Anda di halaman 1dari 44

NAMA : WULAN DETI

NIM : D1A171468
KELAS : 7C REGULAR SORE
TUGAS 4 KESEHATAN MASYARAKAT
1. Jelaskan TBC !
A. Definisi Tuberkulosis
Penyakit TB adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis (MTB). Kuman TB berbentuk batang, disebut
pula sebagai basil tahan asam (BTA) karena mempunyai sifat khusus yaitu
tahan terhadap asam pada pewarnaan. Kuman TB cepat mati jika terpapar
sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat
gelap dan lembab. Sumber penularan penyakit TB adalah penderita dengan
BTA positif. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara lain: M.
tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M. Leprae dsb. (Kemenkes RI, 2018)
Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk droplet. Seseorang dapat terinfeksi jika droplet tersebut terhirup
ke dalam saluran napas. Kuman TB merupakan patogen intraseluler yang
dapat bertahan hidup dan berkembang biak di dalam makrofag. Saat masuk ke
dalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TB yang berada di dalam
makrofag dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lain melalui sistem
peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran napas, atau langsung menyebar
ke bagian tubuh lainnya. Kelompok bakteri Mycobacterium selain
Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran
nafas dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang
terkadang bisa mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan TB.
(Irianti , 2016 ; Kemenkes RI, 2018)
B. Patofisiologi
TB merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis yangmerupakan basil aerob, non-motil, dan tahan terhadap asam,
pengeringan serta alkohol. TB secara klasik dibagi menjadi primer dan
sekunder. TB primer terjadi pada penderita yang sebelumnya belum pernah
terpajan dengan M. tuberculosis. TB sekunder terjadi pada penderita yang
sebelumnya pernah tersensitasi oleh M. tuberculosis. Kemungkinan penularan
ini bergantung pada jumlah droplet yang ditransmisikan, durasi pajanan, serta
virulensi dari M. tuberculosis.

Patogenesis TB primer
Infeksi TB primer biasanya melalui saluran pernafasan. Infeksi terjadi
akibat inhalasi droplet (2–10μm) yang mengandung basil (1–4μm). Droplet
tersebut akan dibawa oleh silia ke bronkiolus terminalis dan alveoli. Inokulasi
terjadi pada area dengan ventilasi yang paling banyak, biasanya pada segmen
anterior lobus superior, lobus medius, lingula, dan segmen basal dari lobus
inferior. Makrofag alveolar akan menangkap basil. Basil TB tersebut akan
bereplikasi di dalam makrofag alveolar.
Makrofag alveolar akan berinteraksi dengan limfosit T dan menyebabkan
differensiasi makrofag menjadi hist iosit epiteloid. Histiosit epiteloid dan
limfosit akan beragregasi membentuk granuloma. Pada granuloma, limfosit T
CD4 akan mensekresi sitokin seperti interferon-γ yang akan mengaktivasi
makrofag untuk membunuh basil TB di dalamnya. Limfosit T CD 8 (limfosit
T sitotoksik) juga dapat langsung membunuh sel yang terinfeksi. Meskipun
demikian, basil TB tidak selalu tereliminasi dari granuloma, namun basil
tersebut dapat menjadi dorman. Granuloma juga dapat mengalami nekrosis di
bagian tengahnya.
Reaksi imunologis yang disebabkan oleh basil TB merupakan
hipersensitivitas tipe IV (lambat) yang akan bermanifestasi setelah kurang
lebih 4–10 minggu setelah infeksi. Pada saat tersebut, reaksi tuberkulin akan
menjadi positif. Reaksi ini akan menyebabkan nekrosis perkijuan pada fokus
infeksi dengan atau tanpa keterlibatan kelenjar getah bening (KGB). Fokus
primer di parenkim disebut sebagai fokus primer atau fokus Ghon. Kombinasi
fokus primer dengan pembesaran KGB yang menerima aliran limfatik dari
fokus primer tersebut dinamakan kompleks primer atau kompleks Ghon.
Fokus primer ini akan terjadi di daerah dengan ventilasi yang paling banyak,
biasanya pada segmen anterior lobus superior, lobus medius, lingula, dan
segmen basal dari lobus inferior. Fokus primer ini biasanya terdapat di daerah
subpleural. Limfangitis lokal yang terjadi antara fokus primer dan KGB
terkadang dapat terlihat pada foto toraks.
Perkembangan dari infeksi primer bergantung pada beberapa faktor
seperti jumlah dan virulensi dari basil TB, imunitas alami dan imunitas
spesifik yang dimiliki inang serta reaksi hipersensitivitas yang timbul. Pada
pasien yang imunokompeten, imunitas spesifik yang timbul biasanya cukup
untuk membatasi multiplikasi basil TB sehingga lesi akan sembuh tanpa
menimbulkan gejala. Pada kasus-kasus seperti ini, tes tuberkulin yang positif
dapat menjadi satu-satunya pertanda telah terjadi infeksi primer. Proses ini
terjadi pada 95% pasien yang imunokompeten.
Penyembuhan TB terjadi dengan resorpsi nekrosis kaseosa yang disertai
deposisi kolagen (fibrosis) dan kalsifikasi. Proses ini terjadi di paru, KGB
yang terlibat, maupun di jaringan ekstrapulmonal (ginjal, metafisis tulang
panjang, dan otak) yang berasal dari penyebaran hematogen yang minimal.
Gambaran radiologi dari lesi penyembuhan ini adalah fokus kalsifikasi.
Kombinasi fokus Ghon dengan kalsifikasi di KGB yang terlibat disebut
sebagai kompleks Ranke. Walaupun ada juga literatur yang menyamakan
istilah kompleks Ranke dengan kompleks Ghon atau kompleks primer.
Fokus Simon merupakan kalsifikasi di apeks paru yang merupakan tanda
lesi yang mengalami penyembuhan. Distribusi fokus Simon yang terdapat di
apeks paru menunjukkan telah terjadi penyebaran hematogen yang minimal.
Lesi penyembuhan ini dapat mengandung basil yang bersifat dorman yang
tetap memberikan stimulus antigenik terhadap reaksi hipersensitivitas. Pada
keadaan imunodepresi, basil ini dapat mengalami reaktivasi.Pada 5% populasi
yang terinfeksi, imunitas yang dimiliki tidak adekuat dan TB paru dapat
berkembang dalam satu tahun sejak terjadinya infeksi primer. Keadaan ini
disebut sebagai infeksi primer yang progresif.

Patogenesis TB sekunder
TB sekunder berasal dari reaktivasi fokus yang dorman. Pada 5% populasi
yang terinfeksi TB, reaktivasi endogen dapat terjadi beberapa tahun setelah
infeksi primer. Reaktivasi TB ini biasanya terjadi di apeks paru. Lesi di apeks
ini didapatkan melalui penyebaran hematogen selama infeksi primer beberapa
tahun sebelumnya. Segmen apikal dan posterior dari lobus superior serta
segmen apikal lobus inferior merupakan tempat reaktivasi sering terjadi. Hal
ini diakibatkan tekanan oksigen di tempat tersebut merupakan yang paling
tinggi dibandingkan bagian paru lainnya. Penjelasan lain adalah sistem
pengaliran limfatik di daerah tersebut yang kurang baik.
Lesi di apeks tersebut merupakan kelanjutan dari fokus Simon yang terjadi
setelah infeksi primer. Setelah reaktivasi, lesi di fokus Simon akan
berkonfluens, dan mengalami likuefaksi serta ekskavasi. Infeksi sekunder juga
dapat terjadi akibat reinfeksi, walaupun hal ini jarang terjadi bila pasien
berdomisili di negara-negara maju. (Ristaniah , 2012)

 Gejala
Gejala utama pasien tb paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala laim seperti dahak bercampur darah ,
batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun , malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam
meriang lebih dari satu bulan.
Gejala-gejala tersebut dapat juga dijumpai pada penyakit paru selain TB,
seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.
Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap
orang yang datang ke fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap
sebagai seorang terduga pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak
secara mikroskopis langsung. (Kemenkes RI, 2014)

 Klasifkasi Tuberkuosis

Diagnosis TB dengan konfrmasi bakteriologis atau klinis dapat diklasifkasikan


berdasarkan:
Klasifkasi berdasarkan lokasi anatomi:

 TB paru adalah kasus TB yang melibatkan parenkim paru atau


trakeobronkial. TB milier diklasifkasikan sebagai TB paru karena
terdapat lesi di paru. Pasien yang mengalami TB paru dan ekstraparu
harus diklasifkasikan sebagai kasus TB paru.
 TB ekstraparu adalah kasus TB yang melibatkan organ di luar parenkim
paru seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen, saluran
genitourinaria, kulit, sendi dan tulang, selaput otak. Kasus TB ekstraparu
dapat ditegakkan secara klinis atau histologis setelah diupayakan
semaksimal mungkin dengan konfrmasi bakteriologis.

Klasifkasi berdasarkan riwayat pengobatan:


 Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat OAT sebelumnya
atau riwayat mendapatkan OAT kurang dari 1 bulan.
 Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan
pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun
kurang dari 1 bulan (˂ dari 28 dosis).
 Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh
atau karena reinfeksi).
 Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang pernah
diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
 Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up):
adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up
(klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah
putus berobat /default).
 Kasus pengobatan setelah gagal adalah pasien yang sebelumnya pernah
mendapatkan OAT dan dinyatakan gagal pada akhir pengobatan.
 Kasus setelah putus obat adalah pasien yang pernah menelan OAT 1 bulan
atau lebih dan tidak meneruskannya selama lebih dari 2 bulan berturut turut
atau dinyatakan tidak dapat dilacak pada akhir pengobatan.
 Kasus dengan riwayat pengobatan lainnya adalah pasien sebelumnya
pernah mendapatkan OAT dan hasil akhir pengobatannya tidak diketahui
atau tidak didokumentasikan.
 Pasien pindah adalah pasien yang dipindah dari register TB lain untuk
melanjutkan pengobatan.
 Pasien yang tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya adalah pasien
yang tidak dapat dimasukkan dalam salah satu kategori di atas. Sebelum
dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan pemeriksaan biakan spesimen dan
uji resistensi obat atau metode diagnostik cepat yang telah disetujui WHO
(Xpert MTB/RIF) untuk semua pasien dengan riwayat pemakaian OAT.

Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat,


Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji
dari Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :
 Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama saja.
 Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain Isoniazid (H)
 Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan.
 Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga
resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal
salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan
Amikasin).
 Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau
tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode
genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional).

Klasifkasi berdasarkan status HIV


 Kasus TB dengan HIV positif adalah kasus TB konfrmasi bakteriologis atau
klinis yang memiliki hasil positif untuk tes infeksi HIV yang dilakukan pada
saat ditegakkan diagnosis TB atau memiliki bukti dokumentasi bahwa pasien
telah terdaftar di register HIV atau obat antiretroviral (ARV) atau praterapi
ARV.
 Kasus TB dengan HIV negatif adalah kasus TB konfrmasi bakteriologis atau
klinis yang memiliki hasil negatif untuk tes HIV yang dilakukan pada saat
ditegakkan diagnosis TB. Bila pasien ini diketahui HIV positif di kemudian
hari harus disesuaikan klasifkasinya.
 Kasus TB dengan status HIV tidak diketahui adalah kasus TB konfrmasi
bakteriologis atau klinis yang tidak memiliki hasil tes HIV dan tidak
memiliki bukti dokumentasi telah terdaftar dalam register HIV. Bila pasien
ini diketahui HIV positif dikemudian hari harus disesuaikan klasifkasinya.
Menentukan dan menuliskan status HIV adalah penting untuk mengambil
keputusan pengobatan, pemantauan dan menilai kinerja program. Dalam
kartu berobat dan register TB, WHO mencantumkan tanggal pemeriksaan
HIV, dimulainya terapi proflaksis kotrimoksazol, dimulainya terapi
antiretroviral (Kemenkes RI, 2014) Diagnosis tuberkulosis
World Health Organization (WHO) dan the International Union Againts
Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) merekomendasikan diagnosis dan
klasifikasi kasus TB, serta penilaian respons terapi melalui beberapa pemeriksaan
sputum. Beberapa pemeriksaam yang dapat menegakkan diagnosis TB adalah :

a. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan


pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan
diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 contoh uji dahak yang dikumpulkan
dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu
(SPS) dengan pewarnaan Ziehl Nielsen atau Kinyoun Gobbet. Diagnosis TB paru
BTA positif ditegakkan apabila:
 S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang berkunjung
pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien membawa sebuah
pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua.
 P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun
tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes.
 S (sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi.

Diagnosis TB paru BTA positif ditegakkan apabila: (1) Sekurang-kurangnya 2


dari 3 spesimen sputum SPS hasilnya BTA positif; (2) Satu spesimen SPS hasilnya
BTA positif dan foto toraks menunjukkan gambaran TB; dan (3) Satu atau lebih
spesimen hasilnya BTA positif setelah 3 spesimen sputum SPS pada pemeriksaan
sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian
antibiotik yang bukan obat antituberkulosis (OAT) .

b. Pemeriksaan uji kepekaan obat


Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi M.tb
terhadap OAT. Xpert assay dapat mengidentifkasi M. tuberculosis dan mendeteksi
resisten rifampisin dari dahak yang diperoleh dalam beberapa jam. Akan tetapi
konfrmasi TB resisten obat dengan uji kepekaan obat konvensional masih digunakan
sebagai baku emas (gold standard). Penggunaan Xpert MTB/RIF tidak
menyingkirkan kebutuhan metode biakan dan uji resistensi obat konvensional yang
penting untuk menegakkan diagnosis defnitif TB pada pasien dengan apusan BTA
negatif dan uji resistensi obat untuk menentukan kepekaan OAT lainnya selain
rifampisin. Untuk memperluas akses terhadap penemuan pasien TB dengan resistensi
OAT, Kemenkes RI telah menyediakan tes cepat yaitu GeneXpert ke fasilitas
kesehatan (laboratorium dan RS) diseluruh provinsi. (Kemenkes RI , 2014)

c. Foto toraks
Gambaran foto toraks bervariasi baik lokasi maupun bentuknya. Umumnya
gambaran foto toraks pada TB terdapat di apeks. Pada TB-HIV awal gambaran foto
toraks dapat sama dengan gambaran foto toraks TB pada umumnya, namun, Pada
pasien TB-HIV sering ditemukan gambaran TB milier. Pembagian tuberkulosis dapat
diidentifikasi sebagai :

 Lesi minimal, jika proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas
tidak lebih dari sela iga dua depan (volume paru yang terletak di atas
chondrosternal junction dari iga dua depan dan processus spinosus dari vertebra
torakal empat atau korpus vertebra torakal lima), serta tidak dijumpai kavitas.
 Lesi sedang, jika proses penyakit lebih luas dari lesi minimal tetapi tidak boleh
lebih luas dari satu paru atau jumlah seluruh proses yang ada paling banyak
seluas satu paru atau bila proses TB mempunyai densitas lebih padat dan lebih
tebal, maka luas proses tersebut tidak boleh lebih sepertiga luas satu paru. Bila
disertai kavitas, maka luas semua kavitas (diameter) tidak lebih dari 4 cm.

 Lesi luas, jika kelainan lebih luas dari lesi sedang.

Respons terapi pada TB paru paling cepat dapat diketahui dari respons klinis
penderita, khususnya dengan menilai perbaikan keluhan batuk dan demam serta
peningkatan berat badan. Selain itu, respons terapi juga dapat dinilai dari respons
radiologis dengan menilai perbaikan gambaran foto toraks. Namun demikian, penilaian
respons terapi yang paling obyektif adalah respons mikrobiologis, yaitu terjadinya
konversi sputum dari positif menjadi negatif yang dapat dilihat dari pemeriksaan
hapusan dan kultur BTA (PDPI , 2006 ; Kemenkes RI, 2014 ).

 Pengobatan tuberkulosis paru


 OAT Lini pertama yang diberikan pada pasien yang baru saja memulai
pengobatan TB dan tidak mempunyai resistensi terhadap OAT lini pertama. Obat
yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia
adalah :
 Kategori 1
Pasien TB paru dengan BTA positif dan merupakan kasus baru. Pengobatan
tahap awal terdiri atas Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z),
Etambutol (E) masing- masing 2 tablet diberian setiap hari selama 2 bulan.
Tahap lanjutan diberikan 4(HR)3E3 selama 4 bulan .
 Kategori 2
Diberikan pada pasien kambuh, gagal terapi atau diobati kembali setelah
putus berobat. Tahap awal diberikan 2 (HRZE) Streptomisin (S) atau HRZE,
dimana HRZE diberian setiap hari selama 3 bulan dan S diberikan hanya 2
bulan pertama. Bila sputum BTA masih positif maka tahap awal dengan
HRZE diteruskan lagi selama 1 bulan. Tahap lanjutan diberikan 5(HR)3E3

 OAT Lini kedua yang digunakan untuk kasus TB Resisten Obat (TRO) seperti
Floroquinolone (levofloxacin, moxifloxacin) , linezolid, kanamycin,
ethionamide, dan cycloserine. (Kemenkes RI , 2014)

 Faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit TB

Adapun beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kejadian TB diantaranya:


a. Jenis kelamin
Menurut Muchtar , Alasan tingginya prevalensi TB pada laki-laki
sebenarnya belum ada teori yang jelas, tetapi mungkin disebabkan karena
aktivitas laki-laki yang lebih banyak di luar sehingga lebih berisiko untuk
terpapar kuman TB. Hal ini juga diperkuat dengan adanya kebiasaan merokok
yang lebih banyak pada laki – laki. (Muchtar et al, 2018)
b. Usia
Kejadian TB paru paling banyak pada lansia mungkin disebakan karena
pada usia ini sudah mulai terjadi penurunan daya tahan tubuh, dan kondisi ini
lebih rentan untuk terkena penyakit, terutama penyakit infeksi, salah satunya
tuberkulosis Di negara berkembang, mayoritas yang terinfeksi TB adalah
golongan usia <50 tahun, namun di negara maju prevalensi TB justru tinggi pada
yang lebih tua. Pada usia tua, TB mempunyai gejala dan tanda yang tidak
spesifik sehingga sulit terdiagnosis, sering terjadi reaktivasi fokus dormant.
Selain itu, juga berkaitan dengan perkembangan faktor komorbid yang
dihubungkan dengan penurunan respons imun seluler akibat keganasan,
pengunaan obat imunosupresif dan usia (Muchtar et al, 2018).
c. Malnutrisi
Pada infeksi TB dengan malnutrisi terjadi gangguan sistem imun akibat
penurunan produksi limfosit dan kemampuan proliferasi sel imun. Hal ini
disebabkan oleh penurunan kadar IFN-gamma, IL-2 dan peningkatan kadar TGF-
β yang berfungsi untuk menghambat aktivasi makrofag. Pada kondisi
kekurangan gizi, ditemukan adanya gangguan berbagai aspek imunitas, termasuk
fagositosis, respon proliferasi sel, serta produksi limfosit T dan sitokin. (Muchtar
et al, 2018)

d. Gangguan Imunitas
Terjadinya penyakit TB dipengaruhi oleh adanya penyakit komorbid yang
melemahkan system kekebalan tubuh manusia. Pada kondisi
immunocompromized seperti penderita Human Immunocompromized Virus
(HIV) , pasien yang terinfeksi penyakit HIV memiliki kadar sel CD4+ T yang
rendah dan memiliki viral load yang tinggi disertai defek fungsi makrofag dan
monosit. CD4 dan makrofag diketahui memiliki peran penting dalam pertahanan
tubuh terhadap mycobacterium tuberculosis. . (R. Duarte , 2018)
Pada penyakit Diabetes Melitus (DM) terjadi defek imun yang akan
menurunkan fungsi netrofil. Netrofil pada penderita DM memiliki daya
chemotaxis dan daya oxidative killing yang rendah. Daya bakterisidal leukosit
ditemukan berkurang pada penderita DM kemampuan mobilisasi, kemotaksis
dan fagositosis dari sel PMN menurun akibat kondisi hiperglikemia demikian
juga kemampuan deteksinya terhadap mikroorganisme juga menurun, diduga
akibat penurunan sensitivitas dan jumlah reseptor pada monositnya. (Al-Rifai
RH, 2017)
e. Tingkat sosioekonomi
Tingkat sosial ekonomi rendah mempunyai hubungan dengan pekerjaan
serta kondisi malnutrisi yang disebabkan oleh pendapatan yang rendah.
Lingkungan lembab, ventilasi yang buruk dan kurangnya sinar matahari berperan
dalam rantai penularan TB paru. M.tuberculosis merupakan bakteri yang tidak
tahan terhadap sinar ultraviolet, sehingga lingkungan yang lembab dan sinar
ultraviolet kurang menjadi risiko seseorang untuk menderita TB (Dotuolung ,
2015 ; R.Duarte, 2018).

f. Pendidikan

Kepatuhan berobat yang rendah pada penderita TB paru berhubungan dengan


pendidikan dan pendapatan rendah. Veleza FS dkk, membuktikan tingkat
pendidikan merupakan prediktor untuk mengetahui pemahaman penderita tentang
TB paru dan akibatnya. Faktor pendidikan mempengaruhi kejadian tuberkulosis.
Pendidikan yang tinggi membuat seseorang lebih mudah untuk mengerti pesan
mengenai TB, baik etiologi maupun cara penularannya. Penderita berpendidikan
tinggi memiliki pemahaman tentang TB paru lebih baik dibanding penderita
berpendidikan menengah dan rendah. (Prihanti, 2015)
g. Alkohol
Alkohol menimbulkan efek toksik baik langsung ataupun tidak langsung
melalui defisiensi makronutrien dan mikronutrien akibat konsumsi alkohol yang
menyebabkan melemahnya sistem imun. Pengonsumsian alkohol secara kronik
menyebabkan penurunan fungsi limfosit T dan B. gangguan aktivasi makrofag,
berkurangnya kemampuan makrofag untuk mempresentasikan antigen ke sel T,
berkurangnya respon makrofag terhadap sitokin, terjadi pergeseran ke arah
pembentukan Th2, sehingga jumlah Th1 yang berperan pada proses destruksi
Mycobacterium tuberculosis terhambat, kondisi ini menyebabkan aktivasi kuman
TB meningkat. (Muchtar et al , 2018).
h. Rokok
Merokok menjadi salah satu faktor meningkatnya resiko terjadinya tb
paru karena terjadinya gangguan pembersihan sekresi mukosa. Kandungan
nikotin pada rokok akan menurunkan produksi TNF-α yang berfungsi untuk
mengaktivasi makrofag serta limfosit CD4
+ dan akan menurunkan respon imun. Pembersihan oleh sekresi mukosa yang
dilemahkan, pengurangan kemampuan fagositik dari makrofag alveolus dan
penurunan respon imun dan CD4 + menyebabkan kolonialisasi kuman Tb
menjadi lebih mudah. (Silva et al, 2018).

2. Jelaskan Demam Berdarah !


Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi virus akut yang
disebabkan oleh virus dengue yang ditandai demam 2 – 7 hari disertai dengan
manifestasi perdarahan, penurunan trombosit (trombositopenia), adanya
hemokonsentrasi yang ditandai kebocoran plasma (peningkatan hematokrit, asites,
efusi pleura, hipoalbuminemia). Dapat disertai gejala-gejala tidak khas seperti nyeri
kepala, nyeri otot & tulang, ruam kulit atau nyeri belakang bola mata.

Tidak semua yang terinfeksi virus dengue akan menunjukkan manifestasi DBD
berat. Ada yang hanya bermanifestasi demam ringan yang akan sembuh dengan
sendirinya atau bahkan ada yang sama sekali tanpa gejala sakit (asimtomatik).
Sebagian lagi akan menderita demam dengue saja yang tidak menimbulkan kebocoran
plasma dan mengakibatkan kematian.

Dalam 3 dekade terakhir penyakit ini meningkat insidennya di berbagai


belahan dunia terutama daerah tropis dan sub-tropis, banyak ditemukan di wilayah
urban dan semi-urban. Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes yang
mengandung virus dengue.

Di Indonesia kasus DBD berfluktuasi setiap tahunnya dan cenderung semakin


meningkat angka kesakitannya dan sebaran wilayah yang terjangkit semakin luas.
Pada tahun 2016, DBD berjangkit di 463 kabupaten/kota dengan angka. kesakitan
sebesar 78,13 per 100.000 penduduk, namun angka kematian dapat ditekan di bawah 1
persen, yaitu 0,79 persen. KLB DBD terjadi hampir setiap tahun di tempat yang
berbeda dan kejadiannya sulit diduga.

DBD diperkirakan akan masih cenderung meningkat dan meluas sebarannya.


Hal ini karena vektor penular DBD tersebar luas baik di tempat pemukiman maupun
ditempat umum. Selain itu kepadatan penduduk, mobilitas penduduk, urbanisasi yang
semakin meningkat terutama sejak 3 dekade yang terakhir.

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi penyebar luasan DBD antara lain


adalah, Perilaku masyarakat, Perubahan iklim (climate change) global, Pertumbuhan
ekonomi, Ketersediaan air bersih.

Sampai saat ini belum ada obat atau vaksin yang spesifik, tetapi bila pasien
berobat dini, dan mendapat penatalaksanaan yang adekuat, umumnya kasus-kasus
penyakit ini dapat diselamatkan.
Cara yang dapat dilakukan saat ini dengan menghindari atau mencegah gigitan
nyamuk penular DBD. Oleh karena itu upaya pengendalian DBD yang penting pada
saat ini adalah melalui upaya pengendalian nyamuk penular dan upaya membatasi
kematian karena DBD. Atas dasar itu maka upaya pengendalian DBD memerlukan
kerjasama dengan program dan sektor terkait serta peran serta masyarakat.

Penyebab dan Faktor Risiko Demam Berdarah

Kedua nyamuk penyebab DBD biasanya menginfeksi seseorang di pagi sampai sore hari
menjelang petang. Penularan terjadi saat nyamuk menggigit dan menghisap darah
seseorang yang sudah terinfeksi virus dengue, ketika nyamuk tersebut menggigit orang
lain, maka virus akan tersebar.

Bisa dibilang, nyamuk berperan sebagai medium pembawa (carrier) virus dengue tersebut.
Selain gigitan nyamuk, demam berdarah dipicu oleh faktor risiko tertentu. Beberapa faktor
risiko tersebut, di antaranya:

 Pernah mengalami infeksi virus dengue sebelumnya;


 Tinggal atau bepergian ke daerah tropis; dan

 Bayi, anak-anak, orang lanjut usia, dan orang dengan kekebalan tubuh yang lemah.

Gejala Demam Berdarah

Umumnya gejala demam berdarah bersifat ringan, dan muncul 4–7 hari sejak gigitan
nyamuk, dan dapat berlangsung selama 10 hari. Gejala biasanya menyerupai penyakit flu,
dan bisa saja berkembang menjadi semakin parah jika telat ditangani. Beberapa gejala
demam berdarah, yaitu:
 Demam tinggi mencapai 40 derajat Celsius;
 Nyeri kepala berat;

 Nyeri pada sendi, otot, dan tulang;

 Nyeri pada bagian belakang mata;

 Nafsu makan menurun;

 Mual dan muntah;

 Pembengkakan kelenjar getah bening;

 Ruam kemerahan sekitar 2–5 hari setelah demam;

 Kerusakan pada pembuluh darah dan getah bening; dan

 Perdarahan dari hidung, gusi, atau di bawah kulit.

Diagnosis Demam Berdarah

Jika sejumlah gejala yang telah disebutkan muncul, langkah diagnosis dilakukan dengan
pemeriksaan fisik dan wawancara medis, yang diikuti dengan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang dilakukan dengan memeriksa sampel darah di laboratorium.
Sebelum penyakit berkembang semakin parah, diskusikan dengan dokter saat mengalami
gejala ringan, ya.

Komplikasi Demam Berdarah

Komplikasi yang membahayakan bisa saja terjadi saat demam berdarah terlambat untuk
ditangani. Berikut ini beberapa gejala parah yang menandakan jika demam berdarah sudah
masuk dalam intensitas berbahaya:
 Tanda perdarahan, seperti mimisan, gusi berdarah, perdarahan di bawah kulit,
muntah hitam, batuk darah, maupun buang air besar dengan feses kehitaman;
 Tekanan darah menurun;

 Kulit basah dan terasa dingin;

 Denyut nadi melemah;

 Frekuensi buang air kecil menurun dan jumlah urine yang keluar sedikit;

 Mulut kering; dan

 Sesak nafas atau pola napas tidak beraturan.

Sejumlah gejala tersebut menandakan kondisi DSS atau Dengue Shock Syndrome yang


merupakan komplikasi demam berdarah. Jika tidak segera dilakukan penanganan, maka
gangguan fungsi organ tubuh yang berujung pada kematian bisa saja terjadi.

Pengobatan Demam Berdarah

Hingga kini belum ada pengobatan spesifik untuk mengatasi demam berdarah. Langkah
pengobatan dilakukan untuk mengatasi gejala yang muncul, serta mencegah infeksi virus
semakin parah. Berikut ini beberapa upaya yang dapat dilakukan:

 Cegah dehidrasi dengan banyak minum air putih.


 Mencukupi waktu istirahat.

 Konsumsi obat penurun panas yang relatif aman dan dianjurkan dokter;

 Menghindari konsumsi obat-obatan pereda nyeri. Hal ini dikarenakan obat-obatan


tersebut dapat menimbulkan komplikasi perdarahan. 
 Pantau frekuensi buang air kecil dan jumlah urine yang keluar.

Pencegahan Demam Berdarah

Terdapat berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah demam berdarah, yaitu:

 Anak usia 9–16 tahun seharusnya divaksinasi dengue, sebanyak 3 kali dengan jarak
6 bulan;
 Memberantas sarang nyamuk yang dilakukan dalam dua kali pengasapan
insektisida atau fogging dengan jarak 1 minggu;

 Menguras tempat penampungan air, seperti bak mandi, minimal setiap minggu;

 Menutup rapat tempat penampungan air;

 Melakukan daur ulang barang yang berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan


nyamuk Aedes aegypti;

 Mengatur cahaya yang cukup di dalam rumah;

 Memasang kawat anti nyamuk di ventilasi rumah;

 Menaburkan bubuk larvasida (abate) pada penampungan air yang sulit dikuras;

 Menggunakan kelambu saat tidur;

 Menanam tumbuhan pengusir nyamuk;

 Menghentikan kebiasaan menggantung pakaian;

 Menghindari wilayah daerah yang rentan terjadi infeksi;

 Mengenakan pakaian yang longgar; dan


 Menggunakan krim anti-nyamuk yang mengandung N-
diethylmetatoluamide (DEET), tetapi jangan gunakan DEET pada anak di bawah 2
tahun.

Jika sudah melakukan pencegahan, tetapi demam berdarah masih menyerang


dan mengganggu aktivitas sehari-hari, segera kunjungi dokter di rumah sakit untuk
memeriksakan diri. Penanganan sedini mungkin akan membantu mencegah munculnya
gejala lebih parah yang dapat berujung pada kematian.

3. Corona 19

Kasus COVID-19 pertama di Indonesia diumumkan pada tanggal 2 Maret 2020


atau sekitar 4 bulan setelah kasus pertama di Cina. Kasus pertama di Indonesia pada
bulan Maret 2020 sebanyak 2 kasus dan setelahnya pada tanggal 6 Maret ditemukan
kembali 2 kasus. Kasus COVID-19 hingga kini terus bertambah. Saat awal
penambahan kasus sebanyak ratusan dan hingga kini penambahan kasus menjadi
ribuan. Pada tanggal 31 Desember 2020 kasus terkonfirmasi 743.196 kasus,
meninggal 22.138 kasus, dan sembuh 611.097. Propinsi dengan kasus COVID-19
terbanyak adalah DKI Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Untuk menentukan
seseorang terjangkit COVID-19 dibutuhkan pemeriksaan PCR swab, hasil
penelitian terbaru menunjukkan bahwa sebagian kasus dapat menunjukkan hasil
positif persisten walaupun sudah tidak ada gejala. Penelitian di Korea menunjukkan
bahwa walaupun tidak ditemukan virus yang dapat bereplikasi 3 minggu setelah
onset gejala pertama, SARS-CoV-2 RNA masih terdeteksi di spesimen
pemeriksaan RT-PCR hingga 12 minggu. Bagi penyintas COVID-19 penelitian
terbaru juga menunjukkan ada kemungkinan untuk proses reinfeksi karena antibodi
COVID-19 dalam tubuh diperkirakan akan menghilang dalam 3 sampai dengan 12
bulan. Pada April 2020 telah dilaporkan kasus reinfeksi SARS-CoV-2 terkonfirmasi
pertama di Amerika. Oleh sebab itu walaupun sudah dinyatakan sembuh dari
COVID-19, tetap harus menjalankan protokol kesehatan. Vaksin merupakan salah
satu upaya dalam menangani COVID-19, termasuk di Indonesia. Saat ini sedang
berlangsung uji klinis vaksin COVID-19 dan pengembangan vaksin merah putih,
yaitu dengan isolat virus yang bertransmisi di Indonesia juga sudah dilaksanakan.
Persiapan Indonesia mulai dari logistik penyimpanan vaksin hingga proses
distribusi vaksin ke seluruh provinsi di Indonesia juga sudah dilakukan.
Keberadaan vaksin diharapkan menjadi kabar baik dalam pencegahan penyebaran
virus COVID-19. Sejak diumumkan pertama kali ada di Indonesia, kasus COVID-
19 meningkat jumlahnya dari waktu ke waktu sehingga memerlukan perhatian.
Pada prakteknya di masa pandemi, tatalaksana COVID-19 diperlukan kerjasama
semua profesi untuk menanganinya. Diperlukan panduan tatalaksana yang
sederhana dan mudah dimengerti dan diterapkan oleh semua pihak di seluruh
Indonesia. Kita menghadapi virus dengan tabiat yang belum jelas, semua anjuran
yang dituangkan dalam buku ini masih punya peluang untuk selalu mengalami
perubahan sesuai dengan perkembangan yang ada sehingga perlu kehati-hatian bila
digunakan untuk semua kondisi pasien COVID-19.

Berdasarkan beratnya kasus, COVID-19 dibedakan menjadi tanpa gejala,


ringan, sedang, berat dan kritis.

1. Tanpa gejala

Kondisi ini merupakan kondisi paling ringan. Pasien tidak ditemukan gejala.
2. Ringan

Pasien dengan gejala tanpa ada bukti pneumonia virus atau tanpa hipoksia.
Gejala yang muncul seperti demam, batuk, fatigue, anoreksia, napas pendek,
mialgia. Gejala tidak spesifik lainnya seperti sakit tenggorokan, kongesti
hidung, sakit kepala, diare, mual dan muntah, penghidu (anosmia) atau hilang
pengecapan (ageusia) yang muncul sebelum onset gejala pernapasan juga
sering dilaporkan. Pasien usia tua dan immunocompromised gejala atipikal
seperti fatigue, penurunan kesadaran, mobilitas menurun, diare, hilang nafsu
makan, delirium, dan tidak ada demam.

3. Sedang

Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis pneumonia
(demam, batuk, sesak, napas cepat) tetapi tidak ada tanda pneumonia berat
termasuk SpO2 > 93% dengan udara ruangan atau Anak-anak : pasien dengan
tanda klinis pneumonia tidak berat (batuk atau sulit bernapas + napas cepat
dan/atau tarikan dinding dada) dan tidak ada tanda pneumonia berat).

Kriteria napas cepat : usia <2 bulan, ≥60x/menit; usia 2–11 bulan,
≥50x/menit ; usia 1–5 tahun, ≥40x/menit ; usia >5 tahun,
≥30x/menit.

4. Berat /Pneumonia Berat


Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis
pneumonia (demam, batuk, sesak, napas cepat) ditambah satu dari:
frekuensi napas > 30 x/menit, distres pernapasan berat, atau SpO2 <
93% pada udara ruangan.
ATAU
Pada pasien anak : pasien dengan tanda klinis pneumonia (batuk atau
kesulitan bernapas), ditambah setidaknya satu dari berikut ini:
 sianosis sentral atau SpO2<93% ;
 distres pernapasan berat (seperti napas cepat, grunting, tarikan
dinding dada yang sangat berat);
 tanda bahaya umum : ketidakmampuan menyusu atau minum,
letargi atau penurunan kesadaran, atau kejang.
 Napas cepat/tarikan dinding dada/takipnea : usia <2 bulan,
≥60x/menit; usia 2–11 bulan, ≥50x/menit; usia 1–5 tahun,
≥40x/menit; usia >5 tahun, ≥30x/menit.

5. Kritis
Pasien dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS),
sepsis dan syok sepsis.

TATALAKSANA PASIEN TERKONFIRMASI COVID-19

1. PEMERIKSAAN PCR SWAB


• Pengambilan swab di hari ke-1 dan 2 untuk penegakan
diagnosis. Bila pemeriksaan di hari pertama sudah positif, tidak
perlu lagi pemeriksaan di hari kedua, Apabila pemeriksaan di
hari pertama negatif, maka diperlukan pemeriksaan di hari
berikutnya (hari kedua).
• Pada pasien yang dirawat inap, pemeriksaan PCR dilakukan
sebanyak tiga kali selama perawatan.
• Untuk kasus tanpa gejala, ringan, dan sedang tidak perlu
dilakukan pemeriksaan PCR untuk follow-up. Pemeriksaan
follow-up hanya dilakukan pada pasien yang berat dan kritis.
• Untuk PCR follow-up pada kasus berat dan kritis, dapat
dilakukan setelah sepuluh hari dari pengambilan swab yang
positif.
• Bila diperlukan, pemeriksaan PCR tambahan dapat dilakukan
dengan disesuaikan kondisi kasus sesuai pertimbangan DPJP
dan kapasitas di fasilitas kesehatan masing-masing.
• Untuk kasus berat dan kritis, bila setelah klinis membaik, bebas
demam selama tiga hari namun pada follow-up PCR
menunjukkan hasil yang positif, kemungkinan terjadi kondisi
positif persisten yang disebabkan oleh terdeteksinya fragmen
atau partikel virus yang sudah tidak aktif. Pertimbangkan nilai
Cycle Threshold (CT) value untuk menilai infeksius atau
tidaknya dengan berdiskusi antara DPJP dan laboratorium
pemeriksa PCR karena nilai cutt off berbeda-beda sesuai dengan
reagen dan alat yang digunakan.
Tabel 1. Jadwal Pengambilan Swab Untuk Pemeriksaan RT-PCR
Hari ke-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11/12*

X X x

Keterangan : * diperiksa hanya untuk berat dan kritis

2. TANPA GEJALA
a. Isolasi dan Pemantauan
 Isolasi mandiri di rumah selama 10 hari sejak
pengambilan spesimen diagnosis konfirmasi, baik
isolasi mandiri di rumah maupun di fasilitas publik yang
dipersiapkan pemerintah.
 Pasien dipantau melalui telepon oleh petugas Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)
 Kontrol di FKTP terdekat setelah 10 hari karantina
untuk pemantauan klinis

b. Non-farmakologis
Berikan edukasi terkait tindakan yang perlu dikerjakan
(leaflet untuk dibawa ke rumah):
 Pasien :
- Selalu menggunakan masker jika keluar kamar dan
saat berinteraksi dengan anggota keluarga
- Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau
hand sanitizer sesering mungkin.
- Jaga jarak dengan keluarga (physical distancing)
- Upayakan kamar tidur sendiri / terpisah
- Menerapkan etika batuk (Diajarkan oleh tenaga
medis)
- Alat makan-minum segera dicuci dengan air/sabun

- Berjemur matahari minimal sekitar 10-15 menit


setiap harinya (sebelum jam 9 pagi dan setelah jam
3 sore). Pakaian yg telah dipakai sebaiknya
dimasukkan dalam kantong plastik / wadah tertutup
yang terpisah dengan pakaian kotor keluarga yang
lainnya sebelum dicuci dan segera dimasukkan
mesin cuci
- Ukur dan catat suhu tubuh 2 kali sehari (pagi dan
malam hari)
- Segera beri informasi ke petugas pemantau/FKTP
atau keluarga jika terjadi peningkatan suhu tubuh >
38oC

 Lingkungan/kamar:
- Perhatikan ventilasi, cahaya dan udara
- Membuka jendela kamar secara berkala
- Bila memungkinkan menggunakan APD saat
membersihkan kamar (setidaknya masker, dan bila
memungkinkan sarung tangan dan goggle).
- Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau
hand sanitizer sesering mungkin.
- Bersihkan kamar setiap hari , bisa dengan air sabun
atau bahan desinfektan lainnya

 Keluarga:
- Bagi anggota keluarga yang berkontak erat dengan
pasien sebaiknya memeriksakan diri ke
FKTP/Rumah Sakit.
- Anggota keluarga senanitasa pakai masker
- Jaga jarak minimal 1 meter dari pasien
- Senantiasa mencuci tangan
- Jangan sentuh daerah wajah kalau tidak yakin tangan
bersih
- Ingat senantiasa membuka jendela rumah agar
sirkulasi udara tertukar
- Bersihkan sesering mungkin daerah yg mungkin
tersentuh pasien misalnya gagang pintu dll

c. Farmakologi
 Bila terdapat penyakit penyerta / komorbid,
dianjurkan untuk tetap melanjutkan pengobatan yang
rutin dikonsumsi. Apabila pasien rutin meminum terapi
obat antihipertensi dengan golongan obat ACE-inhibitor
dan Angiotensin Reseptor Blocker perlu berkonsultasi ke
Dokter Spesialis Penyakit Dalam atau Dokter Spesialis
Jantung
 Vitamin C (untuk 14 hari), dengan pilihan ;
- Tablet Vitamin C non acidic 500 mg/6-8 jam oral
(untuk 14 hari)
- Tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam oral (selama
30 hari)
- Multivitamin yang mengandung vitamin C 1-2
tablet /24 jam (selama 30 hari),
- Dianjurkan multivitamin yang mengandung
vitamin C,B, E, Zink
 Vitamin D
- Suplemen: 400 IU-1000 IU/hari (tersedia dalam
bentuk tablet, kapsul, tablet effervescent, tablet
kunyah, tablet hisap, kapsul lunak, serbuk, sirup)
- Obat: 1000-5000 IU/hari (tersedia dalam bentuk
tablet 1000 IU dan tablet kunyah 5000 IU)
 Obat-obatan suportif baik tradisional (Fitofarmaka)
maupun Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) yang
teregistrasi di BPOM dapat dipertimbangkan untuk
diberikan namun dengan tetap memperhatikan
perkembangan kondisi klinis pasien.
 Obat-obatan yang memiliki sifat antioksidan dapat
diberikan.
3. DERAJAT RINGAN
a. Isolasi dan Pemantauan

 Isolasi mandiri di rumah/ fasilitas karantina selama


maksimal 10 hari sejak muncul gejala ditambah 3 hari
bebas gejala demam dan gangguan pernapasan. Jika
gejala lebih dari 10 hari, maka isolasi dilanjutkan
hingga gejala hilang ditambah dengan 3 hari bebas
gejala. Isolasi dapat dilakukan mandiri di rumah
maupun di fasilitas publik yang dipersiapkan
pemerintah. Petugas FKTP diharapkan
proaktif melakukan pemantauan kondisi
pasien.
 Setelah melewati masa isolasi pasien akan kontrol ke
FKTP terdekat.

b. Non Farmakologis
Edukasi terkait tindakan yang harus dilakukan (sama dengan
edukasi tanpa gejala).

c. Farmakologis
 Vitamin C dengan pilihan:
- Tablet Vitamin C non acidic 500 mg/6-8 jam oral
(untuk 14 hari)
- Tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam oral (selama
30 hari)
- Multivitamin yang mengandung vitamin c 1-2 tablet
/24 jam (selama 30 hari),
- Dianjurkan vitamin yang komposisi mengandung
vitamin C, B, E, zink
 Vitamin D
- Suplemen: 400 IU-1000 IU/hari (tersedia dalam
bentuk tablet, kapsul, tablet effervescent, tablet
kunyah, tablet hisap, kapsul lunak, serbuk, sirup)
- Obat: 1000-5000 IU/hari (tersedia dalam bentuk
tablet 1000 IU dan tablet kunyah 5000 IU)
 Azitromisin 1 x 500 mg perhari selama 5 hari
 Antivirus :
- Oseltamivir (Tamiflu) 75 mg/12 jam/oral selama
5- 7 hari (terutama bila diduga ada infeksi
influenza) ATAU
- Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading dose
1600 mg/12 jam/oral hari ke-1 dan selanjutnya 2 x
600 mg (hari ke 2-5)
 Pengobatan simtomatis seperti parasetamol bila demam.
 Obat-obatan suportif baik tradisional (Fitofarmaka)
maupun Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) yang
teregistrasi di BPOM dapat dipertimbangkan untuk
diberikan namun dengan tetap memperhatikan
perkembangan kondisi klinis pasien.
 Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada

4. DERAJAT SEDANG
a. Isolasi dan Pemantauan
 Rujuk ke Rumah Sakit ke Ruang Perawatan COVID-19/
Rumah Sakit Darurat COVID-19
 Isolasi di Rumah Sakit ke Ruang PerawatanCOVID-19/
Rumah Sakit Darurat COVID-19

b. Non Farmakologis
 Istirahat total, asupan kalori adekuat, kontrol elektrolit,
status hidrasi/terapi cairan, oksigen
 Pemantauan laboratorium Darah Perifer Lengkap
berikut dengan hitung jenis, bila memungkinkan
ditambahkan dengan CRP, fungsi ginjal, fungsi hati dan
foto toraks secara berkala.

c. Farmakologis
 Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl
0,9% habis dalam 1 jam diberikan secara drip Intravena
(IV) selama perawatan
 Diberikan terapi farmakologis berikut:
o Azitromisin 500 mg/24 jam per iv atau per oral
(untuk 5-7 hari) atau sebagai alternatif
Levofloksasin dapat diberikan apabila curiga ada
infeksi bakteri: dosis 750 mg/24 jam per iv atau
per oral (untuk 5-7 hari).
Ditambah
o Salah satu antivirus berikut :
 Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading
dose 1600 mg/12 jam/oral hari ke-1 dan
selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5)

Atau
 Remdesivir 200 mg IV drip (hari ke-1)
dilanjutkan 1x100 mg IV drip (hari ke 2-5 atau
hari ke 2-10)
 Antikoagulan LMWH/UFH berdasarkan evaluasi DPJP
(lihat halaman 66-75)
 Pengobatan simtomatis (Parasetamol dan lain-lain).
 Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada

5. DERAJAT BERAT ATAU KRITIS


a. Isolasi dan Pemantauan
 Isolasi di ruang isolasi Rumah Sakit Rujukan atau rawat
secara kohorting
 Pengambilan swab untuk PCR dilakukan sesuai Tabel 1.
b. Non Farmakologis
 Istirahat total, asupan kalori adekuat, kontrol elektrolit,
status hidrasi (terapi cairan), dan oksigen
 Pemantauan laboratorium Darah Perifer Lengkap
beriku dengan hitung jenis, bila memungkinkan
ditambahkan dengan CRP, fungsi ginjal, fungsi hati,
Hemostasis, LDH, D-dimer.
 Pemeriksaan foto toraks serial bila perburukan
 Monitor tanda-tanda sebagai berikut;
- Takipnea, frekuensi napas ≥ 30x/min,
- Saturasi Oksigen dengan pulse oximetry ≤93% (di
jari),
- PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg,
- Peningkatan sebanyak >50% di keterlibatan area
paru-paru pada pencitraan thoraks dalam 24-48 jam,
- Limfopenia progresif,
- Peningkatan CRP progresif,
- Asidosis laktat progresif.

 Monitor keadaan kritis


- Gagal napas yg membutuhkan ventilasi mekanik,
syok atau gagal multiorgan yang memerlukan
perawatan ICU. Bila terjadi gagal napas disertai
ARDS pertimbangkan penggunaan ventilator
mekanik (alur gambar 1)
- 3 langkah yang penting dalam pencegahan
perburukan penyakit, yaitu sebagai berikut
o Gunakan high flow nasal cannula (HFNC) atau
non-invasive mechanical ventilation (NIV) pada
pasien dengan ARDS atau efusi paru luas.
HFNC lebih disarankan dibandingkan NIV. (alur
gambar 1)
o Pembatasan resusitasi cairan, terutama pada
pasien dengan edema paru.
o Posisikan pasien sadar dalam posisi tengkurap
(awake prone position).

 Terapi oksigen:
- Inisiasi terapi oksigen jika ditemukan SpO2 <93%
dengan udara bebas dengan mulai dari nasal kanul
sampai NRM 15 L/menit, lalu titrasi sesuai target
SpO2 92 – 96%.
- Tingkatkan terapi oksigen dengan menggunakan
alat HFNC (High Flow Nasal Cannula) jika tidak
terjadi perbaikan klinis dalam 1 jam atau terjadi
perburukan klinis.
- Inisiasi terapi oksigen dengan alat HFNC; flow 30
L/menit, FiO2 40% sesuai dengan kenyamanan
pasien dan dapat mempertahankan target SpO2 92 -
96%
o Tenaga kesehatan harus menggunakan
respirator (PAPR, N95).

o Titrasi flow secara bertahap 5 – 10 L/menit,


diikuti peningkatan fraksi oksigen, jika
 Frekuensi nafas masih tinggi (>35x/menit)
 Target SpO2 belum tercapai (92 – 96%)
 Work of breathing yang masih meningkat
(dyspnea, otot bantu nafas aktif)
o Kombinasi Awake Prone Position + HFNC
selama 2 jam 2 kali sehari dapat memperbaiki

oksigenasi dan mengurangi kebutuhan akan


intubasi pada ARDS ringan hingga sedang.
o Evaluasi pemberian HFNC setiap 1 - 2 jam
dengan menggunakan indeks ROX.
o Jika pasien mengalami perbaikan dan mencapai
kriteria ventilasi aman (indeks ROX >4.88) pada
jam ke-2, 6, dan 12 menandakan bahwa pasien
tidak membutuhkan ventilasi invasif, sementara
ROX <3.85 menandakan risiko tinggi untuk
kebutuhan intubasi.
o Jika pada evaluasi (1–2 jam pertama), parameter
keberhasilan terapi oksigen dengan HFNC tidak
tercapai atau terjadi perburukan klinis pada
pasien, pertimbangkan untuk menggunakan
metode ventilasi invasif atau trial NIV.
o De-eskalasi bertahap pada penyapihan dengan
perangkat HFNC, dimulai dengan menurunkan
FiO2 5-10%/1-2 jam hingga mencapai fraksi
30%, selanjutnya flow secara bertahap 5-10 L/1-
2 jam) hingga mencapai 25 L.
o Pertimbangkan untuk menggunakan terapi
oksigen konvensional ketika flow 25 L/menit
dan FiO2 < 30%.

Indeks ROX = (SpO2 / FiO2) / laju napas

 NIV (Noninvasif Ventilation)


o Tenaga kesehatan harus menggunakan respirator
(PAPR, N95).
o Trial NIV selama 1-2 jam sebagai bagian dari transisi
terapi oksigen
o Inisiasi terapi oksigen dengan menggunakan NIV: mode
BiPAP atau NIV + PSV, tekanan inspirasi 12-14
cmH2O, PEEP 6-12 cmH2O. FiO2 40-60%.
o Titrasi tekanan inspirasi untuk mencapai target volume
tidal 6-8 ml/Kg; jika pada inisiasi penggunaan NIV,
dibutuhkan total tekanan inspirasi >20 cmH2O untuk
mencapai tidal volume yg ditargetkan, pertimbangkan untuk
segera melakukan metode ventilasi invasif. (tambahkan
penilaian alternatif parameter)
o Titrasi PEEP dan FiO2 untuk mempertahankan target
SpO2 92-96%.
o Evaluasi penggunaan NIV dalam 1-2 jam dengan target
parameter;
 Subjektif: keluhan dyspnea mengalami
perbaikan, pasien tidak gelisah
 Fisiologis: laju pernafasan <30x/menit. Work of
breathing menurun, stabilitas hemodniamik
 Objektif: SpO2 92-96%, pH >7,25, PaCO2; 30 –
55mmHg, PaO2 >60 mmHg, rasio PF > 200, TV
6-8 ml/kgBB.
o Pada kasus ARDS berat, gagal organ ganda dan syok
disarankan untuk segera melakukan ventilasi invasif.
o Jika pada evaluasi (1–2 jam pertama), parameter
keberhasilan dengan NIV tidak tercapai atau terjadi
perburukan klinis pada pasien, lakukan metode ventilasi
invasif.
o Kombinasi Awake Prone Position + NIV 2 jam 2 kali
sehari dapat memperbaiki oksigenasi dan mengurangi
kebutuhan akan intubasi pada ARDS ringan hingga
sedang.

NIV dan HFNC memiliki risiko terbentuknya aerosol,


sehingga jika hendak diaplikasikan, sebaiknya di
ruangan yang bertekanan negatif (atau di ruangan
dengan tekanan normal, namun pasien terisolasi dari
pasien yang lain) dengan standar APD yang lengkap.
Bila pasien masih belum mengalami perbaikan klinis
maupun oksigenasi setelah dilakukan terapi oksigen
ataupun ventilasi mekanik non invasif, maka harus
dilakukan penilaian lebih lanjut. Ventilasi Mekanik
invasif (Ventilator)
o Tenaga kesehatan harus menggunakan respirator (PAPR,
N95).
o Menetapkan target volume tidal yang rendah (4-8 ml/kgBB),
plateau pressure <30 cmH2O dan driving pressure <15
cmH2O. RR: 18 – 25 x/menit,
o Pada ARDS sedang – berat diterapkan protokol Higher
PEEP, dengan pemantauan terjadinya barotrauma pada
penggunaan PEEP >10 cmH2O.
o Pada ARDS sedang – berat yang mengalami hipoksemia
refrakter (meski parameter ventilasi optimal), dilakukan
ventilasi pada posisi prone selama 12-16 jam per hari
o Pada ARDS sedang – berat yang mengalami kondisi; dis-
sinkroni antar pasien dan ventilator yang persisten, plateau
pressure yang tinggi secara persisten dan ventilasi pada
posisi prone yang membutuhkan sedasi yang dalam,
pemberian pelumpuh otot secara kontinyu selama 48 jam
dapat dipertimbangkan.
o Penerapan strategi terapi cairan konservatif pada kondisi
ARDS
o Penggunaan mode Airway Pressure Release Ventilation
dapat dipertimbangkan pada pemakaian ventilator. Khusus
penggunaan mode APRV ini harus di bawah pengawasan
intensivis atau dokter spesialis anestesi.

 ECMO (Extra Corporeal Membrane Oxygenation)


Pasien COVID-19 dapat menerima terapi ECMO di RS tipe A
yang memiliki layanan dan sumber daya sendiri untuk
melakukan ECMO. Pasien COVID-19 kritis dapat menerima
terapi ECMO bila memenuhi indikasi ECMO setelah pasien
tersebut menerima terapi posisi prone (kecuali
dikontraindikasikan) dan terapi ventilator ARDS yang maksimal
menurut klinisi.

Indikasi ECMO :
1. PaO2/FiO2 <60mmHg selama >6 jam

2. PaO2/FiO2 <50mmHg selama >3 jam

3. pH <7,20 + Pa CO2 >80mmHg selama >6 jam

Kontraindikasi relatif :
1. Usia ≥ 65 tahun
2. Obesitas BMI ≥ 40
3. Status imunokompromis
4. Tidak ada ijin informed consent yang sah.

5. Penyakit gagal jantung sistolik kronik


6. Terdapat penyebab yang berpotensi reversibel (edema
paru, sumbatan mucus bronkus, abdominal compartment
syndrome)

Kontraindikasi absolut :
1. Clinical Frailty Scale Kategori ≥ 3
2. Ventilasi mekanik > 10 hari
3. Adanya penyakit komorbid yang bermakna :
a. Gagal ginjal kronik stage III
b. Sirosis hepatis
c. Demensia
d. Penyakit neurologis kronis yang tidak
memungkinkan rehabilitasi.
e. Keganasan metastase
f. Penyakit paru tahap akhir
g. Diabetes tidak terkontrol dengan disfungsi organ
kronik
h. Penyakit vaskular perifer berat
4. Gagal organ multipel berat
5. Injuri neurologik akut berat.
6. Perdarahan tidak terkontrol.
7. Kontraindikasi pemakaian antikoagulan.
8. Dalam proses Resusitasi Jantung Paru.
Komplikasi berat sering terjadi pada terapi ECMO seperti perdarahan,
stroke, pneumonia, infeksi septikemi, gangguan metabolik hingga mati otak.
Alur penentuan alat bantu napas mekanik sebagai berikut :

*Keterangan : Bila HFNC tidak tersedia saat diindikasikan, maka pasien langsung
diintubasi dan mendapatkan ventilasi mekanik invasif )

Gambar 1. Alur Penentuan Alat Bantu Napas Mekanik

c. Farmakologis
 Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis
dalam 1 jam diberikan secara drip Intravena (IV) selama
perawatan
 Vitamin B1 1 ampul/24 jam/intravena

 Vitamin D
- Suplemen: 400 IU-1000 IU/hari (tersedia dalam bentuk
tablet, kapsul, tablet effervescent, tablet kunyah, tablet
hisap, kapsul lunak, serbuk, sirup)

- Obat: 1000-5000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet


1000 IU dan tablet kunyah 5000 IU)
 Azitromisin 500 mg/24 jam per iv atau per oral (untuk 5-
7 hari) atau sebagai alternatif Levofloksasin dapat diberikan
apabila curiga ada infeksi bakteri: dosis 750 mg/24 jam per iv
atau per oral (untuk 5-7 hari).
 Bila terdapat kondisi sepsis yang diduga kuat oleh karena ko-
infeksi bakteri, pemilihan antibiotik disesuaikan dengan
kondisi klinis, fokus infeksi dan faktor risiko yang ada pada
pasien. Pemeriksaan kultur darah harus dikerjakan dan
pemeriksaan kultur sputum (dengan kehati-hatian khusus)
patut dipertimbangkan.
 Antivirus :
 Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading dose
1600 mg/12 jam/oral hari ke-1 dan selanjutnya 2 x
600 mg (hari ke 2-5)

Atau
 Remdesivir 200 mg IV drip (hari ke-1) dilanjutkan
1x100 mg IV drip (hari ke 2-5 atau hari ke 2-10)
 Antikoagulan LMWH/UFH berdasarkan evaluasi DPJP (lihat
halaman 66-75)
 Deksametason dengan dosis 6 mg/24 jam selama 10 hari atau
kortikosteroid lain yang setara seperti hidrokortison pada kasus
berat yang mendapat terapi oksigen atau kasus berat dengan
ventilator.
 Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada
 Apabila terjadi syok, lakukan tatalaksana syok sesuai pedoman
tatalaksana syok yang sudah ada (lihat hal. 55).
 Obat suportif lainnya dapat diberikan sesuai indikasi
 Pertimbangkan untuk diberikan terapi tambahan, sesuai dengan
kondisi klinis pasien dan ketersediaan di fasilitas pelayanan
kesehatan masing-masing apabila terapi standar tidak
memberikan respons perbaikan. Pemberian dengan
pertimbangan hati-hati dan melalui diskusi dengan tim
COVID-19 rumah sakit. Contohnya anti-IL 6 (tocilizumab),
plasma konvalesen, IVIG atau

Mesenchymal Stem Cell (MSCs) / Sel Punca, terapi

plasma exchange (TPE) dan lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai