Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit yang telah lama dikenal dan
sampai saat ini masih menjadi penyebab utama kematian di dunia. Secara global, 1
dari 3 individu terinfeksi oleh TB. Menurut World Health Organization (WHO), ada
8.8 juta insiden kasus TB di dunia pada tahun 2010, dengan 1.1 juta kematian pada
pasien TB dengan HIV-negatif dan 0.35 juta kematian pada pasien TB dengan HIV.
Lima (5) negara dengan jumlah insiden kasus TB tertinggi pada tahun 2010 adalah
India, China, Afrika Selatan, Indonesia dan Pakistan. India sendiri menyumbang
sekitar 26% dari semua kasus TB di seluruh dunia (Herchline, 2014).
Prevalensi TB di Indonesia cukup tinggi. Pada tahun 2006, kasus baru di
Indonesia berjumlah >600.000 dan sebagian besar diderita oleh masyarakat yang
berada dalam usia produktif (15–55 tahun). Angka kematian karena infeksi TB
berjumlah sekitar 300 orang per hari dan terjadi >100.000 kematian per tahun. Hal
tersebut merupakan tantangan bagi semua pihak untuk terus berupaya mengendalikan
infeksi ini (Saptawati, dkk., 2012).
Pemerintah Indonesia juga telah berupaya untuk mengendalikan infeksi TB
melalui Program Nasional Pengendalian TB dengan strategi DOTS (Directly
Observed Treatment Shortcourse). World Health Organization (WHO)
merekomendasikan 5 komponen strategi DOTS yakni :
1. Tanggung jawab politis dari para pengambil keputusan (termasuk dukungan
dana).
2. Diagnosis TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
3. Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek
dengan pengawasan langsung Pengawas Menelan Obat (PMO).
4. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.
5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan
evaluasi program penanggulangan TB.
Meskipun berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah, namun TB tetap belum
dapat diberantas, bahkan diperkirakan jumlah penderita TB terus meningkat. Tanpa
peran serta masyarakat tentunya tidak akan dicapai hasil yang optimal karena TB
bukan hanya masalah kesehatan namun juga merupakan masalah sosial. Keberhasilan
penanggulangan TB sangat bergantung pada tingkat kesadaran dan partisipasi
masyarakat.

1
Maka diperlukan keterlibatan berbagai pihak dan sektor dalam masyarakat,
kalangan swasta, organisasi profesi dan organisasi sosial serta LSM, terutama profesi
Apoteker di Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit maupun tempat lain yang
melayani masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya akan obat TB.
Apoteker dalam hal ini dapat membantu : mengarahkan pasien yang diduga
menderita TB untuk memeriksakan diri terhadap TB (case finding), memotivasi
pasien untuk patuh dalam pengobatan, memberikan informasi dan konseling,
membantu dalam pencatatan untuk pelaporan (Direktorat Bina Farmasi Komunitas
dan Klinik, 2005).
Berdasarkan hal diatas, dibutuhkan ketersediaan informasi yang memadai
mengenai penyakit ini dan terapinya.

1.2 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan informasi tentang
tuberkulosis (TB) dan contoh pelayanan resep pasien TB.

2
BAB II
PENGENALAN PENYAKIT

1.1 Etiologi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh Bakteri
Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian besar (80%) menyerang paru-paru.
Bakteri ini berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak
berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 µm dan panjang 1 – 4 µm. Dinding
M.tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%) yang
sulit ditembus zat kimia. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan
bakteri M.tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai, tahan
terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam-alkohol.

1.2 Penularan dan Penyebaran


Manusia merupakan satu-satunya sumber penularan yang diketahui (dari
manusia ke manusia). Bakteri M.Tuberculosis ditularkan dalam bentuk tetes-tetes
ludah/dahak (droplet) yang dibatukkan penderita kemudian terhirup, tertelan atau
kontak dengan luka di kulit orang yang sehat (Tan dan Kirana, 2007).
M.Tuberculosis mempunyai kemampuan untuk hidup dan berkembang di
dalam fagosit mononuklear yang menelannya sehingga bakteri ini dapat menyerang
kelenjar getah bening dan menyebar ke luar paru (TB ekstra-paru), seperti sumsum
tulang, hati, limpa, ginjal, tulang dan otak, biasanya melalui darah. Meskipun bakteri
tersebar ke seluruh tubuh melalui darah, TB ekstra paru jarang terjadi kecuali pada
orang yang mengalami gangguan sistem imun.
Pada anak-anak yang lebih muda dari 5 tahun, potensi perkembangan TB
meningeal menjadi perhatian penting. Osteoporosis, sklerosis dan keterlibatan tulang
lebih sering terjadi pada anak-anak penderita TB dibandingkan pada orang dewasa
penderita TB. Anak-anak umumnya tidak menginfeksi anak lain, karena jarang batuk
dan sedikit mengeluarkan dahak (sputum) (Herchline, 2014).

1.3 Patofisiologi
Infeksi terhadap M. Tuberkulosis yang paling umum adalah akibat paparan
paru-paru atau membran mukosa terhadap droplet penderita. Ketika terhirup, droplet
akan tersimpan dalam rongga udara terminal paru-paru. Organisme ini akan tumbuh
selama 2-12 minggu hingga mencapai jumlah 1000-10,000 yang cukup untuk
menimbulkan respon imun seluler yang dapat dideteksi dengan reaksi terhadap tes
tuberkulin pada kulit.
3
Ketika seseorang terinfeksi M.Tuberkulosis, infeksi dapat melalui satu dari
berbagai jalur, yang kebanyakan tidak mengarah ke TB yang sebenarnya. Infeksi
dapat dibersihkan oleh sistem imun inang (host) atau ditekan menjadi bentuk tidak
aktif yang disebut infeksi TB laten (Latent Tuberculosis Infection=LTBI) sebelum
berkembang menjadi penyakit yang aktif. Pasien dengan LTBI tidak dapat
menyebarkan TB (Herchline, 2014).

1.4 Epidemiologi
Secara global, 1 dari 3 orang terinfeksi TB. Menurut WHO, ada 8.8 juta
insiden kasus TB di seluruh dunia pada tahun 2010, dengan 1.1 juta kematian akibat
TB dengan HIV-negatif dan tambahan 0.35 juta kematian dari TB dengan HIV. Pada
tahun 2009, hampir 10 juta anak-anak menjadi yatim piatu akibat kematian orangtua
yang disebabkan oleh TB.
Lima negara dengan jumlah insiden kasus tertinggi pada tahun 2010 adalah
India, China, Afrika Selatan, Indonesia, dan Pakistan. India sendiri menyumbang
sekitar 26% dari semua kasus TB di seluruh dunia, dan China serta India bersama-
sama menyumbang 38% (Herchline, 2014).

1.5 Klasifikasi Tuberkulosis


Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
1) Tuberkulosis paru yaitu tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru.
tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
2) Tuberkulosis ekstra paru yaitu tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar
limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan
lain-lain.
Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB
Paru:
1) Tuberkulosis paru BTA positif
 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan
setelah pemberian antibiotika non OAT (Obat Anti-TB).
2) Tuberkulosis paru BTA negatif
4
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria
diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
 Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
 Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis
 Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
 Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.\
1.6 Tanda Dan Gejala
Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus
yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu
khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa
secara klinik.
Gejala sistemik/umum:
− Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah)
− Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam
hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza
dan bersifat hilang timbul
− Penurunan nafsu makan dan berat badan
− Perasaan tidak enak (malaise), lemah
Gejala khusus:
− Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian
bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah
bening yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”, suara nafas melemah
yang disertai sesak.
− Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertaidengan
keluhan sakit dada. Jika mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi
tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di
atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
− Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut
sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya
penurunan kesadaran dan kejang-kejang.
Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi kalau
diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang
kontak dengan penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif.
Pada anak usia 3 bulan – 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC
paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan
serologi/darah (Wardhani, 2010).

5
1.7 Diagnosis
Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TBC, maka beberapa hal yang
perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah:
 Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya.
 Pemeriksaan fisik.
 Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak).
 Pemeriksaan patologi anatomi (PA).
 Rontgen dada (thorax photo).
 Uji tuberkulin.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial,
amforik, suara napas melemah, bronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma
& mediastinum.
Pemeriksaan laboratorium umumnya dilakukan dengan pemeriksaan dahak
untuk penegakan diagnosis dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang
dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-
Sewaktu (SPS):
 S(sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama
kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan
dahak pagi pada hari kedua.
 P(Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.
 S(sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi.
lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :
 2 kali positif, 1 kali negatif → Mikroskopik positif
 1 kali positif, 2 kali negatif → ulang BTA 3 kali , kemudian
 bila 1 kali positif, 2 kali negatif → Mikroskopik positif
 bila 3 kali negatf → Mikroskopik negatif
Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun
pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi
sebagai berikut:
− Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini
pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru
BTA positif.

6
− Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non-OAT (non fluoroquinolon).
− Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang
memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa,
efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat
(untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma).
Uji tuberkulin merupakan pemeriksaan yang paling bermanfaat pada anak
untuk menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis dan sering
digunakan dalam “Screening TBC”. Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC
dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%. Penderita anak umur kurang dari 1
tahun yang menderita TBC aktif uji tuberkulin positif 100%, umur 1–2 tahun 92%,
2–4 tahun 78%, 4–6 tahun 75%, dan umur 6–12 tahun 51%. Dari persentase tersebut
dapat dilihat bahwa semakin besar usia anak maka hasil uji tuberkulin semakin
kurang spesifik.
Uji ini dilakukan dengan cara Mantoux (penyuntikan dengan cara intra kutan).
Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah kiri
bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin
dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan
(indurasi) yang terjadi:
1. Pembengkakan (Indurasi) : 0–4mm, uji mantoux negatif.
Arti klinis : tidak ada infeksi Mycobacterium tuberculosis.
2. Pembengkakan (Indurasi) : 5–9mm, uji mantoux meragukan.
Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium
atypikal atau pasca vaksinasi BCG.
3. Pembengkakan (Indurasi) : >= 10mm, uji mantoux positif.
Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.

7
Gambar alur diagnosis TB paru (PDPI,2006).

8
BAB III
PENGOBATAN

3.1 Tujuan Pengobatan


Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap OAT.

3.2 Prinsip Pengobatan


Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
 OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT
tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT)
lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
 Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT=Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan
Obat (PMO).
 Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan lanjutan.
 Tahap awal (intensif)
Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila
pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian
besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
 Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh
kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

9
3.3 Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
Tabel 1. Jenis, sifat dan dosis OAT.

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan


Tuberkulosis di Indonesia:
 Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
 Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
 Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE).
 Kategori Anak: 2HRZ/4HR.
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa
obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini
disediakan dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi
2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan
penderita. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu penderita.
Paket kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid,
Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan
OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatanpenderita yang
mengalami efek samping OAT KDT. Paduan Obat Anti-Tuberkulosis (OAT)
disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat
dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu paket
untuk satu penderita dalam satu masa pengobatan.
Disamping Kombipak, saat ini tersedia juga obat TB yang disebut Fix Dose
Combination (FDC). Obat ini pada dasarnya sama dengan obat kompipak, yaitu
rejimen dalam bentuk kombinasi, namun didalam tablet yang ada sudah berisi 2, 3
atau 4 campuran OAT dalam satu kesatuan. WHO sangat menganjurkan pemakaian
OAT-FDC karena beberapa keunggulan dan keuntungannya dibandingkan dengan
OAT dalam bentuk kombipak apalagi dalam bentuk lepas.
Keuntungan penggunaan OAT FDC:
a. Mengurangi kesalahan peresepan karena jenis OAT sudah dalam satu kombinasi
tetap dan dosis OAT mudah disesuaikan dengan berat badan penderita.
10
b. Dengan jumlah tablet yang lebih sedikit maka akan lebih mudah pemberiannya
dan meningkatkan penerimaan penderita sehingga dapat meningkatkan
kepatuhan penderita.
c. Dengan kombinasi yang tetap, walaupun tanpa diawasi, maka penderita tidakbisa
memilih jenis obat tertentu yang akan ditelan.
d. Dari aspek manajemen logistik, OAT-FDC akan lebih mudah pengelolaannya
dan lebih murah pembiayaannya.
Pemakaian OAT-FDC tidak berarti mengganti atau meniadakan tatalaksana standar
dan pengawasan menelan obat.
Tabel 3.2 Paduan OAT

11
Paduan OAT Sisipan (HRZE), diberikan setiap hari selama satu bulan (28 hari)
kepada pasien BTA positif yang pada akhir pengobatan intensif masih tetap BTA
positif (Depkes, 2007).

3.4 Hasil Pengobatan Pasien TB BTA positif


a. Sembuh: pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan
pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada Akhir Pengobatan
(AP) dan minimal satu pemeriksaan follow-up sebelumnya negatif.
Tindak lanjut: Penderita diberitahu apabila gejala muncul kembali supaya
memeriksakan diri dengan mengikuti prosedur tetap.
b. Pengobatan Lengkap: pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara
lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.
Tindak lanjut: Penderita diberitahu apabila gejala muncul kembali supaya
memeriksakan diri dengan mengikuti prosedur tetap. Seharusnya terhadap semua
penderita BTA positif harus dilakukan pemeriksaan ulang dahak sesuai dengan
petunjuk.
c. Meninggal: pasien yang meninggal dalam masa pengobatan.
d. Pindah: pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan
hasil pengobatannya tidak diketahui.
Tindak lanjut : Penderita yang ingin pindah, dibuatkan surat pindah (Form
TB.09) dan bersama sisa obat dikirim ke UPK yang baru. Hasil pengobatan
penderita dikirim kembali ke UPK asal, dengan formulir TB.10.
e. Default (Putus berobat): pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau
lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
Tindak lanjut: lacak penderita tersebut dan beri penyuluhan pentingnya berobat
secara teratur. Apabila penderita akan melanjutkan pengobatan, lakukan
pemeriksaan dahak. Bila positif mulai pengobatan dengan kategori-2; bila negatif
sisa pengobatan kategori-1 dilanjutkan.
f. Gagal: pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
Tindak lanjut: berikan pengobatan kategori 2 mulai dari awal (MenKes RI,
2009).

12

Anda mungkin juga menyukai