Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

“TB PARU DAN KOMPLIKASI”

Disusun Oleh:

Mutiara Alderisa

1102012185

Pembimbing:

dr. Subagyo Sp.P

KEPANITRAAN KLINIK PENYAKIT DALAM RSUD PASAR REBO JAKARTA

PERIODE 18 JULI – 25 SEPTEMBER

2016
0
BAB I
PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit yang telah lama dikenal dan
sampai saat ini masih menjadi penyebab utama kematian di dunia. Prevalensi TB di Indonesia
dan negara-negara berkembang lainnya cukup tinggi. WHO menyatakan bahwa TB saat ini
telah menjadi ancaman global. Pada tahun 2006, kasus baru di Indonesia berjumlah >600.000
dan sebagian besar diderita oleh masyarakat yang berada dalam usia produktif (15–55 tahun).
Angka kematian karena infeksi TB berjumlah sekitar 300 orang per hari dan terjadi >100.000
kematian per tahun. Hal tersebut merupakan tantangan bagi semua pihak untuk terus
berupaya mengendalikan infeksi ini. Salah satu upaya penting untuk menekan penularan TB
di masyarakat adalah dengan melakukan diagnosis dini yang definitif.2
Data Program Pemberantasan Tuberkulosis (P2 TB) di Indonesia menunjukkan
peningkatan kasus dari tahun ke tahun. Upaya penanggulangan maupun pencegahan yang
diperlukan menyelesaikan masalah yang ada yaitu menurunkan angka kesakitan dan
kematian.2

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium


tuberculosis complex.1

Definisi Pasien TB:

Pasien TB berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan bakteriologis:


Adalah seorang pasien TB yang dikelompokkan berdasar hasil pemeriksaan contoh uji
biologinya dengan pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan atau tes diagnostik
cepat yang direkomendasi oleh Kemenkes RI (misalnya: GeneXpert).
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
a. Pasien TB paru BTA positif
b. Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif
c. Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif
d. Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan BTA,
biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena.
e. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.
Catatan: Semua pasien yang memenuhi definisi tersebut diatas harus dicatat tanpa
memandang apakah pengobatan TB sudah dimulai ataukah belum.3

Pasien TB terdiagnosis secara klinis:


Adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi
didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan
pengobatan TB.
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
a. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks mendukung
TB.
b. Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris dan
histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.
c. TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring.
Catatan: Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian terkonfirmasi
bakteriologis positif (baik sebelum maupun setelah memulai pengobatan) harus
diklasifikasi ulang sebagai pasien TB terkonfirmasi bakteriologis.3

2.2 Epidemiologi
TB sampai saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat didunia walaupun upaya pengendalian dengan startegi DOTS telah
2
diterapkan di banyak negara sejak tahun 1995. Pada tahun 1992 World Health
Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency.
Dalam laporan WHO tahun 2013 :
 Diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB pada tahun 2012 dimana 1,1 juta
orang diantaranya adalah pasien TB dengan HIV positif. Sekitar 75% dari
pasien tersebut berada di wilayah Afrika.
 Pada tahun 2012, diperkirakan terdapat 450.000 orang yang menderita
TBMDR dan 170.000 orang diantaranya meninggal dunia.
 Separuh dari orang dengan HIV positif yang meninggal dunia karena TB tahun
2012 adalah wanita.
 Kematian anak (dengan status HIV negatif) yang menderita TB mencapai
74.000 kematian/tahun, atau sekitar 8% dari total kematian yang disebabkan
oleh TB.
 Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara
ekonomis (15-50 tahun).3

2.3 Etiologi
Kuman Penyebab TB

Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman


dari kelompok Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa
spesies Mycobacterium, antara lain : M. tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M.
leprae dsb, yang juga dikenal sebagai bakteri tahan asam (BTA). Kelompok bakteri
Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan
pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis)
yang terkadang bisa mengganggu penegakkan diagnosis dan pengobatan TB. Untuk
itu pemeriksaan bakteriologis yang mampu melakukan identifikasi terhadap
Mycobacterium tuberculosis menjadi sarana diagnosis ideal untuk TB. Secara umum
sifat kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) antara lain adalah sebagai berikut :

 Berbentuk batang dengan panjang 1 – 10 mikron, lebar 0,2 – 0,6 mikron,


berwarna merah pada pemeriksaan mikroskopis dengan pewarnaan ZN.
 Bersifat tahan asam dalam pewarnaan dengan metode Ziehl Neelsen.
 Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein Jensen,
Ogawa.
 Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka
waktu lama pada suhu antara 4°C sampai -70°C.
 Sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultraviolet akan mati
dalam beberapa menit.
 Dalam dahak pada suhu antara 30 – 37°C akan mati lebih kurang 1 minggu.

3
 Dapat bersifat dormant (”tidur” / tidak berkembang).4

2.4 Cara Penularan TB


 Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percikan dahak yang
dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil
pemeriksaan BTA negatif tidak dapat menularkan, karena sensitivitas dengan
pemeriksaan mikroskopis hanya 60%.
 Infeksi akan terjadi bila seseorang menghirup udara yang mengandung
percikan dahak pasien TB.
 Pada waktu pasien batuk,bersin dan bicara dapat mengeluarkan sampai satu
juta percikan dahak (droplet nuclei).4

2.5 Perjalanan Alamiah TB


Terdapat 4 tahapan perjalanan alamiah penyakit. Tahapan tersebut meliputi
tahap paparan, infeksi, menderita sakit dan meninggal dunia yang dapat dilihat pada
tabel berikut:

4
Tabel 1. Perjalanan Alamiah TB

Dikutip (4)

2.6 Faktor Risiko TB

Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB


adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS, malnutrisi (gizi
buruk), dan Diabetes Melitus (DM). Infeksi HIV mengakibatkan penurunan sistem
daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga mudah terjadi infeksi
oportunistik seperti tuberkulosis. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka
jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat
akan meningkat pula.4

Hal lain yang mempermudah penularan TB yaitu :


 Hunian padat, misalnya di penjara dan tempat-tempat pengungsian.
 Situasi sosial ekonomi yang tidak menguntungkan, misalnya kemiskinan dan
pelayanan kesehatan yang buruk.
 Lingkungan kerja, misalnya laboratorium klinik, rumah sakit.4

5
Gambar 1. Faktor Risiko Kejadian TB

Dikutip (4)

2.7 Upaya Pengendalian TB

Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada awal tahun 1990-an WHO
dan IUATLD mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi
DOTS (Directly Observed Treatment Short-course). Strategi DOTS terdiri dari 5
komponen kunci, yaitu:
1) Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan.
2) Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin
mutunya.
3) Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien.
4) Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif.
5) Sistem monitoring, pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan
penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program.3

WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam


pengendalian TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai
salah satu intervensi kesehatan yang secara ekonomis sangat efektif (cost-effective).
Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan
efektifitasnya. Satu studi cost benefit yang dilakukan di Indonesia menggambarkan
bahwa dengan menggunakan strategi DOTS, setiap dolar yang digunakan untuk
membiayai program pengendalian TB, akan menghemat sebesar US$ 55 selama 20
tahun.3

6
Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas
diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai
penularan TB dan dengan demikian menurunkan insidens TB di masyarakat.
Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya
pencegahan penularan TB.3

2.8 Klasifikasi dan Tipe Pasien TB

Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi, pasien juga diklasifikasikan


menurut :
a. Lokasi anatomi dari penyakit
b. Riwayat pengobatan sebelumnya
c. Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
d. Status HIV

a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:

Tuberkulosis paru:
Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB dianggap sebagai
TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru. Limfadenitis TB dirongga dada (hilus
dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang
mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB ekstra paru. Pasien yang menderita
TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien
TB paru.3

Tuberkulosis ekstra paru:


Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe,
abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang. Diagnosis TB ekstra
paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis.
Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan berdasarkan penemuan Mycobacterium
tuberculosis. Pasien TB ekstra paru yang menderita TB pada beberapa organ,
diklasifikasikan sebagai pasien TB ekstra paru pada organ menunjukkan gambaran
TB yang terberat.3

b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:

1) Pasien baru TB:


Adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya atau
sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (˂ dari 28 dosis).

7
2) Pasien yang pernah diobati TB:
Adalah pasien yang sebelumnya pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih
(≥dari 28 dosis). Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil
pengobatan TB terakhir, yaitu:
• Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan
bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau karena
reinfeksi).
• Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang pernah
diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
• Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up):
adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up (klasifikasi
ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus
berobat/default).
• Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.3

c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat

Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :
• Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama
saja
• Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
• Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan
• Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga
resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah
satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan
Amikasin)
• Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau
tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode
genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional). 3

d. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV

1) Pasien TB dengan HIV positif: adalah pasien TB dengan :


 Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART,
ATAU

8
 Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB.

2) Pasien TB dengan HIV negatif: adalah pasien TB dengan :


 Hasil tes HIV negatif sebelumnya,
ATAU
 Hasil tes HIV negatif pada saat diagnosis TB.
Catatan :
Apabila pada pemeriksaan selajutnya ternyata hasil tes HIV menjadi positif, pasien
harus disesuaikan kembali klasifikasinya sebagai pasien TB dengan HIV positif.

3) Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui : adalah pasien TB tanpa ada bukti
pendukung hasil tes HIV saat didiagnosis TB ditetapkan.
Catatan :
Apabila pada pemeriksaan selanjutnya dapat diperoleh hasil tes HIV pasien, pasien
harus disesuaikan kembali klasifikasinya berdasarkan hasil tes HIV terakhir. 3

Gambar 2. Skema Klasifikasi TB

Dikutip (1)

9
2.9 Diagnosis
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang
lainnya. 1

Gejala klinik
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik
(atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.

1. Gejala respiratorik
 batuk ≥ 3 minggu
 batuk darah
 sesak napas
 nyeri dada

2. Gejala sistemik
 Demam
 Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun

Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala
yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis pada saat
medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka penderita
mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus,
dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar. Gejala tuberkulosis
ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis
tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah
bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada
pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang
rongga pleuranya terdapat cairan.1

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ
yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan
struktur paru. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama
daerah apex dan segmen posterior, serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan
fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah,
ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum. Pada pleuritis
tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga
pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah
sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitis tuberkulosa,
10
terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan
kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran
kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”. 1

Pemeriksaan Bakteriologik

a. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti
yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan
bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan
bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL),
urin, faces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH). 1

b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan


Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturut-turut atau dengan cara:
 Sewaktu (dahak sewaktu saat kunjungan)
 Pagi (keesokan harinya)
 Sewaktu ( pada saat mengantarkan dahak pagi)

Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung dalam


pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak
mudah pecah dan tidak bocor. 1

c. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain


 Mikroskopik
 Biakan

lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan :


 2 kali positif, 1 kali negatif → Mikroskopik positif
 1 kali positif, 2 kali negatif → Ulang BTA 3 kali , kemudian :
 bila 1 kali positif, 2 kali negatif → Mikroskopik positif
 bila 3 kali negatf → Mikroskopik negatif. 1

Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pemeriksaan
lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan.

Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :

11
 Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah
 Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular
 Bayangan bercak milier
 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang). 1

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif :


 Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
 Kompleks ranke
 Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura. 1

Luluh Paru (Destroyed Lung )

Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat,


biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari
atelektasis, multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Perlu dilakukan pemeriksaan
bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses penyakit. 1

Pemeriksaan Penunjang

1. Polymerase chain reaction (PCR):


Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA,
termasuk DNA M.tuberculosis. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai,
kendati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya. 1

2. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda:


a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon
humoral berupa proses antigen-antibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam
teknik ini antara lain adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang
cukup lama. 1
b. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini
menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu
alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke
dalam serum penderita, dan bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi
spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai yang sesuai dengan aktiviti
penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir yang dapat dideteksi
dengan mudah. 1
c. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)

12
Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang
terjadi. 1
d. ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji
serologik untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum. Uji ICT
tuberculosis merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen
spesifik yang berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis. Uji dinyatakan
positif bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari
empat garis antigen pada membran. Saat ini pemeriksaan serologi belum bisa
dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis. 1

3. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik.
M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2
yang akan dideteksi growth index-nya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi
salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan
diagnosis. 1

4. Pemeriksaan Cairan Pleura


Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada
penderita efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil
analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan
kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan
dan glukosa rendah. 1

5. Pemeriksaan histopatologi jaringan


Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui biopsi paru dengan trans
bronchial lung biopsy (TBLB), trans thoracal biopsy (TTB), biopsi paru terbuka,
biopsi pleura, biopsi kelenjar getah bening dan biopsi organ lain diluar paru. Dapat
pula dilakukan biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH). Diagnosis pasti infeksi
TB didapatkan bila pemeriksaan histopatologi pada jaringan paru atau jaringan
diluar paru memberikan hasil berupa granuloma dengan perkejuan. 1

6. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk
tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua sangat dibutuhkan.
Data ini sangat penting sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan nilai
keseimbangan biologik penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah satu
respon terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi
tingkat penyembuhan penderita. Kadar limfosit bisa menggambarkan biologik/

13
daya tahan tubuh penderita, yaitu dalam keadaan supresi atau tidak. LED dan
limfosit kurang spesifik. 1

7. Uji tuberkulin
Di Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi, pemeriksaan uji
tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik kurang berarti, terutama pada orang
dewasa. Pada pleuritis tuberkulosa uji tuberkulin kadang negatif, terutama pada
malnutrisi dan infeksi HIV. Jika awalnya negatif mungkin dapat menjadi positif
jika diulang 1 bulan kemudian. 1

Gambar 3. Alur Diagnostik TB


Dikutip (1)
2.10 Komplikasi
 Batuk darah
 Pneumotoraks
 Luluh paru
14
 Gagal napas
 Gagal jantung
 Efusi pleura. 1
2.11 Tatalaksana TB

Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan
dengan maksud :
 Tahap awal (2-3 bulan)
Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini adalah
dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam
tubuh pasien dan meminimalisir pegaruh dari sebagian kecil kuman yang
mungkin sudah resisten sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan.
Pengobatan tahap awal pada semua pasien harus diberikan selama 2 bulan.
Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit,
daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu.
 Tahap lanjutan (4 atau 7 bulan)
Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting untuk membunuh
sisa-sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya kuman persister
sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan.

Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Tabel 2. OAT Lini Pertama


Dikutip (3)

15
Tabel 3. Kisaran Dosis Obat Lini Pertama
Dikutip (3)

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di
Indonesia adalah :
 Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
 Kategori 2 : 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3.
 Kategori Anak : 2(HRZ) / 4(HR) atau 2HRZA(S) / 4-10HR
 Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resisten obat di Indonesia
terdiri dari OAT line ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin,
Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin dan PAS, serta OAT lini pertama,
yaitu pirazinamid dan etambutol.

Paduan OAT Kategori-1 dan Kategori-2 disediakan dalam bentuk paket obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau
4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien.
Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.

Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini
disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti
mengalami efek samping pada pengobatan dengan OAT KDT sebelumnya.3

Paduan OAT KDT Lini Pertama dan Peruntukannya

a. Kategori-1 : 2(HRZE) / 4(HR)3


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

16
 Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.
 Pasien TB paru terdiagnosis klinis
 Pasien TB ekstra paru.3

Tabel 4. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1


Dikutip (3)

Tabel 5. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1


Dikutip (3)

b. Kategori 2 : 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati
sebelumnya (pengobatan ulang):
 Pasien kambuh
 Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya
 Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up).3

Tabel 6. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2


Dikutip (3)

17
Tabel 7. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2
Dikutip (3)
Catatan:
• Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB pada keadaan khusus.
• Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).
• Berat badan pasien ditimbang setiap bulan dan dosis pengobatan harus
disesuaikan apabila terjadi perubahan berat badan.
• Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya
kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien
baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah
daripada OAT lini pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan risiko
terjadinya resistensi pada OAT lini kedua.
• OAT lini kedua disediakan di Fasyankes yang telah ditunjuk guna memberikan
pelayanan pengobatan bagi pasien TB yang resistan obat.3

2.12 Pengobatan TB pada keadaan khusus

1) Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan
pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk
kehamilan, kecuali golongan Aminoglikosida seperti streptomisin atau kanamisin
karena dapat menimbulkan ototoksik pada bayi (permanent ototoxic) dan dapat
menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan
pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu
dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting
artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan
terhindar dari kemungkinan tertular TB.
Pemberian Piridoksin 50 mg/hari dianjurkan pada ibu hamil yang
mendapatkan pengobatan TB, sedangkan pemberian vitamin K 10mg/hari juga
dianjurkan apabila Rifampisin digunakan pada trimester 3 kehamilan menjelang
partus.3

18
2) Ibu menyusui dan bayinya
Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan
pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Pemberian
OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB
kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus
diberikan ASI. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut
sesuai dengan berat badannya.3

3) Pasien TB pengguna kontrasepsi


Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB,
susuk KB) sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang
pasien TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal.3

4) Pasien TB dengan kelainan hati


a) Pasien TB dengan Hepatitis akut
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik,
ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Sebaiknya dirujuk
ke fasyankes rujukan untuk penatalaksanaan spesialistik.
b) Pasien dengan kondisi berikut dapat diberikan paduan pengobatan OAT yang
biasa digunakan apabila tidak ada kondisi kronis :
• Pembawa virus hepatitis
• Riwayat penyakit hepatitis akut
• Saat ini masih sebagai pecandu alkohol
Reaksi hepatotoksis terhadap OAT umumnya terjadi pada pasien dengan
kondisi tersebut diatas sehingga harus diwaspadai.
c) Hepatitis Kronis
Pada pasien dengan kecurigaan mempunyai penyakit hati kronis, pemeriksaan
fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan. Apabila hasil
pemeriksaan fungsi hati >3 x normal sebelum memulai pengobatan, paduan
OAT berikut ini dapat dipertimbangkan:
• 2 obat yang hepatotoksik
 2 HRSE / 6 HR
 9 HRE
• 1 obat yang hepatotoksik
 2 HES / 10 HE
• Tanpa obat yang hepatotoksik
 18-24 SE ditambah salah satu golongan fluorokuinolon (ciprofloxasin
tidak direkomendasikan karena potensimya sangat lemah)

19
5) Pasien TB dengan gangguan fungsi ginjal
Paduan OAT yang dianjurkan adalah pada pasien TB dengan gagal ginjal
atau gangguan fungsi ginjal yang berat: 2 HRZE/4 HR.
H dan R diekskresi melalui empedu sehingga tidak perlu dilakukan
perubahan dosis. Dosis Z dan E harus disesuaikan karena diekskresi melalui ginjal.
Dosis pemberian 3 x /minggu bagi Z : 25 mg/kg BB dan E : 15 mg/kg BB. Pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau gagal ginjal, perlu diberikan tambahan
Piridoksin (vit. B6) untuk mencegah terjadinya neuropati perifer. Hindari penggunaan
Streptomisin dan apabila harus diberikan, dosis yang digunakan: 15 mg/kgBB, 2 atau
3 x /minggu dengan maksimum dosis 1 gr untuk setiap kali pemberian dan kadar
dalam darah harus selalu dipantau.
Pasien dengan penyakit ginjal sangat berisiko untuk terkena TB khususnya
pada pasien dengan penyakit ginjal kronis. Secara umum, risiko untuk mengalami
efek samping obat pada pengobatan pasien TB dengan gagal kronis lebih besar
dibanding pada pasien TB dengan fungsi ginjal yang masih normal. Kerjasama
dengan dokter yang ahli dalam penatalaksanaan pasien dengan gangguan fungsi ginjal
sangat diperlukan.

6) Pasien TB dengan Diabetes Melitus (DM)


TB merupakan salah satu faktor risiko tersering pada seseorang dengan
Diabetes mellitus. Anjuran pengobatan TB pada pasien dengan Diabetes melitus:
a) Paduan OAT yang diberikan pada prinsipnya sama dengan paduan OAT bagi
pasien TB tanpa DM dengan syarat kadar gula darah terkontrol
b) Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat
dilanjutkan sampai 9 bulan
c) Hati hati efek samping dengan penggunaan Etambutol karena pasien DM sering
mengalami komplikasi kelainan pada mata
d) Perlu diperhatikan penggunaan Rifampisin karena akan mengurangi efektifitas
obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosisnya perlu ditingkatkan
e) Perlu pengawasan sesudah pengobatan selesai untuk mendeteksi dini bila terjadi
kekambuhan

7) TB Milier
a. Rawat inap
b. Paduan obat: 2 RHZE/ 4 RH
c. Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinis, radiologi dan
evaluasi pengobatan, maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang
d. Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan
i. Tanda / gejala meningitis
ii. Sesak napas
iii. Tanda / gejala toksik

20
iv. Demam tinggi

8) Efusi Pleura TB
a) Paduan obat: 2RHZE/4RH.
b) Evakuasi cairan, dikeluarkan seoptimal mungkin, sesuai keadaan pasien dan
dapat diberikan kortikosteroid
c) Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas dan DM.
d) Evakuasi cairan dapat diulang bila diperlukan

9) TB Paru dengan HIV


Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan
kemungkinan koinfeksi TB-HIV, maka konseling dan pemeriksaan HIV diindikasikan
untuk seluruh TB pasien sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin. Pada daerah
dengan prevalensi HIV yang rendah, konseling dan pemeriksaan HIV hanya
diindikasi pada pasien TB dengan keluhan dan tanda tanda yang diduga berhubungan
dengan HIV dan pada pasien TB dengan riwayat risiko tinggi terpajan HIV.
Jadi tidak semua pasien TB paru perlu diuji HIV. Hanya pasien TB paru tertentu saja
yang memerlukan uji HIV, misalnya:
a. Ada riwayat perilaku risiko tinggi tertular HIV
b. Hasil pengobatan OAT tidak memuaskan
c. MDR TB / TB kronik

Pengobatan OAT pada TB-HIV:


- Pada dasarnya pengobatannya sama dengan pengobatan TB tanpa HIV/AIDS.
- Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam
jumlah cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepa
- Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya karena akan
menyebabkan efek toksik berat pada kulit
- Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik sekali pakai yang
steril.
- Desensitisasi obat (INH, rifampisin) tidak boleh dilakukan karena mengakibatkan
toksik yang serius pada hati
- Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberi respons terhadap
pengobatan, selain dipikirkan terdapat resistensi terhadap obat juga harus dipikirkan
terdapatnya malabsorpsi obat. Pada pasien HIV/AIDS terdapat korelasi antara
imunosupresi yang berat dengan derajat penyerapan, karenanya dosis standar OAT
yang diterima suboptimal sehingga konsentrasi obat rendah dalam serum
- Saat pemberian obat pada koinfeksi TB-HIV harus memperhatikan jumlah limfosit
CD4 dan sesuai dengan rekomendasi yang ada

21
9) Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid
Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan
jiwa pasien seperti:
a) Meningitis TB dengan gangguan kesadaran dan dampak neurologis
b) TB milier dengan atau tanpa meningitis
c) Efusi pleura dengan gangguan pernafasan berat atau efusi pericardial
d) Laringitis dengan obstruksi saluran nafas bagian atas, TB saluran kencing (untuk
mencegah penyempitan ureter ), pembesaran kelenjar getah bening dengan
penekanan pada bronkus atau pembuluh darah.
e) Hipersensitivitas berat terhadap OAT.
f) IRIS ( Immune Response Inflammatory Syndrome )

Dosis dan lamanya pemberian kortikosteroid tergantung dari berat dan ringannya
keluhan serta respon klinis.
Predinisolon (per oral):
• Anak: 2 mg / kg BB, sekali sehari pada pagi hari
• Dewasa: 30 – 60 mg, sekali sehari pada pagi hari
Apabila pengobatan diberikan sampai atau lebih dari 4 minggu, dosis harus
diturunkan secara bertahap (tappering off).

10) Indikasi operasi


Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (misalnya reseksi paru), adalah:
a) Untuk TB paru:
• Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif.
• Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara
konservatif.
• Pasien TB MDR dengan kelainan paru yang terlokalisir.
b) Untuk TB ekstra paru:
Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien TB tulang yang disertai
kelainan neurologik.

Pemantauan kemajuan pengobatan TB

Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang dewasa


dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan
dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis
dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan
untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB.
Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan dua contoh
uji dahak (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 contoh

22
uji dahak tersebut negatif. Bila salah satu contoh uji positif atau keduanya positif,
hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.
Hasil dari pemeriksaan mikroskopis semua pasien sebelum memulai
pengobatan harus dicatat. Pemeriksaan ulang dahak pasien TB BTA positif
merupakan suatu cara terpenting untuk menilai hasil kemajuan pengobatan. Setelah
pengobatan tahap awal, tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan ulang dahak apakah
masih tetap BTA positif atau sudah menjadi BTA negatif, pasien harus memulai
pengobatan tahap lanjutan (tanpa pemberian OAT sisipan apabila tidak mengalami
konversi). Pada semua pasien TB BTA positif, pemeriksaan ulang dahak selanjutnya
dilakukan pada bulan ke 5. Apabila hasilnya negatif, pengobatan dilanjutkan hingga
seluruh dosis pengobatan selesai dan dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali
pada akhir pengobatan.3

Hasil Pengobatan Pasien TB

Tabel 8. Hasil Pengobatan Pasien TB


Dikutip (3)

23
Efek samping OAT dan penatalaksanaannya

Tabel 9. Efek samping ringan OAT


Dikutip (3)

Tabel 10. Efek samping berat OAT


Dikutip (3)

Penatalaksanaan pasien dengan ”drugs induced hepatitis”


Dalam uraian ini hanya akan disampaikan tatalaksana pasien yang
mengalami keluhan gangguan fungsi hati karena pemberian obat (drugs induced
hepatitis). Penatalaksanaan pasien dengan gangguan fungsi hati karena penyakit
penyerta pada hati, diuraikan dalam uraian Pengobatan pasien dalam keadaan khusus.
OAT lini pertama yang dapat memberikan gangguan fungsi hati adalah : H, R dan Z.
Sebagai tambahan, Rifampisin dapat menimbulkan ikterus tanpa ada bukti
gangguan fungsi hati. Penting untuk memastikan kemungkinan adanya faktor
penyebab lain sebelum menyatakan gangguan fungsi hati yang terjadi disebabkan oleh
karena paduan OAT.

24
Pengobatan Suportif / Simptomatik

Pengobatan yang diberikan kepada penderita TB perlu diperhatikan keadaan


klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, dapat rawat jalan.
Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik untuk
meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan.
1. Penderita rawat jalan
a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin
tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk penderita
tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya).
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau
keluhan lain.
2. Penderita rawat inap
a. Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
- Batuk darah (profus)
- Keadaan umum buruk
- Pneumotoraks
- Empiema
- Efusi pleura masif / bilateral
- Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)

TB di luar paru yang mengancam jiwa :


- TB paru milier
- Meningitis TB

b. Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan
indikasi rawat

Terapi Pembedahan

lndikasi operasi :
1. Indikasi mutlak
a. Semua penderita yang telah mendapat OAT adekuat tetapi dahak tetap positif
b. Penderita batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
c. Penderita dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi
secara konservatif
2. lndikasi relatif
a. Penderita dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan

25
c. Sisa kaviti yang menetap.

Tindakan Invasif (Selain Pembedahan)


• Bronkoskopi
• Punksi pleura
• Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage) Kriteria Sembuh
• BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir
pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
• Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/ perbaikan
• Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negative

2.13 Resistensi Ganda (Multi Drug Resistance/ MDR)

Definisi :
Resistensi ganda menunjukkan M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan INH
dengan atau tanpa OAT lainnya. Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis
dibagi menjadi :
• Resistensi primer ialah apabila penderita sebelumnya tidak pernah mendapat
pengobatan TB
• Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah penderitanya sudah
pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak
• Resistensi sekunder ialah apabila penderita telah punya riwayat pengobatan
sebelumnya.1

Laporan pertama tentang reistensi ganda datang dari Amerika Serikat, khususnya pada
penderita TB dan AIDS yang menimbulkan angka kematian 70% –90% dalam waktu
hanya 4 sampai 16 minggu. “WHO Report on Tuberculosis Epidemic 1995”
menyatakan bahwa resitensi ganda kini menyebar di berbagai belahan dunia. Lebih
dari 50 juta orang mungkin telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis yang resisten
terhadap beberapa obat anti tuberkulosis khususnya rifampisin dan INH, serta
kemungkinan pula ditambah obat antituberkulosis yang lainnya. TB paru kronik
sering disebabkan oleh MDR. 1

Ada beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap obat tuberkulosis, yaitu :


• Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis
• Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, baik karena jenis obatnya yang
tidak tepat misalnya hanya memberikan INH dan etambutol pada awal
pengobatan, maupun karena di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi
yang tinggi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin
dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut
sudah cukup tinggi

26
• Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga
minggu lalu stop, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter dan
mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu stop lagi, demikian
seterusnya
• Fenomena “addition syndrome”, yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu
paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena
kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka “penambahan”
(addition) satu macam obat hanya akan menambah panjang nya daftar obat
yang resisten
• Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara
baik, sehingga mengganggu bioavailabiliti obat
• Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu daerah
kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan
• Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga kadang menimbulkan
kebosanan
• Pengetahuan penderita kurang tentang penyakit TB
• Belum menggunakan strategi DOTS
• Kasus MDR-TB rujuk ke ahli paru. 1

27
Tabel 11. Obat yang digunakan untuk pengobatan TBMDR
Dikutip (3)

2.14 Pengawas Menelan Obat (PMO)

Paduan pengobatan yang dianjurkan dalam buku pedoman ini akan


menyembuhkan sebagian besar pasien TB baru tanpa memicu munculnya kuman
resistan obat. Untuk tercapainya hal tersebut, sangat penting dipastikan bahwa pasien
menelan seluruh obat yang diberikan sesuai anjuran dengan cara pengawasan
langsung oleh seorang PMO (Pengawas Menelan Obat) agar mencegah terjadinya
resistensi obat.3

1) Persyaratan PMO
a) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan
maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.
b) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.

28
c) Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
d) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien

2) Siapa yang bisa jadi PMO


Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat,
Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas
kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru,
anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.

3) Tugas seorang PMO


a) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan.
b) Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
c) Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah
ditentukan.
d) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai
gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit
Pelayanan Kesehatan.3

Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil


obat dari unit pelayanan kesehatan.

4) Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada


pasien dan keluarganya:
a) TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan
b) TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
c) Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya
d) Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)
e) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur
f) Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta
pertolongan ke fasyankes.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes RI., 2008. Pedoman Penatalaksanaan TB (Konsensus TB). Jakarta : Gerdunas


TB. Edisi 2, hal. 1-55.
2. Ratnasari N Y, et al., 2012. Hubungan Dukungan Sosial dengan Kualias Hidup pada
Penderita TB Paru di Balai Pengobatan Penyakit Paru Yogyakarta. Jurnal
Tuberkulosis Indonesia, Vol.8; hal 155-60.
3. Kementerian Kesehatan RI., 2014. Pedoman Nasional Pengendalian TB. Jakarta : hal
2-37.
4. Sukana, B., Herryanto, & Supraptini., 2003. Peran Penyuluhan Terhadap Pengetahuan
Penderita Tuberkulosis Paru di Kabupaten Tangerang. Jurnal Ekologi Kesehatan. 2(3),
hal 282-289.
5. Suryanto, E., 2000. Tuberkulosis dan HIV. Dalam Jurnal Respirologi Indonesia.
Jakarta : hal 5-10.

30

Anda mungkin juga menyukai