Anda di halaman 1dari 80

JUDUL

Laporan Kasus
Wanita usia 52 tahun dengan diagnosis CKD st V newly
diagnosed+ Mild Anemia MH dt anemia renal+ Hipertensi On
treatment+ DM tipe 2 normoglikaemia state + Kolelitiasis

Oleh :
Aisy Samara Istiqomah
NIM. 2130912320077

Pembimbing
Dr. dr. M. Rudiansyah Sp.PD, K-GH

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM/RSUD ULIN
BANJARMASIN
Januari, 2023

I
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 3

BAB III LAPORAN KASUS........................................................................ 39

BAB IV PEMBAHASAN.............................................................................. 67

BAB V PENUTUP......................................................................................... 72

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 73

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronis (PGK)

adalah suatu proses patofisiologis yang didasari oleh etiologi yang beragam, yang

mengakibatkan penurunan fungsi ginjal secara progresif, dan pada umumnya

berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang

ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel yang mencapai pada

derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal tetap, yaitu dapat berupa dialisis

atau transplantasi ginjal.1 Kerusakan ginjal mengacu pada berbagai macam

kelainan yang ditemukan selama pemeriksaan, yang bisa saja bersifat non-

spesifik terhadap penyakit penyebabnya tetapi dapat mengarah pada penurunan

fungsi ginjal. Prevalensi penyakit ginjal kronik diseluruh dunia sekitar 5-10%.

Prevalensi penyakit ginjal kronik di Amerika serikat pada tahun 1999-2004

adalah 13,1%, yang terdiri dari 1,8% derajat 1; 3,2% derajat 2; 7,7% derajat 3;

dan 0,35% derajat 4.2 Prevalensi penyakit ginjal kronik di Australia, Jepang, dan

Eropa adalah 6-11%, terjadi peningkatan 5-8% setiap tahunnya. 3 Sekitar 1,5%

dari pasien penyakit ginjal kronik derajat 3 dan 4 akan berlanjut menjadi derajat 5

atau penyakit ginjal kronik tahap akhir (gagal ginjal) per tahunnya. Di Indonesia

belum ada data yang lengkap mengenai penyakit ginjal kronik. Diperkirakan

insiden penyakit ginjal kronik tahap akhir di Indonesia adalah sekitar 30,7 per

juta populasi dan prevalensi sekitar 23,4 per juta populasi. Pada tahun 2006

terdapat sekitar 10.000 orang yang menjalani terapi hemodialisa.4

1
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum

terjadinya penurunan LFG, sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada

ukuran ginjal yang masih normal secara USG, biopsy, dan pemeriksaan

histopatologi ginjal dapat menetukan indikasi yang tepat terhadap terapi

spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal,

terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.1,2 Penting sekali

mengikuti kecepatan penurunan LFG pada pasien CKD. Hal ini untuk

mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor

komorbid tersebut antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang

tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan

radiokontras atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.1,2

Pada laporan kasus ini akan dibahas pasien an Ny.N usia 52 tahun yang

datang ke IGD RSUD Ulin dengan keluhan bengkak pada seluruh badan. Pasien

di diagnosa CKD st 5 newly diagnosed + Mild Anemia MH dt anemia renal+

Hipertensi On treatment+ DM tipe 2 normoglikaemia state + Kolelitiasis.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Chronic Kidney Disease (CKD)

A. Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronis (PGK) adalah

suatu proses patofisiologis yang didasari oleh etiologi yang beragam, yang

mengakibatkan penurunan fungsi ginjal secara progresif, dan pada umumnya

berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai

dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel yang mencapai pada derajat yang

memerlukan terapi pengganti ginjal tetap, yaitu dapat berupa dialisis atau

transplantasi ginjal.1 Kerusakan ginjal mengacu pada berbagai macam kelainan yang

ditemukan selama pemeriksaan, yang bisa saja bersifat non-spesifik terhadap

penyakit penyebabnya tetapi dapat mengarah pada penurunan fungsi ginjal. Fungsi

ekskresi, endokrin, dan metabolik menurun secara bersamaan pada hampir semua

kasus CKD. Kriteria CKD menurut KDIGO 2012 adalah kerusakan ginjal ≥ 3 bulan,

baik berupa kelainan struktural atau fungional yang dapat dideteksi melalui

pemeriksaan laboratorium (proteinuria; Albumin-Creatinine-Ratio > 30 mg/g; total

protein-creatinine-ratio > 200 mg/g), abnormalitas sedimen urin, gangguan elektrolit

atau yang lain oleh karena gangguan pada tubulus, kelainan pada pemeriksaan

histologi, kelainan struktural yang terdeteksi melalui pemeriksaan radiologi, atau

3
riwayat transplantasi ginjal serta penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG < 60

ml/menit/1,73 m2) dalam waktu lebih dari 3 bulan, dengan atau tanpa kelainan

struktural ginjal.2

B. Klasifikasi

Klasifikasi CKD didasarkan atas dua hal yaitu berdasarkan derajat penyakit

dan berdasarkan etiologi. Klasifikasi berdasarkan derajat penyakit didasarkan pada

LFG yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockroft- Gault sebagai berikut:

(140 – umur) x berat badan (kg)

LFG (ml/menit/1,73m2) =

72 x kreatinin plasma (mg/dl)

Pada perempuan, rumus tersebut dikalikan 0,85. Rumus Kockroft-Gault tidak

berlaku pada umur di bawah 18 tahun atau di atas 80 tahun, berat badan di bawah

40 kg atau di atas 100 kg, wanita hamil, pasien penderita Acute Kidney Injury (AKI),

kerusakan otot yang luas (crush syndrome, tetraparesis), atau ada anggota tubuh yang

tidak lengkap (amputasi).1 Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dapat dilihat di tabel

berikut:2

Tabel 1. Klasfikasi derajat CKD berdasarkan LFG

4
Stadium Deskripsi LFG (ml/menit/1,73
m2)
I Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ≥90
meningkat
II Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan 60 – 89
III Penurunan LFG sedang 30 – 59
IV Penurunan LFG berat 15 – 29
V Gagal ginjal < 15 atau dialisis
Sedangkan klasifikasi atas dasar diagnosis etiologi dilihat di table berikut:2

Tabel 2. Klasifikasi berdasarkan etiologi

Penyakit Tipe mayor


Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes Penyakit glomerular
(penyakit autoimun, infeksi
sistemik, obat, neoplasia)
Penyakit vaskular
(renal artery disease, hipertensi,
mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstitial
(pielonefritis kronis, batu, obstruksi,
keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporin
/takrolimus) Penyakit recurrent
(glomerular) Transplant
gromerulopathy

Berdasarkan etiologinya, CKD juga dapat diklasifikasikan atas dasar ada atau

tidaknya penyakit sistemik yang mendasarinya dan lokasi dari kelainan anatomis atau

patologis dari ginjal. Klasifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.2

5
Contoh Penyakit Sistemik Contoh Penyakit Ginjal
yang Mempengaruhi Primer (tidak disertai
Ginjal penyakit sistemik yang
mempengaruhi ginjal)
Penyakit glomerular Diabetes, penyakit autoimun Glomerulonefritis diffuse,
sistemik, infeksi sistemik, focal, crescentic
obat, neoplasia (termasuk proliferative,
amyloidosis) gromerulonekrosis focal
dan segmental, mefropati
membrane, minimal
change disease
Penyakit Infeksi sistemik, autoimun, Infeksi saluran kemih,
tubulointerstitial sarcoidosis, obat, urat, toksin batu, obstruksi
lingkungan, neoplasia
(myeloma)
Penyakit pembuluh Aterosklerosis, hipertensi, Associated renal limited
darah iskemia, emboli kolesterol, vasculitis, fibromuscular
vaskulitis sistemik, dysplasia
mikroangiopati trombotik,
sklerosis sistemik
Penyakit kistik dan Penyakit polikistik ginjal, Displasia renal, penyakit
congenital Alport syndrome, Fabry kistik medulla,
disease podositopati
Tabel 3. Penyakit sistemik dan kelainan ginjal

C. Epidemiologi

Prevalensi penyakit ginjal kronik diseluruh dunia sekitar 5-10%. Prevalensi

penyakit ginjal kronik di Amerika serikat pada tahun 1999-2004 adalah 13,1%, yang

terdiri dari 1,8% derajat 1; 3,2% derajat 2; 7,7% derajat 3; dan 0,35% derajat 4.2

Prevalensi penyakit ginjal kronik di Australia, Jepang, dan Eropa adalah 6-11%,

terjadi peningkatan 5-8% setiap tahunnya.3 Sekitar 1,5% dari pasien penyakit ginjal

kronik derajat 3 dan 4 akan berlanjut menjadi derajat 5 atau penyakit ginjal kronik
6
tahap akhir (gagal ginjal) per tahunnya. Di Indonesia belum ada data yang lengkap

mengenai penyakit ginjal kronik. Diperkirakan insiden penyakit ginjal kronik tahap

akhir di Indonesia adalah sekitar 30,7 per juta populasi dan prevalensi sekitar 23,4

per juta populasi. Pada tahun 2006 terdapat sekitar 10.000 orang yang menjalani

terapi hemodialisa.4

D. Faktor Risiko

Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) tahun 2000 mencatat

penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia, seperti pada tabel 4.

Walaupun menurut data Indonesian Renal Registry (IRR) tahun 2014, hipertensi

muncul sebagai penyebab tertinggi. Dikelompokkan pada sebab lain diantaranya

nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal,

dan penyebab yang tidak diketahui.3

Tabel 4 Penyebab Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisis di Indonesia Tahun


2000 dan Tahun 2014
Penyebab Insiden Tahun 2000 Insiden Tahun 2014
Glomerulonefritis 46,39% 10%
Diabetes mellitus 18,65% 27%
Obstruksi dan infeksi 12,85% 14%
Hipertensi 8,46% 37%
Sebab lain 13,65% 11%

7
1. Glomerulonefritis

Seluruh bentuk dari penyakit glomerulonephritis akut dapat menjadi progresif

dan menyebabkan perubahan menjadi glomerulonephritis kronik. Kondisi ini

dikarakteristikan sebagai ireversibilitas dan progresifitas glomerulus dan fibrosis dari

tubulointerstitial, yang menyebabkan terjadinya penurunan pada laju filtrasi

glomerulus (LFG) dan retensi terhadap racun uremia. Bila progresifitas dari

glomerulonephritis kronik tidak segera ditangani, maka glomerulonephritis kronik

dapat berubah menjadi CKD, penyakit gagal ginjal, dan bahkan penyakit

kardiovaskular.5

2. Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus merupakan penyakit menahun yang akan diderita seumur

hidup. Diabetes dapat terjadi saat tubuh tidak memproduksi insulin yang cukup atau

tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang sudah ada. Insulin merupakan hormon

yang sangat penting untuk mengatur kadar glukosa dalam darah.6

Diabetes dapat merusak ginjal dengan memberikan gangguan pada


aliran darah yang melewati ginjal. Sistem filtrasi pada ginjal dipenuhi oleh
pembuluh darah yang sangat kecil. Seiring waktu, tingginya kadar gula dalam darah
dapat menyebabkan pembuluh darah tersebut menjadi sempit dan terhambat. Tanpa
darah yang cukup, kerusakan dapat terjadi pada ginjal dan albumin dapat melewati
sistem filtrasi tersebut dan akan didapatkan pada urin, dimana hal tersebut tidak
seharusnya terjadi.6

8
Selain itu, sistem saraf di tubuh juga dapat terganggu. Sistem saraf
membawa pesan ke otak dan seluruh tubuh termasuk kandung kemih untuk memberi
tahu bila kandung kemih sudah penuh. Namun, apabila sistem saraf pada kandung
kemih mengalami gangguan, maka pasien tidak akan dapat merasakan apabila
kandung kemih sudah penuh. Tekanan pada kandung kemih yang tinggi akan dapat
merusak ginjal.7

Terdapat dua tipe dari diabetes mellitus :

a. Diabetes Mellitus Tipe 1

Diabetes mellitus tipe 1 merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan


ketidakmampuan tubuh dalam memproduksi insulin karena proses penghancuran sel
β di pankreas oleh autoimun. Biasanya diabetes mellitus tipe 1 sudah dapat
ditemukan sejak anak-anak, namun penyakit ini juga dapat berkembang pada dewasa
dengan umur 30-40 tahun. 8
Tidak seperti pasien dengan diabetes mellitus tipe 2, pasien dengan diabetes
mellitus tipe 1 biasanya tidak mengalami obesitas dan biasanya muncul diawali
dengan diabetic ketoacidosis (DKA). Karakteristik yang

terlihat pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 adalah, apabila pasien
tersebut berhenti menggunakan insulin, ketosis dan ketoasidosis juga akan muncul.
Sehingga pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 bergantung dan diobati dengan
exogenous insulin yang digunakan sehari-hari disertai dengan diet makanan yang
sudah direncanakan.1,8

b. Diabetes Mellitus Tipe 2

Diabetes mellitus tipe 2 terdiri dari beberapa kelainan fungsi yang

dikarakteristikkan dengan hyperglikemia dan merupakan hasil kombinasi dari

resistensi terhadap kinerja insulin, sekresi insulin yang inadekuat, dan sekresi

glukagon yang berlebihan. Diabetes mellitus tipe 2 yang tidak di tangani dengan
9
baik akan menyebabkan komplikasi yang melibatkan gangguan pada sistem

mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropatik.6,8

Komplikasi mikorvaskular meliputi penyakit pada retina, renal dan juga

neuropatik. Komplikasi makrovaskular yang dapat terjadi meliputi gangguan arteri

coroner dan penyakit pada pembuluh darah perifer. Sedangkan komplikasi yang

terjadi pada sistem neuropati dapat mempengaruhi sistem saraf autonomik maupun

perifer.8

3. Hipertensi

Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah

diastolik ≥ 90 mmHg.5 Hipertensi dapat dibedakan menjadi primer/esensial dan

sekunder berdasarkan penyebabnya. Hipertensi primer/esensial apabila tidak

diketahui penyebabnya dan hipertensi sekunder apabila diketahui penyakit pada

ginjalnya atau disebut juga hipertensi renal. Penyakit ginjal hipertensif merupakan

salah satu penyebab CKD.6

Faktor resiko dari CKD juga dapat dibagi berdasarkan1,6:

a. Faktor klinis yaitu diabetes, hipertensi, penyakit autoimun, infeksi sistemik, infeksi

saluran kencing, batu kandung kencing, obstruksi saluran kencing bawah,

keganasan, riwayat keluarga CKD, penurunan massa ginjal, paparan banyak obat,

serta berat lahir rendah.

b. Faktor sosial demografi yaitu umur tua, etnik, terpapar banyak bahan kimia

dan kondisi lingkungan dan rendahnya pendidikan.


10
E. Patofisiologi

Chronic Kidney Disease disebabkan oleh adanya gangguan atau kerusakan

pada ginjal, terutama pada komponen filtrasi ginjal seperti membrane basal

glomerulus, sel endotel, dan sel podosit. Kerusakan komponen ini dapat disebabkan

secara langsung oleh kompleks imun, mediator inflamasi, atau toksin serta dapat pula

disebabkan oleh mekanisme progresif yang berlangsung dalam jangka panjang.9

Patofisiologi CKD pada awalnya tergantung pada penyakit yang

mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang

lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan

fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya

kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth

factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh

peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini

berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis

nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi

nefron yang progresif, walapun penyakit dasarnya sudak tidak aktif lagi. Adanya

peningkatan aktivitas aksis renin- angiotensin-aldosteron intrarenal ikut

memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas

tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron sebagian

diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor β (TGF-β).

Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas CKD
11
adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas

interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun

tubulointerstitial.1

Gambar 1. Patogenesis CKD1

F. Manifestasi Klinis

Pasien dengan CKD derajat I hingga III dengan LFG >30 mL/menit/1,73 m2

seringkali asimtomatik atau tidak menunjukkan gejala. Pasien belum mengalami

gejala gangguan keseimbangan air ataupun elektrolit, atau kekacauan dari sistem

endokrin dan sistem metabolik. Gejala seringkali mulai muncul pada pasien dengan

CKD derajat IV hingga V dengan LFG < 30 mL/menit/1,73 m2. Pasien dengan

gangguan pada tubulointerstitial, cystic, sindroma nefrotik, dan kondisi lainnya

12
yang sering disebut dengan gejala positif seperti poliuri, hematuria, edema, lebih

sering memperlihatkan tanda-tanda penyakit pada derajat yang lebih awal.2,5

Manifestasi klinis berupa sindroma berkemih pada pasien dengan CKD

derajat V biasanya terjadi oleh akibat dari akumulasi berbagai racun dengan jenis

yang belum diketahui. Peningkatan kadar garam dan cairan yang dialami ginjal

pada CKD dapat menyebabkan terjadinya edema perifer dan

Diagnosis pasti sering memerlukan biopsi ginjal yang meskipun sangat

jarang dilakukan karena dapat menimbulkan komplikasi. Oleh karena itu, tidak

jarang bermanifestasi menjadi edema paru dan hipertensi karena volume cairan

meningkat.2,5

Anemia juga seringkali ditemui pada penderita CKD. Anemia pada CKD

terjadi akibat penurunan sintesis eritropoietin oleh ginjal, yang bermanifestasi

menjadi gejala-gejala anemia yaitu lemas, penurunan kemampuan dalam

berkegiatan, penurunan fungsi imun, dan penurunan kualitas hidup. Insiden anemia

pada CKD meningkat seiring dengan menurunnya LFG.11 Anemia juga

berhubungan dengan munculnya penyakit kardiovaskular, kejadian baru dari gagal

jantung ataupun perburukan dari penyakit gagal jantung, hingga peningkatan

kematian yang disebabkan oleh sistem kardiovaskular.2,5

Manifestasi klinis lainnya dapat muncul pada derajat akhir dari CKD, terutama

pada pasien yang tidak menjalani proses dialisa secara adekuat, diuraikan sebagai

berikut:7

- Perikarditis, yang didapatkan oleh karena komplikasi dari tamponade jantung,


13
yang dapat menyebabkan kematian.

- Ensepalopati yang dapat menyebabkan koma hingga kematian

- Neuropati perifer

- Restless Leg Syndrome

- Gejala gastrointestinal seperti anoreksia, mual, muntah, diare

- Manifestasi pada kulit seperti kulit kering, pruritus, ekimosis

- Lemas, malnutrisi

- Disfungsi ereksi, penurunan libido, amenorea

- Disfungsi platelet dengan peningkatan kemungkinan untuk perdarahan.

14
G. Diagnosis

Biopsi ginjal dilakukan pada pasien tertentu yang diagnosis pastinya hanya

dapat ditegakkan dengan biopsi ginjal atau jika diagnosis pasti tersebut akan

merubah baik pengobatan maupun prognosis. Pada sebagian pasien diagnosis

ditegakkan berdasarkan gambaran klinik yang lengkap dan faktor penyebab yang

didapat dari evaluasi klinik dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan

laboratorium dan pencitraan ginjal.5

1. Gambaran Klinis

Gambaran klinis pasien CKD meliputi:1

1. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti hipertensi, diabetes mellitus,

infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hiperurikemi, Lupus Eritematosus

Sistemik dan lain sebagainya.

2. Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,

nokturia, kelebihan volume cairan (volume overloaded), neuropati perifer, pruritus,

uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.

3. Gejala komplikasinya antara lain, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung,

asidosis metabolik, dan gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida).

2. Gambaran Laboratorium

Gambaran laboratorium CKD meliputi:1

1. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya

2. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan

penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar


15
kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.

Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan

kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia,

3. hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalemia, asidosis metabolik.

4. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria, cast, isostenuria.

3. Gambaran Radiologis

Pemeriksaan radiologis CKD meliputi:1

1. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak

2. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati

filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh

kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan

3. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi

4. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks

yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi

5. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.

4. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal

Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran

ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasive tidak bisa

ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi,

menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan.

Biopsi ginjal indikasi – kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal sudah
16
mengecil (cintracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali,

infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.1,5

H. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan CKD meliputi1:

a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya

b. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)

c. Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal

d. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi

e. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal

Perencanaan tatalaksana (action plan) CKD sesuai dengan derajatnya dapat

dilihat pada tabel berikut.1

Tabel 5. Rencana Tatalaksana CKD Sesuai dengan Derajatnya1

Derajat LFG(mL/menit/1,73 m2) Rencana Tatalaksana


1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,
evaluasi pemburukan (progression)
fungsi ginjal, memperkecil risiko
kardiovaskular
2 60-89 Menghambat pemburukan (progression)
fungsi ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 < 15 Terapi pengganti ginjal

1. Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya

Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum

terjadinya penurunan LFG, sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada

17
ukuran ginjal yang masih normal secara USG, biopsy, dan pemeriksaan histopatologi

ginjal dapat menetukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila

LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar

sudah tidak banyak bermanfaat.1,2

2. Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid

Penting sekali mengikuti kecepatan penurunan LFG pada pasien CKD. Hal

ini untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien.

Faktor komorbid tersebut antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi

yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan

radiokontras atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.1,2

3. Memperlambat Perburukan (Progression) Fungsi Ginjal

Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah hiperfiltrasi

glomerulus. Cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah:1

a. Restriksi Protein

Pembatasan asupan protein dan fosfat pada CKD dapat dilihat pada tabel

berikut:1

18
Tabel 6. Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada CKD

LFG Asupan Protein g/kh/hari Fosfat


mL/menit g/kg/hari
>60 Tidak dianjurkan Tidak
dibatasi
25-60 0,6-0,8/kg/hari ≤ 10 g
5-25 0,6-0,8/kg/hari atau tambahan ≤ 10 g
0,3 g asam amino esensial
atau asam keton
<60 0,8/kg/hari(=1 gr protein ≤9g
(Sindrom /g proteinuria
Nefrotik) atau
0,3 g/kg tambahan asam amino
esensial atau asam keton

Pembatasan protein mulai dilakukan pada LFG< 60 ml/mnt, sedangkan diatas

nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Pada penderita

CKD konsumsi protein yang direkomendasikan adalah 0,6-0,8 gr/kgBB/hari (50%

protein dianjurkan yang mempunyai nilai biologi tinggi) dengan kalori 30-35

kkal/kgBB/hari. Sebab kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah

menjadi urea dan substansi nitrogen lain yang terutama diekskresikan melalui ginjal.

Oleh karena itu, diet tinggi protein pada pasien CKD akan mengakibatkan

penimbunan substansi nitrogen dan ion anoganik lain dan mengakibatkan gangguan

klinis dan metabolik yang disebut uremia. Selain itu, asupan protein berlebih akan

mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan

tekanan intraglomerulus yang akan meningkatkan perburukan fungsi ginjal.

Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena

protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Dibutuhkan pemantauan

19
yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Jika terjadi malnutrisi, jumlah asupan

protein dan kalori dapat ditingkatkan.1,5

Pada pasien dengan terapi hemodialisis (HD), untuk mempertahankan keadaan

klinik stabil, protein yang dianjurkan adalah 1.2 gr/kgBB/hari karena pada pasien HD

kronik sering mengalami malnutrisi. Malnutrisi pada pasien HD kronik disebabkan

oleh intake protein yang tidak adekuat, proses inflamasi kronik dalam proses

dialisis, dialysis reuse, adanya penyakit komorbid, gangguan gastrointestinal, post

dialysis fatigue, dialisis yang tidak adekuat, overhidrasi interdialitik.7

b. Terapi Farmakologis

Pemakaian obat antihipertensi, disamping bermanfaat untuk memperkecil

risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk menghambat perburukan kerusakan

nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Di

samping itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria.

Proteinuria merupakan faktor resiko terjadinya perburukan fungsi ginjal. Beberapa

obat antihipertensi terutama penghambat enzim yang merubah angiotensin (ACE

inhibitor) melalui berbagai studi dapat memperlambat proses perburukan fungsi

ginjal lewat mekanismenya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.1

c. Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular

Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi terhadap penyakit

kardiovaskular adalah pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, anemia,

hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan

20
elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi CKD

secara keseluruhan.1

d. Diabetes Mellitus

Pada pasien DM, kontrol gula darah, hindari pemakaian metformin dan obat-

obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk DM tipe 1 0,2

diatas nilai normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6%.8

e. Hipertensi

Penghambat perubahan enzim angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/

ACE inhibitor) atau antagonis reseptor Angiotensin II kemudian dilakukan evaluasi

kreatinin dan kalium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin > 35% atau timbul

hiperkalemia harus dihentikan.1,2

Penghambat kalsium, diuretic, beberapa obat antihipertensi, terutama

penghambat enzim converting angotensin (ACE inhibitor) dan angiotensin reseptor

bloker melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses perburukan

fungsi ginjal, hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan

antiproteinuria. Jika terjadi kontraindikasi atau terjadi efek samping terhadap obat-

obat tersebut dapat diberikan calcium channel bloker, seperti verapamil dan

diltiazem.1,2

f. Dislipidemia

Kontrol dislipidemia dengan target LDL,100 mg/dl dianjurkan golongan statin.1

21
g. Anemia

Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl. Anemia pada CKD terutama

disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam

terjadinya anemia, yaitu defisiensi asam besi, kehilangan darah (perdarahan saluran

cerna, hematuria), masa hidup eritrosit yang pendek akibat hemolisis, defisiensi asam

folat, penekanan pada sumsum tulang, proses inflamasi akut maupun kronik.

Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kada Hb ≤ 10 g% atau Hct ≤ 30%, meliputi

evaluasi terhadap status besi, mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit,

kemungkinan adanya hemolisis. Pemberian transfuse pada CKD harus dilakukan

secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat.

Transfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan

cairan tubuh, hiperkalemia, dan pemburukan fungsi ginjal.1,2

h. Hiperfosfatenemia

Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien CKD secara

umum, yaitu tinggi kalori, rendah protein, dan rendah garam, karena fosfat sebagian

besar terkandung dalam daging dan produk hewan, seperti susu dan telor. Asupan

fosfat dibatasi 600-800 mg.hari. Pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat tidak

dianjurkan, untuk mencegah terjadinya malnutrisi. Pemberian pengikat fosfat dapat

pula diberikan pada pasien CKD dengan hiperfosfatemia. Pengikat fosfat yang

banyak dipakai, adalah garam kalium, aluminium hidroksida, garam magnesium.

Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat absorbs fosfat yang

berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat
22
(CaCO3) dan kalsium asetat. Pemberian bahan kalsium mimetic (calcium mimetic

agent). Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis obat yang dapat menghambat reseptor

Ca pada kalenjar paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut

juga calcium mimetic agent.1,2

i. Kelebihan Cairan

Pembatasan cairan dan elektrolit bertujuan mencegah terjadinya edema dan

komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang dengan

air yang keluar dengan asumsi bahwa air keluar melalui insensible water loss antara

500- 800 ml/hari, maka air yang dianjurkan masuk 500-800 ml ditambah jumlah urin.

Elektrolit yang harus diawasi adalah Na dan K sebab hiperkalemia dapat

mengakibatkan aritmia jantung yang fatal dan hipernatremia dapat mengakibatkan

hipertensi dan edema. Oleh karena itu pemberian obat-obatan yang mengandung

kalium dan makanan yang tinggi kalium seperti sayur dan buah harus dibatasi. Kadar

kalium darah dianjurkan 3.5-5.5 mEq/lt .1,2

j.Keseimbangan Asam Basa

Gangguan keseimbangan elektrolit utama pada CKD adalah hyperkalemia dan

asidosis. Hiperkalemia dapat tetap asimptomatis walaupun telah mengancam jiwa.

Perubahan gambaran EKG kadang baru terlihat setelah hyperkalemia

membahayakan jiwa. Pencegahan meliputi: 1

1. Diet rendah kalium, menghindari buah (pisang, jeruk, tomat) serta

sayuran rendah kalium;

2. Menghindari pemakaian diuretika K-sparring.


23
Pengobatan hiperkalemia tergantung derajat kegawatannya, yaitu: 1,2

3. Gluconas calcicus IV (10 - 20 ml 10% Ca gluconate)

4. Glukosa IV (25-50 ml glukosa 50%)

5. Insulin-dextrose IV dengan dosis 2-4 unit aktrapid tiap 10 gram glukosa

6. Natrium bikarbonat IV (25-100 ml 8,4% NaHCO3)

k. Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/l

Asidosis menyebabkan keluhan mual, lemah, air hunger dan drowsiness.

Pengobatan intravena dengan NaHCO3 hanya diberikan pada asidosis berat,

sedangkan jika tidak gawat dapat diberikan secara peroral.

2. Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi

1. Anemia

Penyebab utama terjadinya anemia pada pasien CKD adalah penurunan

produksi eritropoetin oleh ginjal. Disamping itu faktor non renal yang juga ikut

berkontribusi antara lain infeksi, inflamasi, masa hidup sel darah merahyang pendek

pada CKD dan faktor yang berpotensi menurunkan fungsi sumsum tulang seperti

defisiensi besi, defisiensi asam folat dan toksisitas aluminium. Selain itu adanya

perdarahan saluran cerna tersembunyi dan malnutrisi dapat menambah beratnya

keadaan anemia.1

Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan dan status besi

harus diperhatikan karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Tujuan

pemberian EPO adalah untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb = 10g/dL.
24
Target pencapaian Hb dengan transfusi darah adalah 7-9g/dL. Pemberian

transfusi darah pada pasien CKD harus hati-hati dan hanya diberikan pada keadaan

khusus yaitu:1

- Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik

- Hb < 7g/dL dan tidak memungkinkan menggunakan EPO

- Hb < 8g/dL dengan gangguan hemodinamik

Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram dengan EPO ataupun yang telah

mendapat EPO namun respon tidak adekuat, diberi preparat besi intravena. 1

2. Osteodistrofi Renal

Osteodistrofi adala istilah yang menggambarkan secara umum semua kelainan

tulang akibat gangguan metabolisme Kalsium karena terjadinya penurunan fungsi

ginjal. Penatalaksanaannya dilakukan dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan

pemberian hormon kalsitriol. Hiperfosfatemia diatasi dengan pembatasan asupan

fosfat 600-800mg/hari, pemberian pengikat fosfat seperti kalsium karbonat

(CaCO3) dan kalsium asetat serta pemberian bahan kalsium mimetik yang dapat

menghambat reseptor Ca pada kelenjar paratiroid dengan nama sevelamer

hidroklorida. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga berperan
1,6
dalam mengatasi hiperfosfatemia. Pemberian kalsitriol dibatasi pada pasien

dengan kadar fosfat darah normal dan kadar hormon PTH > 2,5 kali normal

karena pemakaian kalsitriol pada kadar fosfat darah yang tinggi dapat

menyebabkan terbentuk garam fosfat yang mengendap di jaringan lunak dan

25
dinding pembuluh darah (kalsifikasi metastatik).1,6 Selain itu pemberian kalsitriol

juga dapat mengakibatkan penekanan berlebihan terhadap kelenjar paratiroid.1,6

3. Terapi Pengganti Ginjal berupa Dialisis atau Transplantasi Ginjal

Dilakukan pada CKD stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/mnt.

Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi

ginjal. Pembuatan akses vaskular sebaiknya sudah dikerjakan sebelum klirens

kreatinin dibawah 15 ml/menit. Dianjurkan pembuatan akses vaskular jika klirens

kreatinin telah dibawah 20 ml/menit.

4. Terapi nutrisi pada Pasien Chronic Kidney Disease

Seperti telah dibahas pada CKD dikelompokkan menurut stadium, yaitu

stadium I, II, III, dan IV. Pada stasium IV dimana terjadi penurunan fungsi

ginjal yang berat tetapi belum menjalani terapi pengganti dialisis biasa disebut

kondisi pre dialisis. Umumnya pasien diberikan terapi konservatif yang meliputi

terapi diet dan medikamentosa dengan tujuan mempertahankan sisa fungsi ginjal

yang secara perlahan akan masuk ke stadium V atau fase gagal ginjal. Status gizi

kurang masih banyak dialami pasien dengan CKD. 5,10 Faktor penyebab gizi kurang

antara lain adalah asupan makanan yang kurang sebagai akibat dari tidak nafsu

makan, mual dan muntah. Untuk mencegah penurunan dan mempertahankan status

gizi, perlu perhatian melalui monitoring dan evaluasi status kesehatan serta asupan

makanan oleh tim kesehatan. Pada dasaranya pelayanan dari suatu tim terpadu yang

terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi serta petugas kesehatan lain diperlukan agar

terapi yang diperlukan kepada pasien optimal. Asuhan gizi (Nutrition Care)
26
betujuan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi agar mencapai status gizi optimal,

pasien dapat beraktivitas normal, menjaga keseimbangn cairan dan nelektrolit,

yang pada akhirnya mempunyai kualitas hidup yang cukup baik.5,10

Terapi Nutrisi pada Pasien CKD:5,10

1. Pengaturan asupan protein.

2. Pengaturan asupan kalori: 35 kal/kgBB ideal/hari

3. Pengaturan asupan lemak: 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah

yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh

4. Pengaturan asupan karbohidrat: 50-60% dari kalori total

5. Garam (NaCl): 2-3 gram/hari

6. Kalium: 40-70 mEq/kgBB/hari

7. Fosfor: 5-10 mg/kgBB/hari. Pasien HD :17 mg/hari

8. Kalsium: 1400-1600 mg/hari

9. Besi: 10-18mg/hari

10. Magnesium: 200-300 mg/hari

11. Asam folat pasien HD: 5mg

12. Air: jumlah urin 24 jam + 500ml (insensible water loss)

I. Prognosis

Pasien dengan CKD secara keseluruhan memiliki kemungkinan untuk

mengalami penurunan fungi ginjal yang progresif dan mencapai derajat akhir dari

penyakit ginjal. Tingkat progresifitas tersebut bergantung pada umur, penyebab


27
dasar, dan kesuksesan implementasi pada pencegahan sekunder dan individu dari

pasien itu sendiri. Pengobatan yang dilakukan pada CKD pada umumnya adalah

untuk memperlambat progresifitas penurunan fungsi ginjal dan mencegah terjadinya

komplikasi akibat uremia yang dapat menyebabkan morbiditas dan kematian.6,7

Secara garis besar prognosis dari CKD yang tidak ditangani adalah buruk.

Mortality rate untuk pasien yang menjalani dialisis adalah sebesar 20%. Apalagi jika

disertai dengan gangguan kardiovaskular, mortality rate dapat meningkat menjadi

30%. Prediksi prognosis dapat dilihat melalui beberapa parameter seperti penyebab

CKD, kategori LFG, kategori albuminuria dan faktor resiko serta komplikasi yang

sudah terjadi.

Prognosis berdasarkan LFG dan kategori albuminurianya sebagai berikut.

28
Gambar 2. Prognosis CKD Berdasaran LFG dan Kategori

Albuminuria

29
2.2 Anemia

A. Definisi

Penurunan jumlah massa eritrosit (sel darah merah), mulai dari hemoglobin,

hematokrit dan jumlah eritrosit itu sendiri, sehingga mengganggu transpor oksigen ke

jaringan perifer. Kadar hemoglobin dan eritrosit itu sendiri bervariasi pada setiap

orang tergantung jenis kelamin, usia dan tempat tinggal (ketinggian dari permukaan

laut). Kriteria anemia menurut WHO adalah:11

- Laki-laki dewasa, Hb <13g/dl

- Wanita dewasa yang tidak hamil, Hb <12g/dl

- Wanita dewasa yang, Hb <11g/dl

B. Etiologi

Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang, kehilangan darah keluar

tubuh (perdarahan), hancurnya eritrosit sebelum waktunya (hemolisis), dan

idiopatik.18

C. Klasifikasi

1. Anemia normositik normokrom

Normositik berarti ukuran eritrositnya normal. Normokrom berarti warna

eritrositnya normal. Anemia normositik normokrom ini ditemukan pada anemia yang

diakibatkan oleh perdarahan dan hemolisis. Jadi tidak mempengaruhi morfologi

eritrositnya. MCV (mean corpuscular volume) dan MCH (mean corpuscular

30
hemoglobin) masih normal (MCV 80 – 95 fl; MCH 27 – 34 pg). Anemia ini meliputi:

anemia pasca perdarahan akut, anemia aplastik, anemia hemolitik, anemia akibat

penyakit kronik, anemia pada gagal ginjal kronik, anemia pada sindrom

mielodisplastik dan pada keganasan hematologik.

2. Anemia Mikrositik Hipokromik

Mikrositik berarti ukuran eritrositnya kecil (lebih kecil dari limfosit kecil).

Hipokrom berarti warna eritrositnya lebih pudar/lebih pucat (bagian pucat eritrositnya

lebih dari 1/3 diameter eritrosit). Biasanya mikrositik hipokrom ini ditemukan pada

anemia karena masalah pada hemoglobinnya, seperti kurang penyusunnya (Fe), rapuh

strukturnya (genetik), atau karena penyakit kronis lainnya. MCV dan MCH nya

kurang dari normal. (MCV<80fl,mch<27pg).

3. Anemia Makrositik

Makrositik berarti ukuran eritrositnya besar. Biasanya karena proses pematangan

eritrositnya tidak sempurna di sumsum tulang. Kalau eritrosit yang matang,

ukurannya akan semakin kecil, tapi karena tidak matang, tampaklah ia besar.

Penyebabnya bisa karena bahan pematangannya tidak cukup, misalnya pada

defisiensi asam folat dan vitamin B12. Atau bisa juga karena gangguan hepar,

hormonal atau gangguan sumsum tulang dalam homopoiesis itu sendiri. MCV nya

meningkat (MCV > 95 fl). Contoh: anemia megaloblastik dan anemia non-

megaloblastik.12

D. Manifestasi Klinis
31
a. Gejala umum. Pucat, lemah, lesu, dan jika Hb sangat rendah (<7g/dl)

b. Gejala khas. Spesifik untuk masing2 jenis anemia. Contoh: kuku sendok

(koilonychias) pada anemia defisiensi besi, ikterus pada anemia hemolitik,

purpura pada anemia aplastik, dsb.

c. Gejala penyakit dasar. Gejala dari penyebab anemia tersebut. Misal: anemia

karena penyakit cacing tambang: sakit perut, dsb.

E. Tatalaksana

Terapi Terapi anemia sebaiknya dilakukan setelah didapat diagnosis pastinya

dan sesuai dengan indikasi yang jelas.31 a. Terapi kegawat-daruratan, apabila anemia

tersebut dikhawatirkan dapat memicu payah jantung, sehingga harus ditransfusi

segera dengan PRC (packed red cells) b. Terapi khas, khusus untuk terapi terhadap

anemia jenis tertentu. Seperti ADB dengan pemberian preparat besi, anemia

megaloblastik dengan memberi asam folat, dsb. c. Terapi untuk mengobati penyakit

dasar, untuk mencegah berlangsungnya anemia berkepanjangan. Misalnya karena

penyakit perdarahan haid, atasi dulu penyakit perdarahannya, atau seperti penyakit

cacing tambang, atasi dulu penyakit tersebut. d. Terapi ex juvantivus, yakni terapi

yang diberikan sebelum ditegakkan diagnosis pasti, namun dalam rangka

menegakkan diagnosis tersebut. Terapi ini harus dipantau dengan ketat, misalnya

pada ADB, diberi preparat besi, jika membaik berarti memang positif ADB, dsb.12

2.3 Kolelitiasis
32
A. Definisi

Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam

kandung empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada keduaduanya. Sebagian

besar batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam kandung empedu.

Hati terletak di kuadran kanan atas abdomen di atas ginjal kanan, kolon, lambung,

pankreas, dan usus serta tepat di bawah diafragma. Hati dibagi menjadi lobus kiri dan

kanan, yang berawal di sebelah anterior di daerah kandung empedu dan meluas ke

belakang vena kava. Kuadran kanan a tas abdomen didominasi oleh hati serta saluran

empedu dan kandung empedu. Pembentukan dan ekskresi empedu merupakan fungsi

utama hati. Kandung empedu adalah sebuah kantung terletak di bawah hati yang

mengonsentrasikan dan menyimpan empedu sampai ia dilepaskan ke dalam usus.

Kebanyakan batu duktus koledokus berasal dari batu kandung empedu, tetapi ada

juga yang terbentuk primer di dalam saluran empedu. Batu empedu bisa terbentuk di

dalam saluran empedu jika empedu mengalami aliran balik karena adanya

penyempitan saluran. Batu empedu di dalam saluran empedu bisa mengakibatkan

infeksi hebat saluran empedu (kolangitis). Jika saluran empedu tersumbat, maka

bakteri akan tumbuh dan dengan segera menimbulkan infeksi di dalam saluran.

Bakteri bisa menyebar melalui aliran darah dan menyebabkan infeksi di bagian tubuh

lainnya. Adanya infeksi dapat menyebabkan kerusakan dinding kandung empedu,

sehingga menyebabkan terjadinya statis dan dengan demikian menaikkan batu

empedu. Infeksi dapat disebabkan kuman yang berasal dari makanan. Infeksi bisa

merambat ke saluran empedu sampai ke kantong empedu. Penyebab paling utama


33
adalah infeksi di usus. Infeksi ini menjalar tanpa terasa menyebabkan peradangan

pada saluran dan kantong empedu sehingga cairan yang berada di kantong empedu

mengendap dan menimbulkan batu. Infeksi tersebut misalnya tifoid atau tifus. Kuman

tifus apabila bermuara di kantong empedu dapat menyebabkan peradangan lokal yang

tidak dirasakan pasien, tanpa gejala sakit ataupun demam. Namun, infeksi lebih

sering timbul akibat dari terbentuknya batu dibanding penyebab terbentuknya batu. 13

B. Epidemiologi

Di negara barat, batu empedu mengenai 10% orang dewasa. Angka prevalensi

orang dewasa lebih tinggi. Angka prevalensi orang dewasa lebih tinggi di negara

Amerika Latin (20% hingga 40%) dan rendah di negara Asia (3% hingga 4%).

Kolelitiasis termasuk penyakit yang jarang pada anak. Menurut Ganesh et al dalam

pengamatannya dari tahun januari 1999 sampai desember 2003 di Kanchi kamakoti

Child trust hospital, mendapatkan dari 13.675 anak yang mendapatkan pemeriksaan

USG, 43 (0,3%) terdeteksi memiliki batu kandung empedu. Semua ukuran batu

sekitar kurang dari 5 mm, dan 56% batu merupakan batu soliter. Empat puluh satu

anak (95,3%) dengan gejala asimptomatik dan hanya 2 anak dengan gejala . 13

C. Etiologi13

Batu Empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang

dibentuk pada bagian saluran empedu lain. Etiologi batu empedu masih belum

diketahui. Satu teori menyatakan bahwa kolesterol dapat menyebabkan supersaturasi

empedu di kandung empedu. Setelah beberapa lama, empedu yang telah mengalami

supersaturasi menjadi mengkristal dan mulai membentuk batu. Akan tetapi,


34
tampaknya faktor predisposisi terpenting adalah gangguan metabolisme yang

menyebabkan terjadinya perubahan komposisi empedu, stasis empedu, dan infeksi

kandung empedu. Berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan batu empedu,

diantaranya:

1. Eksresi garam empedu

Setiap faktor yang menurunkan konsentrasi berbagai garam empedu atau

fosfolipid dalam empedu. Asam empedu dihidroksi atau dihydroxy bile acids adalah

kurang polar dari pada asam trihidroksi. Jadi dengan bertambahnya kadar asam

empedu dihidroksi mungkin menyebabkan terbentuknya batu empedu.

2. Kolesterol empedu

Apa bila binatanang percobaan di beri diet tinggi kolestrol, sehingga kadar

kolesrtol dalam vesika vellea sangat tinggi, dapatlah terjadi batu empedu kolestrol

yang ringan. Kenaikan kolestreol empedu dapat di jumpai pada orang gemuk, dan

diet kaya lemak.

3. Substansia mukus

Perubahan dalam banyaknya dan komposisi substansia mukus dalam empedu

mungkin penting dalam pembentukan batuempedu.

4. Pigmen empedu

Pada anak muda terjadinya batu empedu mungkin disebabkan karena

bertambahya pigmen empedu. Kenaikan pigmen empedu dapat terjadi karena

hemolisis yang kronis. Eksresi bilirubin adalah berupa larutan bilirubin glukorunid.

5. Infeksi
35
Adanya infeksi dapat menyebabkan krusakan dinding kandung empedu,

sehingga menyebabkan terjadinya stasis dan dengan demikian menaikan

pembentukan batu

D. Faktor Resiko

Faktor resiko untuk kolelitiasis, yaitu: 13

a. Usia

Risiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya

usia. Orang dengan usia > 40 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis

dibandingkan dengan orang dengan usia yang lebih muda. Di Amerika Serikat, 20 %

wanita lebih dari 40 tahun mengidap batu empedu. Semakin meningkat usia,

prevalensi batu empedu semakin tinggi. Hal ini disebabkan:

1. Batu empedu sangat jarang mengalami disolusi spontan.

2. Meningkatnya sekresi kolesterol ke dalam empedu sesuai dengan bertambahnya

usia.

3. Empedu menjadi semakin litogenik bila usia semakin bertambah.

b. Jenis kelamin

Wanita mempunyai risiko dua kali lipat untuk terkena kolelitiasis

dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh

terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Hingga dekade ke-6,

20 % wanita dan 10 % pria menderita batu empedu dan prevalensinya meningkat

dengan bertambahnya usia, walaupun umumnya selalu pada wanita.


36
c.Berat badan (BMI)

Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi

untuk terjadi kolelitiasis. Ini dikarenakan dengan tingginya BMI maka kadar

kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurangi garam empedu

serta mengurangi kontraksi/pengosongan kandung empedu.

d. Makanan

Konsumsi makanan yang mengandung lemak terutama lemak hewani berisiko

untuk menderita kolelitiasis. Kolesterol merupakan komponen dari lemak. Jika kadar

kolesterol yang terdapat dalam cairan empedu melebihi batas normal, cairan empedu

dapat mengendap dan lama kelamaan menjadi batu. Intake rendah klorida, kehilangan

berat badan yang cepat mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu

dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu

e. Aktifitas fisik

Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya

kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi

Patofisiologi

Empedu adalah satu-satunya jalur yang signifikan untuk mengeluarkan

kelebihan kolesterol dari tubuh, baik sebagai kolesterol bebas maupun sebagai garam

empedu. Hati berperan sebagai metabolisme lemak. Kira-kira 80 persen kolesterol

yang disintesis dalam hati diubah menjadi garam empedu, yang sebaliknya kemudian

disekresikan kembali ke dalam empedu; sisanya diangkut dalam lipoprotein, dibawa

oleh darah ke semua sel jaringan tubuh. Kolesterol bersifat tidak larut air dan dibuat
37
menjadi larut air melalui agregasi garam empedu dan lesitin yang dikeluarkan

bersama-sama ke dalam empedu. Jika konsentrasi kolesterol melebihi kapasitas

solubilisasi empedu (supersaturasi), kolesterol tidak lagi mampu berada dalam

keadaan terdispersi sehingga menggumpal menjadi kristal-kristal kolesterol

monohidrat yang padat. Etiologi batu empedu masih belum diketahui sempurna.

Sejumlah penyelidikan menunjukkan bahwa hati penderita batu kolesterol mensekresi

empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Batu empedu kolesterol dapat terjadi

karena tingginya kalori dan pemasukan lemak. Konsumsi lemak yang berlebihan akan

menyebabkan penumpukan di dalam tubuh sehingga sel-sel hati dipaksa bekerja keras

untuk menghasilkan cairan empedu. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap dalam

kandung empedu dengan cara yang belum dimengerti sepenuhnya. Patogenesis batu

berpigmen didasarkan pada adanya bilirubin tak terkonjugasi di saluran empedu

(yang sukar larut dalam air), dan pengendapan garam bilirubin kalsium. Bilirubin

adalah suatu produk penguraian sel darah merah.

E. Diagnosis13

1.Anamnesis

Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis.

Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran

terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di

daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau perikondrium. Rasa nyeri lainnya adalah

kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru
38
menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan

tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba. Penyebaran nyeri pada punggung bagian

tengah, scapula, atau ke puncak bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang

seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan

antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu

menarik nafas dalam.

2. Pemeriksaan fisis

a. Batu kandung empedu

Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti

kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu, atau

pankreatitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum

di daerah letak anatomis kandung empedu. Murphy sign positif apabila nyeri tekan

bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang

meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.

b. Batu saluran empedu

Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala pada fase tenang. Kadang

teraba hepar dan sklera ikterik. Perlu diketahui bila kadar bilirubin darah kurang dari

3 mg/dl, gejala ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah

berat, akan timbul ikterus klinis.

3.Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium

39
Batu kandung empedu yang asimptomatik biasanya tidak menunjukkan

kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat

terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan

ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledokus oleh batu. Kadar bilirubin

serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledokus. Kadar

serum alkali fosfatase dan mungkin juga amilase serum biasanya meningkat sedang

setiap kali terjadi serangan akut.

b. Pemeriksaan radiologi

1. Foto Polos Abdomen

Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena

hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radiopak. Kadang-kadang

empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat

dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar

atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di

kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura

hepatika.

2.Ultrasonografi (USG)

Ultrasonografi mempunyai kadar spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk

mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intra-hepatik.

Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena

fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang

terdapat pada duktus koledokus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh
40
udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung

empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.

F. Penatalaksanaan

Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri

yang hilang timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau

mengurangi makanan berlemak. Pilihan penatalaksanaan antara lain:

a. Kolisistektomi terbuka

Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan

kolelitiasis simptomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang terjadi adalah

cedera dekubitus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Indikasi yang paling umum

untuk kolisistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.13

b. Kolisistektomi laparoskopi

Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simptomatik tanpa adanya

kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah

mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien

dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan

prosedur konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya

yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan

kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah keamanan dari prosedur ini,

berhubungan dengan insiden komplikasi 6r seperti cedera duktus biliaris yang

mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi laparoskopi.

G. Prognosis
41
Prognosis pada kolelitiasis sendiri tidak dihubungkan dengan meningkatnya

kematian atau ditandai dengan kecacatan. Bagaimanapun, bisa disebabkan karena

adanya komplikasi. Jadi prognosis cholelithiasis tergantung dari ada/tidak dan

berat/ringannya komplikasi. Namun, adanya infeksi dan halangan disebabkan oleh

batu yang berada di dalam saluran biliaris sehingga dapat mengancam jiwa.

Walaupun demikian, dengan diagnosis dan pengobatan yang cepat serta tepat, hasil

yang didapatkan biasanya sangat baik. 13

42
BAB III
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. N
Umur : 52 tahun
Agama : Islam
Suku : Banjar
Pekerjaan : IRT
Alamat : Batu Tungku
MRS : 15 November 2022
RMK : 01515955

B. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan heteroanamnesis dengan

pasien dan keluarga pasien pada tanggal 15 November 2022.

1. Keluhan Utama : Bengkak pada kedua kaki

2. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien merupakan kiriman dari Poli Nefrologi dengan diagnosis CKD s Vt

newly diagnose+ HT grade II + DM tipe 2 + kolelitiasis. Pasien mengeluhkan

bengkak pada kedua kaki sejak 1 bulan, bengkak semakin memberat 1 minggu

SMRS. Keluhan sesak nafas yang dipengaruhi aktivitas atau posisi tubuh

disangkal. Keluhan terbangun di tengah tidur malam karena sesak disangkal.

Keluhan mual (-) muntah (-) penurunan nafsu makan (-) penurunan BB (-).

BAK berkurang (-) frekuensi 3-4 kali, tiap BAK volume sekitar 200 cc,

minum sekitar 1500 cc/hari. BAB lancar tidak keluhan, riwayat BAB hitam, BAB

berdarah, BAB cair disangkal. 1 bulan SMRS pasien periksa ke RS Citra Medika

dan dari hasil lab pasien diketahui mengalami gagal ginjal dan telah disarankan

43
untuk cuci darah. Pasien dirujuk ke RSUD Ulin untuk cuci darah namun pada saat

itu pasien masih takut untuk cuci darah. Pasien memiliki penyakit darah tinggi

yang diketahui sejak 6 bulan terakhir, obat yang dikonsumsi rutin Amloidipin 10

mg. Pasien juga memiliki penyakit diabetes sejak sekitar 20 tahun yang lalu, obat

yang dikonsumsi Metformin 3x500 mg dan glibenklamid 1x1.

3. Riwayat penyakit dahulu : Penyakit jantung (-), dislipidemia (-),


penyakit kuning (-), asma (-), TBC (-)
4. Riwayat penyakit keluarga : Penyakit jantung (-) Diabetes Melitus (-)
Hipertensi (-)
5. Riwayat alergi : Tidak ada
6. Riwayat imunisasi : Pasien idak ingat
7. Hobi : Tidak ada
8. Olahraga : Pasien jarang berolahraga
9. Pekerjaan : Ibu rumah tangga
10. Kebiasaan makan : Pasien makan dengan teratur
11. Merokok : Tidak merokok
12. Minum alcohol : Tidak minum alkohol
13. Hubungan Seks : Menikah 1x dan memiliki 1 anak
C. Pemeriksaan Fisik
1. Status generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Kompos mentis, GCS E4V5M6
Antropometri : BB = 51,5 kg, TB = 160 cm
Status Gizi : IMT = 19,9 (Normoweight)
2. Tanda vital
Tekanan Darah : 180/110 mmHg
Denyut Nadi : 80 kali/menit, regular kuat angkat
Frekuensi Nafas : 20 kali/menit, reguler

Temperatur Aksila : 36.6 oC

44
SpO2 : 97% room air
3. Kulit
Inspeksi : Kulit tampak sawo matang, ptekie (-), hematom(-),
ikterik(-), hiperpigmentasi (-), rash (-) kuku utuh dalam
batas normal
Palpasi : Nodul (-), atrofi(-), turgor kulit kembali cepat (<2 detik)
4. Kepala dan leher
Inspeksi : Bentuk kepala normosefali, rambut tidak mudah
rontok berwarna hitam, sikatrik (-), pembengkakan
leher (-), edema palpebra (+)
Palpasi : Pembesaran KGB (-), Pembesaran tiroid (-), nyeri tekan
pada tiroid dan KGB (-)
Auskultasi : Bruit (-)
Pemeriksaan lain : JVP normal (5+2 CmH2O), kaku kuduk (-)
 Telinga
Inspeksi : Serumen (+/+) minimal, infeksi (-/-)
Palpasi : Nyeri mastoid (-/-), massa (-)
 Hidung
Inspeksi : Septum deviasi (-), Mukosa hidung kemerahan (-/-)
perdarahan (-/-), polip (-)
Palpasi : Nyeri (-)
 Rongga mulut dan tenggorokan
Inspeksi :Tidak terdapat hiperemis, leukoplakia maupun kelainan lain
pada rongga mulut, gigi lengkap.
Palpasi : Nyeri (-), massa (-), pembesaran kelenjar ludah (-)
 Mata
Inspeksi : Sklera ikterik (-), konjungtiva pucat (-), ptosis (-) refleks
cahaya langsung dan tidak langsung (+/+), diameter pupil 2
mm isokor, produksi air mata cukup, lapang pandang normal,
oedem palpebra (+)
5. Toraks

45
Inspeksi : Bentuk dada normal, gerakan dinding dada simetris,
pernapasan irama reguler, tumor (-).
Palpasi : Fremitus fokal simetris.
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru.
Auskultasi :Suara nafas vesikular (++</+++), ronki (---/---), wheezing
(---/--)
 Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi :Iktus kordis teraba di ICS V linea midclavicularis sinistra.
Perkusi : Batas kiri ICS V linea aksilaris anterior sinistra, batas
kanan ICS IV linea parasternal dextra, batas pinggang
jantung ICS III midlavicularis sinistra
Auskultasi : S1 S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
6. Abdomen
Inspeksi : Perut tampak cembung acites (-), supel, striae (-),hernia
(-), distensi (-)
Auskultasi : Bising Usus (+) 22x/menit meningkat, bruit (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), hati dan lien tidak teraba,
hepatomegaly(-), splenomegaly(-), defans muscular (-)
Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
7. Punggung
Inspeksi : Skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-)
Palpasi : Nyeri (-), gybus (-), tumor (-)
8. Ekstremitas
Inspeksi : edema di kedua kaki (+/+), gerak sendi normal, deformitas
(-),
Palpasi : pitting edem (+), krepitasi (-/-), nyeri tekan (-/-), CRT<2
detik
Akral hangat + + Edema - -
+ + + +
9. Alat kelamin dan rektum

46
Urin Output : 600-800 cc / 24 jam
Rectal Touche : Tidak dilakukan
10. Neurologi : Tremor (-), paralisis(-), kekuatan otot +5, tidak ditemukan
reflex patologis
11. Bicara : Disartria (-), afasia (-), apraxia (-).

FOTO KLINIS

D. Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan laboratorium 9 November 2022 RSUD Ulin
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

HEMATOLOGI

Hemoglobin 11 12,00 – 14,00 g/dl


Leukosit 11,7 4.00 – 10.5 ribu/uL
Eritrosit 4.43 3,5 – 4,5 juta/uL
Hematokrit 35,1 42,0 – 52,0 %
Trombosit 469 150 – 450 ribu/uL
MCV, MCH, MCHC
MCV 79,2 75,0 – 96,0 fl
MCH 24,8 28,0 – 32,0 Pg

47
MCHC 31,3 33,0 – 37,0 %
HITUNG JENIS
0,0-1,0
Basofil % 0,8 %

Eosinofil% 1,7 1,0-3,0 %

Limfosit% 20,2 20,0-40,0 %


Monosit% 0,45 2,0-8,0 %
GINJAL
Ureum 116 0-50 mg/dl
0.72-1.25
Kreatinin 10,25 mgdl
ELEKTROLIT
Natrium 137 136-145 Meq/L
Kalium 4,5 3.5-5.1 Meq/L
Clorida 109 98-107 Meq/L

Hasil pemeriksaan laboratorium 15 November 2022 RSUD Ulin (19:56:38)


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

HEMATOLOGI

Hemoglobin 10.5 12,00 – 14,00 g/dl


Leukosit 11,2 4.00 – 10.5 ribu/uL
Eritrosit 4.14 3,5 – 4,5 juta/uL
Hematokrit 32,5 42,0 – 52,0 %
Trombosit 462 150 – 450 ribu/uL
MCV, MCH, MCHC
MCV 78,5 75,0 – 96,0 fl
MCH 25,4 28,0 – 32,0 Pg
MCHC 32,3 33,0 – 37,0 %
HITUNG JENIS
0,0-1,0
Basofil % 0,6 %

Eosinofil% 2,2 1,0-3,0 %

Limfosit% 22,6 20,0-40,0 %

HEMOSTASIS

48
Control Normal PT 11.0
Hasil APTT 27,4 22.2-38.0 Detik
Control Normal APTT 24.8
IMUNO-SEROLOGI
Non
Anti HIV Rapid Non reaktif Ul/ml
reaktif
HEPATITIS
Non
HBsAg Non reaktif
reaktif
Non
Anti HCV <1,00 S/CO
reaktif
ELEKTROLIT
Natrium 137 136-145 Meq/L
Kalium 4.5 3.5-5.1 Meq/L
Chlorida 112 98-107 Meq/L
GINJAL
Ureum 166 0-50 mg/dl
0.72-1.25
Kreatinin 11,17 mgdl

Hasil pemeriksaan laboratorium 18 November 2022 RSUD Ulin (08:14:25)


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
ELEKTROLIT
Natrium 132 136-145 Meq/L
Kalium 3.5 3.5-5.1 Meq/L
Chlorida 100 98-107 Meq/L
GINJAL
Ureum 96 0-50 mg/dl
0.72-1.25
Kreatinin 6,76 mgdl

Hasil pemeriksaan laboratorium 20 November 2022 RSUD Ulin (06:55:01)

49
GINJAL
Ureum 86 0-50 mg/dl
0.72-1.25
Kreatinin 7,42 mgdl

EKG

- Frekuensi = 79 kali per menit


- Irama = Sinus
- Axis Frontal = Normal
- Gel P = normal
- Gel QRS = normal
- Gel Q = Normal
- Segmen PR=Normal
- Segmen ST = Normal
- Gel T = Normal
Kesimpulan : Sinus Rhytme HR 79 bpm

Hasil Foto Thorax AP (11 Oktober 2022)

50
- Corakan bronchovascular dalam batas normal
- Tidak tampak pelebaran kedua pleural space
- Tidak tampak proses spesifik aktif kedua paru
- Cor: ukuran membesar (CTR >0.5), Kalsifikasi arcus aorta (-)
- kedua sinus dan diafragma dalam batas normal
- Tulang- tulang intak
Kesan: Cardiomegaly

Hasil foto USG Abdomen (25 September 2022) RS Suaka Insan

51
52
-Hepar : hepar besar bentuk normal, intensitas echopaenkim homogen, kapsula
intak, sudut tajam,tepi regular, tidak tampak nodul, ductus billliaris
intrahepatal tidak dilatasi, v potra/ hepatica tak melebar, tak tampak
nodul
-GB : tampak batu uk 9mm, dinding tak menebal, tak tampak dilatasi CBD
- Pankreas : Normal, tak tampak nodul
-Spleen : Ukuran tak besar, tidak tampak nodul/cyst
-Ren dextra/sinistra:
- Ukuran ren dx 98 mm ren sn uk97 mm, intensitas echocortex homogen
meningkat tak tampak batu/ectasis/kista/massa
-VU : dinding tak melebar, tidak tampak batu
-Uterus : Uterus normal, tak tampak nodul solid/kistik. Tampak massa kistik uk
11 cm cavum pelvis
-Tak tampak asites
Kesimpulan:
Cholelitiasis uk 9mm
Acute renal disease bilateral (ren dextra 98 mm, ren sinistra ukuran 97 mm)
Susp kistoma ovarii uk 11cm
Secara Radiologi Liver, Lien, Pankreas, VU dalam batas normal

B. Diagnosis Kerja
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,
maka dapat ditegakkan diagnosis penyakit pasien ini adalah:
1. CKD st 5 newly diagnosed
1.1 DKD
1.2 HTN
2. Mild Anemia MH dt anemia renal
3. Hipertensi On treatment
4. DM tipe 2 normoglikaemia state
5. Kolelitiasis

53
Resume Data Dasar
Anamnesis Keluhan Utama: Bengkak kedua kaki
RPS : Pasien rujukan poli Nefrologi dengan diagnosis CKD

st newly + HT gr II + DM tipe 2. Pasien mengeluh bengkak

pada kedua kaki sejak 1 minggu

Pasien kontrol 1 bulan lalu dan diketahui gagal ginjal

dan disarankan cuci darah dan dirujuk. Pasien belum pernah

cuci darah. Pasien menderita Hipertensi 6 bulan terakhir

konsumsi rutin Amloidipin 10 mg, menderita Diabetes

Mellitus sekitar 20 tahun minum Metformin 3x500 mg dan

glibenklamid 1x1 tab (pagi hari).

RPD : Kaki diabetik sekitar 2 tahun lalu.


Pemeriksaan Fisik (15/11/2022)
KU : Tampak Sakit Sedang

Kesadaran : CM

GCS E4V5M6

TD : 180/110 mmHg

HR : 80 X/ mnt

RR : 20 x / mnt

T: 36,6 C

SpO2 : 97 % on RA

GDS : 95 mg/dl

BB : 51 kg

TB : 160 cm

IMT : 19,9 (normoweight)

54
Kepala : konjungtiva pucat (-) oedem palpebra (+) sklera

ikterik (-)

Leher : JVP 5+1 cmH2O

Pulmo : suara napas vesikuler (VV</VVV), ronkhi (---/---),

wheezing (---/---)

Cor : BJ I - II tunggal, reguler, murmur (-)

Abdomen : BU (+), timpani, supel, nyeri tekan (-) H/L/M

tidak teraba, shifting dullness (-)

Ekstremitas : edema tungkai (+/+) akral dingin (-/-)

Pemeriksaan LABORATORIUM
Penunjang (15/11/2022)
Hasil Lab. 15/11/22

Hb : 10.5

Leukosit 11200

Hematokrit : 32.5%

Trombosit 462000

MCV/MCH/MCHC : 78.5/25.4/32.3

PT/APTT/INR : 11.0/27.4/1.02

UrCr : 166/11.17

Na/K/Cl : 137/4.5/ 112

Hasil Lab. 9/11/22

Hb : 11.0

Leukosit : 11700

Ht : 35.1

55
Trombosit : 469000

MCV/MCH/MCHC : 79.2/24.8/31.3

B/E/N/L/M : 0.8/1.7/72.8/20.2/4.5

UrCr : 169/10.25

Na/K/Cl : 137/4.5/109

Hasil Lab. 30/10/22

Hb : 11.1

Leukosit 12200

Trombosit 509.000

MCV/MCH/MCHC : 76.4/25.5/33.3

PT/APTT/INR : 10.4/29.1/0.96

GDS : 133

HbA1C : 5.8

SGOT/SGPT : 15/11

UrCr : 151/8.44

Na/K/Cl : 140/ 5.3 / 109

HIV/HbSAg/AntiHCV : Non Reaktif

Urinalisa

pH 5.5

Leukosit +1

Protein +2

Glukosa -

Ket -

Sedimen

56
Eritrosit 0.9/ul

Leukosit 15.4/ul

Bact 31.8/ul

Hasil Lab. 13/10/22 RS. Borneo Citra Medika

Hb : 12.9

Leukosit 15270

Trombosit 349000

Ht 41.5%

MCV/MCH/MCHC : 80.9/25.1/31.0

GDS 105.9

Ur Cr : 112/2.6

EKG

Sinus Rhytme HR 79 bpm

Swab Ag : Negatif

Hasil USG Abdomen 12/11/22

Ren Dextra/Sinistra :

Ukuran ren dx 98 mm ren sn uk 97 mm , intensitas

echocortex homogen meningkat, tak tampak

batu/ectasis/kista/massa

Kesimpulan :

Cholelithiasis uk 9 mm

57
Acut renal disease bilateral (uk ren dx 98 mm ren sn uk 97

mm)

Susp Kistoma ovarii uk 11 cm

Secara radiologi Liver, Lien, Pankreas, VU dalam batas


normal

Daftar Masalah
Berdasarkan data-data diatas, didapatkan daftar masalah
DAFTAR MASALAH
No Masalah Data Pendukung
1 1. CKD st 5 newly diagnosed S: Pasien rujukan poli Nefrologi dengan
diagnosis CKD st newly + HT gr II + DM
1.1 HTN
tipe 2. Pasien mengeluh bengkak pada kedua
1.2 DKD
kaki sejak 1 minggu. Tiap BAK volume
sekitar 200 cc, minum sekitar 1500 cc/hr.
Pasien kontrol 1 bulan lalu dan diketahui
gagal ginjal dan disarankan cuci darah dan
dirujuk. Pasien belum pernah cuci darah.
O:
Kepala : konjungtiva pucat (-) oedem
palpebra (+) sklera ikterik (-)
Ekstremitas : edema tungkai (+/+) akral
dingin (-/-)

Lab
Hasil Lab. 15/11/22
UrCr : 166/11.17
Hasil Lab. 9/11/22
UrCr : 169/10.25
Hasil Lab. 30/10/22
UrCr : 151/8.44

58
Hasil Lab. 13/10/22 RS. Borneo
UrCr : 112/2.6
2 2. Mild Anemia MH dt anemia S: -
O:
renal
Laboratorium RSUD Ulin
Hasil Lab. 15/11/22
Hb : 10.5
Hasil Lab. 9/11/22
Hb : 11.0
Hasil Lab. 30/10/22
Hb : 11.1
3. 3. Hipertensi On treatment S: Pasien menderita Hipertensi 6 bulan
terakhir konsumsi rutin Amloidipin 10 mg
O:
TD : 180/110 mmHg

4. 4. DM tipe 2 normoglikaemia S: menderita Diabetes Mellitus sekitar 20


tahun minum Metformin 3x500 mg dan
state
glibenklamid 1x1 tab (pagi hari)
O:
GDS :133mg/dl
5 5. Kolelitiasis S: -
O:
Hasil USG Abdomen 12/11/22

Ren Dextra/Sinistra :

Ukuran ren dx 98 mm ren sn uk 97 mm ,

intensitas echocortex homogen meningkat,

tak tampak batu/ectasis/kista/massa

Kesimpulan :

Cholelithiasis uk 9 mm

Acut renal disease bilateral (uk ren dx 98 mm

59
ren sn uk 97 mm)

Susp Kistoma ovarii uk 11 cm

Secara radiologi Liver, Lien, Pankreas, VU


dalam batas normal

Rencana Awal
No Masalah Rencana Rencana Rencana monitoring Rencana edukasi
diagnosis terapi
1. 1. CKD st 5 newly USG renal Non • Monitoring keluhan • Edukasi pasien
Farmakologi : • Monitoring balance keluarga tentan
diagnosed
- Diet Rendah cairan penyakit pasien
1.1 HTN
garam • Monitoring kadar ureum komplikasi,targ
1.2 DKD <2gram/hari dan kreatinin tatalaksana.
-Monitoring • Monitoring serum • KIE pasien dan
Urin Output elektrolit keluarga tentan
- balance • Monitoring urinalisis kondisi pasien y
cairan memerlukan die
- Diet Renal garam, dan prot
• KIE pasien dan
1600 kkal/hr
keluarga untuk
-Diet protein
membatasi kon
0.8 • KIE pasien dan
keluarga untuk
g/KgBB/hr
memperhatikan
-Diet RG < 5
minum, infus y
g/hr masuk, dan jum
kencing yang k
- Konsul
setiap harinya
divisi
nefrologi
untuk jadwal
HD
selanjutnya

60
Farmakologi :
- inj
furosemid
1x40mg
- Po Asam
folat 1x5mg
- CaCO3
3x500 mg
2. 2. Mild Anemia MH Morfologi Non  Monitoring darah rutin • KIE pasien dan
darah tepi Farmakologi : keluarga meng
dt anemia renal
- profil - penyakit pasien
iron Farmakologi : komplikasi, dan
- SF 2x1 tab penatalaksanaan

3. 3. Hipertensi On Non  Monitoring TTV • Edukasi pasien


treatment Farmakologi : (TD,HR, RR, Spo2) keluarga tentan
-  Monitoring keluhan penyakit
Farmakologi : pasien pasien,komplik
- Candesartan tatalaksana sert
rencana tatalaks
1x16 mg

-Amlodipin

1x10 mg

4. 4. DM tipe 2 Non  Monitoring darah • Edukasi pasien


normoglikaemia Farmakologi : rutin keluarga tentang
state - penyakit
Farmakologi: pasien,komplika
- Metformin tatalaksana.
3x500 mg dan
glibenklamid
1x1 tab (pagi
hari).
5 5. Kolelitiasis -Darah Non  Monitoring Urinalisis • Edukasi pasien

61
Lengkap Farmakologi :  Monitoring darah rutin keluarga tentan
-USG -Diet rendah penyakit pasien
Abdomen lemak komplikasi targ
-Profil Farmakologi : tatalaksana.
Lipid

Follow Up dan Rencana Lanjutan


Tgl (Okt) 16/11/2022 17/11/2022
Subjektif
Lemas + +
Objektif
Kes / GCS Compos Mentis / 456 Compos Mentis / 456
TD (mmHg) 140/90 140/90
Nadi (x/mnt) 76 80
RR (x/mnt) 20 20
T (oC) 36.6 36.7
SpO2 (%) 97% room air 97% room air
Conjunctiva anemis / sklera +/- +/-
ikterik
Thorax: retraksi / sonor / -/+/+/- -/+/+/-
vesikuler / suara tambahan
Jantung: S1S2 tunggal/suara +/- +/-
bising jantung
Abdomen: +/+/-/- +/+/-/-
Distensi/ BU/Nyeri
tekan/shifting dullness
Extremitas: +/+ +/+
Akral hangat
Motorik:
Ekstremitas superior D/S 5/5 5/5

Ekstremitas inferior D/S 5/5 5/5

62
UO:300cc
BC:+495cc/24jam
GDS:92mg/dl

Assessment
1. CKD st 5 newly
1. CKD st 5 newly
diagnosed
diagnosed
1.1 HTN
1.1 HTN
1.2 DKD
1.2 DKD
2. Mild Anemia MH dt
2. Mild Anemia MH dt
anemia renal
anemia renal
3. Hipertensi On
3. Hipertensi On treatment
treatment
4. DM tipe 2
4. DM tipe 2
normoglikaemia state
normoglikaemia state
5. Kolelitiasis
5. Kolelitiasis
Planning
Venflon Venflon

Inj. Furosemid 20 mg / 12 Inj. Furosemid 20 mg / 12

jam jam

Candesartan 1x16 mg Candesartan 1x16 mg

Amloidipin 1x10 mg Amloidipin 1x10 mg

As. Folat 1x5 mg As. Folat 1x5 mg

CaCO3 3x500 mg CaCO3 3x500 mg

63
Diet Renal 1600 kkal/hr Diet Renal 1600 kkal/hr

Diet protein 0.8 g/KgBB/hr Diet protein 0.8 g/KgBB/hr

Diet RG < 5 g/hr Diet RG < 5 g/hr

Tgl (Okt) 18/11/2022 19/11/2022


Subjektif
Lemas - -
Objektif
Kes / GCS Compos Mentis / 456 Compos Mentis / 456
TD (mmHg) 130/90 140/100
Nadi (x/mnt) 77 78
RR (x/mnt) 20 20
T (oC) 36.7 36.7
SpO2 (%) 98% room air 99% room air
Conjunctiva anemis / sklera +/- +/-
ikterik
Thorax: retraksi / sonor / -/+/+/- -/+/+/-
vesikuler / suara tambahan
Jantung: S1S2 tunggal/suara +/- +/-
bising jantung
Abdomen: +/+/-/- +/+/-/-
Distensi/ BU/Nyeri
tekan/shifting dullness
Extremitas: +/+ +/+
Akral hangat
Edema -/- -/-
+/+ +/+
Motorik:
Ekstremitas superior D/S 5/5 5/5

64
Ekstremitas inferior D/S 5/5 5/5

UO:650cc UO:300cc
GDS:89mg/dl BC:+495cc/24jam
GDS:92mg/dl

Assessment
1. CKD st 5 newly 1. CKD st 5 newly

diagnosed diagnosed

1.1 HTN 1.1 HTN

1.2 DKD 1.2 DKD

2. Mild Anemia MH dt 2. Mild Anemia MH dt

anemia renal anemia renal

3. Hipertensi On 3. Hipertensi On

treatment treatment

4. DM tipe 2 4. DM tipe 2

normoglikaemia state normoglikaemia state

5. Kolelitiasis 5. Kolelitiasis
Planning
Venflon Venflon

Inj. Furosemid 20 mg / 12 Inj. Furosemid 20 mg / 12

jam jam

Candesartan 1x16 mg Candesartan 1x16 mg

Amloidipin 1x10 mg Amloidipin 1x10 mg

As. Folat 1x5 mg As. Folat 1x5 mg

CaCO3 3x500 mg CaCO3 3x500 mg

65
Diet Renal 1600 kkal/hr Diet Renal 1600 kkal/hr

Diet protein 0.8 Diet protein 0.8

g/KgBB/hr g/KgBB/hr

Diet RG < 5 g/hr Diet RG < 5 g/hr

Tgl (Okt) 20/11/2022 21/11/2022


Subjektif
Lemas - -
Objektif
Kes / GCS Compos Mentis / 456 Compos Mentis / 456
TD (mmHg) 130/90 140/90
Nadi (x/mnt) 77 80
RR (x/mnt) 20 20
T (oC) 36.7 36.5
SpO2 (%) 98% room air 99% room air
Conjunctiva anemis / sklera +/- +/-
ikterik
Thorax: retraksi / sonor / -/+/+/- -/+/+/-
vesikuler / suara tambahan
Jantung: S1S2 tunggal/suara +/- +/-
bising jantung
Abdomen: +/+/-/- +/+/-/-
Distensi/ BU/Nyeri
tekan/shifting dullness
Extremitas: +/+ +/+
Akral hangat
Edema -/- -/-
+/+ +/+ (min)

66
Motorik:
Ekstremitas superior D/S 5/5 5/5

Ekstremitas inferior D/S 5/5 5/5

UO:650cc UO:600cc
GDS:89mg/dl BC:-485cc/24jam
GDS:90mg/dl

Assessment
1. CKD st 5 newly 1. CKD st 5 newly

diagnosed diagnosed

1.1 HTN 1.1 HTN

1.2 DKD 1.2 DKD

2. Mild Anemia MH dt 2. Mild Anemia MH dt

anemia renal anemia renal

3.Hipertensi On 3.Hipertensi On

treatment treatment

4.DM tipe 2 4.DM tipe 2

normoglikaemia state normoglikaemia state

5. Kolelitiasis 5. Kolelitiasis
Planning
Plan dari Poli HD hari ini

Pro HD inisiasi

Ventflon

Terapi dari Poli Inj. Furosemid 20 mg / 12

Inj. Furosemid 20 mg / 12

67
jam jam

Candesartan 1x16 mg Candesartan 1x16 mg

Amloidipin 1x10 mg Amloidipin 1x10 mg

As. Folat 1x5 mg As. Folat 1x5 mg

CaCO3 3x500 mg CaCO3 3x500 mg

Diet Renal 1600 kkal/hr Diet Renal 1600 kkal/hr

Diet protein 0.8 g/KgBB/hr Diet protein 0.8 g/KgBB/hr

Diet RG < 5 g/hr Diet RG < 5 g/hr

Venflon

Foto Thorax

Raber Div. Nefrologi untuk

HD inisiasi

Monitor UO dan BC

Tgl (Okt) 22/11/2022


Subjektif
Lemas -
Objektif
Kes / GCS Compos Mentis / 456
TD (mmHg) 140/90
Nadi (x/mnt) 87
RR (x/mnt) 20
T (oC) 36.8
SpO2 (%) 99% room air
Conjunctiva anemis / sklera +/-
ikterik
Thorax: retraksi / sonor / -/+/+/-

68
vesikuler / suara tambahan
Jantung: S1S2 tunggal/suara +/-
bising jantung
Abdomen: +/+/-/-
Distensi/ BU/Nyeri
tekan/shifting dullness
Extremitas: +/+
Akral hangat
Edema -/-
+/+(min)
Motorik:
Ekstremitas superior D/S 5/5

Ekstremitas inferior D/S 5/5

UO:500cc
BC:-285cc/24jam

1. CKD st 5 newly

diagnosed

1.1 HTN

1.2 DKD

2. Mild Anemia MH

dt anemia renal

3. Hipertensi On

treatment

4. DM tipe 2

69
normoglikaemia state

5. Kolelitiasis
Pro dosisHD 2 x

seminggu

Ventflon

Inj. Furosemid 20 mg /

12 jam

Candesartan 1x16 mg

Amloidipin 1x10 mg

As. Folat 1x5 mg

CaCO3 3x500 mg

Diet Renal 1600 kkal/hr

Diet protein 0.8

g/KgBB/hr

Diet RG < 5 g/hr

BAB IV

PEMBAHASAN

70
Berdasarkan anamnesis didapatkan bahwa pasien atas nama Ny. N, usia 52

tahun datang ke RSUD Ulin dengan Pasien mengeluhkan edem pada kaki.

Keluhan sesak nafas (-) DOE (+) orthopneu (-) PND (-). Keluhan mual (-)

muntah (-) penurunan nafsu makan (-) penurunan BB (-). BAK berkurang (-)

frekuensi 4-5 kali, tiap BAK volume sekitar 200 cc, minum sekitar 1500 cc/hr.

BAB lancar tidak keluhan, riwayat BAB hitam (-). Pasien kontrol 1 bulan lalu dan

diketahui gagal ginjal dan disarankan cuci darah dan dirujuk. Pasien belum pernah

cuci darah. Pasien menderita Hipertensi 6 bulan terakhir konsumsi rutin

Amloidipin 10 mg, menderita Diabetes Mellitus sekitar 20 tahun minum

Metformin 3x500 mg dan glibenklamid 1x1 tab (pagi hari).

Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD 180/100 mmHg, edema palpebra,

edem di kedua kaki, saat dilakukan palpasi pada kaki yang edem didapatkan

pitting edem.

Pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan laboratorium tanggal 15

November 2022 yang dilakukan saat pasien dirawat di RS Ulin Hb : 10.5

MCV/MCH/MCHC : 78.5/25.4/32.3 Na/K/Cl : 137/4.5/ 112. Hasil Lab. 9/11/22

Hb : 11.0 MCV/MCH/MCHC : 79.2/24.8/31.3 UrCr : 169/10.25 Na/K/Cl :

137/4.5/109 Hasil Lab. 30/10/22 Hb : 11.1 MCV/MCH/MCHC: 76.4/25.5/33.3

GDS : 133 HbA1C : 5.81 UrCr : 151/8.44 Na/K/Cl : 140/ 5.3 / 109. Urinalisa pH

5.5. Hasil Lab. 13/10/22 RS. Borneo Hb : 12.9 Leukosit 15270 Trombosit 349000

Ht 41.5% MCV/MCH/MCHC : 80.9/25.1/31.0 GDS 105.9 UrCr : 112/2.6 EKG

Sinus Rhytme HR 79 bpm . Hasil USG Abdomen 12/11/22

71
Kesimpulan :Cholelithiasis uk 9 mm Acut renal disease bilateral (uk ren dx 98

mm ren sn uk 97 mm) Susp Kistoma ovarii uk 11 cm.

Pasien ini didiagnosis dengan CKD karena pada anamnesis sesuai dengan

keluhan edem pada kaki 1 minggu SMRS. Pada pemeriksaan fisik didapatkan

oedem palpebra (+), edema tungkai (+/+). Pada Pemeriksaan Laboratorium

Hemoglobin 10,5 MCV/MCH/MCHC : 78.5/25.4/32.3 Ureum 166 mg/dl;

kreatinin 11,17 mg/dl. Pada adanya edema terutama pada kedua tungkai yang

bersifat pitting. Hal tersebut menandakan bahwa terdapat edema pada seluruh

tubuh pasien, yang mengarahkan pada beberapa kelainan, seperti kelainan organ

jantung, hepar dan ginjal. Kelainan organ jantung dapat disingkirkan pada pasien

ini karena pasien tidak memiliki riwayat sesak napas yang dirasakan pada saaat

aktivitas maupun istirahat. Serta tidak terdapat gejala sesak pada malam hari,

orthopnea, dyspneu on effort maupun Paroksismal Nokturnal Dyspena. Kriteria

framingham pada pasien ini pun juga tidak memenuhi. Selain itu dari pemeriksaan
14
fisik juga tidak didapatkan adanya peningkatan JVP, maupun gallop S3.

Kelainan organ hepar juga dapat disingkirkan karena dari pemeriksan tidak

didapatkan adanya asites, ikteri ataupun stigmata sirosis seperti eritema palmar,

spider nevi, gynecomastia atapun tanda-tanda ensefalopati hepar seperti asterixis

maupun perubahan pola tidur. Keluhan edema pada pasien ini mengarahkan pada

penyakit ginjal. Pasien kontrol 1 bulan lalu dan diketahui gagal ginjal dan

disarankan cuci darah dan dirujuk. Pasien belum pernah cuci darah. Pasien

menderita Hipertensi 6 bulan terakhir konsumsi rutin Amloidipin 10 mg dan

pasien memiliki penyakit diabetes sejak 20 tahun SMRS. minum Metformin

72
3x500 mg dan glibenklamid 1x1 tab (pagi hari). Hal ini dapat mengarahkan

penyebab dari bengkak pada ekstrimitas yaitu CKD. Klasifikasi CKD pada pasien

ini, yaitu stadium CKD grade 5 berdasarkan hasil GFR (3,29 ml/menit/1,73mm2.

Proses ini diawali oleh kondisi hiperglikemia yang dapat menyebabkan terjadinya

glikasi non enzimatik asam amino dan protein. Terjadi reaksi antara glukosa

dengan protein yang akan menghasilkan produk AGEs (Advanced Glycosylation

Products). Proses pembentukan AGEs dan ROS (reactive oxygen species) akan

menyebabkan efek metaboli dan hemodinamik yang akan menyebabkan stimulasi

system Renin Angiotensi Aldosetron yang akan menyebabkan hipertensi.

Penimbunan AGEs dalam glomerulus maupun tubulus ginjal dalam jangka

panjang akan merusak seluruh glomerulus dan menyebabkan gagal ginjal.

Berdasarkan anamnesis, didapatkan pada pasien merasakan lemas. Keluhan lemas

juga mengarahkan kita pada gejala anemia. Pada pasien ditemukan dan hasil

pemeriksaan lab menunjukan Hb sebesar 10,5 yang mengarahkan pada kondisi

anemia. Anemia pada pasien ini disebabkan karena gangguan produksi

eritropoetin pada pasien gagal ginjal kronik. 14

Pada pasien diberikan terapi non medikamentosa yaitu tirah baring, diet

renal 1600 kkal/hr, pembatasan protein 0,8 g/kgbb per hari, diet rendah garam 2-3

(<5 ) gr per hari, hemodialisa. Terapi medikamentosa dengan ventflon, Furosemid

Injeksi 20 mg/ 12 Jam, asam folat 1 x 5 mg, Amlodipin 1 x 10 mg, Candesartan

1x16 mg, CaCO3 3x500 mg . Tatalaksana ini sesuai dengan teori pada pasien

edema dengan CKD stage 5, dimana CKD tersebut disebabkan oleh diabetes

nefropati yaitu kontrol gula darah, kontrol tekanan darah gula darah, menurunkan

73
hipertensi intraglomerular dan proteinuria, dan restriksi asupan protein. Selain itu,

menurunkan tekanan darah dan hipertensi intraglomerular dengan pemberian obat

ACE-inhibitor atau ARB. Pada pasien ini, diberikan obat ARB, berupa

candesartan 1x16 mg bersamaan dengan obat CCB yaitu amlodipine 1x10mg.

Pasien ini memiliki CKD stage 5 disertai edema. Sehingga untuk kasus

mengurangi edema perifer diberikan furosemid inj/12 jam yang berfungsi untuk

mengurangi edema sebagai loop diuretik. Pada pasien ini, dilakukan restriksi

asupan protein sebanyak 0,8 g x 51 kg = 40,8 protein per harinya. Kemudian

dilakukan pula restriksi garam sebesar <5 g/hari pada pasien sebagai bagian dari

tatalaksana terhadap gagal ginjal yang dialaminya dan mengurangi cairan tubuh.

Pada kasus ini dengan CKD grade V dengan GFR <15 diperlukan terapi

pengganti ginjal. Pada pasien ini, disarankan dilakukan hemodialisis sebagai

terapi pengganti ginjal. Pada pasien diberikan asam folat, penggunaan asam folat

pada gagal ginjal kronik sesuai dengan teori dimana asam folat berfungsi sebagai

bahan pembentuk sel darah merah. Selain itu pada gagal ginjal kronik akan terjadi

penurunan eritropoetin dan hiporesponsif eritopoetin. Suplementasi asam folat

akan membantu mengatasi kondisi hiporesponsif eritopoetin pada gagal ginjal

kronik.14 CaCO3 digunakan sebagai buffer dalam penanganan kondisi asidosis

metabolik yang terjadi pada hampir seluruh pasien gagal ginjal karena kesulitan

dalam proses eliminasi buangan asam hasil dari metabolisme tubuh CaCO3 juga

digunakan dalam penanganan kondisi hiperfosfatemia pasien. Hiperfosfatemia

pada pasien gagal ginjal terjadi akibat pelepasan fosfat dari dalam sel karena

74
kondisi asidosis dan uremik yang sering terjadi. CaCO3 bekerja dengan mengikat

fosfat pada saluran pencernaan sehingga mengurangi absorpsi fosfat. 15

Pada pasien juga ditemukan adanya kolestasis dari hasil pemeriksaan USG

ditemukan Cholelithiasis uk 9 mm Acut renal disease bilateral (uk ren dx 98 mm

ren sn uk 97 mm), Susp Kistoma ovarii uk 11 cm. Setengah sampai duapertiga

penderita kolelitiasis adalah asimtomatis. Keluhan yang mungkin timbul adalah

dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan berlemak. Pada yang

simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan

atas atau perikondrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin

berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam

kemudian.

75
BAB V

PENUTUP

Kesimpulan

Telah dilaporkan sebuah kasus seorang wanita Ny. N, usia 52 tahun dengan

diagnosis CKD st 5 newly diagnosed + Mild Anemia MH dt anemia renal+

Hipertensi On treatment + DM tipe 2 normoglikaemia state + Kolelitiasis yang

ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang. Pasien diberikan tatalaksana berupa Inj. Furosemid 20 mg / 12 jam,

Candesartan 1x16 mg, Amloidipin 1x10 mg, As. Folat 1x5 mg, CaCO3 3x500

mg, Diet Renal 1600 kkal/hr, Diet protein 0.8 g/KgBB/hr, Diet RG < 5 g/hr.

Pasien juga direncakan untuk hemodialysis rutin 2x/minggu di hari Senin dan

Kamis

76
DAFTAR PUSTAKA

1. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI; 2159-2165.
2. Eknoyan G, Lameire N, Kasiske BL, dkk. Official Journal of The
international Society Of Nephrology. KDIGO 2012 clinical practice
guideline for evaluation and management of CKD. 2013;3(1).
3. Indonesian Renal Registry (IRR). 7th Report Of Indonesian Renal
Registry.2014. Terdapat di: http://www.indonesianrenalregistry.org/
4. Hervinda S, Novadian N, Tjekyan RS. Prevalensi dan Faktor Risiko
Penyakit Ginjal Kronik di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
Tahun 2012. Majalah Kedokteran Sriwijaya. 2014 Oct 1;46(4):275-81.
5. Johnson CA, Levey AS, Coresh J. Clinical Practices Guidelines for
Chronic Kidney Disease in Adults. Carolina: American Family Physician;
2004. Hal 870-876.
6. Hidayah N. Pengembangan Model Struktural Kepatuhan Pembatasan
Asupan Cairan Pada Klien Penyakit Ginjal Kronik (Pgk) Yang Menjalani
Program Hemodialisis (Doctoral dissertation, Universitas Airlangga).
7. National Kidney Foundation. Diabetes and Chronic Kidney Disease Stage
5. New York. 2012. Terdapat di: www.kidney.org
8. Guideline American Diabetes Association. Standards of Medical Care in
Diabetes-2016:Abridged for Primary Care Providers. Clinical
Diabetes.2016
9. Wheeler DC. Clinical evaluation and management of chronic kidney
disease. Dalam: Feehaly J, Floege J, Johnson RJ, penyunting.
Comprehensice clinical nephrology. St. Loius: Elsevier Saunders; 2019
10. Kresnawan, T, Ferina. Penatalaksanaan Diet Pada Nefropati Diabetik.
Surabaya: Gizi Indonesia; 2004.
11. Shah A. Anemia. Indian J Med Sci 2014: b58:24-5.
12. Boediwarsono, Adi P, Soebandiri. Diagnosis dan pengobatan anemia
Surabaya: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Lab/UPF Ilmu Penyakit
Dalam FK UNAIR-RSUD Dr Sutomo; 1988
13. Albab AU. Karakteristik Pasien Kolelitiasis Di Rsup Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar Periode Januari-Desember 2012 (Doctoral
dissertation, Universitas Hasanuddin).

77
14. Rini S, Taruna A, Kurniawaty E. Laki Laki 58 Tahun Dengan Gagal
Ginjal Kronik Ec. Nefropathy Diabetik Dan Ulkus Diabetik. JPM (Jurnal
Pengabdian Masyakat) Ruwa Jurai. 2016 Oct 1;2(1):54-6.
15. Prasetya AN, Raka Karsana AA, Swastini DA. Kajian Interaksi Obat pada
Pengobatan Pasien Gagal Ginjal Kronis Hipertensi di Rsup Sanglah
Denpasar Tahun 2007. Jurnal Farmasi Udayana. 2012;1(1):279777.

78

Anda mungkin juga menyukai