Anda di halaman 1dari 28

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 DEFINISI1

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan

bakteri Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang berbagai organ, terutama

paru-paru. Penyakit ini bila tidak diobati atau pengobatannya tidak tuntas dapat

menimbulkan komplikasi berbahaya hingga kematian. TB diperkirankan sudah ada di

dunia sejak 5000 tahun sebelum Masehi, namun kemajuan dalam penemuan dan

pengendalian penyakit TB baru terjadi dalam dua abad terakhir.

3.2 EPIDEMIOLOGI1,2

Menurut laporan WHO tahun 2015, ditingkat global diperkirakan 9,6 juta

kasus TB baru dengan 3,2 juta kasus diantaranya adalah perempuan. Dengan 1,5 juta

kematian karena TB dimana 480.000 kasus adalah perempuan. Dari kasus TB

tersebut ditemukan 1,1 juta (12%) HIV positif dengan kematian 320.000 orang

(140.000 orang adalah perempuan) dan 480.000 TB Resistan Obat (TB-RO) dengan

kematian 190.000 orang. Dari 9,6 juta kasus TB baru, diperkirakan 1 juta kasus TB

Anak (di bawah usia 15 tahun) dan 140.000 kematian/tahun.

Jumlah kasus TB di Indonesia menurut Laporan WHO tahun 2015,

diperkirakan ada 1 juta kasus TB baru pertahun (399 per 100.000 penduduk) dengan

100.000 kematian pertahun (41 per 100.000 penduduk). Diperkirakan 63.000 kasus

TB dengan HIV positif (25 per 100.000 penduduk). Angka Notifikasi Kasus (Case

2
Notification Rate/CNR) dari semua kasus, dilaporkan sebanyak 129 per 100.000

penduduk. Jumlah seluruh kasus 324.539 kasus, diantaranya 314.965 adalah kasus

baru. Secara nasional perkiraan prevalensi HIV diantara pasien TB diperkirakan

sebesar 6,2%. Jumlah kasus TB-RO diperkirakan sebanyak 6700 kasus yang berasal

dari 1,9% kasus TB-RO dari kasus baru TB dan ada 12% kasus TB-RO dari TB

dengan pengobatan ulang.

Menurut laporan WHO tahun 2015, Indonesia sudah berhasil menurunkan

angka kesakitan dan kematian akibat TB di tahun 2015 jika dibandingkan dengan

tahun 1990. Angka prevalensi TB yang pada tahun 1990 sebesar > 900 per 100.000

penduduk, pada tahun 2015 menjadi 647 per 100.000 penduduk. Dari semua indikator

MDG’s untuk TB di Indonesia saat ini baru target penurunan angka insidens yang

sudah tercapai. Untuk itu perlu upaya yang lebih besar dan terintegrasi supaya

Indonesia bisa mencapai target SDG’s pada tahun 2030 yang akan datang.

3.3 KLASIFIKASI2

1. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit :

a. Tuberkulosis paru :

Adalah TB yang berlokasi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB

dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru.

Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB

ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.

3
b. Tuberkulosis ekstraparu:

Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura,

kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan

tulang.

Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau

efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada

paru, dinyatakan sebagai TB ekstra paru.

Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil

pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus

diupayakan secara bakteriologis dengan ditemukannya Mycobacterium

tuberculosis.

2. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:

a. Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan

TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan

(˂ dari 28 dosis).

b. Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya pernah

menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis).

Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan

TB terakhir, yaitu:

1) Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh

atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil

4
pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar

kambuh atau karena reinfeksi).

2) Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang

pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.

3) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up):

adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up.

(Klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah

putus berobat /default).

4) Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir

pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

3. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat

Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji

Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa:

1) Mono resistan (TB MR): Mycobacterium tuberculosisresistan terhadap salah

satu jenis OAT lini pertama saja.

2) Poli resistan (TB PR): Mycobacterium tuberculosisresistan terhadap lebih dari

satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara

bersamaan.

3) Multi drug resistan (TB MDR): Mycobacterium tuberculosisresistan terhadap

Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan, dengan atau tanpa diikuti

resitan OAT lini pertama lainnya.

5
4) Extensive Drug Resistean (TB XDR): TB MDR yang sekaligus resistan

terhadap salah satu OAT golongan flurokuinolon dan salah satu OAT lini

kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapremisin, dan Amikasin)

5) Resistan Rifampisin (TB RR): Mycobacterium tuberculosisresistan terhadap

Rifampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi

menggunakan metode genotip (tes cepat molekuler) atau metode fenotip

(konvensional).

3.4 PATOGENESIS4

Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena

ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang

terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh

mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB

dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada

sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman

akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus

berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi

pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.

Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju

kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi

focus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe

(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika focus primer

terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah

6
kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika focus primer terletak di apeks paru, yang

akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan

antara focus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran

limfe yang meradang (limfangitis).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya

kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda

dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang

diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi

TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12

minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-

104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.

Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan

logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi

terhadap tuberculin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya

kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut

ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu

timbulnya respons positif terhadap uji tuberculin. Selama masa inkubasi, uji

tuberculin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluluer tubuh

terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan system imun yang

berfungsi baik, begitu system imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB

terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila

7
imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan

segera dimusnahkan.

Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya

mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah

mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan

mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak

sesempurna focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap

selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi

dapat disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di

paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi

nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui

bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe

hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan

membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu.

Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan

ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak

dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial

atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada

bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering

disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.

8
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi

penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar

ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran

hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh

tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai

penyakit sistemik.

Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk

penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini,

kuman TB menyebar secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak

menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di

seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai

vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks

paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan

membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi

pertumbuhannya. Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi

pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dormant.

Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi

untuk menjadi focus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus

SIMON. Bertahuntahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, focus TB

ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya

meningitis, TB tulang, dan lain-lain.

9
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik

generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah

besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini

dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang

disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah

terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB

yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi

karena tidak adekuatnya system imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB,

misalnya pada balita.

Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic

spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui

cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari

gambaran lesi diseminata yang menyerupai butur padi-padian/jewawut (millet seed).

Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang

secara histologi merupakan granuloma. Bentuk penyebaran hematogen yang jarang

terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu

focus perkijuan menyebar ke saluran vascular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman

TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat

penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic

spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang.

3.5 PATOLOGI1

10
Batuk yang merupakan salah satu gejala tuberkulosis paru, terjadi karena

kelainan patologik pada saluran pernapasan akibat kuman M.tuberculosis. Kuman

tersebut bersifat sangat aerobik, sehingga mudah tumbuh di dalam paru, terlebih di

daerah apeks karena pO2 alveolus paling tinggi.

Kelainan jaringan terjadi sebagai respons tubuh terhadap kuman. Reaksi

jaringan yang karakteristik ialah terbentuknya granuloma, kumpulan padat sel

makrofag. Respons awal pada jaringan yang belum pernah terinfeksi ialah berupa

sebukan sel radang, baik sel leukosit polimorfonukleus (PMN) maupun sel fagosit

mononukleus. Kuman berproliferasi dalam sel, dan akhirnya mematikan sel fagosit.

Sementara itu sel mononukleus bertambah banyak dan membentuk agregat. Kuman

berproliferasi terus, dan sementara makrofag (yang berisi kuman) mati, sel fagosit

mononukleus masuk dalam jaringan dan menelan kuman yang baru terlepas. Jadi

terdapat pertukaran sel fagosit mononukleus yang intensif dan berkesinambungan. Sel

monosit semakin membesar, intinya menjadi eksentrik, sitoplasmanya bertambah

banyak dan tampak pucat, disebut sel epiteloid. Sel-sel tersebut berkelompok padat

mirip sel epitel tanpa jaringan diantaranya, namun tidak ada ikatan interseluler dan

bentuknya pun tidak sama dengan sel epitel.

Sebagian sel epiteloid ini membentuk sel datia berinti banyak, dan sebagian

sel datia ini berbentuk sel datia Langhans (inti terletak melingkar di tepi) dan

sebagian berupa sel datia benda asing (inti tersebar dalam sitoplasma). Lama

kelamaan granuloma ini dikelilingi oleh sel limfosit, sel plasma, kapiler dan fibroblas.

Di bagian tengah mulai terjadi nekrosis yang disebut perkijuan, dan jaringan di

11
sekitarnya menjadi sembab dan jumlah mikroba berkurang. Granuloma dapat

mengalami beberapa perkembangan , bila jumlah mikroba terus berkurang akan

terbentuk simpai jaringan ikat mengelilingi reaksi peradangan. Lama kelamaan terjadi

penimbunan garam kalsium pada bahan perkijuan. Bila garam kalsium berbentuk

konsentrik maka disebut cincin Liesegang . Bila mikroba virulen atau resistensi

jaringan rendah, granuloma membesar sentrifugal, terbentuk pula granuloma satelit

yang dapat berpadu sehingga granuloma membesar. Sel epiteloid dan makrofag

menghasilkan protease dan hidrolase yang dapat mencairkan bahan kaseosa. Pada

saat isi granuloma mencair, kuman tumbuh cepat ekstrasel dan terjadi perluasan

penyakit.

Reaksi jaringan yang terjadi berbeda antara individu yang belum pernah

terinfeksi dan yang sudah pernah terinfeksi. Pada individu yang telah terinfeksi

sebelumnya reaksi jaringan terjadi lebih cepat dan keras dengan disertai nekrosis

jaringan. Akan tetapi pertumbuhan kuman tretahan dan penyebaran infeksi terhalang.

Ini merupakan manifestasi reaksi hipersensitiviti dan sekaligus imuniti.

3.6 ETIOLOGI2

Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman

Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara lain:

M.tuberculosis, M.africanum, M. bovis, M. Leprae dsb. Yang juga dikenal sebagai

Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri Mycobacterium selain

Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas

12
dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang

bisa mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan TB.

Secara umum sifat kuman Mycobacterium tuberculosis antara lain adalah

sebagai berikut:

• Berbentuk batang dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0,2 – 0,6 mikron.

• Bersifat tahan asam dalam perwanraan dengan metode Ziehl Neelsen,

berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan dibawah mikroskop.

• Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein Jensen,

Ogawa.

• Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka

waktu lama pada suhu antara 4°C sampai minus 70°C.

• Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultra violet.

Paparan langsung terhada sinar ultra violet, sebagian besar kuman akan mati

dalam waktu beberapa menit. Dalam dahak pada suhu antara 30-37°C akan

mati dalam waktu lebih kurang 1 minggu.

• Kuman dapat bersifat dorman.

3.7 GAMBARAN KLINIS4

Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus

yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu

khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa

secara klinik.

13
Gejala sistemik/umum:

• Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah)

• Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam

hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti

influenza dan bersifat hilang timbul

• Penurunan nafsu makan dan berat badan

• Perasaan tidak enak (malaise), lemah

Gejala khusus:

• Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan

sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan

kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”,

suara nafas melemah yang disertai sesak.

• Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai

dengan keluhan sakit dada.

• Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang

pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya,

pada muara ini akan keluar cairan nanah.

• Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut

sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi,

adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.

3.8 DIAGNOSIS2

14
Diagnosis TB ditetapkan berdasarkan keluhan, hasil anamnesis, pemeriksaan

klinis, pemeriksaan labotarorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.

1. Keluhan dan hasil anamnesis meliputi:

Pemeriksaan klinis berdasarkan gejala dan tanda TB yang meliputi:

a. Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau

lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur

darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat

badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam

meriang lebih dari satu bulan. Pada pasien dengan HIV positif, batuk sering

kali bukan merupakan gejala TB yang khas, sehingga gejala batuk tidak harus

selalu selama 2 minggu atau lebih.

b. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain

TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.

Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap

orang yang datang ke fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap

sebagai seorang terduga pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak

secara mikroskopis langsung.

c. Selain gejala tersebut, perlu dipertimbangkan pemeriksaan pada orang dengan

faktor risiko, seperti : kontak erat dengan pasien TB, tinggal di daerah padat

penduduk, wilayah kumuh, daerah pengungsian, dan orang yang bekerja

dengan bahan kimia yang berrisiko menimbulkan paparan infeksi paru.

15
2. Pemeriksaan Laboratorium

a. Pemeriksaan Bakteriologi

1) Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung

Pemeriksaan dahak selain berfungsi untuk menegakkan diagnosis,

juga untuk menentukan potensi penularan dan menilai keberhasilan

pengobatan.

Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan

mengumpulkan 2 contoh uji dahak yang dikumpulkan berupa dahak

Sewaktu-Pagi (SP):

a) S (Sewaktu): dahak ditampung di fasyankes.

b) P (Pagi): dahak ditampung pada pagi segera setelah bangun tidur.

Dapat dilakukan dirumah pasien atau di bangsal rawat inap bilamana

pasien menjalani rawat inap.

2) Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) TB

Pemeriksaan tes cepat molekuler dengan metode Xpert MTB/RIF.

TCM merupakan sarana untuk penegakan diagnosis, namun tidak dapat

dimanfaatkan untuk evaluasi hasil pengobatan.

3) Pemeriksaan Biakan

Pemeriksaan biakan dapat dilakukan dengan media padat

(Lowenstein-Jensen) dan media cair (Mycobacteria Growth Indicator

Tube) untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis (M.tb).

16
Pada faskes yang tidak memiliki akses langsung terhadap

pemeriksaan TCM, biakan, dan uji kepekaan, diperlukan sistem

transportasi contoh uji. Hal ini bertujuan untuk menjangkau pasien yang

membutuhkan akses terhadap pemeriksaan tersebut serta mengurangi

risiko penularan jika pasien bepergian langsung ke laboratorium.

b. Pemeriksaan Penunjang Lainnya

1) Pemeriksaan foto toraks

2) Pemeriksaan histopatologi pada kasus yang dicurigai TB ekstraparu.

c. Pemeriksaan uji kepekaan obat

Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi

M.tb terhadap OAT.

d. Pemeriksaan serologis

Sampai saat ini belum direkomendasikan.

3. Alur Diagnosis TB pada Orang Dewasa

Alur diagnosis TB dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

17
Gambar 1. Alur diagnosis TB

18
Keterangan alur:

Prinsip penegakan diagnosis TB:

• Diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu

dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud

adalah pemeriksaan mikroskopis, tes cepat molekuler TB dan biakan.

• Pemeriksaan TCM digunakan untuk penegakan diagnosis TB, sedangkan

pemantauan kemajuan pengobatan tetap dilakukan dengan pemeriksaan

mikroskopis.

• Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto

toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik pada

TB paru, sehingga dapat menyebabkan terjadi overdiagnosis ataupun

underdiagnosis.

• Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis.

3.9 PENATALAKSANAAN1

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan)

dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat

utama dan tambahan.

1. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Obat yang dipakai:

a. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:

• Rifampisin

19
• INH

• Pirazinamid

• Streptomisin

• Etambutol

b. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination)

Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari :

• Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg,

isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg dan

• Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg,

isoniazid 75 mg dan pirazinamid 400 mg

c. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)

• Kanamisin

• Kuinolon

• Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam klavulanat

• Derivat rifampisin dan INH

Dosis OAT

• Rifampisin . 10 mg/ kg BB, maksimal 600mg 2-3X/ minggu Atau BB >

60 kg (600 mg), BB 40-60 kg (450 mg), BB < 40 kg (300 mg), Dosis

intermiten 600 mg/kali.

• INH 5 mg/kg BB, maksimal 300mg, 10 mg/kg BB 3xseminggu, 15 mg/kg

BB 2xsemingggu atau 300 mg/hari untuk dewasa. lntermiten : 600

mg/kali

20
• Pirazinamid : fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3xsemingggu,

50 mg /kg BB 2 X semingggu atau :

BB > 60 kg : 1500 mg

BB 40-60 kg : 1 000 mg

BB < 40 kg : 750 mg

• Etambutol : fase intensif 20mg /kg BB, fase lanjutan 15 mg /kg BB,

30mg/kg BB 3xseminggu, 45 mg/kg BB 2xseminggu atau:

BB >60kg : 1500 mg

BB 40 -60 kg : 1000 mg

BB < 40 kg : 750 mg

Dosis intermiten 40 mg/ kgBB/ kali

• Streptomisin:15mg/kgBB atau

BB >60kg : 1000mg

BB 40 - 60 kg : 750 mg

BB < 40 kg : sesuai BB

• Kombinasi dosis tetap

Rekomendasi WHO 1999 untuk kombinasi dosis tetap, penderita

hanya minum obat 3-4 tablet sehari selama fase intensif, sedangkan fase

lanjutan dapat menggunakan kombinasi dosis 2 obat antituberkulosis

seperti yang selama ini telah digunakan sesuai dengan pedoman

pengobatan.

21
Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut,

bila mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / fasiliti

yang mampu menanganinya.

Efek Samping OAT :

Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa

efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh

karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting

dilakukan selama pengobatan.

Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek samping

ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat

dilanjutkan.

a. Isoniazid (INH)

Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf

tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi

dengan pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan

vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan.

Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin (syndrom pellagra)

Efek samping berat dapat berupa hepatitis yang dapat timbul pada

kurang lebih 0,5% penderita. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik,

hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan

khusus

22
b. Rifampisin

1) Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan

pengobatan simtomatik ialah :

 Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang

 Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah

kadang-kadang diare

 Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan

2) Efek samping yang berat tapi jarang terjadi ialah :

 Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus

distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan

khusus

 Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah

satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan

jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang

 Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas

Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat,

air mata, air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses

metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan

kepada penderita agar dimengerti dan tidak perlu khawatir.

c. Pirazinamid

23
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai

pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri

aspirin) dan kadangkadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini

kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat.

Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang

lain.

d. Etambutol

Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa

berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun

demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai,

jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB

yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal

dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak

diberikan pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi

e. Streptomisin

Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang

berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping

tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan

dan umur penderita.

Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-

tiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping

sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan

24
telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini

mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr Streptomisin dapat

menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil

sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin.

Tabel 1. Efek samping obat


Efek samping Penyebab Penanganan
Tidak nafsu makan, Rifampisin Obat diminum malam sebelum
mual, sakit perut tidur
Nyeri sendi Pyrazinamid Beri vitamin B6 (piridoksin) 100
mg perhari
Warna kemerahan pada Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu diberi
air seni apa-apa
Gatal dan kemerahan Semua jenis Beri antihistamin & dievaluasi
pada kulit OAT ketat
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan
Gangguan eseimbangan Streptomisin Streptomisin dihentikan
Ikterik Hampir Hentikan semua OAT sampai
semua OAT ikterik menghilang
Bingung dan muntah 2 Hampir Hentikan semua OAT & lakukan
semua OAT uji fungsi Hati
Gangguan penglihatan Ethambutol Hentikan ethambutol
Purpura dan renjatan Rifampisin Hentikan Rifampisin
(syok)

Penanganan efek samping obat:

• Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung yang dapat diatasi

secara simptomatik

• Gangguan sendi karena pirazinamid dapat diatasi dengan pemberian

salisilat/allopurinol

• Efek samping yang serius adalah hepatits imbas obat. Penanganan seperti

tertulis di atas Penderita dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rash

25
pada kulit yang umumnya disebabkan oleh INH dan rifampisin, dapat

dilakukan pemberian dosis rendah dan desensitsasi dengan pemberian dosis

yang ditingkatkan perlahan-lahan dengan pengawasan yang ketat.

Desensitisasi ini tidak bisa dilakukan terhadap obat lainnya

• Kelainan yang harus dihentikan pengobatannya adalah trombositopenia, syok

atau gagal ginjal karena rifampisin, gangguan penglihatan karena etambutol,

gangguan nervusVIll karena streptomisin dan dermatitis exfoliative dan

agranulositosis karena thiacetazon

• Bila sesuatu obat harus diganti maka paduan obat harus diubah hingga jangka

waktu pengobatan perlu dipertimbangkan kembali dengan baik.

2. Panduan Obat Anti Tuberkulosis

Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:

a. TB paru (kasus baru), BTA positif atau lesi luas

Paduan obat yang diberikan : 2 RHZE / 4 RH

Alternatf : 2 RHZE / 4R3H3

atau

(program P2TB) 2 RHZE/ 6HE

Paduan ini dianjurkan untuk

1) TB paru BTA (+), kasus baru

2) TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk

luluh paru)

3) TB di luar paru kasus berat

26
Pengobatan fase lanjutan, bila diperlukan dapat diberikan selama 7 bulan,

dengan paduan 2RHZE / 7 RH, dan alternatif 2RHZE/ 7R3H3, seperti

pada keadaan:

1) TB dengan lesi luas

2) Disertai penyakit komorbid (Diabetes Melitus, Pemakaian obat

imunosupresi / kortikosteroid)

3) TB kasus berat (milier, dll)

Bila ada fasiliti biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan

hasil uji resistensi

b. TB Paru (kasus baru), BTA negatif

Paduan obat yang diberikan : 2 RHZ / 4 RH

Alternatif : 2 RHZ/ 4R3H3 atau 6 RHE

Paduan ini dianjurkan untuk :

1) TB paru BTA negatif dengan gambaran radiologik lesi minimal

2) TB di luar paru kasus ringan

c. TB paru kasus kambuh

Pada TB paru kasus kambuh minimal menggunakan 4 macam OAT

pada fase intensif selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat

diberikan obat sesuai hasil uji resistensi). Lama pengobatan fase lanjutan

6 bulan atau lebih lama dari pengobatan sebelumnya, sehingga paduan

obat yang diberikan : 3 RHZE / 6 RH

27
Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif

diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (Program P2TB).

d. TB Paru kasus gagal pengobatan

Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi, dengan

minimal menggunakan 4 -5 OAT dengan minimal 2 OAT yang masih

sensitif ( seandainya H resisten, tetap

diberikan). Dengan lama pengobatan minimal selama 1-2 tahun .

Menunggu hasil uji resistensi dapat diberikan dahulu 2 RHZES , untuk

kemudian dilanjutkan sesuai uji resistensi

1) Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan

paduan obat: 2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (Program P2TB)

2) Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil

yang optimal

3) Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru

e. TB Paru kasus lalai berobat

Penderita TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan

kembali sesuai dengan kriteria sebagai berikut :

1) Penderita yang menghentikan pengobatannya < 2 minggu, pengobatan

OAT dilanjutkan sesuai jadual

2) Penderita menghentikan pengobatannya ≥ 2 minggu

a) Berobat ≥ 4 bulan , BTA negatif dan klinik, radiologik negatif,

pengobatan OAT STOP

28
b) Berobat > 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal

dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan

yang lebih lama

c) Berobat < 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal

dengan paduan obat yang sama

d) Berobat < 4 bulan , berhenti berobat > 1 bulan, BTA negatif, akan

tetapi klinik dan atau radiologik positif : pengobatan dimulai dari

awal dengan paduan obat yang sama

e) Berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat 2-4 minggu

pengobatan diteruskan kembali sesuai jadual.

f. TB Paru kasus kronik

1) Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi,

berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan

hasil uji resistensi (minimal terdapat 2 macam OAT yang masih

sensitif dengan H tetap diberikan walaupun resisten) ditambah dengan

obat lain seperti kuinolon, betalaktam, makrolid

2) Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup

3) Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan

penyembuhan

4) Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru

29

Anda mungkin juga menyukai