Anda di halaman 1dari 24

KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan
sehingga makalah ini bisa selesai pada waktunya.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi
dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik
dan rapi.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca.
Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat
membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar belakang

Tongkat atau alat bantu untuk berjalan, biasanya digunakan secara


berpasangan yang diciptakan untuk mengatur keseimbangan pada saat berjalan
BAB II
PEMBAHASAN
A.PENGERTIAN
Tuberkulosis (TBC) adalah  penyakit akibat kuman Mycobakterium
tuberkculosis sistemis sehingga dapat mengenai semua organ tubuh dengan lokasi
terbanyak di paru paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer (Arif
Mansjoer, 2000).
Tuberkulosis  paru adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang
parenkim paru. Tuberculosis dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya,
terutama meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe (Suzanne dan Brenda, 2001).
Penyakit tuberkulosis pada anak merupakan penyakit yang bersifat
sistemik, yang dapat bermanifestasi pada berbagai organ, terutama paru. Sifat
sistemik ini disebabkan oleh penyebaran hematogen dan limfogen setelah terjadi
infeksi Mycobacterium tuberculosis. Data insidens dan prevalens tuberkulosis
anak tidak mudah dengan penelitian indeks tuberkulin dapat diperkirakan angka
kejadian prevalens tuberkulosis anak.
Kriteria masalah tuberkulosis di suatu negara adalah kasus BTA positif per
satu juta penduduk. Jadi sampai saat ini belum ada satu negara pun yang bebas
tuberkulosis.
Tuberkulosis merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan pemberian
imunisasi BCG pada anak dan pengobatan sumber infeksi, yaitu penderita TB
dewasa. Disamping itu dengan adanya penyakit karena HIV maka perhatian pada
penyakit TB harus lebih ditingkatkan. Anak biasanya tertular TB, atau juga
disebut mendapat infeksi primer TB, akan membentuk imunitas sehingga uji
tuberkulin akan menjadi positif, tidak semua anak yang terinfeksi TB primer ini
akan sakit TB.

B.ETIOLOGI
1. Merokok pasif : Merokok pasif bisa berdampak pada sistem kekebalan anak,
sehingga meningkatkan risiko tertular. Pajanan pada asap rokok mengubah
fungsi sel, misalnya dengan menurunkan tingkat kejernihan zat yang dihirup
dan kerusakan kemampuan penyerapan sel dan pembuluh darah (Reuters
Health, 2007).
2. Faktor Risiko TBC anak (admin., 2007)
a. Resiko infeksi TBC : Anak yang memiliki kontak dengan orang dewasa
dengan TBC aktif, daerah endemis, penggunaan obat-obat intravena,
kemiskinan serta lingkungan yang tidak sehat. Pajanan terhadap orang
dewasa yang infeksius. Resiko timbulnya transmisi kuman dari orang
dewasa ke anak akan lebih tinggi jika pasien dewasa tersebut mempunyai
BTA sputum yang positif, terdapat infiltrat luas pada lobus atas atau kavitas
produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat serta terdapat
faktor lingkungan yang kurang sehat, terutama sirkulasi udara yang tidak
baik. Pasien TBC anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang
dewasa disekitarnya, karena TBC pada anak jarang infeksius, hal ini
disebabkan karena kuman TBC sangat jarang ditemukan pada sekret
endotracheal, dan jarang terdapat batuk5. Walaupun terdapat batuk tetapi
jarang menghasilkan sputum. Bahkan jika ada sputum pun, kuman TBC
jarang sebab hanya terdapat dalam konsentrasi yang rendah pada sektret
endobrokial anak.
b. Resiko Penyakit TBC : Anak ≤ 5 tahun mempunyai resiko lebih besar
mengalami progresi infeksi menjadi sakit TBC, mungkin karena imunitas
selulernya belum berkembang sempurna (imatur). Namun, resiko sakit TBC
ini akan berkurang secara bertahap seiring pertambahan usia. Pada bayi < 1
tahun yang terinfeksi TBC, 43% nya akan menjadi sakit TBC, sedangkan
pada anak usia 1-5 tahun, yang menjadi sakit hanya 24%, pada usia remaja
15% dan pada dewasa 5-10%. Anak < 5 tahun memiliki resiko lebih tinggi
mengalami TBC diseminata dengan angka kesakitan dan kematian yang
tinggi . Konversi tes tuberkulin dalam 1- 2 tahun terakhir, malnutrisi,
keadaan imunokompromis, diabetes melitus, gagal ginjal kronik dan
silikosis. Status sosial ekonomi yang rendah, penghasilan yang
kurang, kepadatan hunian, pengangguran, dan pendidikan yang rendah.
C.    PATOFISIOLOGI
Berbeda dengan TBC pada orang dewasa, TBC pada anak tidak menular. Pada
TBC anak, kuman berkembang biak di kelenjar paru-paru. Jadi, kuman ada di
dalam kelenjar, tidak terbuka. Sementara pada TBC dewasa, kuman berada di
paru-paru dan membuat lubang untuk keluar melalui jalan napas. Nah, pada saat
batuk, percikan ludahnya mengandung kuman. Ini yang biasanya terisap oleh
anak-anak, lalu masuk ke paru-paru (Wirjodiardjo, 2008).
Proses penularan tuberculosis dapat melalui proses udara atau langsung,
seperti saat batuk. Terdapat dua kelompok besar penyakit ini
diantaranya adalah sebagai berikut: tuberculosis paru primer dan tuberculosis post
primer. Tuberculosis primer sering terjadi pada anak, proses ini dapat dimulai dari
proses yang disebut droplet nuklei, yaitu statu proses terinfeksinya partikel yang
mengandung dua atau lebih kuman tuberculosis yang hidup dan terhirup serta
diendapkan pada permukaan alveoli, yang akan terjadi eksudasi dan dilatasi pada
kapiler, pembengkakan sel endotel dan alveolar, keluar fibrin serta makrofag ke
dalam alveolar spase. Tuberculosis post primer, dimana penyakit ini terjadi pada
pasien yang sebelumnya terinfeksi oleh kuman Mycobacterium tuberculosis
(Hidayat, 2008).
Sebagian besar infeksi tuberculosis menyebar melalui udara melalui
terhirupnya nukleus droplet yang berisikan mikroorganisme basil tuberkel dari
seseorang yang terinfeksi. Tuberculosisadalah penyakit yang dikendalikan oleh
respon imunitas yang diperantarai oleh sel dengan sel elector berupa makropag
dan limfosit (biasanya sel T) sebagai sel imuniresponsif. Tipe imunitas ini
melibatkan pengaktifan makrofag pada bagian yang terinfeksi oleh limfosit dan
limfokin mereka, responya berupa reaksi hipersentifitas selular (lambat). Basil
tuberkel yang mencapai permukaan alveolar membangkitkan reaksi peradangan
yaitu ketika leukosit digantikan oleh makropag. Alveoli yang terlibat mengalami
konsolidasi dan timbal pneumobia akut, yang dapat sembuh sendiri sehingga tidak
terdapat sisa, atau prosesnya dapat berjalan terus dengan bakteri di dalam sel-sel
(Price dan Wilson, 2006).
Drainase limfatik basil tersebut juta masuk ke kelenjar getah bening regional
dan infiltrasi makrofag membentuk tuberkel sel epitelloid yang dikelilingi oleh
limfosit. Nekrosis sel menyebabkan gambaran keju (nekrosis gaseosa), jeringan
grabulasi yang disekitarnya pada sel-sel epitelloid dan fibroblas dapat lebih
berserat, membentuk jatingan parut kolagenosa, menghasilkan kapsul yang
mengeliligi tuberkel. Lesi primer pada paru dinamakan fokus ghon, dan
kombinasi antara kelenjar getah bening yang terlibat dengan lesi primer disebut
kompleks ghon. Kompleks ghon yang mengalami kalsifikasi dapat terlihat dalam
pemeriksaan foto thorax rutin pada seseorang yang sehat (Price dan Wilson,
2006).
Tuberculosis paru termasuk insidias. Sebagian besar pasien menunjukkan
demam tingkat rendah, keletihan, anorexia, penurunan berat badan, berkeringat
malam, nyeri dada dan batuk menetal. Batuk pada awalnya mungkin
nonproduktif, tetapi dapat berkembang ke arah pembentukan sputum
mukopurulen dengan hemoptisis. Tuberculosis dapat mempunyai manifestasi
atipikal pada anak seperti perilaku tidak biasa dan perubahan status mental,
demam , anorexia dan penurunan berat badan. Basil tuberkulosis dapat bertahan
lebih dari 50 tahun dalam keadaan dorman (Smeltzer dan Bare, 2002).
Menurut Admin (2007) patogenesis penyakit tuberkulosis pada anak terdiri atas :
1.      Infeksi Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman
TBC. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati
sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di
alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TBC berhasil
berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan
peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman TBC ke kelenjar
limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer predileksinya
disemua lobus, 70% terletak subpelura. Fokus primer dapat mengalami
penyembuhan sempurna, kalsifikasi atau penyebaran lebih lanjut. Waktu antara
terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4-6
minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi
tuberkulin dari negatif menjadi positif.
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang
masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya
reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman
TBC2. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman
persister atau dormant (tidur). Kadang kadang daya tahan tubuh tidak mampu
menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang
bersangkutan akan menjadi penderita TBC. Masa inkubasi, yaitu waktu yang
diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.
2.      TBC Pasca Primer (Post Primary TBC)
TBC pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun
sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat
terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari TBC pasca primer
adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.
D. Pathway

Mycobacterium tuberculosis

Masuk traktus respiratorius

Tinggal di alveoli

MK : Resiko tinggi Pertahanan primer tidak


infeksi adekuat

reaksi inflamasi Rrespon Gangguan


imun termoregulasi

Kerusakan
membran alveolar
Pembentukan
kapiler MK :
sputum dan
Hipertermi
sekret
Gangguan
respirasi
Penumpukan
secret

Ketidakseimbangan
Sesak nafas
suplai dan kebutuhan
oksigen MK : Bersihan jalan
nafas tidak efektif
S Sianosis
MK :
Intoleransi Hipoksia
aktivitas

Pelepasan mediator kimia


seperti histamin,
MK : Gangguan pertukaran gas
bradikinin dan
prostaglandidn

Respon tubuh

MK : Nyeri menurun

Batuk refleks
muntah

O bstruksi

Anoreksia

MK : Gangguan
keseimbangan nutrisi
E.MANIFESTASI KLINIK
Menurut Wirjodiardjo (2008) gejala TBC pada anak tidak serta-merta muncul.
Pada saat-saat awal, 4-8 minggu setelah infeksi, biasanya anak hanya demam
sedikit. Beberapa bulan kemudian, gejalanya mulai muncul di paru-paru. Anak
batuk-batuk sedikit. Tahap berikutnya (3-9 bulan setelah infeksi), anak tidak
napsu makan, kurang gairah, dan berat badan turun tanpa sebab. Juga ada
pembesaran kelenjar di leher, sementara di paru-paru muncul gambaran vlek.
Pada saat itu, kemungkinannya ada dua, apakah akan muncul gejala TBC yang
benar-benar atau sama sekali tidak muncul. Ini tergantung kekebalan anak. Kalau
anak kebal (daya tahan tubuhnya bagus), TBC-nya tidak muncul. Tapi bukan
berarti sembuh. Setelah bertahun-tahun, bisa saja muncul, bukan di paru-paru lagi,
melainkan di tulang, ginjal, otak, dan sebagainya. Ini yang berbahaya dan butuh
waktu lama untuk penyembuhannya.
Riwayat penyakit TBC anak sulit dideteksi penyebabnya, Penyebab TBC
adalah kuman TBC (mycobacterium tuberculosis). Sebetulnya, untuk mendeteksi
bakteri TBC (dewasa) tidak begitu sulit. Pada orang dewasa bisa dideteksi dengan
pemeriksaan dahak langsung dengan mikroskop atau dibiakkan dulu di media.
Mendeteksi TBC anak sangat sulit, karena tidak mengeluarkan kuman pada
dahaknya dan gejalanya sedikit. Diperiksa dahaknya pun tidak akan keluar,
sehingga harus dibuat diagnosis baku untuk mendiagnosis anak TBC sedini
mungkin. Yang harus dicermati pada saat diagnosis TBC anak adalah riwayat
penyakitnya. Apakah ada riwayat kontak anak dengan pasien TBC dewasa. Kalau
ini ada, agak yakin anak positif TBC (Wirjodiardjo, 2008).
Gejala-gejala lain untuk diagnosa antara lain (Wirjodiardjo, 2008):
1. Apakah anak sudah mendapat imunisasi BCG semasa kecil. Atau reaksi
 

BCG sangat cepat. Misalnya, bengkak hanya seminggu setelah diimunisasi


BCG. Ini juga harus dicurigai TBC, meskipun jarang.
2. Berat badan anak turun tanpa sebab yang jelas, atau kenaikan berat badan
setiap bulan berkurang.
3.  Demam lama atau berulang tanpa sebab. Ini juga jarang terjadi. Kalaupun
ada, setelah diperiksa, ternyata tipus atau demam berdarah.
4.  Batuk lama, lebih dari 3 minggu. Ini terkadang tersamar dengan alergi.
Kalau tidak ada alergi dan tidak ada penyebab lain, baru dokter boleh curiga
kemungkinan anak terkena TBC.
5. Pembesaran kelenjar di kulit, terutama di bagian leher, juga bisa ditengarai
sebagai kemungkinan gejala TBC. Yang sekarang sudah jarang adalah
adanya pembesaran kelenjar di seluruh tubuh, misalnya di selangkangan,
ketiak, dan sebagainya.
6.  Mata merah bukan karena sakit mata, tapi di sudut mata ada kemerahan
yang khas.
7. Pemeriksaan lain juga dibutuhkan diantaranya pemeriksaan tuberkulin
(Mantoux Test, MT) dan foto. Pada anak normal, Mantoux Test positif jika
hasilnya lebih dari 10 mm. Tetapi, pada anak yang gizinya kurang,
meskipun ada TBC, hasilnya biasanya negatif, karena tidak memberikan
reaksi terhadap MT.
Menurut Supriyatno (2009) skrining tuberkulosis pada anak antara
lain : Sesungguhnya mendiagnosa tuberculosis pada anak, terlebih pada anak-anak
yang masih sangat kecil, sangat sulit.  Diagnosa tepat TBC tak lain dan tak bukan
adalah dengan menemukan adanya Mycobacterium tuberculosis yang hidup dan
aktif dalam tubuh suspect TB atau orang yang diduga TBC.  Caranya? Yang
paling mudah adalah dengan melakukan tes dahak.  Pada orang dewasa, hal ini tak
sulit dilakukan.  Tapi lain ceritanya, pada anak-anak karena mereka, apalagi yang
masih usia balita, belum mampu mengeluarkan dahak.  Karenanya, diperlukan
alternatif lain untuk mendiagnosa TB pada anak.
1. Kesulitan lainnya, tanda-tanda dan gejala TB pada anak seringkali tidak
spesifik (khas).  Cukup banyak anak yang overdiagnosed sebagai pengidap
TB, padahal sebenarnya tidak.  Atauunderdiagnosed, maksudnya terinfeksi
atau malah sakit TB tetapi tidak terdeteksi sehingga tidak memperoleh
penanganan yang tepat.  Diagnosa TBC pada anak tidak dapat ditegakkan
hanya dengan 1 atau 2 tes saja, melainkan harus komprehensif.  Karena
tanda-tanda dan gejala TB pada anak sangat sulit dideteksi, satu-satunya
cara untuk memastikan anak terinfeksi oleh kuman TB, adalah melalui uji
Tuberkulin (tes Mantoux). Tes Mantoux ini hanya menunjukkan apakah
seseorang terinfeksiMycobacterium tuberculosis atau tidak, dan sama sekali
bukan untuk menegakkan diagnosa atas penyakit TB.  Sebab, tidak semua
orang yang terinfeksi kuman TB lalu menjadi sakit TB. 
2. Sistem imun tubuh mulai menyerang bakteri TB, kira-kira 2-8 minggu
setelah terinfeksi.  Pada kurun waktu inilah tes Mantoux mulai bereaksi. 
Ketika pada saat terinfeksi daya tahan tubuh orang tersebut sangat baik,
bakteri akan mati dan tidak ada lagi infeksi dalam tubuh.  Namun pada
orang lain, yang terjadi adalah bakteri tidak aktif tetapi bertahan lama di
dalam tubuh dan sama sekali tidak menimbulkan gejala.  Atau pada orang
lainnya lagi, bakteri tetap aktif dan orang tersebut menjadi sakit TB.
3. Uji ini dilakukan dengan cara menyuntikkan sejumlah kecil (0,1 ml) kuman
TBC, yang telah dimatikan dan dimurnikan, ke dalam lapisan atas (lapisan
dermis) kulit pada lengan bawah.  Lalu, 48 sampai 72 jam kemudian, tenaga
medis harus melihat hasilnya untuk diukur.  Yang diukur adalah indurasi
(tonjolan keras tapi tidak sakit) yang terbentuk, bukan warna kemerahannya
(erythema).  Ukuran dinyatakan dalam milimeter, bukan centimeter. 
Bahkan bila ternyata tidak ada indurasi, hasil tetap harus ditulis sebagai 0
mm.
4. Secara umum, hasil tes Mantoux ini dinyatakan positif bila diameter
indurasi berukuran sama dengan atau lebih dari 10 mm.  Namun, untuk bayi
dan anak sampai usia 2 tahun yang tanpa faktor resiko TB, dikatakan positif
bila indurasinya berdiameter 15 mm atau lebih.  Hal ini dikarenakan
pengaruh vaksin BCG yang diperolehnya ketika baru lahir, masih kuat. 
Pengecualian lainnya adalah, untuk anak dengan gizi buruk atau anak
dengan HIV, sudah dianggap positif bila diameter indurasinya 5 mm atau
lebih.
5. Namun tes Mantoux ini dapat memberikan hasil yang negatif palsu (anergi),
artinya hasil negatif  padahal sesungguhnya terinfeksi kuman TB.  Anergi
dapat terjadi apabila anak mengalami malnutrisi berat atau gizi buruk (gizi
kurang tidak menyebabkan anergi), sistem imun tubuhnya sedang sangat
menurun akibat mengkonsumsi obat-obat tertentu, baru saja divaksinasi
dengan virus hidup, sedang terkena infeksi virus, baru saja terinfeksi bakteri
TB, tata laksana tes Mantoux yang kurang benar.  Apabila dicurigai terjadi
anergi, maka tes harus diulang.

F. KOMPLIKASI
Menurut Depkes RI (2002), merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada
penderita tuberculosis paru stadium lanjut yaitu :
 Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau karena
tersumbatnya jalan napas.
 Atelektasis (parumengembang kurang sempurna) atau kolaps dari lobus
akibat retraksi bronchial.
 Bronkiektasis (pelebaran broncus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
 Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, dan ginjal.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Kultur sputum : positif untuk mycobakterium pada tahap akhir penyakit.
2. Ziehl Neelsen : (pemakaian asam cepat pada gelas kaca untuk usapan cairan
darah) positif untuk basil asam cepat.
3. Test kulit : (PPD, Mantoux, potongan vollmer) ; reaksi positif (area durasi
10 mm) terjadi 48 – 72 jam setelah injeksi intra dermal. Antigen
menunjukan infeksi masa lalu dan adanya anti body tetapi tidak secara
berarti menunjukan penyakit aktif. Reaksi bermakna pada pasien yang
secara klinik sakit berarti bahwa TB aktif tidak dapat diturunkan atau infeksi
disebabkan oleh mycobacterium yang berbeda.
4. Elisa / Western Blot : dapat menyatakan adanya HIV.
5. Foto thorax ; dapat menunjukan infiltrsi lesi awal pada area paru atas,
simpanan kalsium lesi sembuh primer atau efusi cairan, perubahan
menunjukan lebih luas TB dapat masuk rongga area fibrosa.
6. Histologi atau kultur jaringan ( termasuk pembersihan gaster ; urien dan
cairan serebrospinal, biopsi kulit ) positif untuk mycobakterium
tubrerkulosis.
7. Biopsi jarum pada jarinagn paru ; positif untuk granula TB ; adanya sel
raksasa menunjukan nekrosis.
8. Elektrolit, dapat tidak normal tergantung lokasi dan bertanya infeksi ; ex
;Hyponaremia, karena retensi air tidak normal, didapat pada TB paru luas.
GDA dapat tidak normal tergantung lokasi, berat dan kerusakan sisa pada
paru.
9. Pemeriksaan fungsi pada paru ; penurunan kapasitas vital, peningkatan
ruang mati, peningkatan rasio udara resido dan kapasitas paru total dan
penurunan saturasi oksigen sekunder terhadap infiltrasi parenkhim / fibrosis,
kehilangan jaringan paru dan penyakit pleural (TB paru kronis luas).

H. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksananaan Medis
Dalam pengobatan TB paru dibagi 2 bagian :
1. Jangka pendek. Dengan tata cara pengobatan : setiap hari dengan jangka
waktu 1 – 3 bulan.
Streptomisin inj 750 mg.
Pas 10 mg.
Ethambutol 1000 mg.
Isoniazid 400 mg.
Kemudian dilanjutkan dengan jangka panjang, tata cara pengobatannya
adalah setiap 2 x seminggu, selama 13 – 18 bulan, tetapi setelah perkembangan
pengobatan ditemukan terapi. Therapi TB paru dapat dilakukan dengan minum
obat saja, obat yang diberikan dengan jenis :
INH.
Rifampicin.
Ethambutol
Dengan fase selama 2 x seminggu, dengan lama pengobatan kesembuhan
menjadi 6-9 bulan.
2. Dengan menggunakan obat program TB paru kombipack bila ditemukan
dalam pemeriksan sputum BTA ( + ) dengan kombinasi obat :
Rifampicin.
Isoniazid (INH).
Ethambutol.
Pyridoxin (B6).
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Menurut Hidayat (2008) perawatan anak dengan tuberculosis dapat
dilakukan dengan melakukan :
a) Pemantauan tanda-tanda infeksi sekunder
b) Pemberian oksigen yang adekuat
 

c)    Latihan batuk efektif


d) Fisioterapi dada
e) Pemberian nutrisi yang adekuat
f) Kolaburasi pemberian obat antutuberkulosis (seperti: isoniazid,
streptomisin, etambutol, rifamfisin, pirazinamid dan lain-lain)
g) Intervensi yang dapat dilakukan untuk menstimulasi pertumbuhan
 

perkembangan anak yang tenderita tuberculosis dengan membantu


memenuhi kebutuhan aktivitas sesuai dengan usia dan tugas perkembangan,
yaitu (Suriadi dan Yuliani, 2001) :
- Memberikan aktivitas ringan yang sesuai dengan usia anak (permainan,
ketrampilan tangan, vidio game, televisi)
-   Memberikan makanan yang menarik untuk memberikan stimulus yang
bervariasi bagi anak
- Melibatkan anak dalam mengatur jadual harian dan memilih aktivitas yang
diinginkan
- Mengijinkan anak untuk mengerjakan tugas sekolah selama di rumah sakit,
menganjurkan anak untuk berhubungan dengan teman melalui telepon
jika memungkinkan
I. PENCEGAHAN
1. Imunisasi BCG pada anak balita, Vaksin BCG sebaiknya diberikan sejak
anak masih kecil agar terhindar dari penyakit tersebut.
2. Bila ada yang dicurigai sebagai penderita TBC maka harus segera diobati
sampai tuntas agar tidak menjadi penyakit yang lebih berat dan terjadi
penularan.
3. Jangan minum susu sapi mentah dan harus dimasak.
4. Bagi penderita untuk tidak membuang ludah sembarangan.
5. Pencegahan terhadap penyakit TBC dapat dilakukan dengan tidak
melakukan kontak udara dengan penderita, minum obat pencegah dengan
dosis tinggi dan hidup secara sehat. Terutama rumah harus baik ventilasi
udaranya dimana sinar matahari pagi masuk ke dalam rumah.
6. Tutup mulut dengan sapu tangan bila batuk serta tidak
meludah/mengeluarkan dahak di sembarangan tempat dan menyediakan
tempat ludah yang diberi lisol atau bahan lain yang dianjurkan dokter dan
untuk mengurangi aktivitas kerja serta menenangkan pikiran.

J. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Pola aktivitas dan istirahat
Subjektif : Rasa lemah cepat lelah, aktivitas berat timbul. sesak (nafas
pendek), demam, menggigil.
Objektif : Takikardia, takipnea/dispnea saat kerja, irritable, sesak (tahap,
lanjut; infiltrasi radang sampai setengah paru), demam subfebris (40 -410C)
hilang timbul.
b. Pola nutrisi
Subjektif : Anoreksia, mual, tidak enak diperut, penurunan berat badan.
Objektif : Turgor kulit jelek, kulit kering/bersisik, kehilangan lemak sub
kutan.
c. Respirasi
Subjektif : Batuk produktif/non produktif sesak napas, sakit dada.
Objektif : Mulai batuk kering sampai batuk dengan sputum hijau/purulent,
mukoid kuning atau bercak darah, pembengkakan kelenjar limfe, terdengar
bunyi ronkhi basah, kasar di daerah apeks paru, takipneu (penyakit luas atau
fibrosis parenkim paru dan pleural), sesak napas, pengembangan pernapasan
tidak simetris (effusi pleura.), perkusi pekak dan penurunan fremitus (cairan
pleural), deviasi trakeal (penyebaran bronkogenik).
d. Respirasi
Subjektif : Batuk produktif/non produktif sesak napas, sakit dada.
Objektif : Mulai batuk kering sampai batuk dengan sputum hijau/purulent,
mukoid kuning atau bercak darah, pembengkakan kelenjar limfe, terdengar
bunyi ronkhi basah, kasar di daerah apeks paru, takipneu (penyakit luas atau
fibrosis parenkim paru dan pleural), sesak napas, pengembangan pernapasan
tidak simetris (effusi pleura.), perkusi pekak dan penurunan fremitus (cairan
pleural), deviasi trakeal (penyebaran bronkogenik).
e. Rasa nyaman/nyeri
Subjektif : Nyeri dada meningkat karena batuk berulang.
Obiektif : Berhati-hati pada area yang sakit, prilaku distraksi, gelisah, nyeri
bisa timbul bila infiltrasi radang sampai ke pleura sehingga timbul pleuritis.
f. Integritas ego
Subjektif : Faktor stress lama, masalah keuangan, perasaan tak berdaya/tak
ada harapan.
Objektif : Menyangkal (selama tahap dini), ansietas, ketakutan, mudah
tersinggung.
g. Keamanan
Subyektif: adanya kondisi penekanan imun, contoh AIDS, kanker.
Obyektif: demam rendah atau sakit panas akut.
h. Interaksi Sosial
Subyektif: Perasaan isolasi/ penolakan karena penyakit menular, perubahan
pola biasa dalam tanggung jawab/ perubahan kapasitas fisik untuk
melaksanakan peran.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan proses infeksi.
b. Defisit pengetahuan tentang proses infeksi berhubungan dengan kurang
sumber informasi.
c. Risiko gangguan dalam menjalankan peran sebagai orang tua yang
berhubungan dengan isolasi pasien.
d. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan adanya sekret.
e. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia

K. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan proses infeksi.
-          Tujuan : Anak akan mengalami pengurangan batuk dan dispnea.
-          Intervensi :
a.       Berikan oksigen humidifier bagi anak dengan dispnea
Rasional : Dispnea masih dapat terjadi, hingga pemberian obat kemoterapetik
dimulai untuk mendapatkan efeknya, oksigen humidifier mengurangi dispnea dan
meningkatkan oksigenasi
b.      Tinggikan bagian kepala tempat tidur
  Rasional : Peninggian kepala menyebabkan otot diagframa mengembang
c.       Berikan obat batuk ekspektoran sesuai dengan kebutuhan
Rasional : Ekspektoran membantu melepaskan mucus.
2.      Defisit pengetahuan tentang proses infeksi berhubungan dengan kurang
sumber informasi.
-          Tujuan : Keluarga dapat mengekspresikan pemahamannya tentang proses
penyakit dan pengobatan.
-          Intervensi :
a.       Ajarkan orang tua dan anak tentang penularan dan pengobatan TBC, misalnya
buat orang tua, hendaknya menghindari anak dekat dengan orang dewasa yang
terkena tuberkulosa sedangkan buat anak sarankan untuk melakukan pengobatan
sampai selesai dan patuh dalam minum obat
Rasional : Pemahaman bagaimana penularan TBC dan penanganannya membantu
mengurangi kecemasan dan peningkatan kepatuhan terhadap pengobatan,
prosedur isolasi dan pengobatan yang diberikan.
b.      Ajarkan orang tua dan anak (jika tepat) bagaimana memberikan pengobatan
(contoh: antibiotik), berapa lama terapi pengobatan harus dijalani, dan apa yang
terjadi jira anak tidak manjelani tuntas pengobatannya.
Rasional : Pemahaman bagaimana memberikan pengobatan dan risiko bila
pengobatan dihentikan di awal akan meningkatkan kepatuhan.
c.       Pada saat anak diperbolehkan pulang, berikan discharge planning atau
perencanaan pulang mengenai :
1)      Jelaskan terapi yang diberikan, dosis, efek camping, lama pemberian terapi
dan cara minum obat.
2)      Melakukan immunisasi jika immunisasi Belem lengkap sesuai dengan
prosedur.
3)      Menekankan pentingnya control ulang sesuai jadual.
4)      Informasikan jika terdapat tanda-tanda terjadinya kekambuhan.
3.      Ketidakpatuhan yang berhubungan dengan pengobatan dalam jangka waktu
lama.
-          Tujuan : Orang tua dan anak akan mengikuti pedoman terapi
-          Intervensi
a.       Kaji seberapa banyak pengetahuan yang dimiliki orang tua dan anak, tentang
TBC dan hal ketidakpahaman yang dimiliki
Rasional : pengkajian membantu menentukan apa yang orang tua dan anak
butuhkan untuk relajar agar dapat membantu mereka memenuhi pengobatan
jangka panjang.
b.      Ajarkan orang tua dan anak (jika tepat) tentang program pengobatan dan
alasan menjalani pengobatan dengan tuntas, dan yakinkan tentang pendidikan
yang diperlukan.
  Rasional : Pendidikan dan penguatan diberikan pada orang tua dan anak dengan
informasu perlunya mengikuti program pengobatan dengan tuntas dan
menurunkan risiko kegagalan akibat déficit pengetahuan.
c.       Identifikasi alternatif pemberi layanan yang dapat memberikan pengobatan
anak jira diperlukan.
Rasional : hal ini akan menurunkan risiko pengabaian dosis yang dilakukan anak
selama pengobatan.
3. Risiko gangguan dalam menjalankan peran sebagai orang tua yang
berhubungan dengan isolasi pasien
-          Tujuan : Anak tidak akan mengalami kecemasan karena perpisahan
berhubungan dengan penurunan kontak parental.
-          Intervensi :
a.       Ajarkan orang tua tentang teknik isolasi dengan benar.
·         Rasional : Pemahaman dan mengikuti teknik isolasi membantu mencegah
penularan TBC yang memungkinkan orang tua bersama selama mungkin dengan
anaknya, akan mengurangi perpisahan.
b.      Motivasi orang tua dan anggota keluarga lainnya untuk mengunjungi secara
teratur.
 ·         Rasional : Seringnya keluarga kontak akan mengurangi kecemasan
akibat perpisahan.
4. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan adanya sekret.
-          Tujuan : Anak menunjukkan jalan nafas yang efektif.
-          Intervensi :
a.       Auskultasi area paru, catat area penurunan/tidak ada aliran udara dan bunyi
napas adventisius, misal krekels, mengi.
Rasional : penurunan aliran udara terjadi pada area konsolidasi dengan cairan.
Bunyi napas bronkhial dapat juga terjadi pada area konsolidasi. Krekels, ronkhi
dan mengi terdengar pada inspirasi dan atau ekspirasi pada respons terhadap
pengumpulan cairan/sputum.
b.      Mengkaji ulang tanda-tanda vital (irama dan frekuensi,s erta gerakan dinding
dada)
Rasional : takipnea, pernapasan dangkal dan gerakan dada tidak simetris terjadi
karena ketidaknyaman gerakan dinding dada dan atau cairan paru-paru
c.       Bantu pasien latihan napas sering dengan cara meniup balon atau terapi
benam. Tunjukkan/bantu pasien mempelajari melakukan batuk, misalnya
menekan dada dan batuk efektif sementara posisi duduk tinggi.
Rasional : Napas dalam memudahkan ekspansi maksimum paru/jalan napas lebih
kecil. Batuk adalah mekanisme pembersihan jalan napas alami membantu silia
untuk mempertahankan jalan napas paten. Penekanan menurunkan
ketidaknyamanan dada dan posisi duduk memungkinkan upaya napas lebih dalam
dan lebih kuat.
d.      Penghisapan sesuai indikasi
  Rasional : merangsang batuk atau pembersihan jalan napas secara mekanik pada
pasien yang tidak mampu melakukan karena batuk tidak efektif atau penurunan
tingkat kesadaran.
e.       Berikan cairan sedikitnya 2500 ml/hari (kecuali kontraindikasi). Tawarkan air
hangat dari pada dingin.
Rasional : Cairan (khususnya yang hangat) memobilisasi dan mengeluarkan
sekret.
f.       Berikan cairan tambahan, misalnya IV, oksigen humidifikasi .
Rasional : Cairan diperlkukan untuk menggantikan kehilangan (termasuk yang
tidak tampak) dan memobilisasikan sekret.
g.      Memberikan obat yang dapat meningkatkan efektifnya jalan nafas (seperti
bronchodilator)
Rasional : alat untuk menurunkan spasme bronkhus dengan memobilisasi sekret,
obat bronchodilator dapat membantu mengencerkan sekret sehingga mudah untuk
dikeluarkan.
5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia.
-          Tujuan : Anak menunjukkan tanda-tanda terpenuhnya kebutuhan nutrisi
-          Intervensi :
a.       Kaji nafsu makan anak dan fasilitasi anak dengan menyediakan makanan
yang menarik dan hangat.
  Rasional : Dapat menjadi dasar dalam melakukan pendekatan pada anak saat
memberi makan sehingga anak akan dapat meningkatkan nafsu makannya.
b.      Ijinkan anak untuk memperbaiki kualitas gizi pada saat selera makan anak
meningkat.
Rasional : memungkinkan anak akan mengkomsumsi makanan ektra sebagai
tambahan suplay nutrisi.
c.       Berikan makanan yang disertai dengan suplemen nutrisi untuk meningkatkan
kualitas intake nutrisi.
  Rasional : dalam mengobati penyakit tuberkulosis diperlukan gizi yang cukup
sehingga pemberian makanan dengan diet tinggi protein dan kalori sangan
diperlukan.
d.      Kolaburasi untuk pemberian nutrisi parenteral jika kebutuhan nutrisi melalui
oral tidak mencukupi kebutuhan gizi anak.
  Rasional : pemberian makanan parenteral sangat perlu dilakukan jika anak tidak
menelan makanan atau muntah yang terus menerus.
e.       Menilai indikator terpenuhinya kebutuhan nutrisi (berat badan, lingkar lengan
dan membran mukosa)
Rasional : indikator penilaian status nutrisi dapat menentukan jumlah nutrisi yang
dibutuhkan oleh anak.
f.       Menganjurkan kepada orang tua untuk memberikan makanan dengan porsi
kecil tetapisering.
Rasional : porsi kecil tetapi sering memungkinkan anak dapat mengkomsumsi
makanan dengan cukup.
g.      Menimbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama dan dengan skala
yang sama.
Rasional : untuk memantau status gizi atau perbaikan gizi anak.
h.      Mempertahankan kebersihan mulut anak.
Rasional : dapat meningkatkan nafsu makan anak.
i.        Menjelaskan pentingnya intake nutrsisi yanga dekuat untuk penyembuhan
penyakit.
Rasional : pendidikan kesehatan tentang nutrisi akan membuat orang tua dapat
berpartisipasi dalam memberikan gizi yang baik bagi anaknya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyakit tuberkulosis pada anak merupakan penyakit yang bersifat sistemik, yang
dapat bermanifestasi pada berbagai organ, terutama paru. Sifat sistemik ini
disebabkan oleh penyebaran hematogen dan limfogen setelah terjadi infeksi
Mycobacterium tuberculosis. Data insidens dan prevalens tuberkulosis anak tidak
mudah dengan penelitian indeks tuberkulin dapat diperkirakan angka kejadian
prevalens tuberkulosis anak
DAFTAR PUSTAKA

1. Hidayat, A.A. (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan


Kebidanan. Cetakan I. Yakarta : Penerbit salemba Medika
2. Nastiti N Rahajoe, dkk. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. 2005.
Jakarta : UKK Pulmonologi PP IDAI : 33-50
3. Noenoeng Rahajoe, dkk. Perkambangan dan Masalah Pulmonologi Anak
Saat Ini. 1994. Jakarta : Fakultas Kedokteran UI : 161-179
4. Smeltzer and Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
Buku Kedokteran EGC
5. Suriadi dan Yuliani, R. (2001). Buku Pegangan Praktik Klinik Asuhan
Keperawatan Anak. Edisi 1. Jakarta : Penerbit CV Sagung Seto
6. Reuters Health , (2007). Merokok pasif dikaitkan dengan risiko TB pada
anak-anak

Anda mungkin juga menyukai