NIM : D1A171468
KELAS : 7C REGULAR SORE
TUGAS 4 KESEHATAN MASYARAKAT
1. Jelaskan TBC !
A. Definisi Tuberkulosis
Penyakit TB adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis (MTB). Kuman TB berbentuk batang, disebut
pula sebagai basil tahan asam (BTA) karena mempunyai sifat khusus yaitu
tahan terhadap asam pada pewarnaan. Kuman TB cepat mati jika terpapar
sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat
gelap dan lembab. Sumber penularan penyakit TB adalah penderita dengan
BTA positif. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara lain: M.
tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M. Leprae dsb. (Kemenkes RI, 2018)
Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk droplet. Seseorang dapat terinfeksi jika droplet tersebut terhirup
ke dalam saluran napas. Kuman TB merupakan patogen intraseluler yang
dapat bertahan hidup dan berkembang biak di dalam makrofag. Saat masuk ke
dalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TB yang berada di dalam
makrofag dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lain melalui sistem
peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran napas, atau langsung menyebar
ke bagian tubuh lainnya. Kelompok bakteri Mycobacterium selain
Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran
nafas dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang
terkadang bisa mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan TB.
(Irianti , 2016 ; Kemenkes RI, 2018)
B. Patofisiologi
TB merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis yangmerupakan basil aerob, non-motil, dan tahan terhadap asam,
pengeringan serta alkohol. TB secara klasik dibagi menjadi primer dan
sekunder. TB primer terjadi pada penderita yang sebelumnya belum pernah
terpajan dengan M. tuberculosis. TB sekunder terjadi pada penderita yang
sebelumnya pernah tersensitasi oleh M. tuberculosis. Kemungkinan penularan
ini bergantung pada jumlah droplet yang ditransmisikan, durasi pajanan, serta
virulensi dari M. tuberculosis.
Patogenesis TB primer
Infeksi TB primer biasanya melalui saluran pernafasan. Infeksi terjadi
akibat inhalasi droplet (2–10μm) yang mengandung basil (1–4μm). Droplet
tersebut akan dibawa oleh silia ke bronkiolus terminalis dan alveoli. Inokulasi
terjadi pada area dengan ventilasi yang paling banyak, biasanya pada segmen
anterior lobus superior, lobus medius, lingula, dan segmen basal dari lobus
inferior. Makrofag alveolar akan menangkap basil. Basil TB tersebut akan
bereplikasi di dalam makrofag alveolar.
Makrofag alveolar akan berinteraksi dengan limfosit T dan menyebabkan
differensiasi makrofag menjadi hist iosit epiteloid. Histiosit epiteloid dan
limfosit akan beragregasi membentuk granuloma. Pada granuloma, limfosit T
CD4 akan mensekresi sitokin seperti interferon-γ yang akan mengaktivasi
makrofag untuk membunuh basil TB di dalamnya. Limfosit T CD 8 (limfosit
T sitotoksik) juga dapat langsung membunuh sel yang terinfeksi. Meskipun
demikian, basil TB tidak selalu tereliminasi dari granuloma, namun basil
tersebut dapat menjadi dorman. Granuloma juga dapat mengalami nekrosis di
bagian tengahnya.
Reaksi imunologis yang disebabkan oleh basil TB merupakan
hipersensitivitas tipe IV (lambat) yang akan bermanifestasi setelah kurang
lebih 4–10 minggu setelah infeksi. Pada saat tersebut, reaksi tuberkulin akan
menjadi positif. Reaksi ini akan menyebabkan nekrosis perkijuan pada fokus
infeksi dengan atau tanpa keterlibatan kelenjar getah bening (KGB). Fokus
primer di parenkim disebut sebagai fokus primer atau fokus Ghon. Kombinasi
fokus primer dengan pembesaran KGB yang menerima aliran limfatik dari
fokus primer tersebut dinamakan kompleks primer atau kompleks Ghon.
Fokus primer ini akan terjadi di daerah dengan ventilasi yang paling banyak,
biasanya pada segmen anterior lobus superior, lobus medius, lingula, dan
segmen basal dari lobus inferior. Fokus primer ini biasanya terdapat di daerah
subpleural. Limfangitis lokal yang terjadi antara fokus primer dan KGB
terkadang dapat terlihat pada foto toraks.
Perkembangan dari infeksi primer bergantung pada beberapa faktor
seperti jumlah dan virulensi dari basil TB, imunitas alami dan imunitas
spesifik yang dimiliki inang serta reaksi hipersensitivitas yang timbul. Pada
pasien yang imunokompeten, imunitas spesifik yang timbul biasanya cukup
untuk membatasi multiplikasi basil TB sehingga lesi akan sembuh tanpa
menimbulkan gejala. Pada kasus-kasus seperti ini, tes tuberkulin yang positif
dapat menjadi satu-satunya pertanda telah terjadi infeksi primer. Proses ini
terjadi pada 95% pasien yang imunokompeten.
Penyembuhan TB terjadi dengan resorpsi nekrosis kaseosa yang disertai
deposisi kolagen (fibrosis) dan kalsifikasi. Proses ini terjadi di paru, KGB
yang terlibat, maupun di jaringan ekstrapulmonal (ginjal, metafisis tulang
panjang, dan otak) yang berasal dari penyebaran hematogen yang minimal.
Gambaran radiologi dari lesi penyembuhan ini adalah fokus kalsifikasi.
Kombinasi fokus Ghon dengan kalsifikasi di KGB yang terlibat disebut
sebagai kompleks Ranke. Walaupun ada juga literatur yang menyamakan
istilah kompleks Ranke dengan kompleks Ghon atau kompleks primer.
Fokus Simon merupakan kalsifikasi di apeks paru yang merupakan tanda
lesi yang mengalami penyembuhan. Distribusi fokus Simon yang terdapat di
apeks paru menunjukkan telah terjadi penyebaran hematogen yang minimal.
Lesi penyembuhan ini dapat mengandung basil yang bersifat dorman yang
tetap memberikan stimulus antigenik terhadap reaksi hipersensitivitas. Pada
keadaan imunodepresi, basil ini dapat mengalami reaktivasi.Pada 5% populasi
yang terinfeksi, imunitas yang dimiliki tidak adekuat dan TB paru dapat
berkembang dalam satu tahun sejak terjadinya infeksi primer. Keadaan ini
disebut sebagai infeksi primer yang progresif.
Patogenesis TB sekunder
TB sekunder berasal dari reaktivasi fokus yang dorman. Pada 5% populasi
yang terinfeksi TB, reaktivasi endogen dapat terjadi beberapa tahun setelah
infeksi primer. Reaktivasi TB ini biasanya terjadi di apeks paru. Lesi di apeks
ini didapatkan melalui penyebaran hematogen selama infeksi primer beberapa
tahun sebelumnya. Segmen apikal dan posterior dari lobus superior serta
segmen apikal lobus inferior merupakan tempat reaktivasi sering terjadi. Hal
ini diakibatkan tekanan oksigen di tempat tersebut merupakan yang paling
tinggi dibandingkan bagian paru lainnya. Penjelasan lain adalah sistem
pengaliran limfatik di daerah tersebut yang kurang baik.
Lesi di apeks tersebut merupakan kelanjutan dari fokus Simon yang terjadi
setelah infeksi primer. Setelah reaktivasi, lesi di fokus Simon akan
berkonfluens, dan mengalami likuefaksi serta ekskavasi. Infeksi sekunder juga
dapat terjadi akibat reinfeksi, walaupun hal ini jarang terjadi bila pasien
berdomisili di negara-negara maju. (Ristaniah , 2012)
Gejala
Gejala utama pasien tb paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala laim seperti dahak bercampur darah ,
batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun , malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam
meriang lebih dari satu bulan.
Gejala-gejala tersebut dapat juga dijumpai pada penyakit paru selain TB,
seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.
Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap
orang yang datang ke fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap
sebagai seorang terduga pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak
secara mikroskopis langsung. (Kemenkes RI, 2014)
Klasifkasi Tuberkuosis
c. Foto toraks
Gambaran foto toraks bervariasi baik lokasi maupun bentuknya. Umumnya
gambaran foto toraks pada TB terdapat di apeks. Pada TB-HIV awal gambaran foto
toraks dapat sama dengan gambaran foto toraks TB pada umumnya, namun, Pada
pasien TB-HIV sering ditemukan gambaran TB milier. Pembagian tuberkulosis dapat
diidentifikasi sebagai :
Lesi minimal, jika proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas
tidak lebih dari sela iga dua depan (volume paru yang terletak di atas
chondrosternal junction dari iga dua depan dan processus spinosus dari vertebra
torakal empat atau korpus vertebra torakal lima), serta tidak dijumpai kavitas.
Lesi sedang, jika proses penyakit lebih luas dari lesi minimal tetapi tidak boleh
lebih luas dari satu paru atau jumlah seluruh proses yang ada paling banyak
seluas satu paru atau bila proses TB mempunyai densitas lebih padat dan lebih
tebal, maka luas proses tersebut tidak boleh lebih sepertiga luas satu paru. Bila
disertai kavitas, maka luas semua kavitas (diameter) tidak lebih dari 4 cm.
Respons terapi pada TB paru paling cepat dapat diketahui dari respons klinis
penderita, khususnya dengan menilai perbaikan keluhan batuk dan demam serta
peningkatan berat badan. Selain itu, respons terapi juga dapat dinilai dari respons
radiologis dengan menilai perbaikan gambaran foto toraks. Namun demikian, penilaian
respons terapi yang paling obyektif adalah respons mikrobiologis, yaitu terjadinya
konversi sputum dari positif menjadi negatif yang dapat dilihat dari pemeriksaan
hapusan dan kultur BTA (PDPI , 2006 ; Kemenkes RI, 2014 ).
OAT Lini kedua yang digunakan untuk kasus TB Resisten Obat (TRO) seperti
Floroquinolone (levofloxacin, moxifloxacin) , linezolid, kanamycin,
ethionamide, dan cycloserine. (Kemenkes RI , 2014)
d. Gangguan Imunitas
Terjadinya penyakit TB dipengaruhi oleh adanya penyakit komorbid yang
melemahkan system kekebalan tubuh manusia. Pada kondisi
immunocompromized seperti penderita Human Immunocompromized Virus
(HIV) , pasien yang terinfeksi penyakit HIV memiliki kadar sel CD4+ T yang
rendah dan memiliki viral load yang tinggi disertai defek fungsi makrofag dan
monosit. CD4 dan makrofag diketahui memiliki peran penting dalam pertahanan
tubuh terhadap mycobacterium tuberculosis. . (R. Duarte , 2018)
Pada penyakit Diabetes Melitus (DM) terjadi defek imun yang akan
menurunkan fungsi netrofil. Netrofil pada penderita DM memiliki daya
chemotaxis dan daya oxidative killing yang rendah. Daya bakterisidal leukosit
ditemukan berkurang pada penderita DM kemampuan mobilisasi, kemotaksis
dan fagositosis dari sel PMN menurun akibat kondisi hiperglikemia demikian
juga kemampuan deteksinya terhadap mikroorganisme juga menurun, diduga
akibat penurunan sensitivitas dan jumlah reseptor pada monositnya. (Al-Rifai
RH, 2017)
e. Tingkat sosioekonomi
Tingkat sosial ekonomi rendah mempunyai hubungan dengan pekerjaan
serta kondisi malnutrisi yang disebabkan oleh pendapatan yang rendah.
Lingkungan lembab, ventilasi yang buruk dan kurangnya sinar matahari berperan
dalam rantai penularan TB paru. M.tuberculosis merupakan bakteri yang tidak
tahan terhadap sinar ultraviolet, sehingga lingkungan yang lembab dan sinar
ultraviolet kurang menjadi risiko seseorang untuk menderita TB (Dotuolung ,
2015 ; R.Duarte, 2018).
f. Pendidikan
Tidak semua yang terinfeksi virus dengue akan menunjukkan manifestasi DBD
berat. Ada yang hanya bermanifestasi demam ringan yang akan sembuh dengan
sendirinya atau bahkan ada yang sama sekali tanpa gejala sakit (asimtomatik).
Sebagian lagi akan menderita demam dengue saja yang tidak menimbulkan kebocoran
plasma dan mengakibatkan kematian.
Sampai saat ini belum ada obat atau vaksin yang spesifik, tetapi bila pasien
berobat dini, dan mendapat penatalaksanaan yang adekuat, umumnya kasus-kasus
penyakit ini dapat diselamatkan.
Cara yang dapat dilakukan saat ini dengan menghindari atau mencegah gigitan
nyamuk penular DBD. Oleh karena itu upaya pengendalian DBD yang penting pada
saat ini adalah melalui upaya pengendalian nyamuk penular dan upaya membatasi
kematian karena DBD. Atas dasar itu maka upaya pengendalian DBD memerlukan
kerjasama dengan program dan sektor terkait serta peran serta masyarakat.
Kedua nyamuk penyebab DBD biasanya menginfeksi seseorang di pagi sampai sore hari
menjelang petang. Penularan terjadi saat nyamuk menggigit dan menghisap darah
seseorang yang sudah terinfeksi virus dengue, ketika nyamuk tersebut menggigit orang
lain, maka virus akan tersebar.
Bisa dibilang, nyamuk berperan sebagai medium pembawa (carrier) virus dengue tersebut.
Selain gigitan nyamuk, demam berdarah dipicu oleh faktor risiko tertentu. Beberapa faktor
risiko tersebut, di antaranya:
Bayi, anak-anak, orang lanjut usia, dan orang dengan kekebalan tubuh yang lemah.
Umumnya gejala demam berdarah bersifat ringan, dan muncul 4–7 hari sejak gigitan
nyamuk, dan dapat berlangsung selama 10 hari. Gejala biasanya menyerupai penyakit flu,
dan bisa saja berkembang menjadi semakin parah jika telat ditangani. Beberapa gejala
demam berdarah, yaitu:
Demam tinggi mencapai 40 derajat Celsius;
Nyeri kepala berat;
Mual dan muntah;
Jika sejumlah gejala yang telah disebutkan muncul, langkah diagnosis dilakukan dengan
pemeriksaan fisik dan wawancara medis, yang diikuti dengan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang dilakukan dengan memeriksa sampel darah di laboratorium.
Sebelum penyakit berkembang semakin parah, diskusikan dengan dokter saat mengalami
gejala ringan, ya.
Komplikasi yang membahayakan bisa saja terjadi saat demam berdarah terlambat untuk
ditangani. Berikut ini beberapa gejala parah yang menandakan jika demam berdarah sudah
masuk dalam intensitas berbahaya:
Tanda perdarahan, seperti mimisan, gusi berdarah, perdarahan di bawah kulit,
muntah hitam, batuk darah, maupun buang air besar dengan feses kehitaman;
Tekanan darah menurun;
Frekuensi buang air kecil menurun dan jumlah urine yang keluar sedikit;
Hingga kini belum ada pengobatan spesifik untuk mengatasi demam berdarah. Langkah
pengobatan dilakukan untuk mengatasi gejala yang muncul, serta mencegah infeksi virus
semakin parah. Berikut ini beberapa upaya yang dapat dilakukan:
Konsumsi obat penurun panas yang relatif aman dan dianjurkan dokter;
Terdapat berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah demam berdarah, yaitu:
Anak usia 9–16 tahun seharusnya divaksinasi dengue, sebanyak 3 kali dengan jarak
6 bulan;
Memberantas sarang nyamuk yang dilakukan dalam dua kali pengasapan
insektisida atau fogging dengan jarak 1 minggu;
Menguras tempat penampungan air, seperti bak mandi, minimal setiap minggu;
Menaburkan bubuk larvasida (abate) pada penampungan air yang sulit dikuras;
3. Corona 19
1. Tanpa gejala
Kondisi ini merupakan kondisi paling ringan. Pasien tidak ditemukan gejala.
2. Ringan
Pasien dengan gejala tanpa ada bukti pneumonia virus atau tanpa hipoksia.
Gejala yang muncul seperti demam, batuk, fatigue, anoreksia, napas pendek,
mialgia. Gejala tidak spesifik lainnya seperti sakit tenggorokan, kongesti
hidung, sakit kepala, diare, mual dan muntah, penghidu (anosmia) atau hilang
pengecapan (ageusia) yang muncul sebelum onset gejala pernapasan juga
sering dilaporkan. Pasien usia tua dan immunocompromised gejala atipikal
seperti fatigue, penurunan kesadaran, mobilitas menurun, diare, hilang nafsu
makan, delirium, dan tidak ada demam.
3. Sedang
Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis pneumonia
(demam, batuk, sesak, napas cepat) tetapi tidak ada tanda pneumonia berat
termasuk SpO2 > 93% dengan udara ruangan atau Anak-anak : pasien dengan
tanda klinis pneumonia tidak berat (batuk atau sulit bernapas + napas cepat
dan/atau tarikan dinding dada) dan tidak ada tanda pneumonia berat).
Kriteria napas cepat : usia <2 bulan, ≥60x/menit; usia 2–11 bulan,
≥50x/menit ; usia 1–5 tahun, ≥40x/menit ; usia >5 tahun,
≥30x/menit.
5. Kritis
Pasien dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS),
sepsis dan syok sepsis.
X X x
2. TANPA GEJALA
a. Isolasi dan Pemantauan
Isolasi mandiri di rumah selama 10 hari sejak
pengambilan spesimen diagnosis konfirmasi, baik
isolasi mandiri di rumah maupun di fasilitas publik yang
dipersiapkan pemerintah.
Pasien dipantau melalui telepon oleh petugas Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)
Kontrol di FKTP terdekat setelah 10 hari karantina
untuk pemantauan klinis
b. Non-farmakologis
Berikan edukasi terkait tindakan yang perlu dikerjakan
(leaflet untuk dibawa ke rumah):
Pasien :
- Selalu menggunakan masker jika keluar kamar dan
saat berinteraksi dengan anggota keluarga
- Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau
hand sanitizer sesering mungkin.
- Jaga jarak dengan keluarga (physical distancing)
- Upayakan kamar tidur sendiri / terpisah
- Menerapkan etika batuk (Diajarkan oleh tenaga
medis)
- Alat makan-minum segera dicuci dengan air/sabun
Lingkungan/kamar:
- Perhatikan ventilasi, cahaya dan udara
- Membuka jendela kamar secara berkala
- Bila memungkinkan menggunakan APD saat
membersihkan kamar (setidaknya masker, dan bila
memungkinkan sarung tangan dan goggle).
- Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau
hand sanitizer sesering mungkin.
- Bersihkan kamar setiap hari , bisa dengan air sabun
atau bahan desinfektan lainnya
Keluarga:
- Bagi anggota keluarga yang berkontak erat dengan
pasien sebaiknya memeriksakan diri ke
FKTP/Rumah Sakit.
- Anggota keluarga senanitasa pakai masker
- Jaga jarak minimal 1 meter dari pasien
- Senantiasa mencuci tangan
- Jangan sentuh daerah wajah kalau tidak yakin tangan
bersih
- Ingat senantiasa membuka jendela rumah agar
sirkulasi udara tertukar
- Bersihkan sesering mungkin daerah yg mungkin
tersentuh pasien misalnya gagang pintu dll
c. Farmakologi
Bila terdapat penyakit penyerta / komorbid,
dianjurkan untuk tetap melanjutkan pengobatan yang
rutin dikonsumsi. Apabila pasien rutin meminum terapi
obat antihipertensi dengan golongan obat ACE-inhibitor
dan Angiotensin Reseptor Blocker perlu berkonsultasi ke
Dokter Spesialis Penyakit Dalam atau Dokter Spesialis
Jantung
Vitamin C (untuk 14 hari), dengan pilihan ;
- Tablet Vitamin C non acidic 500 mg/6-8 jam oral
(untuk 14 hari)
- Tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam oral (selama
30 hari)
- Multivitamin yang mengandung vitamin C 1-2
tablet /24 jam (selama 30 hari),
- Dianjurkan multivitamin yang mengandung
vitamin C,B, E, Zink
Vitamin D
- Suplemen: 400 IU-1000 IU/hari (tersedia dalam
bentuk tablet, kapsul, tablet effervescent, tablet
kunyah, tablet hisap, kapsul lunak, serbuk, sirup)
- Obat: 1000-5000 IU/hari (tersedia dalam bentuk
tablet 1000 IU dan tablet kunyah 5000 IU)
Obat-obatan suportif baik tradisional (Fitofarmaka)
maupun Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) yang
teregistrasi di BPOM dapat dipertimbangkan untuk
diberikan namun dengan tetap memperhatikan
perkembangan kondisi klinis pasien.
Obat-obatan yang memiliki sifat antioksidan dapat
diberikan.
3. DERAJAT RINGAN
a. Isolasi dan Pemantauan
b. Non Farmakologis
Edukasi terkait tindakan yang harus dilakukan (sama dengan
edukasi tanpa gejala).
c. Farmakologis
Vitamin C dengan pilihan:
- Tablet Vitamin C non acidic 500 mg/6-8 jam oral
(untuk 14 hari)
- Tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam oral (selama
30 hari)
- Multivitamin yang mengandung vitamin c 1-2 tablet
/24 jam (selama 30 hari),
- Dianjurkan vitamin yang komposisi mengandung
vitamin C, B, E, zink
Vitamin D
- Suplemen: 400 IU-1000 IU/hari (tersedia dalam
bentuk tablet, kapsul, tablet effervescent, tablet
kunyah, tablet hisap, kapsul lunak, serbuk, sirup)
- Obat: 1000-5000 IU/hari (tersedia dalam bentuk
tablet 1000 IU dan tablet kunyah 5000 IU)
Azitromisin 1 x 500 mg perhari selama 5 hari
Antivirus :
- Oseltamivir (Tamiflu) 75 mg/12 jam/oral selama
5- 7 hari (terutama bila diduga ada infeksi
influenza) ATAU
- Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading dose
1600 mg/12 jam/oral hari ke-1 dan selanjutnya 2 x
600 mg (hari ke 2-5)
Pengobatan simtomatis seperti parasetamol bila demam.
Obat-obatan suportif baik tradisional (Fitofarmaka)
maupun Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) yang
teregistrasi di BPOM dapat dipertimbangkan untuk
diberikan namun dengan tetap memperhatikan
perkembangan kondisi klinis pasien.
Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada
4. DERAJAT SEDANG
a. Isolasi dan Pemantauan
Rujuk ke Rumah Sakit ke Ruang Perawatan COVID-19/
Rumah Sakit Darurat COVID-19
Isolasi di Rumah Sakit ke Ruang PerawatanCOVID-19/
Rumah Sakit Darurat COVID-19
b. Non Farmakologis
Istirahat total, asupan kalori adekuat, kontrol elektrolit,
status hidrasi/terapi cairan, oksigen
Pemantauan laboratorium Darah Perifer Lengkap
berikut dengan hitung jenis, bila memungkinkan
ditambahkan dengan CRP, fungsi ginjal, fungsi hati dan
foto toraks secara berkala.
c. Farmakologis
Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl
0,9% habis dalam 1 jam diberikan secara drip Intravena
(IV) selama perawatan
Diberikan terapi farmakologis berikut:
o Azitromisin 500 mg/24 jam per iv atau per oral
(untuk 5-7 hari) atau sebagai alternatif
Levofloksasin dapat diberikan apabila curiga ada
infeksi bakteri: dosis 750 mg/24 jam per iv atau
per oral (untuk 5-7 hari).
Ditambah
o Salah satu antivirus berikut :
Favipiravir (Avigan sediaan 200 mg) loading
dose 1600 mg/12 jam/oral hari ke-1 dan
selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5)
Atau
Remdesivir 200 mg IV drip (hari ke-1)
dilanjutkan 1x100 mg IV drip (hari ke 2-5 atau
hari ke 2-10)
Antikoagulan LMWH/UFH berdasarkan evaluasi DPJP
(lihat halaman 66-75)
Pengobatan simtomatis (Parasetamol dan lain-lain).
Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada
Terapi oksigen:
- Inisiasi terapi oksigen jika ditemukan SpO2 <93%
dengan udara bebas dengan mulai dari nasal kanul
sampai NRM 15 L/menit, lalu titrasi sesuai target
SpO2 92 – 96%.
- Tingkatkan terapi oksigen dengan menggunakan
alat HFNC (High Flow Nasal Cannula) jika tidak
terjadi perbaikan klinis dalam 1 jam atau terjadi
perburukan klinis.
- Inisiasi terapi oksigen dengan alat HFNC; flow 30
L/menit, FiO2 40% sesuai dengan kenyamanan
pasien dan dapat mempertahankan target SpO2 92 -
96%
o Tenaga kesehatan harus menggunakan
respirator (PAPR, N95).
Indikasi ECMO :
1. PaO2/FiO2 <60mmHg selama >6 jam
Kontraindikasi relatif :
1. Usia ≥ 65 tahun
2. Obesitas BMI ≥ 40
3. Status imunokompromis
4. Tidak ada ijin informed consent yang sah.
Kontraindikasi absolut :
1. Clinical Frailty Scale Kategori ≥ 3
2. Ventilasi mekanik > 10 hari
3. Adanya penyakit komorbid yang bermakna :
a. Gagal ginjal kronik stage III
b. Sirosis hepatis
c. Demensia
d. Penyakit neurologis kronis yang tidak
memungkinkan rehabilitasi.
e. Keganasan metastase
f. Penyakit paru tahap akhir
g. Diabetes tidak terkontrol dengan disfungsi organ
kronik
h. Penyakit vaskular perifer berat
4. Gagal organ multipel berat
5. Injuri neurologik akut berat.
6. Perdarahan tidak terkontrol.
7. Kontraindikasi pemakaian antikoagulan.
8. Dalam proses Resusitasi Jantung Paru.
Komplikasi berat sering terjadi pada terapi ECMO seperti perdarahan,
stroke, pneumonia, infeksi septikemi, gangguan metabolik hingga mati otak.
Alur penentuan alat bantu napas mekanik sebagai berikut :
*Keterangan : Bila HFNC tidak tersedia saat diindikasikan, maka pasien langsung
diintubasi dan mendapatkan ventilasi mekanik invasif )
c. Farmakologis
Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis
dalam 1 jam diberikan secara drip Intravena (IV) selama
perawatan
Vitamin B1 1 ampul/24 jam/intravena
Vitamin D
- Suplemen: 400 IU-1000 IU/hari (tersedia dalam bentuk
tablet, kapsul, tablet effervescent, tablet kunyah, tablet
hisap, kapsul lunak, serbuk, sirup)
Atau
Remdesivir 200 mg IV drip (hari ke-1) dilanjutkan
1x100 mg IV drip (hari ke 2-5 atau hari ke 2-10)
Antikoagulan LMWH/UFH berdasarkan evaluasi DPJP (lihat
halaman 66-75)
Deksametason dengan dosis 6 mg/24 jam selama 10 hari atau
kortikosteroid lain yang setara seperti hidrokortison pada kasus
berat yang mendapat terapi oksigen atau kasus berat dengan
ventilator.
Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada
Apabila terjadi syok, lakukan tatalaksana syok sesuai pedoman
tatalaksana syok yang sudah ada (lihat hal. 55).
Obat suportif lainnya dapat diberikan sesuai indikasi
Pertimbangkan untuk diberikan terapi tambahan, sesuai dengan
kondisi klinis pasien dan ketersediaan di fasilitas pelayanan
kesehatan masing-masing apabila terapi standar tidak
memberikan respons perbaikan. Pemberian dengan
pertimbangan hati-hati dan melalui diskusi dengan tim
COVID-19 rumah sakit. Contohnya anti-IL 6 (tocilizumab),
plasma konvalesen, IVIG atau