A.Definisi
Tubercolosis adalah penyakit akibat kuman Mycobakterium tuberkculosis
sistemis sehingga dapat mengenai semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di
paru paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer (Arif Mansjoer, 2000).
B .ETIOLOGI
1. Merokok pasif : Merokok pasif bisa berdampak pada sistem kekebalan anak,
sehingga meningkatkan risiko tertular. Pajanan pada asap rokok mengubah
fungsi sel, misalnya dengan menurunkan tingkat kejernihan zat yang dihirup
dan kerusakan kemampuan penyerapan sel dan pembuluh darah (Reuters
Health, 2007).
2. Faktor Risiko TBC anak (admin., 2007)
a. Resiko infeksi TBC : Anak yang memiliki kontak dengan orang dewasa
dengan TBC aktif, daerah endemis, penggunaan obat-obat intravena,
kemiskinan serta lingkungan yang tidak sehat. Pajanan terhadap orang
dewasa yang infeksius.
b. Resiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih
tinggi jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum yang positif,
terdapat infiltrat luas pada lobus atas atau kavitas produksi sputum banyak
dan encer, batuk produktif dan kuat serta terdapat faktor lingkungan yang
kurang sehat, terutama sirkulasi udara yang tidak baik.
c. Pasien TBC anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang
dewasa disekitarnya, karena TBC pada anak jarang infeksius, hal ini
disebabkan karena kuman TBC sangat jarang ditemukan pada sekret
endotracheal, dan jarang terdapat batuk5. Walaupun terdapat batuk tetapi
jarang menghasilkan sputum. Bahkan jika ada sputum pun, kuman TBC
jarang sebab hanya terdapat dalam konsentrasi yang rendah pada sektret
endobrokial anak.
d. Resiko Penyakit TBC : Anak ≤ 5 tahun mempunyai resiko lebih besar
mengalami progresi infeksi menjadi sakit TBC, mungkin karena imunitas
selulernya belum berkembang sempurna (imatur). Namun, resiko sakit TBC
ini akan berkurang secara bertahap seiring pertambahan usia. Pada bayi < 1
tahun yang terinfeksi TBC, 43% nya akan menjadi sakit TBC, sedangkan
pada anak usia 1-5 tahun, yang menjadi sakit hanya 24%, pada usia remaja
15% dan pada dewasa 5-10%. Anak < 5 tahun memiliki resiko lebih tinggi
mengalami TBC diseminata dengan angka kesakitan dan kematian yang
tinggi . Konversi tes tuberkulin dalam 1- 2 tahun terakhir, malnutrisi,
keadaan imunokompromis, diabetes melitus, gagal ginjal kronik dan
silikosis. Status sosial ekonomi yang rendah, penghasilan yang
kurang, kepadatan hunian, pengangguran, dan pendidikan yang rendah.
C. PATOFISIOLOGI
Berbeda dengan TBC pada orang dewasa, TBC pada anak tidak menular.
Pada TBC anak, kuman berkembang biak di kelenjar paru-paru. Jadi, kuman
ada di dalam kelenjar, tidak terbuka. Sementara pada TBC dewasa, kuman
berada di paru-paru dan membuat lubang untuk keluar melalui jalan napas.
Nah, pada saat batuk, percikan ludahnya mengandung kuman. Ini yang
biasanya terisap oleh anak-anak, lalu masuk ke paru-paru (Wirjodiardjo, 2008).
Proses penularan tuberculosis dapat melalui proses udara atau langsung, seperti
saat batuk. Terdapat dua kelompok besar penyakit ini
diantaranya adalah sebagai berikut: tuberculosis paru primer dan tuberculosis
post primer.
Tuberculosis primer sering terjadi pada anak, proses ini dapat dimulai dari
proses yang disebut droplet nuklei, yaitu statu proses terinfeksinya partikel yang
mengandung dua atau lebih kuman tuberculosis yang hidup dan terhirup serta
diendapkan pada permukaan alveoli, yang akan terjadi eksudasi dan dilatasi pada
kapiler, pembengkakan sel endotel dan alveolar, keluar fibrin serta makrofag ke
dalam alveolar spase. Tuberculosis post primer, dimana penyakit ini terjadi pada
pasien yang sebelumnya terinfeksi oleh kuman Mycobacterium tuberculosis
(Hidayat, 2008).
Sebagian besar infeksi tuberculosis menyebar melalui udara melalui
terhirupnya nukleus droplet yang berisikan mikroorganisme basil tuberkel dari
seseorang yang terinfeksi. Tuberculosisadalah penyakit yang dikendalikan oleh
respon imunitas yang diperantarai oleh sel dengan sel elector berupa makropag
dan limfosit (biasanya sel T) sebagai sel imuniresponsif. Tipe imunitas ini
melibatkan pengaktifan makrofag pada bagian yang terinfeksi oleh limfosit dan
limfokin mereka, responya berupa reaksi hipersentifitas selular (lambat).
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolar membangkitkan reaksi
peradangan yaitu ketika leukosit digantikan oleh makropag. Alveoli yang terlibat
mengalami konsolidasi dan timbal pneumobia akut, yang dapat sembuh sendiri
sehingga tidak terdapat sisa, atau prosesnya dapat berjalan terus dengan bakteri di
dalam sel-sel (Price dan Wilson, 2006).
Drainase limfatik basil tersebut juta masuk ke kelenjar getah bening regional
dan infiltrasi makrofag membentuk tuberkel sel epitelloid yang dikelilingi oleh
limfosit. Nekrosis sel menyebabkan gambaran keju (nekrosis gaseosa), jeringan
grabulasi yang disekitarnya pada sel-sel epitelloid dan fibroblas dapat lebih
berserat, membentuk jatingan parut kolagenosa, menghasilkan kapsul yang
mengeliligi tuberkel. Lesi primer pada paru dinamakan fokus ghon, dan
kombinasi antara kelenjar getah bening yang terlibat dengan lesi primer disebut
kompleks ghon. Kompleks ghon yang mengalami kalsifikasi dapat terlihat dalam
pemeriksaan foto thorax rutin pada seseorang yang sehat (Price dan Wilson,
2006).
Tuberculosis paru termasuk insidias. Sebagian besar pasien menunjukkan
demam tingkat rendah, keletihan, anorexia, penurunan berat badan, berkeringat
malam, nyeri dada dan batuk menetal. Batuk pada awalnya mungkin
nonproduktif, tetapi dapat berkembang ke arah pembentukan sputum
mukopurulen dengan hemoptisis. Tuberculosis dapat mempunyai manifestasi
atipikal pada anak seperti perilaku tidak biasa dan perubahan status mental,
demam , anorexia dan penurunan berat badan. Basil tuberkulosis dapat bertahan
lebih dari 50 tahun dalam keadaan dorman (Smeltzer dan Bare, 2002).
Menurut Admin (2007) patogenesis penyakit tuberkulosis pada anak terdiri atas :
1. Infeksi Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman
TBC. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati
sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di
alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TBC berhasil
berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan
peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman TBC ke kelenjar
limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer predileksinya
disemua lobus, 70% terletak subpelura.
Fokus primer dapat mengalami penyembuhan sempurna, kalsifikasi atau
penyebaran lebih lanjut. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan
kompleks primer adalah sekitar 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan
dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif.
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang
masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya
reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman
TBC2. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman
persister atau dormant (tidur).
Kadang kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan
perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan
menjadi penderita TBC. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai
terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.
Pathway
Mycobacterium tuberculosis
Tinggal di alveoli
MK : Resiko tinggi
Pertahanan primer
infeksi
tidak adekuat
Reaksi inflamasi Rrespon Gangguan
imun termoregulasi
Kerusakan
Pembentuk
membran alveolar
an sputum
kapiler MK :
dan sekret
Hipertermi
Gangguan
respirasi
Penumpukan
secret
Ketidakseimbangan Sesak
suplai dan nafas
kebutuhan oksigen MK : Pola Napas
Sianosis tidak Efektif b/d
Sianosis hambatan upaya
MK :
jalan napas
Intoleransi Hipoksia
aktivitas
Respon tubuh
menurun
MK : Nyeri
Batuk refleks
muntah
Obstruksi
MK : Gangguan
keseimbangan
nutrisi
D. MANIFESTASI KLINIK
Menurut Wirjodiardjo (2008) gejala TBC pada anak tidak serta-merta muncul.
Pada saat-saat awal, 4-8 minggu setelah infeksi, biasanya anak hanya demam
sedikit. Beberapa bulan kemudian, gejalanya mulai muncul di paru-paru. Anak
batuk-batuk sedikit. Tahap berikutnya (3-9 bulan setelah infeksi), anak tidak
napsu makan, kurang gairah, dan berat badan turun tanpa sebab. Juga ada
pembesaran kelenjar di leher, sementara di paru-paru muncul gambaran vlek.
Pada saat itu, kemungkinannya ada dua, apakah akan muncul gejala TBC yang
benar-benar atau sama sekali tidak muncul. Ini tergantung kekebalan anak. Kalau
anak kebal (daya tahan tubuhnya bagus), TBC-nya tidak muncul. Tapi bukan
berarti sembuh. Setelah bertahun-tahun, bisa saja muncul, bukan di paru-paru lagi,
melainkan di tulang, ginjal, otak, dan sebagainya. Ini yang berbahaya dan butuh
waktu lama untuk penyembuhannya.
Riwayat penyakit TBC anak sulit dideteksi penyebabnya, Penyebab TBC
adalah kuman TBC (mycobacterium tuberculosis). Sebetulnya, untuk mendeteksi
bakteri TBC (dewasa) tidak begitu sulit. Pada orang dewasa bisa dideteksi dengan
pemeriksaan dahak langsung dengan mikroskop atau dibiakkan dulu di media.
Mendeteksi TBC anak sangat sulit, karena tidak mengeluarkan kuman pada
dahaknya dan gejalanya sedikit.
Diperiksa dahaknya pun tidak akan keluar, sehingga harus dibuat diagnosis
baku untuk mendiagnosis anak TBC sedini mungkin. Yang harus dicermati pada
saat diagnosis TBC anak adalah riwayat penyakitnya. Apakah ada riwayat kontak
anak dengan pasien TBC dewasa. Kalau ini ada, agak yakin anak positif TBC
(Wirjodiardjo, 2008).
Gejala-gejala lain untuk diagnosa antara lain (Wirjodiardjo, 2008):
1. Apakah anak sudah mendapat imunisasi BCG semasa kecil. Atau reaksi
BCG sangat cepat. Misalnya, bengkak hanya seminggu setelah diimunisasi
BCG. Ini juga harus dicurigai TBC, meskipun jarang.
2. Berat badan anak turun tanpa sebab yang jelas, atau kenaikan berat badan
setiap bulan berkurang.
3. Demam lama atau berulang tanpa sebab. Ini juga jarang terjadi. Kalaupun
ada, setelah diperiksa, ternyata tipus atau demam berdarah.
4. Batuk lama, lebih dari 3 minggu. Ini terkadang tersamar dengan alergi. Kalau
tidak ada alergi dan tidak ada penyebab lain, baru dokter boleh curiga
kemungkinan anak terkena TBC.
5. Pembesaran kelenjar di kulit, terutama di bagian leher, juga bisa ditengarai
sebagai kemungkinan gejala TBC. Yang sekarang sudah jarang adalah adanya
pembesaran kelenjar di seluruh tubuh, misalnya di selangkangan, ketiak, dan
sebagainya.
6. Mata merah bukan karena sakit mata, tapi di sudut mata ada kemerahan yang
khas.
7. Pemeriksaan lain juga dibutuhkan diantaranya pemeriksaan tuberkulin
(Mantoux Test, MT) dan foto. Pada anak normal, Mantoux Test positif jika
hasilnya lebih dari 10 mm. Tetapi, pada anak yang gizinya kurang, meskipun
ada TBC, hasilnya biasanya negatif, karena tidak memberikan reaksi terhadap
MT.
Menurut Supriyatno (2009) skrining tuberkulosis pada anak antara
lain : Sesungguhnya mendiagnosa tuberculosis pada anak, terlebih pada anak-anak
yang masih sangat kecil, sangat sulit. Diagnosa tepat TBC tak lain dan tak bukan
adalah dengan menemukan adanya Mycobacterium tuberculosis yang hidup dan
aktif dalam tubuh suspect TB atau orang yang diduga TBC. Caranya? Yang paling
mudah adalah dengan melakukan tes dahak.
Pada orang dewasa, hal ini tak sulit dilakukan. Tapi lain ceritanya, pada anak-
anak karena mereka, apalagi yang masih usia balita, belum mampu mengeluarkan
dahak. Karenanya, diperlukan alternatif lain untuk mendiagnosa TB pada anak.
1. Kesulitan lainnya, tanda-tanda dan gejala TB pada anak seringkali tidak spesifik
(khas). Cukup banyak anak yang overdiagnosed sebagai pengidap TB, padahal
sebenarnya tidak. Atauunderdiagnosed, maksudnya terinfeksi atau malah sakit
TB tetapi tidak terdeteksi sehingga tidak memperoleh penanganan yang tepat.
2. Diagnosa TBC pada anak tidak dapat ditegakkan hanya dengan 1 atau 2 tes saja,
melainkan harus komprehensif.
Karena tanda-tanda dan gejala TB pada anak sangat sulit dideteksi, satu-satunya
cara untuk memastikan anak terinfeksi oleh kuman TB, adalah melalui uji
Tuberkulin (tes Mantoux). Tes Mantoux ini hanya menunjukkan apakah
seseorang terinfeksiMycobacterium tuberculosis atau tidak, dan sama sekali
bukan untuk menegakkan diagnosa atas penyakit TB. Sebab, tidak semua orang
yang terinfeksi kuman TB lalu menjadi sakit TB.
3. Sistem imun tubuh mulai menyerang bakteri TB, kira-kira 2-8 minggu setelah
terinfeksi. Pada kurun waktu inilah tes Mantoux mulai bereaksi. Ketika pada
saat terinfeksi daya tahan tubuh orang tersebut sangat baik, bakteri akan mati
dan tidak ada lagi infeksi dalam tubuh. Namun pada orang lain, yang terjadi
adalah bakteri tidak aktif tetapi bertahan lama di dalam tubuh dan sama sekali
tidak menimbulkan gejala. Atau pada orang lainnya lagi, bakteri tetap aktif dan
orang tersebut menjadi sakit TB.
4. Uji ini dilakukan dengan cara menyuntikkan sejumlah kecil (0,1 ml) kuman
TBC, yang telah dimatikan dan dimurnikan, ke dalam lapisan atas (lapisan
dermis) kulit pada lengan bawah. Lalu, 48 sampai 72 jam kemudian, tenaga
medis harus melihat hasilnya untuk diukur. Yang diukur adalah indurasi
(tonjolan keras tapi tidak sakit) yang terbentuk, bukan warna kemerahannya
(erythema). Ukuran dinyatakan dalam milimeter, bukan centimeter. Bahkan
bila ternyata tidak ada indurasi, hasil tetap harus ditulis sebagai 0 mm.
5. Secara umum, hasil tes Mantoux ini dinyatakan positif bila diameter indurasi
berukuran sama dengan atau lebih dari 10 mm. Namun, untuk bayi dan anak
sampai usia 2 tahun yang tanpa faktor resiko TB, dikatakan positif bila
indurasinya berdiameter 15 mm atau lebih. Hal ini dikarenakan pengaruh
vaksin BCG yang diperolehnya ketika baru lahir, masih kuat. Pengecualian
lainnya adalah, untuk anak dengan gizi buruk atau anak dengan HIV, sudah
dianggap positif bila diameter indurasinya 5 mm atau lebih.
6. Namun tes Mantoux ini dapat memberikan hasil yang negatif palsu (anergi),
artinya hasil negatif padahal sesungguhnya terinfeksi kuman TB. Anergi
dapat terjadi apabila anak mengalami malnutrisi berat atau gizi buruk (gizi
kurang tidak menyebabkan anergi), sistem imun tubuhnya sedang sangat
menurun akibat mengkonsumsi obat-obat tertentu, baru saja divaksinasi
dengan virus hidup, sedang terkena infeksi virus, baru saja terinfeksi bakteri
TB, tata laksana tes Mantoux yang kurang benar. Apabila dicurigai terjadi
anergi, maka tes harus diulang.
E. KOMPLIKASI
Menurut Depkes RI (2002), merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada
penderita tuberculosis paru stadium lanjut yaitu :
Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau karena
tersumbatnya jalan napas.
Atelektasis (paru mengembang kurang sempurna) atau kolaps dari lobus
akibat retraksi bronchial.
Bronkiektasis (pelebaran broncus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, dan ginjal.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Kultur sputum : positif untuk mycobakterium pada tahap akhir penyakit.
2. Ziehl Neelsen : (pemakaian asam cepat pada gelas kaca untuk usapan cairan
darah) positif untuk basil asam cepat.
3. Test kulit : (PPD, Mantoux, potongan vollmer) ; reaksi positif (area durasi 10
mm) terjadi 48 – 72 jam setelah injeksi intra dermal. Antigen menunjukan
infeksi masa lalu dan adanya anti body tetapi tidak secara berarti menunjukan
penyakit aktif. Reaksi bermakna pada pasien yang secara klinik sakit berarti
bahwa TB aktif tidak dapat diturunkan atau infeksi disebabkan oleh
mycobacterium yang berbeda.
4. Elisa / Western Blot : dapat menyatakan adanya HIV.
5. Foto thorax ; dapat menunjukan infiltrsi lesi awal pada area paru atas,
simpanan kalsium lesi sembuh primer atau efusi cairan, perubahan
menunjukan lebih luas TB dapat masuk rongga area fibrosa.
6. Histologi atau kultur jaringan ( termasuk pembersihan gaster ; urien dan
cairan serebrospinal, biopsi kulit ) positif untuk mycobakterium
tubrerkulosis.
7. Biopsi jarum pada jarinagn paru ; positif untuk granula TB ; adanya sel
raksasa menunjukan nekrosis.
8. Elektrolit, dapat tidak normal tergantung lokasi dan bertanya infeksi ;
ex ;Hyponaremia, karena retensi air tidak normal, didapat pada TB paru luas.
GDA dapat tidak normal tergantung lokasi, berat dan kerusakan sisa pada
paru.
9. Pemeriksaan fungsi pada paru ; penurunan kapasitas vital, peningkatan ruang
mati, peningkatan rasio udara resido dan kapasitas paru total dan penurunan
saturasi oksigen sekunder terhadap infiltrasi parenkhim / fibrosis, kehilangan
jaringan paru dan penyakit pleural (TB paru kronis luas).
G. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksananaan Medis
Dalam pengobatan TB paru dibagi 2 bagian :
1. Jangka pendek. Dengan tata cara pengobatan : setiap hari dengan jangka
waktu 1 – 3 bulan.
Streptomisin inj 750 mg.
Pas 10 mg.
Ethambutol 1000 mg.
Isoniazid 400 mg.
Kemudian dilanjutkan dengan jangka panjang, tata cara pengobatannya
adalah setiap 2 x seminggu, selama 13 – 18 bulan, tetapi setelah
perkembangan pengobatan ditemukan terapi. Therapi TB paru dapat
dilakukan dengan minum obat saja, obat yang diberikan dengan jenis :
INH.
Rifampicin.
Ethambutol
Dengan fase selama 2 x seminggu, dengan lama pengobatan kesembuhan
menjadi 6-9 bulan.
2. Dengan menggunakan obat program TB paru kombipack bila ditemukan
dalam pemeriksan sputum BTA ( + ) dengan kombinasi obat :
Rifampicin.
Isoniazid (INH).
Ethambutol.
Pyridoxin (B6).
2.Penatalaksanaan Keperawatan
Menurut Hidayat (2008) perawatan anak dengan tuberculosis dapat
dilakukan dengan melakukan :
a) Pemantauan tanda-tanda infeksi sekunder
b) Pemberian oksigen yang adekuat
c) Latihan batuk efektif
d) Fisioterapi dada
e) Pemberian nutrisi yang adekuat
f) Kolaburasi pemberian obat antutuberkulosis (seperti: isoniazid, streptomisin,
etambutol, rifamfisin, pirazinamid dan lain-lain)
g) Intervensi yang dapat dilakukan untuk menstimulasi pertumbuhan
perkembangan anak yang tenderita tuberculosis dengan membantu memenuhi
kebutuhan aktivitas sesuai dengan usia dan tugas perkembangan, yaitu (Suriadi
dan Yuliani, 2001) :
- Memberikan aktivitas ringan yang sesuai dengan usia anak (permainan,
ketrampilan tangan, vidio game, televisi)
- Memberikan makanan yang menarik untuk memberikan stimulus yang
bervariasi bagi anak
- Melibatkan anak dalam mengatur jadual harian dan memilih aktivitas yang
diinginkan
- Mengijinkan anak untuk mengerjakan tugas sekolah selama di rumah sakit,
menganjurkan anak untuk berhubungan dengan teman melalui telepon jika
memungkinkan
H. PENCEGAHAN
a. Imunisasi BCG pada anak balita, Vaksin BCG sebaiknya diberikan sejak
anak masih kecil agar terhindar dari penyakit tersebut.
b. Bila ada yang dicurigai sebagai penderita TBC maka harus segera diobati
sampai tuntas agar tidak menjadi penyakit yang lebih berat dan terjadi
penularan.
c. Jangan minum susu sapi mentah dan harus dimasak.
d. Bagi penderita untuk tidak membuang ludah sembarangan.
e. Pencegahan terhadap penyakit TBC dapat dilakukan dengan tidak
melakukan kontak udara dengan penderita, minum obat pencegah dengan
dosis tinggi dan hidup secara sehat. Terutama rumah harus baik ventilasi
udaranya dimana sinar matahari pagi masuk ke dalam rumah.
f. Tutup mulut dengan sapu tangan bila batuk serta tidak
meludah/mengeluarkan dahak di sembarangan tempat dan menyediakan
tempat ludah yang diberi lisol atau bahan lain yang dianjurkan dokter dan
untuk mengurangi aktivitas kerja serta menenangkan pikiran.