PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu penyakit penyebab kematian utama yang disebabkan oleh
infeksi, adalah Tuberkulosis (TB). TB merupakan ancaman bagi penduduk
Indonesia, pada tahun 2004, sebanyak seperempat juta orang bertambah
penderita baru dan sekitar 140.000 kematian setiap tahunnya.
Sebagian besar penderita TB adalah penduduk yang berusia produktif
antara 15-55 tahun, dan penyakit ini merupakan penyebab kematian nomor
tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernafasan akut pada seluruh
kalangan usia.
Pemerintah melalui Program Nasional Pengendalian TB telah melakukan
berbagai upaya untuk menanggulangi TB, yakni dengan strategi DOTS
(Directly Observed Treatment Shortcourse). World Health Organization
(WHO) merekomendasikan 5 komponen strategi DOTS yakni :
a. Tanggung jawab politis dari para pengambil keputusan (termasuk
dukungan dana)
b. Diagnosis TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis
c. Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek
dengan pengawasan langsung Pengawas Menelan Obat (PMO)
d. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin
e. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan
dan evaluasi program penanggulangan TB.
Walaupun di Indonesia telah banyak kemajuan yang diperoleh, yakni
pencapaian penemuan kasus baru 51,6 % dari target global 70 %
dibandingkan pencapaian 20 % pada tahun 2002 dan 37 % pada tahun 2003,
juga penyediaan obat-obat anti TB yang dijamin oleh pemerintah untuk sarana
pelayanan kesehatan pemerintah mencukupi kebutuhan prakiraan kasus di
seluruh Indonesia, TB tetap belum dapat diberantas, bahkan diperkirakan
jumlah penderita TB terus meningkat.
Peningkatan jumlah penderita TB disebabkan oleh berbagai faktor, yakni
kurangnya tingkat kepatuhan penderita untuk berobat dan meminum obat,
harga obat yang mahal, timbulnya resistensi ganda, kurangnya daya tahan
tempat
lain
yang
melayani
masyarakat
dalam
memenuhi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
penatalaksanaan
Tuberkulosis
(meliputi
algoritme,
terapi
BAB II
TUBERKULOSIS
(Tuberculosis)
2.1 Definisi
Menurut Depkes (2007) Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung
yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian
besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh
lainnya.
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang
disebut Mycobacterium tuberculosis. Bakteri tersebut biasanya menyerang
paru-paru, namun bakteri TB juga dapat menyerang setiap bagian dari tubuh
seperti ginjal, tulang belakang, dan otak. Jika tidak ditangani dengan baik,
(CDC, 2012)
Tuberkulosis adalah penyakit yang
disebabkan
oleh
infeksi
adalah
penyakit
setiap tahun sejak tahun 1986, mencapai 51% pada tahun 2002. Hampir dua
pertiga dari pasien TB berasal dari tujuh negara, di urutan tertinggi ke
terendah: Meksiko, Filipina, Vietnam, India, Cina, Haiti, dan Korea Selatan.
Sehingga, petugas kesehatan harus dapat mendiagnosa pasien bahwa "ini
TB" ketika merawat pasien dari negara-negara ini yang mengalami gejala
seperti batuk, demam, dan penurunan berat badan.
Kontak dekat pasien TB paru yang memungkinkan terjadinya infeksi.
Orang-orang terdekat termasuk anggota keluarga, rekan kerja, atau
coresidents di tempat-tempat seperti penjara, tempat penampungan, atau
panti jompo. Semakin lama kontak dengan penderita, semakin besar risiko
terinfeksi, dengan tingkat infeksi sekitar 30%. Banyak pasien TB memiliki
riwayat penyalahgunaan alkohol atau obat terlarang, dan banyak juga pasien
dengan riwayat koinfeksi dengan hepatitis B atau immunodeficiency
manusia defisiensi virus (HIV). Hal tersebutlah yang membuat pengobatan
beberapa pasien TB menjadi sulit. (Dipiro,2005)
Di Indonesia, penyakit TBC tersebar tidak hanya di kota-kota saja tetapi
juga menyebar hingga ke pedesaan. Risiko terinfeksi TB sebagian besar
adalah faktor risiko external, terutama adalah faktor lingkungan seperti
rumah tak sehat, pemukiman padat & kumuh. (Dirjen Binfar dan
Alkes,2005)
Ras, etnik, usia, dan gender
Di Amerika Serikat, TB mempengaruhi etnis minoritas. Pada tahun
2002, kulit hitam non-Hispanik menyumbang 30% dari semua kasus TB,
diikuti oleh Hispanik sekitar 27%. Benua Asia dan Pasifik menyumbang
22%, sedangkan kulit putih non-Hispanik hanya menyumbang 20% dari
kasus TB baru.
Umumnya TB di jumpai pada rentang usia antara 25-44 tahun (35%
dari semua kasus AS pada tahun 2002). Diikuti oleh usia 45-64 tahun (28%)
dan 65+ tahun (21%). TB lebih sering terjadi pada orang kulit putih yang
lebih tua dan orang Asia dibandingkan dengan orang yang lebih muda dalam
kelompok ini. kembali fl proyek-reaktivasi infeksi laten yang diperoleh
bertahun-tahun sebelumnya ketika TB menjadi sangat umum. Pada ras Kulit
2.4 Patogenesis
Paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei)
yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera
diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan
menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar
kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu
menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag.
Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan
membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di
jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di
saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena.
Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe
yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus
primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal.
10
tubuh pejamu menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi
penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,
sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh
tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB
secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam
waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada
jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya
penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem
imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic
spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan
melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih
milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padipadian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul
kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan granuloma.
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted
hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan
menyebar ke saluran vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan
masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran
tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread.
Hal ini dapat terjadi secara berulang.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama),
biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB
paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB
paru kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB
milier atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi
primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat
pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9
bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia
terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi
11
kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini
jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.
Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang
terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi,
dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian.
TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer. (Retno Asti W,
2002)
12
Pada anak-anak gejala TB terbagi 2, yakni gejala umum dan gejala khusus.
13
Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas
dan tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi
yang baik.\
Demam lama atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria
atau infeksi saluran nafas akut) dapat disertai dengan keringat malam.
Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit, paling sering
disingkirkan sebab lain dari batuk), tanda cairan di dada dan nyeri dada.
Gejala dari saluran cerna, misalnya diare berulang yang tidak sembuh
dengan pengobatan diare, benjolan (massa) di abdomen, dan tandatanda cairan dalam abdomen.
positif.
Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikkan BCG (dalam 3-7
hari).
(Dirjen Binfar dan Alkes, 2005)
2.6 Klasifikasi
14
Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak
termasuk pleura (selaput paru)
1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi dalam :
a. Tuberkulosis Paru BTA (+)
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan
tuberkulosis aktif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA
positif dan biakan positif
diperiksa
2. Berdasarkan Tipe Penderita
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.
Ada beberapa tipe penderita yaitu :
a. Kasus baru
Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan
OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30
dosis harian)
15
perburukan
f. Kasus kronik
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih
positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan
pengawasan yang baik
g.
Kasus bekas TB
negatif
16
dan
gambaran
radiologik
paru
2.6.2
paru.
Bila seorang penderita TB paru juga mempunyai TB di luar paru,
maka untuk kepentingan pencatatan penderita tersebut harus dicatat
17
Gambar 6. Klasifikasi TBC berdasarkan Lokasi atau organ tubuh yang terinfeksi :
paru atau ekstra paru
Gambar 7. Klasifikasi TBC dilihat dari Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya
2.7 Diagnosa
Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TBC, maka beberapa hal
yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah:
* Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya.
* Pemeriksaan fisik.
* Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak).
* Pemeriksaan patologi anatomi (PA).
* Rontgen dada (thorax photo).
* Uji tuberkulin.
18
1 spesimen yang positif maka perlu dilanjutkan dengan rontgen dada atau
pemeriksaan SPS diulang.
Pada orang dewasa, uji tuberkulin tidak mempunyai arti dalam diagnosis,
hal ini disebabkan suatu uji tuberkulin positif hanya menunjukkan bahwa yang
bersangkutan pernah terpapar dengan Mycobacterium tubeculosis. Selain itu,
hasil uji tuberkulin dapat negatif meskipun orang tersebut menderita TB.
Misalnya pada penderita HIV (Human Immunodeficiency Virus), malnutrisi
berat, TB milier dan morbili.
Sementara diagnosis TB ekstra paru, tergantung pada organ yang terkena.
Misalnya nyeri dada terdapat pada TB pleura (pleuritis), pembesaran kelenjar
limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan pembengkakan tulang belakang
pada Sponsdilitis TB. Seorang penderita TB ekstra paru kemungkinan besar
juga menderita TB paru, oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan dahak
dan foto rontgen dada.
Secara umum diagnosis TB paru pada anak
Gambaran klinik :
Meliputi gejala umum dan gejala khusus pada anak
Gambaran foto rontgen dada
Gejala-gejala yang timbul adalah :
- Infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal
- Milier
- Atelektasis/kolaps konsolidasi
- Konsolidasi (lobus)
- Reaksi pleura dan atau efusi pleura
- Kalsifikasi
- Bronkiektasis
- Kavitas
- Destroyed lung
Uji tuberkulin
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang
cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux
19
umumnya pada bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan
intrakutan (ke dalam kulit).
Penilaian uji tuberkulin dilakukan 4872 jam setelah penyuntikan dan
diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi:
1. Pembengkakan (Indurasi) : 04mm, uji mantoux negatif. Arti klinis :
tidak ada infeksi Mycobacterium tuberculosis.
2. Pembengkakan (Indurasi) : 59mm, uji mantoux meragukan. Hal ini
bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium
atypikal atau pasca vaksinasi BCG.
3. Pembengkakan (Indurasi) : >= 10mm, uji mantoux positif. Arti klinis :
Mycobacterium tuberculosis.
Pemeriksaan mikrobiologi dan serologi
Pemeriksaan BTA secara mikroskopis lansung pada anak biasanya
dilakukan dari bilasan lambung karena dahak sulit didapat pada anak.
Pemeriksaan serologis seperti ELISA, PAP, Mycodot dan lain-lain, masih
20
2.8 Penularan
Penyakit TBC ditularkan dari orang ke orang, terutama melalui saluran
nafas dengan menghisap atau menelan tetes-tetes ludah atau dahak (droplet
infection) yang mengandung basil dan dibatukkan oleh penderita TBC
terbuka. Atau juga karena adanya kontak antara tetes ludah/dahak tersebut dan
luka di kulit. Dalam tetes-tetes ini kuman dapat hidup beberapa jam dalam
udara panas lembap, dalam nanah bahkan beberapa hari. Untuk membatasi
penyebaran perlu sekali di screen semua keluarga dekat yang erat
21
pada
orang-orang
disekitarnya
sebelum
penyakitnya
BAB III
FARMAKOTERAPI TUBERKULOSIS
Outcome(Hasil) yang diinginkan untuk pengobatan TB, diantaranya :
1. Identifikasi Cepat dari kasus TB baru
2. Isolasi pasien dengan penyakit aktif untuk mencegah penyebaran penyakit
3. Pengumpulan sampel yang sesuai untuk pewarnaan (smear) dan biakan
(culture)
4. Inisiasi spesifik pengobatan anti tuberkulosis
5. Resolusi segera dari tanda-tanda dan gejala penyakit
22
hanya untuk
pasien yang terinfeksi yang tidak memiliki TB aktif (infeksi laten, seperti yang
ditunjukkan oleh tes kulit positif). Setelah penyakit aktif hadir, minimal dua obat
dan umumnya tiga atau empat obat harus digunakan secara bersamaan.
Lamanya pengobatan tergantung pada kondisi tuan rumah, luasnya penyakit,
kehadiran resistensi obat, dan toleransi obat. Durasi terpendek pengobatan
umumnya adalah 6 bulan, dan 2 sampai 3 tahun pengobatan mungkin diperlukan
untuk kasus-MDR TB (Multi Drug Resistance-TB). Karena durasi pengobatan
yang terbilang lama, banyak pasien merasa lebih baik setelah beberapa minggu
pengobatan, hati-hati tindak lanjut diperlukan. Pemantauan terapi langsung
(Directly Observed Therapy) oleh petugas kesehatan terhadap pasien merupakan
cara yang efektif untuk memastikan keberhasilan terapi. (Dipiro,2005)
3.1 Terapi Non Farmakologi
Intervensi Non farmakologis bertujuan untuk :
1. Mencegah penularan TB dari penderita yang terinfeksi
2. Menemukan di mana TB telah menyebar menggunakan kontak
investigasi, dan
3. Mengisi melemah (konsumtif) pasien untuk keadaan berat badan
normal dan kesejahteraan. Item 1 dan 2 dilakukan oleh departemen
kesehatan masyarakat. Para dokter yang terlibat dalam pengobatan TB
harus memastikan bahwa departemen kesehatan setempat telah
diberitahu mengenai semua kasus baru TB.
23
termasuk
penyalahgunaan
zat
dan
infeksi
HIV,
dan
terhadap
Namun,
vaksin
TB
ini
termasuk
adalah
nilai
BCG
dan
terbatas,
M.vaccae.
dan
tidak
24
Selama fase lanjutan diperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam waktu
yang lebih panjang. Efek sterilisasi obat pada fase ini bertujuan untuk
membersihkan sisa-sisa kuman dan mencegah kekambuhan.
Pada pasien dengan sputum BTA positif ada risiko terjadinya resistensi
selektif. Penggunaan 4 obat selama fase intensif dan 2 obat selama fase
lanjutan akan mengurangi risiko resistensi selektif. Pada pasien dengan
sputum BTA negatif atau TB ekstra paru tidak terdapat risiko resistensi
selektif karena jumlah bakteri di dalam lesi relatif sedikit. Pengobatan fase
intensif dengan 3 obat dan fase lanjutan dengan 2 obat biasanya sudah
memadai.
Pada pasien yang pernah diobati ada risiko terrjadinya resistensi.
Paduan pengobatan ulang yang terdiri dari 5 obat untuk fase intensif dan 3
obat untuk fase lanjutan. Selama fase intensif sekurang-kurangnya 2
diantara obat yang diberikan haruslah masih efektif . (IONI,2008)
3.2.2 Pengobatan Infeksi Laten
Bakteri TB dapat hidup di dalam tubuh tanpa membuat Anda sakit. Ini
disebut infeksi TB laten. Pada kebanyakan orang yang menghirup bakteri
TB dan terinfeksi, tubuh mampu untuk melawan bakteri untuk
menghentikan bakteri tumbuh. Orang dengan infeksi TB laten tidak merasa
sakit dan tidak memiliki gejala apapun. Orang dengan infeksi TB laten tidak
menular dan tidak dapat menyebarkan bakteri TB kepada orang lain.
Namun, jika bakteri TB menjadi aktif dalam tubuh dan berkembang biak,
maka individu dengan infeksi TB laten ditubuhnya akan berubah menjadi
penyakit TB. (CDC, 2012)
Isoniazid merupakan obat pilihan untuk mengobati infeksi TB laten.
Umumnya, isoniazid saja diberikan selama 9 bulan. Pengobatan infeksi TB
laten (Latent Tubeculosis Infection/LTBI) mengurangi risiko seumur hidup
seseorang TB aktif dari sekitar 10% menjadi sekitar 1%. Karena TB
menyebar dengan mudah melalui udara, setiap kasus dicegah untuk
mencegah gelombang kedua kasus yang setiap kasus dicegah akan
diproduksi. Secara historis, pengobatan LTBI telah
disebut profilaksis,
25
positif
HIV
memerlukan
evaluasi
yang
cermat.
Setelah
TB
aktif
300
mg
setiap
hari
(5-10
mg
kg
berat
badan)
Dimana Dosis yang lebih rendah kurang efektif. Isoniazid harus diberikan
pada saat perut kosong, dan antasida harus dihindari dalam waktu 2 jam dari
dosis. Ketika kepatuhan menjadi masalah, isoniazid dua kali seminggu
(900 mg pada orang dewasa) dapat diberikan dengan menggunakan DOT
(Directly Observed Treatment). 9 bulan pengobatan dianjurkan, tapi 6 bulan
masih menghasilkan efek yang cukup menguntungkan.
Rifampisin 600 mg setiap hari selama 4 bulan dapat digunakan ketika
dicurigai terjadi resistensi isoniazid atau ketika pasien tidak dapat
mentoleransi isoniazid. Rifabutin 300 mg sehari dapat digunakan untuk
subtitusi rifampisin pada pasien berisiko tinggi interaksi obat. Kombinasi
dari pirazinamid ditambah rifampisin tidak lagi dianjurkan karena efek
hepatotoksisitas sangat tinggi dari diharapkan. Ketika terjadi resistensi
terhadap isoniazid dan rifampisin diduga isolat menyebabkan infeksi, tidak
ada rejimen yang terbukti efektif. Rejimen yang mungkin efektif termasuk
ethambutol ditambah levofloxacin, namun data mengenai efficacy kurang.
Untuk baru-baru ini konverter tes kulit dari segala usia, risiko TB aktif
melampaui risiko toksisitas obat. Wanita hamil, pecandu alkohol, dan pasien
dengan diet yang buruk yang di terapi dengan isoniazid harus menerima
piridoksin (vitamin B) 10-50 mg setiap hari untuk mengurangi efek pada
sistem
saraf
pusat
(SSP)
atau
neuropati
perifer.
Semua pasien yang menerima pengobatan LTBI harus dipantau tiap bulan
26
penyakit
TB.
Beberapa
individu
dapat
segera
27
memiliki peran spesifik. Isoniazid dan rifampisin harus digunakan bersamasama bila memungkinkan. Biasanya, M. Tuberculosis dapat sangat rentan
atau sangat resisten terhadap pemberian obat. Ini berbeda dengan M. avium,
di mana organisme sering agak resisten. Secara teoritis, konsentrasi hambat
minimal (MIC) hasil dapat digunakan untuk memandu dosis dalam
pengobatan agak resisten pada M.Tuberculosis, tapi ini masih harus diteliti
secara prospektif. (Dipiro,2005)
Standar rejimen pengobatan TB adalah isoniazid, rifampin, pirazinamid,
dan etambutol selama 2 bulan, diikuti oleh isoniazid dan rifampisin selama
4 bulan, untuk total 6 bulan pengobatan. Jika kerentanan terhadap isoniazid,
rifampisin, dan pirazinamid terlihat, maka penggunaan etambutol dapat
dihentikan setiap saat. Tanpa pirazinamid, terapi isoniazid dan rifampisin
diperlukan selama 9 bulan. Ketika terapi intermiten digunakan, DOT
(pengobatan diamati secara langsung) adalah penting. Dosis yang
terlewatkan selama rejimen TB intermiten menurunkan efficacy dan
meningkatkan terjadinya kekambuhan. Perhatikan Tabel 2 menunjukkan
rekomendasi yang berbeda untuk pasien negatif HIV dan positif HIV.
Pasien positif HIV harus tidak menerima rejimen yang sangat berselang.
Secara umum, rejimen diberikan harian lima kali setiap minggu atau tiga
kali seminggu dapat digunakan untuk pasien positif HIV. Kurang sering
dosis telah dikaitkan dengan kegagalan lebih tinggi dan tingkat kambuh dan
pemilihan organisme resistensi rifampin.
Tabel 2. Drug Regimens for Culture-Positive Pulmonary Tuberculosis
Caused by Drug-Susceptible Organisms
28
29
klavulanat
Derivat rifampisin dan INH
Dosis OAT
Streptomisin:15mg/kgBB atau
30
BB >60kg : 1000mg
BB 40 - 60 kg : 750 mg
BB < 40 kg : sesuai BB
sedangkan
fase
lanjutan
dapat
menggunakan
31
kadang-kadang diare
Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT
harus distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada
keadaan khusus Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan
gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus
segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya
telah menghilang.
Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat,
air mata, air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme
obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada penderita
agar dimengerti dan tidak perlu khawatir.
3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan
sesuai pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi
(beri aspirin) dan kadangkadang dapat menyebabkan serangan arthritis
Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan
penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual,
kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan
gangguan
penglihatan
berupa
32
etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit
untuk dideteksi.
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan
dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut
akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan
umur penderita.
Risiko tersebut akan meningkat pada penderita dengan gangguan fungsi
ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga
mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini
dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi
0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan
makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Reaksi
hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai
sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan
ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang
mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini
mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr Streptomisin dapat
menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita
hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin.
Tabel 4. Efek samping ringan dari OAT
Efek Samping
Tidak nafsu makan,
Penyebab
Penanganan
Obat diminum malam
Rifampisin
sebelum tidur
Nyeri sendi
Kesemutan s/d rasa
Pyrazinamid
terbakar di kaki
Warna kemerahan pada
air seni
INH
mg perhari
Beri penjelasan, tidak
Rifampisin
Efek Samping
dan kemerahan
Penyebab
Semua jenis OAT
33
Penanganan
Beri antihistamin & dievaluasi
pada kulit
Tuli
Gangguan keseimbangan
Ikterik
Streptomisin
Streptomisin
Hampir semua
ketat
Streptomisin dihentikan
Streptomisin dihentikan
Hentikan semua OAT sampai
OAT
Hampir semua
ikterik menghilang
Hentikan semua OAT
obat
&
salisilat / allopurinol
Efek samping yang serius adalah hepatits imbas obat. Penanganan
perlahan-lahan
dengan
pengawasan
yang
ketat.
adalah
VIll karena
thiacetazon
Bila sesuatu obat harus diganti maka paduan obat harus diubah hingga
jangka waktu pengobatan perlu dipertimbangkan kembali dengan
baik.
34
2 RHZE/ 6HE
Paduan ini dianjurkan untuk
a. TB paru BTA (+), kasus baru
b. TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas
(termasuk luluh paru)
c. TB di luar paru kasus berat
Pengobatan fase lanjutan, bila diperlukan dapat diberikan selama 7
bulan, dengan paduan 2RHZE / 7 RH, dan alternatif 2RHZE/ 7R3H3,
seperti pada keadaan:
a. TB dengan lesi luas
b. Disertai penyakit komorbid (Diabetes Melitus, Pemakaian obat
imunosupresi / kortikosteroid)
c. TB kasus berat (milier, dll)
Bila ada fasiliti biakan dan uji resistensi, pengobatan
disesuaikan dengan hasil uji resistensi.
2. TB Paru (kasus baru), BTA negatif
Paduan obat yang diberikan
Alternatif
: 2 RHZ / 4 RH
35
P2TB)
Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan
36
penderita
tuberkulosis,
komorbidnya).
37
kecuali
untuk
penyakit
tetap positif
Penderita batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara
konservatif
Penderita dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak
Bronkoskopi
Punksi pleura
Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)
Kriteria Sembuh
38
BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan
akhir pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang
adekuat
Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/
perbaikan
Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif
E. Evaluasi pengobatan
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan
efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.
1. Evaluasi klinik
Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama
39
harus
diperiksa
uji
terdapat efek
samping, maka
dilakukan
resistensi.
6. Evaluasi pasien yang telah sembuh
Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi
minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan
untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah
mikroskopik BTA dahak dan foto toraks.
Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai
indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto
toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh.
Tabel 6. Ringkasan paduan obat
Kategor
Kasus
TB paru BTA +
I
2RHZE / 4R3H3
40
Keterangan
2 RHZES/1RHZE / 5
RHE
- Kambuh
II
Gagal
pengobatan
5R3H3E3
Sesuai
lama
pengobatan
sebelumnya,
lama
TB paru lalai
berobat
&
radiologik
ini
saat
neg.
minimal
IV
Kronik
sensitif
3
dengan
obat
H
IV
MDR TB
kuinolon
atau
seumur hidup
41
Bila
streptomisin
alergi,
diganti
kanamisin
dapat
BAB IV
Resisten Ganda (Multi Drug Resistance/ MDR)
4.1 Definisi
Resistensi
ganda
menunjukkan
M.tuberculosis
resisten
terhadap
rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya. Secara umum resistensi
terhadap obat tuberkulosis dibagi menjadi :
mendapat pengobatan TB
Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah
penderitanya sudah pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya atau
tidak
Resistensi sekunder ialah apabila penderita telah punya riwayat
pengobatan sebelumnya.
42
tinggi.
Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau
tiga minggu lalu stop, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah
dokter dan mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu
menimbulkan kebosanan
Pengetahuan penderita kurang tentang penyakit TB
Belum menggunakan strategi DOTS
Kasus MDR-TB rujuk ke ahli paru
(PDPI,2006)
43
BAB V
PENGOBATAN PADA KONDISI KHUSUS
5.1 TB Milier
44
1. Rawat inap
2. Paduan obat: 2 RHZE/ 4 RH
3. Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinik,
radiologik dan evaluasi pengobatan, maka pengobatan lanjutan dapat
diperpanjang
4. Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan :
a. Tanda / gejala meningitis
b. Sesak napas
c. Tanda / gejala toksik
d. Demam tinggi
e. Kortikosteroid: prednison 30-40 mg/hari, dosis diturunkan 5-10 mg
setiap 5-7 hari, lama pemberian 4 6 minggu.
5.2 Pleuritis Eksudativa TB(Efusi Pleura TB)
1. Paduan obat: 2RHZE/4RH.
2. Evakuasi cairan, dikeluarkan seoptimal mungkin, sesuai keadaan pasien
dan berikan kortikosteroid
3. Dosis steroid : prednison 3 x 10 mg selama 3 minggu
4. Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas dan DM.
5. Evakuasi cairan dapat diulang bila diperlukan
5.3 TB Ekstra Paru (Selain TB Milier Dan Pleuritis TB)
1. Paduan obat 2 RHZE/ 1 0 RH.
2. Prinsip pengobatan sama dengan TB paru menurut ATS, misalnya
pengobatan untuk TB tulang, TB sendi dan TB kelenjar.
3. Pada TB diluar paru lebih sering dilakukan tindakan bedah. Tindakan
bedah dilakukan untuk :
a. Mendapatkan bahan / spesimen untuk pemeriksaan (diagnosis)
b. Pengobatan :
1) perikarditis konstriktiva
2) kompresi medula spinalis pada penyakit Pott's
4. Pemberian kortikosteroid pada perikarditis TB untuk mencegah
konstriksi jantung, dan pada meningitis TB untuk menurunkan gejala
sisa neurologik. Dosis yang dianjurkan ialah 0,5 mg/kg /hari selama 3-6
minggu.
5.4 TB Paru Dengan Diabetes Melitus (DM)
1. Paduan obat: 2 RHZ(E-S)/ 4 RH dengan gula darah terkontrol
45
2. Bila gula darah tidak terkontrol, atau pada evaluasi akhir pengobatan
dianggap belum cukup, maka pengobatan dapat dilanjutkan (bila perlu
konsult ke ahli paru)
3. Gula darah harus dikontrol
4. Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping
etambutol pada mata; sedangkan pasien DM sering mengalami
komplikasi kelainan pada mata
5. Perlu diperhatikan penggunaan rifampisi karena akan mengurangi
efektiviti obat oral anti diabetes (sulfonil urea), sehingga dosisnya perlu
ditingkatkan
6. Perlu kontrol / pengawasan sesudah pengobatan selesai, untuk
mengontrol / mendeteksi dini bila terjadi kekambuhan
5.5 TB Paru Dengan HIV / AIDS
Beberapa pasien yang datang berobat, mungkin diduga terinfeksi HIV atau
menderita AIDS. Indikasi untuk melakukan tes HIV dapat dilihat pada tabel 5
di bawah ini. Pemeriksaan tes HIV disertai dengan konseling sebelum dan
sesudah tes (Voluntary Counseling and Testing/VCT)
46
telah
hitung limfosit
47
48
49
BAB VI
PEMBAHASAN KASUS
Ny. CK (45 th)
: Ny. CK
Usia
: 45 th
Keluhan
:-
Assasment
50
Tuberkulosis
Penilaian didasarkan pada gejala yang dikeluhkan pasien mengenai batuk
yang dialaminya semenjak 2 bulan yang lalu ditambah lagi dahak yang
purulen berwarna kehijauan mengindikasikan adanya infeksi dan
diperkuat dengan adanya bercak darah pada sputum, rasa menggigil,
berkeringat, dan berat badan yang turun drastis, memperkuat diagnosa
bahwa pasien mengalami penyakit infeksi Tuberkulosis.
Plan
Terapi Farmakologi
Tahap awal/ intensif
Pemberian kombinasi OAT 2 HRZE :
Isoniazida 300 mg (INH,kemoniazid)
Rifampisin 600 mg (Rifadin,Rimactane,Rifampin)
Pirazinamida 500 mg, dosis : 30 mg/kg (max 2 g sehari) (Prazina, Pezeta,
Pharozinamide)
Ethambutol 15-30 mg/kg bb maks. 2,5 g sehari (Myambutol, Kalbutol)
Lama pengobatan selama 2 bulan, masing-masing obat diberikan setiap
hari
Tahap lanjutan
Diberikan 4H3R3 selama 4 bulan, masing-masing OAT HR diberikan 3
kali seminggu.
Terapi Non Farmakologi
Bedrest
Diet sehat dan banyak Mengonsumsi makanan mengandung lemak dan
vitamin A untuk membentuk jaringan lemak baru yang dapat
menyelubungi kuman (Encapsulate) dan meningkatkan daya tahan tubuh
Menjaga sanitasi lingkungan sekitar tempat tinggal
Menjaga sirkulasi di dalam rumah agar selalu berganti dengan udara yang
baru
Olahraga yang cukup
51
Monitoring
Monitoring terhadap hasil pemeriksaan sputum atau pemeriksaan BTA.
Tindak lanjut :
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru dengan
BTA positif, hasil pemeriksaan sputumnya masih menunjukkan BTA
positif maka diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1
bulan.
Jika pemeriksaan
BTA setelah
melaksanakan
fase
intensif
selama pengobatan.
Memberikan edukasi kepada pasien bahwa obat TBC harus di minum
sampai selesai sesuai dengan kategori penyakit atau sesuai petunjuk
dokter/petugas kesehatan lainnya dan diupayakan agar tidak lupa. Bila
lupa satu hari, jangan meminum dua kali pada hari berikutnya.
Memberikan edukasi kepada pasien bahwa obat harus di minum setiap hari
atau sesuai dengan dosis, namun jika lupa segera minum obat jika
waktunya dekat ke waktu minum obat seharusnya. Tetapi jika lewat waktu
minum obat sudah jauh, dan dekat ke waktu berikutnya, maka minum obat
sesuaikan saja dengan waktu/dosis berikutnya.
52
utama yang disebabkan oleh infeksi, jika tidak diatasi dengan baik
Regimen pengobatan terdiri dari fase awal (intensif) selama 2 bulan
dan fase lanjutan selama 4-6 bulan.
Selama fase intensif yang biasanya terdiri dari 4 obat, diharapkan
terjadi pengurangan jumlah kuman disertai perbaikan klinis. Pasien
yang berpotensi menularkan infeksi menjadi non infeksi dalam waktu
2 minggu.
7.2 Saran
53
Dokter
Penatalaksanaan
Paru
Indonesia.
Tuberkulosis
di
2006.
Pedoman
Indonesia.
Diagnosis
Diambil
dari
dan
:
Retno
Asti.2002.
Patofisiologi,
Diagnosis,
Dan
Klafisikasi
54