat pembawa, tetapi sebaiknya tidak diminum bersamaan dengan
pemberian makanan kerena dapat timbul malabsorpsi.

32
 Pirazinamid

Pirazinamid adalah derivat dari nikotinamide, berpenetrasi pada jarinag dan cairan
tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel pada suasana asam dan
diresobsibaik pada saluran cerna. Pemberian pirazinamid secara oral sesuai dosis
15-30 mg/kgBB/hari denagn dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar serum puncak
45µg;ml dalam waktu 12 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif
karenapirazinamid sangat banyak. Penggunaan pirazinamid mengalami efek
samping berupa attragia, attritis, atau gout akibat hiperurisemia, tetapi pad anak
manifestasi klinis hiperurisemia sangat jarang terjadi. Efek samping lainnya
adalah hepatotoksisitas, anoreksia, dan iritasi cerna. Reaksi hipersensitivitas
jarang timbul pada anak. Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg, tetapi
seperti isoniazid, dapat digerus dan diberikan bersama dengan makanan.

 Etambutol

Dahulu etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya


pada mata. Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat
bakterisid, jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu
berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap
obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mh/kgBB/hari, maksimal 1,25
gram/hari, dengan dosis tunggal . kadar serum puncak 5µg dalam waktu 24 jam.
Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Etambutol ditoleransi
dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu
atau dua kali sehari, tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga
keadaan menigitis.

Eksresi terutama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan
etambutol tidak dikenal. Kemungkinan toksisitas utama adalah neuritis optik dan
buta warna merah-hijau, sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak
yang belum dapat diperkirakan tajam penglihatannya. Penelitian di FKUI
menunjukkan bahwa pemberian etambutol denagn dosis 15-25 mh/kgBB/hari
tidak ditemukan kejadian neuritis optika pada pasien yang dipantau hingga 10

33
tahun pasca pengobatan. Rekomendasi WHO yang terakhir mengenai pelaksanaan
TB anak, etambutol dianjurkan penggunaannya pada anak dengan dosis 15-
25mg/kgBB/hari. Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan
kecurigaan TB resisten obat jika obat lainnya tidak tersedia atau tidak dapat
digunakan.

 Streptomisin

Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman


ekstraselular pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk
membunuh kuman intraselular. Saat ini, streptomisin jarang digunakan dalam
pengobatan TB, tetapi penggunaan penting pada pengobatan fase intensif
meningitis TB dan MDR TB. Streptomisindiberikan secara intramuskular denagn
dosis 15-40 mg/kg/BB/hari, maksimal 1 gram/hari, dan kadar puncak 40-50 µg/ml
dalam waktu 1-2 jam.

Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi


tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin berdifusi
dengan baik pada jaringan dan cairan pleura, dan dieksresi melaui ginjal.
Penggunaan utamanya saat iniadalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal
terhadap isoniazid atau jika anak menderita TB berat. Toksisitas utama
streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang menggangu keseimbangan dan
pendengaran, dengan gejala berupa telinga berdengung (rinitus) dan pusing.
Toksisitas ginjal sangat jarang terjadi. Streptomisin dapat menembus plasenta,
sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena
dapat merusak saraf pendengaran janin, yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.

Prinsip dasar OAT adalah harus dapat menembus berbagai jaringan


termasuk selaput otak. Farmakolinetik OAT pada anak berbeda dengan orang
dewasa. Toleransi anak terhadap dosis obat per kgBB lebih tinggi. Saat ini
terdapat bebrapa perbedaan dosis OAT di dalam kepustakaan. Oleh karena itu,
UKK respirologi PP IDAI telah menyepakati pedoman dosis OAT dengan
mempertimbangkan toleransi anak terhadap dosis, dan tidak hanya sekedar

34
ekstrapolasi dosis untuk pasien dewasa. Secara ringkas, dosis dan efek samping
OAT dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Nama obat Dosis harian Dosis maksimal Efek samping


(mg/kgBB/hari) (mg/kgBB/hari)
Isoniazid** 5-15* 300 Hepatitis, neuritis perifer,
hipersensitivitas

Rifampisin** 10-20 600 Gastrointestinal, reaksi kulit,


hepatitis, trombositopenia,
peningkatanenzim hati, cairan
tubuh berwarna oranye
kemerahan

Pirazinamid 15-30 2000 Toksisitas hati, artragia,


gastrointestinal

Etambutol 15-20 1250 Neuritis optik, ketajaman mata


berkurang, buta warna merah-
hijau, penyempitan lapang
pandang, hipersensitivitas,
gastrointestinal

Streptomisin 15-40 1000 Ototoksik, nefrotoksik


Tabel 10. Obat antituberkulosis yang biasa dipakai dan dosisnya

* Bila isoniazid dikombinasi dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi


10mg/kgBB hari.

** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat
menggangu biovailabilitas rifampisin.

Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong
(satu jam sebelum makan)

B. Paduan obat TB

Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase, yaitu fase intensif (2 bulan


pertama) dan sisanya sebagai fase lanjut. Prinsip dasar pengobatan Tb adalah
minimal tiga jenis macam obat pada fase intensif (2 bulan pertama) dan
dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan atau lebih).
Pemberian paduan obat ini bertujuan untuk mencegah terjadinya resistensi obat
dan untuk membunuh kuman intraselular dan ekstraselular. Pemberian obat

35
jangka panjang, selain untuk membunuh kumanjuga untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya relaps.

Berbeda dengan orang dewasa, OAT pada anak diberikan setiap hari bukan dua
atau tiga kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan untuk mengurangi ketidak
teraturan menelan obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak ditelan setiap hari.
Saat ini panduan obat yang baku untuk sebagian besar kasus TB pada anak adalah
panduan rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid. Pada fase intensif diberikan
rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid, sedangkan pada fase lanjut hanya
diberikan rifampisin dan isoniazid.

Pada keadaan TB berat, baik TB pulmonal maupun ektrapulmonal seperti


TB milier, miningitis TB, Tb sistem skeletal, dan lain-lain, pada fase intensif
diberikan minimal empat macam obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid dan
etambutol atau streptomisin). Pada fase lanjut diberikan rifampisin, dan isoniazid,
selama 10 bulan. Untuk kasus TB tertentu yaitu meningitis TB, TB milier, efusi
pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, dan peritonitis TB,
diberikankortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari, dibagi dalam
3 dosis, maksimal 60 ml dalam 1 hari. Lama pemberian kortikosetroid adalah 2-4
minggu dengan dosis penuh, dilanjutkan tappering off selama 1-2 minggu. Paduan
OAT ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini..

Gambar 1 Panduan obat antituberkulosa

C. Fixed Dose Combinasi (FDC)

Salah satu masalah dalam terapi TB adalah keteraturan (adherence) pasien


dalam menjalani pengobatan yang relatif lama denganjumlah obat yang banyak.

36
Untuk mengatasi hal tersebut, dibuat suatu sedian obat kombinasi dengan dosis
yang telah ditentukan, yaitu FDC atau Kombinasi Dosis Tetap (KDT).

Keuntungan penggunaan FDC dalam pengobatan Tbadalah sebagai berikut.

 Menyederhanakan pengobatan dan mengurangi kesalahan penulisan resep.


 Meningkatkan penerimaan dan keteraturan pasien
 Memungkinkan petugas kesehatan untuk memberikan pengobatan standart
dengan tepat
 Mempermudah pengelolaan obat (mempermudah proses pengadaan,
penyimpanan, dan distribusi obat pada setiap tingkat pengelolaan program
pemberantasan TB)
 Mengurangi kesalahan penggunaan obat TB (monoterapi) sehingga
mengurangi resistensi terhadap obat TB
 Mengurangi kemungkinan kegagalan pengobatan dan terjadinya
kekambuhan
 Mempercepat dan mempermudah pengawasan menelan obat sehingga
dapat mengurangi beban kerja
 Mempermudah penentuan dosis berdasarkan BB
Unit kerja koordinasi Respirologi PP IDAI telah membuat rumusan
mengenai FDC pada anak seperti pada tabel dibawah ini.

2 bulan 3 bulan
Berat badan (kg) RHZ (75/50/150 mg (RH(75/50 mg)
5-9 1 tablet 1 tablet
10-14 2 tablet 2 tablet
15-19 3 tablet 4 tablet
20-32 4 tablet 5 tablet
Tabel 11. Dosis kombinasi pada Tuberkulosis Anak

Catatan

 Bila BB > 33 kg, dosis disesuaikan denagn tabel 11


 Bila BB < 5 kg, sebaiknya dirujuk ke RS
 Obat tidak boleh diberikan setengah dosis tablet

37
 Perhitungan pemberian tablet diatas sudah memperhatikan kesesuaian dosis per
kgBB

Tabel 12. Dosis kombinasi tetap berdasarkan WHO

2. Nonmedikamentosa
A. Pendekatan DOTS
Hal yang paling penting pada tatalaksana TB adalah keteraturan (adherens)
menelan obat. Pasien TB biasanya telah menunjukkan perbaikan beberapa minggu
setelah pengobatan, sehingga merasa telah sembuh dan tidak melanjutkan
pengobatan. Nilai sosial dan budaya serta pengertian yang kurang mengenai TB
dari pasien serta keluarganya tidak menunjang keteraturan pasien untuk menelan
obat.
Keteraturan pasien dikatakan baik apabila pasien menelan obat sesuai
dengan dosis yang ditentukan dalam paduan pengobatan serta mencegah relaps
dan terjadinya resistensi. Salah satu upaya untuk meningkatkan keteraturan adalah
dengan melakukan pengawasan langsung terhadap strategi yang telah
direkomendasikan oleh WHO dalam perlaksanaan program penanggulangan TB,
dalam pelaksanaan program penanggulangan TB, dan telah dilaksanakan di
Indonesia sejak tahun 1995.
B. Lacak sumber penularan dan case finding

Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari sumber
penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah
orang dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut.
Pelacakan sumber infeksi sentripetal dilakukan dengan cara pemeriksaan

38
radiologis dan BTA sputum. Bila telah ditemukan sumbernya, perlu ditelusuri ada
atau tidaknya infeksi TB (pelacakan sentrifugal) pelacakan tersebut dilakukan
dengancara anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang yaitu uji
tuberkulin.

C. Aspek edukasi dan sosial ekonomi


Pengobatan TB tidak lepas dari masalah sosioekonomi . karena
pengobatan TB memerlukan kesinambungan pengobatandalam jangka waktu yang
cukup lama, maka biaya yang diperlukan cukup besar. Selainitu, diperlukan juga
penaganan gizi yang baik, pengobatan dengan medikamentosa saja tidak akan
mencapai hasil yang optimal. Edukasi ditujukan kepada pasien dan keluarganya
agar mengetahui mengenai TB. Pasien TB anak tidak perlu diisolasi karena
sebagian besar TB pada anak tidak menular kepada orang disekitarnya. Aktifitas
fisik sebagian besar TB pada anak tidak menular kepada orng disekitarnya.
Aktifitas fisik pasien TB anak tidak perlu dibatasi, kecuali pada TB berat.

2.9 Komplikasi

Tuberkulosis tulang punggung dapat menyebabkan pembentukan


angulasi/gibus yang mebutuhkan koreksi bedah setelah infeksi diobati. Pada
tuberkulosis ekstra pulmonal, masalah utama adalah keterlambatan untuk
mengenali penyebab penyakit dan dimulainya pengobatan.3

2.10 Prognosis

Pada umumnya , pronogsis tuberkulosis pada bayi, anak, dan remaja baik
jika dikenali sejak dini dan pengobatan yang efektif akan sembuh total, dan
hasil radiologis menjadi normal. Prognosis anak dan menigitis TB tergantung
pada stadium penyakit ketika dimulainya pengobatan.3

39
2.11 Pencegahan

Imunisasi BCG

Imunisasi BCG diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis untuk bayi
sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan secara intrakutan di daerah
insersi otot deltoid kanan (penyuntikan lebih mudah dan lemak subkutis lebih
tebal, ulkus tidak menganggu struktur oto dan sebagi tanda baku) bila BCG
diberikan pada usia > 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu.
Insidens TB anak yang mendapat BCG berhubungan dengan kualitas vaksinasi
yang digunakan, pemberian vaksin, jarak pemberian vaksin, dan intensitas
pemaparan infeksi.5

Kemoprofilaksis

Terdapat dua cara kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan


kemoprofilaksis skunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah
terjadinya infeksi TB, sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah
berkembangnya infeksi menjadi sakit TB. Pada kemoprofilaksis primer diberikan
isoniazid dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari dengan dosis tunggal. Kemoprofilaksis
ini diberikan pada anak yang kontak dengan TB menular, terutama dengan BTA
sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji tuberkulin negatif). Obat diberikan
selama 6 bulan. Pada akhir bulan ketiga pemberian profilaksis dilakukan uji
tuberkulin ulang. Jika tetap negatif, profilaksis dilanjutkan hingga 6 bulan. Jika
terjadi konversi tuberkulin menjadi positif, evaluasi status TB pasien. Pada akhir
bulan ke enam pemberian profilaksis, dilakukan lagi uji tuberkulin, jika tetap
negatif profilaksis dihentikan, jika terjadi konversi tuberkulin menjadi positif
evaluasi status TB pasien.

Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi


belum sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, sedangkan klinis dan
radiologis normal. tidak semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi hanya
anak yang termasuk dalam kelompok risiko tinggi untuk berkembang menjadi
sakit TB, yaitu anak-anak pada keadaan imunokompromais. Contoh anak-anak

40
dengan imunokompromais adalah usia balita, menderita morbili, varisela, atau
pertusis, mendapatkan obat imunosupresi yang lama (sitostosik dan
kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TB paru (konversi uji tuberkulin dalam
waktu kurang dari 12 bulan). Lama pemberian untuk kemoprofilaksis sekunder
adalah 6-12 bulan.

41
DAFTAR PUSTAKA

1. Crofton J., Horne, N, & Miler, F (2007). Tuberkulosis klinis edisi 2. Jakarta :
Widya Medika.
2. World Healt Organization. Global tuberkulosis report 2015. World Healt
Organization; 2015.
3. Kliegman, Stanton, Gemes, S., & Schor (2016). Nelson Textbook of Pediatrics
20 Edition Volume I. Philadelphia : Elsevier.
4. Kementerian Kesehatan RI. 2013. Petunjuk Teknis Manajemen Tb Anak.
Jakarta : Kemenkes RI.
5. Rahajoe, N. Nastiti. Supriyanto Bambang & Setyo Budi Darmawan. 2018.
Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi I. Cetakan Keenam. Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia.

42

Anda mungkin juga menyukai