Anda di halaman 1dari 17

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Gambaran Tuberkulosis Paru


Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman yang sangat peka terhadap
panas, sinar matahari, dan sinar ultraviolet. Kumat tersebut akan mati dalam waktu beberapa
menit. Akan tetapi, bertahan dalam suhu rendah sehingga bertahan hidup dalam jangka waktu
yang lama (pada suhu 40C – minus 70C). Kuman ini juga dapat bersifat dormant dalam
jaringan paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak
termasuk pleura (selaput paru). Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui
percik renik dahak yang dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan
hasil pemeriksaan BTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal tersebut bisa
saja terjadi oleh karena jumlah kuman yang terkandung dalam contoh uji ≤ dari 5.000
kuman/cc dahak sehingga sulit dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis langsung. Tingkat
penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur
positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto Toraks positif
adalah 17%.1,2
Pasien TB juga digolongkan menjadi 2 yaitu:1
a. Pasien TB berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan bakteriologis
Adalah seorang pasien TB yang dikelompokkan berdasarkan hasil pemeriksaan
bakteriologi yaitu:
- Pasien TB paru BTA positif
- Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif
- Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif
- Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologi, baik dengan BTA, biaka,
maupun tes cepat.
- TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis
b. Pasien TB terdiagnosis secara klinis
Adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi
didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter dan diputuskan untuk diberikan
pengobatan TB, yaitu:
- Pasien TB paru BTA negative dengan hasil pemeriksaan foto thorax mendukung
TB

15
- Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun labpratoris dan
histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis
- TB anak yang didiagnosis dengan sistem skoring.

3.2 Epidemiologi Tuberkulosis Paru


Sampai saat ini, TB masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia walaupun upaya
pengendalian dengan strategi DOTS telah diterapkan di banyak negara sejak tahun 1995.
Dalam laporan WHO tahun 2013 diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB pada tahun 2012
dan sekitar 1,1 juta orang diantaranya adalah pasien TB dengan HIV positif. Sekitar 75% dari
pasien tersebut berada di wilayah Afrika. Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah
8000 setiap hari dan 2 - 3 juta setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa
jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka
mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 . 1,2
Di Indonesia TB adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan
merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan
akut pada seluruh kalangan usia. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar
140.000 kematian akibat TB. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi penduduk
Indonesia yang didiagnosis TB paru oleh tenaga kesehatan tahun 2013 adalah 0.4 persen.
Lima provinsi dengan TB paru tertinggi adalah Jawa Barat (0.7%), Papua (0.6%), DKI
Jakarta (0.6%), Gorontalo (0.5%), Banten (0.4%) dan Papua Barat (0.4%). Sedangkan
prevalensi TB di provinsi Bali yaitu 0,1%. Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang
paling produktif secara ekonomis yaitu 15-50 tahun.3

3.3 Faktor Risiko Tuberkulosis


 Basillary Load
Jumlah basil TB di dalam tubuh seseorang sangat berpengaruh dalam tingkat infeksi
seseorang. Pasien dengan jumlah basil yang banyak akan cepat menimbulkan gejala
dan menjadi sangat infeksius. Sedangkan, pada pasien dengan hasil pemeriksaan
bakteriologis negatif memiliki tingkat infeksius yang lebih rendah akan tetapi tetap
dapat menularkan TB.4
 Kontak langsung dengan penderita TB
Kontak langsung dengan penderita TB meningkatkan risiko terjadinya TB. Orang
yang tinggal dalam satu rumah dengan penderita TB dan petugas kesehatan
merupakan faktor risiko terbesar tertular TB paru. 4

16
 Kondisi imonosupresif
Koinfeksi HIV adalah faktor risiko imunosupresif yang sangat meningkatkan
perkembangan TB paru. HIV meningkatkan reaktivasi infeksi laten dan mempercepat
progresivitas infeksi primer TB. Sebaliknya, adanya TB paru pada penderita HIV
meningkatkan progresifitas terjadinya kerusakan paru dan meningkatkan angka
mortalitas. 4
 Malnutrisi
Beberapa studi menyatakan bahwa kekurangan nutrisi mikro ataupun makro
meningkatkan terjadinya TB paru karena ketidakseimbangan respon imun. Selain itu,
TB sendiri menimbukan gejala anorexia sehingga akan memperparah terjadinya
malnutrisi. 4
 Usia muda
Anak-anak menjadi faktor risiko tinggi terjadinya TB paru. Sebagian besar anak
dibawah 2 tahun yang menderita TB paru, ditularkan oleh orang yang tinggal dalam
satu rumah. Sedangkan, anak diatass 2 tahun biasanya tertular dari masyarakat.
Apabila terjadi TB pada bayi, hal ini akan meningkatkan angka mortalitas. 4
 Petugas kesehatan
Petugas kesehatan memiliki risiko paparan penderita TB paru yang sangat tinggi.
Dalam sebuah penelitian menyatakan bahwa 55% petugass kesehatan menderita TB
paru fase laten. 4
 Sosial ekonomi dan Tingkah laku
Dalam suatu penelitian menyatakan bahwa ada perbandingan yang bermakna pada
pasien TB yang merokok dan yang tidak menorok. Merokok menjadi salah satu faktor
risiko karena terjadinya gangguan mucosal clearance, penurunan daya fagositik
makrofag pada alveolar, dan ketidakseimbangan respon imun. Alkohol juga dapat
mengganggu respon imun sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya TB paru. 4

3.4 Klasifikasi Tuberkulosis


Tuberkulosis dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi penyakit, riwayat pengobatan
sebelumnya, hasil pemeriksaan dahak/bakteriologi, dan status HIV, yaitu:1,2

1. Lokasi anatomi dari penyakit


a. Tuberkulosis paru

17
Tuberkulosis paru adalah TB yang terjadi pada jaringan parenkim (jaringan) paru. TB
Milier dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada parenkim paru. Pasien yang
menderita TB paru sekaligus TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai TB paru.
b. Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis ekstra paru adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya
pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak, dan tulang.
Diagnosis TB ekstra paru ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau
klinis dan diupayakan berdasarkan penemuan Mycobakterium tuberculosis. Apabila
TB ekstra paru terjadi pada beberapa organ, diklasifikasikan sebagai pasien TB ekstra
paru pada organ yang menunjukkan gambaran TB yang terberat.
2. Riwayat pengobatan sebelumnya
a. Pasien baru
Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (< 28 dosis ).
b. Pasien yang pernah diobati TB
Pasien TB yang sebelumnya pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ 28
dosis), yaitu:
 Pasien kambuh
Pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini
didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik
karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi)
 Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow up)
Adalah penderita yang pernah diobati dan dinyatakan lost-to follow up
 Pasien yang diobati kembali setelah gagal
Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif
pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan).
 Lain-lain
Adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan sebelumnya
tidak diketahui.
c. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui

3. Hasil pemeriksaan uji kepekaan sebelumnya

18
Pengelompokan pasien berdasarkan uji kepekaan contoh uji dari Mycobacterium
tuberculosis terhadap OAT, yaitu:
a. Mono resistan (TB MR): resisten terhadap salah satu jenis OA lini pertama saja
b. Poli resistan (TB PR): resisten terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain
kombinasi Isoniazid (H) dan Rifampisisn (R) secara bersamaan
c. Multidrug resistan (TB MDR): resisten terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisisn (R)
secara bersamaan dengan atau tanpa lini OAT pertama yang lain
d. Extensive drug resistan (TB XDR): TB MDR yang sekaligus juga resisten terhadap
salah satu OAT golongan flurokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua
jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin, Amikasin)
e. Resisten Rifampisin (TB RR): resisten terhadap Rifampisin dengan atau tanpa
resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes cepat)
atau metode fenotip (konvensional)
4. Status HIV
a. Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV) merupakan pasien TB
dengan hasil test HIV positif sebelumnya (sedang mendapatkan ART) atau positif saat
didiagnosis TB.
b. Pasien TB dengan HIV negatif merupakan pasien TB dengan hasil tes negatif
sebelumnya atau hasil test negatif pada saat didiagnosis TB.
c. Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui merupakan pasien TB tanpa ada bukti
pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TB ditetapkan. Apabila pada pemeriksaan
selanjutnya dapat diperoleh hasil tes HIV pasien, harus disesuaikan kembali
klarifikasinya berdasarkan hasil tes HIV terakhir.

3.5 Patogenesis Tuberkulosis Paru


a. Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru,
dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek
primer. Sarang primer ini mugkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan
sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening
menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar
getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan
limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan
mengalami salah satu nasib sebagai berikut :1

19
1 Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
2 Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik,
sarang perkapuran di hilus)
3 Menyebar dengan cara :
a. Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya Salah satu contoh adalah epituberkulosis,
yaitu suatu kejadian dimana terdapat penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus
medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada
saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan
menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan
menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai
epituberkulosis.
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru
sebelahnya. Penyebaran ini juga terjadi ke dalam usus
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian penyebaran ini sangat
bersangkutan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi basil. Sarang yang
ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imuniti
yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti
tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosa, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran
ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang,
ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini
mungkin berakhir dengan : sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya
pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis,
tuberkuloma ) atau meninggal.
Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer.1
b. Tuberkulosis Post-Primer
Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis post-
primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer mempunyai nama yang
bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis
menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem
kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-primer
dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior
maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil.
Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :1
1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat

20
2. Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih keras,
terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya dapat juga
sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan menimbulkan
kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan
muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis,
kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Nasib kaviti ini :
 Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang
pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan diatas
 Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tapi mungkin pula aktif kembali,
mencair lagi dan menjadi kaviti lagi
 Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity,
atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil.Kemungkinan
berakhir sebagai kaviti yang terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti
bintang (stellate shaped).

3.6 Manifestasi Klinis Tuberkulosis Paru


Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik (atau
gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik. Adapun gejala respiratorik yang terjadi yaitu
batuk lebih dari 2 minggu, batuk darah, sesak napas, dan nyeri dada. Gejala respiratorik ini
sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari
luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum
terlibat dalam proses penyakit, makapenderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang
pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang
dahak ke luar. Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya
pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari
kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara
pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang
rongga pleuranya terdapat cairan. Sedangkan gejala sistemik yang dapat terjadi adalah
demam, malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun. 1,2,3

21
3.7 Diagnosis Tuberkulosis Paru
Diagnosis Tuberkulosis paru dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Anamnesis perlu dilakukan secara teliti dengan menanyakan riwayat
penyakit sekarang, riwayat paparan tuberkulosis, dan pengobatan yang pernah dijalani.
Dalam pemeriksaan fisik tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan
struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit
sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior
terutama daerah apex dan segmen posterior , serta daerah apex lobus inferior. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas
melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum. Pada pleuritis
tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura.
Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak
terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pemeriksaan penunjang yang umumnya dilakukan
untuk membantu menegakkan diagnosis adalah: 1,2,3,5
1. Pemeriksaan Bakteriologik
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang
sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini
dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan
lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan
biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH). Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3
hari berturut-turut yaitu sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan), dahak pagi
(keesokan harinya), sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi). lnterpretasi hasil
pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan ialah bila 2 kali positif, 1 kali negatif
berarti Mikroskopik positif. Apabila 1 kali positif, 2 kali negatif lakukan pemeriksaan
ulang BTA 3 kali, kemudian bila 1 kali positif, 2 kali negatif disebut mikroskopik positif.
Dan apabila 3 kali negatif disebut mikroskopik negatif.1,2
2. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pemeriksaan lain
atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks,
tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran
radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :1
 Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah

22
 Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular
 Bayangan bercak milier
 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif apabila ditemukan fibrotik pada
segmen apikal dan atau posterior lobus atas, kalsifikasi atau fibrotik, kompleks ranke,
Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura.1
Luluh Paru (Destroyed Lung ) adalah :1
 Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat,
biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari
atelektasis, multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi
atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik tersebut.
 Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses penyakit.

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA dahak negatif):1
 Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas
tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari iga
kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra
torakalis 5 (sela iga 2) dan tidak dijumpai kaviti
 Lesi luas Bila proses lebih luas dari lesi minimal.
4. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui biopsi paru dengan trans bronchial
lung biopsy (TBLB), trans thoracal biopsy (TTB), biopsi paru terbuka, biopsi pleura,
biopsi kelenjar getah bening dan biopsi organ lain diluar paru. Dapat pula dilakukan biopsi
aspirasi dengan jarum halus (BJH =biopsi jarum halus). Pemeriksaan biopsi dilakukan
untuk membantu menegakkan diagnosis, terutama pada tuberkulosis ekstra paru.
Diagnosis pasti infeksi TB didapatkan bila pemeriksaan histopatologi pada jaringan paru
atau jaringan diluar paru memberikan hasil berupa granuloma dengan perkejuan.1
5. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk
tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua sangat dibutuhkan. Data ini
sangat penting sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologik
penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon terhadap pengobatan

23
penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat penyembuhan penderita.
Demikian pula kadar limfosit bisa menggambarkan biologik/ daya tahan tubuh penderita ,
yaitu dalam keadaan supresi / tidak. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju
endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.1
6. Pemeriksaan uji kepekaan obat
Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi M.tuberculosis
terhadap OAT. Untuk memperluas akses terhadap penemuan pasien TB dengan resistensi
OAT, Kemenkes RI telah menyediakan tes cepat yaitu GeneXpert ke fasilitas kesehatan
(laboratorium dan RS) di seluruh provinsi.2

24
25
3.8 Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif dan fase lanjutan dengan
lama pengobatan 6-8 bulan. Pengobatan intensif dimaksudkan untuk secara efektif
menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari
sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resisten sejak sebelum pasien mendapatkan
pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua passien baru harus diberikan selama 2
bulan. Pada umumnya, dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya
penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama dua minggu. Pengobatan fase
lanjutan merupakan tahap yang penting untuk membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada
dalam tubuh khususnya kuman persister sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah
terjadinya kekambuhan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan
tambahan.2,3
Berdasarkan rekomendasi WHO dan ISTC, panduan OAT yang digunakan oleh
Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah:2
1. Kategori 1
Panduan OAT kategori 1 dengan melaksanakan 2(HRZE)/4(HR)3. Panduan ini
diberikan pada pasien baru sebagai berikut: pasien TB paru terkonfirmasi
bakteriologis; pasien TB paru terdiagnosis klinis; pasien TB ekstra paru.
Tabel 1. OAT Kategori 1 (KDT)

Tabel 2. OAT Kategori 1 (Kombipak)

2. Kategori 2
Panduan OAT kategori 2 yaitu 2(HRZE)S/HRZE/5(HR)3E3). Panduan OAT ini
diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati sebelumnya (pengobatan

26
ulang) yaitu: pasien kambuh; passien gagal pada pengobatan dengan panduan OAT
kategori 1 sebelumnya; pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to
follow-up).
Tabel 3. OAT Kategori 2 (KDT)

Tabel 4. Dosis OAT Kategori 2 (Kombipak)

Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping.


Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan
kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Efek
samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek samping ringan dan dapat diatasi
dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.2

Tabel 5. Efek samping OAT

27
Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan
pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih
baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan
TB. Laju endap darah tidak digunakan dalam pemantauan pengobatan karena kurang spesifik
untuk TB. Pemeriksaan dahak secara mikroskopik dilakukan dengan dua contoh uji dahak
(sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila kedua contoh uji dahak
tersebut negatif. Apabila salah satu dari uji dahak tersebut positif, maka pemeriksaan ulang
dahak tersebut dikatakan positif. Setelah mendapatkan pengobatan intensif TB, semua pasien
harus memulai pengobatan tahap lanjutan (tanpa pemberian OAT sisipan apabila tidak
mengalami konversi), tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan dahak ulang, baik itu hasilnya
negatif ataupun positif. Pemeriksaan ulang dahak dilakukan kembali pada bulan ke 5. Apabila
hasilnya negatif pengobatan dapat dilanjutkan hingga seluruh dosis pengobatan selesai dan
dilakukan pemeriksaan dahak ulang pada akhir pengobatan. Apabila pada bulan ke 5 hasil
pemeriksaan dahak ulang positif pengobatan dinyatakan gagal atau pasien dinyatakan terduga
TB Multi Drugs Resistant (MDR). Lakukan pemeriksaan uji sensitivitas obat atau rujuk ke
RS Pusat Rujukan TB MDR. Pada pasien baru (mendapat pengobatan dengan panduan OAT
kategori 1), apabila belum bisa dilakukan uji sensitivitas obat atau dirujuk ke Pusat Rujukan
TB MDR berikan pengobatan panduan OAT ketegori 2. Sedangkan, pada pasien TB
pengobatan ulang harus diusahakan semaksimal mungkin untuk melakukan pemeriksaan uji
sensitivitas obat atau dirujuk ke RS Pusat Rujukan TB MDR.1,2,6
Hasil pengobatan TB dapat diklasifikasikan menjadi:1
a. Sembuh
Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis negatif pada akhir pengobatan
atau salah satu pemeriksaan sebelumnya.
b. Pengobatan lengkap
Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap dimana pada salah
satu pemeriksaan sebelum akhir pengobatan hasilnya negatif, namun tanpa ada bukti
hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir pengobatan.
c. Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahak tetap positif atau kembali menjadi positif pada
bulan kelima atau lebih selama pengobatan atau kapan saja apabila selama
pengobatan diperoleh hasil laboratorium yang menunjukkan addanya resistensi OAT.

28
d. Putus berobat (loss to follow- up)
Pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau yang pengobatannya terputus
selama 2 bulan terus menerus atau lebih.
e. Tidak dievaluasi
Pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir pengobatannya. Termasuk dalam kriteria
ini adalah “pasien pindah/transfer out” ke kabupaten/ kota lain yang hasil akhir
pengobatannya tidak diketahui oleh kabupaten/kota yang ditinggalkan.
f. Meninggal
Pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum memulai atau sedang dalam
pengobatan.
Salah satu tujuan pengobatan TB adalah menyembuhkan pasien TB baru tanpa
memicu timbulnya resistensi obat. Untuk tercapainya hal tersebut, sangat penting dipastikan
bahwa pasien menelan seluruh obat yang diberikan sesuai anjuran dengan cara pengawasan
langsung dari Pengawas Minum Obat (PMO). Pilihan tempat pemberian obat sebaiknya
disepakati dengan passien agar dapat memberikan kenyamanan. Pasien bisa memilih fasilitas
kesehatan terdekat dengan kediaman pasien, atau PMO datang berkunjung ke rumah pasien.
Walapun telah mendapatkan pengobatan TB, akan tetapi masih memungkinkan untuk
mengalami komplikasi TB yaitu fibrosis, bronkiektasis, Crhonic Obstructive Pulmonary
Disease, dan bahkan dapat menjadi faktor risiko terjadinya kanker paru.

29
BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan
a Tuberkulosis paru adalah infeksi yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura
(selaput paru) disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Sumber penularan dari TB
paru adalah paparan droplet langsung dari penderita TB.
b Tuberkulosis dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi penyakit, riwayat
pengobatan sebelumnya, hasil pemeriksaan uji kepekaan obat, dan status HIV
c Diagnosis Tuberkulosis paru dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Dalam anamnesis harus digali gejala, riwayat paparan dengan
penderita TB, dan riwayat pengobatan. Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan
addalah pemeriksaan bakteriologis, radiologi, histopatologi jaringan, uji kepekaan obat,
dan pemeriksaan darah.
d Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif dan fase lanjutan
dengan lama pengobatan 6-8bulan. OAT dibagi menjadi dua kategori, yaitu kategori 1
(2HRZE/4HR3) dan kategori 2 (2HRZES/HRZE/5HR3E3).

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. 2014.


Jakarta:Kementrian RI.
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. 2011. Jakarta: PDPI.
3. Zumla, Alimudin et al. Current consept: Tuberculosis. 2013. The New England
Journal of Medicine; 368: 745-755.
4. Narasimhan,P, James W, Chandini R dan Dhilip M. Risk Factors for Tuberculosis.
2013. Pulmonary Medicine: 1-11
5. Chakaya, J et al. 2016. Long term complications after completion of pulmonary
tuberculosis treatment: a guest for a public health approach. Journal Clinical
Tuberculosis and Other Mycobacterial Diseases; 3: 10-12
6. World Health Organization. Treatment of Tuberculosis : Guidelines. 2010.
Switzerland:WHO.

31

Anda mungkin juga menyukai