Oleh :
ANDIKA ZENIF FAJAR FAUJI
NIM. 1930008
( ) ( )
LAPORAN PENDAHULUAN
CKD
1.2 ETIOLOGI
Kondisi klinis yang memungkinkan dapat mengakibatkan gagal ginjal kronis
bisa disebabkan dari ginjal sendiri dan dari luar ginjal (Arif Muttaqin, 2011) :
1.2.1 Penyakit dari Ginjal
Glomerulonefritis
Infeksi kuman: pyelonefritis, ureteritis
Batu ginjal: nefrolitiasis
Kista di Ginjal: polcystis kidney
Trauma langsung pada ginjal
Keganasan pada ginjal
Sumbatan: batu, tumor, penyempitan/struktur.
Penyakit tubulus primer: hiperkalemia primer, hipokalemia kronik, keracunan
logam berat seperti tembaga, dan kadmium.
Penyakit vaskuler: iskemia ginjal akibat kongenital atau stenosis arteri ginjal,
hipertensi maligna atau hipertensi aksekrasi.
Obstruksi: batu ginjal, fobratis retroperi toneal, pembesaran prostat striktur uretra,
dan tumor.
Menurut David Rubenstein dkk. (2007), penyebab GGK diantaranya: Penyakit
ginjal herediter, Penyakit ginjal polikistik, dan Sindrom Alport (terkait kromosom X
ditandai dengan penipisan dan pemisahan membrane basal glomerulus)
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes mellitus
atau hipertensi, obesitas , perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan dengan riwayat
penyakit diabetes mellitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga (National
Kidney Foundation, 2009)
1.4 KLASIFIKASI
Terdapat 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis yang ditentukan melalui
penghitungan nilai Glumerular Filtration Rate (GFR) dengan melihat kadar kretatinin.
Kreatinin adalah produk sisa yang berasal dari aktivitas otot yang seharusnya disaring
dari dalam darah oleh ginjal yang sehat.
Tabel Klasifikasi dari GFR (Clarkson, 2005 dan K. K. Zadeh (2011) dan E. Chang
(2010):
Std Deskripsi GFR (ml/mnt/1,73m2)
0 Risiko meningkat >90 dengan faktor
risiko
1 Kerusakan ginjal dengan GFR >90
normal/meningkat
2 Penurunan ringan GFR 60-89
3 Penurunan moderat GFR 30-59
4 Penurunan berat GFR 15-29
5 Gagal ginjal <15 dan dialisis
Untuk menilai GFR (Glomelular Filtration Rate) dapat menggunakan rumus dari
Cockcroft-Gault dalam Ahmed & Lowder (2012) adalah :
Rumus Cockcroft-Gault untuk laki-laki :
GFR = (140-umur) x BB
72 x serum Creatinin
b. Darah
1) BUN
Urea adalah produksi akhir dari metabolism protein, peningkatan BUN dapat
merupakan indikasi dehidrasi, kegagalan pre renal atau gagal ginjal.
2) Kreatinin
Produksi katabolisme otot dari pemecahan kreatinin otot dan kreatinin posfat.
Bila 50 % nefron rusak maka kadar kreatinin meningkat.
3) Elektrolit
Natrium, kalium, calcium dan phosfat
4) Hematologi : Hb, thrombosit, Ht, dan leukosit
4) Transplantasi Ginjal
Dengan pencangkokan ginjal yang sehat ke pasien GGK, maka seluruh faal ginjal
diganti oleh ginjal baru. Pertimbangan program transplantasi ginjal :
Cangkok ginjal dapat mengambil alih seluruh 100% fungsi dan faal ginjal
Kualitas hidup normal kembali
Survival rate meningkat
Komplikasi (biasanya dapat di antisipasi) terutama berhubungan dengan obat
imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan.
Tindakan standar adalah dengan merotasi ginjal donor dan meletakkan pada
fosa iliaka kontralateral resipien. Ureter kemudian lebih mudah
beranastomosis atau berimplantasi kedalam kemih resipien. Arteri renalis
berimplantasi pada arteri iliaca interna dan vena renalis beranastomosis
dengan vena iliaca komunis atau eksterna.
1.8 KOMPLIKASI
Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001) serta Suwitra (2006) antara
lain adalah :
1) Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme, dan
masukan diit berlebih.
2) Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3) Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiotensin aldosteron.
4) Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5) Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan
kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik.
6) Uremia akibat peningkatan kadar ureum dalam tubuh.
7) Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan.
8) Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
9) Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfate
10) Perubahan Kulit. Ketika fungsi ginjal anda terganggu, akan tjd endapan garam
kalsium-fosfat di bawah kulit hingga menimbulkan rasa gatal. Rasa gatal ini
secara alamiah anda akan menggaruknya, hingga kadang2 sampai terluka dan
terinfeksi. Proses ini tidak kunjung membaik hingga keindahan kulit menjadi rusak,
bahkan terkesan kotor & berubah seperti kulit jagung (kasar & kering)
11) Kematian. Risiko kematian pada penderita GGK cukup tinggi. Dalam kejadian di
lapangan, kematian sering diawali dengan sesak nafas, atau kejang otot jantung,
atau tidak sadarkan diri, atau infeksi berat sebelumnya.
1.9 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan CKD
A. Diagnosa Keperawatan
Menurut Doenges (2009) dan Lynda Juall (2012), diagnosa keperawatan yang muncul
pada pasien CKD adalah:
1. Penurunan curah jantung
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
3. Perubahan nutrisi
4. Perubahan pola nafas
5. Gangguan perfusi jaringan
6. Intoleransi aktivitas
B. Intervensi
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat
Tujuan: Penurunan curah jantung tidak terjadi
Dengan kriteria hasil : mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah
dan frekuensi jantung dalam batas normal, nadi perifer kuat dan sama dengan waktu
pengisian kapiler
Intervensi:
a. Auskultasi bunyi jantung dan paru
R: Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur
b. Kaji adanya hipertensi
R: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem aldosteron-renin-
angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal)
c. Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya (skala 0-10)
R: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri
d. Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas
R: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia
2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan edema
sekunder : volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O)
Tujuan: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan
Dengan kriteria hasil: tidak ada edema, keseimbangan antara input dan output
Intervensi:
a. Kaji status cairan dengan menimbang BB perhari, keseimbangan masukan
dan haluaran, turgor kulit tanda-tanda vital
b. Batasi masukan cairan
R: Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran urin, dan respon
terhadap terapi
c. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan
R: Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam
pembatasan cairan
d. Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan terutama
pemasukan dan haluaran
R: Untuk mengetahui keseimbangan input dan output
3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual,
muntah
Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat
Dengan kriteria hasil: menunjukan BB stabil
Intervensi:
a. Awasi konsumsi makanan / cairan
R: Mengidentifikasi kekurangan nutrisi
b. Perhatikan adanya mual dan muntah
R: Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat mengubah
atau menurunkan pemasukan dan memerlukan intervensi
c. Beikan makanan sedikit tapi sering
R: Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan
d. Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan
R: Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek sosial
e. Berikan perawatan mulut sering
R: Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak disukai dalam
mulut yang dapat mempengaruhi masukan makanan
4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder: kompensasi
melalui alkalosis respiratorik
Tujuan: Pola nafas kembali normal / stabil
Intervensi:
a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
R: Menyatakan adanya pengumpulan sekret
b. Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam
R: Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2
c. Atur posisi senyaman mungkin
R: Mencegah terjadinya sesak nafas
d. Batasi untuk beraktivitas
R: Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau hipoksia
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis
Tujuan: Integritas kulit dapat terjaga
Dengan kriteria hasil : Mempertahankan kulit utuh dan menunjukan perilaku / teknik
untuk mencegah kerusakan kulit
Intervensi:
a. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskuler, perhatikan
kadanya kemerahan
R: Menandakan area sirkulasi buruk atau kerusakan yang dapat
menimbulkan pembentukan dekubitus / infeksi.
b. Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa
R: Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang
mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan
c. Inspeksi area tergantung terhadap udem
R: Jaringan udem lebih cenderung rusak / robek
d. Ubah posisi sesering mungkin
R: Menurunkan tekanan pada udem , jaringan dengan perfusi buruk untuk
menurunkan iskemia
e. Berikan perawatan kulit
R: Mengurangi pengeringan , robekan kulit
f. Pertahankan linen kering
R: Menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit
g. Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk
memberikan tekanan pada area pruritis
R: Menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan risiko cedera
h. Anjurkan memakai pakaian katun longgar
R: Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi lembab
pada kulit
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat,
keletihan
Tujuan: Pasien dapat meningkatkan aktivitas yang dapat ditoleransi
Intervensi:
a. Pantau pasien untuk melakukan aktivitas
b. Kaji fektor yang menyebabkan keletihan
c. Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat
d. Pertahankan status nutrisi yang adekuat
LAPORAN PENDAHULUAN
OLIGURIA
A. DEFINISI
Oliguria didefinisikan sebagai keluaran urin kurang dari 1 mL/kg/jam pada bayi, kurang
dari 0,5 mL/kg/jam pada anak, dan kurang dari 400 mL/hari pada dewasa. Oliguria
merupakan salah satu tanda klinik dari gagal ginjal. Mula timbul oliguria sering akut,
sering merupakan tanda pertama dari kemunduran fungsi ginjal, dan merupakan
tantangan diagnostik dan manajemen bagi dokter. Pada sebagian besar situasi klinik,
oliguria akut bersifat reversibel dan tidak mengakibatkan gagal ginjal.
B. PATOFISIOLOGI
Oliguria dapat diakibatkan oleh 2 proses patofisiologik: mekanisme prerenal, intrinsik
renal, dan postrenal.
1. Insufisiensi prerenal bertanggung jawab atas kira-kira 70% kasus gagal ginjal akut
(GGA) di luar rumah sakit dan sampai 60% dari kasus-kasus GGA di rumah sakit.
Insufisiensi prerenal merupakan respons fungsional dari ginjal normal terhadap
hipoperfusi. Fase dini dari kompensasi ginjal untuk perfusi yang berkurang adalah
autoregulasi laju filtrasi glomerulus, melalui dilatasi arteriol aferen (yang diinduksi
oleh respons miogenik, umpan balik tubuloglomerulus, dan prostaglandin) dan via
konstriksi arteriol eferen (diperantarai oleh angiotensin II). Fase dini juga mencakup
peningkatan reabsorpsi garam dan air (dirangsang oleh sistem renin-angiotensin-
aldosteron dan sistem saraf simpatis). Oliguria yang cepat memulih setelah perfusi
ginjal membaik adalah skenario yang khas dan lazim. Sebagai contoh, oliguria pada
bayi dan anak paling sering terjadi sekunder setelah dehidrasi dan pulih tanpa
cedera ginjal jika dehidrasi dikoreksi. Akan tetapi, hipoperfusi ginjal yang
berkepanjangan bisa mengakibatkan pergeseran dari kompensasi ke
dekompensasi. Stimulasi simpatis dan sistem renin-angiotensin yang berlebihan
bisa menyebabkan vasokonstriksi renal yang hebat dan cedera iskemik terhadap
ginjal. Interferensi autoregulasi ginjal oleh pemberian vasokonstriktor (siklosporin
atau takrolimus), inhibitor sintesis prostaglandin (obat anti-inflamasi nonsteroid atau
Penghambat angiotensin-converting enzyme (ACE) bisa mencetuskan GGA oligurik
pada individu dengan perfusi ginjal yang berkurang.
2. Gagal ginjal intrinsik disertai oleh kerusakan struktur ginjal. Ini meliputi nekrosis
tubulus akut (akibat iskemia berkepanjangan, obat-obat dan toksin), penyakit
glomerulus, atau lesi pembuluh darah). Patofisiologi iskemia, nekrosis tubulus akut
telah diketahui dengan baik. Iskemia mengakibatkan perubahan metabolisme sel
tubulus (deplesi ATP, pelepasan spesies oksigen reaktif) dan kematian sel dengan
akibat deskuamasi sel, pembentukan cast, obstruksi intratubulus, tumpahnya cairan
tubulus, (backleak), dan oliguria. Pada kebanyakan situasi klinik, oliguria bisa pulih
dan diikuti perbaikan dan regenerasi sel epitel tubulus.
3. Gagal postrenal merupakan akibat dari obstruksi mekanik atau fungsional terhadap
aliran urin. Bentuk oliguria dan insufisiensi ginjal ini biasanya memberi respons
setelah obstruksi dilepas.
4. Gagal ginjal tidak selalu disertai oliguria. gagal ginjal yang diakibatkan oleh cedera
nefrotoksik, nefritis interstisial dan asfiksia neonatorum sering memiliki jenis
nonoligurik, dengan cedera ginjal lebih sedikit dan memiliki prognosis lebih baik.
C. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1. Urinalisis
a. Pemeriksaan seksama dari urin segar adalah cara cepat dan murah untuk
membedakan gagal ginjal prerenal dari intrinsik renal.
b. Pada gagal prerenal, bisa terlihat beberapa silinder hialin dan granular dengan
sedikit protein, heme, atau sel darah merah. Urin heme-positif yang tidak disertai
eritrosit memberi kesan hemolisis atau rhabdomiolisis.
c. Pada gagal ginjal intrinsik, hematuria dan proteinuria menonjol. Silinder granular
coklat dan lebar khas dijumpai pada iskemia atau nekrosis tubulus akut dan
sedimen eritrosit khas terlihat pada glomerulonefritis akut. Urin pada nefritis
interstisial akut memperlihatkan sel darah putih, khususnya eosinofil dan sedimen
sel darah putih.
2. Indeks urin
a. Pengukuran sekaligus dari natrium, kreatinin, osmolalitas serum maupun urin bisa
membantu membedakan azotemia prerenal atau gagal ginjal intrinsik. Pada
azotemia prerenal, kapasitas reabsorpsi dari sel tubulus dan daya konsentrasi ginjal
masih baik atau bahkan meningkat. Pada gagal ginjal intrinsik, fungsi-fungsi ini
terganggu karena kerusakan struktural.
b. Pada gagal prerenal, berat jenis urin tinggi (lebih dari 1020), rasio kreatinin urin:
kreatinin plasma tinggi (lebih dari 40), rasio osmolalitas urin:plasma tinggi (lebih
besar daripada 1,5), dan konsentrasi natrium urin rendah (kurang dari 20 mEq/L).
c. Temuan berlawanan didapatkan pada gagal ginjal intrinsik, di mana rasio kreatinin
urin:plasma kurang dari 20, rasio osmolalitas urin:plasma kurang dari 1.1, dan
konsentrasi natrium urin lebih besar daripada 40 mEq/L.
d. Ekskresi fraksional natrium (FeNa) adalah persen natrium filtrasi yang diekskresi. Ini
mudah dihitung dengan rumus: %FeNa = [(U/P)Na]/[(U/P)Cr] x 100, di mana Na dan
Cr menyatakan konsentrasi natrium dan kreatinin masing-masing dalam urin (U)
dan plasma (P). %FeNa khas kurang dari 1% pada azotemia prerenal dan lebih dari
2% pada gagal ginjal intrinsik.
e. Interpretasi indeks urin perlu hati-hati. Spesimen darah dan urin harus dikumpulkan
sebelum pemberian cairan, manitol atau diuretik. Urin harus tidak mengandung
glukosa, zat kontras, atau mioglobin. Indeks urin yang memberi kesan gagal
prerenal (%FeNa kurang dari 1, natrium urin kurang dari 20 mEq/L) bisa juga
dijumpai pada glomerulonefritis dini, vaskulitis, dan oklusi pembuluh darah, gagal
postrenal dini, nefropati zat kontras dan rhabdomiolisis. Juga peninggian palsu dari
FeNa bisa dijumpai pada pasien dengan gagal prerenal dan dengan peningkatan
ekskresi asam keto dan glukosa.
3. BUN dan kreatinin serum
a. Pada gagal prerenal ada peninggian mencolok dari BUN, dan rasio BUN/Cr lebih
dari 20. Ini mencerminkan peningkatan reabsorpsi urea di tubulus proksimal. GGA
ditandai oleh peningkatan kreatinin setiap hari (0,5-1,5 mg/dL/hari) dan BUN (10-20
mg/dL/hari).
b. Peninggian BUN bisa juga diakibatkan dari terapi steroid, nutrisi parenteral,
perdarahan gastrointestinal, dan status katabolisme. Peninggian palsu bisa
dijumpai setelah penggunaan obat yang mengganggu sekresi kreatinin oleh tubulus
(trimetoprim, simetidin), atau obat-obat yang menyediakan substrat khromogenik
(sefalosporin), yang mengganggu reaksi Jaffé untuk pengukuran kreatinin serum.
4. Natrium serum
a. Hiponatremia adalah temuan lazim dan biasanya bersifat pengenceran (dilutional),
yang terjadi karena retensi cairan dan pemberian cairan hipotonik.
b. Sebab-sebab yang agak jarang dari hiponatremia mencakup deplesi natrium
(dehidrasi hiponatremik) dan hiperglikemia (konsentrasi natrium serum berkurang
sebesar 1,6 mEq/L untuk setiap 100 mg/dL peningkatan glukosa serum di atas 100
mg/dL). Adakalanya, hipernatremia terjadi sebagai komplikasi GGA, dan biasanya
akibat pemberian natrium berlebihan (terapi cairan yang tidak benar atau terlalu
agresif memberikan natrium bikarbonat).
5. Kalium serum
a. Hiperkalemia merupakan komplikasi penting karena penurunan filtrasi glomerulus ,
penurunan sekresi tubulus, asidosis metabolik (setiap 0,1 unit penurunan pH arteri
meninggikan kalium serum sebesar 0,3 mEq/L), dan disertai status katabolisme.
b. Hiperkalemia paling mencolok pada pasien dengan produksi kalium endogen
berlebihan, misal pada rhabdomiolisis, hemolisis, dan tumor lysis syndrome.
c. Hiperkalemia merupakan kedaruratan yang mengancam jiwa dan harus diatasi
segera dan dengan agresif, karena efek depolarisasinya terhadap lintasan
konduksi jantung.
d. Gejala-gejala dapat mencakup malaise, mual dan kelemahan otot.
6. Fosfat dan kalsium serum
a. Hiperfosfatemia dan hipokalsemia sering sebagai penyulit GGA oligurik. Kelebihan
fosfat disebabkan berkurangnya ekskresi ginjal dan bisa mengakibatkan
hipokalsemia dan penimbunan kalsium fosfat di berbagai jaringan.
b. Hipokalsemia diakibatkan oleh gangguan penyerapan kalsium di gastrointestinal
karena produksi vitamin D yang aktif tidak memadai oleh ginjal, resistensi rangka
terhadap aksi hormon paratiroid, dan hipoalbuminemia.
c. Kadar ion kalsium penting diukur karena merupakan bentuk kalsium serum yang
tidak berikatan, dan menentukan aktivitas fisiologis. Kalsium ion bisa ditaksir dengan
menganggap 1 mg/dL kalsium berikatan dengan 1 g/dL albumin; jadi, kalsium ion
adalah selisih antara kalsium total dan kadar albumin serum.
d. Asidosis meningkatkan fraksi kalsium total dalam bentuk ion; jadi terapi bikarbonat
yang terlalu agresif bisa mengurangi kadar kalsium ion.
e. Hipokalsemia berat mengakibatkan tetani, kejang dan aritmia jantung.
7. Imbang asam-basa
a. Gangguan ekskresi asam non-volatil dan penurunan reabsorpsi tubulus dan
berkurangnya produksi bikarbonat ginjal mengakibatkan asidosis metabolik dengan
senjang anion (anion gap) tinggi.
b. Asidosis berat bisa terjadi pada anak yang hiperkatabolik (syok, sepsis) atau
mereka dengan kompensasi respiratorik tidak adekuat.
c. 2 digit terakhir dari pH arteri membantu prediksi kompensasi pernapasan. Angka-
angka ini meramalkan pCO2 (misal, pasien dengan pH arteri 7,25 memiliki
kompensasi respiratorik yang adekuat jika pCO2 arteri adalah 25 ± 3 mmHg).
8. Hitung darah lengkap
a. Anemia adalah hasil dari pengenceran atau berkurangnya eritropoiesis. Anemia
hemolitik mikroangiopatik dengan skistosit dan trombositopenia adalah petunjuk
untuk sindroma hemolitik-uremik.
b. Oliguria yang sekunder terhadap lupus eritematosus sistemik bisa memperlihatkan
neutropenia dan trombositopenia.
c. Eosinofilia adalah selalu disebabkan nefritis intersitial alergika.
d. GGA yang memanjang bisa mengakibatkan gangguan trombosit.
9. Tes-tes lain yang bisa dikerjakan di unit dengan fasilitas lengkap, antara lain:
Radiologi:
a. Ultrasonografi
b. Voiding cystourethrogram diindikasikan pada kecurigaan obstruksi bladder outlet.
c. Skan radionuklida mungkin berguna dalam penilaian rejeksi transplan dan obstruksi.
d. X-foto toraks diindikasikan jika dicurigai ada edema paru.
e. Echocardiogram berguna jika ada gagal jantung bendungan.
D. TATALAKSANA OLIGURIA
Perawatan medis:
Pencegahan
1. Pada situasi klinik di mana diantisipasi hipoperfusi atau keracunan ginjal, terapi
dengan manitol (12,5 gr bolus), diuretik (furosemid 100-300 mg) dan dopamin dosis
rendah (2-5 µg/kg/menit) telah digunakan untuk mencegah atau memulihkan cedera
ginjal. Walaupun cara-cara ini tidak mengubah perjalanan GGA, mereka bisa
mengubah status oliguria menjadi non-oliguria, yang lebih mudah dikelola karena
GGA non-oligurik tidak membutuhkan pembatasan cairan dan memungkinan
dukung nutrisi maksimal. Namun, peran dopamin dewasa ini banyak diperdebatkan,
bahkan suatu uji klinik acak terbaru telah memberi kesan bahwa pemakaian
dopamin tidak bermanfaat.
2. Pemberian cairan agresif telah berhasil digunakan untuk mencegah GGA setelah
pembedahan jantung, transplantasi ginjal kadaver, hemoglobinuria, mioglobinuria,
hiperurikosuria, infus zat radiokontras dan terapi dengan amfoterisin B atau cisplatin
3. Percobaan dengan manitol atau furosemid intravena harus diusahakan pada pasien
oliguria yang berlangsung kurang dari 48 dan belum memberi respons terhadap
hidrasi yang adekuat. Manfaat terapi dopamin dosis renal masih diperdebatkan.
Rekomendasi mutakhir adalah pada pasien yang telah mendapat hidrasi cukup dan
resisten terhadap furosemid.
4. Tujuan utama dari manajemen cairan adalah memulihkan dan mempertahankan
volume intravaskular normal. GGA oligurik bisa tampil dengan hipovolemia,
euvolemia atau kelebihan volume, jadi taksiran status cairan adalah prasyarat untuk
memulai terapi.
5. Anak dengan deplesi volume intravaskular membutuhkan resusitasi cairan cepat
dan agresif. Terapi awal membutuhkan NaCl 0,9% atau Ringer laktat 20 mL/kg
dalam 30 menit, yang bisa diulang dua kali jika perlu.
6. Pemberian kalium dikontraindikasikan sebelum aliran urin cukup. Terapi harus
meningkatkan jumlah urin dalam 4-6 jam. Jika oliguria menetap (dikonfirmasi
dengan kateter kandung kemih) pemantauan vena sentral mungkin diperlukan untuk
memandu manajemen selanjutnya.
7. Oliguria dengan kelebihan beban volume membutuhkan pembatasan cairan dan
furosemid intravena. Kegagalan memberi respons terhadap furosemid memberi
kesan nekrosis tubulus akut, bukan hiperfusi ginjal, dan pembuangan cairan dengan
dialisis atau hemofiltrasi mungkin dibutuhkan jika terbukti ada tanda edema paru.
8. Kalium tidak diberikan dulu sebelum oliguria membaik dan sebelum kadar kalium
mulai turun.
9. Catatan asupan dan keluaran, berat badan harian, pemeriksaan fisik dan natrium
serum menuntun terapi yang sedang berjalan. Bila sesuai, terapi cairan diberikan,
berat badan harus turun sebesar 0,5-1,0% per hari akibat kekurangan kalori, dan
konsentrasi natrium harus stabil. Penurunan berat badan yang lebih cepat
menunjukkan penggantian cairan yang tidak adekuat. Bila berat badan tidak turun,
sementara natrium serum turun ini memberi kesan kelebihan air bebas.
10. Hiperkalemia
a. Kadar kalium serum 5,5-6,5 mEq/L harus ditanggulangi dengan menghilangkan
semua sumber kalium dari diit atau cairan intravena dan diberikan resin
penukar ion seperti sodium polystyrene sulfonate (Kayexalate). Kayexalate
memerlukan beberapa jam kontak dengan mukosa kolon sebelum efektif dan
lebih disukai pemberian per rektum. Komplikasi terapi ini mencakup
hipernatremia dan konstipasi.
b. Tatalaksana darurat dari hiperkalemia diindikasikan bila kalium serum melebihi
6,5 mEq/L, atau gelombang T runcing. Di samping Kayexalate, pasien harus
diberi natrium bikarbonat yang menyebabkan perpindahan kalium ke dalam sel.
Hati-hati karena bisa menyebabkan hipokalsemia dan kelebihan natrium.
c. Ambilan kalium oleh sel juga bisa dirangsang dengan infus insulin, atau beta-
agonis (albuterol melalui nebulizer). Khasiat dan kenyamanan nebulized
albuterol telah dilaporkan pada pasien hemodialisis dengan hiperkalemia,
namun sering menyebabkan takikardia dan pengalaman pada anak masih
terbatas.
d. Interval PR yang menjang atau kelainan EKG lain membutuhkan pemberian
kalsium glukonat (dengan pemantauan EKG kontinyu) untuk melawan efek
hiperkalemia terhadap miokard.
e. Dalam praktek, terapi definitif untuk hiperkalemia yang bermakna dan
menyertai GGA oligurik sering memerlukan dialisis.
11. Imbang elektrolit dan asam basa lain
a. Tatalaksana primer dari hiponatremia adalah pembatasan air bebas; namun
natrium serum di bawah 120 mEq/L, atau disertai gejala saraf pusat mungkin
membutuhkan infus NaCl 3%.
b. Manajemen hiperfostatemia memerlukan pembatasan diit dan perlu diberikan
pengikat fosfat (kalsium karbonat atau kalsium asetat). Hipokalsemia biasanya
memberi respons terhadap garam kalsium oral yang digunakan untuk
mengendalikan hiperfosfatemia tetapi membutuhkan infus kalsium glukonat
10% jika berat.
c. Asidosis metabolik ringan diatasi dengan natrium bikarbonat oral atau natrium
sitrat. Asidosis berat (pH < 7,2), apalagi jika ada hiperkalemia membutuhkan
terapi bikarbonat intravena. Harus diketahui bahwa terapi bikarbonat
membutuhkan ventilasi adekuat (untuk mengekskresikan karbon dioksida yang
dihasilkan) agar efektif, dan bikarbonat bisa mencetuskan hipokalsemia dan
hipernatremia. Pasien yang tidak bisa mentoleransi beban natrium besar (misal,
gagal jantung bendungan) bisa dikelola di ICU dengan trometamin (THAM)
intravena, dengan syarat dukungan ventilasi memadai sebelum dialisis
dilaksanakan.
12. Hipertensi
a. Hipertensi ringan biasanya memberi respons terhadap pembatasan garam dan
pemberian diuretik.
b. Hipertensi sedang dan asimtomatik paling sering diobati dengan antagonis
kalsium oral atau sublingual, atau dengan hidralazin intravena.
c. Jika ada ensefalopati, berikan infus kontinyu sodium nitroprusside dengan
memantau kadar tiosianat. Karena terapi nitroprusid memerlukan perhitungan
tetesan yang seksama, alternatif lain yang bisa diberikan segera adalah
diazoksid atau labetalol intravena. Obat oral dimulai setelah krisis hipertensi
diatasi.
13. Obat-obat dan dialisis
a. Obat-obat nefrotoksik harus dihindari, antara lain media kontras, aminoglikosida
dan AINS.
b. Pasien pada fase dini harus dianggap memiliki laju filtrasi glomerulus (GFR)
kurang dari 10 mL/menit, tanpa memandang nilai absolut dari kreatinin serum.
c. Tujuan umum dari dialisis adalah membuang toksin-toksin endogen dan
eksogen, dan mempertahankan imbang cairan, elektrolit dan asam basa
sebelum fungsi ginjal pulih. Indikasi untuk dialisis akut adalah tidak mutlak, dan
keputusan untuk menggunakan cara ini tergantung pada cepatnya mula timbul,
durasi dan keparahan kelainan yang harus dikoreksi. Indikasi lazim mencakup
kelebihan beban cairan yang tidak responsif terhadap diuretik atau kesukaran
pemberian nutrisi, gangguan imbang asam-basa/elektrolit yang simtomatik
(khususnya hiperkalemia) yang tidak membaik dengan manajemen non-dialitik,
hipertensi refrakter, dan uremia simtomatik (gejala-gejala SSP, perikarditis,
pleuritis).
d. Pilihan antara hemodialis dan peritoneal dialisis tergantung pada kondisi klinik
keseluruhan, ketersediaan teknik, etiologi gagal ginjal, indikasi dan
kontraindikasi spesifik.
e. Pada umumnya peritoneal dialisis lebih disukai pada anak-anak. Kontraindikasi
spesifik mencakup defek dinding perut, distensi usus, perforasi atau adhesi, dan
hubungan antara rongga dada dan abdomen.
f. Hemodialisis membutuhkan akses vaskular, heparinisasi, dan volume darah
ekstrakorporal yang besar, dan petugas yang terampil, tetapi keunggulannya
adalah cepat mengkoreksi gangguan imbang cairan, elektrolit dan asam basa.
g. Suatu kemajuan penting dalam penggunaan membran dialisis sintetis untuk
memulihkan fungsi ginjal. Dalam dekade terakhir, continuous venovenous
hemofiltration, atau continuous arteriovenous hemofiltration, telah muncul
sebagai terapi alterantif untuk anak-anak yang membutuhkan eliminasi cairan
pada kondisi kritis dan tidak stabil. Keunggulan utama dari teknik ini terletak
pada kesanggupannya membuang cairan, sekalipun pada anak hipotensif di
mana hemodialisis mungkin dikontraindikasikan sementara peritoneal dialisis
tidak efisien. Pasien perlu ditemani (paling sedikit 12 jam sehari) oleh petugas
yang terlatih dengan peralatan khusus.
14. Atrial natriuretic peptide (ANP) telah diperlihatkan memperbaiki fungsi ginjal pada
model hewan GGA iskemik, melalui dilatasi arteriol eferen. Pada suatu uji klinik
terbaru pada orang dewasa, ANP mengurangi kebutuhan akan dialisis dan
meningkatkan kelangsungan hidup. pasien GGA oligurik.
15. Kini tengah berlangsung uji klinik yang melibatkan faktor pertumbuhan, seperti faktor
pertumbuhan seperti-insulin, penghambat nitric oxide, antagonis reseptor endotelin
pada GGA manusia.
LAPORAN PENDAHULUAN
HEMODIALISA (HD)
1. Definisi Hemodialisa
Hemodialisis (HD) merupakan prosedur tindakan untuk memisahkan darah dari zat-zat sisa
atau racun yang dilaksanakan dengan mengalirkan darah melalui membran semipermiabel
dimana zat sisa atau racun ini dialihkan dari darah ke cairan dialisat yang kemudian
dibuang, sedangkan darah kembali ke dalam tubuh sesuai dengan arti dari hemo yang
berarti darah dan dialisis yang berarti memindahkan.
2. Tujuan
Menurut Havens dan Terra (2010) tujuan dari pengobatan hemodialisa antara lain ;
a) Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa
metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain.
b) Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya
dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
c) Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.
d) Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.
Menurut PERNEFRI (2008) waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan
dengan kebutuhan individu. Tiap hemodialisa dilakukan 4 – 5 jam dengan frekuensi 2
kali seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan 10 – 15 jam/minggu dengan Blood
flow (QB) 200–300 mL/menit. Sedangkan menurut Corwin (2000) hemodialisa
memerlukan waktu 3 – 5 jam dan dilakukan 3 kali seminggu. Pada akhir interval 2 –
3 hari diantara hemodialisa, keseimbangan garam, air, dan pH sudah tidak normal
lagi. Hemodialisa ikut berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel darah
merah rusak dalam proses hemodialisa.
4. Komponen Hemodialisa
1. Dialyzer / Ginjal Buatan
Suatu alat yang digunakan untuk mengeluarkan sisa metabolisme tubuh, bila fungsi
kedua ginjal sudah tidak memadai lagi, mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit,
mengeluarkan racun-racun atau toksin yang merupakan komplikasi dari Gagal Ginjal.
Sedangkan fungsi hormonal/ endokrin tidak dapat diambil alih oleh ginjal buatan.
Dengan demikian ginjal buatan hanya berfungsi sekitar 70-80 % saja dari ginjal alami
yang normal.
Macam-macam ginjal buatan :
Paraller-Plate Diyalizer
Ginjal pertama kali ditemukan dan sudah tidak dipakai lagi, karena darah
dalam ginjal ini sangat banyak sekitar 1000 cc, disamping cara
menyiapkannya sangat sulit dan membutuhkan waktu yang lama.
Coil Dialyzer
Ginjal buatan yang sudah lama dan sekarang sudah jarang dipakai karena
volume darah dalam ginjal buatan ini banyak sekitar 300 cc, sehingga bila
terjadi kebocoran pada ginjal buatan darah yang terbuang banyak. Ginjal ini
juga memerlukan mesin khusus, cara menyiapkannya juga memerlukan
waktu yang lama.
Hollow Fibre Dialyzer
Ginjal buatan yang sangat banyak saat ini karena volume darah dalam ginjal
buatan sangat sedikit sekitar 60-80 cc, disamping cara menyiapkannya
mudah dan cepat.
2. Dialisat
Adalah cairan yang terdiri dari air, elektrolit dan zat-zat lain supaya mempunyai
tekanan osmotik yang sama dengan darah.
Fungsi Dialisat pada dialisit:
a. Untuk mengeluarkan dan menampung cairan dan sisa metabolisme
b. Untuk mencegah kehilangan zat-zat vital dari tubuh selama dialisa
7. Komplikasi Hemodialisa
Menurut Tisher dan Wilcox (1997) serta Havens dan Terra (2005) selama
tindakan hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, antara lain:
a. Kram otot
Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya hemodialisa
sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram otot seringkali terjadi pada
ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat dengan volume yang tinggi.
b. Hipotensi
Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat, rendahnya
dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati otonomik, dan kelebihan
tambahan berat cairan.
c. Aritmia
Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa, penurunan kalsium,
magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang cepat berpengaruh terhadap aritmia
pada pasien hemodialisa.
d. Sindrom ketidakseimbangan dialisa
Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat diakibatkan dari
osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang kurang cepat dibandingkan dari
darah, yang mengakibatkan suatu gradien osmotik diantara kompartemen-
kompartemen ini. Gradien osmotik ini menyebabkan perpindahan air ke dalam otak
yang menyebabkan oedem serebri. Sindrom ini tidak lazim dan biasanya terjadi pada
pasien yang menjalani hemodialisa pertama dengan azotemia berat.
e. Hipoksemia
Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu dimonitor pada
pasien yang mengalami gangguan fungsi kardiopulmonar.
f. Perdarahan
Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat dinilai
dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin selama hemodialisa juga
merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan.
g. Ganguan pencernaan
Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang
disebabkan karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan sering disertai dengan sakit
kepala.
h. Infeksi atau peradangan bisa terjadi pada akses vaskuler.
i. Pembekuan darah bisa disebabkan karena dosis pemberian heparin yang tidak
adekuat ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.
KONSEP TEORI ASUHAN KEPERAWATAN
DENGAN HEMODILAISA
PENGKAJIAN
a) Keluhan utama
Keluhan utama pada pasien hemodialisa adalah
Sindrom uremia
Mual, muntah, perdarahan GI.
Pusing, nafas kusmaul, koma.
Perikarditis, cardiar aritmia
Edema, gagal jantung, edema paru
Hipertensi
Tanda-tanda dan gejala uremia yang mengenai system tubuh (mual, muntah,
anoreksia berat, peningkatan letargi, konfunsi mental), kadar serum yang
meningkat. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1397)
b) Riwayat penyakit sekarang
Pada pasien penderita gagal ginjal kronis (stadium terminal).
c) Riwayat obat-obatan
Pasien yang menjalani dialisis, semua jenis obat dan dosisnya harus dievaluasi
dengan cermat. Terapi antihipertensi, yang sering merupakan bagian dari susunan
terapi dialysis, merupakan salah satu contoh di mana komunikasi, pendidikan dan
evaluasi dapat memberikan hasil yang berbeda. Pasien harus mengetahui kapan
minum obat dan kapan menundanya. Sebagai contoh, obat antihipertensi diminum
pada hari yang sama dengan saat menjalani hemodialisis, efek hipotensi dapat terjadi
selama hemodialisis dan menyebabkan tekanan darah rendah yang
berbahaya. (Brunner & Suddarth, 2001: 1401)
d) Psikospiritual
Penderita hemodialisis jangka panjang sering merasa kuatir akan kondisi
penyakitnya yang tidak dapat diramalkan. Biasanya menghadapi masalah financial,
kesulitan dalam mempertahankan pekerjaan, dorongan seksual yang menghilang
serta impotensi, dipresi akibat sakit yang kronis dan ketakutan terhadap kematian.
(Brunner & Suddarth, 2001: 1402) Prosedur kecemasan merupakan hal yang paling
sering dialami pasien yang pertama kali dilakukan hemodialisis. (Muttaqin, 2011: 267)
e) ADLs
Nutrisi : pasien dengan hemodialisis harus diet ketat dan pembatasan cairan masuk
untuk meminimalkan gejala seperti penumpukan cairan yang dapat mengakibatkan
gagal jantung kongesti serta edema paru, pembatasan pada asupan protein akan
mengurangi penumpukan limbah nitrogen dan dengan demikian meminimalkan gejala,
mual muntah. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1400)
Eliminasi : Oliguri dan anuria untuk gagal
Aktivitas : dialisis menyebabkan perubahan gaya hidup pada keluarga. Waktu yang
diperlukan untuk terapi dialisis akan mengurangi waktu yang tersedia untuk melakukan
aktivitas sosial dan dapat menciptakan konflik, frustasi. Karena waktu yang terbatas
dalam menjalani aktivitas sehai-hari.
f) Pemeriksaan fisik
BB : Setelah melakukan hemodialisis biasanya berat badan akan menurun.
TTV: Sebelum dilakukan prosedur hemodialisis biasanya denyut nadi dan tekanan
darah diatas rentang normal. Kondisi ini harus di ukur kembali pada saat prosedur
selesai dengan membandingkan hasil pra dan sesudah prosedur. (Muttaqin, 2011:
268)
Manifestasi klinik
a) Kulit : kulit kekuningan, pucat, kering dan bersisik, pruritus atau gatal-
gatal
b) Kuku : kuku tipis dan rapuh
c) Rambut : kering dan rapuh
d) Oral : halitosis / faktor uremic, perdarahan gusi
e) Lambung : mual, muntah, anoreksia, gastritis ulceration.
f) Pulmonary : uremic “lung” atau pnemonia
g) Asam basa : asidosis metabolik
h) Neurologic : letih, sakit kepala, gangguan tidur, gangguan otot : pegal
i) Hematologi : perdarahan
g) Pemeriksaan Penunjang
Kadar kreatinin serum diatas 6 mg/dl pada laki-laki, 4mg/dl pada perempuan, dan GFR
4 ml/detik. (Sylvia A. Potter, 2005 : 971)
DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Pre HD
1) Pola nafas tidak efektif b.d edema paru, asidosis metabolic, Hb ≤ 7 gr/dl, Pneumonitis
dan Perikarditis d.dPenggunaan otot aksesoris untuk bernafas, Pernafasan cuping
hidung, Perubahan kedalaman nafas, dan Dipneu
2) Ketidakseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia, mual & muntah,
pembatasan diet dan perubahan membrane mukosa oral d.d nyeri abdomen bising usus
hiperaktif, kurang makanan, diare, kurang minat pada makanan, dan berat badan 20%
atau lebih dibawah berat badan ideal.
3) Ansietas b.d krisis situasional d.d gelisah, wajah tegang, bingung, tampak waspada,
ragu/tidak percaya diri dan khawatir.
4) Kerusakan integritas kulit b.d Gangguan sirkulasi, Iritasi zat kimia, Defisit cairan d.d
Kerusakan jaringan (Mis. Kornea, membrane mukosa, integument, atau subkutan) dan
Kerusakan jaringan.
b. Intra HD
1) Resiko cedera b.d akses vaskuler & komplikasi sekunder terhadap penusukan &
pemeliharaan akses vaskuler.
2) Risiko terjadi perdarahan b.d penggunaan heparin dalam proses hemodialisa.
c. Post HD
1) Intoleransi aktivitas b.d keletihan, anemia, retensi produk sampah dan prosedur
dialisis d,d menyatakan merasa lemah, menyatakan merasa letih, dispnea setelah
beraktifitas, ketidaknyamanan setelah beraktifitas, dan respon tekanan darah abnormal
terhadap aktivitas.
2) Risiko Harga diri rendah b.d ketergantungan, perubahan peran dan perubahan citra
tubuh dan fungsi seksual d.d gangguan citra tubuh.
3) Resiko infeksi b.d prosedur invasif berulang
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
a. Pre Intra
No Diagnosa Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi Rasional
1 PRE Setelah diberikan asuhan 1) Observasi penyebab nafas tidak a. Untuk menentukan
Pola nafas tidak efektif keperawatan selama 1x24 jam efektif tindakan yang harus
b.d edema paru, asidosis diharapkan Pola nafas efektif 2) Observasi respirasi & nadi segera dilakukan
metabolic, Hb ≤ 7 gr/dl, setelah dilakukan tindakan HD 4- 3) Berikan posisi semi fowler b. Menentukan tindakan
Pneumonitis dan 5 jam, dengan Kriteria hasil: 4) Ajarkan cara nafas yang efektif c. Melapangkan dada klien
Perikarditis - Nafas 16-28 x/m 5) Berikan O2 sehingga nafas lebih
- edema paru hilan 6) Lakukan SU pada saat HD olaborasi longgar
- tidak sianosis pemberian tranfusi darah d. Hemat energi sehingga
7) Kolaborasi pemberian antibiotic nafas tidak semakin berat
8) Kolaborasi foto torak e. Hb rendah, edema, paru
9) Evaluasi kondisi klien pada HD pneumonitis, asidosis,
berikutnya perikarditis menyebabkan
10) Evaluasi kondisi klien pada HD suplai O2 ke jaringan <
berikutnya SU adalah penarikan
secara cepat pada HD
f. Mempercepat
pengurangan edema paru
g. Untuk ↑Hb, sehingga
suplai O2 ke jaringan
cukup
h. Untuk mengatasi infeksi
paru & perikard
i. Follou up penyebab nafas
tidak efektif
2 INTRA Setelah dilakukan asuhan a. Observasi kepatenan AV shunt 1) AV yg sudah tidak baik
Resiko cedera b.d akses keperawatan selama 1x24 jam sebelum HD bila dipaksakan bisa
vaskuler & komplikasi diharapkan pasien tidak b. Monitor kepatenan kateter sedikitnya terjadi rupture vaskuler
sekunder terhadap mengalami cedera dengan setiap 2 jam 2) Posisi kateter yg berubah
penusukan & Kriteria hasil: c. Observasi warna kulit, keutuhan kulit, dapat terjadi rupture
pemeliharaan akses - Kulit pada sekitar AV shunt sensasi sekitar shunt vaskuler/emboli
vaskuler. utuh/tidak rusa d. Monitor TD setelah HD 3) Kerusakan jaringan dapat
- Pasien tidak mengalami e. Lakukan heparinisasi pada didahului tanda
komplikasi HD shunt/kateter pasca HD kelemahan pada kulit,
f. Cegah terjadinya infeksi pd area lecet bengkak, ↓sensasi
shunt/penusukan kateter 4) Posisi baring lama stlh HD
dpt menyebabkan
orthostatik hipotensi
5) Shunt dapat mengalami
sumbatan & dapat
dihilangkan dg heparin
6) Infeksi dapat
mempermudahkerusakan
jaringan
3 POST Setelah dilakukan tindakan a. Observasi faktor yang menimbulkan Menyediakan informasi
Intoleransi aktivitas b.d keperawatan & HD, selama 1x24 keletihan: Anemia, tentang indikasi tingkat
keletihan, anemia, jam diharapkan klien mampu Ketidakseimbangan cairan & keletihan
retensi produk sampah berpartisipasi dalam aktivitas elektrolit, Retensi produk sampah Meningkatkan aktifitas
dan prosedur dialisis yang dapat ditoleransi, dengan depresi ringan/sedang &
Kriteria Hasil: b. Tingkatkan kemandirian dalam memperbaiki harga diri
- Berpartisipasi dalam aktivitas aktifitas perawatan diri yang dapat Mendorong latihan & aktifitas
perawatan mandiri yang ditoleransi, bantu jika keletihan terjadi yang dapat ditoleransi &
dipilih c. Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat yang adekuat
- Berpartisipasi dalam↑ istirahat Istirahat yang adekuat
aktivitas dan latihan d. Anjurkan untuk istirahat setelah dianjurkan setelah dialisis,
- Istirahat & aktivitas dialisis karena adanya perubahan
seimbang/bergantian keseimbangan cairan &
elektrolit yang cepat dan
melelahkan.
D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi atau tindakan yang direncanakan.
E. EVALUASI
a. Pre HD
1. Nafas kembali normal, tidak terdapat edema paru dan sianosis
2. Volume cairan kembali dalam keadaan seimbang
3. Nutrisi pasien kembali dalam keadaan seimbang
4. Ansietas yang di alami menurun sampai tingkat dapat ditangani
5. Integritas kulit tidak mengalami kerusakan
b. Intra HD
1. Resiko cedera tidak terjadi
2. Tidak terjadi perdarahan
c. Post HD
1. Dapat beraktivitas seperti biasa
2. Harga diri rendah dapat teratasi karena pola koping klien efektif
3. Tidak terjadi infeksi
DAFTAR PUSTAKA
Lintong, Poppy M. 2005. Ginjal Dan Saluran Kencing Bagian Bawah. Bagian
Patologi Anatomi FK UNSRAT, Manado
Mubin, Halim. 2007. Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam Diagnosis dan
Terapi.EGC : Jakarta
Purnomo, Basuki. B. 2011. Dasar – Dasar Urologi. Edisi Ke Tiga. Jakarta :Sagung Seto
Suwitra K. 2006. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI