Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan sebuah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini memiliki bentuk batang dan memiliki sifat
tahan asam yang membuatnya juga dikenal sebagai Batang Tahan Asam (BTA).
Penemuan bakteri ini dilakukan oleh Robert Koch pada tahun 1882 dan seringkali
menyerang organ paru-paru lebih sering daripada bagian tubuh lainnya pada manusia.

Proses diagnosis memiliki peran krusial dalam penanganan tuberkulosis (TB).


Dengan diagnosis yang akurat, penanganan yang tepat dapat dilakukan. Penanganan
yang tepat ini berarti dapat mengurangi angka kejadian dan kematian akibat TB, serta
mencegah penyebaran penyakit ini. Gagal dalam diagnosis dapat mengakibatkan
kehilangan kesempatan untuk mendeteksi TB secara dini, yang pada akhirnya
meningkatkan tingkat keparahan penyakit pada pasien dan meningkatkan risiko
penularan kepada keluarga dan masyarakat. Diagnosis TB paru umumnya melibatkan
pemeriksaan klinis (melalui wawancara terhadap keluhan pasien dan pemeriksaan
fisik), pemeriksaan foto rontgen thoraks, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan
penunjang lainnya.

Pemeriksaan radiologi pada area dada merupakan suatu prosedur yang sangat penting.
Perkembangan pesat dalam teknik pemeriksaan radiologi dada selama dekade terakhir
dan pemahaman dalam mengevaluasi hasil radiografi dada telah menjadikan
pemeriksaan sinar-X dada sebagai suatu rutinitas yang tidak dapat diabaikan. Saat ini,
pemeriksaan paru tanpa sinar-X dianggap tidak lengkap dan diagnosis penyakit paru
belum dapat dipastikan secara pasti tanpa adanya pemeriksaan radiologi. Selain itu,
berbagai kelainan paru dapat terlihat jelas pada foto sinar-X sebelum gejala klinis
muncul, sehingga pemeriksaan rutin pada individu tanpa keluhan (pemindaian dada
massal) telah menjadi prosedur umum dalam upaya pemantauan kesehatan
masyarakat, seperti yang dilakukan pada mahasiswa, murid sekolah, anggota
pemerintahan, karyawan perusahaan, dan lainnya. Misalnya, suatu lesi tuberkulosis
dengan diameter hanya 2 mm mungkin dapat terdeteksi pada foto sinar-X, sementara
pemeriksaan fisik secara klinis tentu tidak akan berhasil menemukan lesi sekecil itu.

Tidak ada metode lain yang memiliki tingkat penting yang sebanding dengan
pemeriksaan radiologi dalam hal dokumentasi dan evaluasi berkala yang objektif.
Foto sinar-X yang diambil pada waktu tertentu dapat menjadi dokumen abadi dari
kondisi penyakit seorang pasien, dan dapat digunakan dan dibandingkan dengan foto
yang diambil pada waktu lainnya.

Maka dari itu, pemahaman yang baik tentang modalitas radiologi terutama foto sinar-
X sangat penting bagi seorang dokter dalam penanganan kasus Tuberkulosis. Dengan
memiliki pengetahuan dasar tentang citra radiologi pada pasien dengan Tuberkulosis,
dokter dapat mendiagnosis masalah yang terjadi pada pasien dengan akurat dan
melakukan terapi yang sesuai.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi TB

Tuberkulosis adalah penyakit menular kronis yang disebabkan oleh bakteri


Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini memiliki bentuk batang dan sifat tahan
asam, yang sering disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Meskipun sebagian
besar bakteri TB menginfeksi jaringan paru dan menyebabkan TB paru, bakteri ini
juga dapat menginfeksi organ tubuh lainnya (TB ekstra paru) seperti pleura, kelenjar
limfe, tulang, dan organ ekstra paru lainnya.

2.2 Etiologi dan transmisi TB

Ada lima jenis bakteri yang terkait dengan infeksi Tuberkulosis (TB), yaitu
Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis, Mycobacterium africanum,
Mycobacterium microti, dan Mycobacterium canettii. M.tuberculosis (M.TB) adalah
bakteri yang paling umum ditemukan dan menular antara manusia melalui udara.

Tidak ada hewan yang berperan sebagai penyebar M.TB. Namun, M. bovis dapat
bertahan dalam susu sapi yang terinfeksi dan dapat menginfeksi saluran pencernaan
dan jaringan limfatik pada manusia melalui konsumsi susu sapi yang terinfeksi
tersebut. Insiden infeksi M.bovis pada manusia telah menurun secara signifikan di
negara-negara berkembang karena adanya proses pasteurisasi susu dan strategi
pengendalian TB yang efektif pada hewan ternak. Infeksi oleh jenis organisme
lainnya jarang ditemukan.

Tuberkulosis dapat menular melalui udara saat seseorang yang terinfeksi TB paru
atau TB laring batuk, bersin, atau bicara, melepaskan percikan kecil bernama droplet
nucleus (<5 mikron). Percikan ini juga dapat terjadi selama prosedur medis seperti
induksi sputum, bronkoskopi, dan manipulasi jaringan di laboratorium. Partikel kecil
tersebut dapat mengandung 1-5 basili TB dan tetap infeksius dalam udara selama 4
jam, mampu mencapai ruang alveoli dalam paru-paru untuk melakukan replikasi.

Terdapat 3 faktor yang mempengaruhi transmisi M.TB:

1. Jumlah organisme yang keluar ke udara


2. Konsentrasi organisme yang ada di udara, ditentukan oleh volume ruang dan
ventilasi.
3. Lama seseorang menghirup udara yang terkontaminasi.

2.3 Faktor risiko TB

Ada beberapa kelompok orang yang memiliki risiko lebih tinggi terkena penyakit TB,
antara lain:

1. Orang dengan HIV positif dan kondisi imunokompromais lainnya.


2. Orang yang menggunakan obat imunosupresan dalam jangka waktu yang
lama.
3. Perokok.
4. Pengguna alkohol secara berlebihan.
5. Anak-anak usia di bawah 5 tahun dan lansia.
6. Individu yang memiliki kontak dekat dengan orang yang menderita TB aktif
yang mudah menular.
7. Mereka yang tinggal atau bekerja di tempat dengan risiko tinggi terpapar TB
(misalnya, lembaga pemasyarakatan, fasilitas perawatan jangka panjang).
8. Tenaga medis.

2.4 Patogenesis TB

Setelah inhalasi, nukleus percik renik terbawa ke bronkiolus respiratorik atau


alveolus, di mana makrofag alveolus akan mencerna nukleus tersebut dan
menghasilkan respons nonspesifik terhadap bakteri. Jika bakteri berhasil bertahan,
mereka akan bermultiplikasi di dalam makrofag. Mycobacterium, tanpa endotoksin
atau eksotoksin, tumbuh perlahan dalam makrofag selama 2-12 minggu sebelum
menyebabkan respons imun seluler dan menyebar ke organ lain. Organ seperti
sumsum tulang, hati, dan limpa mudah terinfeksi, sementara organ seperti paru-paru
bagian atas, ginjal, tulang, dan otak memberikan kondisi yang mendukung
pertumbuhan bakteri.

1. TB primer

Infeksi primer TB terjadi pada paparan pertama terhadap bakteri


Mycobacterium tuberculosis. Percik renik yang mengandung bakteri terhirup
dan menempati alveolus terminal paru, di mana bakteri mengalami
terfagosistosis oleh makrofag. Respon inflamasi ini disebut Ghon focus dan
terjadi migrasi bakteri dan antigen ke nodus limfe hilus, membentuk
kompleks primer. Di dalam nodus limfe, respon imun spesifik terbentuk dan
makrofag diaktivasi untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Fokus primer
ini mengandung banyak basili yang terus berkembang. Beberapa basili tetap
dorman sebagai "kuman laten" dalam fokus primer. Infeksi primer umumnya
asimtomatik dan menunjukkan hasil tuberkulin positif dalam beberapa
minggu. Namun, jika respons imun tidak cukup kuat, basili dapat menyebar
melalui sistem limfatik dan darah, menyebabkan penyakit TB aktif dalam
beberapa bulan. TB primer progresif pada paru-paru menyebabkan
pembesaran fokus primer dan terbentuknya kavitas, mirip dengan TB post
primer.
Gambar 2.1 Tuberculosis primer dengan konsolidasi dan limfadenopati pada wanita
21 tahun. Pada foto toraks PA terlihat konsolidasi ruang udara di paru kanan tengah.
(Joo Jeong et. al., 2008)

2. TB pasca primer

TB pasca primer terjadi setelah sensitivitas terhadap bakteri TB pada host


yang sebelumnya telah terinfeksi. Ini bisa terjadi melalui reaktivasi kuman
laten yang beristirahat dalam jaringan selama beberapa bulan atau tahun
setelah infeksi primer, terutama pada individu dengan sistem imun yang
lemah seperti mereka yang terinfeksi HIV. Reinfeksi juga dapat terjadi ketika
seseorang yang telah mengalami infeksi primer terpapar kembali oleh orang
yang aktif terinfeksi TB. Pada kasus-kasus ini, penyakit intra-torakal biasanya
berkembang dengan cepat, terutama pada anak-anak. Gambaran radiologi
sering menunjukkan limfadenopati intratorakal dan infiltrat paru. TB post
primer umumnya mempengaruhi paru-paru dengan kavitas pada lobus
superior dan kerusakan yang luas. Pemeriksaan sputum positif dan
limfadenopati intratorakal biasanya tidak ditemukan.
2.5 Gejala klinis TB paru

Manifestasi klinis penyakit TB bervariasi tergantung pada lokasi lesi. Gejala yang
mungkin timbul antara lain:

1. Batuk selama sekitar 2 minggu


2. Batuk dengan dahak
3. Batuk dengan dahak yang bercampur darah
4. Nyeri dada yang mungkin terjadi
5. Sesak napas

Gejala lain yang mungkin muncul meliputi:

1. Rasa lelah yang berlebihan


2. Penurunan berat badan
3. Hilangnya nafsu makan
4. Menggigil
5. Demam
6. Keringat berlebihan pada malam hari

2.6 Diagnosis tuberkulosis

Semua pasien yang dicurigai mengalami TB harus menjalani pemeriksaan


bakteriologis untuk konfirmasi. Metode ini mencakup apusan dan biakan sediaan
biologis, identifikasi M. tuberculosis, atau penggunaan metode diagnostik cepat yang
direkomendasikan oleh WHO.

Di wilayah dengan laboratorium yang dipantau mutunya, TB Paru BTA positif dapat
didiagnosis berdasarkan hasil positif BTA minimal dari satu spesimen. Namun, di
daerah tanpa pemantauan mutu laboratorium, kasus TB Paru BTA positif
membutuhkan minimal dua spesimen dengan hasil BTA positif.

WHO merekomendasikan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan terhadap rifampisin


dan isoniazid pada kelompok pasien berikut:
1. Pasien yang telah menjalani pengobatan OAT sebelumnya, karena resistensi
obat TB sering ditemukan pada kasus gagal pengobatan sebelumnya.
2. Pasien dengan HIV yang didiagnosis dengan TB aktif, terutama jika tinggal di
daerah dengan tingkat resistensi obat TB yang tinggi.
3. Pasien TB aktif yang terpapar dengan pasien TB resisten obat.
4. Pasien baru di daerah dengan tingkat kasus TB resisten obat primer >3%.
5. Pasien baru atau yang telah menjalani pengobatan OAT dengan hasil sputum
BTA yang tetap positif pada akhir fase intensif. Disarankan untuk melakukan
pemeriksaan sputum BTA pada bulan berikutnya.

Pemeriksaan biakan dan uji kepekaan obat dapat dilakukan dengan dua metode:
metode konvensional dan metode cepat.

1. Metode konvensional menggunakan media padat (Lowenstein Jensen/LJ atau


Ogawa) dan media cair MGIT (Mycobacterium growth indicator tube) untuk
pemeriksaan biakan M.TB. Biakan pada media cair membutuhkan waktu
minimal 2 minggu, lebih cepat daripada media padat yang memerlukan waktu
28-42 hari.
2. Metode cepat menggunakan pemeriksaan molekuler untuk mendeteksi DNA
M.TB. Metode ini dapat membedakan M.TB dengan Non-Tuberculous
Mycobacteria (NTM) dan mendeteksi mutasi pada gen yang terkait dengan
resistensi terhadap obat antituberkulosis. WHO merekomendasikan
penggunaan Xpert MTB/RIF untuk deteksi resistensi rifampisin, dan second
line line probe assay (SL-LPA) untuk resistensi obat anti tuberkulosis lini 2.
Deteksi gen pengkode resistensi OAT lainnya dapat dilakukan menggunakan
metode sekuensing, namun tidak diterapkan secara rutin karena membutuhkan
peralatan mahal dan keahlian khusus. WHO merekomendasikan pemeriksaan
molekuler line probe assay (LPA) dan TCM secara langsung pada spesimen
sputum.
Pemeriksaan dengan TCM dapat mendeteksi M. tuberculosis dan gen pengkode
resistan rifampisin dalam waktu sekitar 2 jam. Meskipun demikian, metode
konvensional dengan biakan dan uji kepekaan tetap digunakan sebagai standar emas
untuk konfirmasi hasil uji kepekaan obat. Penggunaan TCM tidak menggantikan
metode konvensional yang diperlukan untuk diagnosis definitif TB, terutama pada
pasien dengan hasil mikroskopis BTA negatif dan untuk mengetahui resistensi obat
selain rifampisin.

Jika tidak dapat memperoleh sputum secara spontan, tindakan induksi sputum atau
prosedur invasif seperti bronkoskopi atau torakoskopi dapat dilakukan. Pemeriksaan
tambahan pada semua pasien TB yang dikonfirmasi bakteriologis atau terdiagnosis
secara klinis meliputi pemeriksaan HIV dan gula darah. Pemeriksaan lainnya
dilakukan sesuai indikasi seperti fungsi hati, fungsi ginjal, dan lain-lain.
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus menggunakan pemeriksaan
bakteriologis seperti mikroskopis, tes cepat molekuler TB, dan biakan. Pemeriksaan
TCM digunakan untuk penegakan diagnosis, sementara pemantauan pengobatan tetap
dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis. Diagnosis TB tidak boleh hanya
berdasarkan foto toraks karena tidak spesifik dan dapat menyebabkan over diagnosis
atau under diagnosis. Pemeriksaan serologis tidak boleh digunakan untuk
mendiagnosis TB.
2.7 Pengobatan tuberkulosis paru

1. Tujuan pengobatan tuberkulosis (TB) meliputi:


a. Memulihkan kesehatan, menjaga kualitas hidup, dan produktivitas
pasien.
b. Mencegah kematian akibat TB aktif atau komplikasi yang terkait.
c. Mencegah terjadinya kekambuhan TB.
d. Mengurangi penularan TB kepada orang lain.
e. Mencegah perkembangan dan penyebaran resistensi terhadap obat.
2. Prinsip pengobatan tuberkulosis (TB) meliputi penggunaan obat anti-
tuberkulosis (OAT) sebagai komponen utama. Pengobatan TB merupakan
metode efektif dalam mencegah penyebaran bakteri penyebab TB yang lebih
lanjut. Prinsip pengobatan TB yang harus dipenuhi adalah:
a. Menggunakan kombinasi OAT yang tepat, dengan minimal 4 jenis
obat, untuk mencegah resistensi.
b. Memberikan dosis yang sesuai.
c. Menjalankan pengobatan secara teratur dengan pengawasan langsung
oleh PMO (pengawas menelan obat) hingga selesai masa pengobatan.
d. Melakukan pengobatan dalam periode yang cukup, dengan tahap awal
dan tahap lanjutan, guna mencegah kekambuhan.
3. Pengobatan TB terdiri dari 2 tahap, yaitu:
a. Tahap awal

Pengobatan diberikan secara harian dengan tujuan menurunkan jumlah


kuman dalam tubuh pasien secara efektif dan mengurangi pengaruh
kuman yang mungkin sudah resisten sebelum pengobatan. Pada tahap
awal pengobatan untuk semua pasien baru, pengobatan harus
dilakukan selama 2 bulan. Dalam kondisi umum, dengan pengobatan
yang teratur dan tanpa komplikasi, tingkat penularan sudah menurun
signifikan setelah 2 minggu pertama pengobatan.
b. Tahap lanjutan

Pengobatan tahap lanjutan bertujuan untuk membunuh sisa-sisa kuman


yang masih ada dalam tubuh, termasuk kuman yang persisten, untuk
mencapai kesembuhan dan mencegah kekambuhan. Durasi tahap
lanjutan adalah 4 bulan dengan pemberian obat setiap hari.

Dosis rekomendasi harian 3 kali per minggu

Dosis Maksimum Dosis Maksimum


(mg/kgBB) (mg) (mg/kgBB) (mg)

Isoniazid 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900

Rifampisin 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600

Pirazinamid 25 (20-30) - 35 (30-40) -

Etambutol 15 (15-20) - 30 (25-35) -

Streptomisin* 15 (12-18) - 15 (12-18) -

*) Pasien usia di atas 60 tahun memiliki batasan dosis harian sekitar 500-700 mg.
Pedoman merekomendasikan dosis sekitar 10 mg/kg BB untuk kelompok usia ini.
Pasien dengan berat badan di bawah 50 kg memiliki batasan dosis harian sekitar 500-
750 mg.

2.8. Tuberkulosis resisten obat

Resistensi kuman M.tuberculosis terhadap OAT terjadi ketika kuman tersebut tidak
lagi dapat dibunuh oleh OAT. TB resistan obat (TB-RO) dapat disebabkan oleh
pengobatan yang tidak adekuat atau penularan dari pasien TB-RO.

A. Kategori resistansi terhadap OAT

Terdapat 5 kategori resistansi terhadap obat anti-TB, yaitu:

1. Monoresistance: Resistan terhadap satu OAT, seperti isoniazid (H).


2. Polyresistance: Resistan terhadap lebih dari satu OAT, kecuali
kombinasi isoniazid (H) dan rifampisin (R), misalnya isoniazid dan
etambutol (HE), rifampisin dan etambutol (RE), isoniazid, etambutol,
dan streptomisin (HES), rifampisin, etambutol, dan streptomisin
(RES).
3. Multi-drug resistance (MDR): Resistan terhadap isoniazid dan
rifampisin, dengan atau tanpa OAT lini pertama lainnya, misalnya HR,
HRE, HRES.
4. Pre-extensive drug resistance (pre-XDR): TB MDR dengan resistansi
terhadap obat golongan fluorokuinolon atau OAT injeksi lini kedua
(kapreomisin, kanamisin, dan amikasin).
5. Extensive drug resistance (XDR): TB MDR dengan resistansi terhadap
obat golongan fluorokuinolon dan OAT injeksi lini kedua
(kapreomisin, kanamisin, dan amikasin).
6. TB resistan rifampisin (TB RR): Resistan terhadap rifampisin
(monoresistan, poliresistan, TB MDR, TB XDR) yang terdeteksi
menggunakan metode fenotip atau genotip, dengan atau tanpa
resistansi OAT lainnya.
B. Kriteria terduga TB resistan obat

Terduga TB-RO termasuk orang dengan gejala TB dan salah satu atau lebih kriteria
berikut:

1. Pasien TB gagal pengobatan kategori 2.


2. Pasien TB kategori 2 yang tidak konversi setelah 3 bulan pengobatan.
3. Pasien TB dengan riwayat pengobatan TB yang tidak standar,
termasuk penggunaan kuinolon dan obat injeksi lini kedua selama
minimal 1 bulan.
4. Pasien TB kategori 1 yang gagal pengobatan.
5. Pasien TB kategori 1 yang tidak konversi.
6. Pasien TB kasus kambuh (relaps) kategori 1 dan kategori 2.
7. Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up (lalai
berobat/default).
8. Terduga TB yang memiliki riwayat kontak erat dengan pasien TB-RO.
9. Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak merespons secara klinis maupun
bakteriologis terhadap pemberian OAT (jika diagnosis awal tidak
menggunakan TCM).
Pasien dengan salah satu kriteria di atas merupakan risiko tinggi terhadap TB RO
dan harus segera dilakukan penegakan diagnosis. Pasien yang mencurigakan TB
RO harus dirujuk ke fasyankes TCM untuk pemeriksaan TCM. Jika hasil TCM
menunjukkan resistensi rifampisin, dilakukan uji kepekaan M. tuberculosis. Pada
pasien TB baru dengan hasil TCM TB-RR, perlu dilakukan pemeriksaan TCM
tambahan untuk memastikan diagnosis.

C. Alur diagnosis TB-RO


D. Pengobatan pasien TB-RO
1. Pengobatan dengan paduan angka pendek
Dosis obat berdasarkan pengelompokan berat badan adalah:

*) Pada pasien usia >59 tahun, dosis maksimum kanamisin adalah 0,75 g. Jika
kanamisin tidak dapat diberikan, dapat diganti dengan kapreomisin dengan dosis yang
sama.
**) Untuk INH, dosisnya adalah 450 mg untuk pasien dengan berat badan 33-40 kg
dan 600 mg untuk pasien dengan berat badan >40 kg.
#) Mengingat ketersediaan obat Clofazimin saat ini, pasien dengan berat badan <33
kg diberikan Clofazimin 100 mg setiap dua hari.

2. Pengobatan dengan paduan individual (jangka panjang)


2.7 Prognosis tuberkulosis paru

Tanpa pengobatan, angka kematian akibat tuberkulosis dapat mencapai 50% dalam 7
tahun. Namun, kesembuhan dari tuberkulosis setelah menjalani pengobatan lengkap
dinilai sangat baik, terutama pada kasus-kasus TB non-MDR dan non-XDR dengan
recovery penuh atau komplikasi minimal. Pasien dengan MDR dan XDR memiliki
kemungkinan kesembuhan yang lebih rendah, tergantung pada jenis obat yang
resisten dan tingkat kerusakan paru yang sudah terjadi.

Risiko kematian/komplikasi meningkat terkait dengan faktor-faktor seperti usia


(terlalu muda atau terlalu tua), merokok, keterlambatan dalam diagnosis dan
pengobatan, kondisi immunocompromised, dan diabetes.
BAB 3

PENUTUP

Tuberkulosis (TB) paru adalah infeksi Mycobacterium tuberculosis yang umum


terjadi. Gejalanya meliputi batuk berdahak yang berlangsung selama 2-3 minggu atau
lebih, dapat disertai batuk darah, kelelahan, penurunan berat badan, dan berkeringat
malam hari. Orang dengan gejala ini dianggap sebagai suspek TB, dan perlu
dilakukan pemeriksaan tambahan untuk mendiagnosis TB.

Pemeriksaan dahak mikroskopis dengan menemukan Basil Tahan Asam (BTA)


merupakan metode diagnosis utama, namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto
toraks juga diperlukan. Penatalaksanaan TB bertujuan untuk kesembuhan,
menurunkan penularan, mencegah kematian, dan relaps. Regimen pengobatan
melibatkan kombinasi obat seperti INH, Rifampisin, Priazinamid, Streptomisin, dan
Ethambutol dengan dosis disesuaikan berdasarkan berat badan pasien. Pasien TB
yang menjalani pengobatan secara lengkap dan utuh memiliki peluang kesembuhan
yang baik, tetapi pada kasus TB MDR dan XDR, peluang kesembuhan lebih rendah
tergantung pada jenis obat yang resisten dan kerusakan paru yang sudah terjadi.
DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2020. Pedoman Nasional Pelayanan


Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis. Jakarta.

Joo Jeong, Yeon dan Lee Kyung Soo. 2008. Pulmonary Tuberculosis: Up-to-Date
Imaging Management.

Anda mungkin juga menyukai