Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu penyakit penyebab kematian utama yang disebabkan oleh
infeksi, adalah Tuberkulosis (TB). TB merupakan ancaman bagi penduduk
Indonesia, pada tahun 2004, sebanyak seperempat juta orang bertambah
penderita baru dan sekitar 140.000 kematian setiap tahunnya.
Sebagian besar penderita TB adalah penduduk yang berusia produktif
antara 15-55 tahun, dan penyakit ini merupakan penyebab kematian nomor
tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernafasan akut pada seluruh
kalangan usia.
Pemerintah melalui Program Nasional Pengendalian TB telah melakukan
berbagai upaya untuk menanggulangi TB, yakni dengan strategi DOTS
(Directly Observed Treatment Shortcourse). World Health Organization
(WHO) merekomendasikan 5 komponen strategi DOTS yakni :
a. Tanggung jawab politis dari para pengambil keputusan (termasuk
dukungan dana)
b. Diagnosis TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis
c. Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek
dengan pengawasan langsung Pengawas Menelan Obat (PMO)
d. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin
e. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan
dan evaluasi program penanggulangan TB.
Walaupun di Indonesia telah banyak kemajuan yang diperoleh, yakni
pencapaian penemuan kasus baru 51,6 % dari target global 70 %
dibandingkan pencapaian 20 % pada tahun 2002 dan 37 % pada tahun 2003,
juga penyediaan obat-obat anti TB yang dijamin oleh pemerintah untuk sarana
pelayanan kesehatan pemerintah mencukupi kebutuhan prakiraan kasus di
seluruh Indonesia, TB tetap belum dapat diberantas, bahkan diperkirakan
jumlah penderita TB terus meningkat.
Peningkatan jumlah penderita TB disebabkan oleh berbagai faktor, yakni
kurangnya tingkat kepatuhan penderita untuk berobat dan meminum obat,
harga obat yang mahal, timbulnya resistensi ganda, kurangnya daya tahan

hospes terhadap mikobakteria, berkurangnya daya bakterisid obat yang ada,


meningkatnya kasus HIV/AIDS dan krisis ekonomi.
Meskipun berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah, namun tanpa peran
serta masyarakat tentunya tidak akan dicapai hasil yang optimal karena TB
tidak hanya masalah kesehatan namun juga merupakan masalah sosial.
Keberhasilan penanggulangan TB sangat bergantung pada tingkat kesadaran
dan partisipasi masyarakat.
Oleh karena itu perlu keterlibatan berbagai pihak dan sektor dalam
masyarakat, kalangan swasta, organisasi profesi dan organisasi sosial serta
LSM, terutama profesi Apoteker di Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit
maupun

tempat

lain

yang

melayani

masyarakat

dalam

memenuhi

kebutuhannya akan obat TB.


Apoteker dalam hal ini dapat membantu : mengarahkan pasien yang
diduga menderita TB untuk memeriksakan diri terhadap TB (case finding),
memotivasi pasien untuk patuh dalam pengobatan, memberikan informasi dan
konseling, membantu dalam pencatatan untuk pelaporan. Buku ini bertujuan
untuk memberi kemudahan bagi apoteker yang akan bersama-sama profesi
lain, ikut berjuang memberantas penyakit TB di Indonesia.
Oleh karena itu ketersediaan informasi yang memadai merupakan bekal
yang penting untuk meningkatkan kompetensi dalam rangka melaksanakan
praktik kefarmasian, khususnya penerapan konsep pharmaceutical care
sebagai mitra dalam pengendalian tuberkulosis. (Dirjen Binfar & Alkes,
2005).
1.2 Pembatasan Masalah
Melihat dari latar belakang masalah serta memahami pembahasannya maka
kami dapat memberikan batasan-batasan pada materi mengenai :
1. Definisi Tuberkulosis
2. Etiologi Tuberkulosis
3. Patofisiologi Tuberkulosis
4. Tanda dan gejala Tuberkulosis
5. Diagnosa Tuberkulosis
6. Penatalaksanaan Tuberkulosis (algoritme, terapi farmakologi, dan non
farmakologi)
1.3 Rumusan Masalah

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Apakah Definisi dari Tuberkulosis ?


Bagaimana Patofisiologi Tuberkulosis ?
Apa saja penyebab Tuberkulosis ?
Apa saja tanda dan gejala Tuberkulosis?
Apasaja diagnosa terkait Tuberkulosis ?
Bagaimana Penatalaksanaan Tuberkulosis (algoritme, terapi farmakologi,
dan non farmakologi)

1.4 Tujuan Makalah


Tujuan penyusunan makalah diharapkan agar mahasiswa mampu
mengetahui tentang penyakit Tuberkulosis

(terkait definsi, etiologi,

patofisiologi, Klasifikasi, gejala dan tanda, serta diagnosa) serta mengetahui


bagaimana

penatalaksanaan

Tuberkulosis

(meliputi

algoritme,

terapi

farmakologi dan non farmakologi)


1.5 Manfaat Makalah
Hasil dari makalah ini dapat diharapkan bermanfaat bagi para membaca
dengan informasi yang ada didalamnya, secara keseluruhan mengenai
Tuberkulosis serta penatalaksanaannya.

BAB II
TUBERKULOSIS
(Tuberculosis)
2.1 Definisi
Menurut Depkes (2007) Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung
yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian
besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh
lainnya.
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang
disebut Mycobacterium tuberculosis. Bakteri tersebut biasanya menyerang
paru-paru, namun bakteri TB juga dapat menyerang setiap bagian dari tubuh
seperti ginjal, tulang belakang, dan otak. Jika tidak ditangani dengan baik,

penyakit TBC bisa berakibat fatal.

Gambar 1. Penularan TBC melalui droplet

(CDC, 2012)
Tuberkulosis adalah penyakit yang
disebabkan

oleh

infeksi

Mycobacterium tuberculosis complex.


(PDPI, 2006)
Tuberkulosis

adalah

penyakit

menular langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yang


sebagian besar (80%) menyerang paru-paru. Mycobacterium tuberculosis
termasuk basil gram positif, berbentuk batang, dinding selnya mengandung
komplek lipida-glikolipida serta lilin (wax) yang sulit ditembus zat kimia.
(Dirjen Binfar dan Alkes, 2005)
2.2 Etiologi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian besar (80%) menyerang paruparu.

Mycobacterium tuberculosis termasuk basil gram positif, berbentuk

batang, dinding selnya mengandung komplek lipida-glikolipida serta lilin


(wax) yang sulit ditembus zat kimia. (Dirjen Binfar dan Alkes, 2005)
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit
melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar
0,3 0,6 mm dan panjang 1 4 mm. (Dipiro,2005)
Bakteri ini tidak baik menodai dengan pewarnaan Gram, sehingga noda
Ziehl Neelsen-(ZN) atau noda fluorochrome harus digunakan sebagai
gantinya. Setelah pewarnaan ZN dengan carbol-fuchsin, mikobakteria tetap
mempertahankan warna merah meskipun telah dicuci dengan larutan asamalkohol. Oleh karena itu bakteri ini disebut dengan basil tahan asam atau BTA
(acid-fast bacilli/AFB).

Gambar 2. Gambaran mikroskopik M. Tuberculosis dengan Pewarnaan Ziehl Neelsen

Setelah pewarnaan, pemeriksaan mikroskopis ("noda") mendeteksi sekitar


8000 sampai 10.000 organisme per mililiter spesimen, sehingga pasien bisa
saja "BTA negatif" namun ternyata tumbuh M. tuberculosis pada kultur.
Pemeriksaan mikroskopik juga tidak dapat menentukan mana dari 80 + spesies
mikobakteri yang ada atau apakah organisme dalam sampel asli masih hidup
atau mati. Pada pewarnaan, semua bakteri dalam keadaan mati. Sementara
pada kultur, M. tuberculosis tumbuh perlahan, dua kali lipat setiap 20 jam.
Sangat lambat jika dibandingkan dengan bakteri gram positif dan gram
negatif, yang tumbuh dua kali lipat setiap 30 menit.
Di antara mikobakteri yang ada, hanya M. tuberculosis yang sering
patogen terhadap manusia. Beberapa mycobacteria nontuberculous (NTM)
lainnya seperti M. kansasii, M. fortuitum, dan M. avium complex (MAC)
penyebab infeksi pada pasien dengan masalah medis lainnya, terutama
dijumpai pada AIDS (acquired immunodeficiency deficiency syndrome).
(Dipiro,2005)
2.3 Faktor risiko
2.3.1 Faktor resiko terjadinya infeksi
Lokasi Dan Tempat Lahir
Di Amerika Serikat TB dapat menginfeksi siapa pun, tetapi risiko tidak
merata di seluruh populasinya. California, Florida, Illinois, New York, dan
Texas menyumbang lebih dari 50% dari semua kasus TB pada tahun 2002.
Dalam negara-negara ini, TB yang paling umum di daerah perkotaan besar.
Persentase pasien TB asing yang lahir di Amerika Serikat telah meningkat

setiap tahun sejak tahun 1986, mencapai 51% pada tahun 2002. Hampir dua
pertiga dari pasien TB berasal dari tujuh negara, di urutan tertinggi ke
terendah: Meksiko, Filipina, Vietnam, India, Cina, Haiti, dan Korea Selatan.
Sehingga, petugas kesehatan harus dapat mendiagnosa pasien bahwa "ini
TB" ketika merawat pasien dari negara-negara ini yang mengalami gejala
seperti batuk, demam, dan penurunan berat badan.
Kontak dekat pasien TB paru yang memungkinkan terjadinya infeksi.
Orang-orang terdekat termasuk anggota keluarga, rekan kerja, atau
coresidents di tempat-tempat seperti penjara, tempat penampungan, atau
panti jompo. Semakin lama kontak dengan penderita, semakin besar risiko
terinfeksi, dengan tingkat infeksi sekitar 30%. Banyak pasien TB memiliki
riwayat penyalahgunaan alkohol atau obat terlarang, dan banyak juga pasien
dengan riwayat koinfeksi dengan hepatitis B atau immunodeficiency
manusia defisiensi virus (HIV). Hal tersebutlah yang membuat pengobatan
beberapa pasien TB menjadi sulit. (Dipiro,2005)
Di Indonesia, penyakit TBC tersebar tidak hanya di kota-kota saja tetapi
juga menyebar hingga ke pedesaan. Risiko terinfeksi TB sebagian besar
adalah faktor risiko external, terutama adalah faktor lingkungan seperti
rumah tak sehat, pemukiman padat & kumuh. (Dirjen Binfar dan
Alkes,2005)
Ras, etnik, usia, dan gender
Di Amerika Serikat, TB mempengaruhi etnis minoritas. Pada tahun
2002, kulit hitam non-Hispanik menyumbang 30% dari semua kasus TB,
diikuti oleh Hispanik sekitar 27%. Benua Asia dan Pasifik menyumbang
22%, sedangkan kulit putih non-Hispanik hanya menyumbang 20% dari
kasus TB baru.
Umumnya TB di jumpai pada rentang usia antara 25-44 tahun (35%
dari semua kasus AS pada tahun 2002). Diikuti oleh usia 45-64 tahun (28%)
dan 65+ tahun (21%). TB lebih sering terjadi pada orang kulit putih yang
lebih tua dan orang Asia dibandingkan dengan orang yang lebih muda dalam
kelompok ini. kembali fl proyek-reaktivasi infeksi laten yang diperoleh
bertahun-tahun sebelumnya ketika TB menjadi sangat umum. Pada ras Kulit

hitam dan Hispanik penderita TB lanjut usia lebih banyak dibanding


penderita usia muda, namun perbedaan berdasarkan usia ini masih belum
jelas. Sampai usia 15, TB sebanding terjadi pada pria dan wanita, Namun
dominasi pria meningkat setiap dekadenya. (Dipiro,2005)
Infeksi gabungan dengan HIV
HIV merupakan faktor risiko yang paling penting untuk TB aktif,
terutama antara usia 25-44 tahun. TB dan HIV tampaknya bertindak secara
sinergis dalam pasien dan seluruh populasi, membuat masing-masing
penyakit menjadi lebih buruk. Kira-kira ada 10% dari Pasien TB yang
koinfeksi dengan HIV, dan sekitar 20% dari pasien TB pada usia 25-44
tahun merupakan koinfeksi. Koinfeksi HIV mungkin tidak meningkatkan
risiko tertular infeksi M. tuberculosis, tetapi tidak menutup kemungkinan
meningkatkan perkembangan penyakit aktif. Selanjutnya, pasien TB dan
HIV berbagi sejumlah faktor risiko perilaku yang berkontribusi terhadap
2.3.2

tingginya tingkat koinfeksi. (Dipiro,2005)


Faktor resiko terjadinya penyakit
Faktor risiko untuk penyakit Setelah terinfeksi dengan M. tuberculosis,
risiko seumur hidup seseorang menjadi TB aktif sekitar 10%. Risiko
terbesar untuk penyakit aktif terjadi selama yang pertama 2 tahun setelah
infeksi. Anak-anak usia muda dari 2 tahun dan orang dewasa di atas 65
tahun memiliki risiko 2-5 kali lebih besar untuk penyakit aktif dibandingkan
dengan kelompok usia lainnya. Pasien dengan imunosupresi yang mendasari
(di, gagal ginjal, kanker, dan pengobatan obat imunosupresif) memiliki
risiko 4-16 kali lebih besar dari pasien lainnya. Sementara pasien, yang
terinfeksi HIV dan M. tuberculosis 100 kali lebih mungkin untuk
mengembangkan TB aktif dari host normal. Pasien yang terinfeksi HIV
memiliki risiko tahunan TB aktif sekitar 10% daripada risiko seumur hidup
pada tingkat itu. Oleh karena itu, semua pasien dengan infeksi HIV harus
diskrining untuk infeksi TB, dan ketika mereka diketahui terinfeksi M.
tuberculosis maka harus dilakukan uji untuk infeksi HIV.

Gambar 3. Faktor risiko kejadian TBC

2.4 Patogenesis
Paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei)
yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera
diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan
menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar
kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu
menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag.
Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan
membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di
jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di
saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena.
Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe
yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus
primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal.

Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe


regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang
(limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini
berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu
yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit.
Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan
rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman
tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk
merangsang respons imunitas seluler.
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan
logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum
tersensitisasi terhadap tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada
saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah
terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin.
Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer
terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian
besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun
seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil
kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah
terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera
dimusnahkan.
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi
setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional
juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya
biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat
tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang
terjadi dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus

primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis


fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan
mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di
jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya
berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi
yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus
akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang
mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan
erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau
membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada
bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang
sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen,
kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer.
Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi
darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah
yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara
ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga
tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai
berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ
yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru
sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut,
kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk
imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya.
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi
pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk
dorman. Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi
berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru
disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan

10

tubuh pejamu menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi
penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,
sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh
tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB
secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam
waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada
jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya
penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem
imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic
spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan
melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih
milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padipadian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul
kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan granuloma.
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted
hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan
menyebar ke saluran vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan
masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran
tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread.
Hal ini dapat terjadi secara berulang.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama),
biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB
paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB
paru kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB
milier atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi
primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat
pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9
bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia
terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi

11

kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini
jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.
Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang
terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi,
dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian.
TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer. (Retno Asti W,
2002)

Gambar 4. Skema Perkembangan Sarang Tuberkulosis Post Primer dan Perjalanan


Penyembuhannya

12

Gambar 5. Patogenesis Tuberkulosis

2.5 Gejala dan Tanda


Gejala TB pada orang dewasa umumnya penderita mengalami batuk dan
berdahak terus-menerus selama 3 minggu atau lebih, batuk darah atau pernah
batuk darah. Adapun gejala-gejala lain dari TB pada orang dewasa adalah
sesak nafas dan nyeri dada, badan lemah, nafsu makan dan berat badan
menurun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam, walaupun
tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari sebulan. (Dirjen Binfar dan
Alkes,2005)

Pada anak-anak gejala TB terbagi 2, yakni gejala umum dan gejala khusus.

13

Gejala umum, meliputi :

Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas
dan tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi

yang baik.\
Demam lama atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria

atau infeksi saluran nafas akut) dapat disertai dengan keringat malam.
Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit, paling sering

di daerah leher, ketiak dan lipatan paha.


Gejala dari saluran nafas, misalnya batuk lebih dari 30 hari (setelah

disingkirkan sebab lain dari batuk), tanda cairan di dada dan nyeri dada.
Gejala dari saluran cerna, misalnya diare berulang yang tidak sembuh
dengan pengobatan diare, benjolan (massa) di abdomen, dan tandatanda cairan dalam abdomen.

Gejala Khusus, sesuai dengan bagian tubuh yang diserang, misalnya :

TB kulit atau skrofuloderma


TB tulang dan sendi, meliputi :
- Tulang punggung (spondilitis) : gibbus
- Tulang panggul (koksitis): pincang, pembengkakan di pinggul
- Tulang lutut: pincang dan atau bengkak
TB otak dan saraf
Meningitis dengan gejala kaku kuduk, muntah-muntah dan kesadaran
menurun.
Gejala mata
- Conjunctivitis phlyctenularis
- Tuburkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi)

Seorang anak juga patut dicurigai menderita TB apabila:

Mempunyai sejarah kontak erat (serumah) dengan penderita TB BTA

positif.
Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikkan BCG (dalam 3-7

hari).
(Dirjen Binfar dan Alkes, 2005)
2.6 Klasifikasi

14

Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan


suatu definisi kasus yang meliputi empat hal, yaitu:
1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;
2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif
atau BTA negatif;
3. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat.
4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati
2.6.1

Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak
termasuk pleura (selaput paru)
1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi dalam :
a. Tuberkulosis Paru BTA (+)
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan

hasil BTA positif


Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA
positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran

tuberkulosis aktif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA
positif dan biakan positif

b. Tuberkulosis Paru BTA (-)

Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,


gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan
tuberkulosis aktif serta tidak respons dengan pemberian

antibiotik spektrum luas


Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif

dan biakan M.tuberculosis positif


Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum

diperiksa
2. Berdasarkan Tipe Penderita
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.
Ada beberapa tipe penderita yaitu :
a. Kasus baru
Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan
OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30
dosis harian)

15

b. Kasus kambuh (relaps)


Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan
hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.
Bila hanya menunjukkan perubahan pada gambaran
radiologik sehingga dicurigai lesi aktif kembali, harus dipikirkan
beberapa kemungkinan :
Infeksi sekunder
Infeksi jamur
TB paru kambuh
c. Kasus pindahan (Transfer In)
Adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu
kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain.
Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah
d. Kasus lalai berobat (default/drop out)
Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan
berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat.
Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan
dahak BTA positif.
e. Kasus Gagal (Failure)
Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau
kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan

sebelum akhir pengobatan)


Adalah penderita dengan hasil BTA negatif gambaran
radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke2 pengobatan dan atau gambaran radiologik ulang hasilnya

perburukan
f. Kasus kronik
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih
positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan
pengawasan yang baik
g.

Kasus bekas TB

Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada


fasilitas)

negatif

16

dan

gambaran

radiologik

paru

menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih gambaran radiologik


serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat

pengobatan OAT yang adekuat akan lebih mendukung


Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi TB
aktif, namun setelah mendapat pengobatan OAT selama 2
bulan ternyata tidak ada perubahan gambaran radiologik.

2.6.2

Tuberkulosis Ekstra Paru


Batasan : Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,

misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar


limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin,
dll.
Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur spesimen positif, atau
histologi, atau bukti klinis kuat konsisten dengan TB ekstraparu aktif,
yang selanjutnya dipertimbangkan oleh klinisi untuk diberikan obat anti
tuberkulosis siklus penuh. TB di luar paru dibagi berdasarkan pada tingkat
keparahan penyakit, yaitu :
1. TB di luar paru ringan
Misalnya : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang
(kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
2. TB diluar paru berat
Misalnya : meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis
eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran
kencing dan alat kelamin.
Catatan :

Yang dimaksud dengan TB paru adalah TB pada parenkim paru.


Sebab itu TB pada pleura atau TB pada kelenjar hilus tanpa ada
kelainan radiologik paru, dianggap sebagai penderita TB di luar

paru.
Bila seorang penderita TB paru juga mempunyai TB di luar paru,
maka untuk kepentingan pencatatan penderita tersebut harus dicatat

sebagai penderita TB paru.


Bila seorang penderita ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat
sebagai ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.

17

Gambar 6. Klasifikasi TBC berdasarkan Lokasi atau organ tubuh yang terinfeksi :
paru atau ekstra paru

Gambar 7. Klasifikasi TBC dilihat dari Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya

2.7 Diagnosa
Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TBC, maka beberapa hal
yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah:
* Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya.
* Pemeriksaan fisik.
* Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak).
* Pemeriksaan patologi anatomi (PA).
* Rontgen dada (thorax photo).
* Uji tuberkulin.

18

(Retno Asti W, 2002)


Diagnosa TB paru
Diagnosis TB paru pada orang dewasa yakni dengan pemeriksaan sputum
atau dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila
sedikitnya 2 dari 3 spesimen

SPS BTA hasilnya positif. Apabila hanya

1 spesimen yang positif maka perlu dilanjutkan dengan rontgen dada atau
pemeriksaan SPS diulang.
Pada orang dewasa, uji tuberkulin tidak mempunyai arti dalam diagnosis,
hal ini disebabkan suatu uji tuberkulin positif hanya menunjukkan bahwa yang
bersangkutan pernah terpapar dengan Mycobacterium tubeculosis. Selain itu,
hasil uji tuberkulin dapat negatif meskipun orang tersebut menderita TB.
Misalnya pada penderita HIV (Human Immunodeficiency Virus), malnutrisi
berat, TB milier dan morbili.
Sementara diagnosis TB ekstra paru, tergantung pada organ yang terkena.
Misalnya nyeri dada terdapat pada TB pleura (pleuritis), pembesaran kelenjar
limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan pembengkakan tulang belakang
pada Sponsdilitis TB. Seorang penderita TB ekstra paru kemungkinan besar
juga menderita TB paru, oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan dahak
dan foto rontgen dada.
Secara umum diagnosis TB paru pada anak
Gambaran klinik :
Meliputi gejala umum dan gejala khusus pada anak
Gambaran foto rontgen dada
Gejala-gejala yang timbul adalah :
- Infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal
- Milier
- Atelektasis/kolaps konsolidasi
- Konsolidasi (lobus)
- Reaksi pleura dan atau efusi pleura
- Kalsifikasi
- Bronkiektasis
- Kavitas
- Destroyed lung
Uji tuberkulin
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang
cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux

19

umumnya pada bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan
intrakutan (ke dalam kulit).
Penilaian uji tuberkulin dilakukan 4872 jam setelah penyuntikan dan
diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi:
1. Pembengkakan (Indurasi) : 04mm, uji mantoux negatif. Arti klinis :
tidak ada infeksi Mycobacterium tuberculosis.
2. Pembengkakan (Indurasi) : 59mm, uji mantoux meragukan. Hal ini
bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium
atypikal atau pasca vaksinasi BCG.
3. Pembengkakan (Indurasi) : >= 10mm, uji mantoux positif. Arti klinis :

sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.


Reaksi cepat BCG
Bila dalam penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat (dalam 3-7 hari) berupa
kemerahan dan indurasi > 5 mm, maka anak tersebut telah terinfeksi

Mycobacterium tuberculosis.
Pemeriksaan mikrobiologi dan serologi
Pemeriksaan BTA secara mikroskopis lansung pada anak biasanya
dilakukan dari bilasan lambung karena dahak sulit didapat pada anak.
Pemeriksaan serologis seperti ELISA, PAP, Mycodot dan lain-lain, masih

memerlukan penelitian lebih lanjut untuk pemakaian dalam klinis praktis.


Respons terhadap pengobatan dengan OAT
Kalau dalam 2 bulan menggunakan OAT terdapat perbaikan klinis, akan
menunjang atau memperkuat diagnosis TB. (Dirjen Binfar dan Alkes,
2005)

20

Gambar 8. Alur diagnosa TBC

2.8 Penularan
Penyakit TBC ditularkan dari orang ke orang, terutama melalui saluran
nafas dengan menghisap atau menelan tetes-tetes ludah atau dahak (droplet
infection) yang mengandung basil dan dibatukkan oleh penderita TBC
terbuka. Atau juga karena adanya kontak antara tetes ludah/dahak tersebut dan
luka di kulit. Dalam tetes-tetes ini kuman dapat hidup beberapa jam dalam
udara panas lembap, dalam nanah bahkan beberapa hari. Untuk membatasi
penyebaran perlu sekali di screen semua keluarga dekat yang erat

21

hubungannya dengan penderita. Dengan demikian penderita baru dapat


dideteksi pada waktu yang dini.
Ada banyak kesalahfahaman mengenai daya penularan penyakit TBC.
Umumnya ada anggapan bahwa TBC bersifat sangat menular, tetapi pada
hakikatnya bahaya infeksi relatif tidak begitu besar dan dapat disamakan
dengan penularan pada penyakit infeksi saluran pernafasan lainnya, seperti
selesma dan influenza. Akan tetapi bahaya semakin meningkat, karena sering
kali seseorang tidak diketahui sudah menderita TBC (terbuka) dan telah
menularkannya

pada

orang-orang

disekitarnya

sebelum

penyakitnya

terdeteksi. (TH Tjay, 2007 : 156)

BAB III
FARMAKOTERAPI TUBERKULOSIS
Outcome(Hasil) yang diinginkan untuk pengobatan TB, diantaranya :
1. Identifikasi Cepat dari kasus TB baru
2. Isolasi pasien dengan penyakit aktif untuk mencegah penyebaran penyakit
3. Pengumpulan sampel yang sesuai untuk pewarnaan (smear) dan biakan
(culture)
4. Inisiasi spesifik pengobatan anti tuberkulosis
5. Resolusi segera dari tanda-tanda dan gejala penyakit

22

6. Pencapaian keadaan tidak menular pada pasien, dengan demikian


mengakhiri isolasi
7. Kepatuhan terhadap rejimen pengobatan oleh pasien
8. Penyembuhan pasien secepat mungkin (umumnya minimal 6 bulan
pengobatan). (Dipiro, 2005)
Tujuan sekunder terapi adalah identifikasi dari indeks kasus infeksi pasien,
identifikasi dari semua orang yang terinfeksi oleh kedua kasus indeks dan kasus
baru TB, dan penyelesaian perawatan yang tepat bagi orang-orang. Terapi obat
adalah

landasan manajemen TB. Monoterapi dapat digunakan

hanya untuk

pasien yang terinfeksi yang tidak memiliki TB aktif (infeksi laten, seperti yang
ditunjukkan oleh tes kulit positif). Setelah penyakit aktif hadir, minimal dua obat
dan umumnya tiga atau empat obat harus digunakan secara bersamaan.
Lamanya pengobatan tergantung pada kondisi tuan rumah, luasnya penyakit,
kehadiran resistensi obat, dan toleransi obat. Durasi terpendek pengobatan
umumnya adalah 6 bulan, dan 2 sampai 3 tahun pengobatan mungkin diperlukan
untuk kasus-MDR TB (Multi Drug Resistance-TB). Karena durasi pengobatan
yang terbilang lama, banyak pasien merasa lebih baik setelah beberapa minggu
pengobatan, hati-hati tindak lanjut diperlukan. Pemantauan terapi langsung
(Directly Observed Therapy) oleh petugas kesehatan terhadap pasien merupakan
cara yang efektif untuk memastikan keberhasilan terapi. (Dipiro,2005)
3.1 Terapi Non Farmakologi
Intervensi Non farmakologis bertujuan untuk :
1. Mencegah penularan TB dari penderita yang terinfeksi
2. Menemukan di mana TB telah menyebar menggunakan kontak
investigasi, dan
3. Mengisi melemah (konsumtif) pasien untuk keadaan berat badan
normal dan kesejahteraan. Item 1 dan 2 dilakukan oleh departemen
kesehatan masyarakat. Para dokter yang terlibat dalam pengobatan TB
harus memastikan bahwa departemen kesehatan setempat telah
diberitahu mengenai semua kasus baru TB.

23

Pekerja di rumah sakit dan lembaga lainnya harus mencegah penyebaran


TB melalui fasilitas yang terkait. Semua pekerja tersebut harus mengetahui
dan mengikuti pedoman pengendalian infeksi masing-masing lembaga. Ini
termasuk menggunakan alat pelindung diri, termasuk pemasangan respirator
dengan benar, dan menutup pintu untuk ruangan "tekanan negatif". Isolasi
rumah sakit kamar ini menarik udara dari daerah sekitarnya daripada
memasukkan udara (dan M. tuberculosis) ke daerah-daerah lainnya. Udara
dari ruang isolasi dapat dibersihkan melalui lampu ultraviolet dan kemudian
dibuang dengan aman di luar. Namun, ruang isolasi ini akan bekerja dengan
baik jika pintu ditutup.
Pasien TB lemah mungkin memerlukan terapi untuk medis lainnya
masalah,

termasuk

penyalahgunaan

zat

dan

infeksi

HIV,

dan

beberapa mungkin membutuhkan dukungan nutrisi. Oleh karena itu, dokter


yang terlibat dalam rehabilitasi penyalahgunaan zat dan jasa dukungan
nutrisi harus akrab dengan kebutuhan pasien TB.
Pembedahan mungkin diperlukan untuk menghilangkan jaringan hancur
paru, ruang menempati lesi yang terinfeksi (TBC), dan lesi paru tertentu.
Vaksin

terhadap

Namun,

vaksin

TB
ini

termasuk
adalah

nilai

BCG

dan

terbatas,

M.vaccae.
dan

tidak

dapat mencegah infeksi oleh M. tuberculosis. BCG (dibahas di bawah) dapat


mencegah bentuk ekstrim TB pada bayi, sedangkan M. vaccae tidak dapat
direkomendasikan.
3.2 Terapi Farmakologi
3.2.1 Prinsip Pengobatan
Regimen pengobatan terdiri dari fase awal (intensif) selama 2 bulan dan
fase lanjutan selama 4-6 bulan.
Selama fase intensif yang biasanya terdiri dari 4 obat, diharapkan
terjadi pengurangan jumlah kuman disertai perbaikan klinis. Pasien yang
berpotensi menularkan infeksi menjadi non infeksi dalam waktu 2 minggu.
Sebagian besar pasien dengan sputum BTA (+) akan menjadi negatif dalam
waktu 2 bulan.

24

Selama fase lanjutan diperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam waktu
yang lebih panjang. Efek sterilisasi obat pada fase ini bertujuan untuk
membersihkan sisa-sisa kuman dan mencegah kekambuhan.
Pada pasien dengan sputum BTA positif ada risiko terjadinya resistensi
selektif. Penggunaan 4 obat selama fase intensif dan 2 obat selama fase
lanjutan akan mengurangi risiko resistensi selektif. Pada pasien dengan
sputum BTA negatif atau TB ekstra paru tidak terdapat risiko resistensi
selektif karena jumlah bakteri di dalam lesi relatif sedikit. Pengobatan fase
intensif dengan 3 obat dan fase lanjutan dengan 2 obat biasanya sudah
memadai.
Pada pasien yang pernah diobati ada risiko terrjadinya resistensi.
Paduan pengobatan ulang yang terdiri dari 5 obat untuk fase intensif dan 3
obat untuk fase lanjutan. Selama fase intensif sekurang-kurangnya 2
diantara obat yang diberikan haruslah masih efektif . (IONI,2008)
3.2.2 Pengobatan Infeksi Laten
Bakteri TB dapat hidup di dalam tubuh tanpa membuat Anda sakit. Ini
disebut infeksi TB laten. Pada kebanyakan orang yang menghirup bakteri
TB dan terinfeksi, tubuh mampu untuk melawan bakteri untuk
menghentikan bakteri tumbuh. Orang dengan infeksi TB laten tidak merasa
sakit dan tidak memiliki gejala apapun. Orang dengan infeksi TB laten tidak
menular dan tidak dapat menyebarkan bakteri TB kepada orang lain.
Namun, jika bakteri TB menjadi aktif dalam tubuh dan berkembang biak,
maka individu dengan infeksi TB laten ditubuhnya akan berubah menjadi
penyakit TB. (CDC, 2012)
Isoniazid merupakan obat pilihan untuk mengobati infeksi TB laten.
Umumnya, isoniazid saja diberikan selama 9 bulan. Pengobatan infeksi TB
laten (Latent Tubeculosis Infection/LTBI) mengurangi risiko seumur hidup
seseorang TB aktif dari sekitar 10% menjadi sekitar 1%. Karena TB
menyebar dengan mudah melalui udara, setiap kasus dicegah untuk
mencegah gelombang kedua kasus yang setiap kasus dicegah akan
diproduksi. Secara historis, pengobatan LTBI telah

disebut profilaksis,

kemoprofilaksis, atau pengobatan pencegahan. Dengan nama apapun, itu

25

adalah salah satu mekanisme utama untuk mengurangi TB di Amerika


Serikat.
Karena anak-anak usia muda, orang tua, dan pasien

positif

HIV

berisiko lebih besar terkena penyakit aktif sekali terinfeksi M. tuberculosis,


mereka

memerlukan

evaluasi

yang

cermat.

Setelah

TB

aktif

dikesampingkan, mereka harus menerima pengobatan untuk infeksi laten.


Kunci keberhasilan pengobatan LTBI adalah (1) infeksi oleh isolat yang
rentan atau peka terhadap isoniazid, (2) kepatuhan terhadap rejimen selama
9 bulan, dan (3) tidak ada reinfeksi eksogen. Dosis dewasa isoniazid
biasanya

300

mg

setiap

hari

(5-10

mg

kg

berat

badan)

Dimana Dosis yang lebih rendah kurang efektif. Isoniazid harus diberikan
pada saat perut kosong, dan antasida harus dihindari dalam waktu 2 jam dari
dosis. Ketika kepatuhan menjadi masalah, isoniazid dua kali seminggu
(900 mg pada orang dewasa) dapat diberikan dengan menggunakan DOT
(Directly Observed Treatment). 9 bulan pengobatan dianjurkan, tapi 6 bulan
masih menghasilkan efek yang cukup menguntungkan.
Rifampisin 600 mg setiap hari selama 4 bulan dapat digunakan ketika
dicurigai terjadi resistensi isoniazid atau ketika pasien tidak dapat
mentoleransi isoniazid. Rifabutin 300 mg sehari dapat digunakan untuk
subtitusi rifampisin pada pasien berisiko tinggi interaksi obat. Kombinasi
dari pirazinamid ditambah rifampisin tidak lagi dianjurkan karena efek
hepatotoksisitas sangat tinggi dari diharapkan. Ketika terjadi resistensi
terhadap isoniazid dan rifampisin diduga isolat menyebabkan infeksi, tidak
ada rejimen yang terbukti efektif. Rejimen yang mungkin efektif termasuk
ethambutol ditambah levofloxacin, namun data mengenai efficacy kurang.
Untuk baru-baru ini konverter tes kulit dari segala usia, risiko TB aktif
melampaui risiko toksisitas obat. Wanita hamil, pecandu alkohol, dan pasien
dengan diet yang buruk yang di terapi dengan isoniazid harus menerima
piridoksin (vitamin B) 10-50 mg setiap hari untuk mengurangi efek pada
sistem

saraf

pusat

(SSP)

atau

neuropati

perifer.

Semua pasien yang menerima pengobatan LTBI harus dipantau tiap bulan

26

untuk mencegah reaksi obat yang merugikan dan untuk mencegah


kemungkinan perkembangan menjadi TB aktif.
Tabel 1. Rekomendasi Regimen Obat untuk Terapi TB Infeksi Laten pada
dewasa

3.2.3 Pengobatan Penyakit TB


Bakteri TB menjadi aktif jika sistem kekebalan tubuh tidak dapat
menghentikan bakteri tsb tumbuh. Ketika bakteri TB aktif (bermultiplikasi
dalam tubuh), saat inilah disebut penyakit TBC. individu dengan penyakit
TB aktif. Mereka juga mungkin dapat menyebarkan bakteri kepada orangorang yang mereka menghabiskan waktu bersama setiap hari.
Banyak individu yang memiliki infeksi TB laten tidak pernah
mengembangkan

penyakit

TB.

Beberapa

individu

dapat

segera

mengembangkan penyakit TB setelah terinfeksi (dalam minggu) sebelum


sistem kekebalan tubuh mereka dapat melawan bakteri TB. Individu lain
mungkin menderita penyakit TB setelah beberapa tahun terinfeksi terjadi
ketika sistem kekebalan tubuh mereka menjadi lemah karena alasan lain.
Bagi orang-orang yang sistem kekebalan tubuh lemah, terutama mereka
dengan infeksi HIV, risiko pengembangan penyakit TB jauh lebih tinggi
daripada orang dengan sistem kekebalan tubuh normal. (CDC,2012)
Pengobatan TB aktif memerlukan penggunaan beberapa obat. Ada dua
obat anti tuberkulosis primer, isoniazid dan rifampisin, dengan sisa obat

27

memiliki peran spesifik. Isoniazid dan rifampisin harus digunakan bersamasama bila memungkinkan. Biasanya, M. Tuberculosis dapat sangat rentan
atau sangat resisten terhadap pemberian obat. Ini berbeda dengan M. avium,
di mana organisme sering agak resisten. Secara teoritis, konsentrasi hambat
minimal (MIC) hasil dapat digunakan untuk memandu dosis dalam
pengobatan agak resisten pada M.Tuberculosis, tapi ini masih harus diteliti
secara prospektif. (Dipiro,2005)
Standar rejimen pengobatan TB adalah isoniazid, rifampin, pirazinamid,
dan etambutol selama 2 bulan, diikuti oleh isoniazid dan rifampisin selama
4 bulan, untuk total 6 bulan pengobatan. Jika kerentanan terhadap isoniazid,
rifampisin, dan pirazinamid terlihat, maka penggunaan etambutol dapat
dihentikan setiap saat. Tanpa pirazinamid, terapi isoniazid dan rifampisin
diperlukan selama 9 bulan. Ketika terapi intermiten digunakan, DOT
(pengobatan diamati secara langsung) adalah penting. Dosis yang
terlewatkan selama rejimen TB intermiten menurunkan efficacy dan
meningkatkan terjadinya kekambuhan. Perhatikan Tabel 2 menunjukkan
rekomendasi yang berbeda untuk pasien negatif HIV dan positif HIV.
Pasien positif HIV harus tidak menerima rejimen yang sangat berselang.
Secara umum, rejimen diberikan harian lima kali setiap minggu atau tiga
kali seminggu dapat digunakan untuk pasien positif HIV. Kurang sering
dosis telah dikaitkan dengan kegagalan lebih tinggi dan tingkat kambuh dan
pemilihan organisme resistensi rifampin.
Tabel 2. Drug Regimens for Culture-Positive Pulmonary Tuberculosis
Caused by Drug-Susceptible Organisms

28

Tabel 3. Evidence-Based Guidelines for the Treatment of Extrapulmonary


Tuberculosis and Adjunctive Use of Corticosteriods

Seperti telah disinggung sebelumnya, Pengobatan tuberkulosis terbagi


menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 6 bulan.
Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.
A. OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)
Obat yang dipakai:
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan, diantaranya :Rifampisin,
INH, Pirazinamid,Streptomisin, dan Etambutol
2. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari :
Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin
150 mg, isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol
275 mg dan

29

Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin

150 mg, isoniazid 75 mg dan pirazinamid. 400 mg


3. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
Kanamisin
Kuinolon
Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid,amoksilin + asam

klavulanat
Derivat rifampisin dan INH

Dosis OAT

Rifampisin . 10 mg/ kg BB, maksimal 600mg 2-3X/ minggu


atau
BB > 60 kg : 600 mg
BB 40-60 kg : 450 mg
BB < 40 kg : 300 mg
Dosis intermiten 600 mg / kali

INH 5 mg/kg BB, maksimal 300mg, 10 mg /kg BB 3 X


seminggu, 15 mg/kg BB 2 X semingggu atau 300 mg/hari

untuk dewasa. lntermiten : 600 mg / kali


Pirazinamid : fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 X
semingggu, 50 mg /kg BB 2 X semingggu atau :
BB > 60 kg : 1500 mg
BB 40-60 kg : 1 000 mg
BB < 40 kg : 750 mg

Etambutol : fase intensif 20mg /kg BB, fase lanjutan 15 mg/kg


BB, 30mg/kg BB 3X seminggu, 45 mg/kg BB 2 X seminggu
atau :
BB >60kg : 1500 mg
BB 40 -60 kg : 1000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
Dosis intermiten 40 mg/ kgBB/ kali

Streptomisin:15mg/kgBB atau

30

BB >60kg : 1000mg
BB 40 - 60 kg : 750 mg
BB < 40 kg : sesuai BB

Kombinasi dosis tetap


Rekomendasi WHO 1999 untuk kombinasi dosis tetap,
penderita hanya minum obat 3-4 tablet sehari selama fase
intensif,

sedangkan

fase

lanjutan

dapat

menggunakan

kombinasi dosis 2 obat antituberkulosis seperti yang selama ini


telah digunakan sesuai dengan pedoman pengobatan. Pada
kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila
mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit /
fasiliti yang mampu menanganinya. (PDPI,2006)
Efek Samping OAT
Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena
itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting
dilakukan selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek samping
ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat
dilanjutkan.
1. Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada
syaraf tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat
dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau
dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat
diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiens piridoksin (syndrom
pellagra Efek samping berat dapat berupa hepatitis yang dapat timbul
pada kurang lebih 0,5% penderita. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau
ikterik, hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada
keadaan khusus
2. Rifampisin

31

Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan


pengobatan simtomatik ialah :
Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah

kadang-kadang diare
Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan

Efek samping yang berat tapi jarang terjadi ialah :

Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT
harus distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada
keadaan khusus Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan
gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus
segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya

telah menghilang.
Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat,
air mata, air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme
obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada penderita
agar dimengerti dan tidak perlu khawatir.
3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan
sesuai pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi
(beri aspirin) dan kadangkadang dapat menyebabkan serangan arthritis
Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan
penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual,
kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan

gangguan

penglihatan

berupa

berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau.


Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang
dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30
mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan
kembali normal dalam beberapa minggu setelah oba dihentikan. Sebaiknya

32

etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit
untuk dideteksi.
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan
dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut
akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan
umur penderita.
Risiko tersebut akan meningkat pada penderita dengan gangguan fungsi
ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga
mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini
dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi
0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan
makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Reaksi
hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai
sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan
ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang
mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini
mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr Streptomisin dapat
menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita
hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin.
Tabel 4. Efek samping ringan dari OAT
Efek Samping
Tidak nafsu makan,

Penyebab

Penanganan
Obat diminum malam

mual, sakit perut

Rifampisin

sebelum tidur

Nyeri sendi
Kesemutan s/d rasa

Pyrazinamid

Beri aspirin /allopurinol


Beri vitamin B6 (piridoksin) 100

terbakar di kaki
Warna kemerahan pada
air seni

INH

mg perhari
Beri penjelasan, tidak

Rifampisin

perlu diberi apa-apa

Tabel 5. Efek samping berat dari OAT


Gatal

Efek Samping
dan kemerahan

Penyebab
Semua jenis OAT

33

Penanganan
Beri antihistamin & dievaluasi

pada kulit
Tuli
Gangguan keseimbangan
Ikterik

Streptomisin
Streptomisin
Hampir semua

ketat
Streptomisin dihentikan
Streptomisin dihentikan
Hentikan semua OAT sampai

Bingung dan muntah

OAT
Hampir semua

ikterik menghilang
Hentikan semua OAT

obat

lakukan uji fungsi hati

&

Penanganan efek samping obat:

Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung yang dapat

diatasi secara simptomatik


Gangguan sendi karena pirazinamid dapat diatasi dengan pemberian

salisilat / allopurinol
Efek samping yang serius adalah hepatits imbas obat. Penanganan

seperti tertulis di atas


Penderita dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rash pada kulit
yang umumnya disebabkan oleh INH dan rifampisin, dapat dilakukan
pemberian dosis rendah dan desensitsasi dengan pemberian dosis yang
ditingkatkan

perlahan-lahan

dengan

pengawasan

yang

Desensitisasi ini tidak bisa dilakukan terhadap obat lainnya


Kelainan
yang
harus
dihentikan
pengobatannya

ketat.
adalah

trombositopenia, syok atau gagal ginjal karena rifampisin, gangguan


penglihatan karena etambutol, gangguan nervus

VIll karena

streptomisin dan dermatitis exfoliative dan agranulositosis karena

thiacetazon
Bila sesuatu obat harus diganti maka paduan obat harus diubah hingga
jangka waktu pengobatan perlu dipertimbangkan kembali dengan
baik.

B. Paduan Obat Anti TB


Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi 6, diantaranya :
1. TB paru (kasus baru), BTA positif atau lesi luas
Paduan obat yang diberikan
: 2 RHZE / 4 RH
Alternatif
: 2 RHZE / 4R3H3
atau
(program P2TB)

34

2 RHZE/ 6HE
Paduan ini dianjurkan untuk
a. TB paru BTA (+), kasus baru
b. TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas
(termasuk luluh paru)
c. TB di luar paru kasus berat
Pengobatan fase lanjutan, bila diperlukan dapat diberikan selama 7
bulan, dengan paduan 2RHZE / 7 RH, dan alternatif 2RHZE/ 7R3H3,
seperti pada keadaan:
a. TB dengan lesi luas
b. Disertai penyakit komorbid (Diabetes Melitus, Pemakaian obat
imunosupresi / kortikosteroid)
c. TB kasus berat (milier, dll)
Bila ada fasiliti biakan dan uji resistensi, pengobatan
disesuaikan dengan hasil uji resistensi.
2. TB Paru (kasus baru), BTA negatif
Paduan obat yang diberikan
Alternatif

: 2 RHZ / 4 RH

: 2 RHZ/ 4R3H3 atau 6 RHE

Paduan ini dianjurkan untuk :


a. TB paru BTA negatif dengan gambaran radiologik lesi minimal
b. TB di luar paru kasus ringan
3. TB paru kasus kambuh
Pada TB paru kasus kambuh minimal menggunakan 4 macam OAT
pada fase intensif selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat
diberikan obat sesuai hasil uji resistensi). Lama pengobatan fase
lanjutan 6 bulan atau lebih lama dari pengobatan sebelumnya,
sehingga paduan obat yang diberikan : 3 RHZE / 6 RH Bila tidak ada /
tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat :
2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (Program P2TB)
4. TB Paru kasus gagal pengobatan
Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi, dengan
minimal menggunakan 4 -5 OAT dengan minimal 2 OAT yang masih

35

sensitif ( seandainya H resisten, tetap diberikan). Dengan lama


pengobatan minimal selama 1 2 tahun. Menunggu hasil uji resistensi
dapat diberikan dahulu 2 RHZES , untuk kemudian dilanjutkan sesuai
uji resistensi
- Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif
diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (Program
-

P2TB)
Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan

hasil yang optimal


Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru

5. TB Paru kasus lalai berobat


Penderita TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan
kembali sesuai dengan kriteria sebagai berikut :
a. Penderita yang menghentikan pengobatannya < 2 minggu,
pengobatan OAT dilanjutkan sesuai jadwal
b. Penderita menghentikan pengobatannya 2 minggu
- Berobat 4 bulan , BTA negatif dan klinik, radiologik
-

negatif, pengobatan OAT STOP


Berobat > 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari
awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu

pengobatan yang lebih lama


Berobat < 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari

awal dengan paduan obat yang sama


Berobat < 4 bulan , berhenti berobat > 1 bulan , BTA negatif,
akan tetapi klinik dan atau radiologik positif : pengobatan

dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama


Berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat 2-4 minggu
pengobatan diteruskan kembali sesuai jadual

6. TB Paru kasus kronik


a. Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji
resistensi, berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi,
sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 2 macam
OAT yang masih sensitif dengan H tetap diberikan walaupun

36

resisten) ditambah dengan obat lain seperti kuinolon, betalaktam,


makrolid
b. Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
c. Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan
penyembuhan
d. Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru
Catatan : TB diluar paru lihat TB dalam keadaan khusus

C. Pengobatan Suportif/ Simptomatik


Pengobatan yang diberikan kepada penderita TB perlu diperhatikan
keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat,
dapat rawat jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau
suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau
mengatasi gejala/keluhan.
1. Penderita rawat jalan
a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perludapat diberikan
vitamin tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan
untuk

penderita

tuberkulosis,

komorbidnya).

37

kecuali

untuk

penyakit

b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam


c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk,
sesak napas atau keluhan lain.
2. Penderita rawat inap
a. Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
Batuk darah (profus)
Keadaan umum buruk
Pneumotoraks
Empiema
Efusi pleura masif / bilateral
Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :
TB paru milier
Meningitis TB
b. Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan
keadaan klinis dan indikasi rawat
D. Terapi pembedahan
lndikasi operasi
1. Indikasi mutlak
Semua penderita yang telah mendapat OAT adekuat tetapi dahak

tetap positif
Penderita batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara

konservatif
Penderita dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak

dapat diatasi secara konservatif


2. lndikasi relatif
Penderita dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
Sisa kaviti yang menetap.
Tindakan Invasif (Selain Pembedahan)

Bronkoskopi
Punksi pleura
Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)

Kriteria Sembuh

38

BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan
akhir pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang

adekuat
Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/

perbaikan
Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif

E. Evaluasi pengobatan
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan
efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.
1. Evaluasi klinik
Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama

pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan


Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping

obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit


Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.
2. Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)
Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
Sebelum pengobatan dimulai
Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
Pada akhir pengobatan
Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji
resistensi
3. Evaluasi radiologik (0 - 2 6/9 bulan pengobatan)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
Sebelum pengobatan
Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga
dipikirkan kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan
pengobatan)
Pada akhir pengobatan
4. Evaluasi efek samping secara klinik
Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi

ginjal dan darah lengkap


Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum,
kreatinin, dan gula darah , serta asam urat untuk data dasar

penyakit penyerta atau efek samping pengobatan


Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid

39

Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan

etambutol (bila ada keluhan)


Pasien yang mendapat streptomisin

keseimbangan dan audiometri (bila ada keluhan)


Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan

harus

diperiksa

uji

pemeriksaan awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi


klinik kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi
klinik dicurigai

terdapat efek

samping, maka

dilakukan

pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan


efek samping obat sesuai pedoman
5. Evalusi keteraturan berobat
Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat
dan diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat
penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan
keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan

kepada pasien, keluarga dan lingkungannya.


Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah

resistensi.
6. Evaluasi pasien yang telah sembuh
Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi
minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan
untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah
mikroskopik BTA dahak dan foto toraks.
Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai
indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto
toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh.
Tabel 6. Ringkasan paduan obat
Kategor

Kasus

TB paru BTA +
I

Paduan obat yang


diajurkan
2 RHZE / 4 RH atau

BTA - , lesi 2 RHZE / 6 HE atau


luas

2RHZE / 4R3H3

40

Keterangan

2 RHZES/1RHZE / 5
RHE

- Kambuh
II

Gagal

pengobatan

2 RHZES lalu sesuai


hasil uji resistensi atau
2RHZES/1RHZE

5R3H3E3
Sesuai

lama

pengobatan
sebelumnya,

lama

berhenti minum obat


II

TB paru lalai
berobat

dan keadaan klinik,


bakteriologik

&

radiologik

ini

saat

(lihat uraiannya) atau


2RHZES / 1RHZE /
5R3H3E3
TB paru BTA 2 RHZ / 4 RH atau
III

neg.
minimal

Lesi 6 RHE atau


2RHZ /4 R3H3
Sesuai uji resistensi
(minimal

IV

Kronik

sensitif

3
dengan

obat
H

tetap diberikan) atau


H seumur hidup
Sesuai uji resistensi +

IV

MDR TB

kuinolon

atau

seumur hidup

41

Bila
streptomisin
alergi,
diganti
kanamisin

dapat

Catatan : Obat yang digunakan dalam Program Nasional TB

BAB IV
Resisten Ganda (Multi Drug Resistance/ MDR)
4.1 Definisi
Resistensi

ganda

menunjukkan

M.tuberculosis

resisten

terhadap

rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya. Secara umum resistensi
terhadap obat tuberkulosis dibagi menjadi :

Resistensi primer ialah apabila penderita sebelumnya tidak pernah

mendapat pengobatan TB
Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah
penderitanya sudah pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya atau

tidak
Resistensi sekunder ialah apabila penderita telah punya riwayat
pengobatan sebelumnya.

Laporan pertama tentang reistensi ganda datang dari Amerika Serikat,


khususnya pada penderita TB dan AIDS yang menimbulkan angka kematian
70% 90% dalam waktu hanya 4 sampai 16 minggu. WHO Report on
Tuberculosis Epidemic 1995 menyatakan bahwa resitensi ganda kini
menyebar di berbagai belahan dunia. Lebih dari 50 juta orang mungkin telah
terinfeksi oleh kuman tuberkulosis yang resisten terhadap beberapa obat anti
tuberkulosis khususnya rifampisin dan INH, serta kemungkinan pula
ditambah obat antituberkulosis yang lainnya. TB paru kronik sering
disebabkan oleh MDR Ada beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap
obat tuberkulosis, yaitu :

Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberculosis


Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, baik karena jenis
obatnya yang tidak tepat misalnya hanya memberikan INH dan
etambutol pada awal pengobatan, maupun karena di lingkungan
tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap obat yang
digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada

42

daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut sudah cukup

tinggi.
Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau
tiga minggu lalu stop, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah
dokter dan mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu

stop lagi, demikian seterusnya.


Fenomena addition syndrome (Crofton, 1987), yaitu suatu obat
ditambahkan dalam suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila
kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten pada paduan
yang pertama, maka penambahan (addition) satu macam obat hanya

akan menambah panjang nya daftar obat yang resisten.


Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan

secara baik, sehingga mengganggu bioavailabiliti obat


Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu

daerah kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan


Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga kadang

menimbulkan kebosanan
Pengetahuan penderita kurang tentang penyakit TB
Belum menggunakan strategi DOTS
Kasus MDR-TB rujuk ke ahli paru
(PDPI,2006)

4.2 Pengobatan Tuberkulosis Resisten Ganda (MDR)


a. Pengobatan MDR-TB hingga saat ini belum ada paduan pengobatan yang
distandarisasi untuk penderita MDR-TB. Pemberian pengobatan pada
dasarnya tailor made, bergantung dari hasil uji resistensi dengan
menggunakan minimal 2-3 OAT yang masih sensitif dan obat tambahan
lain yang dapat digunakan yaitu golongan fluorokuinolon (ofloksasin dan
siprofloksasin), aminoglikosida (amikasin, kanamisin dan kapreomisin),
etionamid, sikloserin, klofazimin, amoksilin+ as.klavulanat. Saat ini
paduan yang dianjurkan OAT yang masih sensitif minimal 2 3 OAT dari
obat lini 1 ditambah dengan obat lain (lini 2) golongan kuinolon, yaitu
Ciprofloksasin dosis 2 x 500 mg atau ofloksasin 1 x 400 mg.

43

b. Pengobatan terhadap tuberkulosis resisten ganda sangat sulit dan


memerlukan waktu yang lama yaitu minimal 12 bulan, bahkan bisa sampai
24 bulan
c. Hasil pengobatan terhadap resisten ganda tuberkulosis ini kurang
menggembirakan. Pada penderita non-HIV, konversi hanya didapat pada
sekitar 50% kasus, sedangkan response rate didapat pada 65% kasus dan
kesembuhan pada 56% kasus.
d. Pemberian obat antituberkulosis yang benar dan terawasi secara baik
merupakan salah satu kunci penting mencegah dan mengatasi masalah
resisten ganda. Konsep Directly Observed Treatment Short Course
(DOTS) merupakan salah satu upaya penting dalam menjamin keteraturan
berobat penderita dan menanggulangi masalah tuberkulosis khususnya
resisten ganda
e. Prioritas yang dianjurkan bukan pengobatan MDR, tetapi pencegahan
MDR-TB
f. Pencegahan resistensi dengan cara pemberian OAT yang tepat dan
pengawasan yang baik.
(PDPI,2006)

BAB V
PENGOBATAN PADA KONDISI KHUSUS
5.1 TB Milier

44

1. Rawat inap
2. Paduan obat: 2 RHZE/ 4 RH
3. Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinik,
radiologik dan evaluasi pengobatan, maka pengobatan lanjutan dapat
diperpanjang
4. Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan :
a. Tanda / gejala meningitis
b. Sesak napas
c. Tanda / gejala toksik
d. Demam tinggi
e. Kortikosteroid: prednison 30-40 mg/hari, dosis diturunkan 5-10 mg
setiap 5-7 hari, lama pemberian 4 6 minggu.
5.2 Pleuritis Eksudativa TB(Efusi Pleura TB)
1. Paduan obat: 2RHZE/4RH.
2. Evakuasi cairan, dikeluarkan seoptimal mungkin, sesuai keadaan pasien
dan berikan kortikosteroid
3. Dosis steroid : prednison 3 x 10 mg selama 3 minggu
4. Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas dan DM.
5. Evakuasi cairan dapat diulang bila diperlukan
5.3 TB Ekstra Paru (Selain TB Milier Dan Pleuritis TB)
1. Paduan obat 2 RHZE/ 1 0 RH.
2. Prinsip pengobatan sama dengan TB paru menurut ATS, misalnya
pengobatan untuk TB tulang, TB sendi dan TB kelenjar.
3. Pada TB diluar paru lebih sering dilakukan tindakan bedah. Tindakan
bedah dilakukan untuk :
a. Mendapatkan bahan / spesimen untuk pemeriksaan (diagnosis)
b. Pengobatan :
1) perikarditis konstriktiva
2) kompresi medula spinalis pada penyakit Pott's
4. Pemberian kortikosteroid pada perikarditis TB untuk mencegah
konstriksi jantung, dan pada meningitis TB untuk menurunkan gejala
sisa neurologik. Dosis yang dianjurkan ialah 0,5 mg/kg /hari selama 3-6
minggu.
5.4 TB Paru Dengan Diabetes Melitus (DM)
1. Paduan obat: 2 RHZ(E-S)/ 4 RH dengan gula darah terkontrol

45

2. Bila gula darah tidak terkontrol, atau pada evaluasi akhir pengobatan
dianggap belum cukup, maka pengobatan dapat dilanjutkan (bila perlu
konsult ke ahli paru)
3. Gula darah harus dikontrol
4. Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping
etambutol pada mata; sedangkan pasien DM sering mengalami
komplikasi kelainan pada mata
5. Perlu diperhatikan penggunaan rifampisi karena akan mengurangi
efektiviti obat oral anti diabetes (sulfonil urea), sehingga dosisnya perlu
ditingkatkan
6. Perlu kontrol / pengawasan sesudah pengobatan selesai, untuk
mengontrol / mendeteksi dini bila terjadi kekambuhan
5.5 TB Paru Dengan HIV / AIDS
Beberapa pasien yang datang berobat, mungkin diduga terinfeksi HIV atau
menderita AIDS. Indikasi untuk melakukan tes HIV dapat dilihat pada tabel 5
di bawah ini. Pemeriksaan tes HIV disertai dengan konseling sebelum dan
sesudah tes (Voluntary Counseling and Testing/VCT)

Tabel 7. Indikasi Tes Darah HIV


Kombinasi dari A dan B (1 kelompok A dan 1 dari B)
A. Berat badan turun drastic
TB paru
Sariawan / stomatitis berulang
Sarkoma Kaposi
B. Riwayat perilaku risiko tinggi
Pengguna NAZA suntikan
Homoseksual
Waria
Pekerja seks
Pramuria panti pijat
1. Pada dasarnya pengobatannya sama dengan pengobatan TB tanpa
HIV/AIDS.

46

2. Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat


dalam jumlah cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepat
3. Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya karena
akan menyebabkan efek toksik berat pada kulit
4. Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik sekali
pakai yang steril.
5. Desensitisasi obat (INH,Rifampisin) tidak boleh dilakukan karena
mengakibatkan toksik yang serius pada hati
6. Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberi respons terhadap
pengobatan, selain dipikirkan terdapat resistensi terhadap obat juga harus
dipikirkan terdapatnya malabsorpsi obat. Pada pasien HIV/ AIDS terdapat
korelasi antara imunosupresi yang berat dengan derajat penyerapan,
karenanya dosis standar OAT yang diterima suboptimal sehingga
konsentrasi obat rendah dalam serum
7. Paduan obat yang diberikan berdasarkan rekomendasi ATS yaitu: 2
RHZE/RH diberikan sampai 6-9 bulan setelah konversi dahak
8. INH diberikan terus menerus seumur hidup.
9. Bila terjadi MDR, pengobatan sesuai uji resistensi / sesuai pedoman
pengobatan MDR-TB
Waktu Memulai Terapi
1. Waktu pemberian obat pada koinfeksi TB-HIV harus memperhatikan jumlah
limfosit CD4 dan sesuai dengan rekomendasi yang ada (seperti terlihat pada
tabel 8)
Tabel 8. Pedoman pemberian ARV pada koinfeksi TB-HIV
Kondisi Rekomendasi
Kondisi Rekomendasi
TB paru, CD4 < 50 sel/mm3, atau toleransi terhadap AOT

telah

TB ekstrapulmonal Mulai terapi tercapai


OAT, segera mulai terapi ARV jika
TB paru, CD4 50-200 sel/mm3 atau total < 1200 sel/mm3
hitung limfosit
Mulai terapi OAT. Terapi ARV TB paru, CD4 > 200 sel/mm3 atau
dimulai setelah 2 bulan

hitung limfosit

47

simptomatik, AIDS (+Kaposi/ Ca cervix / limfoma / wasting syndrome /


pneumonia P. Carinii/ toksoplasmosis otak / retinitis virus sitomegalo /
kandidiasis esofagus, trakea, bronkus, sel/mm3), asimptomatik + viral load >
55.000 kopi/ml) Interaksi obat TB dengan ARV (Anti Retrovirus)
2. Pemakaian obat HIV/AIDS misalnya zidovudin akan meningkatkan
kemungkinan terjadinya efek toksik OAT
3. Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida,
kecuali Didanosin (ddI) yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena
bersifat sebagai buffer antasida
4. Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan ARV golongan non-nukleotida
dan inhibitor protease.Rifampisin jangan diberikan bersama dengan nelfinavir
karena rifampisin dapat menurunkan kadar nelfinavir sampai 82%. Rifampisin
dapat menurunkan kadar nevirapin sampai 37%, tetapi sampai saat ini belum
ada peningkatan dosis nevirapin yang direkomendasikan
5.6 TB Paru Pada Kehamilan dan Menyusui
1. Tidak ada indikasi pengguguran pada pasien TB dengan kehamilan
2. Obat antituberkulosis tetap dapat diberikan kecuali streptomisin, karena
efek samping streptomisin pada gangguan pendengaran janin
3. Pada pasien TB dengan menyusui, OAT & ASI tetap dapat diberikan,
walaupun beberapa OAT dapat masuk ke dalam ASI, akan tetapi
konsentrasinya kecil dan tidak menyebabkan toksik pada bayi
4. Wanita menyusui yang mendapat pengobatan OAT dan bayinya juga
mendapat pengobatan OAT, dianjurkan tidak menyusui bayinya agar
bayi tidak mendapat dosis berlebihan
5. Pada wanita usia produktif yang mendapat pengobatan TB dengan
rifampisin, dianjurkan untuk tidak menggunakan kontrasepsi hormonal,
karena dapat terjadi interaksi obat yang menyebabkan efektiviti obat
kontrasepsi hormonal berkurang.
5.7 TB Paru dan Gagal Ginjal
1. Jangan menggunakan streptomisin, kanamisin dan capreomycin

48

2. Sebaiknya hindari penggunaan etambutol, karena waktu paruhnya


memanjang dan terjadi akumulasi etambutol. Dalam keadaan sangat
diperlukan, etambutol dapat diberikan dengan pengawasan kreatinin
3. Sedapat mungkin dosis disesuaikan dengan faal ginjal (CCT, Ureum,
Kreatnin)
4. Rujuk ke ahli Paru
5.8 TB Paru dengan Kelainan Hati
1. Bila ada kecurigaan gangguan fungsi hati, dianjurkan pemeriksaan faal
hati sebelum pengobatan
2. Pada kelainan hati, pirazinamid tidak boleh diberikan
3. Paduan obat yang dianjurkan (rekomendasi WHO) ialah 2 SHRE/6 RH
atau 2 SHE/10 HE
4. Pada pasien hepatitis akut dan atau klinik ikterik , sebaiknya OAT
ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada
keadaan sangat diperlukan dapat diberikan S dan E maksimal 3 bulan
sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan 6 RH
5. Sebaiknya rujuk ke ahli Paru
5.9 Hepatitis Imbas Obat
Dikenal sebagai kelainan hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik
(drug induced hepatitis)
Penatalaksanaan
1. Bila klinik (+) (Ikterik [+], gejala mual, muntah [+]) OAT Stop
2. Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali,: OAT stop
3. Bila gejal klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan: Bilirubin > 2
OAT Stop
4. SGOT, SGPT > 5 kali : OAT stop
5. SGOT, SGPT > 3 kali : teruskan pengobatan, dengan pengawasan
Paduan OAT yang dianjurkan :
1. Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
2. Setelah itu, monitor klinik dan laboratorium. Bila klinik dan
laboratorium normal kembali (bilirubin, SGOT, SGPT), maka
tambahkan H (INH) desensitisasi sampai dengan dosis penuh (300 mg).
Selama itu perhatikan klinik dan periksa laboratorium saat INH dosis
penuh , bila klinik dan laboratorium normal , tambahkan rifampisin,

49

desensitisasi sampai dengan dosis penuh (sesuai berat badan). Sehingga


paduan obat menjadi RHES
3. Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi (PDPI, 2006)

BAB VI
PEMBAHASAN KASUS
Ny. CK (45 th)

seorang pedagang buah di pasar Arengka, sudah 2 bulan

mengeluhkan batuk yang cukup mengganggu. Batuknya berdahak dengan dahak


yang purulen berwarna kehijauan. Kadang terlihat ada bercak darah. Sudah
diobati dengan berbagai obat batuk tapi belum sembuh juga. Berat badannya turun
drastis kadang disertai rasa menggigil dan berkeringat 2 bulan lalu masih 45 kg
sekarang menjadi 40 kg.
Penyelesaian Kasus :
Subjective
Nama pasien

: Ny. CK

Usia

: 45 th

Keluhan

: batuk berdahak dengan dahak berwarna kehijauan sejak 2


bulan lalu, terkadang ada bercak darah, berat badan turun
(dari 45 kg menjadi 40 kg), rasa menggigil, dan
berkeringat.

Riwayat pengobatan: Obat Batuk


Objective

:-

Assasment

50

Tuberkulosis
Penilaian didasarkan pada gejala yang dikeluhkan pasien mengenai batuk
yang dialaminya semenjak 2 bulan yang lalu ditambah lagi dahak yang
purulen berwarna kehijauan mengindikasikan adanya infeksi dan
diperkuat dengan adanya bercak darah pada sputum, rasa menggigil,
berkeringat, dan berat badan yang turun drastis, memperkuat diagnosa
bahwa pasien mengalami penyakit infeksi Tuberkulosis.
Plan
Terapi Farmakologi
Tahap awal/ intensif
Pemberian kombinasi OAT 2 HRZE :
Isoniazida 300 mg (INH,kemoniazid)
Rifampisin 600 mg (Rifadin,Rimactane,Rifampin)
Pirazinamida 500 mg, dosis : 30 mg/kg (max 2 g sehari) (Prazina, Pezeta,
Pharozinamide)
Ethambutol 15-30 mg/kg bb maks. 2,5 g sehari (Myambutol, Kalbutol)
Lama pengobatan selama 2 bulan, masing-masing obat diberikan setiap
hari
Tahap lanjutan
Diberikan 4H3R3 selama 4 bulan, masing-masing OAT HR diberikan 3
kali seminggu.
Terapi Non Farmakologi
Bedrest
Diet sehat dan banyak Mengonsumsi makanan mengandung lemak dan
vitamin A untuk membentuk jaringan lemak baru yang dapat
menyelubungi kuman (Encapsulate) dan meningkatkan daya tahan tubuh
Menjaga sanitasi lingkungan sekitar tempat tinggal
Menjaga sirkulasi di dalam rumah agar selalu berganti dengan udara yang
baru
Olahraga yang cukup

51

Monitoring
Monitoring terhadap hasil pemeriksaan sputum atau pemeriksaan BTA.
Tindak lanjut :
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru dengan
BTA positif, hasil pemeriksaan sputumnya masih menunjukkan BTA
positif maka diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1

bulan.
Jika pemeriksaan

BTA setelah

melaksanakan

fase

intensif

menunjukkan hasil BTA (-) maka pengobatan dilanjutkan selama 5


bulan (fase lanjutan).
Monitoring fungsi hati
Rencana tindak lanjut :
Melakukan pemeriksaan SGOT, SGPT setiap 1 bulan sekali.
Pasien dianjurkan untuk mengkonsumsi kurkuma.
Monitoring fungsi paru
Melakukan foto thoraks untuk mengetahui apakah masih ada infiltrat dan
kavitas di lobus paru.
Konsultasi, Informasi dan Edukasi Pasien (KIE)
Memberikan informasi tentang obat baik mengenai nama obat, dosis,

aturan pakai dan cara penggunaan obat.


Memberikan informasi, instruksi, dan peringatan kepada pasien dan
keluarganya tentang efek terapi dan efek samping yang mungkin timbul

selama pengobatan.
Memberikan edukasi kepada pasien bahwa obat TBC harus di minum
sampai selesai sesuai dengan kategori penyakit atau sesuai petunjuk
dokter/petugas kesehatan lainnya dan diupayakan agar tidak lupa. Bila
lupa satu hari, jangan meminum dua kali pada hari berikutnya.
Memberikan edukasi kepada pasien bahwa obat harus di minum setiap hari
atau sesuai dengan dosis, namun jika lupa segera minum obat jika
waktunya dekat ke waktu minum obat seharusnya. Tetapi jika lewat waktu
minum obat sudah jauh, dan dekat ke waktu berikutnya, maka minum obat
sesuaikan saja dengan waktu/dosis berikutnya.

52

Memberikan edukasi kepada pasien untuk meminum obat sesuai jadwal


yang diberitahukan oleh dokter atau petugas kesehatan lain misalnya pada
pagi hari.
BAB VII
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan :

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit penyebab kematian

utama yang disebabkan oleh infeksi, jika tidak diatasi dengan baik
Regimen pengobatan terdiri dari fase awal (intensif) selama 2 bulan
dan fase lanjutan selama 4-6 bulan.
Selama fase intensif yang biasanya terdiri dari 4 obat, diharapkan
terjadi pengurangan jumlah kuman disertai perbaikan klinis. Pasien
yang berpotensi menularkan infeksi menjadi non infeksi dalam waktu
2 minggu.

Sebagian besar pasien dengan sputum BTA (+) akan

menjadi negatif dalam waktu 2 bulan.


Selama fase lanjutan diperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam waktu
yang lebih panjang. Efek sterilisasi obat pada fase ini bertujuan untuk

membersihkan sisa-sisa kuman dan mencegah kekambuhan.


Kepatuhan pasien terhadap
rejimen pengobatan
merupakan
indeks/landasan terpenting untuk mencapai efektifitas kemoterapi
dalam penanganan TB.

7.2 Saran

Apoteker harus melakukan pemantauan terapi TB baik yang terkait


dengan interaksi obat-obat, malabsorpsi obat, dan menghindari

kesalahan penggunaan obat tunggal untuk rejimen yang gagal.


Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien mengenai
pentingnya melanjutkan kemoterapi meskipun terlihat perbaikan
gejala.

53

Apoteker harus menjadi bagian dari tim multidisiplin (dengan


perawat, dokter, pekerja sosial) yang ditujukan untuk keberhasilan
kemoterapi pasien TB dan keluarga mereka.
DAFTAR PUSTAKA

Dipiro, Joseph T. Robert L. Talbert, Gary C. Yee, Gary R. Matzke, Barbara G.


Wells, L. Michael Posey. 2005. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach,
Sixth Edition. USA : The McGraw-Hill Companies, Inc. the United States of
America
Dirjen Binfar dan Alkes, Depkes RI. 2005. Pharmaceutical care untuk Penyakit
Tuberkulosis.
Perhimpunan

Dokter

Penatalaksanaan

Paru

Indonesia.

Tuberkulosis

di

2006.

Pedoman

Indonesia.

Diagnosis

Diambil

dari

dan
:

http://www.klikpdpi.com diakses : Oktober 2015


TH,Tjay dan Kirana Rahardja.2007. Obat-obat Penting (khasiat, penggunaan,
dan efek-efek sampingnya). Jakarta : PT.Elex Media Komputindo Kelompok
Kompas-Gramedia
Werdhani,

Retno

Asti.2002.

Patofisiologi,

Diagnosis,

Dan

Klafisikasi

Tuberkulosis. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, Dan Keluarga


FKUI.

54

Anda mungkin juga menyukai