Laporan Kasus
Wanita usia 52 tahun dengan diagnosis CKD st V newly
diagnosed+ Mild Anemia MH dt anemia renal+ Hipertensi On
treatment+ DM tipe 2 normoglikaemia state + Kolelitiasis
Oleh :
Aisy Samara Istiqomah
NIM. 2130912320077
Pembimbing
Dr. dr. M. Rudiansyah Sp.PD, K-GH
I
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
BAB IV PEMBAHASAN.............................................................................. 67
BAB V PENUTUP......................................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 73
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
adalah suatu proses patofisiologis yang didasari oleh etiologi yang beragam, yang
berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang
ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel yang mencapai pada
derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal tetap, yaitu dapat berupa dialisis
kelainan yang ditemukan selama pemeriksaan, yang bisa saja bersifat non-
fungsi ginjal. Prevalensi penyakit ginjal kronik diseluruh dunia sekitar 5-10%.
adalah 13,1%, yang terdiri dari 1,8% derajat 1; 3,2% derajat 2; 7,7% derajat 3;
dan 0,35% derajat 4.2 Prevalensi penyakit ginjal kronik di Australia, Jepang, dan
Eropa adalah 6-11%, terjadi peningkatan 5-8% setiap tahunnya. 3 Sekitar 1,5%
dari pasien penyakit ginjal kronik derajat 3 dan 4 akan berlanjut menjadi derajat 5
atau penyakit ginjal kronik tahap akhir (gagal ginjal) per tahunnya. Di Indonesia
belum ada data yang lengkap mengenai penyakit ginjal kronik. Diperkirakan
insiden penyakit ginjal kronik tahap akhir di Indonesia adalah sekitar 30,7 per
juta populasi dan prevalensi sekitar 23,4 per juta populasi. Pada tahun 2006
1
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG, sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada
ukuran ginjal yang masih normal secara USG, biopsy, dan pemeriksaan
spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal,
terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.1,2 Penting sekali
mengikuti kecepatan penurunan LFG pada pasien CKD. Hal ini untuk
Pada laporan kasus ini akan dibahas pasien an Ny.N usia 52 tahun yang
datang ke IGD RSUD Ulin dengan keluhan bengkak pada seluruh badan. Pasien
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronis (PGK) adalah
suatu proses patofisiologis yang didasari oleh etiologi yang beragam, yang
berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai
dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel yang mencapai pada derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal tetap, yaitu dapat berupa dialisis atau
transplantasi ginjal.1 Kerusakan ginjal mengacu pada berbagai macam kelainan yang
penyakit penyebabnya tetapi dapat mengarah pada penurunan fungsi ginjal. Fungsi
ekskresi, endokrin, dan metabolik menurun secara bersamaan pada hampir semua
kasus CKD. Kriteria CKD menurut KDIGO 2012 adalah kerusakan ginjal ≥ 3 bulan,
baik berupa kelainan struktural atau fungional yang dapat dideteksi melalui
atau yang lain oleh karena gangguan pada tubulus, kelainan pada pemeriksaan
3
riwayat transplantasi ginjal serta penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG < 60
ml/menit/1,73 m2) dalam waktu lebih dari 3 bulan, dengan atau tanpa kelainan
struktural ginjal.2
B. Klasifikasi
Klasifikasi CKD didasarkan atas dua hal yaitu berdasarkan derajat penyakit
LFG yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockroft- Gault sebagai berikut:
LFG (ml/menit/1,73m2) =
berlaku pada umur di bawah 18 tahun atau di atas 80 tahun, berat badan di bawah
40 kg atau di atas 100 kg, wanita hamil, pasien penderita Acute Kidney Injury (AKI),
kerusakan otot yang luas (crush syndrome, tetraparesis), atau ada anggota tubuh yang
tidak lengkap (amputasi).1 Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dapat dilihat di tabel
berikut:2
4
Stadium Deskripsi LFG (ml/menit/1,73
m2)
I Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ≥90
meningkat
II Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan 60 – 89
III Penurunan LFG sedang 30 – 59
IV Penurunan LFG berat 15 – 29
V Gagal ginjal < 15 atau dialisis
Sedangkan klasifikasi atas dasar diagnosis etiologi dilihat di table berikut:2
Berdasarkan etiologinya, CKD juga dapat diklasifikasikan atas dasar ada atau
tidaknya penyakit sistemik yang mendasarinya dan lokasi dari kelainan anatomis atau
patologis dari ginjal. Klasifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.2
5
Contoh Penyakit Sistemik Contoh Penyakit Ginjal
yang Mempengaruhi Primer (tidak disertai
Ginjal penyakit sistemik yang
mempengaruhi ginjal)
Penyakit glomerular Diabetes, penyakit autoimun Glomerulonefritis diffuse,
sistemik, infeksi sistemik, focal, crescentic
obat, neoplasia (termasuk proliferative,
amyloidosis) gromerulonekrosis focal
dan segmental, mefropati
membrane, minimal
change disease
Penyakit Infeksi sistemik, autoimun, Infeksi saluran kemih,
tubulointerstitial sarcoidosis, obat, urat, toksin batu, obstruksi
lingkungan, neoplasia
(myeloma)
Penyakit pembuluh Aterosklerosis, hipertensi, Associated renal limited
darah iskemia, emboli kolesterol, vasculitis, fibromuscular
vaskulitis sistemik, dysplasia
mikroangiopati trombotik,
sklerosis sistemik
Penyakit kistik dan Penyakit polikistik ginjal, Displasia renal, penyakit
congenital Alport syndrome, Fabry kistik medulla,
disease podositopati
Tabel 3. Penyakit sistemik dan kelainan ginjal
C. Epidemiologi
penyakit ginjal kronik di Amerika serikat pada tahun 1999-2004 adalah 13,1%, yang
terdiri dari 1,8% derajat 1; 3,2% derajat 2; 7,7% derajat 3; dan 0,35% derajat 4.2
Prevalensi penyakit ginjal kronik di Australia, Jepang, dan Eropa adalah 6-11%,
terjadi peningkatan 5-8% setiap tahunnya.3 Sekitar 1,5% dari pasien penyakit ginjal
kronik derajat 3 dan 4 akan berlanjut menjadi derajat 5 atau penyakit ginjal kronik
6
tahap akhir (gagal ginjal) per tahunnya. Di Indonesia belum ada data yang lengkap
mengenai penyakit ginjal kronik. Diperkirakan insiden penyakit ginjal kronik tahap
akhir di Indonesia adalah sekitar 30,7 per juta populasi dan prevalensi sekitar 23,4
per juta populasi. Pada tahun 2006 terdapat sekitar 10.000 orang yang menjalani
terapi hemodialisa.4
D. Faktor Risiko
penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia, seperti pada tabel 4.
Walaupun menurut data Indonesian Renal Registry (IRR) tahun 2014, hipertensi
nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal,
7
1. Glomerulonefritis
glomerulus (LFG) dan retensi terhadap racun uremia. Bila progresifitas dari
dapat berubah menjadi CKD, penyakit gagal ginjal, dan bahkan penyakit
kardiovaskular.5
2. Diabetes Mellitus
hidup. Diabetes dapat terjadi saat tubuh tidak memproduksi insulin yang cukup atau
tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang sudah ada. Insulin merupakan hormon
8
Selain itu, sistem saraf di tubuh juga dapat terganggu. Sistem saraf
membawa pesan ke otak dan seluruh tubuh termasuk kandung kemih untuk memberi
tahu bila kandung kemih sudah penuh. Namun, apabila sistem saraf pada kandung
kemih mengalami gangguan, maka pasien tidak akan dapat merasakan apabila
kandung kemih sudah penuh. Tekanan pada kandung kemih yang tinggi akan dapat
merusak ginjal.7
terlihat pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 adalah, apabila pasien
tersebut berhenti menggunakan insulin, ketosis dan ketoasidosis juga akan muncul.
Sehingga pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 bergantung dan diobati dengan
exogenous insulin yang digunakan sehari-hari disertai dengan diet makanan yang
sudah direncanakan.1,8
resistensi terhadap kinerja insulin, sekresi insulin yang inadekuat, dan sekresi
glukagon yang berlebihan. Diabetes mellitus tipe 2 yang tidak di tangani dengan
9
baik akan menyebabkan komplikasi yang melibatkan gangguan pada sistem
coroner dan penyakit pada pembuluh darah perifer. Sedangkan komplikasi yang
terjadi pada sistem neuropati dapat mempengaruhi sistem saraf autonomik maupun
perifer.8
3. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah
ginjalnya atau disebut juga hipertensi renal. Penyakit ginjal hipertensif merupakan
a. Faktor klinis yaitu diabetes, hipertensi, penyakit autoimun, infeksi sistemik, infeksi
keganasan, riwayat keluarga CKD, penurunan massa ginjal, paparan banyak obat,
b. Faktor sosial demografi yaitu umur tua, etnik, terpapar banyak bahan kimia
pada ginjal, terutama pada komponen filtrasi ginjal seperti membrane basal
glomerulus, sel endotel, dan sel podosit. Kerusakan komponen ini dapat disebabkan
secara langsung oleh kompleks imun, mediator inflamasi, atau toksin serta dapat pula
kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini
nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi
nefron yang progresif, walapun penyakit dasarnya sudak tidak aktif lagi. Adanya
Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas CKD
11
adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas
tubulointerstitial.1
F. Manifestasi Klinis
Pasien dengan CKD derajat I hingga III dengan LFG >30 mL/menit/1,73 m2
gejala gangguan keseimbangan air ataupun elektrolit, atau kekacauan dari sistem
endokrin dan sistem metabolik. Gejala seringkali mulai muncul pada pasien dengan
CKD derajat IV hingga V dengan LFG < 30 mL/menit/1,73 m2. Pasien dengan
12
yang sering disebut dengan gejala positif seperti poliuri, hematuria, edema, lebih
derajat V biasanya terjadi oleh akibat dari akumulasi berbagai racun dengan jenis
yang belum diketahui. Peningkatan kadar garam dan cairan yang dialami ginjal
jarang dilakukan karena dapat menimbulkan komplikasi. Oleh karena itu, tidak
jarang bermanifestasi menjadi edema paru dan hipertensi karena volume cairan
meningkat.2,5
Anemia juga seringkali ditemui pada penderita CKD. Anemia pada CKD
berkegiatan, penurunan fungsi imun, dan penurunan kualitas hidup. Insiden anemia
Manifestasi klinis lainnya dapat muncul pada derajat akhir dari CKD, terutama
pada pasien yang tidak menjalani proses dialisa secara adekuat, diuraikan sebagai
berikut:7
- Neuropati perifer
- Lemas, malnutrisi
14
G. Diagnosis
Biopsi ginjal dilakukan pada pasien tertentu yang diagnosis pastinya hanya
dapat ditegakkan dengan biopsi ginjal atau jika diagnosis pasti tersebut akan
ditegakkan berdasarkan gambaran klinik yang lengkap dan faktor penyebab yang
1. Gambaran Klinis
2. Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,
2. Gambaran Laboratorium
2. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan
3. Gambaran Radiologis
2. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati
yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran
ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasive tidak bisa
menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan.
Biopsi ginjal indikasi – kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal sudah
16
mengecil (cintracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali,
H. Penatalaksanaan
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum
terjadinya penurunan LFG, sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada
17
ukuran ginjal yang masih normal secara USG, biopsy, dan pemeriksaan histopatologi
ginjal dapat menetukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila
LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar
Penting sekali mengikuti kecepatan penurunan LFG pada pasien CKD. Hal
ini untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien.
a. Restriksi Protein
Pembatasan asupan protein dan fosfat pada CKD dapat dilihat pada tabel
berikut:1
18
Tabel 6. Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada CKD
nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Pada penderita
protein dianjurkan yang mempunyai nilai biologi tinggi) dengan kalori 30-35
kkal/kgBB/hari. Sebab kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah
menjadi urea dan substansi nitrogen lain yang terutama diekskresikan melalui ginjal.
Oleh karena itu, diet tinggi protein pada pasien CKD akan mengakibatkan
penimbunan substansi nitrogen dan ion anoganik lain dan mengakibatkan gangguan
klinis dan metabolik yang disebut uremia. Selain itu, asupan protein berlebih akan
Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena
protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Dibutuhkan pemantauan
19
yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Jika terjadi malnutrisi, jumlah asupan
klinik stabil, protein yang dianjurkan adalah 1.2 gr/kgBB/hari karena pada pasien HD
oleh intake protein yang tidak adekuat, proses inflamasi kronik dalam proses
b. Terapi Farmakologis
samping itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria.
20
elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi CKD
secara keseluruhan.1
d. Diabetes Mellitus
Pada pasien DM, kontrol gula darah, hindari pemakaian metformin dan obat-
obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk DM tipe 1 0,2
e. Hipertensi
kreatinin dan kalium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin > 35% atau timbul
fungsi ginjal, hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan
antiproteinuria. Jika terjadi kontraindikasi atau terjadi efek samping terhadap obat-
obat tersebut dapat diberikan calcium channel bloker, seperti verapamil dan
diltiazem.1,2
f. Dislipidemia
21
g. Anemia
Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl. Anemia pada CKD terutama
disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam
terjadinya anemia, yaitu defisiensi asam besi, kehilangan darah (perdarahan saluran
cerna, hematuria), masa hidup eritrosit yang pendek akibat hemolisis, defisiensi asam
folat, penekanan pada sumsum tulang, proses inflamasi akut maupun kronik.
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kada Hb ≤ 10 g% atau Hct ≤ 30%, meliputi
secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat.
Transfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan
h. Hiperfosfatenemia
Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien CKD secara
umum, yaitu tinggi kalori, rendah protein, dan rendah garam, karena fosfat sebagian
besar terkandung dalam daging dan produk hewan, seperti susu dan telor. Asupan
fosfat dibatasi 600-800 mg.hari. Pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat tidak
pula diberikan pada pasien CKD dengan hiperfosfatemia. Pengikat fosfat yang
Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat absorbs fosfat yang
berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat
22
(CaCO3) dan kalsium asetat. Pemberian bahan kalsium mimetic (calcium mimetic
agent). Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis obat yang dapat menghambat reseptor
Ca pada kalenjar paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut
i. Kelebihan Cairan
komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang dengan
air yang keluar dengan asumsi bahwa air keluar melalui insensible water loss antara
500- 800 ml/hari, maka air yang dianjurkan masuk 500-800 ml ditambah jumlah urin.
hipertensi dan edema. Oleh karena itu pemberian obat-obatan yang mengandung
kalium dan makanan yang tinggi kalium seperti sayur dan buah harus dibatasi. Kadar
1. Anemia
produksi eritropoetin oleh ginjal. Disamping itu faktor non renal yang juga ikut
berkontribusi antara lain infeksi, inflamasi, masa hidup sel darah merahyang pendek
pada CKD dan faktor yang berpotensi menurunkan fungsi sumsum tulang seperti
defisiensi besi, defisiensi asam folat dan toksisitas aluminium. Selain itu adanya
keadaan anemia.1
Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan dan status besi
harus diperhatikan karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Tujuan
pemberian EPO adalah untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb = 10g/dL.
24
Target pencapaian Hb dengan transfusi darah adalah 7-9g/dL. Pemberian
transfusi darah pada pasien CKD harus hati-hati dan hanya diberikan pada keadaan
khusus yaitu:1
Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram dengan EPO ataupun yang telah
mendapat EPO namun respon tidak adekuat, diberi preparat besi intravena. 1
2. Osteodistrofi Renal
(CaCO3) dan kalsium asetat serta pemberian bahan kalsium mimetik yang dapat
hidroklorida. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga berperan
1,6
dalam mengatasi hiperfosfatemia. Pemberian kalsitriol dibatasi pada pasien
dengan kadar fosfat darah normal dan kadar hormon PTH > 2,5 kali normal
karena pemakaian kalsitriol pada kadar fosfat darah yang tinggi dapat
25
dinding pembuluh darah (kalsifikasi metastatik).1,6 Selain itu pemberian kalsitriol
Dilakukan pada CKD stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/mnt.
stadium I, II, III, dan IV. Pada stasium IV dimana terjadi penurunan fungsi
ginjal yang berat tetapi belum menjalani terapi pengganti dialisis biasa disebut
kondisi pre dialisis. Umumnya pasien diberikan terapi konservatif yang meliputi
terapi diet dan medikamentosa dengan tujuan mempertahankan sisa fungsi ginjal
yang secara perlahan akan masuk ke stadium V atau fase gagal ginjal. Status gizi
kurang masih banyak dialami pasien dengan CKD. 5,10 Faktor penyebab gizi kurang
antara lain adalah asupan makanan yang kurang sebagai akibat dari tidak nafsu
makan, mual dan muntah. Untuk mencegah penurunan dan mempertahankan status
gizi, perlu perhatian melalui monitoring dan evaluasi status kesehatan serta asupan
makanan oleh tim kesehatan. Pada dasaranya pelayanan dari suatu tim terpadu yang
terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi serta petugas kesehatan lain diperlukan agar
terapi yang diperlukan kepada pasien optimal. Asuhan gizi (Nutrition Care)
26
betujuan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi agar mencapai status gizi optimal,
3. Pengaturan asupan lemak: 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah
yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh
9. Besi: 10-18mg/hari
I. Prognosis
mengalami penurunan fungi ginjal yang progresif dan mencapai derajat akhir dari
pasien itu sendiri. Pengobatan yang dilakukan pada CKD pada umumnya adalah
Secara garis besar prognosis dari CKD yang tidak ditangani adalah buruk.
Mortality rate untuk pasien yang menjalani dialisis adalah sebesar 20%. Apalagi jika
30%. Prediksi prognosis dapat dilihat melalui beberapa parameter seperti penyebab
CKD, kategori LFG, kategori albuminuria dan faktor resiko serta komplikasi yang
sudah terjadi.
28
Gambar 2. Prognosis CKD Berdasaran LFG dan Kategori
Albuminuria
29
2.2 Anemia
A. Definisi
Penurunan jumlah massa eritrosit (sel darah merah), mulai dari hemoglobin,
hematokrit dan jumlah eritrosit itu sendiri, sehingga mengganggu transpor oksigen ke
jaringan perifer. Kadar hemoglobin dan eritrosit itu sendiri bervariasi pada setiap
orang tergantung jenis kelamin, usia dan tempat tinggal (ketinggian dari permukaan
B. Etiologi
idiopatik.18
C. Klasifikasi
eritrositnya normal. Anemia normositik normokrom ini ditemukan pada anemia yang
30
hemoglobin) masih normal (MCV 80 – 95 fl; MCH 27 – 34 pg). Anemia ini meliputi:
anemia pasca perdarahan akut, anemia aplastik, anemia hemolitik, anemia akibat
penyakit kronik, anemia pada gagal ginjal kronik, anemia pada sindrom
Mikrositik berarti ukuran eritrositnya kecil (lebih kecil dari limfosit kecil).
Hipokrom berarti warna eritrositnya lebih pudar/lebih pucat (bagian pucat eritrositnya
lebih dari 1/3 diameter eritrosit). Biasanya mikrositik hipokrom ini ditemukan pada
anemia karena masalah pada hemoglobinnya, seperti kurang penyusunnya (Fe), rapuh
strukturnya (genetik), atau karena penyakit kronis lainnya. MCV dan MCH nya
3. Anemia Makrositik
ukurannya akan semakin kecil, tapi karena tidak matang, tampaklah ia besar.
defisiensi asam folat dan vitamin B12. Atau bisa juga karena gangguan hepar,
hormonal atau gangguan sumsum tulang dalam homopoiesis itu sendiri. MCV nya
meningkat (MCV > 95 fl). Contoh: anemia megaloblastik dan anemia non-
megaloblastik.12
D. Manifestasi Klinis
31
a. Gejala umum. Pucat, lemah, lesu, dan jika Hb sangat rendah (<7g/dl)
b. Gejala khas. Spesifik untuk masing2 jenis anemia. Contoh: kuku sendok
c. Gejala penyakit dasar. Gejala dari penyebab anemia tersebut. Misal: anemia
E. Tatalaksana
dan sesuai dengan indikasi yang jelas.31 a. Terapi kegawat-daruratan, apabila anemia
segera dengan PRC (packed red cells) b. Terapi khas, khusus untuk terapi terhadap
anemia jenis tertentu. Seperti ADB dengan pemberian preparat besi, anemia
megaloblastik dengan memberi asam folat, dsb. c. Terapi untuk mengobati penyakit
penyakit perdarahan haid, atasi dulu penyakit perdarahannya, atau seperti penyakit
cacing tambang, atasi dulu penyakit tersebut. d. Terapi ex juvantivus, yakni terapi
menegakkan diagnosis tersebut. Terapi ini harus dipantau dengan ketat, misalnya
pada ADB, diberi preparat besi, jika membaik berarti memang positif ADB, dsb.12
2.3 Kolelitiasis
32
A. Definisi
kandung empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada keduaduanya. Sebagian
besar batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam kandung empedu.
Hati terletak di kuadran kanan atas abdomen di atas ginjal kanan, kolon, lambung,
pankreas, dan usus serta tepat di bawah diafragma. Hati dibagi menjadi lobus kiri dan
kanan, yang berawal di sebelah anterior di daerah kandung empedu dan meluas ke
belakang vena kava. Kuadran kanan a tas abdomen didominasi oleh hati serta saluran
empedu dan kandung empedu. Pembentukan dan ekskresi empedu merupakan fungsi
utama hati. Kandung empedu adalah sebuah kantung terletak di bawah hati yang
Kebanyakan batu duktus koledokus berasal dari batu kandung empedu, tetapi ada
juga yang terbentuk primer di dalam saluran empedu. Batu empedu bisa terbentuk di
dalam saluran empedu jika empedu mengalami aliran balik karena adanya
infeksi hebat saluran empedu (kolangitis). Jika saluran empedu tersumbat, maka
bakteri akan tumbuh dan dengan segera menimbulkan infeksi di dalam saluran.
Bakteri bisa menyebar melalui aliran darah dan menyebabkan infeksi di bagian tubuh
empedu. Infeksi dapat disebabkan kuman yang berasal dari makanan. Infeksi bisa
pada saluran dan kantong empedu sehingga cairan yang berada di kantong empedu
mengendap dan menimbulkan batu. Infeksi tersebut misalnya tifoid atau tifus. Kuman
tifus apabila bermuara di kantong empedu dapat menyebabkan peradangan lokal yang
tidak dirasakan pasien, tanpa gejala sakit ataupun demam. Namun, infeksi lebih
sering timbul akibat dari terbentuknya batu dibanding penyebab terbentuknya batu. 13
B. Epidemiologi
Di negara barat, batu empedu mengenai 10% orang dewasa. Angka prevalensi
orang dewasa lebih tinggi. Angka prevalensi orang dewasa lebih tinggi di negara
Amerika Latin (20% hingga 40%) dan rendah di negara Asia (3% hingga 4%).
Kolelitiasis termasuk penyakit yang jarang pada anak. Menurut Ganesh et al dalam
pengamatannya dari tahun januari 1999 sampai desember 2003 di Kanchi kamakoti
Child trust hospital, mendapatkan dari 13.675 anak yang mendapatkan pemeriksaan
USG, 43 (0,3%) terdeteksi memiliki batu kandung empedu. Semua ukuran batu
sekitar kurang dari 5 mm, dan 56% batu merupakan batu soliter. Empat puluh satu
anak (95,3%) dengan gejala asimptomatik dan hanya 2 anak dengan gejala . 13
C. Etiologi13
Batu Empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang
dibentuk pada bagian saluran empedu lain. Etiologi batu empedu masih belum
empedu di kandung empedu. Setelah beberapa lama, empedu yang telah mengalami
diantaranya:
fosfolipid dalam empedu. Asam empedu dihidroksi atau dihydroxy bile acids adalah
kurang polar dari pada asam trihidroksi. Jadi dengan bertambahnya kadar asam
2. Kolesterol empedu
Apa bila binatanang percobaan di beri diet tinggi kolestrol, sehingga kadar
kolesrtol dalam vesika vellea sangat tinggi, dapatlah terjadi batu empedu kolestrol
yang ringan. Kenaikan kolestreol empedu dapat di jumpai pada orang gemuk, dan
3. Substansia mukus
4. Pigmen empedu
hemolisis yang kronis. Eksresi bilirubin adalah berupa larutan bilirubin glukorunid.
5. Infeksi
35
Adanya infeksi dapat menyebabkan krusakan dinding kandung empedu,
pembentukan batu
D. Faktor Resiko
a. Usia
usia. Orang dengan usia > 40 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan orang dengan usia yang lebih muda. Di Amerika Serikat, 20 %
wanita lebih dari 40 tahun mengidap batu empedu. Semakin meningkat usia,
usia.
b. Jenis kelamin
terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Hingga dekade ke-6,
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi
untuk terjadi kolelitiasis. Ini dikarenakan dengan tingginya BMI maka kadar
kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurangi garam empedu
d. Makanan
untuk menderita kolelitiasis. Kolesterol merupakan komponen dari lemak. Jika kadar
kolesterol yang terdapat dalam cairan empedu melebihi batas normal, cairan empedu
dapat mengendap dan lama kelamaan menjadi batu. Intake rendah klorida, kehilangan
berat badan yang cepat mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu
e. Aktifitas fisik
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi
Patofisiologi
kelebihan kolesterol dari tubuh, baik sebagai kolesterol bebas maupun sebagai garam
yang disintesis dalam hati diubah menjadi garam empedu, yang sebaliknya kemudian
oleh darah ke semua sel jaringan tubuh. Kolesterol bersifat tidak larut air dan dibuat
37
menjadi larut air melalui agregasi garam empedu dan lesitin yang dikeluarkan
monohidrat yang padat. Etiologi batu empedu masih belum diketahui sempurna.
empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Batu empedu kolesterol dapat terjadi
karena tingginya kalori dan pemasukan lemak. Konsumsi lemak yang berlebihan akan
menyebabkan penumpukan di dalam tubuh sehingga sel-sel hati dipaksa bekerja keras
untuk menghasilkan cairan empedu. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap dalam
kandung empedu dengan cara yang belum dimengerti sepenuhnya. Patogenesis batu
(yang sukar larut dalam air), dan pengendapan garam bilirubin kalsium. Bilirubin
E. Diagnosis13
1.Anamnesis
Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran
terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di
daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau perikondrium. Rasa nyeri lainnya adalah
kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru
38
menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan
tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba. Penyebaran nyeri pada punggung bagian
tengah, scapula, atau ke puncak bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang
antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu
2. Pemeriksaan fisis
kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu, atau
di daerah letak anatomis kandung empedu. Murphy sign positif apabila nyeri tekan
bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang
meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.
Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala pada fase tenang. Kadang
teraba hepar dan sklera ikterik. Perlu diketahui bila kadar bilirubin darah kurang dari
3 mg/dl, gejala ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah
3.Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
39
Batu kandung empedu yang asimptomatik biasanya tidak menunjukkan
ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledokus oleh batu. Kadar bilirubin
serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledokus. Kadar
serum alkali fosfatase dan mungkin juga amilase serum biasanya meningkat sedang
b. Pemeriksaan radiologi
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena
hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radiopak. Kadang-kadang
empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat
dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar
atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di
kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura
hepatika.
2.Ultrasonografi (USG)
Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena
fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang
terdapat pada duktus koledokus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh
40
udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung
F. Penatalaksanaan
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri
yang hilang timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau
a. Kolisistektomi terbuka
cedera dekubitus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Indikasi yang paling umum
untuk kolisistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.13
b. Kolisistektomi laparoskopi
mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien
dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan
prosedur konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya
yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan
kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah keamanan dari prosedur ini,
G. Prognosis
41
Prognosis pada kolelitiasis sendiri tidak dihubungkan dengan meningkatnya
batu yang berada di dalam saluran biliaris sehingga dapat mengancam jiwa.
Walaupun demikian, dengan diagnosis dan pengobatan yang cepat serta tepat, hasil
42
BAB III
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. N
Umur : 52 tahun
Agama : Islam
Suku : Banjar
Pekerjaan : IRT
Alamat : Batu Tungku
MRS : 15 November 2022
RMK : 01515955
B. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan heteroanamnesis dengan
bengkak pada kedua kaki sejak 1 bulan, bengkak semakin memberat 1 minggu
SMRS. Keluhan sesak nafas yang dipengaruhi aktivitas atau posisi tubuh
Keluhan mual (-) muntah (-) penurunan nafsu makan (-) penurunan BB (-).
BAK berkurang (-) frekuensi 3-4 kali, tiap BAK volume sekitar 200 cc,
minum sekitar 1500 cc/hari. BAB lancar tidak keluhan, riwayat BAB hitam, BAB
berdarah, BAB cair disangkal. 1 bulan SMRS pasien periksa ke RS Citra Medika
dan dari hasil lab pasien diketahui mengalami gagal ginjal dan telah disarankan
43
untuk cuci darah. Pasien dirujuk ke RSUD Ulin untuk cuci darah namun pada saat
itu pasien masih takut untuk cuci darah. Pasien memiliki penyakit darah tinggi
yang diketahui sejak 6 bulan terakhir, obat yang dikonsumsi rutin Amloidipin 10
mg. Pasien juga memiliki penyakit diabetes sejak sekitar 20 tahun yang lalu, obat
44
SpO2 : 97% room air
3. Kulit
Inspeksi : Kulit tampak sawo matang, ptekie (-), hematom(-),
ikterik(-), hiperpigmentasi (-), rash (-) kuku utuh dalam
batas normal
Palpasi : Nodul (-), atrofi(-), turgor kulit kembali cepat (<2 detik)
4. Kepala dan leher
Inspeksi : Bentuk kepala normosefali, rambut tidak mudah
rontok berwarna hitam, sikatrik (-), pembengkakan
leher (-), edema palpebra (+)
Palpasi : Pembesaran KGB (-), Pembesaran tiroid (-), nyeri tekan
pada tiroid dan KGB (-)
Auskultasi : Bruit (-)
Pemeriksaan lain : JVP normal (5+2 CmH2O), kaku kuduk (-)
Telinga
Inspeksi : Serumen (+/+) minimal, infeksi (-/-)
Palpasi : Nyeri mastoid (-/-), massa (-)
Hidung
Inspeksi : Septum deviasi (-), Mukosa hidung kemerahan (-/-)
perdarahan (-/-), polip (-)
Palpasi : Nyeri (-)
Rongga mulut dan tenggorokan
Inspeksi :Tidak terdapat hiperemis, leukoplakia maupun kelainan lain
pada rongga mulut, gigi lengkap.
Palpasi : Nyeri (-), massa (-), pembesaran kelenjar ludah (-)
Mata
Inspeksi : Sklera ikterik (-), konjungtiva pucat (-), ptosis (-) refleks
cahaya langsung dan tidak langsung (+/+), diameter pupil 2
mm isokor, produksi air mata cukup, lapang pandang normal,
oedem palpebra (+)
5. Toraks
45
Inspeksi : Bentuk dada normal, gerakan dinding dada simetris,
pernapasan irama reguler, tumor (-).
Palpasi : Fremitus fokal simetris.
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru.
Auskultasi :Suara nafas vesikular (++</+++), ronki (---/---), wheezing
(---/--)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi :Iktus kordis teraba di ICS V linea midclavicularis sinistra.
Perkusi : Batas kiri ICS V linea aksilaris anterior sinistra, batas
kanan ICS IV linea parasternal dextra, batas pinggang
jantung ICS III midlavicularis sinistra
Auskultasi : S1 S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
6. Abdomen
Inspeksi : Perut tampak cembung acites (-), supel, striae (-),hernia
(-), distensi (-)
Auskultasi : Bising Usus (+) 22x/menit meningkat, bruit (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), hati dan lien tidak teraba,
hepatomegaly(-), splenomegaly(-), defans muscular (-)
Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
7. Punggung
Inspeksi : Skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-)
Palpasi : Nyeri (-), gybus (-), tumor (-)
8. Ekstremitas
Inspeksi : edema di kedua kaki (+/+), gerak sendi normal, deformitas
(-),
Palpasi : pitting edem (+), krepitasi (-/-), nyeri tekan (-/-), CRT<2
detik
Akral hangat + + Edema - -
+ + + +
9. Alat kelamin dan rektum
46
Urin Output : 600-800 cc / 24 jam
Rectal Touche : Tidak dilakukan
10. Neurologi : Tremor (-), paralisis(-), kekuatan otot +5, tidak ditemukan
reflex patologis
11. Bicara : Disartria (-), afasia (-), apraxia (-).
FOTO KLINIS
D. Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan laboratorium 9 November 2022 RSUD Ulin
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
HEMATOLOGI
47
MCHC 31,3 33,0 – 37,0 %
HITUNG JENIS
0,0-1,0
Basofil % 0,8 %
HEMATOLOGI
HEMOSTASIS
48
Control Normal PT 11.0
Hasil APTT 27,4 22.2-38.0 Detik
Control Normal APTT 24.8
IMUNO-SEROLOGI
Non
Anti HIV Rapid Non reaktif Ul/ml
reaktif
HEPATITIS
Non
HBsAg Non reaktif
reaktif
Non
Anti HCV <1,00 S/CO
reaktif
ELEKTROLIT
Natrium 137 136-145 Meq/L
Kalium 4.5 3.5-5.1 Meq/L
Chlorida 112 98-107 Meq/L
GINJAL
Ureum 166 0-50 mg/dl
0.72-1.25
Kreatinin 11,17 mgdl
49
GINJAL
Ureum 86 0-50 mg/dl
0.72-1.25
Kreatinin 7,42 mgdl
EKG
50
- Corakan bronchovascular dalam batas normal
- Tidak tampak pelebaran kedua pleural space
- Tidak tampak proses spesifik aktif kedua paru
- Cor: ukuran membesar (CTR >0.5), Kalsifikasi arcus aorta (-)
- kedua sinus dan diafragma dalam batas normal
- Tulang- tulang intak
Kesan: Cardiomegaly
51
52
-Hepar : hepar besar bentuk normal, intensitas echopaenkim homogen, kapsula
intak, sudut tajam,tepi regular, tidak tampak nodul, ductus billliaris
intrahepatal tidak dilatasi, v potra/ hepatica tak melebar, tak tampak
nodul
-GB : tampak batu uk 9mm, dinding tak menebal, tak tampak dilatasi CBD
- Pankreas : Normal, tak tampak nodul
-Spleen : Ukuran tak besar, tidak tampak nodul/cyst
-Ren dextra/sinistra:
- Ukuran ren dx 98 mm ren sn uk97 mm, intensitas echocortex homogen
meningkat tak tampak batu/ectasis/kista/massa
-VU : dinding tak melebar, tidak tampak batu
-Uterus : Uterus normal, tak tampak nodul solid/kistik. Tampak massa kistik uk
11 cm cavum pelvis
-Tak tampak asites
Kesimpulan:
Cholelitiasis uk 9mm
Acute renal disease bilateral (ren dextra 98 mm, ren sinistra ukuran 97 mm)
Susp kistoma ovarii uk 11cm
Secara Radiologi Liver, Lien, Pankreas, VU dalam batas normal
B. Diagnosis Kerja
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,
maka dapat ditegakkan diagnosis penyakit pasien ini adalah:
1. CKD st 5 newly diagnosed
1.1 DKD
1.2 HTN
2. Mild Anemia MH dt anemia renal
3. Hipertensi On treatment
4. DM tipe 2 normoglikaemia state
5. Kolelitiasis
53
Resume Data Dasar
Anamnesis Keluhan Utama: Bengkak kedua kaki
RPS : Pasien rujukan poli Nefrologi dengan diagnosis CKD
Kesadaran : CM
GCS E4V5M6
TD : 180/110 mmHg
HR : 80 X/ mnt
RR : 20 x / mnt
T: 36,6 C
SpO2 : 97 % on RA
GDS : 95 mg/dl
BB : 51 kg
TB : 160 cm
54
Kepala : konjungtiva pucat (-) oedem palpebra (+) sklera
ikterik (-)
wheezing (---/---)
Pemeriksaan LABORATORIUM
Penunjang (15/11/2022)
Hasil Lab. 15/11/22
Hb : 10.5
Leukosit 11200
Hematokrit : 32.5%
Trombosit 462000
MCV/MCH/MCHC : 78.5/25.4/32.3
PT/APTT/INR : 11.0/27.4/1.02
UrCr : 166/11.17
Hb : 11.0
Leukosit : 11700
Ht : 35.1
55
Trombosit : 469000
MCV/MCH/MCHC : 79.2/24.8/31.3
B/E/N/L/M : 0.8/1.7/72.8/20.2/4.5
UrCr : 169/10.25
Na/K/Cl : 137/4.5/109
Hb : 11.1
Leukosit 12200
Trombosit 509.000
MCV/MCH/MCHC : 76.4/25.5/33.3
PT/APTT/INR : 10.4/29.1/0.96
GDS : 133
HbA1C : 5.8
SGOT/SGPT : 15/11
UrCr : 151/8.44
Urinalisa
pH 5.5
Leukosit +1
Protein +2
Glukosa -
Ket -
Sedimen
56
Eritrosit 0.9/ul
Leukosit 15.4/ul
Bact 31.8/ul
Hb : 12.9
Leukosit 15270
Trombosit 349000
Ht 41.5%
MCV/MCH/MCHC : 80.9/25.1/31.0
GDS 105.9
Ur Cr : 112/2.6
EKG
Swab Ag : Negatif
Ren Dextra/Sinistra :
batu/ectasis/kista/massa
Kesimpulan :
Cholelithiasis uk 9 mm
57
Acut renal disease bilateral (uk ren dx 98 mm ren sn uk 97
mm)
Daftar Masalah
Berdasarkan data-data diatas, didapatkan daftar masalah
DAFTAR MASALAH
No Masalah Data Pendukung
1 1. CKD st 5 newly diagnosed S: Pasien rujukan poli Nefrologi dengan
diagnosis CKD st newly + HT gr II + DM
1.1 HTN
tipe 2. Pasien mengeluh bengkak pada kedua
1.2 DKD
kaki sejak 1 minggu. Tiap BAK volume
sekitar 200 cc, minum sekitar 1500 cc/hr.
Pasien kontrol 1 bulan lalu dan diketahui
gagal ginjal dan disarankan cuci darah dan
dirujuk. Pasien belum pernah cuci darah.
O:
Kepala : konjungtiva pucat (-) oedem
palpebra (+) sklera ikterik (-)
Ekstremitas : edema tungkai (+/+) akral
dingin (-/-)
Lab
Hasil Lab. 15/11/22
UrCr : 166/11.17
Hasil Lab. 9/11/22
UrCr : 169/10.25
Hasil Lab. 30/10/22
UrCr : 151/8.44
58
Hasil Lab. 13/10/22 RS. Borneo
UrCr : 112/2.6
2 2. Mild Anemia MH dt anemia S: -
O:
renal
Laboratorium RSUD Ulin
Hasil Lab. 15/11/22
Hb : 10.5
Hasil Lab. 9/11/22
Hb : 11.0
Hasil Lab. 30/10/22
Hb : 11.1
3. 3. Hipertensi On treatment S: Pasien menderita Hipertensi 6 bulan
terakhir konsumsi rutin Amloidipin 10 mg
O:
TD : 180/110 mmHg
Ren Dextra/Sinistra :
Kesimpulan :
Cholelithiasis uk 9 mm
59
ren sn uk 97 mm)
Rencana Awal
No Masalah Rencana Rencana Rencana monitoring Rencana edukasi
diagnosis terapi
1. 1. CKD st 5 newly USG renal Non • Monitoring keluhan • Edukasi pasien
Farmakologi : • Monitoring balance keluarga tentan
diagnosed
- Diet Rendah cairan penyakit pasien
1.1 HTN
garam • Monitoring kadar ureum komplikasi,targ
1.2 DKD <2gram/hari dan kreatinin tatalaksana.
-Monitoring • Monitoring serum • KIE pasien dan
Urin Output elektrolit keluarga tentan
- balance • Monitoring urinalisis kondisi pasien y
cairan memerlukan die
- Diet Renal garam, dan prot
• KIE pasien dan
1600 kkal/hr
keluarga untuk
-Diet protein
membatasi kon
0.8 • KIE pasien dan
keluarga untuk
g/KgBB/hr
memperhatikan
-Diet RG < 5
minum, infus y
g/hr masuk, dan jum
kencing yang k
- Konsul
setiap harinya
divisi
nefrologi
untuk jadwal
HD
selanjutnya
60
Farmakologi :
- inj
furosemid
1x40mg
- Po Asam
folat 1x5mg
- CaCO3
3x500 mg
2. 2. Mild Anemia MH Morfologi Non Monitoring darah rutin • KIE pasien dan
darah tepi Farmakologi : keluarga meng
dt anemia renal
- profil - penyakit pasien
iron Farmakologi : komplikasi, dan
- SF 2x1 tab penatalaksanaan
-Amlodipin
1x10 mg
61
Lengkap Farmakologi : Monitoring darah rutin keluarga tentan
-USG -Diet rendah penyakit pasien
Abdomen lemak komplikasi targ
-Profil Farmakologi : tatalaksana.
Lipid
62
UO:300cc
BC:+495cc/24jam
GDS:92mg/dl
Assessment
1. CKD st 5 newly
1. CKD st 5 newly
diagnosed
diagnosed
1.1 HTN
1.1 HTN
1.2 DKD
1.2 DKD
2. Mild Anemia MH dt
2. Mild Anemia MH dt
anemia renal
anemia renal
3. Hipertensi On
3. Hipertensi On treatment
treatment
4. DM tipe 2
4. DM tipe 2
normoglikaemia state
normoglikaemia state
5. Kolelitiasis
5. Kolelitiasis
Planning
Venflon Venflon
jam jam
63
Diet Renal 1600 kkal/hr Diet Renal 1600 kkal/hr
64
Ekstremitas inferior D/S 5/5 5/5
UO:650cc UO:300cc
GDS:89mg/dl BC:+495cc/24jam
GDS:92mg/dl
Assessment
1. CKD st 5 newly 1. CKD st 5 newly
diagnosed diagnosed
3. Hipertensi On 3. Hipertensi On
treatment treatment
4. DM tipe 2 4. DM tipe 2
5. Kolelitiasis 5. Kolelitiasis
Planning
Venflon Venflon
jam jam
65
Diet Renal 1600 kkal/hr Diet Renal 1600 kkal/hr
g/KgBB/hr g/KgBB/hr
66
Motorik:
Ekstremitas superior D/S 5/5 5/5
UO:650cc UO:600cc
GDS:89mg/dl BC:-485cc/24jam
GDS:90mg/dl
Assessment
1. CKD st 5 newly 1. CKD st 5 newly
diagnosed diagnosed
3.Hipertensi On 3.Hipertensi On
treatment treatment
5. Kolelitiasis 5. Kolelitiasis
Planning
Plan dari Poli HD hari ini
Pro HD inisiasi
Ventflon
Inj. Furosemid 20 mg / 12
67
jam jam
Venflon
Foto Thorax
HD inisiasi
Monitor UO dan BC
68
vesikuler / suara tambahan
Jantung: S1S2 tunggal/suara +/-
bising jantung
Abdomen: +/+/-/-
Distensi/ BU/Nyeri
tekan/shifting dullness
Extremitas: +/+
Akral hangat
Edema -/-
+/+(min)
Motorik:
Ekstremitas superior D/S 5/5
UO:500cc
BC:-285cc/24jam
1. CKD st 5 newly
diagnosed
1.1 HTN
1.2 DKD
2. Mild Anemia MH
dt anemia renal
3. Hipertensi On
treatment
4. DM tipe 2
69
normoglikaemia state
5. Kolelitiasis
Pro dosisHD 2 x
seminggu
Ventflon
Inj. Furosemid 20 mg /
12 jam
Candesartan 1x16 mg
Amloidipin 1x10 mg
CaCO3 3x500 mg
g/KgBB/hr
BAB IV
PEMBAHASAN
70
Berdasarkan anamnesis didapatkan bahwa pasien atas nama Ny. N, usia 52
tahun datang ke RSUD Ulin dengan Pasien mengeluhkan edem pada kaki.
Keluhan sesak nafas (-) DOE (+) orthopneu (-) PND (-). Keluhan mual (-)
muntah (-) penurunan nafsu makan (-) penurunan BB (-). BAK berkurang (-)
frekuensi 4-5 kali, tiap BAK volume sekitar 200 cc, minum sekitar 1500 cc/hr.
BAB lancar tidak keluhan, riwayat BAB hitam (-). Pasien kontrol 1 bulan lalu dan
diketahui gagal ginjal dan disarankan cuci darah dan dirujuk. Pasien belum pernah
edem di kedua kaki, saat dilakukan palpasi pada kaki yang edem didapatkan
pitting edem.
GDS : 133 HbA1C : 5.81 UrCr : 151/8.44 Na/K/Cl : 140/ 5.3 / 109. Urinalisa pH
5.5. Hasil Lab. 13/10/22 RS. Borneo Hb : 12.9 Leukosit 15270 Trombosit 349000
71
Kesimpulan :Cholelithiasis uk 9 mm Acut renal disease bilateral (uk ren dx 98
Pasien ini didiagnosis dengan CKD karena pada anamnesis sesuai dengan
keluhan edem pada kaki 1 minggu SMRS. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
kreatinin 11,17 mg/dl. Pada adanya edema terutama pada kedua tungkai yang
bersifat pitting. Hal tersebut menandakan bahwa terdapat edema pada seluruh
tubuh pasien, yang mengarahkan pada beberapa kelainan, seperti kelainan organ
jantung, hepar dan ginjal. Kelainan organ jantung dapat disingkirkan pada pasien
ini karena pasien tidak memiliki riwayat sesak napas yang dirasakan pada saaat
aktivitas maupun istirahat. Serta tidak terdapat gejala sesak pada malam hari,
framingham pada pasien ini pun juga tidak memenuhi. Selain itu dari pemeriksaan
14
fisik juga tidak didapatkan adanya peningkatan JVP, maupun gallop S3.
Kelainan organ hepar juga dapat disingkirkan karena dari pemeriksan tidak
didapatkan adanya asites, ikteri ataupun stigmata sirosis seperti eritema palmar,
maupun perubahan pola tidur. Keluhan edema pada pasien ini mengarahkan pada
penyakit ginjal. Pasien kontrol 1 bulan lalu dan diketahui gagal ginjal dan
disarankan cuci darah dan dirujuk. Pasien belum pernah cuci darah. Pasien
72
3x500 mg dan glibenklamid 1x1 tab (pagi hari). Hal ini dapat mengarahkan
penyebab dari bengkak pada ekstrimitas yaitu CKD. Klasifikasi CKD pada pasien
ini, yaitu stadium CKD grade 5 berdasarkan hasil GFR (3,29 ml/menit/1,73mm2.
Proses ini diawali oleh kondisi hiperglikemia yang dapat menyebabkan terjadinya
glikasi non enzimatik asam amino dan protein. Terjadi reaksi antara glukosa
Products). Proses pembentukan AGEs dan ROS (reactive oxygen species) akan
juga mengarahkan kita pada gejala anemia. Pada pasien ditemukan dan hasil
Pada pasien diberikan terapi non medikamentosa yaitu tirah baring, diet
renal 1600 kkal/hr, pembatasan protein 0,8 g/kgbb per hari, diet rendah garam 2-3
1x16 mg, CaCO3 3x500 mg . Tatalaksana ini sesuai dengan teori pada pasien
edema dengan CKD stage 5, dimana CKD tersebut disebabkan oleh diabetes
nefropati yaitu kontrol gula darah, kontrol tekanan darah gula darah, menurunkan
73
hipertensi intraglomerular dan proteinuria, dan restriksi asupan protein. Selain itu,
ACE-inhibitor atau ARB. Pada pasien ini, diberikan obat ARB, berupa
Pasien ini memiliki CKD stage 5 disertai edema. Sehingga untuk kasus
mengurangi edema perifer diberikan furosemid inj/12 jam yang berfungsi untuk
mengurangi edema sebagai loop diuretik. Pada pasien ini, dilakukan restriksi
dilakukan pula restriksi garam sebesar <5 g/hari pada pasien sebagai bagian dari
tatalaksana terhadap gagal ginjal yang dialaminya dan mengurangi cairan tubuh.
Pada kasus ini dengan CKD grade V dengan GFR <15 diperlukan terapi
terapi pengganti ginjal. Pada pasien diberikan asam folat, penggunaan asam folat
pada gagal ginjal kronik sesuai dengan teori dimana asam folat berfungsi sebagai
bahan pembentuk sel darah merah. Selain itu pada gagal ginjal kronik akan terjadi
metabolik yang terjadi pada hampir seluruh pasien gagal ginjal karena kesulitan
dalam proses eliminasi buangan asam hasil dari metabolisme tubuh CaCO3 juga
pada pasien gagal ginjal terjadi akibat pelepasan fosfat dari dalam sel karena
74
kondisi asidosis dan uremik yang sering terjadi. CaCO3 bekerja dengan mengikat
Pada pasien juga ditemukan adanya kolestasis dari hasil pemeriksaan USG
dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan berlemak. Pada yang
atas atau perikondrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin
berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam
kemudian.
75
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Telah dilaporkan sebuah kasus seorang wanita Ny. N, usia 52 tahun dengan
Candesartan 1x16 mg, Amloidipin 1x10 mg, As. Folat 1x5 mg, CaCO3 3x500
mg, Diet Renal 1600 kkal/hr, Diet protein 0.8 g/KgBB/hr, Diet RG < 5 g/hr.
Pasien juga direncakan untuk hemodialysis rutin 2x/minggu di hari Senin dan
Kamis
76
DAFTAR PUSTAKA
1. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI; 2159-2165.
2. Eknoyan G, Lameire N, Kasiske BL, dkk. Official Journal of The
international Society Of Nephrology. KDIGO 2012 clinical practice
guideline for evaluation and management of CKD. 2013;3(1).
3. Indonesian Renal Registry (IRR). 7th Report Of Indonesian Renal
Registry.2014. Terdapat di: http://www.indonesianrenalregistry.org/
4. Hervinda S, Novadian N, Tjekyan RS. Prevalensi dan Faktor Risiko
Penyakit Ginjal Kronik di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
Tahun 2012. Majalah Kedokteran Sriwijaya. 2014 Oct 1;46(4):275-81.
5. Johnson CA, Levey AS, Coresh J. Clinical Practices Guidelines for
Chronic Kidney Disease in Adults. Carolina: American Family Physician;
2004. Hal 870-876.
6. Hidayah N. Pengembangan Model Struktural Kepatuhan Pembatasan
Asupan Cairan Pada Klien Penyakit Ginjal Kronik (Pgk) Yang Menjalani
Program Hemodialisis (Doctoral dissertation, Universitas Airlangga).
7. National Kidney Foundation. Diabetes and Chronic Kidney Disease Stage
5. New York. 2012. Terdapat di: www.kidney.org
8. Guideline American Diabetes Association. Standards of Medical Care in
Diabetes-2016:Abridged for Primary Care Providers. Clinical
Diabetes.2016
9. Wheeler DC. Clinical evaluation and management of chronic kidney
disease. Dalam: Feehaly J, Floege J, Johnson RJ, penyunting.
Comprehensice clinical nephrology. St. Loius: Elsevier Saunders; 2019
10. Kresnawan, T, Ferina. Penatalaksanaan Diet Pada Nefropati Diabetik.
Surabaya: Gizi Indonesia; 2004.
11. Shah A. Anemia. Indian J Med Sci 2014: b58:24-5.
12. Boediwarsono, Adi P, Soebandiri. Diagnosis dan pengobatan anemia
Surabaya: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Lab/UPF Ilmu Penyakit
Dalam FK UNAIR-RSUD Dr Sutomo; 1988
13. Albab AU. Karakteristik Pasien Kolelitiasis Di Rsup Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar Periode Januari-Desember 2012 (Doctoral
dissertation, Universitas Hasanuddin).
77
14. Rini S, Taruna A, Kurniawaty E. Laki Laki 58 Tahun Dengan Gagal
Ginjal Kronik Ec. Nefropathy Diabetik Dan Ulkus Diabetik. JPM (Jurnal
Pengabdian Masyakat) Ruwa Jurai. 2016 Oct 1;2(1):54-6.
15. Prasetya AN, Raka Karsana AA, Swastini DA. Kajian Interaksi Obat pada
Pengobatan Pasien Gagal Ginjal Kronis Hipertensi di Rsup Sanglah
Denpasar Tahun 2007. Jurnal Farmasi Udayana. 2012;1(1):279777.
78