TB MILLIER
A. DEFINISI
TB milier terjadi oleh karena adanya penyebaran secara hematogen dan
diseminata, bisa ke seluruh organ, tetapi gambaran milier hanya dapat dilihat secara
kasat mata pada foto torak dalam waktu 2-3 minggu setelah penyebaran kuman secara
hematogen.
Diagnosis ditegakkan melalui riwayat kontak dengan pasien TB atau uji
tuberkulin positif, gejala klinis dan radiologis yang khas. Selain itu perlu dilakukan
pemeriksaan pungsi lumbal walaupun belum timbul kejang atau penurunan kesadaran.
Dengan pengobatan yang tepat, perbaikan TB milier biasanya berjalan lambat.
Respon keberhasilan terapi antara lain adalah menghilangnya demam setelah 2-3
minggu pengobatan, peningkatan nafsu makan, perbaikan kualitas hidup sehari-hari,
dan peningkatan berat badan. Gambaran milier pada foto toraks berangsur-angsur
menghilang dalam 5-10 minggu, tetapi mungkin juga belum ada perbaikan sampai
beberapa bulan.
Jika dokter dan petugas di fasyankes primer menemukan kasus dengan klinis
diduga TB milier, maka wajib dirujuk ke RS rujukan untuk tatalaksana lebih lanjut.
Pasien yang sudah dipulangkan dari RS dapat melanjutkan pengobatan di fasyankes
primer.
B. EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis milier termasuk salah satu bentuk TB dengan gejala klinis berat
dan merupakan 3-7% dari seluruh kasus TB, dengan angka kematian yang tinggi (dapat
mencapai 25% pada bayi).
1
Tuberkulosis anak merupakan faktor penting di negara-negara berkembang
karena jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 40−50% dari jumlah seluruh
populasi.
C. FAKTOR RESIKO
Terjadinya TB milier dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu
1. kuman M. tuberculosis (jumlah dan virulensi),
2. status imunologis pasien (nonspesifik dan spesifik), seperti infeksi HIV,
malnutrisi, infeksi campak, pertusis, diabetes melitus, gagal ginjal, keganasan, dan
penggunaan kortikosteroid jangka lama
2
3. faktor lingkungan (kurangnya paparan sinar matahari, perumahan yang padat,
polusi udara, merokok, penggunaan alkohol, obat bius, serta sosioekonomi).
D. KLASIFIKASI
Penentuan klasifikasi dan tipe kasus TB pada anak tergantung dari hal berikut:
3
Berat dan ringannya penyakit
a. TB ringan: tidak berisiko menimbulkan kecacatan berat atau kematian,
misalnya TB primer tanpa komplikasi, TB kulit, TB kelenjar dll
b. TB berat: TB pada anak yang berisiko menimbulkan kecacatan berat atau
kematian, misalnya TB meningitis, TB milier, TB tulang dan sendi, TB
abdomen, termasuk TB hepar, TB usus, TB paru BTA positif, TB resisten obat,
TB HIV.
Status HIV
Pemeriksaan HIV direkomendasikan pada semua anak suspek TB pada daerah
endemis HIV atau risiko tinggi terinfeksi HIV. Berdasarkan pemeriksaan HIV, TB
pada anak diklasifikasikan sebagai:
a. HIV positif
b. HIV negatif
c. HIV tidak diketahui
d. HIV expose/ curiga HIV. Anak dengan orang tua penderita HIV diklasifikasikan
sebagai HIV expose, sampai terbukti HIV negatif. Apabila hasil pemeriksaan HIV
menunjukkan hasil negatif pada anak usia < 18 bulan, maka status HIV perlu
diperiksa ulang setelah usia > 18 bulan.
Resistensi Obat
Pengelompokan pasien TB berdasarkan hasil uji kepekaan M. tuberculosis
terhadap OAT terdiri dari:
a. Monoresistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap salah satu jenis
OAT lini pertama.
b. Polydrug Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap lebih dari
satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara
bersamaan.
c. Multi Drug Resistance (MDR) adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap
Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) dengan atau tanpa OAT lini pertama lainnya.
4
d. Extensive Drug Resistance (XDR) adalah MDR disertai dengan resistan
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari
OAT lini kedua jenis suntikan yaitu Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin.
e. Rifampicin Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap
Rifampisin dengan atau tanpa resistansi terhadap OAT lain yang dideteksi
menggunakan metode pemeriksaan yang sesuai, pemeriksaan konvensional
atau pemeriksaan cepat. Termasuk dalam kelompok ini adalah setiap resistansi
terhadap rifampisin dalam bentuk Monoresistance, Polydrug Resistance, MDR
dan XDR.
E. PATOGENESIS
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB
dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 μm), akan terhirup
dan dapat mencapai alveolus.. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan
seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons
imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat
dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag
alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi,
sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di
dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya, kuman TB
membentuk lesi di tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi
fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer
terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar
limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang
akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis,
dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex).
5
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan
sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB bervariasi
selama 2−12 minggu, biasanya berlangsung selama 4−8 minggu.
Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga mencapai
jumlah 103–104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas selular
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi.
Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang
dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji
tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian
besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun selular
berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB
dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman TB
baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular
spesifik (cellular mediated immunity, CMI).
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya akan
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi
nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami
fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus
primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-
tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau
di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan
pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian
tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga
di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada
awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus
6
dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan
hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-valve mechanism).
Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi
dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus,
sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat
menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan
pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-
konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara
limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman
masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran
hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di
seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di
apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di
organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di
sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula dengan proses
patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian
hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah
besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini
dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut
TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2−6 bulan setelah
7
terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB
yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi
karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB,
misalnya pada anak bawah lima tahun (balita) terutama di bawah dua tahun.
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread.
Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding vaskuler pecah dan
menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB akan masuk dan
beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat
dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread
F. MANIFESTASI KLINIS
Gejala dan tanda awal TB milier sama dengan TB lainnya, dapat disertai sesak
nafas, ronki dan mengi. Dalam keadaan lanjut bisa juga terjadi hipoksia, pneumotoraks,
dan atau pneumomediastinum, sampai gangguan fungsi organ, serta syok. Lesi milier
dapat terlihat pada foto toraks dalam waktu 2-3 minggu setelah penyebaran kuman
secara hematogen. Gambarannya sangat khas, yaitu berupa tuberkel halus (millii) yang
tersebar merata di seluruh lapangan paru, dengan bentuk yang khas dan ukuran yang
hampir seragam (1-3 mm).
8
3. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau
intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat
disingkirkan.
4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure
to thrive).
5. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
6. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan baku
diare.
9
4. Skrofuloderma:
Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus (skin bridge).
5. Tuberkulosis mata:
- Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).
- Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
6. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicurigai
bila ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas
dan disertai kecurigaan adanya infeksi TB.
G. DIAGNOSIS
Penemuan Pasien TB Anak
TB merupakan salah satu penyakit menular dengan angka kejadian yang cukup
tinggi di Indonesia. Diagnosis pasti TB seperti lazimnya penyakit menular yang lain
adalah dengan menemukan kuman penyebab TB yaitu kuman Mycobacterium
10
tuberculosis pada pemeriksaan sputum, bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan
pleura ataupun biopsi jaringan.
WHO mendukung Xpert MTB/RIF pada tahun 2010 dan telah mengeluarkan
rekomendasi pada tahun 2011 untuk menggunakan Xpert MTB/RIF. Update
rekomendasi WHO tahun 2013 menyatakan pemeriksaan Xpert MTB/RIF dapat
digunakan untuk mendiagnosis TB MDR pada anak, dan dapat digunakan untuk
11
mendiagnosis TB pada anak ada beberapa kondisi tertentu yaitu tersedianya teknologi
ini. Saat ini data tentang penggunaan Xpert MTB/RIF masih terbatas yaitu
menunjukkan hasil yang lebih baik dari pemeriksaan mikrokopis, tetapi sensitivitasnya
masih lebih rendah dari pemeriksaan biakan dan diagnosis klinis, selain itu hasil Xpert
MTB/RIF yang negatif tidak selalu menunjukkan anak tidak sakit TB.
1. Berdahak
Pada anak lebih dari 5 tahun dengan gejala TB paru, dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan dahak mikroskopis, terutama bagi anak yang mampu mengeluarkan
dahak. Kemungkinan mendapatkan hasil positif lebih tinggi pada anak >5 tahun.
2. Bilas lambung
Bilas lambung dengan NGT (Naso Gastric Tube) dapat dilakukan pada anak yang tidak
dapat mengeluarkan dahak. Dianjurkan spesimen dikumpulkan selama 3 hari berturut-
turut pada pagi hari.
3. Induksi Sputum
Induksi sputum relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak semua umur,
dengan hasil yang lebih baik dari aspirasi lambung, terutama apabila menggunakan
lebih dari 1 sampel. Metode ini bisa dikerjakan secara rawat jalan, tetapi diperlukan
pelatihan dan peralatan yang memadai untuk melaksanakan metode ini.
Secara lebih lengkap metode ini dijelaskan pada lampiran.
Berbagai penelitian menunjukkan organ yang paling sering berperan sebagai
tempat masuknya kuman TB adalah paru karena penularan TB sebagai akibat
terhirupnya kuman M.tuberculosis melalui saluran nafas (inhalasi). Atas dasar hal
tersebut maka baku emas cara pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis TB adalah
dengan cara menemukan kuman dalam sputum. Namun upaya untuk menemukan
kuman penyebab TB pada anak melalui pemeriksaan sputum sulit dilakukan oleh
karena sedikitnya jumlah kuman dan sulitnya pengambilan spesimen sputum.
12
Guna mengatasi kesulitan menemukan kuman penyebab TB anak dapat
dilakukan penegakan diagnosis TB anak dengan memadukan gejala klinis dan
pemeriksaan penunjang lain yang sesuai. Adanya riwayat kontak erat dengan pasien
TB menular merupakan salah satu informasi penting untuk mengetahui adanya sumber
penularan. Selanjutnya, perlu dibuktikan apakah anak telah tertular oleh kuman TB
dengan melakukan uji tuberkulin. Uji tuberkulin yang positif menandakan adanya
reaksi hipersensitifitas terhadap antigen (tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal ini
secara tidak langsung menandakan bahwa pernah ada kuman yang masuk ke dalam
tubuh anak atau anak sudah tertular. Anak yang tertular (hasil uji tuberkulin positif)
belum tentu menderita TB oleh karena tubuh pasien memiliki daya tahan tubuh atau
imunitas yang cukup untuk melawan kuman TB. Bila daya tahan tubuh anak cukup
baik maka pasien tersebut secara klinis akan tampak sehat dan keadaan ini yang disebut
sebagai infeksi TB laten. Namun apabila daya tahan tubuh anak lemah dan tidak
mampu mengendalikan kuman, maka anak akan menjadi menderita TB serta
menunjukkan gejala klinis maupun radiologis. Gejala klinis dan radiologis TB anak
sangat tidak spesifik, karena gambarannya dapat menyerupai gejala akibat penyakit
lain. Oleh karena itulah diperlukan ketelitian dalam menilai gejala klinis pada pasien
maupun hasil foto toraks.
Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan diagnosis TB
pada anak adalah membuktikan adanya infeksi yaitu dengan melakukan uji
tuberkulin/mantoux test. Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-
23 2 TU dari Staten Serum Institute Denmark produksi dari Biofarma. Namun uji
tuberkulin belum tersedia di semua fasilitas pelayanan kesehatan.
13
Interpretasi hasil Uji Tuberkulin
Tabel Hasil Pembacaan Uji Tuberkulin
Pembacaan Indurasi Penafsiran
14
Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring
Dalam menegakkan diagnosis TB anak, semua prosedur diagnostik dapat
dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia,
dapat menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring. Sistem
skoring tersebut dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap penelitian oleh para ahli
yang IDAI, Kemenkes dan didukung oleh WHO dan disepakati sebagai salah satu cara
untuk mempermudah penegakan diagnosis TB anak terutama di fasilitas agar tidak
terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana
sehingga diharapkan dapat mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun
overdiagnosis TB.
Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai berikut:
Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular
mempunyai nilai tertinggi yaitu 3.
Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan
diagnosis TB pada anak dengan menggunakan sistem skoring.
Pasien dengan jumlah skor ≥6 harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan
mendapat OAT.
15
16
H. TATALAKSANA
Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan
profilaksis (pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan
profilaksis TB diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis primer) atau anak yang
terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder).
1. OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk mencegah
terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan
ekstraseluler
2. Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. pemberian obat jangka panjang
selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
kekambuhan
3. Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:
- Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan minimal
3 macam obat, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya
penyakit.
- Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil pemeriksaan
bakteriologis dan berat ringannya penyakit.
17
Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap hari untuk
mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak
diminum setiap hari.
4. Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun
ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lain-lain dirujuk
ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan.
5. Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB
endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan dalam 3 dosis. Dosis
maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-
4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang
sama. Tujuan pemberian steroid ini untuk mengurangi proses inflamasi dan
mencegah terjadi perlekatan jaringan.
6. Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia adalah:
- Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR
- Kategori Anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR
7. Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat Kombinasi
Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 3
jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien.
Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
8. OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak untuk
digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.
18
Skema Panduan OAT Anak
19
Paduan OAT Kategori Anak dan peruntukannya secara lebih lengkap sesuai
dengan tabel tabel berikut ini:
Jenis Fase Fase Prednison Lama
intensif lanjutan
TB Ringan 2HRZ 4HR - 6 bulan
Efusi pleura TB 2 mgg dosis penuh-
kemudian tappering off
TB BTA positif 2HRZE 4HR -
TB paru dengan 2HRZ+E 7-10HR 4 mgg dosis penuh- 9-12 bulan
tanda-tanda kerusakan atau S kemudian tappering off
luas:
TB Millier
TB+destroyed lung
Meningitis TB 10HR 4 mgg dosis penuh- 12 bulan
kemudian tappering off
Peritonitis TB 2 mgg dosis penuh-
kemudian tappering off
Perikarditis TB 2 mgg dosis penuh-
kemudian tappering off
Skeletal TB -
Kombinasi dosis tetap OAT KDT (FDC=Fixed Dose Combination)
Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan
minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket
dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi
obat fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150
mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu paket. Dosis yang
dianjurkan dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel . Dosis kombinasi pada TB anak
Berat badan 2 bulan 4 bulan
(kg) RHZ (75/50/150) (RH (75/50)
5-7 1 tablet 1 tablet
8-11 2 tablet 2 tablet
12-16 3 tablet 3 tablet
17-22 4 tablet 4 tablet
23-30 5 tablet 5 tablet
BB > 30 kg diberikan 6 tablet atau menggunakan KDT dewasa
20
Keterangan :
R: Rifampisin; H: Isoniasid; Z: Pirazinamid
Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk kombinasi
dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan
Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan, menyesuaikan
berat badan saat itu
Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal (sesuai umur).
Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran
OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak boleh
digerus)
Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum (chewable), atau
dimasukkan air dalam sendok (dispersable).
Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan
Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh
digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer
21
tetapi apabila dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka pengobatan dapat dihentikan
dan pasien dinyatakan selesai.
Pada pasien TB anak yang pada awal pengobatan hasil pemeriksaan dahaknya
BTA positif, pemantauan pengobatan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan dahak
ulang sesuai dengan alur pemantauan pengobatan pasien TB BTA pos.
Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau > 2 bulan di fase
lanjutan DAN menunjukkan gejala TB, beri pengobatan kembali mulai dari awal.
Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2 bulan di fase
lanjutan DAN menunjukkan gejala TB, lanjutkan sisa pengobatan sampai selesai.
Pada pasien dengan pengobatan yang tidak teratur akan meningkatkan risiko
terjadinya TB kebal obat.
Anak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang kembali dengan
keluhan gejala TB, perlu dievaluasi apakah anak tersebut benar- benar menderita TB.
22
Evaluasi dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan dahak atau sistem skoring. Evaluasi
dengan sistem skoring harus lebih cermat dan dilakukan di fasilitas rujukan. Apabila
hasil pemeriksaan dahak menunjukkan hasil positif, maka anak diklasifikasikan
sebagai kasus Kambuh. Pada pasien TB anak yang pernah mendapat pengobatan TB,
tidak dianjurkan untuk dilakukan uji tuberkulin ulang.
Vaksin BCG adalah vaksin hidup yang dilemahkan yang berasal dari
Mycobacterium bovis. Pemberian vaksinasi BCG berdasarkan Program Pengembangan
Imunisasi diberikan pada bayi 0-2 bulan. Pemberian vaksin BCG pada bayi > 2 bulan
harus didahului dengan uji tuberkulin. Petunjuk pemberian vaksinasi BCG mengacu
pada Pedoman Program Pemberian Imunisasi Kemenkes. Secara umum perlindungan
vaksin BCG efektif untuk mencegah terjadinya TB berat seperti TB milier dan TB
meningitis yang sering didapatkan pada usia muda. Saat ini vaksinasi BCG ulang tidak
direkomendasikan karena tidak terbukti memberi perlindungan tambahan.
23
Sejumlah kecil anak-anak (1-2%) mengalami komplikasi setelah vaksinasi BCG.
Komplikasi paling sering termasuk abses lokal, infeksi bakteri sekunder, adenitis
supuratif dan pembentukan keloid lokal. Kebanyakan reaksi akan sembuh selama
beberapa bulan. Pada beberapa kasus dengan reaksi lokal persisten dipertimbangkan
untuk dilakukan rujukan. Begitu juga pada kasus dengan imunodefisiensi mungkin
memerlukan rujukan.
Skrining dan manajemen kontak adalah kegiatan investigasi yang dilakukan secara
aktif dan intensif untuk menemukan 2 hal yaitu (1) anak yang mengalami paparan dari
pasien TB BTA positif, dan (2) orang dewasa yang menjadi sumber penularan bagi
anak yang didiagnosis TB.
24
Kasus TB yang memerlukan skrining kontak adalah semua kasus TB dengan BTA
positif dan semua kasus anak yang didiagnosis TB. Skrining kontak ini dilaksanakan
secara sentripetal dan sentrifugal.
Istilah yang digunakan pada skrining dan manajemen kontak
1. Kasus Indeks Kasus yang diidentifikasi sebagai kasus TB baru atau
berulang;
dapat berupa sumber kasus dewasa, atau anak sakit TB
2. Sumber Kasus Kasus TB (biasanya BTA sputum positif) yang menyebabkan
infeksi atau sakit pada kontak.
3. Investigasi kontak Proses sistematis yang diitujukan untuk mengiden-tifikasi
kasus TB yang belum terdiagnosis pada sekelompok orang
yang kontak dengan kasus indeks
4. Kontak erat Hidup dan tinggal bersama dalam satu tempat tinggal dengan
sumber kasus (contoh ayah, ibu, pengasuh, dll) atau
mengalami kontak yang sering dengan sumber kasus (contoh
sopir, guru, dll).
5. Kontak serumah Seseorang yang saat ini tinggal bersama atau pernah tinggal
bersama di satu tempat tinggal selama satu malam atau lebih
ATAU sering/beberapa hari, bersama-sama dengan kasus
indeks selama 3 bulan sebelum diagnosis atau mulai terapi
TB.
6. Terapi preventif Pengobatan yang diberikan kepada kontak yang diidentifikasi
infeksi TB. Yang memiliki risiko berkembangnya sakit TB
setelah terpapar dengan sumber kasus TB BTA positif,
bertujuan untuk mengurangi kejadian sakit TB.
25
- Kontak dengan gejala sugestif TB harus dievaluasi menggunakan sistem
skoring.
- Jika tidak ada gejala sugestif TB, maka anak dapat dipertimbangkan untuk
mendapatkan pengobatan preventif dengan Isoniazid selama 6 bulan apabila
anak berumur < 5 tahun.
Gejala utama TB
a. BB turun atau sulit naik
b. Demam menetap > 2 minggu dan atau keringat malam
c. Batuk menetap ≥ 3 minggu, non remitting
d. Nafsu makan tidak ada disertai gagal tumbuh
e. Fatique, kurang bermain, kurang aktif
f. Diare menetap> 2 minggu
Jika kasus indeks adalah anak dengan sakit TB
- Tentukan sumber kasus dengan melakukan identifikasi terhadap orang dewasa
yang pernah kontak erat dan atau kontak serumah (sesuai definisi di atas) dalam
3 bulan terakhir.
- Jika dapat diidentifikasi, evaluasi apakah tersangka sumber kasus TB dewasa
tersebut sudah didiagnosis atau telah mendapat terapi TB.
- Jika belum, pastikan sumber kasus mendapat manajemen yang layak sesuai
pedoman kasus TB dewasa
- Identifikasi juga anak lain yang mungkin sudah terpapar dari tersangka sumber
kasus tersebut dan evaluasi sesuai langkah-langkah di atas.
3. Tatalaksana Pencegahan dengan Isoniazid
Sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan BTA
sputum positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10% dari jumlah tersebut akan
mengalami sakit TB. Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi TB berat
(misalnya TB meningitis atau TB milier) sehingga diperlukan pemberian
kemoprofilaksis untuk mencegah terjadinya sakit TB.
26
Cara pemberian Isoniazid untuk Pencegahan sesuai dengan tabel berikut:
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Aditama TY, et al. 2013. PETUNJUK TEKNIS MANAJEMEN TB ANAK.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
2. Subuh MH, et al. 2016. PETUNJUK TEKNIS MANAJEMEN DAN
TATALAKSANA TB ANAK. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Jakarta.
28