Anda di halaman 1dari 83

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Ginjal Kronik / Chronic Kidney Disease


2.1.1 Definisi
Penyakit ginjal kronis adalah kelainan struktur atau fungsional ginjal,
yang berlangsung lebih dari 3 bulan dan diklasifikasian berdasarkan kausa,
kategori LFG, dan kategori albuminuria.1
2.1.2 Etiologi
Dua penyebab utama penyakit gagal ginjal kronis adalah diabetes melitus tipe
1 dan tipe 2 (44%) dan hipertensi (27%). Diabetes melitus adalah suatu
keadaan dimana terjadi peningkatan kadar glukosa dalam darah sehingga
menyebabkan kerusakan pada organ-organ vital tubuh seperti ginjal dan
jantung serta pembuluh darah, saraf dan mata. Sedangkan hipertensi
merupakan keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan darah yang jika tidak
terkontrol akan menyebabkan serangan jantung, stroke, dan penyakit ginjal
kronik. Gagal ginjal kronik juga dapat menyebabkan hipertensi. Kondisi lain
yang dapat menyebabkan gangguan pada ginjal antara lain :1
 Penyakit peradangan seperti glomerulonefritis (10%), dapat menyebabkan
inflamasi dan kerusakan pada unit filtrasi ginjal. Merupakan penyakit
ketiga tersering penyebab gagal ginjal kronik
 Penyakit keturunan seperti penyakit ginjal polikistik (3%) menyebabkan
pembesaran kista di ginjal dan merusak jaringan sekitar, dan asidosis
tubulus.
 Malformasi yang didapatkan oleh bayi pada saat berada di dalam rahim si
ibu. Contohnya, penyempitan aliran urin normal sehingga terjadi aliran
balik urin ke ginjal. Hal ini menyebabkan infeksi dan kerusakan pada
ginjal.
 Lupus dan penyakit lain yang memiliki efek pada sistem imun (2%)

3
 Penyakit ginjal obstruktif seperti batu saluran kemih, tumor, pembesaran
glandula prostat pada pria dan refluks ureter
 Infeksi traktus urinarius berulang kali seperti pielonefritis kronik.
Penggunaan analgesik seperti acetaminophen (Tylenol) dan ibuprofen
(Motrin, Advil) untuk waktu yang lama dapat menyebabkan neuropati
analgesik sehingga berakibat pada kerusakan ginjal
 Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis dan stenosis arteri
renalis
 Penyebab lainnya adalah infeksi HIV, penyakit sickle cell,
penyalahgunaan heroin, amyloidosis, gout, hiperparatiroidisme dan
kanker.
2.1.3 Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada
penyakityang mendasari, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang
terjadi kuranglebih sama. Pada gagal ginjal kronik terjadi pengurangan massa
ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih
tersisa. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis
nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan
fungsi nefron yang progresif. Perubahan fungsi neuron yang tersisa setelah
kerusakan ginjal menyebabkan pembentukan jaringan ikat, sedangkan nefron
yang masih utuh akan mengalami peningkatan beban eksresi sehingga terjadi
lingkaran setan hiperfiltrasi dan peningkatan aliran darah glomerulus.
Demikian seterusnya, keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang
berakhir dengan Gagal Ginjal Terminal (GGT) atau End Stage Renal Disease
(ESRD). Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron
intrarenal, hipertensi sistemik, nefrotoksindan hipoperfusi ginjal, proteinuria,
hiperlipidemia ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi,
sklerosis, dan progresifitas tersebut.2

4
2.1.4 Gejala Klinis
Pada gagal ginjal kronik, gejala–gejalanya berkembang secara
perlahan. Pada awalnya tidak ada gejala sama sekali, kelainan fungsi ginjal
hanya dapat diketahui dari pemeriksaan laboratorium. Sejalan dengan
berkembangnya penyakit, maka lama kelamaan akan terjadi peningkatan
kadar ureum darah semakin tinggi (uremia). Pada stadium ini, penderita
menunjukkan gejala – gejala fisik yang melibatkan kelainan berbagai organ
seperti :1
 Kelainan saluran cerna : nafsu makan menurun, mual, muntah dan fetor
uremik
 Kelainan kulit : urea frost dan gatal di kulit
 Kelainan neuromuskular : tungkai lemah, parastesi, kram otot, daya
konsentrasi menurun, insomnia, gelisah
 Kelainan kardiovaskular : hipertensi, sesak nafas, nyeri dada, edema
 Gangguan kelamin: libido menurun, nokturia, oligouria
2.1.5 Klasifikasi
Klasifikasi penyakit gagal ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu,
atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi: 2
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit
Derajat Penjelasan GFR (ml/mn/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau ≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan GFR ringan 60 – 89
3 Kerusakan ginjal dengan GFR sedang 30 – 59
4 Kerusakan ginjal dengan berat 15 – 29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Diagnosis Etiologi
Penyakit Tipe mayor (contoh)
Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes Penyakit glomerular

5
(penyakit autoimun, infeksi sistemik,
obat, neoplasia)
Penyakit vascular
(penyakit pembuluh darah besar,
hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstisial
(pielonefritis kronik, batu, obstruksi,
keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikstik)
Penyakit pada transplantasi Rejeki kronik
Keracunan obat (siklosporin /
takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplantasi glomerulopathy

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang


 Pemeriksaan Darah rutin, pemeriksaan ini untuk melihat nilai hemoglobin
dimana pada pasien dengan penyakit ginjal kronik kadar hemoglobin akan
menurun, hal ini disebabkan menurunnya hormon eritropoietin yang
berfungsi untuk merangsang pengeluaran sel darah merah oleh sumsun
tulang.3
 Pemeriksaan Fungsi Ginjal, pemeriksaan fungsi ginjal diliakukan untuk
melihat kadar ureum dan kreatinin, dimana kadar kreatinin digunakan
untuk menentukan stadium penyakit ginjal kronik dengan cara
memasukan nilai kreatinin kedalam rumus creatinin clearance atau laju
filtrasi glomelurus.3
 Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi :3
o Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio – opak
o Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya

6
pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami
kerusakan
o Pielografi antegrad atau retrograd sesuai indikasi
o Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal,
kista, massa, kalsifikasi
o Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi
2.1.7 Diagnosa Banding
1. CKD stage V
2. CKD stage IV
3. CKD stage III
4. CKD stage II
5. CKD stage I
2.1.8 Diagnosa
Kriteria diagnosis untuk penyakit ginjal kronik.4
Kriteria Kesan
Durasi> 3 bulan, berdasarkan riwayat Durasi dibutuhkan untuk
dokumentasi atau tindakan membedakan CKD dengan AKI.
Evaluasi secara klinis biasanya
dapat menunjukkan adanya
dokumentasi dari durasi
GFR <60 ml/min/1.73m2 GFR merupakan indeks terbaik
(GFR categories G3a-G5) untuk melihat fungsi dan
kelainan pada ginjal
 GFR normal untuk
dewasa muda sekitar 125
ml/min/1.73m2, GFR <
15 didefinisikan sebagai
gagal ginjal

7
 Penurunan GFR dapat
dilihat dari perhitungan
Serum Creatinin atau
Cystatin C, namun tidak
dengan Serum Creatinin
atau Cystatin C saja
 Penurunan GFR dapat
dikonfirmasi dengan
mengukur GFR,
jikadibutuhkan

8
Kerusakan Ginjal didefinisian sebagai Albuminuria merupakan tanda
abnormalitas struktural atau fungsional dari kerusakan ginjal (kenaikan
selain kelainan pada GFR permeabilitas glomerulus) AER
>30mg/24 jam kurang lebih
sama dengan ACR > 30mg/g
(>3mg/mmol)
 Normal ACR urine orang
dewasa sehat adalah<
10mg/g
Sedimen urin dapat menandakan
adanya kelainan ginjal
 Microhematuria dengan
adanya kelainan
morfologi sel darah
merah (anisositosis) pada
kelainan GBM
 Silinder sel darah merah
pada glomerulonephritis
poliferatif
 Silinder sel darah putih
pada pyelonephritis atau
interstisial nephritis
 Oval fat bodies atau
silinder lemak pada
penyakit dengan
proteinuria
 Silinder granular dan sel
tubulus ginjal pada
banyak penyakit

9
parenkim ginjal
Kelainan Tubulus Ginjal
 Renal tubular acidosis
 Nephrogenic diabetes
incipidus
 Fanconi syndrome
 Renal potassium wasting
 Renal sodium wasting
 Non-albumin proteinuria
 Cystinuria
Kelainan Patologis yang
dideteksi dengan pemeriksaan
histologi atau pemeriksaan
lainnya
 Penyakit glomerular
(diabetes, autoimun
disease, systemic
infections, drugs,
neoplasia)
 Penyakit vaskular
(atherosclerosis,
hypertension, ischemia,
vasculitis, thrombotic
microangiopathy)
 Penyakit tubule
interstitial(urinary tract
infections, stones,
obstruction, drugtoxicity)
 Cystic and congenital

10
diseases
Kelainan struktural yang
menandakan kerusakan ginjal
dengan pencitraan
 Polycystic kidney
 Dyplastic kidney
 Hydronephrosis karena
obstruksi
 Kerusakan kortikal yang
disebabkan oleh infarct,
pyelonephritis, atau
vesicourethral reflux
 Massa ginjal atau
pembesaran ginjal karena
penyakit infiltrative
 Renal artery stenosis
 Ginjal kecil dan
hipoechoic
Riwayat Transplantasi Ginjal

Stadium untuk penyakit ginjal kronik direkomendasikan untuk mengklasifikasikan


kategori GFR.4
Kategori GFR
Kategori GFR GFR (ml/min/1.73 m2) Kesan
G1 ≥ 90 Normal atau tinggi
G2 60-89 Sedikit menurun*
G3a 45–59 Penurunan sedikit sampai sedang

11
G3b 30–44 Penurunan sedang sampai berat
G4 15–29 Penurunan berat
G5 ≤15 Gagal Ginjal atau dialisis
*Relatif pada dewasa muda
Tanpa adanya bukti kerusakan ginjal, G1 dan G2 tidak memenuhi kriteria PGK

Rumus menghitung GFR

Pembagian CKD berdasarkan stadium dari tingkat penurunan GFR: 5


- Stadium 1: kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan GFR
yang masih normal ( > 90 ml/menit/1,73 m2)
- Stadium 2: Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan GFR antara (60-89
ml/menit/1,73m2)
- Stadium 3: kelainan ginjal dengan GFR antara (30-59 ml/menit/1,73m2)
- Stadium 4: kelainan ginjal dengan GFR antara (15-29 ml/menit/1,73m2)
- Stadium 5: kelainan ginjal dengan GFR (< 15mL/menit/1,73m2 atau gagal ginjal
terminal)
2.1.9 Penatalaksanaan
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)
3. Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
5. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
6. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal
Perencanaan tatalaksana (action plan). Penyakit ginjal kronik sesuai dengan
derajatnya, dapat dilihat pad tabel berikut:7
Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan Derajatnya
Derajat LFG (ml/mn/1,73m2) Rencana Tatalaksana
1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorboid,

12
evaluasi pemburukan (progression) fungsi
ginjal, memperkecil resiko kardiovaskular
2 60 – 89 Menghambat pemburukan (progression)
fungsi ginjal
3 30 – 59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15 – 29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 < 15 Terapi pengganti ginjal

Terapi non farmakologi:


A. Pembatasan protein:
- Pasien non dialisis 0,6 -0,75 gram /kg BB/hr sesuai CCT dan toleransi pasien
- Pasien hemodialisis 1-1,2 gram/kgBB ideal/hari
- Pasien hemodialisis 1-1,2 gram/kgBB ideal/hari
- Pasien peritoneal dialisis 1,3 gram/kgBB/hari
B. Pengaturan asupan kalori: 35 kkal/kgBB ideal/hari
C. Pengaturan asupan lemak: 30 -40% dari kalori total dan mengandung jumlah yang
sama antara asam lemak bebas jenuh dan tak jenuh
D. Pengaturan asupan KH: 50 -60% dari total kalori
E. Garam NaCl: 2 -3 gr/hari
F. Kalsium: 1400 - 1600 mg/hari
G. Besi: 10 -18 mg/hari
H. Magnesium: 200 – 300 mg/hari
I. Asam folat pasien HD: 5 mg
J. Air: jumlah urin 24 jam + 500 ml (insensible)
Terapi farmakologis:
A. Kontrol tekanan darah:
- Penghambat ACE atau antagonis reseptor angiotensin II evaluasi kreatinin dan
kalium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin > 35% atau timbul hiperkalemi
harus dihentikan.
- Penghambat kalsium

13
- Diuretik
B. Pada pasien DM, kontrol gula darah hindari pemakaian metformin dan obat –
obat sulfonil urea dengan masa kerja panjang.
C. Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20 – 22 mEq/l. Kontrol
dislipidemia dengan target LDL < 100 mg/dl, dianjurkan golongan satin.
2.1.10 Komplikasi
Gagal ginjal kronik dapat menyebabkan berbagai komplikasi sebagai berikut:5
1. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, katabolisme,
dan masukan diet berlebih.
2. Prikarditis, efusi perikardinal, dan tamponade jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiotensin aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan
peningkatan kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion
anorganik.
6. Uremia akibat peningkatan kadar ureum dalam tubuh.
7. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.
8. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
9. Hiperparatiroid, hiperkalemia, dan hiperfosfatemia.
2.1.11 Pencegahan
Pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai
dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya
pencegahan yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal
dan kardiovaskular adalah: 6
a. Pengobatan hipertensi yaitu makin rendah tekanan darah makin kecil
risiko penurunan fungsi ginjal.
b. Pengendalian gula darah, lemak darah, dan anemia.

14
c. Penghentian merokok.
d. Peningkatan aktivitas fisik.
e. Pengendalian berat badan.
f. Obat penghambat sistem renin angiotensin seperti penghambat ACE
(angiotensin converting enzyme) dan penyekat reseptor angiotensin telah
terbukti dapat mencegah dan menghambat proteinuria dan penurunan
fungsi ginjal.
2.1.12 Prognosis6
Prognosis gagal ginjal kronik pada usia lanjut kurang begitu baik jika
dibandingkan dengan prognosis gagal ginjal kronik pada usia muda.

Prognosis of CKD by GFR and albuminuris category

Persistent albuminuris categories


Description and range

A1 A2 A3

Prognosis of CKD by GFR


and Albuminuris Categories : Normal to
Moderately Severely
KDIGO 2012 midly
increased increased
increased

<30 mg/g 30-300 mg/g >300 mg/g


<3 mg/mmol 3-30 mg/mmol >30 mg/mmol
Description and range

Normal or
(ml/min/1.73 m2)

≥90
GFR categories

G1
high

Mildly
G2 60-89
decreased

15
Mildly to
G3a moderately 45-59
decreased
Moderately
G3b to severely 30-44
decreased

Severely
G4 15-29
decreased

Kidney
G5 <15
failure

Green: low risk (if no other markers of kidney diasease, no CKD); Yellow:
moderately increased risk;
Orange: high risk; Red, very high risk

Tabel yang terarsir dengan warna hijau memiliki kemungkinan yang lebih rendah
untuk jatuh menjadi kegagalan ginjal, sedangkan yang berwarna merah memiliki
resiko lebih tinggi untuk menjadi gagal ginjal.

2.1.13 Hemodialisa
1. Pengertian
Dialisa adalah suatu proses dimana solute dan air mengalami difusi
secara pasif melalui suatu membran berpori dari kompartemen cair menuju
kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa peritoneal merupakan dua
tehnik utama yang digunakan dalam dialisa. Prinsip dasar kedua teknik
tersebut sama yaitu difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisa sebagai
respon terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu.6
Sedangkan menurut Tisher dan Wilcox (1997) hemodialisa
didefinisikan sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati
membran semipermeabel (dializer) ke dalam dialisat. Dializer juga dapat

16
dipergunakan untuk memindahkan sebagian besar volume cairan. Pemindahan
ini dilakukan melalui ultrafiltrasi dimana tekanan hidrostatik menyebabkan
aliran yang besar dari air plasma (dengan perbandingan sedikit larutan)
melalui membran. Dengan memperbesar jalan masuk pada vaskuler,
antikoagulansi dan produksi dializer yang dapat dipercaya dan efisien,
hemodialisa telah menjadi metode yang dominan dalam pengobatan gagal
ginjal akut dan kronik di Amerika Serikat.7
Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter
khusus yang dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel) yang
digunakan untuk membersihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh penderita
dan beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh. Hemodialisa memerlukan jalan
masuk ke aliran darah, maka dibuat suatu hubungan buatan antara arteri dan
vena (fistula arteriovenosa) melalui pembedahan.6
2. Indikasi
Price dan Wilson (1995) menerangkan bahwa tidak ada petunjuk yang
jelas berdasarkan kadar kreatinin darah untuk menentukan kapan pengobatan
harus dimulai. Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan berdasarkan
kesehatan penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat
jalan. Pengobatan biasanya dimulai apabila penderita sudah tidak sanggup lagi
bekerja purna waktu, menderita neuropati perifer atau memperlihatkan gejala
klinis lainnya. Pengobatan biasanya juga dapat dimulai jika kadar kreatinin
serum diatas 6 mg/100 ml pada pria , 4 mg/100 ml pada wanita dan glomeluro
filtration rate (GFR) kurang dari 4 ml/menit. Penderita tidak boleh dibiarkan
terus menerus berbaring ditempat tidur atau sakit berat sampai kegiatan
sehari-hari tidak dilakukan lagi.6
Menurut konsensus Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI)
(2003) secara ideal semua pasien dengan Laju Filtrasi Goal (LFG) kurang dari
15 mL/menit, LFG kurang dari 10 mL/menit dengan gejala uremia/malnutrisi
dan LFG kurang dari 5 mL/menit walaupun tanpa gejala dapat menjalani
dialisis. Selain indikasi tersebut juga disebutkan adanya indikasi khusus yaitu

17
apabila terdapat komplikasi akut seperti oedem paru, hiperkalemia, asidosis
metabolik berulang, dan nefropatik diabetik.6
Kemudian Thiser dan Wilcox, menyebutkan bahwa hemodialisa
biasanya dimulai ketika bersihan kreatinin menurun dibawah 10 mL/menit, ini
sebanding dengan kadar kreatinin serum 8–10 mg/dL. Pasien yang terdapat
gejala-gejala uremia dan secara mental dapat membahayakan dirinya juga
dianjurkan dilakukan hemodialisa. Selanjutnya Thiser dan Wilcox (1997) juga
menyebutkan bahwa indikasi relatif dari hemodialisa adalah azotemia
simtomatis berupa ensefalopati, dan toksin yang dapat didialisis. Sedangkan
indikasi khusus adalah perikarditis uremia, hiperkalemia, kelebihan cairan
yang tidak responsif dengan diuretik (oedem pulmonum), dan asidosis yang
tidak dapat diatasi.7
3. Kontra Indikasi
Menurut Thiser dan Wilcox, kontra indikasi dari hemodialisa adalah
hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan
sindrom otak organik. Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi
dari hemodialisa adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada
hemodialisa, akses vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi.
Kontra indikasi hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer,
demensia multi infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan
ensefalopati dan keganasan lanjut.7
4. Tujuan
Tujuan dari pengobatan hemodialisa antara lain :5
1) Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-
sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme
yang lain.
2) Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang
seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
3) Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi
ginjal.

18
4) Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang
lain.
5. Proses Hemodialisa
Suatu mesin hemodialisa yang digunakan untuk tindakan hemodialisa
berfungsi mempersiapkan cairan dialisa (dialisat), mengalirkan dialisat dan
aliran darah melewati suatu membran semipermeabel, dan memantau
fungsinya termasuk dialisat dan sirkuit darah korporeal. Pemberian heparin
melengkapi antikoagulasi sistemik. Darah dan dialisat dialirkan pada sisi yang
berlawanan untuk memperoleh efisiensi maksimal dari pemindahan larutan.
Komposisi dialisat, karakteristik dan ukuran membran dalam alat dialisa, dan
kecepatan aliran darah dan larutan mempengaruhi pemindahan larutan.7
Dalam proses hemodialisa diperlukan suatu mesin hemodialisa dan
suatu saringan sebagai ginjal tiruan yang disebut dializer, yang digunakan
untuk menyaring dan membersihkan darah dari ureum, kreatinin dan zat-zat
sisa metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh. Untuk melaksanakan
hemodialisa diperlukan akses vaskuler sebagai tempat suplai dari darah yang
akan masuk ke dalam mesin hemodialisa.5
Suatu mesin ginjal buatan atau hemodializer terdiri dari membran
semipermeabel yang terdiri dari dua bagian, bagian untuk darah dan bagian
lain untuk dialisat. Darah mengalir dari arah yang berlawanan dengan arah
dialisat ataupun dalam arah yang sama dengan arah aliran darah. Dializer
merupakan sebuah hollow fiber atau capillary dializer yang terdiri dari ribuan
serabut kapiler halus yang tersusun pararel. Darah mengalir melalui bagian
tengah tabung-tabung kecil ini, dan dialisat membasahi bagian luarnya.5
Dializer ini sangat kecil dan kompak karena memiliki permukaan yang
luas akibat adanya banyak tabung kapiler (Price & Wilson, 1995).
Menurut Corwin (2000) hemodialisa adalah dialisa yang dilakukan di luar
tubuh. Selama hemodialisa darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah
kateter masuk ke dalam sebuah mesin yang dihubungkan dengan sebuah
membran semipermeabel (dializer) yang terdiri dari dua ruangan. Satu

19
ruangan dialirkan darah dan ruangan yang lain dialirkan dialisat, sehingga
keduanya terjadi difusi. Setelah darah selesai dilakukan pembersihan oleh
dializer darah dikembalikan ke dalam tubuh melalui arterio venosa shunt
(AV-shunt).5
Selanjutnya Price dan Wilson juga menyebutkan bahwa suatu sistem
dialisa terdiri dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satu lagi untuk dialisat.
Darah mengalir dari pasien melalui tabung plastik (jalur arteri/blood line),
melalui dializer hollow fiber dan kembali ke pasien melalui jalur vena.
Dialisat membentuk saluran kedua. Air kran difiltrasi dan dihangatkan sampai
sesuai dengan suhu tubuh, kemudian dicampur dengan konsentrat dengan
perantaraan pompa pengatur, sehingga terbentuk dialisat atau bak cairan
dialisa. Dialisat kemudian dimasukan ke dalam dializer, dimana cairan akan
mengalir di luar serabut berongga sebelum keluar melalui drainase.
Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi sepanjang membran
semipermeabel dari hemodializer melalui proses difusi, osmosis, dan
ultrafiltrasi.6
Kemudian menurut Price dan Wilson, komposisi dialisat diatur
sedemikian rupa sehingga mendekati komposisi ion darah normal, dan sedikit
dimodifikasi agar dapat memperbaiki gangguan cairan dan elektrolit yang
sering menyertai gagal ginjal. Unsur-unsur yang umum terdiri dari Na+, K+,
Ca++, Mg++, Cl- , asetat dan glukosa. Urea, kreatinin, asam urat dan fosfat
dapat berdifusi dengan mudah dari darah ke dalam dialisat karena unsur-unsur
ini tidak terdapat dalam dialisat. Natrium asetat yang lebih tinggi
konsentrasinya dalam dialisat, akan berdifusi ke dalam darah. Tujuan
menambahkan asetat adalah untuk mengoreksi asidosis penderita uremia.
Asetat dimetabolisme oleh tubuh pasien menjadi bikarbonat. Glukosa dalam
konsentrasi yang rendah ditambahkan ke dalam dialisat untuk mencegah
difusi glukosa ke dalam dialisat yang dapat menyebabkan kehilangan kalori
dan hipoglikemia. Pada hemodialisa tidak dibutuhkan glukosa dalam
konsentrasi yang tinggi, karena pembuangan cairan dapat dicapai dengan

20
membuat perbedaan tekanan hidrostatik antara darah dengan dialisat.
Ultrafiltrasi terutama dicapai dengan membuat perbedaan tekanan hidrostatik
antara darah dengan dialisat. Perbedaaan tekanan hidrostatik dapat dicapai
dengan meningkatkan tekanan positif di dalam kompartemen darah dializer
yaitu dengan meningkatkan resistensi terhadap aliran vena, atau dengan
menimbulkan efek vakum dalam ruang dialisat dengan memainkan pengatur
tekanan negatif. Perbedaaan tekanan hidrostatik diantara membran dialisa
juga meningkatkan kecepatan difusi solut. Sirkuit darah pada sistem dialisa
dilengkapi dengan larutan garam atau NaCl 0,9 %, sebelum dihubungkan
dengan sirkulasi penderita. Tekanan darah pasien mungkin cukup untuk
mengalirkan darah melalui sirkuit ekstrakorporeal (di luar tubuh), atau
mungkin juga memerlukan pompa darah untuk membantu aliran dengan quick
blood (QB) (sekitar 200 sampai 400 ml/menit) merupakan aliran kecepatan
yang baik. Heparin secara terus-menerus dimasukkan pada jalur arteri melalui
infus lambat untuk mencegah pembekuan darah. Perangkap bekuan darah atau
gelembung udara dalam jalur vena akan menghalangi udara atau bekuan darah
kembali ke dalam aliran darah pasien. Untuk menjamin keamanan pasien,
maka hemodializer modern dilengkapi dengan monitor-monitor yang
memiliki alarm untuk berbagai parameter.6
Menurut PERNEFRI, waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan
dengan kebutuhan individu. Tiap hemodialisa dilakukan 4–5 jam dengan
frekuensi 2 kali seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan 10–15
jam/minggu dengan QB 200–300 mL/menit. Sedangkan menurut Corwin
(2000) hemodialisa memerlukan waktu 3–5 jam dan dilakukan 3 kali
seminggu. Pada akhir interval 2–3 hari diantara hemodialisa, keseimbangan
garam, air, dan pH sudah tidak normal lagi. Hemodialisa ikut berperan
menyebabkan anemia karena sebagian sel darah merah rusak dalam proses
hemodialisa.6
Price dan Wilson, menjelaskan bahwa dialisat pada suhu tubuh akan
meningkatkan kecepatan difusi, tetapi suhu yang terlalu tinggi menyebabkan

21
hemolisis sel-sel darah merah sehingga dapat menyebabkan pasien meninggal.
Robekan pada membran dializer yang mengakibatkan kebocoran kecil atau
masif dapat dideteksi oleh fotosel pada aliran keluar dialisat. Hemodialisa
rumatan biasanya dilakukan tiga kali seminggu, dan lama pengobatan berkisar
dari 4 sampai 6 jam, tergantung dari jenis sistem dialisa yang digunakan dan
keadaan pasien.6
6. Komplikasi Hemodialisa
Selama tindakan hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi,
antara lain :7
1) Kram otot
Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya
hemodialisa sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram otot
seringkali terjadi pada ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat dengan
volume yang tinggi.
2) Hipotensi
Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat,
rendahnya dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati
otonomik, dan kelebihan tambahan berat cairan.
3) Aritmia
Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa,
penurunan kalsium, magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang cepat
berpengaruh terhadap aritmia pada pasien hemodialisa.
4) Sindrom ketidakseimbangan dialisa
Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat
diakibatkan dari osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang
kurang cepat dibandingkan dari darah, yang mengakibatkan suatu gradien
osmotik diantara kompartemen-kompartemen ini. Gradien osmotik ini
menyebabkan perpindahan air ke dalam otak yang menyebabkan oedem
serebri. Sindrom ini tidak lazim dan biasanya terjadi pada pasien yang
menjalani hemodialisa pertama dengan azotemia berat

22
5) Hipoksemia
Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu
dimonitor pada pasien yang mengalami gangguan fungsi kardiopulmonar.
6) Perdarahan
Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat
dinilai dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin selama
hemodialisa juga merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan.
7) Ganguan pencernaan
Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang
disebabkan karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan sering disertai
dengan sakit kepala. Infeksi atau peradangan bisa terjadi pada akses
vaskuler.
8) Pembekuan darah bisa disebabkan karena dosis pemberian heparin yang
tidak adekuat ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.

2.1.14 Urinalisis13,14
Urin atau air seni atau air kencing adalah cairan sisa yang
diekskresikan oleh ginjal yang kemudian akan dikeluarkan dari dalam tubuh
melalui proses urinasi. Eksreksi urin diperlukan untuk membuang molekul-
molekul sisa dalam darah yang disaring oleh ginjal dan untuk menjaga
homeostasis cairan tubuh. Namun, ada juga beberapa spesies yang
menggunakan urin sebagai sarana komunikasi olfaktori. Urin disaring di
dalam ginjal, dibawa melalui ureter menuju kandung kemih, akhirnya dibuang
keluar tubuh melalui uretra.
Urin terdiri dari air dengan bahan terlarut berupa sisa metabolisme
(seperti urea), garam terlarut, dan materi organik. Cairan dan materi
pembentuk urin berasal dari darah atau cairan interstisial. Komposisi urin
berubah sepanjang proses reabsorpsi ketika molekul yang penting bagi tubuh,
misal glukosa, diserap kembali ke dalam tubuh melalui molekul pembawa.
Cairan yang tersisa mengandung urea dalam kadar yang tinggi dan berbagai

23
senyawa yang berlebih atau berpotensi racun yang akan dibuang keluar tubuh.
Materi yang terkandung di dalam urin dapat diketahui melalui urinalisis. Urea
yang dikandung oleh urin dapat menjadi sumber nitrogen yang baik untuk
tumbuhan dan dapat digunakan untuk mempercepat pembentukan kompos.
Diabetes adalah suatu penyakit yang dapat dideteksi melalui urin. Urin
seorang penderita diabetes akan mengandung gula yang tidak akan ditemukan
dalam urin orang yang sehat.
Fungsi utama urin adalah untuk membuang zat sisa seperti racun atau
obat-obatan dari dalam tubuh. Anggapan umum menganggap urin sebagai zat
yang "kotor". Hal ini berkaitan dengan kemungkinan urin tersebut berasal dari
ginjal atau saluran kencing yang terinfeksi, sehingga urinnya pun akan
mengandung bakteri. Namun jika urin berasal dari ginjal dan saluran kencing
yang sehat, secara medis urin sebenarnya cukup steril dan hampir bau yang
dihasilkan berasal dari urea. Sehingga bisa diakatakan bahwa urin itu
merupakan zat yang steril. Urin dapat menjadi penunjuk dehidrasi. Orang
yang tidak menderita dehidrasi akan mengeluarkan urin yang bening seperti
air. Penderita dehidrasi akan mengeluarkan urin berwarna kuning pekat atau
cokelat.
Urinalisis adalah tes yang dilakukan pada sampel urin pasien untuk
tujuan diagnosis infeksi saluran kemih, batu ginjal, skrining dan evaluasi
berbagai jenis penyakit ginjal, memantau perkembangan penyakit seperti
diabetes melitus dan tekanan darah tinggi (hipertensi), dan skrining terhadap
status kesehatan umum.
A. Spesimen14
Urinalisis yang akurat dipengaruhi oleh spesimen yang berkualitas.
Sekresi vagina, perineum dan uretra pada wanita, dan kontaminan uretra pada
pria dapat mengurangi mutu temuan laboratorium. Mukus, protein, sel, epitel,
dan mikroorganisme masuk ke dalam sistem urine dari uretra dan jaringan
sekitarnya. Oleh karena itu pasien perlu diberitahu agar membuang beberapa
millimeter pertama urine sebelum mulai menampung urine. Pasien perlu

24
membersihkan daerah genital sebelum berkemih. Wanita yang sedang haid
harus memasukkan tampon yang bersih sebelum menampung specimen.
Kadang-kadang diperlukan kateterisasi untuk memperoleh spesimen yang
tidak tercemar.
Meskipun urine yang diambil secara acak (random) atau urine sewaktu
cukup bagus untuk pemeriksaan, namun urine pertama pagi hari adalah yang
paling bagus. Urine satu malam mencerminkan periode tanpa asupan cairan
yang lama, sehingga unsure-unsur yang terbentuk mengalami pemekatan.
Gunakan wadah yang bersih untuk menampung spesimen urin. Hindari sinar
matahari langsung pada waktu menangani spesimen urin. Jangan gunakan urin
yang mengandung antiseptik.
Lakukan pemeriksaan dalam waktu satu jam setelah buang air kecil.
Penundaan pemeriksaan terhadap spesimen urine harus dihindari karena dapat
mengurangi validitas hasil. Analisis harus dilakukan selambat-lambatnya 4
jam setelah pengambilan spesimen. Dampak dari penundaan pemeriksan
antara lain : unsur-unsur berbentuk dalam sedimen mulai mengalami
kerusakan dalam 2 jam, urat dan fosfat yang semula larut dapat mengendap
sehingga mengaburkan pemeriksaan mikroskopik elemen lain, bilirubin dan
urobilinogen dapat mengalami oksidasi bila terpajan sinar matahari, bakteri
berkembangbiak dan dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan mikrobiologik
dan pH, glukosa mungkin turun, dan badan keton, jika ada, akan menguap.

B. Pemeriksaan Makroskopik, Mikroskopik Dan Kimia Urin14


Dikenal pemeriksaan urin rutin dan lengkap. Yang dimaksud dengan
pemeriksaan urin rutin adalah pemeriksaan makroskopik, mikroskopik dan
kimia urin yang meliputi pemeriksaan protein dan glukosa. Sedangkan yang
dimaksud dengan pemeriksaan urin lengkap adalah pemeriksaan urin rutin
yang dilengkapi dengan pemeriksaan benda keton, bilirubin, urobilinogen,
darah samar dan nitrit.

25
a. Pemeriksaan Makroskopik
Urinalisis dimulai dengan mengamati penampakan makroskopik : warna
dan kekeruhan. Urine normal yang baru dikeluarkan tampak jernih sampai sedikit
berkabut dan berwarna kuning oleh pigmen urokrom dan urobilin. Intensitas warna
sesuai dengan konsentrasi urine; urine encer hampir tidak berwarna, urine pekat
berwarna kuning tua atau sawo matang. Kekeruhan biasanya terjadi karena
kristalisasi atau pengendapan urat (dalam urine asam) atau fosfat (dalam urine
basa). Kekeruhan juga bisa disebabkan oleh bahan selular berlebihan atau protein
dalam urin.13
1. Volume urin
Banyak sekali faktor yang mempengaruhi volume urin seperti umur,
berat badan, jenis kelamin, makanan dan minuman, suhu badan, iklim dan
aktivitas orang yang bersangkutan. Rata-rata didaerah tropik volume urin
dalam 24 jam antara 800--1300 ml untuk orang dewasa. Bila didapatkan
volume urin selama 24 jam lebih dari 2000 ml maka keadaan itu disebut
poliuri.13
Poliuri ini mungkin terjadi pada keadaan fisiologik seperti pemasukan
cairan yang berlebihan, nervositas, minuman yang mempunyai efek diuretika.
Selain itu poliuri dapat pula disebabkan oleh perubahan patologik seperti
diabetes mellitus, diabetes insipidus, hipertensi, pengeluaran cairan dari
edema. Bila volume urin selama 24 jam 300--750 ml maka keadaan ini
dikatakan oliguri. 13,14
Keadaan ini mungkin didapat pada diarrhea, muntah -muntah, deman
edema, nefritis menahun. Anuri adalah suatu keadaan dimana jumlah urin
selama 24 jam kurang dari 300 ml. Hal ini mungkin dijumpai pada shock dan
kegagalan ginjal. Jumlah urin siang 12 jam dalam keadaan normal 2 sampai 4
kali lebih banyak dari urin malam 12 jam. Bila perbandingan tersebut terbalik
disebut nokturia, seperti didapat pada diabetes mellitus.14

26
2. Warna urin14
Kelainan pada warna, kejernihan, dan kekeruhan dapat
mengindikasikan kemungkinan adanya infeksi, dehidrasi, darah di urin
(hematuria), penyakit hati, kerusakan otot atau eritrosit dalam tubuh. Obat-
obatan tertentu juga dapat mengubah warna urin. Kencing berbusa sangat
mungkin mewakili jumlah besar protein dalam urin (proteinuria). Urin yang
baru di kemihkan berwarna jernih.
Beberapa keadaan yang menyebabkan warna urine adalah :
 Merah : Penyebab patologik : hemoglobin, mioglobin, porfobilinogen,
porfirin. Penyebab nonpatologik : banyak macam obat dan zat warna, bit,
rhubab (kelembak), senna.
 Oranye : Penyebab patologik : pigmen empedu. Penyebab nonpatologik : obat
untuk infeksi saliran kemih (piridium), obat lain termasuk fenotiazin.
 Kuning : Penyebab patologik : urine yang sangat pekat, bilirubin, urobilin.
Penyebab nonpatologik : wotel, fenasetin, cascara, nitrofurantoin.
 Hijau : Penyebab patologik : biliverdin, bakteri (terutama Pseudomonas).
Penyebab nonpatologik : preparat vitamin, obat psikoaktif, diuretik.
 Biru : tidak ada penyebab patologik. Pengaruh obat : diuretik, nitrofuran.
 Coklat : Penyebab patologik : hematin asam, mioglobin, pigmen empedu.
Pengaruh obat : levodopa, nitrofuran, beberapa obat sulfa.
 Hitam atau hitam kecoklatan : Penyebab patologik : melanin, asam
homogentisat, indikans, urobilinogen, methemoglobin. Pengaruh obat :
levodopa, cascara, kompleks besi, fenol.
 Seprti susu : Penyebab patologik : fosfat dan urat jumlah besar, getah prostat
protein yang membeku.
3. Bau urin13
Untuk menilai bau urin dipakai urin segar, yang perlu diperhatikan
adalah bau yang abnormal. Bau urin normal disebabkan oleh asam organik
yang mudah menguap. Bau yang berlainan dapat disebabkan oleh makanan
seperti jengkol, petai, obat-obatan seperti mentol, bau buah-buahan seperti

27
pada ketonuria. Bau amoniak disebabkan perombakan ureum oleh bakteri dan
biasanya terjadi pada urin yang dibiarkan tanpa pengawet. Adanya urin yang
berbau busuk dari semula dapat berasal dari perombakan protein dalam
saluran kemih umpamanya pada karsinoma saluran kemih.
b. Pemeriksaan Mikroskopik13
Yang dimaksud dengan pemeriksaan mikroskopik urin yaitu
pemeriksaan sedimen urin. Ini penting untuk mengetahui adanya kelainan
pada ginjal dan saluran kemih serta berat ringannya penyakit. Urin yang
dipakai ialah urin sewaktu yang segar atau urin yang dikumpulkan dengan
pengawet formalin. Pemeriksaan sedimen dilakukan dengan memakai lensa
objektif kecil (10X) yang dinamakan lapangan penglihatan kecil atau LPK.
Selain itu dipakai lensa objektif besar (40X) yang dinamakan lapangan
penglihatan besar atau LPB.
Jumlah unsur sedimen bermakna dilaporkan secara semi kuantitatif,
yaitu jumlah rata-rata per LPK untuk silinder dan per LPB untuk eritrosit dan
leukosit. Unsur sedimen yang kurang bermakna seperti epitel atau kristal
cukup dilaporkan dengan + (ada), ++ (banyak) dan +++ (banyak sekali).
Lazimnya unsur sedimen dibagi atas dua golongan yaitu unsur organik dan
tak organik. Unsur organik berasal dari sesuatu organ atau jaringan antara lain
epitel, eritrosit, leukosit, silinder, potongan jaringan, sperma, bakteri, parasit
dan yang tak organik tidak berasal dari sesuatu organ atau jaringan seperti urat
amorf dan kristal.
1. pH urin
Filtrat glomerular plasma darah biasanya
diasamkan oleh tubulus ginjal dan saluran
pengumpul dari pH 7,4 menjadi sekitar 6 di final
urin. Namun, tergantung pada status asam-basa, pH
kemih dapat berkisar dari 4,5 – 8,0. pH bervariasi
sepanjang hari, dipengaruhi oleh konsumsi
makanan; bersifat basa setelah makan, lalu menurun dan menjadi kurang basa

28
menjelang makan berikutnya. Urine pagi hari (bangun tidur) adalah yang lebih asam.
Obat-obatan tertentu dan penyakit gangguan keseimbangan asam-basa juga dapat
mempengaruhi pH urine.
Urine yang diperiksa haruslah segar, sebab bila disimpan terlalu lama, maka
pH akan berubah menjadi basa. Urine basa dapat memberi hasil negatif atau tidak
memadai terhadap albuminuria dan unsure-unsur mikroskopik sedimen urine, seperti
eritrosit, silinder yang akan mengalami lisis. pH urine yang basa sepanjang hari
kemungkinan oleh adanya infeksi. Urine dengan pH yang selalu asam dapat
menyebabkan terjadinya batu asam urat.
Berikut ini adalah keadaan-keadaan yang dapat mempengaruhi pH urine :
 pH basa : setelah makan, vegetarian, alkalosis sistemik, infeksi saluran kemih
(Proteus atau Pseudomonas menguraikan urea menjadi CO2 dan ammonia),
terapi alkalinisasi, asidosis tubulus ginjal, spesimen basi.
 pH asam : ketosis (diabetes, kelaparan, penyakit demam pada anak), asidosis
sistemik (kecuali pada gangguan fungsi tubulus, asidosis respiratorik atau
metabolic memicu pengasaman urine dan meningkatkan ekskresi NH4+),
terapi pengasaman.

2. Pemeriksaan glukosa14
Pemeriksaan glukosa dalam urin dapat dilakukan dengan memakai
reagens pita. Selain itu penetapan glukosa dapat dilakukan dengan cara
reduksi ion cupri menjadi cupro. Dengan cara reduksi mungkin didapati hasil
positip palsu pada urin yang mengandung bahan reduktor selain glukosa
seperti : galaktosa, fruktosa, laktosa, pentosa, formalin, glukuronat dan obat-
obatan seperti streptomycin, salisilat, vitamin C. Cara enzimatik lebih sensitif
dibandingkan dengan cara reduksi. Cara enzimatik dapat mendeteksi kadar
glukosa urin sampai 100 mg/dl, sedangkan pada cara reduksi hanya sampai
250 mg/dl.
Juga cara ini lebih spesifik untuk glukosa, karena gula lain seperti
galaktosa, laktosa, fruktosa dan pentosa tidak bereaksi. Dengan cara enzimatik

29
mungkin didapatkan hasil negatip palsu pada urin yang mengandung kadar
vitamin C melebihi 75 mg/dl atau benda keton melebihi 40 mg/dl.
Pada orang normal tidak didapati glukosa dalam urin. Glukosuria
dapat terjadi karena peningkatan kadar glukosa dalam darah yang melebihi
kepasitas maksimum tubulus untuk mereabsorpsi glukosa seperti pada
diabetes mellitus, tirotoksikosis, sindroma Cushing, phaeochromocytoma,
peningkatan tekanan intrakranial atau karena ambang rangsang ginjal yang
menurun seperti pada renal glukosuria, kehamilan dan sindroma Fanconi.
3. Berat jenis urin
Pemeriksaan berat jenis urin dapat dilakukan dengan cara piknometer,
carik celup, dan urinometer. Yang lebih umum di gunakan adalah dengan
carik celup, namun pemeriksaan berat jenis urin dengan piknometer lebih
teliti. Tingginya berat jenis itu memberi kesan tentang pekatnya urin, jadi
bertalian dengan faal pemekat ginjal.
BJ urin 24 jam pada orang normal sekitar 1,016 – 1,022. Sedangkan
BJ urin sewaktu pada orang normal 1,003 – 1,030. Bila BJ urin sewaktu 1,025
atau lebih sedangkan reduksi urin dan protein negatif, hal ini menunjukan faal
pemekatan ginjal baik. Dan bila BJ urin lebih dari 1,030 kemungkinan
glukosuria.
Urin yang jumlahnya sedikit dapat
diencerkan dengan aquadest, sedangkan urin
yang sangat sedikit Bjnya dapat ditentukan
dengan alat refraktometer.

Gambar refraktometer
4. Pemeriksaan protein urin
Biasanya, hanya sebagian kecil protein plasma disaring di glomerulus
yang diserap oleh tubulus ginjal. Normal ekskresi protein urine biasanya tidak
melebihi 150 mg/24 jam atau 10 mg/dl dalam setiap satu spesimen. Lebih dari
10 mg/ml didefinisikan sebagai proteinuria.

30
Sejumlah kecil protein dapat dideteksi dari individu sehat karena
perubahan fisiologis. Selama olah raga, stres atau diet yang tidak seimbang
dengan daging dapat menyebabkan protein dalam jumlah yang signifikan
muncul dalam urin. Pra-menstruasi dan mandi air panas juga dapat
menyebabkan jumlah protein tinggi.
Protein terdiri atas fraksi albumin dan globulin. Peningkatan ekskresi
albumin merupakan petanda yang sensitif untuk penyakit ginjal kronik yang
disebabkan karena penyakit glomeruler, diabetes mellitus, dan hipertensi.
Sedangkan peningkatan ekskresi globulin dengan berat molekul rendah
merupakan petanda yang sensitif untuk beberapa tipe penyakit
tubulointerstitiel.
Dipsticks mendeteksi protein dengan indikator warna Bromphenol
biru, yang sensitif terhadap albumin tetapi kurang sensitif terhadap globulin,
protein Bence-Jones, dan mukoprotein.
Protein Bence Jones merupakan protein globulin monoclonal yang
dapat ditemui di dalam darah dan urin yang berukuran kecil dengan berat
molekul antara 22 hingga 24 kDa (kilo Dalton). Pada keadaan normal, protein
Bence Jones tidak ditemukan pada urin manusia. Jika protein Bence Jones
ditemukan pada urin seseorang, maka hal itu merupakan indikasi bahwa orang
tersebut menderita Multiple Myeloma yang dikenal juga dengan nama Plasma
Cell Myeloma atau Kahler’s disease. Multiple myeloma merupakan bentuk
kanker dari sel-sel plasma dimana sel-sel yang abnormal akan terakumulasi di
tulang sehingga menyebabkan terjadinya lesi atau luka pada tulang.
Adanya protein Bence Jones yang ditemukan pada urin digunakan
sebagai penegakan diagnosis awal atas seseorang yang menderita kegagalan
ginjal sebagai manifestasi dari penyakit Multiple Myeloma atau Kahler’s
disease. Ukurannya yang kecil membuat protein Bence Jones dapat lolos dari
proses penyaringan (filtrasi) yang terjadi di ginjal. Keadaan ditemukannya
protein di dalam urin disebut proteinuria. Kadar protein yang tinggi di dalam
urin atau adanya gejala-gejala yang mengarah pada keadaan multiple

31
myeloma merupakan dasar dilakukannya pengujian (tes kuantitatif) protein
Bence Jones.
Urine immunofixation adalah metode pengujian terbaik untuk
mendeteksi protein Bence Jones. Prinsipnya adalah mendeteksi melalui proses
pengendapan yang terjadi sebagai akibat dari terjadinya reaksi spesifik antara
Antigen (dalam hal ini adalah protein Bence Jones) dengan Antibodi.
Pengendapan dapat dilihat langsung dengan mata telanjang atau
mikroskop.14,13

32
2.2 Diabetes Melitus Tipe 2
2.2.1 Definisi
Diabetes melitus tipe 2 merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes
berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan
beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh
darah.7
2.2.2 Etiologi
Penyebab dari Diabetes Melitus tipe 2 yaitu dikarenakan oleh adanya
kelainan sekresi insulin yang progresif dan adanya resistensi insulin.7
2.2.3 Patogenesis
Pada DM tipe II (DM yang tidak tergantung insulin (NIDDM),
sebelumnya disebut dengan DM tipe dewasa) hingga saat ini merupakan
diabetes yang paling sering terjadi. Pada tipe ini, disposisi genetik juga
berperan penting. Namun terdapat defisiensi insulin relatif; pasien tidak
mutlak bergantung pada suplai insulin dariluar. Pelepasan insulin dapat
normal atau bahkan meningkat, tetapi organ target memiliki sensitifitas yang
berkurang terhadap insulin. Sebagian besar pasien DM tipe II memiliki berat
badan berlebih. Obesitas terjadi karena disposisi genetik, asupan makanan
yang terlalu banyak, dan aktifitas fisik yang terlalu sedikit. Ketidak
seimbangan antara suplai dan pengeluaran energi meningkatkan konsentrasi
asam lemak di dalam darah. Hal ini selanjutnya akan menurunkan
penggunaan glukosa di otot dan jaringan lemak. Akibatnya, terjadi resistensi
insulin yang memaksa untuk meningkatan pelepasan insulin. Akibat regulasi
menurun pada reseptor, resistensi insulin semakin meningkat. Obesitas
merupakan pemicu yang penting, namun bukan merupakan penyebab tunggal
diabetes tipe II. Penyebab yang lebih penting adalah adanya disposisi genetik
yang menurunkan sensitifitas insulin. Sering kali, pelepasan insulin selalu
tidak pernah normal. Beberapa gen telah diidentifikasi sebagai gen yang

33
menigkatkan terjadinya obesitas dan DM tipe II. Diantara beberapa faktor,
kelainan genetik pada protein yang memisahkan rangkaian dimitokondria
membatasi penggunaan substrat. Jika terdapat disposisi genetik yang kuat,
diabetes tipe II dapat terjadi pada usia muda. Penurunan sensitifitas insulin
terutama mempengaruhi efek insulin pada metabolisme glukosa, sedangkan
pengaruhnya pada metabolisme lemak dan protein dapat dipertahankan
dengan baik. Jadi, diabetes tipe II cenderung menyebabkan hiperglikemia
berat tanpa disertai gangguan metabolisme lemak.8
2.2.4 Gejala Klinis
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes.
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM
seperti di bawah ini:7
 Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
2.2.5 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium sangat diperlukan dalam mendiagnosis dan
memantau keberhasilan terapi penyakit diabetes Melitus tipe 2 ini, berikut
pemeriksaan laboratorium yang digunakan dalam mendiagnosis, memantau
keberhasilan terapi maupun evaluasi komplikasi yang ditimbulkan dari
diabetes melitus tipe 2 :7
 Kadar Glukosa darah puasa, 2 jam post prandial dan sewaktu di periksa
untuk mendiagnosis pasien yang sebelumnya memiliki gejala klinis
diabetes melitus tipe 2 yang khas.
 HbA1C, diperiksa untuk menentukan terapi DM tipe 2 dan melihat
keberhasilan terapi.
 Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, dan
trigliserida), diperiksa untuk mengetahui kemungkinan sindrom metabolik

34
lain seperti dislipdemia yang merupakan komorbid pada pasien pasien
DM tipe 2.
 Kreatinin serum di periksan untuk mengetahui fungsi ginjal, dimana dapat
terjadi komplikasi mikrovaskular pada pasien DM tipe 2 yaitu nefropati.
 Keton, sedimen, dan protein dalam urin
 Elektrokardiogram
 Foto sinar-x dada
2.2.6 Diagnosa Banding
Diagnosa banding dari diabetes melitus tipe 2 meliputi :7
 Diabetes Mellitus Tipe 2
 Diabetes Mellitus Tipe 1
 Diabetes Mellitus Insipidus
 Diabetes Tipe Lainnya
 Diabetes Gestasional
2.2.7 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna
penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.
Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena, ataupun kapiler tetap
dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik
yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan
pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer.9
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes.
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM
seperti di bawah ini:9
 Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

35
 Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal,mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:7
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu
>200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkandiagnosis DM
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan
klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g
glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa
plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri.
TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang
dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus. Apabila hasil pemeriksaan
tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada hasil yang
diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa
terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

Keterangan:
1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan
glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 –199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).
2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma
puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6– 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO
gula darah 2 jam < 140mg/dL.

Tabel 3. Kriteria diagnosis DM


1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL (11.2 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu
hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
Atau
2. Gejala klasik DM

36
+
Kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL (7.0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
Atau
3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dL (11.1 mmol/L)
TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75 g glukosaan hidrus yang dilarutkan kedalam air.
*Pemeriksaan HbA1c (≥6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah
satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah
terstandarisasi dengan baik.

Ada perbedaan antara uji diagnostik diabetes melitus dengan pemeriksaan


penyaring. Uji diagnostik diabetes melitus dilakukan pada mereka yang menunjukkan
gejala atau tanda diabetes melitus, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk
mengidentifikasikan mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko diabetes
melitus. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil
pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitif.8
Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien dengan Diabetes
melitus, toleransi glukosa terganggu (TGT) maupun glukosa darah puasa terganggu
(GDPT), sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan
GDPT juga disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara
menuju diabetes melitus. Kedua keadaan tersebut merupakan faktor risiko untuk
terjadinya diabetes melitus dan penyakit kardiovaskular di kemudian hari.8
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa
darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan
testoleransi glukosa oral (TTGO) standar.8

37
Tabel 4. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai standar penyaring
dan diagnosis diabetes melitus.
Diabetes Meilitus
Kadar glukosa darah ≥ 200
sewaktu (mg/dL)
Kadar glukosa darah ≥ 126
puasa (mg/dL)
Kadar glukosa darah ≥ 200
2 jam post prandial
(mg/dL)

Diperlukan anamnesis yang cermat serta pemeriksaan yang baik untuk


menentukan diagnosis diabetes melitus, toleransi glukosa terganggu dan glukosa
darah puasa terganggu. Berikut adalah langkah-langkah penegakkan diagnosis
diabetes melitus, TGT, dan GDPT.8
2.2.8 Penatalaksaan
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah
belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat
hipoglikemik oral (OHO) danatau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu,
OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai
indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya
ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, dan adanya
ketonuria, insulin dapat segera diberikan.8
1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan
perilaku telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang
diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat.
Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku
sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan

38
edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi.
Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tandadan gejala
hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien.
Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah
mendapat pelatihan khusus.8

2. Terapi Nutrisi Medis


Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari
penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah
keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi,
petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Setiap
penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan
kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan
pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk
masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori danzat gizi masing-masing individu. Pada penyandang
diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal
jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.8
A. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:8
Karbohidrat
 Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
 Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
 Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.
 Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat
makan sama dengan makanan keluarga yang lain
 Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
 Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak
melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake)

39
 Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam
sehari. Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau
makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
Lemak
 Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
 Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
 Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh
tunggal.
 Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung
lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu
penuh (whole milk).
 Anjuran konsumsi kolesterol < 200 mg/hari.
Protein
 Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi.
 Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dll), daging
tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-
kacangan, tahu, dan tempe.
 Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi
0,8 g/Kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65%
hendaknya bernilai biologik tinggi.
Natrium
 Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran
untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama
dengan 6-7 gram (1 sendok teh) garam dapur.
 Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg garam
dapur.
 Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan
pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.

40
Serat
 Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan
mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta
sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin,
mineral, serat, dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.
 Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari.
Pemanis alternatif
 Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak
berkalori. Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol dan fruktosa.
 Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan
xylitol.
 Dalam penggunaannya, pemanis berkalori perlu diperhitungkan
kandungan kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
 Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena
efek samping pada lemak darah.
 Pemanis tak berkalori yang masih dapat digunakan antara lain aspartam,
sakarin, acesulfame potassium, sukralose, dan neotame.
 Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted
Daily Intake / ADI).
B. Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan
kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal, ditambah atau
dikurangi bergantung pada beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur,
aktivitas, berat badan, dll.
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi
adalah sbb:8
 Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.

41
 Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150
cm, rumus dimodifikasi menjadi :
 Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
 BB Normal : BB ideal ± 10 %
 Kurus : < BBI - 10 %
 Gemuk : > BBI + 10 %
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).
Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus:

IMT = BB(kg)/
TB(m2)
Klasifikasi IMT
 BB Kurang < 18,5
 BB Normal 18,5-22,9
 BB Lebih ≥ 23,0
Keterangan:
o Dengan risiko 23,0-24,9
o Obes I 25,0-29,9
o ObesII > 30
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :8
1. Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori
wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/ kg BB.
2. Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk
dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk dekade antara 60 dan 69
tahun dan dikurangi 20%, di atas usia 70 tahun.

3. Aktivitas Fisik atau Pekerjaan


Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik.

42
Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan
istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas
sedang, dan 50% dengan aktivitas sangat berat.
4. Berat Badan
Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% tergantung kepada tingkat
kegemukan.Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan
untuk meningkatkan BB. Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori
yang diberikan paling sedikit 1000-1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200-
1600 kkal perhari untuk pria.
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas
dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore
(25%), serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya. Untuk
meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan sesuai
dengan kebiasaan. Untuk penyandang diabetes yang mengidap penyakit lain,
pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya.
3. Latihan jasmani
Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama
kurang lebih 30 menit, sifatnya sesuai CRIPE (Continuous, Rhithmical, Interval,
Progressive training). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-85 % denyut
nadi maksimal (220/umur), disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi
penyakit penyerta. Sebagai contoh olahraga ringan adalah berjalan kaki biasa
selama 30 menit, olahraga sedang adalah berjalan selama 20 menit dan olahraga
berat misalnya joging. (Sudaryono et.al 2006).
4. Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat).Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan
bentuk suntikan.2
1. Obat hipoglikemik oral
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid

43
B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformindan tiazolidindion
C. Penghambat glukoneogenesis (metformin)
D. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.
E. DPP-IV inhibitor
A. Pemicu Sekresi Insulin
1. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien
dengan berat badan normal dan kurang. Namun masih boleh diberikan
kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia
berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal
ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak
dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.

2. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase
pertama. Golongan ini terdiri dari 2macam obat yaitu Repaglinid (derivat
asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi
dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat
melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin
Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak.
Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan
jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa
diperifer. Tiazolidindion dikontra indikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas
I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal

44
hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal
hati secara berkala.
C. Penghambat glukoneogenesis
Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama
dipakaipada penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontra indikasikan pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta
pasien pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro-
vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping
mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah
makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian metformin secara titrasi pada
awal penggunaanakan memudahkan dokter untuk memantau efek samping obat
tersebut.
D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa diusus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak
menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering
ditemukan ialah kembung dan flatulens.
E. DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang
dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptidaini disekresi oleh sel mukosa usus bila
ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan
perangsang kuat pelepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi
glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim
dipeptidylpeptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak
aktif. Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upayayang ditujukan untuk
meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM tipe
2. Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang
menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberikan hormon

45
asli atau analognya (analog incretin=GLP-1 agonis). Berbagai obat yang masuk
golongan DPP-4 inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1 tetap
dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu merangsang pelepasan
insulin serta menghambat pelepasan glukagon.
2. Suntikan
A.Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
• Penurunan berat badan yang cepat
• Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
• Ketoasidosis diabetik
• Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
• Hiperglikemia dengan asidosis laktat
• Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
• Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
• Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
• Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
• Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Jenis dan lama kerja insulin
Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:
• Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
• Insulin kerja pendek (short acting insulin)
• Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
• Insulin kerja panjang (long acting insulin)
Sediaan Insulin Onset Of Peak Action Effective
Action (Puncakkerja) Duration
(Awalkerja) of Action
(Lama kerja)
Insulin prandial (meal-rolated)
Insulin short-acting

46
Regular (Actrapid", Humulin" R) 30 – 60 menit 30 – 90 menit 3 – 5 jam
Insulin analog rapid-acting
Insulin lispro (Humalog") 6 – 15 menit 30 – 90 menit 3 – 5 jam
Insulin glulicino (Apidra") 6 – 15 menit 30 – 90 menit 3 – 5 jam
Insulin aspart (NovoRapid") 6 – 15 menit 30 – 90 menit 3 – 5 jam

Insulin Intermediate-acting
NPH (Insulaterd", Humulin" N) 2 – 4 jam 4 – 10 jam 10 – 16 jam
Lenle" 3 – 4 jam 4 – 12 jam 12 – 18 jam

Insulin long-acting
Insulin glargine (Lantus") 2 – 4 jam No peak
Ultralento" 6 – 10 jam 8 – 10 jam
Insulin detemir (Levenir") 2 – 4 jam No peak

Insulin campuran

(short- dan intermediate-acting)

70%NPH/30%regular 30 – 60 menit Dual 10 – 16 jam


(Mixtard"; Humulin" 30/70)

70% insulin aspartprotamina/30% 10 – 20 menit Dual 15 – 18 jam


Insulin aspart (NovoMix"30)

75% insulin Espre protamine/25% 5 – 15 menit 1 – 2 jam 16 – 18 jam


insulin lepro injection
(Humalog"Mip25)
Keterangan :
*Belum tersedia di Indonesia
Nama dalam tanda kurung adalah nama dagang

Efek samping terapi insulin


• Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.

47
•Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.
B. Agonis GLP-1
Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru
untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1dapat bekerja sebagai perangsang penglepasan
insulinyang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang
biasanya terjadi pada pengobatan denganinsulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1
bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah
menghambat pelepasan glukagon yang diketahui berperan pada proses
glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti memperbaiki cadangan
sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa
sebah dan muntah.
3. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat
dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan
OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combination dalam bentuk tablet
tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai
mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat
pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi
OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana
insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO
dapat menjadi pilihan. Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak
dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah
atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur.
Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa
darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja
menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan
evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan

48
harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih
tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi insulin.

2.2.9 Komplikasi
1. Komplikasi Metabolik Akut
Komplikasi metabolik diabetes disebabkan oleh perubahan yang
relatif akut dari konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang
paling serius pada diabetes adalah:2
A. Ketoasidosis Diabetik (DKA).
Merupakan komplikasi metabolik yang paling serius pada DM . Hal
ini terjadi karena kadar insulin sangat menurun, dan pasien akan
mengalami hal berikut:
· Hiperglikemia
· Hiperketonemia
· Asidosis metabolik
Hiperglikemia dan glukosuria berat, penurunan lipogenesis,
peningkatan lipolisis dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai
pembentukan benda keton (asetoasetat, hidroksibutirat, dan aseton).
Peningkatan keton dalam plasma mengakibatkan ketosis. Peningkatan
produksi keton meningkatkan beban ion hidrogendan asidosis metabolik.
Glukosuria dan ketonuria yang jelas juga dapat mengakibatkan diuresis
osmotik dengan hasil akhir dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Pasien dapat
menjadi hipotensi dan mengalami syok. (Price et.al 2005).
Akhirnya, akibat penurunan penggunaan oksigen otak, pasien akan
mengalamikoma dan meninggal. Koma dan kematian akibat DKA saat ini
jarang terjadi, karena pasien maupun tenaga kesehatan telah menyadari
potensi bahaya komplikasi ini dan pengobatan DKA dapat dilakukan sedini
mungkin.

49
B. Hiperglikemia, Hiperosmolar, Koma Nonketotik (HHNK)
Komplikasi metabolik akut lain dari diabetes yang sering terjadi pada
penderita diabetes tipe 2 yang lebih tua. Bukan karena defisiensi insulin absolut,
namun relatif, hiperglikemia muncul tanpa ketosis. Ciri-ciri HHNK adalah sebagai
berikut:2
· Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum > 600 mg/dl.
· Dehidrasi berat
· Uremia
Pasien dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila keadaan ini tidak segera
ditangani. Angka mortalitas dapat tinggi hingga 50%. Perbedaan utama antara HHNK
dan DKA adalah pada HHNK tidak terdapat ketosis.
C. Hipoglikemia (reaksi insulin, syok insulin)
Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan
penurunan glukosa darah. Gejala ini dapat ringan berupa gelisah sampai berat berupa
koma dengan kejang. Penyebab tersering hipoglikemia adalah obat-obatan
hipoglikemik oral golongan sulfonilurea, khususnya glibenklamid. Hasil penelitian di
RSCM 1990-1991 yang dilakukan Karsono dkk, memperllihatkan kekerapan episode
hipoglikemia sebanyak 15,5 kasus pertahun, dengan wanita lebih besar daripada pria,
dan sebesar 65% berlatar belakang DM. meskipun hipoglikemia sering pula terjadi
pada pengobatan dengan insulin, tetapi biasanya ringan. Kejadian ini sering timbul
karena pasien tidak memperlihatkan atau belum mengetahui pengaruh beberapa
perubahan pada tubuhnya.2

Penyebab Hipoglikemia
1. Makan kurang dari aturan yang ditentukan
2. Berat badan turun
3. Sesudah olah raga
4. Sesudah melahirkan
5. Sembuh dari sakit
6. Makan obat yang mempunyai sifat serupa

50
Tanda hipoglikemia mulai timbul bila glukosa darah < 50 mg/dl, meskipun
reaksi hipoglikemia bisa didapatkan pada kadar glukosa darah yang lebih tinggi.
Tanda klinis dari hipoglikemia sangat bervariasi dan berbeda pada setiap orang.
(Soegondo, 2005).
Tanda-tanda Hipoglikemia
1) Stadium parasimpatik: lapar, mual, tekanan darah turun.
2) Stadium gangguan otak ringan: lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan menghitung
sederhana.
3) Stadium simpatik: keringat dingin pada muka terutama di hidung, bibir atau
tangan, berdebar-debar.
4) Stadium gangguan otak berat: koma dengan atau tanpa kejang. Keempat stadium
hipoglikemia ini dapat ditemukan pada pemakaian obat oral atau pun suntikan. Ada
beberapa catatan perbedaan antara keduanya:
1) Obat oral memberikan tanda hipoglikemia lebih berat.
2) Obat oral tidak dapat dipastikan waktu serangannya, sedangkan insulin bisa
diperkirakan pada puncak kerjanya, misalnya:
· Insulin reguler : 2-4 jam setelah suntikan
· Insulin NPH : 8-10 jam setelah suntikan
· P.Z.I : 18 jam setelah suntikan

2. Komplikasi Kronik Jangka Panjang


A. Mikrovaskular / Neuropati.2

–Retinopati, katarak : penurunan penglihatan

–Nefropati : gagal ginjal

– Neuropati perifer : hilang rasa, malas bergerak

– Neuropati autonomik : hipertensi, gastroparesis

– Kelainan pada kaki : ulserasi, atropati

51
B. Makrovaskular.2

– Sirkulasi koroner : iskemi miokardial/infark miokard

– Sirkulasi serebral : transient ischaemic attack, strok

–Sirkulasi : claudication, iskemik

2.2.10 Prognosis
Prognosis pada penderita diabetes tipe 2 bervariasi. Namun pada pasien
diatas prognosisnya dapat baik apabila pasien bisa memodifikasi
(meminimalkan) risiko timbulnya komplikasi dengan baik. Serangan jantung,
stroke, dan kerusakan saraf dapat terjadi. Beberapa orang dengan diabetes
mellitus tipe 2 menjadi tergantung pada hemodialisa akibat kompilkasi gagal
ginjal. Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk meminimalkan risiko
komplikasi :2
 Makan makanan yang sehat / gizi seimbang (rendah lemak, rendah gula),
perbanyak konsumsi serat (buncis 150gr/hari, pepaya, kedondong, salak,
tomat, semangka, dianjurkan pisang ambon namun dalam jumlah terbatas)
 Gunakan minyak tak jenuh / PUFA (minyak jagung)
 Hindari konsumsi alkohol dan olahraga yang berlebihan
 Pertahankan berat badan ideal
 Kontrol ketat kadar gula darah, HbA1c, tekanan darah, profil lipid
 Konsumsi aspirin untuk cegah ateroskelrosis (pada orang dalam kategori
prediabetes).
2.2.11 Pencegahan
Menurut WHO tahun 1994, upaya pencegahan pada diabetes ada 3 tahap yaitu
:2
Pencegahan primer: Semua aktifitas ditujukan untuk mencegah timbulnya
hiperglikemia pada individu yang berisiko untuk jadi diabetes atau pada
populasi umum.

52
Pencegahan sekunder: Menemukan pengidap DM sedini mungkin, misalnya
dengantes penyaringan terutama pada populasi resiko tinggi. Dengan
demikian pasien diabetes yang sebelumnya tidak terdiagnosis dapat terjaring,
hingga dengan demikian dapat dilakukan upaya untuk mencegah komplikasi
atau kalaupun sudah ada komplikasi masih reversible (cegah kompilkasi).
Pencegahan tersier: Semua upaya untuk mencegah kecacatan akibat
komplikasi yang sudah ada. Usaha ini meliputi:
 Mencegah progresi dari pada komplikasi itu supaya tidak menjadi
kegagalan organ (jangan sampai timbul chronic kidney disease)
 Mencegah kecacatan tubuh

53
BAB III
LAPORAN KASUS

Anamnesis Pribadi
Nama : Juriah
Umur : 50 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status Kawin : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jln. Dahlia 53 Sidorejo Hilir
Suku : Jawa

Anamnesa Penyakit
Keluhan Utama : Sesak Nafas
Telaah : Pasien datang ke Rumah sakit Haji Medan dengan keluhan
sesak nafas sejak 5 bulan yang lalu dan memberat dalam 1
minggu ini. Sesak semakin lama semakin menghebat
sehingga pasien tidak bias melakukan aktifitas selama 5 bulan
ini. Keluhan akan semakin memberat ketika pasien dalam
posisi berbaring dan sedikit membaik bila posisi pasien
bersandar atau setengah duduk. Sesak nafas tidak disertai
dengan mengi.
Selain itu, pasien juga mengeluhkan batuk-batuk. Batuk
kering tanpa disertai dahak dan darah. batuk bersifat hilang
timbul. Apabila batuk timbul, pasien akan merasakan sesak

54
bertambah berat. Keluhan keringat dingin pada malam hari
disangkal.
Pasien juga mengeluh mual sejak 1 minggu yang lalu, mual
disertai muntah. Muntah 1 sampai 3 kali sehari, banyaknya
kurang lebih ½ gelas aqua berisi apa yang dimakan dan
diminum, muntah disertai darah disangkal.
Pasien juga mengeluh badan lemas sejak 1 minggu yang lalu,
lemas dikeluhkan setiap saat, dan keluahan lemas semakin
memberat saat pasien melakukan banyak aktivitas. Muka
pasien terlihat pucat dan riwayat perdarahan diangkal.Pasien
juga mengeluh tidak nafsu makan sejak 2 minggu yang lalu.
BAK : (+) 2-3 kali/ hari, seikit-sedikit, sebanyak ½ gelas aqua
dalam 1 kali kencing (450 cc/24 jam), bewarna kuning
pekat, tidak disertai nyeri, pasir dan batu (-)
BAB : (+) normal, 1 kali hari, konsistensi padat, warna kuning
kecoklatan
RPT : DM dan Hipertensi
RPK : Ibu dan kakak pasien memiliki hipertensi
RPO : pasien lupa nama obatnya.

Anamnesa Umum
- Badan kurang enak : ya - Tidur : terganggu
- Merasa Lemas : ya - Berat badan : menurun
- Merasa kurang sehat : ya - Malas : tidak
- Menggigil : tidak - Demam : tidak
- Nafsu makan : menurun - Pening : ya

Anamnesa organ
1. Cor
- Dyspneu d’effort : tidak - Cyanosis : tidak

55
- Dyspnea d’repos : tidak - Angina pectoris : tidak
- Oedema : tidak - Palpitasi cordis : tidak
- Nokturia : tidak - Asma Cardiale : tidak
2. Sirkulasi perifer
- Claudicatio intermitten: tidak - Gangguan tropis : tidak
- Sakit waktu istirahat : tidak - Kebas- kebas : tidak
- Rasa mati Ujung jari : tidak
3. Traktus respiratorius
- Batuk : ya - Stidor : tidak
- Berdahak : tidak - sesak nafas : ya
- Haemoptoe : tidak - Pernafasan cuping hidung : tidak
- Sakit dada waktu bernafas :tidak - Suara parau : tidak
4. Traktus digestivus
a. Lambung
- Sakit di epigastrium : tidak - Sendawa :tidak
- Rasa panas di epigastrium : tidak - Anoreksia : ya
- Muntah : ya, 1-3 kali/hari - Mual-mual : ya
- Hematemesis : tidak - Dysphagia : tidak
- Ructus : tidak - Feotor ex ore : tidak
- Pyrosis : tidak
b. Usus
- Sakit di abdomen : tidak - Melena :tidak
- Borborygmi : tidak - Tenesmi : tidak
- Defekasi : ya, 1x/hari - Flatulensi : tidak
- Obstipasi : tidak - Haemorrhoid : tidak
- Diare : tidak
c. Hati dan Saluran empedu
- Sakit perut kanan : tidak - Gatal dikulit : tidak
- Kolik : tidak - Asites : tidak
- Icterus : tidak - Oedema : tidak

56
- Berak dempul : tidak
5. Ginjal dan saluran kencing
- Muka sembab : tidak - Sakit pinggang : tidak
- Kolik : tidak - Oligouria : ya
- Miksi : ya 2-3 x/hari, 450cc/hari
sedikit-sedikit,
kuning jernih - Anuria : tidak
- Poliuria : tidak - Polakisuria : tidak
6. Sendi
- Sakit : tidak - Sakit digerakan : tidak
- Sendi kaku : tidak - Bangkak : tidak
- Merah : tidak - Stand abnormal : tidak
7. Tulang
- Sakit : tidak - Fraktur spontan : tidak
- Bengkak : tidak - Deformitas : tidak
8. Otot
- Sakit : tidak - kejang-kejang : tidak
- Kebas-kebas : tidak - Atrofi : tidak

9. Darah
- Sakit dimulut dan lidah : tidak - Muka pucat : ya
- Mata berkunang-kunang: ya - Bengkak : tidak
- Pembengkakan kelenjar : tidak - Penyakit darah : tidak
- Merah dikulit : tidak - Perdarahan subkutan : tidak
10. Endokrin
a. Pankreas
- Polidipsi : tidak - Pruritus : tidak
- Polifagi : tidak - Pyorrhea : tidak
- Poliuri : tidak
b. Tiroid

57
- Nervositas : tidak - struma : tidak
- Exoftalmus : tidak - miksoderm : tidak
c. Hipofisis
- Akromegali : tidak - distrofi adipos kongenital : tidak
11. Fungsi genital
- Menarche : 12 tahun - Ereksi : tidak ditanyakan
- Siklus Haid : teratur 28 hari - Libido sexual : tidak ditanyakan
- Menopause : 50
- G/P/AB : G3/ P3/A0 - Coitus : tidak ditanyakan
12. Susunan syaraf
- Hipoastesia : tidak - Sakit kepala : tidak
- Parastesia : tidak - Gerakan tics : tidak
- Spasme : tidak - Paralisis : tidak
13. Panca indra
- Penglihatan : normal - Pengecapan : normal
- Pendengaran : normal - Perasa : normal
- Penciuman : normal
14. Psikis
- Mudah tersinggung : tidak - Pelupa : tidak
- Takut : tidak - Lekas marah : tidak
- Gelisah : tidak

15. Keadaan sosial


- Pekerjaan : ibu rumah tangga
- Hygiene : cukup baik

Anamnesa Penyakit terdahulu


DM dan Hipertensi

Riwayat pemakaian Obat

58
Pasien lupa nama obatnya

Anamnesa penyakit Veneris


- Bengkak kelenjar regional : tidak Pyuria : tidak
- Luka-luka di kemaluan : tidak Bisul- bisul : tidak

Anamnesa Intoksikasi
Tidak ada

Anamnesa Makanan
- Nasi : ya, frekuensi 3 x/ Hari - Sayur sayuran : tidak
- Ikan : ya - Daging : ya

Anamnesa Family
- Penyakit-penyakit family : kakak dan ibu pasien memiliki hipertensi
- Penyakit seperti orang sakit : tidak ada
- Anak-anak: 3, Hidup: 3, Mati: 0

STATUS PRESENT
Keadaan Umum
- Sensorium : Compos Mentis
- Tekanan Darah : 140/90 mmHg
- Temperatur : 36,5 C
- Pernafasan : 24 x/ menit
- Nadi : 84 x/ menit
Keadaan Penyakit
- Anemi : ya - Eritema : tidak
- Ikterus : tidak - Turgor : baik
- Sianosis : ya - Gerakan Aktif : ya

59
- Dispnoe : ya - Sikap tidur paksa: tidak
- Edem : tidak
Keadaan Gizi
BB: 55 Kg TB: 150 cm
55
RBW = BB x 100% = 150−100 x 100% = 110 %

TB– 100
Kesan : Normoweight
IMT = BB/ (TB/100)2 = 55/1,52 = 24,4 kg/m2
Kesan : Normoweight

Pemeriksaan Fisik
1. Kepala
- Pertumbuhan rambut : normal
- Sakit kalau dipegang : tidak
- Perubahan lokal : tidak
a. Muka
- Sembab : tidak Parese : tidak
- Pucat : ya gangguan lokal : tidak
- Kuning : tidak
b. Mata
- Stand Mata : normal - Ikterus : tidak
- Gerakan : kesegala arah - Anemia : ya
- Exoftalmos : tidak - Reaksi pupil : ya, RC (+/+)
diameter 3 mm
- Ptosis : tidak - Gangguan lokal : tidak
c. Telinga
- Sekret : tidak - Bentuk : Normal
- Radang : tidak - Atrofi : tidak
d. Hidung
- Sekret : tidak - Benjolan-benjolan : tidak

60
- Bentuk : Normal
e. Bibir
- Sianosis : tidak - Kering : tidak
- Pucat : tidak - Radang : tidak
f. Gigi
- Karies : tidak - Jumlah : tidak dihitung
- Pertumbuhan : Normal - Pyorroe alveolaris : tidak
g. Lidah
- Kering : tidak - Beslag : tidak
- Pucat : tidak - Tremor : tidak
h. Tonsil
- Merah : tidak - Membran : tidak ada
- Bengkak : tidak - Angina lacunaris : tidak
- Beslag : tidak
2. Leher
Inspeksi :
- Struma : tidak - Torticolis : tidak
- Kelenjar bengkak : tidak - Venektasi : tidak
- Pulsasi Vena : tidak
Palpasi
- Posisi trachea : Medial - TVJ : R-2cm H2O
- Sakit/ nyeri tekan: tidak - Kosta servikalis : tidak
3. Thorax depan
Inspeksi
- Bentuk : Fusiformis - Venektasi : tidak
- Simetris/asimetris: simetris - Pembengkakan : tidak
- Bendungan Vena : tidak - Pulsasi verbal : tidak
- Ketinggalan bernafas : tidak - Mammae : Normal
Palpasi
- Nyeri tekan : tidak - Iktus : tidak teraba

61
- Fremitus suara : kanan=kiri
Kesan : normal a. Lokasi :-
- Fremissement : tidak b. Kuat angkat : -
Perkusi
- Suara perkusi paru : Sonor - Gerakan bebas : 2 cm
- Batas Jantung : - Batas paru hati :
- A. Atas : ICS II linea parasternal sinistra a. Relatif : ICS V
- B. Kanan : ICS IV linea sternalis dextra b. Absolut : ICS VI
- C. Kiri : ICS V 2 cm medial dari linea
Midclavicula sinistra 1 cm ke lateral
Auskultasi
- Paru –paru
o Suara pernafasan : Vesikuler
o Suara Tambahan : Ronkhi Basah Basal

- Cor :
o Heart Rate : 84 x/i reguler intensitas sedang
o Suara katup : (M1 > M2), (A2>A1), (P2 > P1), (A2>P2)
o Suara tambahan : Tidak ada
4. Thorax belakang
Inspeksi
- Bentuk : Fusiformis Scapulae alta : tidak
- Simetris/tidak : simetris Ketinggalan bernafas: tidak
- Benjolan : tidak Venektasi : tidak
Palpasi
- Nyeri tekan : tidak Penonjolan : tidak
- Fremitus suara : kanan=kiri
kesan : normal
Perkusi
- Suara perkusi paru: sonor kedua lapang paru

62
- Gerakan bebas : 2 cm
- Batas bawah paru:
- A. Kanan : Proc. Spinosus Vertebra IX
- B. Kiri : Proc. Spinosus Vertebra X
Aukultasi
- Pernafasan : Vesikuler di kedua lapangan paru
- Suara tambahan : Ronkhi Basah Basal

5. Abdomen
Inspeksi
- Bengkak : tidak
- Venektasi : tidak
- Gembung : tidak
- Sirkulasi Collateral : tidak
- Pulsasi : tidak
Palpasi
- Defens muskular : tidak
- Nyeri tekan : tidak
- Lien : tidak teraba

63
- Ren : tidak teraba
- Hepar : tidak teraba
Perkusi
- Pekak hati : ya
- Pekak beralih : tidak
Auskultasi
- Peristaltik usus : 6 x/menit
6. Genitalia
- luka : tidak diperiksa
- sikatrik : tidak diperiksa
- nanah : tidak diperiksa
- hernia : tidak diperiksa
7. Extremitas
a. Atas Kanan Kiri
- Bengkak : tidak tidak
- Merah : tidak tidak
- Stand abnormal : tidak tidak
- Gangguan fungsi : tidak tidak
- Tes Rumpelit :- -
- Refleks :
o Bisep : ++ ++
o Trisep : ++ ++
- Radio periost : ++ ++
b. Bawah
- Bengkak : tidak tidak
- Merah : tidak tidak
- Eodema : tidak tidak
- Pucat : tidak tidak
- Gangguan fungsi : tidak tidak
- Luka/gangren : tidak tidak

64
- Varises : tidak tidak
- Refleks
o KPR : ++ ++
o APR : ++ ++
o Struple :+ +

PEMERIKSAAN LABORATORIUM RUTIN


Tanggal : 06-06-2017
Nama : Juriah
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

65
Hematologi
Darah Rutin
Haemoglobin 7 g/dl 13-18
Hitung Eritrosit 3,3 106/ul 4.5-6.5
Hitung Leukosit 17.800 /ul 4000-11.000
Hematokrit 21,3 % 40-54
Hitung trombosit 124.000 /ul 150.000-450.000
Index Eritrosit
MCV 65,7 Fl 80-96
MCH 21,5 Pg 27-31
MCHC 32,8 % 30-34
Hitung Jenis Leukosit
Eosinofil 1 % 1-3
Basofil 0 % 0-1
N. Stab 0 % 2-6
N. Seg 88 % 53-75
Limfosit 6 % 20-45
Monosit 4 % 4-8
LED 76
KIMIA KLINIK
Glukosa Darah
Glukosa Darah sewaktu 185 mg/dL < 140
Fungsi Hati
Albumin g/dL 0,3-1
Globulin g/dL < 0,25
protein total g/dL < 40
Fungsi Ginjal
Ureum 310 mg/dl 20-140
Kreatinin 27,64 mg/dl 0,6-1.1

66
Elektrolit
Natrium mEq/L 135-155
Kalium mEq/L 3.5-5.5
Chlorida mEq/L 98-106

67
Gambaran USG Ginjal

The Ultra Sonography Report :


Ginjal Kanan : Batas sinus cortex tidak jelas
Sistem vaskuler baik, tidak tampak pelvic-calyces
Sistem baik tidak tampak ecostone
Ginjal kiri : Batas sinus cortex tidak jelas, pelvi-calyces baik, tampak ecostone 1,76
cm pole bawah

68
Blass : Baik

Kesan : - Nefritis Bilateral


- Nefrolithiasis pole bawah ren sinistra ukuran 1,76 cm

RESUME
Anamnesis
- Keluhan utama : Dispnoe
- Telaah : Pasien datang ke Rumah sakit Haji Medan dengan keluhan :
- Dispnoe, sejak kurang lebih 5 bulan ini dan semakin
memberat dalam 1 minggu ini
- Dispnoe akan memberat dalam posisi berbaring dan akan
sedikit membaik dalam posisi bersandar atau setengah
duduk
- Nausea, sejak 1 minggu ini
- Vomiting, 1-3 kali/hari, 12 gelas aqua, berisi apa yang
dimakn dan minum
- Batuk keringsejak 1 minggu ini
- Letargi, sejak 5 bulan ini
- Anoreksia
- Sianosis
BAK : (+) 2-3 kali/ hari, seikit-sedikit, sebanyak ½ gelas aqua
dalam 1 kali kencing (450 cc/24 jam), bewarna kuning
pekat, tidak disertai nyeri
BAB : (+) normal, 1 kali hari, konsistensi padat, warna
kuning kecoklatan
RPT : DM dan Hipertensi
RPK : Ibu dan kakak pasien memiliki hipertensi
RPO : pasien lupa nama obatnya.

69
Status Present
Keadaan umum Keadaan penyakit Keadaan gizi
Sensoriun: Compos Mentis Anemia : ya TB : 150 cm
Tekanan Darah: 140/90mmHg Ikterus : tidak BB : 55 kg
Nadi: 84x / menit Sianosis : ya
Nafas: 24 x/ menit Dyspnea : ya RBW= BB x 100%
Suhu: 36,50 C Edema : tidak TB - 100
Eritema : tidak = 110 %
Turgor : Baik Kesan : Normoweight
Gerakan aktif : ya
Sikap tidur paksa : tidak IMT = BB/ (TB/100)2 =
55/1,52 = 24,4 kg/m2
Kesan : Normoweight

Pemeriksaan Fisik
Kepala : Konjuntiva anemis dextra dan sinistra
Leher : Dalam Batas Normal
Thorax : Thorax Depan
Perkusi : Batas Jantung Kiri ICS V 2 cm ke medialineaclavicula
sinistra 1 cm ke lateral
Auskultasi : ST : Ronkhi Basah Basal
Abdomen : Dalam Batas Normal
Extremitas : Dalam Batas Normal

Pemeriksaan laboratorium
Darah :
Hemoglobin menurun, eritrosit menurun, hematokrit menurun, leukosit meningkat,
MCV menurun, MCH menurun, N. Stab menurun, N. Seg meningkat, limfosit
menurun, LED meningkat, ureum meningkat, kreatinin meningkat.

70
Pemeriksaan USG Ginjal/Blass:
Ginjal Kanan : Batas sinus cortex tidak jelas
Sistem vaskuler baik, tidak tampak pelvic-calyces
Sistem baik tidak tampak ecostone
Ginjal kiri : Batas sinus cortex tidak jelas, pelvi-calyces baik, tampak ecostone
1,76 cm pole bawah
Blass : Baik

Kesan :- Nefritis Bilateral


- Nefrolithiasis pole bawah ren sinistra ukuran 1,76 cm

Diagnosa Banding
1. Chronic Kidney Disease stage V e.c diabetikum nefropati + Diabetes Melitus tipe
2 + Hipertensi stage 2 + anemia e.c penyakit kronik
2. Chronic Kidney Disease stage V e.c hipertensi nefropati + Diabetes Melitus tipe 2
+ Hipertensi stage 2+ anemia defisiensi besi
3. Chronic Kidney Disease stage V e.c penyakit ginjal obstruksi infeksi + Diabetes
Melitus tipe 2 + Hipertensi stage 2 + anemia e.c hemolitik
4. Chronic Kidney Disease stage V e.c pielonefritis kronik + Diabetes Melitus tipe 2
+ Hipertensi stage 2 + anemia e.c penyakit kronik
5. Chronic Kidney Disease stage V e.c glomerulonefritis kronik + Diabetes Melitus
tipe 2 + Hipertensi stage 2 + anemia e.c anemia defesiensi besi

Diagnosis Sementara
Chronic Kidney Disease stage V e.c diabetikum nefropati + Diabetes Melitus tipe
2 + Hipertensi stage 2 + anemia e.c penyakit kronik

Terapi
 Aktivitas tirah baring
 Diet  Diet Ginjal

71
 Medikamentosa
- IVFD RL 20 gtt/menit
- Inj. Ranitidin 50 mg /12 jam
- Inj. Ondansetron 1 ampul / 8 jam
- Inj. Insulin 10 unit 3 x 1 ac
- Amplodipin tablet 1 x 10
- Valsartan tablet 1 x 80 mg
- Hemodialisa
Pemeriksaan Anjuran/ Usul
- Darah rutin
- Elektrolit
- Fungsi ginjal
- Fungsi hati
- KGD ad random
- USG Abdomen
- Urinalisis

72
DISKUSI KASUS CKD
Teori Kasus
Anamnesa1 Anamnesa
- Mual - Mual (+)
- Muntah - Muntah (+)
- Sesak nafas - Sesak Nafas (+)
- Oedem pada periorbita dan tungkai - Oedem pada periorbita dan tungkai (-)
- Anemia / pucat - Anemia/pucat (+)

Pemeriksaan Fisik1 Pemeriksaan Fisik


 Keadaan umum  Keadaan umum
Sensoriun : Sensoriun : Compos Mentis
Tekanan Darah : Tekanan Darah : 140/90 mmHg
Hate rate : Hate rate : 84x / menit
Respirasi : Respirasi : 24 x/ menit
Temperature : Temperature : 36,50 C
 Keadaan penyakit  Keadaan penyakit
Anemia : Anemia : ya
Ikterus : Ikterus :tidak
Sianosis : Sianosis : ya
Dyspnea : Dyspnea : ya
Edema : Edema : tidak
Eritema : Eritema : tidak
Turgor : Turgor : baik
Gerakan aktif: Gerakan aktif: ya
Sikap tidur paksa : Sikap tidur paksa : tidak
 Keadaan gizi  Keadaan gizi
TB : cm TB : 150 cm
BB : kg BB : 55 kg

73
RBW= BB x 100% RBW= BB x 100%
TB - 100 TB - 100
= = 110%
Kesan : Kesan : normoweight

IMT = BB/ (TB/100)2 = IMT = BB/ (TB/100)2 = 55/1,52 = 24,4


Kesan : kg/m2
Kesan : Normoweight

Kepala : Dalam Batas Normal Kepala : konjuntiva anemis dextra dan


sinistra
Leher : Dalam Batas Normal Leher : Dalam Batas Normal
Thorax : Dalam Batas Normal Thorax : Thorax Depan
Perkusi : Batas Jantung Kiri ICS V 2 cm
ke medialineaclavicula sinistra 1 cm ke
lateral
Auskultasi : ST : Ronkhi Basah Basal
Abdomen: Dalam Batas Normal Abdomen: Dalam Batas Normal
Extremitas: Dalam Batas Normal Extremitas: Dalam Batas Normal
Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan Laboratorium
 Darah Rutin :  Darah Rutin :
- Hemoglobin = 12-16 g/dL, - Hemoglobin = 7,0 g/dL,
- Hitung Eritrosit = 4,5-6,5 x 106/ul - Hitung Eritrosit = 3,3 x 106/ul
- Hitung Leukosit = 4.000-11.000/ul, - Hitung Leukosit = 17.800/ul,
- Hematokrit = 36-47%, - Hematokrit = 21,3%,
- N.stab = 2-6 %, N.Seg = 53-75%, - MCV = 65,7 fL
- Limfosit = 20-45%, - MCH = 21,5 Pg
- N.Stab = 0%, N.Seg = 88%,
- Limfosit = 6%,

74
- LED = 76 mm/jam

 Fungsi Ginjal :  Fungsi Ginjal :


- Kreatinin = 0,6-1,1mg/dl - Kreatinin = 27,64 mg/dl
- Ureum = 310 mg/dl
 Elektrolit :  Elektrolit :
- Natrium = 135-155mEq/L - Natrium =
- Chlorida = 98-106mEq/L - Chlorida =
Diagnosa Banding 3 Diagnosa Banding
1. CKD Stage V 1. CKD Stage V ec Diabetikum Nefropati
2. CKD Stage IV 2. CKD Stage V ec Hipertensi Nefropati
3. CKD Stage III 3. CKD Stage V ec Pielonefritis Kronik
Diagnosa Diagnosa
CKD Stage V CKD Stage V ec Diabetikum Nefropati
Penatalaksanaan2 Penatalaksanaan
 Terapi Nonmedikamentosa  Terapi Nonmedikamentosa
 Aktivitas tirah baring  Aktivitas tirah baring
 Diet diet ginjal  Diet diet ginjal

 Terapi Medikamentosa  Terapi Medikamentosa


 IVFD Nacl 20 gtt/menit  IVFD RLl 20 gtt/menit
 Penghambat ACE atau  Inj. Ranitidin 50 mg /12 jam
antagonis reseptor  Inj. Ondansetron 1 ampul / 8 jam
angiotensin II (Valsartan  Inj. Insulin 10 unit 3 x 1 ac
80mg)  Amplodipin evaluasi
tablet 1 xkreatinin
10 mg dan kalium serum, bila t
 Penghambat kalsium  Valsartan tablet 1 x 80 mg
(Amplodipin 10 mg)
 Diuretik

75
Komplikasi CKD4 Komplikasi CKD
1. Hiperkalemi akibat penurunan 1. Tidak ditemukan adanya hiperkalemi,
sekresi asidosis metabolik, sekresi asidosis metabolik, katabolisme,
katabolisme, dan masukan diet dan masukan diet berlebih.
berlebih. 2. Tidak ditemukan prikarditis, efusi
2. Prikarditis, efusi perikardinal, dan perikardinal, dan tamponade jantung
tamponade jantung akibat retensi akibat retensi produk sampah uremik
produk sampah uremik dan dialisis dan dialisis yang tidak adekuat.
yang tidak adekuat. 3. Ditemukan hipertensi akibat retensi
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan cairan dan natrium serta malfungsi
natrium serta malfungsi sistem sistem renin angiotensin aldosteron.
renin angiotensin aldosteron. 4. Ditemukan anemia akibat penurunan
4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
eritropoitin. 5. Tidak ditemukan penyakit tulang serta
5. Penyakit tulang serta klasifikasi klasifikasi metabolik akibat retensi
metabolik akibat retensi fosfat, fosfat, kadar kalsium serum yang
kadar kalsium serum yang rendah, rendah, metabolisme vitamin D yang
metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan kadar
abnormal dan peningkatan kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen
alumunium akibat peningkatan dan ion anorganik.
nitrogen dan ion anorganik. 6. Ditemukan uremia akibat peningkatan
6. Uremia akibat peningkatan kadar kadar ureum dalam tubuh.
ureum dalam tubuh. 7. Tidak ditemukan Gagal jantung akibat
7. Gagal jantung akibat peningkatan peningkatan kerja jantung yang
kerja jantung yang berlebihan. berlebihan.
8. Malnutrisi karena anoreksia, mual, 8. Tidak ditemukan malnutrisi karena
dan muntah. anoreksia, mual, dan muntah.
9. Hiperparatiroid, hiperkalemia, dan 9. Tidak ditemukan hiperparatiroid,
hiperfosfatemia. hiperkalemia, dan hiperfosfatemia.

76
Prognosis4 Prognosis
- Dubia et bonam (Baik) - Dubia et malam (Buruk)
- Prognosis gagal ginjal kronik pada - Pada pasien kasus ini prognosis gagal
usia lanjut kurang begitu baik jika ginjal kronik pada usia lanjut kurang
dibandingkan dengan prognosis begitu baik jika dibandingkan dengan
gagal ginjal kronik pada usia muda prognosis gagal ginjal kronik pada usia
muda
Pencegahan4 Pencegahan
 Pengobatan hipertensi yaitu makin  Pasien dapat melakukan pengobatan
rendah tekanan darah makin kecil hipertensi agar makin rendah tekanan
risiko penurunan fungsi ginjal. darah makin kecil risiko penurunan
fungsi ginjal.
 Pengendalian gula darah, lemak  Pasien dapat mengendalikan gula
darah, dan anemia. darah, lemak darah, dan anemia.
 Penghentian merokok.  Tidak ada merokok.
 Peningkatan aktivitas fisik.  Pasien bisa berolahraga agar
peningkatan aktivitas fisiknya baik.
 Pengendalian berat badan.  Pasien bisa mengontrol berat badan.
 Obat penghambat sistem renin  Pasien dapat meminum obat
angiotensin seperti penghambat penghambat sistem renin angiotensin
ACE (angiotensin converting seperti penghambat ACE (angiotensin
enzyme) dan penyekat reseptor converting enzyme) dan penyekat
angiotensin telah terbukti dapat reseptor angiotensin telah terbukti
mencegah dan menghambat dapat mencegah dan menghambat
proteinuria dan penurunan fungsi proteinuria dan penurunan fungsi
ginjal. ginjal.
Edukasi3 Edukasi
1. Banyak istirahat 1. Banyak istirahat
2. Banyak minum air putih 2. Banyak minum air putih

77
3. Hindari makan daging 3. Hindari makan daging
4. Hindari makan banyak garam 4. Hindari makan banyak garam

78
DISKUSI KASUS DM TIPE 2
Teori Kasus
Anamnesis7 Anamnesis
- Polifagi - Tidak ditemukan polifagi
- polidipsi - Tidak ditemukan polidipsi
- poliuri - Tidak ditemukan poliuri
- penurunan berat badan tanpa sebab - Penurunan berat badan
- pruritus vulva - Tidak ditemukan pruritus vulva
- kebas pada ektremitas - Tidak kebas pada kedua tangan
Pemeriksaan Fisik7 Pemeriksaan Fisik
 Keadaan umum  Keadaan umum
Sensoriun : Sensoriun : Compos Mentis
Tekanan Darah : Tekanan Darah : 140/90 mmHg
Hate rate : Hate rate : 84x / menit
Respirasi : Respirasi : 24 x/ menit
Temperature : Temperature : 36,50 C
 Keadaan penyakit  Keadaan penyakit
Anemia : Anemia : ya
Ikterus : Ikterus : tidak
Sianosis : Sianosis : ya
Dyspnea : Dyspnea : ya
Edema : Edema : tidak
Eritema : Eritema : tidak
Turgor : Turgor : baik
Gerakan aktif: Gerakan aktif: ya
Sikap tidur paksa : Sikap tidur paksa : tidak
 Keadaan gizi  Keadaan gizi
TB : cm TB : 150 cm
BB : kg BB : 55 kg

79
RBW= BB x 100% RBW= BB x 100%
TB – 100 TB - 100
= = 110 %
Kesan : Kesan : normoweight

IMT = BB/ (TB/100)2 = IMT = BB/ (TB/100)2 = 64/1,22 = 24,4


Kesan : kg/m2
Kesan : Normoweight

Kepala : Dalam Batas Normal Kepala : konjuntiva anemis dextra


dan sinistra
Leher : Dalam Batas Normal Leher : Dalam Batas Normal
Thorax : Dalam Batas Normal Thorax : Thorax Depan
Perkusi : Batas Jantung Kiri ICS V 2
cm ke medialineaclavicula sinistra 1 cm
ke lateral
Auskultasi : ST : Ronkhi Basah Basal
Abdomen: Dalam Batas Normal Abdomen: Dalam Batas Normal
Extremitas: Dalam Batas Normal Extremitas: Dalam Batas Normal
Pemeriksaan Laboratorium:8 Pemeriksaan Laboratorium:
- Peningkatan kadar gula darah puasa - Tidak ada peningkatan kadar gula
≥ 126 mg/ dl puasa
- Peningkatan kadar gula post - Tidak ada peningkatan kadar gula
prandial ≥ 200 mg/ dl post prandial
- Peningkatan kadar gula darah - Didapatkan kadar gula darah
sewaktu ≥ 200 mg/dl. sewaktu 185 mg/dl.
- Peningkatan kadar HbA1c ≥ 6,5 - Tidak dilakukan pemeriksaan
- Pada pemeriksaan urin rutin di - Tidak dilakukan pemeriksaan
dapatkan adanya glukosuria - Didapatkan kadar hemoglobin

80
- Kadar hemoglobin menurun < 12 menurun 7,0 g/dl
Diagnosa Banding9 Diagnosa Banding
 Diabetes Mellitus Tipe 2  Diabetes Mellitus Tipe 2
 Diabetes Mellitus Tipe 1  Diabetes Mellitus Tipe 1
 Diabetes Mellitus Insipidus  Diabetes Mellitus Insipidus
 Diabetes Tipe Lainnya  Diabetes Tipe Lainnya
 Diabetes Gestasional  Diabetes Gestasional
Diagnosa Diagnosa
 Diabetes Mellitus Tipe 2  Diabetes Mellitus Tipe 2

Tata Laksana12 Tata Laksana


- Edukasi tentang pola gaya hidup - Edukasi tentang pola gaya hidup
dan olahraga rutin dan olahraga rutin
- Terapi nutrisi medis - Terapi nutrisi medis
- Pemberian Obat hiperglikemi Oral - Pemberian Obat hiperglikemi Oral
1. Pemicu sekresi insulin ( 1. Pemicu sekresi insulin ( golongan
golongan sulfonylurea) sulfonylurea)
2. Penambah sensitivitas terhadap 2. Penambah sensitivitas terhadap
insulin (metformin) insulin : Metformin 3 x 500 mg
3. Penghambat gluconeogenesis 3. Penghambat gluconeogenesis
4. Penghambat glukosidasealfa 4. Penghambat glukosidasealfa
Komplikasi15 Komplikasi
- Ulkus kaki diabetik - Tidak ditemukan ulkus kaki
- Hipoglikemia diabetik
- Ketoasidosis diabetik - Tidak ditemukan hipoglikemia
- Neuropati diabetik - Tidak ditemukan ketoasidosis
diabetik
- Tidak ditemukan neuropati diabetik

81
Pencegahan12 Pencegahan
- Pencegahan primer - Pencegahan primer
(penyuluhan untuk menurunkan (penyuluhan untuk menurunkan
berat badan, diet sehat, latihan berat badan, diet sehat, latihan
jasmani, dan menghentikan jasmani, dan menghentikan
merokok) merokok)
- Pencegahan sekunder - Pencegahan sekunder
(upaya mencegah atau (upaya mencegah atau
menghambat timbulnya penyulit menghambat timbulnya penyulit
pada pasien yang telah menderita pada pasien yang telah menderita
DM) DM)
- Pencegahan tersier - Pencegahan tersier
( ditujukan untuk pasien yang telah (ditujukan untuk pasien yang telah
mengalami penyulit dalam upaya mengalami penyulit dalam upaya
mencegah terjadinya kecacatan mencegah terjadinya kecacatan
lebih lanjut) lebih lanjut)
Prognosis15 Prognosis
- Dubia adbonam (Baik) - Dubia admalam (Buruk)
Jika Diabetes mellitus tipe 2
mendapat insulin dapat bertahan
hidup seperti orang normal.
- Dubia admalam (buruk)
Jika pasien diabetes mellitus
tipe 2 sudah mengalami
komplikasi
Edukasi10 Edukasi
1. Diabetes tipe 2 umumnya terjadi 1. Diabetes tipe 2 bisa dihindari dengan
pada saat pola gaya hidup dan menerapkan pola gaya hidup sehat
perilaku telah terbentuk dengan dan prilaku yang baik.

82
mapan.
2. Pemberdayaan penyandang diabetes 2. Penyandang diabetes perlu perhatian
memerlukan partisipasi aktif pasien, aktif dari diri sendiri pasien, keluarga
keluarga dan masyarakat. dan masyarakat.
3. Tim kesehatan mendampingi pasien 3. Pasien harus didampingi oleh tim
dalam menuju perubahan perilaku kesehatan dalam menuju perubahan
sehat. Untuk mencapai keberhasilan perilaku sehat agar tercapai
perubahan perilaku, dibutuhkan keberhasilan perubahan perilaku
edukasi yang komprehensif dan serta mengedukasi pasien dalam
upaya peningkatan motivasi. upaya meningkatkan motivasi.
4. Pengetahuan tentang pemantauan 4. Pasien diharapkan mengetahui dan
glukosa darah mandiri, tanda dan memantau glukosa darah mandiri,
gejala hipoglikemia serta cara tanda dan gejala hipoglikemia serta
mengatasinya harus diberikan cara mengatasinya agar terhindar dari
kepada pasien. komplikasi tersebut.
5. Pemantauan kadar glukosa darah 5. Pasien diharapkan bisa memantau
dapat dilakukan secara mandiri, kadar glukosa secara mandiri, setelah
setelah mendapat pelatihan khusus. diberikan pelatihan khusus.

83
BAB IV
KESIMPULAN

Penyakit Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit tidak menular yang


mengalami peningkatan terus menerus dari tahun ke tahun. Efek kronik dari penyakit
DM juga menjadi perhatian yang serius selain dari segi epidemologi. Penyakit
Diabetes Mellitus merupakan the great imitator. Hal ini disebabkan penyakit DM
mampu menyebabkan kerusakan organ secara menyeluruh secara anatomis maupun
fungsional. Diabetes Mellitus adalah sekelompok kelainan heterogen yang ditandai
oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia.

Patogenesis diabetes mellitus melibatkan faktor–faktor genetik, biomolekuler,

imunologi, dan lingkungan. Penyakit diabetes mellitus memerlukan penatalaksanaan


medis dan keperawatan untuk mencegah komplikasi akut seperti ketoasidosis dan
sindrom koma hiperglikemik hiperosmolar non ketotik yang dapat menyebabkan
kematian dan juga dapat menimbulkan komplikasi jangka panjang, seperti penyakit
makrovaskuler, penyakit mikrovaskuler dan penyakit oftamologi lainnya. Penyakit
diabetes mellitus perlu mendapat perhatian dan penanganan yang baik oleh dokter
serta petugas medis lainnya. Secara kuratif dan rehabilitatif seperti pengontrolan
kadar gula darah, melakukan perawatan luka dan mengatur diet makanan yang harus
dimakan sehingga tidak terjadi peningkatan kadar gula darah.
Selain itu dokter juga berperan secara preventif yaitu dengan cara
memberikan pendidikan kesehatan tentang penyakit diabetes melitus untuk
meningkatkan pemahaman pasien dan mencegah terjadinya komplikasi. Komplikasi
DM akut dan kronik frekuensinya masih sangat tinggi di Indonesia, karena kesadaran
/ kepatuhan penderita masih rendah, tenaga medis yang belum memadai dalam
pencegahan primer, sekunder, dan tersier, dan fasilitas RS belum memadai dan
merata.
Gagal ginjal kronik adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang progresif dan ireversibel, pada suatu derajat yang

84
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi
ginjal. Dan ditandai dengan adanya uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lainnya
dalam darah).
Dua penyebab utama penyakit gagal ginjal kronis adalah diabetes melitus tipe
1 dan tipe 2 (44%) dan hipertensi (27%). Kondisi lain yang dapat menyebabkan
gangguan pada ginjal antara lain penyakit peradangan seperti glomerulonefritis (10%)
merupakan penyakit ketiga tersering penyebab gagal ginjal kronik.
Pada gagal ginjal kronik, gejala – gejalanya berkembang secara perlahan.
Pada awalnya tidak ada gejala sama sekali, kelainan fungsi ginjal hanya dapat
diketahui dari pemeriksaan laboratorium. Sejalan dengan berkembangnya penyakit,
maka lama kelamaan akan terjadi peningkatan kadar ureum darah semakin tinggi
(uremia). Pada stadium ini, penderita menunjukkan gejala – gejala fisik yang
melibatkan kelainan berbagai organ seperti kelainan saluran cerna (nafsu makan
menurun, mual, muntah dan fetor uremik), kelainan kulit (urea frost dan gatal di
kulit), kelainan neuromuskular (tungkai lemah, parastesi, kram otot, daya konsentrasi
menurun, insomnia, gelisah), kelainan kardiovaskular (hipertensi, sesak nafas, nyeri
dada, edema), gangguan kelamin (libido menurun, nokturia, oligouria).
Diagnosis gagal ginjal kronik dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang
diperoleh melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium,
pemeriksaan radiologis, serta pemeriksaan biopsi dan histopatologi ginjal.
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi terapi spesifik terhadap
penyakit dasarnya, pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid, memperlambat
perburukan fungsi ginjal, pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular,
pencegahan dan terapi terhadap penyakit komplikasi, terapi pengganti ginjal berupa
dialisis atau transplantasi ginjal.

85

Anda mungkin juga menyukai