Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN

CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) ON HEMODIALISA (HD)

Laporan ini disusun untuk memenuhi tugas praktik klinik


Keperawatan Medikal Bedah

Disusun Oleh :

Putri Nur Afni


D0023050

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BHAMADA SLAWI
2023-2024
LAPORAN PENDAHULUAN
CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) ON HEMODIALISA (HD)

A. Chronic Kidney Disease (CKD) / Gagal Ginjal Kronik


1. Definisi
Chronic Kidney Disease atau CKD merupakan suatu keadaan menurunnya
fungsi ginjal yang bersifat kronis akibat kerusakan progresif sehingga terjadi
uremis atau penumpukan akibat kelebihan urea dan sampah nitrogen di
dalam darah (Priyanti & Farhana, 2016). Menurut Kidney Disease
Outcomes Quality Initiative (KDQI), CKD didefinisikan sebagai kerusakan
ginjal atau laju infiltrasi glomerulus (LFG) < 60 mL/menit/1,73 m2 selama
3 bulan atau lebih (Nurbadriyah, 2021). Menurut Susianti (2019), CKD
didefinisikan sebagai kelainan struktural atau fungsional ginjal yang
berlangsung lebih dari tiga bulan.

CKD merupakan suatu kondisi dimana organ ginjal sudah tidak mampu
mengangkut sampah sisa metabolik tubuh berupa bahan yang biasanya
dieliminasi melalui urin dan menumpuk dalam cairan tubuh akibat
gangguan ekskresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin dan
metabolik, cairan, elektrolit, serta asam basa (Toto, 2015). CKD adalah
gangguan fungsi ginjal yang progresif dan tidak dapat pulih kembali,
dimana tubuh tidak mampu memelihara metabolisme dan gagal memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit yang berakibat pada peningkatan ureum.
Pada pasien gagal ginjal kronis mempunyai karakteristik bersifat menetap,
tidak bisa disembuhkan dan memerlukan pengobatan berupa, transplantasi
ginjal, dialysis peritoneal, hemodialysis dan rawat jalan dalam waktu yang
lama (Desfrimadona, 2016).

Dari pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa, CKD merupakan


suatu kondisi dimana tubuh tidak dapat mempertahankan keseimbangan
elektrolit, metabolik dan cairan yang diakibatkan adanya gangguan pada
fungsi ginjal yang bersifat progresif.

Berikut ini klasifikasi derajat gagal ginjal kronis untuk mengetahui tingkat
prognosanya :
GFR
Stage Deskripsi
(ml/menit/1,73m2)
I Kidney damage with normal or increase of GFR >90
II Kidney damage with mild decrease of GFR 60-89
III Moderate decrease of GFR 30-59
IV Severe decrease of GFR 15-29
V Kidney Failure <15 (or dialysis)

2. Etiologi
Gagal ginjal kronis sering kali menjadi penyakit komplikasi dari penyakit
lainnya, sehingga merupakan penyakir sekunder. Prabowo & Pranata
(2014), penyebab gagal ginjal kronis diantaranya :
a. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis kronis merupakan penyakit yang berkembang lambat
dan ditandai dengan inflamasi glomeruli, yang mengakibatkan sklerosis,
parut, dan akhirnya gagal ginjal.
b. Infeksi kronis (pyelonefritis kronis, TBC).
c. Kelainan kongenital (polikistik ginjal, asidosis tubulus ginjal).
d. Penyakit vaskuler (nefrosklerosis benigna / maligna, stenosis arteria
renalis).
e. Proses obstruksi (kalkuli, nefrolithisis).
f. Gangguan jaringan penyambung (SLE, poliarteritis nodosa, sklerosis
sistemik progresif).
g. Agen nefrotik (amino-glikosida).
h. Penyakit metabolik (diabetes, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis).
Menurut Rendy & Margareth (2012), penyebab GGK dapat dikelompokkan
sebagai berikut :
a. Penyakit parenkim ginjal
1) Penyakit ginjal primer : glomerulonefritis, miebnefritis, ginjal
polikistik, TBC ginjal.
2) Penyakit ginjal sekunder : nefritis lupus, nefropati, amilordosis ginjal,
poliartritis nodasa, selelosis sistemik, gout, DM.
b. Penyakit ginjal obstruktif
Pembesaran prostat, batu saluran kemih, refluk ureter

3. Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus
dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh).
Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang
meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR /
daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi
sampai
¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih
besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai
poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah
banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya
gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas
kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada
tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai
15 ml/menit atau lebih rendah itu (Rendy & Margareth, 2012).

Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya


diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk
sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik
setelah dialisis (Rendy & Margareth, 2012).
Perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi tiga stadium
yaitu:
a. Stadium 1 (penurunan cadangan ginjal)
Di tandai dengan kreatinin serum dan kadar Blood Ureum Nitrogen
(BUN) normal dan penderita asimtomatik.
b. Stadium 2 (insufisiensi ginjal)
Lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak (Glomerulo filtration
Rate besarnya 25% dari normal). Pada tahap ini Blood Ureum Nitrogen
mulai meningkat diatas normal, kadar kreatinin serum mulai meningklat
melabihi kadar normal, azotemia ringan, timbul nokturia dan poliuri.
c. Stadium 3 (Gagal ginjal stadium akhir / uremia)
Timbul apabila 90% massa nefron telah hancur, nilai glomerulo filtration
rate 10% dari normal, kreatinin klirens 5-10 ml permenit atau kurang.
Pada tahap ini kreatinin serum dan kadar blood ureum nitrgen meningkat
sangat mencolok dan timbul oliguri (Rendy & Margareth, 2012).
4. Pathway
5. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala klinis pada gagal ginjal kronis dikarenakan gangguan yang
bersifat sistemik. Ginjal sebagai organ koordinasi dalam peran sirkulasi
memiliki fungsi yang banyak sehingga kerusakan kronis secara fisiologis
ginjal akan mengakibatkan gangguan keseimbangan sirkulasi dan vasomotor
(Prabowo & Pranata, 2014). Menurut Long dalam Rendy & Margareth
(2012), tanda dan gejala GGK sebagai berikut :
a. Gejala dini
Letargi, sakit kepala, kelelaham fisik dan mental, BB berkurang, mudah
tersinggung, dan depresi.
b. Gejala lebih lanjut
Anoreksia, nausea, vomiting, nafas dangkal/sesak saat ada kegiatan
maupun tidak, edema disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi
mungkin juga sangat parah.

Sedangkan menurut Robinson (2013), tanda dan gejala pada gagal ginjal
kronis meliputi :
a. Ginjal dan Gastrointestinal
Sebagai akibat dari hiponatremi maka timbul hipotensi, mulut kering,
penurunan turgor kulit, kelemahan, fatigue, dan mual. Kemudian terjadi
penurunan kesadaran (somnolen) dan nyeri kepala yang hebat. Dampak
dari peningkatan kalium adalah peningkatan iritabilitas otot dan akhirnya
otot mengalami kelemahan. Kelebihan cairan yang tidak terkompensasi
akan mengakibatkan asidosis metabolik. Tanda paling khas adalah
terjadinya penurunan urine output dengan sedimentasi yang tinggi.
b. Kardiovaskuler
Biasanya terjadi hipertensi, aritmia, kardiomiopati, uremic perikarditis,
efusi perikardial (kemungkinan terjadi tamponade jantung), gagal
jantung, edema periorbital dan edema perifer.
c. Sistem Respirasi
Biasanya terjadi edema pulmonal, nyeri pleura, friction rub dan efusi
pleura, crackles, sputum yang kental, uremic pleuritis dan uremic lung
dan sesak nafas.
d. Gastrointestinal
Biasanya menunjukkan adanya inflamasi dan ulserasi pada mukosa
gastrointestinal karena stomatitis, ulserasi dan perdarahan gusi dan
kemungkinan juga disertai parotitis, esofagitis, gastritis, doudenal
ulseratif, lesi pada intestinum/kolon, kolitis, dan pankreatitis. Kejadian
sekunder biasanya mengikuti seperti anoreksia, nausea dan vomitting.
e. Integumen
Kulit pucat, kekuning-kuningan, kecoklatan, kering, dan ada scalp. Selain
itu biasanya juga menunjukkan adanya purpura, ekimosis, petekie, dan
timbunan urea pada kulit.
f. Neurologi
Biasanya ditunjukkan dengan adanya neuropati perifer, nyeri, gatal, pada
lengan dan kaki. Selain iu, juga adanya kram pada otot dan refleks
kedutan, daya memori menurun, apatis, rasa kantuk meningkat,
iritabilitas, pusing, koma dan kejang. Dari hasil EEG menunjukkan
adanya perubahan metabolik ensefalopati.
g. Endokrin
Bisa terjadi infertilitas dan penurunan libido, amenorea dan gangguan
siklus menstruasi pada wanita, impoten, penurunan sekresi sperma,
peningkatan sekresi aldosteron dan kerusakan metabolisme karbohidrat.
h. Hematopoetic
Terjadi anemia, penurunan waktu hidup sel darah merah,
trombositopenia (dampak dialisis) dan kerusakan platelet. Biasanya
masalah yang serius pada sistem hematologi ditunjukkan dengan adanya
perdarahan (purpura, ekimosis, petekie).
i. Muskuloskeletal
Nyeri pada sendi dan tulang, demineralisasi pada tulang, fraktur
patologis, kalsifikasi (otak, mata, gusi, sendi, miokard).

6. Pemeriksaan Penunjang
Untuk hasil yang lebih akurat, pemeriksaan fungsi ginjal adalah dengan
analisa Creatinin Clearence. Menurut Prabowo & Pranata (2014),
pemeriksaan penunjang lainnya adalah sebagai berikut :
a. Pemeriksaan Laboratorium (Biokimia)
1) Laboratorium darah :
Pemeriksaan utama (BUN, Kreatinin), elektrolit (Na, K, Ca, Phospat),
Hematologi (Hb, trombosit, Ht, Leukosit), protein, antibody
(kehilangan protein dan immunoglobulin). Pemeriksaan kadar
elektrolit dilakukan untuk mengetahui status keseimbangan elektrolit
dalam tubuh sebagai bentuk kinerja ginjal.
2) Pemeriksaan urine
Warna, pH, Berat Jenis, kekeruhan, volume, glukosa, protein, sedimen,
SDM, keton, SDP, TKK/CCT
b. Pemeriksaan EKG
Untuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda perikarditis, aritmia,
dan gangguan elektrolit (hiperkalemi, hipokalsemia).
c. Pemeriksaan USG
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim
ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih
serta prostate. Pada klien gagal ginjal, hasil menunjukkan adanya
obstruksi atau jaringan parut pada ginjal.
d. Pemeriksaan Radiologi
Renogram, Intravenous Pyelography, Retrograde Pyelography, Renal
Aretriografi dan Venografi, CT Scan, MRI, Renal Biopsi, pemeriksaan
rontgen dada, pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen.
7. Penatalaksanaan
Mengingat bahwa fungsi ginjal yang rusak sangat sulit untuk dikembalikan,
maka tujuan penatalaksanaan adalah untuk mengoptimalkan fungsi ginjal
yang ada dan mempertahankan keseimbangan secara maksimal untuk
memperpanjang harapan hidup klien. Sebagai penyakit yang kompleks,
gagal ginjal kronis membutuhkan penatalaksanaan terpadu dan serius
sehingga akan meminimalisir komplikasi dan meningkatkan harapan hidup
klien (Prabowo & Pranata, 2014). Menurut Robinson (2013), beberapa hal
yang harus diperhatikan dalam penatalaksanaan yaitu :
a. Perawatan kulit yang baik
Gunakan sabun yang mengandung lemak dan lotion tanpa alkohol untuk
mengurangi rasa gatal. Jangan gunakan gliserin/sabun yang mengandung
gliserin karena akan mengakibatkan kulit semakin kering.
b. Jaga kebersihan oral
Gunakan sikat gigi dengan bulu sikat yang lembut, kurangi konsumsi
gula untuk mengurangi rasa tidak nyaman di mulut.
c. Beri dukungan nutrisi
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menyediakan makanan dengan anjuran
diet tinggi kalori, rendah protein (20-40 gr/hari), rendah natrium dan
kalium. Menghilangkan gejala anoreksia dan nausea dari uremia,
menyebabkan penurunan uremia, dan perbaikan gejala. Hindari masukan
berlebih dari kalium dan garam
d. Optimalisasi dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam
Diusahakan hingga tekanan vena jugularis sedikit meningkat dan terdapat
edema betis ringan. Pengawasan dilakukan melalui berat badan, urine
dan pencatatan keseimbangan cairan
e. Pantau adanya hiperkalemia
Hiperkalemia ditunjukkan dengan adanya kejang/kram pada lengan dan
abdomen dan diarea, dan dapat dipantau melalui ECG. Hindari masukan
kalium yang besar (<60 mmol/hari). Hiperkalemia diatasi dengan dialisis.
f. Atasi hiperfosfatemia dan hipokalsemia
Kondisi ini dapat diatasi dengan pemberian antasida (kalsium karbonat)
g. Kaji status hidrasi dengan hati-hati
Periksa ada/tidaknya distensi vena jugularis dan crackles pada auskultasi
paru-paru. Pantau keringan berlebih pada aksila, lidah yang kering,
hipertensi dan edema perifer. Cairan hidrasi yang diperbolehkan adalah
500-600 ml atau lebih dari haluaran urine 24 jam.
h. Kontrol tekanan darah
Upayakan dalam kondisi normal, yang dapat dicegah dengan mengontrol
volume intravaskuler dan obat-obatan anti-hipertensi.
i. Pantau terjadinya komplikasi pada tulang dan sendi
j. Mencegah obstruksi jalan nafas
Latih klien nafas dalam dan batuk efektif untuk mencegah terjadinya
kegagalan nafas akibat obstruksi
k. Jaga kondisi septik dan aseptik setiap prosedur perawatan
l. Observasi tanda perdaraham
Pantau kadar hemoglobin dan hematokrit. Pemberian heparin selama
proses dialisis harus disesuaikan dengan kebutuhan.
m. Observasi adanya gejala neurologis
Laporkan segera jika dijumpai kedutan, sakit kepala, kesadaran delirium,
kejang otot. Berikan diazepam/fenitoin jika dijumpai kejang.
n. Atasi komplikasi dan penyakit
Sebagai penyakit yang sangat mudah menimbulkan komplikasi, maka
harus dipantau secara ketat. Gagal jantung kongestif dan edema pulmonal
dapat diatasi dengan membatasi cairan, diet rendah natrium, diuretik,
preparat inotropik (igitalis/dobutamin) dan lakukan dialisis jika perlu.
Kondisi asidosis metabolik dapat diatasi dengan pemberian nartrium
bikarbonat atau dialisis.
o. Laporkan segera jika mucul tanda-tanda perikarditis (friction rub & nyeri
dada)
p. Tata laksana dialisis/transplantasi ginjal
q. Transfusi darah
r. Obat-obatan
Diuretik untuk meningkatkan urinasi, alumunium hidroksida untuk terapi
hiperfosfatemia, anti hipertensi untuk terapi hipertensi serta diberi obat
yang dapat menstimulasi produksi RBC seperti epoetin alfa bila terjadi
anemia, suplemen besi, agen pengikat fosfat, suplemen kalsium,
furosemid (membantu berkemih)

B. Hemodialisa
1. Definisi
Hemodialisa berasal dari kata hemo yang berarti darah dan dialis nadalah
memisah dari yang lain, maka hemodialisa adalah pemisahan komponen
darah dari zat metabolisme dan zat yang dibutuhkan oleh tubuh dengan
menggunakan ginjal pengganti (dialyzer) dan dialisat melalui membran semi
permeabel.

Hemodialisa-dialisis merupakan suatu proses dimana solute dan air


mengadakan difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dan
kompartemen cair menuju kompartemen lain (Prince & Wilson, 2005).
Proses ini digunakan untuk mengeluarkan cairan dan elektrolit limbah dari
dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut.

2. Tujuan Hemodialisa
a. Mengeluarkan sisa-sisa metabolisme protein (toksin uremia).
b. Memperbaiki keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa.
c. Menjaga fungsi ginjal bila terjadi obstruksi.

3. Indikasi Hemodialisa
a. Gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronik yang tidak berhasil dengan
terapi konservatif.
b. Gagal ginjal kronik yang dipersiapkan untuk transpantasi ginjal.
c. Dialisis pre operatif.

4. Indikasi Absolute Hemodialisa


a. Ureum lebih dari 200 mg%
b. Kreatinin lebih dari 8 mg%
c. Kelebihan voleme cairan coverload.
d. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit/hiperkalemia
e. Gangguan asam basa (asidosis) pH < 7,2
f. Klinis uremia dengan kesadaran menurun meskipun ureum darah < 200
mg%
g. Keracunan obat dan kesalahan transfuse
h. Tes Clearen Creatinin (CCT) < 10 ml/menit
i. Perikarditis
j. Uremic lung
k. Enselopati
l. Hipertensi Berat

5. Prinsip Hemodialisa
Menempatkan darah disampingan dengan cairan dialisat, dipisahkan oleh
suatu membran (selaput tipis) yang disebut membrane semi permeabel.
Membrane dapat dilalui oleh air dan zat tertentu (zat sampah) sesuai dengan
besar molekulnya. Proses ini disebut dialisis yaitu pemisahan air dan zat
tertentu dari kompartemen darah ke kompartemen dialisat atau sebaliknya
dari kompartemen dialisat ke kompartemen darah, melalui membrane semi
permeabel.

6. Mekanisme Perpindahan Hemodialisa


Mekanisme perpindahan ditentukan oleh 3 proses, yaitu:
a. Difusi
Berpindahnya suatu zat (solute) karena tenaga yang ditimbulkan oleh
keadaan kadar zat (konsentrasi) di dalam darah dan dializat yaitu makin
tinggi kadar zat dalam darah makin banyak yang dipindahkan ke dializat.
Kecepatan perpindahan darah dipengaruhi oleh:
1) Konsentrasi
2) Berat molekul
3) QB dan QD
4) Luas permukaan membrane
5) Permeabilitas membrane
b. Osmosis
Perpindahan air oleh karena kimiawi, yaitu karena perbedaan osmolalitas
darah dan dialisat.
c. Ultrafiltrasi
Berpindahnya air dan zat melalui membran semi permeabel akibat
tekanan hidrostatik yang bekerja pada membrane atau perbedaan tekanan
hidrostatik di dalam kompartemen darah dan kompartemen dialisat.
Perpindahan dan kecepatan ini dipengaruhi oleh :
1) TMP (trans membrane pressure)
2) Luas permukaan membrane
3) KUF (koefisien Ultra Filtrasi
4) QB dab QD

7. Komponen Utama Hemodialisa


Komponen utama hemodialisa terdiri dari 3 komponen, yaitu:
a. Sirkulasi darah
Adalah sirkulasi yang memberikan darah dari tubuh melalui jarum atau
kanula arteri dengan bantuan pompa darah (blood pump) ke
kompartemen darah dengan kecepatan aliran darah QB kemudian darah
dikembalikan ke dalam tubuh melalui jarum/kanula vena. Sirkulasi darah
ada 2 bagian besar, yaitu:
1) Saluran arteri (arteri line) atau in let set yaitu: saluran sirkulasi darah
sebelum dializer yang berwarna merah (ABL)
2) Saluran vena ( vena line) atauout let set yaitu: saluran sirkulasi darah
sesudah dialyzer yang berwarna biru (AVL)
b. Sirkulasi cairan dialisat
Dialisat adalah cairan yang digunakan untuk proses hemodialisa, berada
dalam kompartemen dialisat, bersebrangan dengan kompartemen darah
dengan bantuan pompa dialisat, ada 2 jenis dialisat yaitu:
1) Asetat (acetat)
2) Bikarbonat (bicarbonate)
c. Dializer (Gb)
Dializer adalah suatu alat yang digunakan untuk mengeluarkan sampah
hasil metabolism tubuh atau zat toksik lainnya dari dalam tubuh. Dializer
merupakan suatu kotak atau tabung tertutup yang dibagi atas 2 ruangan
atau kompartemen oleh suatu membran (selaput tipis) semi permeabel
yaitu kompartemen dialisat dan kompartemen darah dan mempunyai 4
jalan masuk/keluar, 2 buah berhubungan dengan kompartemen darah dan
2 buah lagi berhubungan dengan kompartemen dialisat.

8. Hiperinisiasi
Pemberian antikoagulan pada sirkulasi HD, merupakan pemberian/
mengedarkan suatu antikoagulan, dimana hal ini heparin di injeksi ke dalam
sirkulasi dalam tubuh maupun sirkulasi luar tubuh (sistemik atau
ekstrakorporeal) pada waktu proses hemodialisa. Tujuan heparisasi adalah
mencegah pembekuan darah di dalam kedua sirkulasi terutama pada
dialyzer AVBL, jarum punksi (avfistula/kanula).

Dosis heparin:
a. Dosis awal/dosis pemula
Dosis yang diberikan 25 unit-100 unit/kg (2500 unit) dimasukkan pada
awal hemodialisa.
b. Dosis lanjutan
Dosis yang diberikan 500-2000 unit/jam (1250 unit/jam diberikan
sebelum hemodialisa berakhir, heparin sudah harus di stop.

9. Akses Vaskuler
a. Permanen : AV fistula
b. Sementara : femoral
c. Long HD
1) HD pertama kali : 3 jam
2) HD kedua : 4 jam
3) HD rutin : 4-5 jam

10. Perawatan pada Pasien Hemodialisa


a. Pre hemodialisa
1) Persiapan alat
a) Mesin HD
b) Listrik
c) Air ( reserve asmosis)
d) Cairan dializat
2) Dialisa set
a) Hallow fiker (GB)
b) Blood line ABL, VBL
c) Fistula sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan
d) Infus set/blood set
3) Persiapan alat
a) NaCl 0,9% 2 flash (2000cc)
b) Kupet steril : 1 spuit 20cc, 5cc, 1cc, duk, gaas steril 3 buah,
handscoon steril
c) Alat-alat lain :
- Gunting
- Plaster
- Klem
- Timbangan
- Desinfektan, alcohol dan betadin
- Antikoagulasi + heparin
- Tempat sampah medis dan non medis
4) Persiapan pasien
Perjanjian HD
- Persiapan mental
- Anamnesa kesehatan umum pasien
- Pemeriksaan fisik : timbang BB, posisi pasien, observasi vital
sign
b. Intra Hemodialisa
1) Monitor penderita : KU pasien, Observasi TTV
2) Monitor mesin HD : QB ( kecepatan aliran HD), conductivity,
TMP, Venoeus pressure, UFG, UFR, ultrafiltrasi, heforinisasi,
kecepatan aliran dializat, kecepatan aliran darah, temperature.
3) Sirkulasi darah : Sambungan sirkulasi darah, gelombang
darah, kecepatan aliran darah, bekuan darah, kebocoran darah.
c. Post Hemodialisa
1) Darah dimasukkan di dorong dengan NaCl 0,9%
2) Tekan luka bekas tusukan dengan gaas betadine
3) Perhatikan KU pasien
4) Mengukur TTV
5) Menimbang BB

11. Komplikasi
a. Hipotensi
Angka terjadinya komplikasi ini sekitar 15–30% dari pasien yang
menjalankan hemodialisa. Keadaan yang biasa menyebabkan hipotensi
menurut Clarkson et al (2010) antara lain kecepatan ultrafiltrasi yang
tinggi, diabetes mellitus, amyloidosis, medikasi (beta bloker, alpha
bloker, nitrat, calcium channel blocker), proses pencernaan makanan
selama dialisis.
b. Emboli udara
dapat terjadi bila udara memasuki sitem vaskuler pasien
c. Nyeri dada
Dapat terjadi bila tekanan CO2 menurun bersama dengan terjadinya
sirkulasi darah di luar tubuh
d. Kram otot
Kram otot terjadi sekitar 20% dalam terapi dialisis. Keram otot ini
berhubungan dengan kecepatan ultrafiltrasi yang tinggi dan rendahnya
konsentrasi sodium diasilat yang dapat mengindikasi terkadinya keram
yang menjadikan penyebab terjadinya kontraksi akut volume
ekstraseluler (Clarkson et al., 2010). Selain itu kram mungkin adalah
reflek dari perubahan elektrolit yang berpindah ke otot membran
(O’Callaghan, 2006)
e. Dialysis Disequilibrium Syndrome
Terjadi pada saat hemodialisis pertama kali atau pada awal dimulainya
terapi hemodialisis. Sindrom ini merupakan akibat dari perubahan
osmotik pada otak, khususnya pada dinding urea plasma. (O’Callaghan,
2006). Sindrom ini berhubungan dengan sekumpulan gejala yang
mencakup mual dan muntah, kegelisahan, sakit kepala, dan kelelahan
selama dilakukannya hemodialisa atau setelah dilakukannya
hemodialisa. Dialysis Disequilibrium biasanya dilihat pada situasi
dimana pada awal konsentrasi larutan sangat tinggi dan alirannya
menalami kemunduran kecepatan (Clarkson et al., 2010).
f. Hipoglikemia
Disebabkan oleh pengurangan level potassium yang terlalu sering.
g. Perdarahan
Terjadi karena kerusakan fungsi platelet di daerah uremik dan adanya
perubahan permeabilitas kapiler serta anemia. Dari beberapa hal
tersebut dapat meningkatkan hilangnya di saluran pencernaan karena
gastritis
atau angiodysplasia, lesi yang berhubungan dengan gagal ginjal. Pada
awal dilakukannya hemodialis, dilaporkan bahwa adanya sebagian
kerusakan yang disebabkan disfungsi platelet dan permeabilitas kapiler.
Pasien yang menjalani hemodialisis mempunyai resiko tinggi untuk
terkena perdarahan karena terpapar heparin secara berulang ulang
(Clarkson et al., 2010).
h. Hipoksemia
Merupakan reflek dari hipoventilasi yang menyebabkan perpindahan
dari bikarbonat atau penutupan pulmo sehingga mengakibatkan
perubahan vasomotor dan terjadi aktifasi subtansi pada membran
dialisis (O’Callaghan, 2006).
i. Gatal-gatal
Terjadi setelah proses hemodialisis dilakukan mungkin terjadi karena
adanya reflek gatal pada gagal ginjal kronik, eksaserbasi dari pelepasan
histamin menyebabkan adanya reaksi alergi ringan pada membran
dialisis. Jarang terjadi dengan terpaparnya darah pada membran dialisis
dapat meyebabkakan respon alergi yang general (O’Callaghan, 2006).

Penanganan komplikasi HD
1. Hipotensi : meningkatkan BB pasien sebelum HD kemudian
membandingkan antara BB pre HD dengan post HD terakhir untuk
menentukan jumlah cairan yang akan dikeluarkan
2. Emboli udara : penanganan dengan mengeluarkan udara dari dalam otot
– otot HD tidak boleh ada udara yang masuk dalam alat HD dan
sebelum alat dipasang pada pasien maka alat dibilas dulu dengan NaCl
0,9% sekaligus untuk mendorong udara keluar, udara harus dikeluarkan
dari alat dan tidak boleh masuk ke dalam vaskuler pasien karena dapat
menimbulkan emboli.
3. Kram otot : bagian tubuh yang mengalami kram dipijat agar menjadi
lemas, pasien dianjurkan untuk relaks agar otot-otot yang kram bisa
lemas dengan cepat setelah dipijat.
4. Nyeri dada : nyeri disebabkan QB, tapi darah yang masuk dalam tubuh
lambat penanganannya dengan menurunkan QB.
5. Mual muntah : pasien diajarkan teknik relaksasi nafas dalam yang dapat
membantu merilekskan diri dan mengurangi rasa mual pasien

C. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Pernapasan : nafas pendek, dispnea, batuk.
b. Makan dan minum : peningkatan berat badan cepat (odema), penurun
berat badan (malnutrisi), anoreksia, mual, muntah, perubahan turgor
kulit.
c. Eleminasi : penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria
d. Aktivitas dan istirahat : kelelahan, kelemahan otot,penurunan rentang
gerak, kehilangan tonus, malaisie
e. Sirkulasi : riwayat hipertensi nyeri dada, odema jaringan umum (kaki
tangan).
f. Integritas ego : factor stress, perasaan tak berdaya, tak ada kekuatan,
perubahan kepribadian takut.
g. Neurosensori : sakit kepala,penglihatan kabur, keram otot/kejang,
kehilangan memori, penurunan kesadaran.
h. Seksualitas : penurunan libido, amenoria, infertilitas.
i. Penyuluhan dan pembelajaran : riwayat dalam keluarga, penyakit
polikistik, nefrtis herideter, penggunaan antibiotik,terpejam toksik.
j. Keamanan : kulit gatal, pruritis, demam.

Pre Hemodialisa (HD)


a. Data Subjektif
- Pasien mengeluh sulit bernafas
- Pasien mengeluh sering mual dan muntah
- Pasien mengeluh nafsu makan menurun
- Pasien mengeluh nyeri dada
- Pasien mengeluh nyeri/ sakit kepala
- Pasien mengeluh penglihatan rabun
- Pasien mengeluh gatal pada kulit dan mengeluh demam
- Pasien mengatakan aktifitas seksual mulai menurun
b. Data objektif
- Pasien terlihat lemas
- Nafas pendek
- Dispneu
- Mual, muntah, dan anoreksia
- Penurunan BB yang drastis
- Penurunan kesadaran
- Perubahan turgor kulit

Intra Hemodialisa
a. Data Subjektif
- Pasien mengeluh lemas
- Pasien mengeluh mual, muntah
- Pasien mengatakan cemas dengan keadaannnya
b. Data objektif
- Kelemahan otot, kehilangan tonus
- Pendarahan
- Pasien tampak lemas
- Pasien tampak cemas dan gelisah

Post Hemodialisa
a. Data Subjektif
- Pasien mengeluh lemas, kepala pusing, gatal- gatal, pada tubuhnya
b. Data Objektif
- Pendarahan
- Terjadi atau terdapat tanda- tanda infeksi (kolor, dolor, rubor, tumor
dan fungsiolasia)
2. Diagnosa Keperawatan
a. Pre Hemodialisa
1) Pola nafas tidak efektif b/d penumpukan secret, edema sekunder pada
paru akibat GGK
2) Perubahan pefusi jaringan perifer b/d transportasi oksigen dan nutrisi
ke jaringan menurun
3) Kelebihan volume cairan b/d retensi cairan dan natrium, penurunan
haluaran urine
4) Resiko penurunan curah jantung b/d ketidakseimbangancairan yang
mempengaruhi volume sirkulasi
5) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d anoreksia, mual, muntah
6) Kerusakan integritas kulit b/d penumpukan ureum
7) Ansietas b/d kurang pengetahuan tentang penyakitnya
b. Intra Hemodialisa
1) Resiko tinggi syok hipovolemik b/d proses ultrasi yang berlebihan
2) Kekurangan volume cairan b/d pembatasan cairan, kehilangan darah
actual
3) Nyeri akut b/d proses patologis penyakit
4) Intoleransi aktivitas b/d kelemahan, terapi pembatasan
5) Ansietas b/d kurang pengetahuan terhadap penyakitnya, program
pengobatan
c. Post Hemodialisa
1) Resiko pendarahan b/d pemberian heparin yang berlebihan
2) Resiko tinggi infeksi b/d tindakan invasive

3. Implementasi Keperawatan
a. Prioritas Masalah
1) Pre Hemodialisa
- Pola nafas tidak efektif
- Perubahan perfusi jaringan perifer
- Kelebihan volume cairan
- Resiko penurunan curah jantung
- Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
- Kerusakan integritas kulit
- Ansietas
2) Intra Hemodialisa
- Kekurangan volume cairan
- Resiko syok hipovolemik
- Nyeri akut
- Intoleransi aktivitas
- Ansietas
3) Post Hemodialisa
- Resiko terjadinya pendarahan
- Resiko tinggi infeksi

b. Rencana Tindakan
1) Pre Hemodialisa
a) Diagnosa : pola nafas tidak efektif b/d penumpukan secret, edema,
sekunder pada paru akibat GGK
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan pola
nafas pasien membaik
Kriteria hasil :
- Frekuensi nafas efektif
- RR = 16-20 x/menit
- Pasien tidak mengeluh sesak
- Pasien tidak mengeluh nyeri dada
Intervensi :
- Beri posisi semifowler / posisi yang nyaman
R/ : meningkatkan ekspansi paru dan memudahkan pernafasan
- Kaji pola nafas, auskultasi kedalaman pernafasan
R/ : untuk mengetahui kebutuhan
- Kolaborasi dalam pemberian oksigen
R/ : untuk mengetahui kebutuhan oksigen pasien secara adekuat
- Kolaborasi dalam pemberian oksigen tambahan sesuai
kebutuhan R/ : meningkatkan sediaan oksigen pasien untuk
kebutuhan miocard untuk memperbaiki kontraktilitas,
menurunkan iskemia dan kadar asam laktat

b) Diagnosa : perubahan perfusi jaringan perifer b/d transportasi


oksigen dan nutrisi ke jaringan menurun
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan perfusi
jaringan perifer kembali efektif
Kriteria Hasil :
- Tidak ada sianosis
- Kulit pasien teraba hangat
- Tidak merasa kesemutan lagi
- CRT < 3 detik
Intervensi :
- Observasi warna dan suhu kulit/membrane mukosa
R/ : kulit pucat atau sianosis, kuku, membrane bibir/lidah, atau
dingin, kulit burik menunjukkan vasokontriksi perifer (syok)
atau gangguan aliran darah sistemik
- Tingkatkan tirah baring selama fase akut
R/ : pembatasan aktivitas menurunkan aktivitas oksigen
- Tinggikan kaki bila ditempat tidur atau duduk, sesuai indikasi
R/ : menurunkan pembengkakan jaringan dan pengosongan
cepat vena superficial dan tibial, mencegah distensi berlebihan
dan sehingga meningkatkan aliran balik vena
- Peringatkan pasien untuk menghindari menyilang kaki atau
hiperfleksi lutut.
R/ : pembatasan fisik terhadap sirkulasi mengganggu aliran
darah dan meningkatkan statis vena pada pelvis, popliteal, dan
pembuluh kaki, jadi meningkatkan pembengkakan embolisasi
dan meningkatkan risiko komplikasi
- Anjurkan pasien untuk menghindari pijatan pada ekstremitas
yang sakit
R/ : aktivitas ini potensial memecah/menyebar thrombus,
menyebabkan embolisasi dan meningkatkan risiko komplikasi
- Dorong latihan nafas dalam
R/ : meningkatkan tekanan negative pada thoraks, yang
membantu pengosongan vena besar.

c) Diagnosa : resiko penurunan curah jantung b/d ketidakseimbangan


cairan yang mempengaruhi volume sirkulasi
Tujuan :
- Pasien dapat mempertahankan curah jantung
- Irama jantung dan frekuensi dalam batas normal
- Nadi perifer kuat
Kriteria Hasil :
- Observasi TD dan frekuensi jantung
R/ : kelebihan volume cairan disertai hipertensi dapat
menimbulkan gagal jantung
- Auskultasi bunyi jantung
R/ : apabila terbentuk suara jantung S3 dan S4 menunjukkan
gagal jantung
- Kaji warna kulit, membrane mukosa, dan dasar kuku. Perhatikan
waktu pengisian kapiler
R/ : pucat dapat menunjukan vasokontriksi. Sianosis mungkin
berhubungan dengan kongesti paru atau gagal ginjal.
- Pertahankan tirah baring
R/ : menurunkan konsumsi oksigen
- Kolaborasi dalam berikan tambahan oksigen sesuai indikasi
R/ : memaksimalkan sediaan oksigen untuk kebutuhan
miokardial untuk menurunkan kerja jantung dan hipoksia
seluler.

2) Intra Hemodialisa
a) Diagnosa : resiko tinggi syok hipovolemik b/d proses ultrafiltrasi
berlebihan
Tujuan : Setekah diberikan asuhan keperawatan diharapka klien
tidak mengalami syok hipovolemik
Kriteria Hasil :
- Volume darah dalam tubuh kembali normal
- Keadaan pasien compos mentis
- Keadaan umum pasien baik
- TTV dalam batas normal (S= 36-37,40C, TD= 120/80 mmHg,
RR=16-20 x/mnt, nadi=60-100 x/mnt)
Intervensi :
- Observasi KU pasien
R/: Pasien syok tidak menunjukkan KU yang lemah
- Observasi TTV pasien tiap jam
R/: Penurunan TD dan nadi menunjukkan adanya syok
- Monitor nilai UFG & QB pada mesin HD
R/ : nilai UFG menunjukkan banyaknya cairan yang telah ditarik
dari tubuh dan nilai QB merupakan kecepatan penarikan cairan
- Berikan KIE pada pasien dan keluarga tentang tanda-tanda syok
hipovolemik yaitu penurunan tekanan darah dan peningkatan
nadi R/ : KIE dapat membuat pasien dan keluarga lebih waspada
dan bisa melaporkan pada petugas apabila tanda syok muncul
- Kolaborasi pemberian cairan intravena (IVFD)
R/: mengganti kekurangan cairan dan meneimbangkan cairan
vaskuler
b) Diagnosa : kekurangan volume cairan b/d pembatasan cairan,
kehilangan darah actual
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan
kebutuhan cairan klien terpenuhi.
Kriteria Hasil :
- Volume cairan tubuh kembali normal
Intervensi :
- Kaji ulang KU dan tanda-tanda vital pasien
R/: Menetapkan data dasar pasien untuk mengetahui
penyimpangan dari keadaan normal
- Observasi tanda-tanda syok
R/: Dapat segera dilakukan tindakan untuk menangani terjadinya
syok
- Catat intake dan output cairan
R/: Untuk mengetahui keseimbangan cairan
- Kolaborasi pemberian cairan intravena dengan dokter
R/: pemberian cairan intravena sangat penting bagi pasien yang
mengalami kekuranmgan cairan tubuh. Karena cairan yang
diberikan langsung masuk kedalam pembuluh darah.

c) Diagnosa : nyeri akut b/d proses patologis penyakit


Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan nyeri
klien berkurang
Kriteria Hasil :
- Nyeri pasien berkurang/hilang
- KU klien baik, klien tidak meringis
- Skala nyeri (0-3) dari skala yang diberikan
Intervensi :
- Monitor TTV
R/: Mengetahui KU pasien dan sebagai data dasar untuk
tindakan lebih lanjut
- Observasi nyeri pasien dengan teknik PQRST
R/: Mengetahui penyebab, kualitas, lokasi, skala dan waktu
terjadinya nyeri
- Beri posisi nyaman, usahakan situasi ruangan tenang
R/: Mengurangi rasa nyeri
- Kolaborasi dalam pemberian analgetic
R/: Analgetik dapat menekan rasa nyeri

3) Post Hemodialisa
a) Diagnosa : resiko pendarahan b/d pemberian heparin yang berlebih
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan
pendarahan tindak lanjut
Kriteria Hasil :
- Tidak ada tanda-tanda perdarahan
Intervensi :
- Observasi daerah luka penusukan
R/: Untuk mengetahui terjadinya pendarahan secara dini
- Observasi TTV pasien
R/ : penurunan tekanan darah yang drastis dapat menunjukkan
terjadinya perdarahan
- Lakukan fiksasi/penekanan pada tempat penusukan dengan gaas
berisi betadine
R/: Mencegah pengeluaran darah

b) Diagnosa : resiko tinggi infeksi b/d tindakan invasive


Tujuan : setelah diberikan askep diharapkan tidak terjadi infeksi
Kriteria Hasil :
- Tidak terdapat tanda-tanda infeksi (pembengkakan, kemerahan,
nyeri, panas dan perubahan fungsi
Intervensi :
- Ukur TTV pasien
R/: Sebagai data dasar untuk tindakan selanjutnya
- Observasi daerah pemasangan/daerah penusukan
R/: Mengetahui tanda-tanda infeksi pada daerah pemasangan alat
HD/bekas luka tusukan
- Lakukan teknik aseptik saat melakukan aff HD dan tindakan
perawatan luka bekas penusukan
R/: Tindakan aseptik merupakan tindakan preventif terhadap
kemungkinan terjadinya infeksi
- Tutup luka bekas penusukan dengan gaas steril
R/ : Perawatan dengan gaas steril dapat mencegah kontaminasi
kuman
- Berikan KIE pada pasien dan keluarga tentang tanda dan gejala
infeksi
R/ : KIE dapat meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga
tentang infeksi dan mampu melaporkan ke petugas jika terjadi
- Segera cabut jarum bila tampak adanya
pembengkakan/flebitis R/: Menghindari kondisi yang lebih
buruk
DAFTAR PUSTAKA

Doenges E, Marilynn, dkk. (2003). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman


untuk Perancanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3.
Jakarta : EGC
Long, B C. (2010). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan) Jilid 3. Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan
Keperawatan.
Marrine, L. (2019). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Chronic Kidney
Disease (CKD). Journal of Chemical Information and Modeling, 01 (01),
1689-1699.
Nahas, Meguid, EL & Adeera Levin. (2017). Chronic Kidney Disease : A Partical
Guide to Understanding and Management. USA : Oxford University Press.
PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
PPNI. (2016). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Prabowo, Eko P. Dan Pranata, Eka A.. (2014). Asuhan Keperawatan Sistem
Pperkemihan. Yogyakarta : Nuha Medika
Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (2006). Patofisiologi Konsep Kllinis
Proses-proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC.
Rendy, M. Clevo dan Margareth, TH.. (2012). Asuhan Keperawatan Medikal
Bedah Penyakit Dalam. Yogyakarta : Nuha Medika.
Smeltzer, S.C & Bare, B.G. (2012). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Edisi 8 Vol 1. Jakarta : EGC.
Smeltzer, S.C & Bare, B.G. (2017). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Edisi 8 Vol 2. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai