Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

CKD Et Causa Hipertensi

Disusun untuk memenuhi tugas Praktek Klinik Program Profesi Ners Stase Keperawatan
Medikal Bedah I di Ruang Hemodialisa

Disusun oleh :
Wafi Nursyifa H.Q

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2019
A. Definisi
Gagal ginjal kronis adalah kerusakan ginjal progresif yang berakibat fatal dan ditandai
dengan uremia (urea dan limbah nitrogen lainnya yang beredar dalam darah serta
komplikasinya jika tidak dilakukan dialisis atau transplantasi ginjal) (Nursalam, 2013).
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi
renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolism dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urin dan
sampah nitrogen lain dalam darah) (Brunner & Suddart, 2013).
Gagal ginjal kronis adalah destruksi struktur ginjal yang progresif dan terus-menerus.
Gagal ginjal kronis dapat timbul dari hampir semua penyakit. Selain itu pada individu yang
rentan, nefropati analgesic, destruksi papilla ginjal yang terkait dengan pamakaian harian obat-
obatan analgesic selama bertahun-tahun dapat menyebabkan gagal ginjal kronis. Apa pun
sebabnya, terjadi perburukan fungsi ginjal secara progresif yang ditandai dengan penurunan
GFR yang progresif (Corwin, 2009).

B. Klasifikasi
- Berdasarkan sebabnya, gagal ginjal kronis dapat diklasifikasikan berdasarkan sebabnya,
yaitu sebagai berikut (Suharyanto dan Madjid, 2009):
Klasifikasi Penyakit Penyakit
Penyakit infeksi dan peradangan Pielonefritis kronik, Glomerulonefritis
Penyakit vaskuler hipertesif Nefrosklerosis benigna, Nefrosklerosis maligna,
Stenosis arteri renalis
Gangguan jaringan penyambung Lupus eritematosus sistemik, Poliartritis nodusa,
Sklerosis sistemik progresif
Gangguan kongenital dan heredite Penyakit ginjal polikistik, Asidosis tubulus ginjal
Penyakit metabolik Diabetes Melitus, Gout Disease, Hipertiroidisme
Nefropati toksi Penyalahgunaan analgesic, Nefropati timbale
Nefropati obstruksi Saluran kemih bagian atas: kalkuli, neoplasma,
fibrosis retroperineal. Saluran kemih bagian
bawah: hipertropi prostat, striktur uretra, anomali
leher kandung kemih dan uretra.

- Berdasarkan perjalanan klinis, gagal ginjal dapat dibagi menjadi tiga stadium (Suharyanto
dan Madjid, 2009), yaitu:
1. Stadium I dinamakan penurunan cadangan ginjal --- Selama stadium ini
kreatinin serum dan kadar BUN normal, dan penderita asimptomatik. Gangguan
fungsi ginjal hanya dapat diketahui dengan tes pemekatan kemih dan tes GFR yang
teliti.
2. Stadium II dinamakan insufisiensi ginjal --- Pada stadium ini dimana lebih dari
75 % jaringan yang berfungsi telah rusak. GFR besarnya 25 % dari normal. Kadar
BUN dan kreatinin serum mulai meningkat dari normal. Gejala-gejala nokturia atau
seting berkemih di malam hari sampai 700 ml dan poliuria (akibat dari kegagalan
pemekatan) mulai timbul.
3. Stadium III dinamakan gagal ginjal stadium akhir atau uremia --- Sekitar 90 %
dari massa nefron telah hancur atau rusak, atau hanya sekitar 200.000 nefron saja
yang masih utuh. Nilai GFR hanya 10 % dari keadaan normal. Kreatinin serum dan
BUN akan meningkat dengan mencolok. Gejala-gejala yang timbul karena ginjal
tidak sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh,
yaitu oliguri karena kegagalan glomerulus, sindrom uremik.
- Berdasarkan tahapan penyakit dari waktu ke waktu, dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
The Kidney Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) (dalam Desita, 2010)
1. Stadium 1 : kerusakan masih normal (GFR > 90 ml/min/1,73 m2)
Kerusakan ginjal dengan GFR normal (90 atau lebih). Kerusakan pada ginjal
dapatdideteksi sebelum GFR mulai menurun. Pada stadium pertama penyakit ginjal
ini, tujuan pengobatan adalah untuk memperlambat perkembangan CKD dan
mengurangi resiko penyakit jantung dan pembuluh darah.
2. Stadium 2 : ringan (GFR 60-89 ml/min/1,73 m2)
Kerusakan ginjal dengan penurunan ringan pada GFR (60-89). Saat fungsi ginjal
kitamulai menurun, dokter akan memperkirakan perkembangan CKD kita dan
meneruskan pengobatan untuk mengurangi resiko masalah kesehatan lain.
3. Stadium 3 : sedang (GFR 30-59 ml/min/1,73 m2)
Penurunan lanjut pada GFR (30-59). Saat CKD sudah berlanjut pada stadium ini,
anemiadan masalah tulang menjadi semakin umum. Kita sebaiknya bekerja dengan dokter
untuk mencegah atau mengobati masalah ini. Gejala- gejala juga terkadang mulai
dirasakan seperti :
 Fatique : rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.
 Kelebihan cairan: Hal ini membuat penderita akan mengalami pembengkakan
sekitar kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan. Penderita juga dapat
mengalami sesak nafas akaibat teralu banyak cairan yang berada dalam tubuh.
 Perubahan pada urin : urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan adanya
kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami perubahan
menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampurdengan darah. Kuantitas
urin bisa bertambah atau berkurang dan terkadang penderita sering trbangun untuk
buang air kecil di tengah malam.
 Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal beradandapat
dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal seperti polikistik
dan infeksi.
 Sulit tidur : Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur disebabkan
munculnya rasa gatal, kram ataupun restless legs.
4. Stadium 4 : gagal berat (GFR 15-29 ml/min/1,73 m2)
Penurunan berat pada GFR (15-29). Teruskan pengobatan untuk komplikasi CKD
dan belajar semaksimal mungkin mengenai pengobatan untuk kegagalan ginjal. Masing-
masing pengobatan membutuhkan persiapan. Bila kita memilih hemodialisis, kita
akanmembutuhkan tindakan untuk memperbesar dan memperkuat pembuluh darah
dalamlengan agar siap menerima pemasukan jarum secara sering. Untuk dialisis
peritonea,sebuah kateter harus ditanam dalam perut kita. Atau mungkin kita ingin minta
anggotakeluarga atau teman menyumbang satu ginjal untuk dicangkok. Gejala yang
mungkin dirasakan pada stadium 4 adalah:
 Fatique, Kelebihan cairan, perubahan pada urin, sakit pada ginjal, sulit tidur
 Nausea : muntah atau rasa ingin muntah.
 Perubahan cita rasa makanan : dapat terjadi bahwa makanan yang dikonsumsi tidak
terasa seperti biasanya.
 Bau mulut uremic : ureum yang menumpuk dalam darah dapat dideteksi melalui
bau pernafasan yang tidak enak.
5. Stadium 5 : gagal ginjal terminal (GFR <15 ml/min/1,73 m2)
Kegagalan ginjal (GFR di bawah 15). Saat ginjal kita tidak bekerja cukup untuk menahan
kehidupan kita, kita akan membutuhkan dialisis atau pencangkokan ginjal. Gejala yang
dapat timbul pada stadium 5 antara lain :
 Kehilangan napsu makan
 Nausea.
 Sakit kepala.
 Merasa lelah.
 Tidak mampu berkonsentrasi.
 Gatal – gatal.
 Urin tidak keluar atau hanya sedikit sekali.
 Bengkak, terutama di seputar wajah, mata dan pergelangan kaki.
 Keram otot
 Perubahan warna kulit

GFR normal adalah 90 – 120 mL/min/1.73 m2.Pada gagal ginjal kronis tahap
1 dan 2 tidak menunjukkan tanda-tanda kerusakan ginjal termasuk komposisi darah
yang abnormal atau urin yang abnormal (Arora, 2009 dalam Desita, 2010). Untuk
menilai GFR (Glomelular Filtration Rate) / CCT (Clearance Creatinin Test) dapat
digunakan dengan rumus:

C. Etiologi
Berdasarkan data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry
(IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut
glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%)
(Roesly, 2008).
a. Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang etiologinya
tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi tertentu pada
glomerulus (Markum, 1998). Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis
dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya
berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal
terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik
(LES), mieloma multipel, atau amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006).
Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara
kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat medik yang
harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis (Sukandar, 2006).
b. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005) diabetes
melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Diabetes
melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai
semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat
bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak
menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air
kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun.

c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik
≥ 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer, 2001). Berdasarkan
penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau
hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder
atau disebut juga hipertensi renal (Sidabutar, 1998).
d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material
yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista-
kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena
kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal
polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih
dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease),
oleh karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata
kelainan ini dapat ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan
autosomal lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa
(Suhardjono, 1998).

D. Faktor Resiko
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus atau hipertensi,
obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat penyakit
diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga (National Kidney Foundation,
2009).

E. Hubungan Hipertensi Dengan Kejadian CKD


Hipertensi merupakan salah satu penyebab GGK melalui suatu proses yang
mengakibatkan hilangnya sejumlah besar nefron fungsional yang progresif danirreversible.
Peningkatan tekanan dan regangan yang kronik pada arteriol dan glomeruli diyakini dapat
menyebabkan sklerosis pada pembuluh darah glomeruliatau yang sering disebut degan
glomerulosklerosis. Penurunan jumlah nefron akanmenyebabkan proses adaptif, yaitu
meningkatnya aliran darah, peningkatan LFG (Laju Filtrasi Glomerulus) dan peningkatan
keluaran urin di dalam nefron yangmasih bertahan. Proses ini melibatkan hipertrofi dan
vasodilatasi nefron sertaperubahan fungsional yang menurunkan tahanan vaskular dan
reabsorbsi tubulusdi dalam nefron yang masih bertahan. Perubahan fungsi ginjal dalam waktu
yanglama dapat mengakibatkan kerusakan lebih lanjut pada nefron yang ada. Lesi-lesisklerotik
yang terbentuk semakin banyak sehingga dapat menimbulkan obliterasiglomerulus, yang
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal lebih lanjut, danmenimbulkan lingkaran setan yang
berkembang secara lambat yang berakhirsebagai penyakit Gagal Ginjal Kronik (Guyton and
Hall, 2007).
Beratnya pengaruh hipertensi pada ginjal tergantung dari tingginya tekanan darah dan
lamanya menderita hipertensi. Semakin tinggi tekanan darah dalamwaktu lama maka semakin
berat komplikasi yang dapat ditimbulkan (Tessy, 2009). Teori ini diperkuat oleh Hidayati et al
(2008) dalam penelitian yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara lama hipertensi
dengan kejadian CKD, semakin lama menderita hipertensi maka semakin tinggi risiko untuk
mengalami kejadian CKD.

F. Manifestasi Klinis
Penurunan fungsi ginjal akan mengakibatkan berbagai manifestasi klinik mengenai di
hampir semua sistem tubuh manusia, seperti:
1. Kardiovaskuler yaitu yang ditandai dengan adanya hipertensi (akibat retensi cairan dan
natrium dari aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron), pitting edema (kaki, tangan,
sacrum), edema periorbital, friction rub pericardial, serta pembesaran vena leher,
frekuensi jantung yang tidak regular akibat hiperkalemia.
2. Integumen yaitu yang ditandai dengan warna kulit abu-abu mengkilat,kulit kering dan
bersisik, pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh serta rambut tipis dan kasar
3. Pulmoner yaitu yang ditandai dengan krekeis, sputum kental dan liat, napas dangkal seta
pernapasan kussmaul
4. Gastrointestinal yaitu yang ditandai dengan napas berbau ammonia, ulserasi dan
perdarahan pada mulut, anoreksia, mual dan muntah, konstipasi dan diare, serta
perdarahan dari saluran GI
5. Neurologi yaitu yang ditandai dengan kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi,
kejang, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapakkaki, serta perubahan perilaku
6. Muskuloskletal yaitu yang ditandai dengan kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang
yang disebabkan oleh ketidakseimbangan kalsium-fosfor, Resiles leg sindrom ( pegal
pada kakinya sehingga selalu digerakan ), burning feet syndrom ( rasa kesemutan dan
terbakar, terutama ditelapak kaki ), tremor, miopati ( kelemahan dan hipertropi otot – otot
ekstremitas serta foot drop.
7. Reproduksi yaitu ditandai dengan amenore dan atrofi testikuler.
8. System hematologi yaitu anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi
eritopoetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sum – sum tulang berkurang, hemolisis
akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga terjadi
gangguan fungsi trombosis dan trombositopeni.
(Smeltzer, 2001; Suyono, 2001).
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Menurut Doenges (2000) adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Urine
1) Volume : biasanya kurang dari 400 ml / 24 jam (oliguria) / anuria.
2) Warna : secara abnormal urine keruh, mungkin disebabkan oleh pus, bakteri, lemak,
partikel koloid, fosfat lunak, sedimen kotor, kecoklatan menunjukkan adanya darah
Hb, mioglobulin, forfirin.
3) Berat jenis :< 1,051 (menetap pada 1.010 menunjukkan kerusakan ginjal berat).
4) Osmolalitas :< 350 Mosm / kg menunjukkan kerusakan mubular dan rasio urine /
sering 1: 1.
5) Clearance kreatinin : mungkin agak menurun
6) Natrium :> 40 ME o /% karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium.
7) Protein : derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara bulat, menunjukkan kerusakan
glomerulus jika SDM dan fagmen juga ada.
8) PH, kekeruhan, glokuso, ketan, SDP dan SDM.

b. Darah
1) BUN
Urea adalah produksi akhir dari metabolism protein, peningkatan BUN dapat
merupakan indikasi dehidrasi, kegagalan pre renal atau gagal ginjal.
2) Kreatinin
Produksi katabolisme otot dari pemecahan kreatinin otot dan kreatinin posfat. Bila
50 % nefron rusak maka kadar kreatinin meningkat.
3) Elektrolit
Natrium, kalium, calcium dan phosfat
4) Hematologi : Hb, thrombosit, Ht, dan leukosit

2. Pemeriksaan Radiologi
Berberapa pemeriksaan radiologi yang biasa digunanakan untuk mengetahui gangguan
fungsi ginjal antara lain:
 Flat-Plat radiografy/Radiographic
Untuk mengetahui keadaan ginjal, ureter, dan vesika urinaria dengan mengidentifikasi
bentuk, ukuran, posisi, dan klasifikasi dari ginjal. Pada gambaran ini akan terlihat
bahwa ginjal mengecil yang mungkin disebabkan karena adanya proses infeksi.
 Computer Tomograohy (CT) Scan
Untuk melihat secara jelas struktur anatomi ginjal yang penggunaannya dengan
memakai kontras atau tanpa kontras.
 Intervenous Pyelography (IVP)
Untuk mengevaluasi keadaan fungsi ginjal dengan memakai kontras. IVP biasa
digunakan pada kasus gangguan ginjal yang disebabkan oleh trauma, pembedahan,
anomali kongental, kelainan prostat, calculi ginjal, abses / batu ginjal, serta obstruksi
saluran kencing.
 Aortorenal Angiography
Untuk mengetahui sistem arteri, vena, dan kapiler pada ginjal dengan menggunakan
kontras. Pemeriksaan ini biasanya dilakukan pada kasus renal arteri stenosis, aneurisma
ginjal, arterovenous fistula, serta beberapa gangguan bentuk vaskuler.
 Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Untuk mengevaluasi kasus yang disebabkan oleh obstruksi neuropati, ARF, proses
infeksi pada ginjal serta post transplantasi ginjal.
 Ultrasono ginjal
Untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya masa , kista, obstruksi pada saluran
perkemihan bagian atas.
 Endoskopi ginjal, nefroskopi
Untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor
selektif.
3. Biopsi Ginjal
Untuk mendiagnosa kelainan ginjal dengan mengambil jaringan ginjal lalu dianalisa.
Biasanya biopsi dilakukan pada kasus glomerulonepritis, neprotik sindom, penyakit ginjal
bawaan, ARF, dan perencanaan transplantasi ginjal.

H. PENATALKSANAAN MEDIS
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif,
meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki
metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit
(Sukandar, 2006).
a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama
gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan
utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi
dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah
diuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG
dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).

2. Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan
suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena
bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
b. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan
terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati
karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai
pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint)
dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut
sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan
obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang
adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.

3. Terapi Pengganti Ginjal


Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG
kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan
transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien
GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan
terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk
dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan
paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter,
muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10
mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia,
muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006).
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah
dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan
yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow
fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang
tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal
(Rahardjo, 2006).
b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu
pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah
menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan
mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting,
pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih
cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi
non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan
sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).
c. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
1. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal
ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah.
2. Kualitas hidup normal kembali
3. Masa hidup (survival rate) lebih lama
4. Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat
imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
5. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
I. KOMPLIKASI
Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001) serta Suwitra (2006) antara lain
adalah:
1) Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme, dan masukan diit
berlebih.
2) Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3) Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin angiotensin
aldosteron.
4) Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5) Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan kadar alumunium
akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik.
6) Uremia akibat peningkatan kadar ureum dalam tubuh.
7) Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.
8) Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
9) Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfate.
J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urin, retensi cairan
dan natrium.
2) Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual,
muntah
3) Gangguan pertukaran gas
4) Perubahan pola nafas berhubungan dengan ketidakseimbangan asam basa, edema paru,
asidosis metabolik
5) Inefektif perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan konsentrasi
hemoglobin dalam darah.
6) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis
7) Kelelahan berhubungan dengan anemia
8) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d anoreksia, mual muntah.
9) Kerusakan integritas kulit b/d efek uremia
10) Intoleransi aktivitas b.d keletihan/kelemahan, anemia, retensi produk sampah dan
prosedur dialysis.
11) Kelebihan volume cairan b/d pemasukan cairan cepat/berlebihan.
12) Risiko infeksi b.d penurunan daya tahan tubuh primer, tindakan invasive

K. RENCANA KEPERAWATAN
Diagnosa
No. Tujuan dan KH Intervensi
Keperawatan
1. Kelebihan volume Tujuan : NIC : Fluid
cairan b.d penurunan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Management
haluaran urine, selama … x 24 jam, volume cairan 1. Monitor TTV
kelebihan diet, dan seimbang 2. Kaji intake dan output
retensi natrium dan cairan
air KH : 3. Monitor indikasi
NOC : Fluid Balance retensi/kelebihan
Indikator 1 2 3 4 5 cairan (crackles, CVP,
TTV edema, distensi vena
Edema jugularis, ascites)
Suara 4. Monitor status
napas hemodinamik (CVP,
tambahan MAP, PAP, dan
Output PCWP)
urine 5. Kaji lokasi dan luas
edema
6. Monitor hasil lab yang
sesuai dengan retensi
cairan (BUN, Ht,
osmolalitas urine)
7. Kolaborasi pemberian
diuretik sesuai indikasi
2. Ketidakseimbangan Tujuan : NIC : Nutrition
nutrisi : kurang dari Setelah dilakukan tindakan keperawatan Management
kebutuhan tubuh b.d selama … x 24 jam, nafsu makan klien a. Kaji status nutrisi klien
anoreksia, nausea, meningkat b. Monitor BB klien
vomitus, perubahan c. Kaji adanya alergi
membran mukosa KH : makanan
oral
NOC : Nutritional status : nutrient d. Monitor intake nutrisi
intake klien
Indikato 1 2 3 4 5 e. Berikan informasi
r tentang kebuthan
BB nutrisi
Intake f. Kolaborasi dengan ahli
nutrisi gizi untuk menentukan
Nafsu jumlah kalori dan
makan nutrisi yang dibutuhkan
klien
3. Intoleransi aktivitas Tujuan : NIC : Energy
b.d keletihan, Setelah dilakukan tindakan keperawatan management
anemia, retensi selama … x 24 jam, toleransi aktivitas 1. Kaji faktor yang
produk sampah klien meningkat menimbulkan keletihan
KH : 2. Tingkatkan
NOC : Activity tolerance kemandirian dalam
Indikator 1 2 3 4 5 aktivitas perawatan diri
Respiratory rate yang dapat ditoleransi,
with activity bantu jika keletihan
Systolic blood terjadi
pressure with 3. Anjurkan aktivitas
activity alternatif sambil
Diastolic blood istirahat
pressure with 4. Anjurkan untuk
activity istirahat setelah dialisis
Ease of performing 5. Sediakan informasi
activities of Daily tentang indikasi tingkat
Living (ADL) keletihan

L. Rencana Asuhan Keperawatan Klien CKD yang Menjalani Hemodialisa


NOC:
- Hemodyalisis access
o Warna kulit pada area shunt/fistula tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi
o Hematoma pada area shunt minimal/tidak ada
o Edema perifer pada area distal shunt tidak ada
- Pengetahuan: diet
o Pasien mengetahui dan mematuhi diet yang direkomendasikan
o Pasien mengetahui pembatasan makan dan minum
o Pasien mengetahui fluktuatif berat badan yang harus diwaspadai
- Pengetahuan : treatment
o Pasien mematuhi jadwal hemodialysis yang dianjurkan
- Skin care
o Tanda-tanda inflamasi minimal
o Pasien mengerti cara perawatan vena shunt
- Fluid overload severity
o Edema kaki tidak ada
o Kongesti vena tidak ada
o Peningkatan berat badan minimal
o Pusing tidak ada
o Kelemahan tidak ada
o Penambahan tekanan darah minimal
NIC :
Pre-hemodialisis
- Pertahankan intake dan output
- Kaji adanya pertambahan berat badan
- Monitor site insersi vena dan arteri
- Monitor hasil lab jika diperlukan
- Monitor vital sign
Intra hemodialysis
- Monitor vital sign
- Monitor blood flow
- Monitor keadaan umum pasien: kelemahan, pusing, penurunan tekanan darah secara
tiba-tiba sebagai tanda hipotensi, hipoglikemia
- Kaji adanya nyeri yang tak tertahankan
- Ajari teknik relaksasi napas dalam jika terjadi nyeri saat insersi
- Monitor kestabilan alat hemodialisis
Post hemodialysis
- Monitor vital sign
- Monitor keadaan umum pasien
- Ukur berat badan pasien
- Monitor adanya edema pada lokasi insersi
DEFINISI HEMODIALISA
Dialisis merupakan suatu proses yang di gunakan untuk mengeluarkan cairan dan produk
limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut. Tujuan dialisis
adalah untuk mempertahankan kehidupan dan kesejahteraan pasien sampai fungsi ginjal pulih
kembali. Metode terapi mencakup hemodialisis, hemofiltrasi dan peritoneal dialisis.
Pada dialisis molekul solut berdifusi lewat membran semipermeabel dengan cara mengalir
dari sisis cairan yang lebih pekat (konsentarsi solut lebih tinggi) ke cairan yang lebih encer (kondisi
solut yang lebih rendah). Cairan mengalir lewat membran semipermeabel dengan cara osmosis
atau ultrafiltrasi (aplikasi tekanan exsternal pada membran) pada hemodialisis membran
merupakan bagian dari dialeser atau ginjal artifisial. Pada perritoneal dialisis, merupakan
peritoneum atau lapisan dinding abdomen berfungsi sebagai membran semipermeabel .
PATOFISIOLOGI
Ginjal adalah organ penting bagi hidup manusia yang mempunyai fungsi utama untuk
menyaring / membersihkan darah. Gangguan pada ginjal bisa terjadi karena sebab primer ataupun
sebab sekunder dari penyakit lain. Gangguan pada ginjal dapat menyebabkan terjadinya gagal
ginjal atau kegagalan fungsi ginjal dalam menyaring / membersihkan darah. Penyebab gagal ginjal
dapat dibedakan menjadi gagal ginjal akut maupun gagal ginjal kronik. Dialisis merupakan salah
satu modalitas pada penanganan pasien dengan gagal ginjal, namun tidak semua gagal ginjal
memerlukan dialisis. Dialisis sering tidak diperlukan pada pasien dengan gagal ginjal akut yang
tidak terkomplikasi, atau bisa juga dilakukan hanya untuk indikasi tunggal seperti hiperkalemia.
Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan sebelum melalui hemodialisis pada pasien gagal ginjal
kronik terdiri dari keadaan penyakit penyerta dan kebiasaan pasien. Waktu untuk terapi ditentukan
oleh kadar kimia serum dan gejala-gejala. Hemodialisis biasanya dimulai ketika bersihan kreatin
menurun dibawah 10 ml/mnt, yang biasanya sebanding dengan kadar kreatinin serum 8-10 mge/dL
namun demikian yang lebih penting dari nilai laboratorium absolut adalah terdapatnya gejala-
gejala uremia.
TUJUAN HEMODIALISA
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa antara lain :
a. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa metabolisme
dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain.
b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya dikeluarkan
sebagai urin saat ginjal sehat.
c. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.
d. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.
Menurut PERNEFRI (2013) waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan dengan
kebutuhan individu. Tiap hemodialisa dilakukan 4 – 5 jam dengan frekuensi 2 kali seminggu.
Hemodialisa idealnya dilakukan 10 – 15 jam/minggu dengan Blood flow (QB) 200–300 mL/menit.
Sedangkan menurut Corwin (2009) hemodialisa memerlukan waktu 3 – 5 jam dan dilakukan 3 kali
seminggu. Pada akhir interval 2 – 3 hari diantara hemodialisa, keseimbangan garam, air, dan pH
sudah tidak normal lagi. Hemodialisa ikut berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel
darah merah rusak dalam proses hemodialisa.
PRINSIP PRINSIP YANG MENDASARI HEMODIALIASIS
Tujuan hemodialisis adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen toksik dari dalam darah dan
mengeluarkan air yang berlebihan. Pada hemodialisis aliran darah yang penuh dengan toksin dan
limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian di
kembalikan lagi ke tubuh pasien. Ada tiga prinsip yang mendasar kerja hemodialisis yaitu: difusi,
osmosis dan ultra filtrasi.
Toksin dan zat limbah di dalam darah di keluarkan melalui proses difusi dengan cara
bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi lebih tinggi ke cairan dialisis dengan konsenterasi
yang lebih rendah.
Air yang berlebihan di keluarkan dari dalam tubuh di keluarkan melalui proses osmosis.
Pengeluaran air dapat di kendalikan dengan menciptakan gradien tekanan, dengan kata lain
bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih
rendah (cairan dialist).
Gradient ini dapat di tingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang dikenal sebagai
ultrafiltasi pada mesin dialis. Tekanan negatif diterapkan pada alat fasilitasi pengeluaran air.
Karena pasien tidak dapat mengekresikan air, kekuatan ini di perlukan untuk mengeluarkan cairan
hingga tercapai isovolemia (keseimbangan cairan).
KOMPONEN HEMODIALISA
1. Dialyzer / Ginjal Buatan
Suatu alat yang digunakan untuk mengeluarkan sisa metabolisme tubuh, bila fungsi kedua ginjal
sudah tidak memadai lagi, mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit, mengeluarkan racun-
racun atau toksin yang merupakan komplikasi dari Gagal Ginjal. Sedangkan fungsi hormonal/
endokrin tidak dapat diambil alih oleh ginjal buatan. Dengan demikian ginjal buatan hanya
berfungsi sekitar 70-80 % saja dari ginjal alami yang normal.
Macam-macam ginjal buatan :
a. Paraller-Plate Diyalizer
Ginjal pertama kali ditemukan dan sudah tidak dipakai lagi, karena darah dalam ginjal ini sangat
banyak sekitar 1000 cc, disamping cara menyiapkannya sangat sulit dan membutuhkan waktu yang
lama.
b. Coil Dialyzer
Ginjal buatan yang sudah lama dan sekarang sudah jarang dipakai karena volume darah dalam
ginjal buatan ini banyak sekitar 300 cc, sehingga bila terjadi kebocoran pada ginjal buatan darah
yang terbuang banyak. Ginjal ini juga memerlukan mesin khusus, cara menyiapkannya juga
memerlukan waktu yang lama.
c. Hollow Fibre Dialyzer
Ginjal buatan yang sangat banyak saat ini karena volume darah dalam ginjal buatan sangat sedikit
sekitar 60-80 cc, disamping cara menyiapkannya mudah dan cepat.
2. Dialisat
Adalah cairan yang terdiri dari air, elektrolit dan zat-zat lain supaya mempunyai tekanan osmotik
yang sama dengan darah.
Fungsi Dialisat pada dialisit:
a. Untuk mengeluarkan dan menampung cairan dan sisa metabolisme
b. Untuk mencegah kehilangan zat-zat vital dari tubuh selama dialisa
Ada 3 cara penyediaan cairan dialisat :
a. Batch Recirculating
Cairan dialisat pekat dicampur air yang sudah diolah dengan perbandingan 1 : 34 hingga 120 L
dimasukan dalam tangki air kemudian mengalirkannya ke ginjal buatan dengan kecepatan 500 –
600 cc/menit.
b. Batch Recirculating/single pas
Hampir sama dengan cara batch recirculating hanya sebagian langsung buang.
c. Proportioning Single pas
Air yang sudah diolah dan dialisat pekat dicampus secara konstan oleh porpropotioning dari mesin
cuci darah dengan perbandingan air : dialisat = 34 : 1 cairan yang sudah dicampur tersebut dialirkan
keginjal buatan secara langsung dan langsung dibuang, sedangkan kecepatan aliran 400 – 600
cc/menit.
3. Akses Vaskular Hemodialisis
1. Akses Vaskular Akut, dibagi menjadi :
a. Fistula Eksternal Arteriovenousus
Fistula eksternal arteriovenousus diperkenalkan oleh Scribner dan Quinton pada tahun 1960, nama
lainnya adala shunt Scribner. Shunt Scribner dibuat dengan memasang selang Silastic dengan
ujung Teflon yang sesuai ke dalam arteri radialis dan vena cephalika pada pergelangan tangan atau
ke dalam arteri tibialis posterior dan vena saphenousus pada pergelangan kaki. Bila shunt ingin
digunakan, maka selang Silastic dihubungkan secara langsung dengan selang darah dan mesin
dialisa, jika tidak digunakan maka selang dihubungkan dengan konektor Teflon. Ada kerugian
karena pemakaian shunt Scribner adalah thrombosis, mudah tercabut dan perdarahan. Karena
banyaknya kekurangan shunt Scribner tersebut, maka shunt ini sekarang sudah jarang dipakai
untuk hemodialisis
b. Kateter Double-Lumen Hemodialisis
Kateter double-lumen hemodialisis merupakan alat akses vaskular hemodialisis akut. Kateternya
terbuat dari polyurethane, polyethylene atau polytetrafluoethylene.

Gambar 2.
c. Tunneled Cuffed Catheter
Tunneled cuffed catheter adalah kateter double lumen silastic atau silicon dengan cuff dapat
digunakan sebagai akses temporary pada hemodialisis dimana fistulanya belum siap digunakan.
Keuntungannya kateter ini dapat segera digunakan, tidak ada resiko menembus arteri dan tidak
diperlukan jarum bila memerlukan hemodialisis. Kerugiannya adalah resiko bakteremia dan
infeksi yang menjalar karena pemakaian kateter dan kecepatan aliran darah yang rendah secara
persisten yang menyebabkan hemodialisis tidak adekuat.

Gambar 3.

2. Akses Vaskular Permanen


a. Fistula Arteriovenousus Primer
AV fistula primer pertama-tama diperkenalkan oleh Cimino dan Brescia pada tahun 1961. Fistula
ini dibuat dengan membuat anastomosis end to side vena ke arteri pada vena cephalika dan arteri
radialis dan memerlukan waktu 2-6 bulan untuk matur sehingga dapat digunakan. Jenis fistula
primer lainnya adalah fistula brachiocephalica pada siku dan diubah menjadi fistula
brachiobasilica. Perubahan fistula brachiobasilica dibuat dengan membuat insisi dari lengan
bawah ke axial sepanjang rute vena basilica dan dibuat anastomosis dengan arteri brachialis.
Keuntungannya adalah pemakaian AV fistula dapat digunakan untuk waktu beberapa tahun,
sedikit terjadi infeksi, aliran darahnya tinggi dan memiliki sedikit komplikasi seperti thrombosis.
Sedangkan kerugiannya adalah memerlukan waktu cukup lama sekitar 6 bulan atau lebih sampai
fistula siap dipakai dan dapat gagal karena fistula tidak matur atau karena gangguan masalah
kesehatan lainnya.
Gambar 4.
b. Graft Arteriovenousus Sintetis
AV graft sintetis adalah suatu tindakan pembedahan dengan menempatkan graft
polytetrafluoroethylene (PTFE) pada lengan bawah atau lengan atas (arteri brachialis ke vena
basilica proksimal). Keuntungannya graft ini dapat dipakai dalam waktu lebih kurang 3 minggu
untuk bias dipakai. Kerugiannya dapat terjadi thrombosis dan infeksi lebih tinggi daripada
pemakaian AV fistula primer. Akhir-akhir ini di temukan bahwa graft PTFE dilakukan pada
dinding dada (arteri aksilaris ke vena aksilaris atau arteri aksilaris ke vena jugularis) atau pada
paha (arteri femoralis ke vena femoralis).
D. Lokasi penusukan kateter hemodialisis dapat dilakukan di beberapa tempat,yaitu :
1. Vena femoralis
Pengertian kateter femoralis menurut Hartigan (dalam Lancester, 1992) adalah
pemasangan kanul kateter secara perkutaneous pada vena femoralis. Kateter dimasukkan ke dalam
vena femoralis yang terletak di bawah ligamen inguinalis. Pemasangan kateter femoral lebih
mudah daripada pemasangan pada kateter subclavian atau jugularis internal dan umumnya
memberikan akses lebih cepat pada sirkulasi. Panjang kateter femoral sedikitnya 19 cm sehingga
ujung kateter terletak di vena cava inferior.
Gutch, Stoner dan Corea (1999) mengatakan bahwa indikasi pemasangan kateter femoral
adalah pada pasien dengan PGTA dimana akses vaskular lainnya mengalami sumbatan karena
bekuan darah tetapi memerlukan HD segera atau pada pasien yang mengalami stenosis pada vena
subclavian. Sedangkan kontraindikasi pemasangan keteter femoral adalah pada pasien yang
mengalami thrombosis ileofemoral yang dapat menimbulkan resiko emboli (Lancester, 1992).
Komplikasi yang umumnya terjadi adalah hematoma, emboli, thrombosis vena
ileofemoralis, fistula arteriovenousus, perdarahan peritoneal akibat perforasi vena atau tusukan
yang menembus arteri femoralis serta infeksi (Gutch, Stoner & Corea, 1999). Tingginya angka
kejadian infeksi tersebut, maka pemakaian kateter femoral tidak lebih dari tujuh hari.
2. Vena subclavicula
Kateter double lumen dimasukkan melalui midclavicula dengan tujuan kateter tersebut
dapat sampai ke suprastrernal. Kateter vena subclavikula lebih aman dan nyaman digunakan untuk
akses vascular sementara dibandingkan kateter vena femoral, dan tidak mengharuskan pasien
dirawat di rumah sakit. Hal ini disebabkan keran rendahnya resiko terjadi infeksi dan dapat dipakai
sampai lebih dari 1 minggu. Kateter vena subklavikula ini dapat menyebabkan komplikasi seperti
pneumotoraks, stenosis vena subklavikula, dan menghalangi akses pembuluh darah di lengan
ipsilateral oleh karena itu pemasangannya memerlukan operator yang terlatih daripada
pemasangan pada kateter femoral. Dengan adanya komplikasi ini maka kateter vena subklavikula
ini sebaiknya dihindari dari pasien yang mengalami fistula akibat hemodialisa.

Gambar 5.
3. Vena jugularis internal
Kateter dimasukkan pada kulit dengan sudut 200 dari sagital, dua jari di bawah clavicula,
antara sternum dan kepala clavicula dari otot sternocleidomastoideus. Pemakaian kateter jugularis
internal lebih aman dan nyaman. Dapat digunakan beberapa minggu dan pasien tidak perlu di rawat
di rumah sakit. Kateter jugularis internal memiliki resiko lebih kecil terjadi pneumothoraks
daripada subclavian dan lebih kecil terjadi thrombosis. Oliver, Callery, Thorpe, Schwab &
Churchill (2000, Risk of Bacteremia from temporary hemodialysis catheter by site of insertion and
duration of use : a prospective study, http://www.nature.com, diperoleh tanggal 25 Januari 2007)
mengatakan bahwa dari 318 pemakaian kateter pada lokasi tusukan yang baru, terjadi bakteremia
5,4% setelah pemakaian lebih dari 3 minggu pada kateter jugularis interna.

Gambar 6.

PRINSIP HEMODIALISIS
Perpindahan zat melalui membran dialisis di tentukan oleh 2 faktor utama,yaitu :
1. Difusi
Difusi berarti perpindahan zat terlarut /salut oleh tenaga yang di tentukan oleh perbedaan
konsentrasi zat terlarut di kedua sisi membran dialysis. Kecepatan dan arah perpindahan ini di
tentukan oleh:
 luas permukaan membran
 kecepatan aliran darah dan cairan dialisat
 perbedaan konsentrasi
 koofisien difusi membran (permeabilitas)

2. Konveksi
Konveksi adalah perpindahan zat terlarut dan pelarut melalui membran akibat tenaga
hidrostatik yang bekerja pada membran.
Perpindahan ini di tentukan oleh:
 Tekanan transmembran
 Luas permukaan membran
 Koefisien difusi membran (permeabilitas hidraulik membran).
 Perbedaan tekanan osmotik.
 Pengeluaran cairan secara ultrafiltrasi tergantung terutama pada tekanan
hidrostatik (tekanan positive kompartemen darah di tambah tekanan yang
negatif karna dialisat) yang mendorong air melalui membran.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner dan Suddarth. 2013. Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. Jakarta : EGC.
Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi (diterjemahkan oleh Nkhe Budhi subekti).
Jakarta : EGC
Guyton, A.C., and Hall, J.E., 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11thed, Jakarta: EGC, pp.
231-237 dan 326-327.
Muttaqin, Arif. 2009. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskular. Jakarta: Salemba Medika.
Nursalam. 2013. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Perkemihan.
Jakarta: Salemba Medika.
Suharyanto dan Abdul, Madjid. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan
Sistem Perkemihan. Trans Info Media: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai