Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN

CHRONIC KIDNEY DISEASE dan ACUTE LUNG OEDEMA (ALO)


Di R. Hemodialisa RSUD dr. SAIFUL ANWAR MALANG

30 Juli – 4 Agustus 2018

Oleh:
ALRISTA MAWAR WIDANTI
NIM. 1601470070

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN MALANG

JURUSAN KEPERAWATAN

PROGAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN LAWANG

2018
CHRONIC KIDNEY DISEASE

A. DEFINISI CKD
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi
renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan
uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner & Suddarth, 2001).
Gagal ginjal kronis (bahasa Inggris: chronic kidney disease, CKD) adalah proses
kerusakan pada ginjal dengan rentang waktu lebih dari 3 bulan.CKD dapat menimbulkan
simtoma berupa laju filtrasi glomerular di bawah 60 mL/men/1.73 m2, atau di atas nilai
tersebut namun disertai dengan kelainan sedimen urin. Adanya batu ginjal juga dapat
menjadi indikasi CKD.
Chronic kidney disease (CKD) didefinisikan sebagai kerusakan ginjal atau penurunan
GFR <60 ml/menit/1.73m2 selama ≥3 bulan. Kerusakan ginjal yang dimaksud adalah
adanya abnormalitas patologis atau adanya marker kerusakan ginjal, termasuk abnormalitas
pada pemeriksaan darah, urine, atau imaging.

B. ETIOLOGI CKD
Chronic Kidney Disease ( CKD ) terjadi setelah berbagai macam penyakit yang merusak
nefron ginjal. Sebagian besar merupakan penyakit parenkim ginjal difus dan bilateral.
1. Infeksi : Pielonefritis kronik.
2. Penyakit peradangan : Glomerulonefritis.
3. Penyakit vaskuler hipertensif :Nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, stenosis
arteri renalis.
4. Gangguan jaringan penyambung : SLE, poli arteritis nodosa, sklerosis sistemik
progresif.
5. Gangguan kongenital dan herediter : Penyakit ginjal polikistik,asidosis tubuler ginjal.
6. Penyakit metabolik : DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis.
7. Nefropati obstruktif : Penyalahgunaan analgetik, nefropati timbale.
8. Nefropati obstruktif
a. Sal. Kemih bagian atas: Kalkuli, neoplasma, fibrosis, netroperitoneal.
b. Sal. Kemih bagian bawah: Hipertrofi prostate, striktur uretra, anomali congenital pada
leher kandung kemih dan uretra.
Faktor predisposisi:

1) Diabetes
2) Usia lebih dari 60 tahun
3) Penyakit ginjal congenital
4) Riwayat keluarga penyakit ginjal
5) Autoimmune (lupus erythematosus
6) Obstruksi renal (BPH dan prostitis)
7) Ras
Faktor presipitasi:
1) Paparan toksin dan beberapa medikasi yang berlebih
2) Gaya hidup (hipertensi, atherosclerosis)
3) Pola makan (diet)
C. KLASIFIKASI CKD
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat atas dasar LFG yang dihitung dengan
mempergunakan rumus Kockcorft-Gault sebagai berikut:
LFG (ml/menit/1,73m²) = (140-umur)x berat badan / 72x kreatinin plasma (mg/dl)*)
*) pada perempuan dikalikan 0,85
Klasifikasi penyakit ginjal kronik atas dasar derajat penyakit
Derajat Penjelasan LFG(ml/mnt/1,73m²)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ > 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG↓ ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG↓ sedang 30-59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG↓ berat 15- 29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

a. Stadium 1
Seseorang yang berada pada stadium 1 CKD biasanya belum merasakan gejala yang
mengindikasikan kerusakan pada ginjal.Hal ini disebabkan ginjal tetap berfungsi secara
normal meskipun tidak lagi dalam kondisi 100% sehingga banyak penderita yang tidak
mengetahui kondisi ginjalnya dalam stadium 1.Kalaupun hal tersebut diketahui biasanya
saat penderita memeriksakan diri untuk penyakit lainnya seperti diabetes dan hipertensi.
b. Stadium 2
Sama seperti pada stadium awal, seseorang yang berada pada stadium 2 juga tidak
merasakan gejala karena ginjal tetap dapat berfungsi dengan baik, walaupun dengan GFR
yang mulai menurun.
c. Stadium 3
Seseorang yang menderita CKD stadium 3 mengalami penurunan GFR moderat yaitu
diantara 30 s/d 59 ml/min. Dengan penurunan pada tingkat ini akumulasi sisa–sisa
metabolisme akan menumpuk dalam darah yang disebut uremia. Pada stadium ini muncul
komplikasi seperti tekanan darah tinggi (hipertensi), anemia atau keluhan pada tulang.
d. Stadium 4
Pada stadium ini fungsi ginjal hanya sekitar 15–30% saja dan apabila seseorang berada
pada stadium ini sangat mungkin dalam waktu dekat diharuskan menjalani terapi
pengganti ginjal/dialisis atau melakukan transplantasi. Kondisi dimana terjadi
penumpukan racun dalam darah atau uremia biasanya muncul pada stadium ini. Selain itu
besar kemungkinan muncul komplikasi seperti tekanan darah tinggi (hipertensi), anemia,
penyakit tulang, masalah pada jantung dan penyakit kardiovaskular lainnya.
e. Stadium 5
Pada stadium ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk bekerja secara
optimal.Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal (dialisis) atau transplantasi agar
penderita dapat bertahan hidup.
D. MANIFESTASI KLINIS CKD
Manifestasi klinik antara lain (Long, 1996 : 369):

1. Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan berkurang, mudah
tersinggung, depresi
2. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal atau sesak nafas baik
waktui ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi
mungkin juga sangat parah.

Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara lain : hipertensi, (akibat retensi
cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin – angiotensin – aldosteron), gagal jantung
kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi pada
lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot,
kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi).

Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:

 Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, effusi perikardiac dan gagal
jantung akibat penimbunan cairan, gangguan irama jantung dan edema.
 Gannguan Pulmoner
Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum kental dan riak, suara krekels.
 Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme protein dalam usus,
perdarahan pada saluran gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau ammonia.
 Gangguan muskuloskeletal
Resiles leg sindrom ( pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan ), burning feet syndrom
( rasa kesemutan dan terbakar, terutama ditelapak kaki ), tremor, miopati ( kelemahan dan
hipertropi otot – otot ekstremitas.
 Gangguan Integumen
Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning – kuningan akibat penimbunan urokrom,
gatal – gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh.
 Gangguan endokrin
Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan menstruasi dan aminore.
Gangguan metabolic glukosa, gangguan metabolic lemak dan vitamin D.
 Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa
Biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium dan dehidrasi,
asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia.
 System hematologi
Anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin, sehingga rangsangan
eritopoesis pada sum – sum tulang berkurang, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup
eritrosit dalam suasana uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan
trombositopeni.
Pasien dengan CKD menunjukkan manifestasi yang berbeda-beda, tergantung pada stadium
CKD yang dialami.
1) Stadium 1
Seseorang dengan CKD stadium 1 biasanya belum merasakan gejala yang menandakan
kerusakan ginjal karena ginjal masih dapat berfungsi dengan normal.
2) Stadium 2
Seseorang dengan CKD stadium 2 biasanya juga belum merasakan gejala yang menandakan
kerusakan ginjal walaupun sudah terdapat penurunan GFR ringan, yaitu sebesar 60-89.
3) Stadium 3
Padastadium ini, gejala- gejala terkadang mulai dirasakan seperti:
 Fatigue: rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.
 Kelebihan cairan: Seiring dengan menurunnya fungsi ginjal membuat ginjal tidak dapat
lagi mengatur komposisi cairan yang berada dalam tubuh. Hal ini membuat penderita akan
mengalami pembengkakan sekitar kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan.
Penderita juga dapat mengalami sesak nafas akaibat teralu banyak cairan yang berada
dalam tubuh.
 Perubahan pada urin: urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan adanya kandungan
protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami perubahan menjadi coklat, oranye
tua, atau merah apabila bercampur dengan darah. Rasa sakit pada ginjal.
 Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada dapat dialami oleh sebagian penderita
yang mempunyai masalah ginjal seperti polikistik dan infeksi.
 Sulit tidur: Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur disebabkan
munculnya rasa gatal, kram ataupun restless legs.
4) Stadium 4
Gejala yang mungkin dirasakan pada stadium 4 hampir sama dengan stadium 3, yaitu:
 Nausea : muntah atau rasa ingin muntah.
 Perubahan cita rasa makanan : dapat terjadi bahwa makanan yang dikonsumsi tidak terasa
seperti biasanya.
 Bau mulut uremic : ureum yang menumpuk dalam darah dapat dideteksi melalui bau
pernafasan yang tidak enak.
 Sulit berkonsentrasi
5) Stadium 5 (gagal ginjal terminal)
Gejala yang dapat timbul pada stadium 5 antara lain:
 Kehilangan nafsu makan
 Nausea.
 Sakit kepala.
 Merasa lelah.
 Tidak mampu berkonsentrasi.
 Gatal – gatal.
 Urin tidak keluar atau hanya sedikit sekali.
 Bengkak, terutama di seputar wajah, mata dan pergelangan kaki.
 Kram otot
 Perubahan warna kulit
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG CKD
1. Laboratorium
Untuk menentukan ada tidaknya kegawatan, menentukan derajat GGK, menentukan
gangguan sistem, dan membantu menetapkan etiologi.Blood ureum nitrogen
(BUN)/kreatinin meningkat, kalium meningkat, magnesium meningkat, kalsium menurun,
protein menurun, Ht menurun karena adanya anemia, SDM menurun karena terjadi
defisiensi eritropoetin, GDA mengalami asidosis metabolic, Natrium serum rendah.
2. Radiology
Foto polos abdomen untuk menilai bentuk dan besar ginjal ( adanya batu atau adanya suatu
obstruksi ). Dehidrasi karena proses diagnostic akan memperburuk keadaan ginjal, oleh
sebab itu penderita diharapkan tidak puasa.
3. Intra Vena Pielografi (IVP)
Untuk menilai system pelviokalisis dan ureter.
4. USG
Untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal, kepadatan parenkim ginjal.
Untuk mencari adanya faktor yang reversibel seperti obstruksi oleh karena batu atau massa
tumor, dan untuk menilai apakah proses sudah lanjut
5. EKG
Untuk melihat kemungkinan hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis, aritmia,
gangguan elektrolit (hiperkalemia)
F. KOMPLIKASI CKD
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami beberapa komplikasi.
Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001) serta Suwitra (2006) antara lain adalah :
1. Hiper kalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme, dan masukan diit
berlebih.
2.Perikarditis, efusi perikardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah uremik dan
dialisis yang tidak adekuat.
3.Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin angiotensin aldosteron.
4.Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5.Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum yang
rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan kadar alumunium akibat
peningkatan nitrogen dan ion anorganik.
6.Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
7.Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebian.
8.Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
9.Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.
G. PENATALAKSANAAN CKD
a) Konservatif
Diet TKRP (Tinggi Kalori Rendah Protein)
Protein dibatasi karena urea, asam urat dan asam organik merupakan hasil pemecahan protein
yang akan menumpuk secara cepat dalam darah jika terdapat gangguan pada klirens renal.
Protein yang dikonsumsi harus bernilai biologis (produk susu, telur, daging) di mana makanan
tersebut dapat mensuplai asam amino untuk perbaikan dan pertumbuhan sel. Biasanya cairan
diperbolehkan 300-600 ml/24 jam. Kalori untuk mencegah kelemahan dari Karbohidrat dan
lemak.Pemberian vitamin juga penting karena pasien dialisis mungkin kehilangan vitamin larut
air melalui darah sewaktu dialisa.
b) Simptomatik
1. Hipertensi
Ditangani dengan medikasi antihipertensi kontrol volume intravaskuler. Gagal jantung
kongestif dan edema pulmoner perlu pembatasan cairan, diit rendah natrium, diuretik, digitalis
atau dobutamine dan dialisis. Asidosis metabolik pada pasien CKD biasanya tanpa gejala dan
tidak perlu penanganan, namun suplemen natrium bikarbonat pada dialisis mungkin diperlukan
untuk mengoreksi asidosis.
2. Anemia
Penatalaksanaan anemia dengan rekombinan erythropoiesis-stimulating agents (ESAs)
dapat memperbaiki kondisi pasien CKD dengan anemia secara signifikan.ESAs harus diberikan
untuk mencapai dan mempertahankan konsentrasi hemoglobin 11.0 sampai 12.0 gr/dL. Pasien
juga harus menerima suplemen zat besi selama menerima terapi ESA karena erythropoiesis
yang diinduksi secara farmakologis dibatasi oleh supply zat besi, ditunjukkan dengan
kebutuhan ESA yang lebih sedikit setelah pasien menerima suplemen zat besi. Selain itu,
karena tubuh membentuk banyak sel darah merah, tubuh juga memerlukan banyak zat besi
sehingga dapat terjadi defisiensi zat besi.Serum ferritin dan persen transferrin saturation
mengalami penurunan setelah 1 minggu terapi ESA pada pasien dengan CKD yang menerima
dialysis.Karena pasien CKD mengalami gangguan metabolism zat besi, serum ferritin dan
persen transferrin saturation harus dipertahankan lebih tinggi daripada individu
normal.Maintenance serum ferritin yang disarankan yaitu ≥200 ng/mL, dan persen transferrin
saturation ≥20%.Sebagian besar pasien CKD membutuhkan suplementasi zat besi parenteral
untuk mencapai kadar zat besi yang disarankan.
c) Terapi Pengganti
1. Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal adalah terapi yang paling ideal mengatasi gagal ginjal karena
menghasilkan rehabilitasi yang lebih baik disbanding dialysis kronik dan menimbulkan
perasaan sehat seperti orang normal. Transplantasi ginjal merupakan prosedur menempatkan
ginjal yang sehat berasal dari orang lain kedalam tubuh pasien gagal ginjal. Ginjal yang baru
mengambil alih fungsi kedua ginjal yang telah mengalami kegagalan dalam menjalankan
fungsinya.Seorang ahli bedah menempatkan ginjal yang baru (donor) pada sisi abdomen
bawah dan menghubungkan arteri dan vena renalis dengan ginjal yang baru. Darah mengalir
melalui ginjal yang baru yang akan membuat urin seperti ginjal saat masih sehat atau
berfungsi. Ginjal yang dicangkokkan berasal dari dua sumber, yaitu donor hidup atau donor
yang baru saja meninggal (donor kadaver).
2. Cuci Darah (dialisis)
Dialisis adalah suatu proses dimana solute dan air mengalami difusi secara pasif
melalui suatu membran berpori dari satu kompartemen cair menuju kompartemen
cair lainnya. Hemodialisis dan dialysis merupakan dua teknik utama yang digunakan
dalam dialysis, dan prinsip dasar kedua teknik itu sama, difusi solute dan air dari
plasma ke larutan dialisis sebagai respons terhadap perbedaan konsentrasi atau
tekanan tertentu.
a. Dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan atau CAPD
Dialisis peritoneal adalah metode cuci darah dengan bantuan membran selaput rongga
perut (peritoneum), sehingga darah tidak perlu lagi dikeluarkan dari tubuh untuk
dibersihkan seperti yang terjadi pada mesin dialisis.CAPD merupakan suatu teknik
dialisis kronik dengan efisiensi rendah sehingga perlu diperhatikan kondisi pasien
terhadap kerentanan perubahan cairan (seperti pasien diabetes dan kardiovaskular).
b. Hemodialisis klinis di rumah sakit
Cara yang umum dilakukan untuk menangani gagal ginjal di Indonesia adalah dengan
menggunakan mesin cuci darah (dialiser) yang berfungsi sebagai ginjal buatan.

Hemodialisis
Hemodialisis berasal dari kata “hemo” artinya darah, dan “dialisis ” artinya pemisahan zat-zat
terlarut. Hemodialisis berarti proses pembersihan darah dari zat-zat sampah, melalui proses
penyaringan di luar tubuh. Hemodialisis menggunakan ginjal buatan berupa mesindialisis.
Hemodialisis dikenal secara awam dengan istilah ‘cuci darah. Hemodialisis (HD) adalah cara
pengobatan / prosedur tindakan untuk memisahkan darah dari zat-zat sisa / racun yang
dilaksanakan dengan mengalirkan darah melalui membran semipermiabel dimana zat sisa atau
racun ini dialihkan dari darah ke cairan dialisat yang kemudian dibuang, sedangkan darah
kembali ke dalam tubuh sesuai dengan arti dari hemo yang berarti darah dan dialisis yang
berarti memindahkan.

Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa antara lain :
1) Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa metabolisme
dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain.
2) Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya dikeluarkan
sebagai urin saat ginjal sehat.
3) Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.
4) Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.

Terdapat tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu: difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi.
 Toksin dan zat limbah di keluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah
yang memilki konsentrasi tinggi ke cairan yang konsentrasi rendah.
 Air yang berlebihan akan di keluarkan dari tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air
dapat di kendalaikan dengan menciptakan gradien tekanan dengan kata lain, air bergerak dari
daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang loebih rendah
(cairan dialisat).gradien ini dapat di tingkatkan meleui tekanan negatif yang di kenal dengan
ultrafiltrasi. Tekanan negatif ini di terapkan pada alat ini sebagai kekuatan penghisap pada
membran dan memfasilitasi pengeluran air karena pasien tidak dapat mengekresikan ari
kekuatan ini di perlukan untuk mengeluarkan cairan hingga tercapai
isovolemia(keseimbangan cairan).

Penatalaksanaan pasien yang menjalani hemodialisis jangka panjang :


 Diet dan masalah cairan
Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisa mengingat adanya
efek uremia. Apabila ginjal tidak mampu mengekskresikan
produk akhir metabolisme, substansi yang bersifat asam ini akan menumpuk dalam serum
pasien dan bekerja sebagai racun. Gejala yang terjadi akibat
penumpukan tersebut secara kolektif dikenal dengan gejala uremik dan akan mempengaruhi
setiap sistem tubuh. Lebih banyak toksin yang menumpuk, lebih berat gejala yang timbul.
Diet rendah protein akan mengurangi penumpukan limbah nitrogen dan dengan demikian
meminimalkan gejala. Penumpukan cairan juga dapat terjadi dan dapat mengakibatkan gagal
jantung kongestif serta edema paru. Dengan demikian pembatasan cairan juga merupakan
bagian dari resep diet untuk pasien ini. Dengan penggunaan hemodialisa yang efektif, asupan
makanan pasien dapat diperbaiki meskipun biasanya memerlukan beberapa penyesuaian atau
pembatasan pada asupan protein, natrium, kalium dan cairan
 Pertimbangan medikasi
Banyak obat yang dieksresikan seluruhnya atau sebagian melalui ginjal. Pasien yang
memerlukan obat-obatan harus di pantau dengan ketat untuk memastikan agar kadar obat-
oabatan dalam darah dan jaringan dapat di pertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik.

Komplikasi dalam pelaksanaan hemodialisa yang sering terjadi pada saat dilakukan terapi
adalah :
a. Hipotensi: dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan di keluarkan
b. Kram otot : nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat meningglkanruang
ekstrasel.
c. Mual atau muntah : merupakan peristiwa yang sering terjadi.
d. Sakit dada : dapat terjadi karena pCO2menurun bersamaan dengan terjadinya sirkulasi
darah di luar tubuh.
e. Gatal-gatal : dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme
meninggalkan kulit.
f. Demam dan menggigil
g. Kejang
H. ASUHAN KEPERAWATAN CKD
1. PENGKAJIAN
Pengkajian pada klien CKD menurut Suzanne C. Smeltzer, Doenges (1999) dan Susan Martin
Tucker (1998).
1. Sistem Kardiovakuler
Tanda dan gejala : Hipertensi, pitting edema (kaki, tangan, sacrum). Edema periorbital,
fiction rub pericardial, dan pembesaran vena jugularis, gagal jantung, perikardtis takikardia
dan disritmia.
2.Sistem Integument
Tanda dan gejala : Warna kulit abu – abu mengkilat, kulit kering bersisik, pruritus,
echimosis, kulit tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar, turgor kulit buruk, dan gatal – gatal
pada kulit
3. Sistem Pulmoner
Tanda dan gejala : Sputum kental , nafas dangkal, pernafasan kusmaul, udem paru,
gangguan pernafasan, asidosis metabolic, pneumonia, nafas berbau amoniak, sesak nafas.
4. Sistem Gastrointestinal
Tanda dan gejala : Nafas berbau amoniak, ulserasi dan perdarahan pada mulut, anoreksia,
mual, muntah, konstipasi dan diare, perdarahan dari saluran gastrointestinal, sto,atitis dan
pankreatitis.

5. Sistem Neurologi
Tanda dan gejala : Kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang, penurunan
konsentrasi, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, dan perubahan perilaku,
malaise serta penurunan kesadaran.
6. Sistem Muskuloskletal
Tanda dan gejala : Kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang, foot drop, osteosklerosis,
dan osteomalasia.
7. Sisem Urinaria
Tanda dan gejala : Oliguria, hiperkalemia, distropi renl, hematuria, proteinuria, anuria,
abdomen kembung, hipokalsemia, hiperfosfatemia, dan asidosis metabolik.
8. Sistem Reproduktif
Tanda dan gejala : Amenore, atropi testikuler, penurunan libido, infertilitas.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah:
1. Kelebihan volume cairan
2. Penurunan curah jantung
3. Intoleransi aktivitas
4. Risiko infeksi
5. Risiko perdarahan
6. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
7. Gangguan integritas kulit

3. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN


1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan fungsi ginjal.
Tujuan : Mempertahankan berat tubuh ideal tampa kelebihan cairan.
Kriteria Evaluasi :
a) Haluaran urine tepat dengan berat jenis/hasil lab mendekati normal.
b) BB stabil.
c) TTV dalam batas normal.
d) Tidak ada edema.
Intervensi :
a) Awasi denyut jantung TD dan CVP.
b) Catat pemasukan dan pengeluaran akurat.
c) Awasi berat jenis urine.
d) Timbang BB tiap hari dengan alat ukur dan pakaian yang sama.
e) Batasi pemasukan cairan.
f) Kaji kulit, area tergantung edema, evaluasi derajat edema.
g) Kaji tingkat kesadaran, selidiki perubahan mental, adanya gelisah.
h) Kolaborasi pemeriksaan laboratorium : Kreatinin, ureum HB/Ht, kalium dan
natrium serum.
i) Kolaborasi foto dada, berikan/batasi cairan sesuai indikasi.
j) Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi : Diuretik, anti hipertensif
k) Kolaborasi untuk dialisis sesuai indikasi.

2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


pembatasan nutrisi.
Tujuan : Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat.
Kriteria Evaluasi :
a) Mempertahankan/meningkatkan berat badan seperti yang diindikasikan oleh
situasi individu.
b) Bebas edema.
Intervensi :
a) Kaji/catat pemasukan diet.
b) Beri makan sedikit tapi sering.
c) Berikan pasien daftar makanan tatau cairan yang diizinkan dan dorong terlibat
pada pemilihan menu.
d) Timbang BB tiap hari.
e) Kolaborasi pemeriksaan lab BUN, albumin serum, transferin, natrium, kalium.
f) Kolaborasi dengan ahli gizi, berikan kalori tinggi rendah protein.
g) Batasi kalsium, natrium dan pemasukan fosfat sesuai indikasi
ACUTE LUNG OEDEME

1. Definisi
- Edema paru akut adalah akumulasi cairan di interstisial dan alveoulus paru yang terjadisecara
mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi (edem
parukardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edem paru non
kardiogenik)yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepaat sehingga terjadi
gangguanpertukaran udara di alveoli secara progresif dan mengakibatkan hipoksia (Harun dan
Sally, 2009)
- Edema paru akut adalah keadaan patologi dimana cairan intravaskuler keluar ke ruang
ekstravaskuler, jaringan interstisial dan alveoli yang terjadi secara akut. Pada keadaan normal
cairan intravaskuler merembes ke jaringan interstisial melalui kapiler endotelium dalam
jumlah yang sedikit sekali, kemudian cairan ini akan mengalir ke pembuluh limfe menuju ke
vena pulmonalis untuk kembali ke dalam sirkulasi (Flick, 2000; Hollenberg, 2003).

2. Etiologi dan Faktor Resiko


a. Ketidakseimbangan Starling Forces
1) Peningkatan tekanan kapiler paru
 Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri (stenosis
mitral).
 Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel kiri.
 Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan arteria
pulmonalis (over perfusion pulmonary edema).
2) Penurunan tekanan onkotik plasma
 Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, protein-losing
enteropaday, penyakit dermatologi atau penyakit nutrisi.
3) Peningkatan tekanan negatif intersisial
 Pengambilan terlalu cepat pneumotoraks atau efusi pleura (unilateral).
 Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran napas akut
bersamaan dengan peningkatan end-expiratory volume (asma).
4) Peningkatan tekanan onkotik intersisial
 Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan maupun klinik.
b. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory Distress Syndrome)
1) Pneumonia (bakteri, virus, parasit).
2) Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, asap Teflon®, NO2, dsb).
3) Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan, alpha-naphthyl
thiourea).
4) Aspirasi asam lambung.
5) Pneumonitis radiasi akut.
6) Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).
7) Disseminated Intravascular Coagulation.
8) Imunologi: pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin, leukoagglutinin.
9) Shock lung oleh karena trauma di luar toraks.
10) Pankreatitis perdarahan akut.
c. Insufisiensi Limfatik
1) Post Lung Transplant
2) Lymphangitic Carcinomatosis
3) Fibrosing Lymphangitis (silicosis)
d. Tak diketahui/tak jelas
1) High Altitude Pulmonary Edema
2) Neurogenic Pulmonary Edema
3) Narcotic overdose
4) Pulmonary embolism
5) Eclampsia
6) Post Cardioversion.
7) Post Anesthesia
8) Post Cardiopulmonary Bypass.
(Harun & Sally, 2009)

Klasifikasi ALO:
a. Edema paru kardiogenik
Yaitu edema paru yang disebabkan karena gangguan pada jantung atau sistem kardiovaskuler.
 Penyakit pada arteri koronaria
Arteri yang menyuplai darah untuk jantung dapat menyempit karena adanya deposit
lemak (plaques). Serangan jantung terjadi jika terbentuk gumpalan darah pada arteri dan
menghambat aliran darah serta merusak otot jantung yang disuplai oleh arteri tersebut.
Akibatnya, otot jantung yang mengalami gangguan tidak mampu memompa darah lagi
seperti biasa.
 Kardiomiopati
Penyebab terjadinya kardiomiopati sendiri masih idiopatik. Menurut beberapa ahli
diyakini penyebab terbanyak terjadinya kardiomiopati dapat disebabkan oleh infeksi pada
miokard jantung (miokarditis), penyalahgunaan alkohol dan efek racun dari obat-obatan
seperti kokain dan obat kemoterapi. Kardiomiopati menyebabkan ventrikel kiri menjadi
lemah sehingga tidak mampu mengkompensasi suatu keadaan dimana kebutuhan jantung
memompa darah lebih berat pada keadaan infeksi. Apabila ventrikel kiri tidak mampu
mengkompensasi beban tersebut, maka darah akan kembali ke paru-paru. Hal inilah yang
akan mengakibatkan cairan menumpuk di paru-paru (flooding).
 Gangguan katup jantung
Pada kasus gangguan katup mitral atau aorta, katup yang berfungsi untuk mengatur aliran
darah tidak mampu membuka secara adekuat (stenosis) atau tidak mampu menutup
dengan sempurna (insufisiensi). Hal ini menyebabkan darah mengalir kembali melalui
katub menuju paru-paru.
 Hipertensi
Hipertensi tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya penebalan pada otot ventrikel
kiri dan dapat disertai dengan penyakit arteri koronaria.
(Harun dan Sally, 2009).

b. Edema paru non kardiogenik


Yaitu edema paru yang bukan disebabkan karena keainan pada jantung tetapi paru itu
sendiri. Edema paru non-kardiogenik disebabkan oleh peningkatan permeabilitas pembuluh
darah paru yang menyebabkan meningkatnya cairan dan protein masuk ke dalam intersisial
paru dan alveolus. Cairan edema paru nonkardiogenik memiliki kadar protein tinggi karena
membran pembuluh darah lebih permeabel untuk dilewati oleh molekul besar seperti protein
plasma. Banyaknya cairan edema tergantung pada luasnya edema interstitial, ada atau tidak
adanya cidera pada epitel alveolar dan kemampuan dari epitel alveolar untuk secara aktif
mengeluarkan cairan edema alveolar. Edema paru akibat acute lung injury dimana terjadi
cedera epitel alveolar yang menyebabkan penurunan kemampuan untuk menghilangkan
cairan alveolar (Lorraine et al, 2005). Non-cardiogenic pulmonary edema umumnya
disebabkan oleh hal berikut:
a. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
Pada ARDS, integritas dari alveoli menjadi terkompromi sebagai akibat dari respon
peradangan yang mendasarinya, dan ini menjurus pada alveoli yang bocor yang dapat
dipenuhi dengan cairan dari pembuluh-pembuluh darah.
b. Kondisi yang berpotensi serius yang disebabkan oleh infeksi-infeksi yang parah, trauma,
luka paru, penghirupan racun-racun, infeksi-infeksi paru, merokok kokain, atau radiasi
pada paru-paru.
c. Gagal ginjal dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan cairan dari tubuh dapat
menyebabkan penumpukan cairan dalam pembuluh-pembuluh darah, berakibat pada
pulmonary edema. Pada orang-orang dengan gagal ginjal yang telah lanjut, dialysis
mungkin perlu untuk mengeluarkan kelebihan cairan tubuh.
d. High altitude pulmonary edema, yang dapat terjadi disebabkan oleh kenaikan yang cepat
ke ketinggian yang tinggi lebih dari 10.000 feet.
e. Trauma otak, perdarahan dalam otak (intracranial hemorrhage), seizure-seizure yang
parah, atau operasi otak dapat berakibat pada akumulasi cairan di paru-paru,
menyebabkan neurogenic pulmonary edema.
f. Paru yang mengembang secara cepat dapat adakalanya menyebabkan re-expansion
pulmonary edema. Ini mungkin terjadi pada kasus-kasus ketika paru mengempis
(pneumothorax) atau jumlah yang besar dari cairan sekeliling paru (pleural effusion)
dikeluarkan, berakibat pada ekspansi yang cepat dari paru. Ini dapat berakibat pada
pulmonary edema hanya pada sisi yang terpengaruh (unilateral pulmonary edema).
g. Jarang, overdosis pada heroin atau methadone dapat menjurus pada pulmonary edema.
Overdosis aspirin atau penggunaan dosis aspirin tinggi yang kronis dapat menjurus pada
aspirin intoxication, terutama pada kaum tua, yang mungkin menyebabkan pulmonary
edema.
h. Penyebab-penyebab lain yang lebih jarang dari non-cardiogenic pulmonary edema
mungkin termasuk pulmonary embolism (gumpalan darah yang telah berjalan ke paru-
paru), luka paru akut yang berhubungan dengan transfusi atau transfusion-related acute
lung injury (TRALI), beberapa infeksi-infeksi virus, atau eclampsia pada wanita-wanita
hamil.

FAKTOR RISIKO
Penyebab paling umum dari edema paru adalah gagal jantung. Tapi tidak setiap kasus adalah
karena masalah jantung. Beberapa faktor risiko edema paru meliputi: (umm.edu)
 Tekanan darah tinggi
 Diabetes
 Penyakit jantung koroner atau katup
 Kegemukan
 Cedera sistem saraf
 Infeksi
3. Patofisiologi
Pada paru normal, cairan dan protein keluar darimikrovaskular terutama melalui celah
kecil antara sel endotel kapiler. Cairan dan solute yang keluar dari sirkulasi ke ruang alveolar
intertisial pada keadaan normal tidak dapatmasuk ke ruang alveolar hal ini disebabkan epitel
alveolusterdiri atas ikatan yang sangat rapat. Selain itu, ketika cairanmemasuki ruang intertisial,
cairan tersebut akan dialirkanke ruang peribronkovaskular, yang kemudian dikembalikanoleh
sistem limfatik ke sirkulasi. Perpindahan protein plasma dalam jumlah lebih besar tertahan.
Tekanan hidrostatik yang diperlukan untuk filtrasi cairan keluar dari mikrosirkulasi paru sama
dengan tekanan hidrostatik kapiler paru yangdihasilkan sebagian oleh gradient tekanan onkotik
protein.
Edema paru kardiogenik atau edema volume overload terjadi karena peningkatan tekanan
hidrostatik yangcepat dalam kapiler paru menyebabkan peningkatan filtrasi cairan transvascular.
(Gambar 1B). Peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler pulmonal biasanya berhubungandengan
peningkatan tekanan vena pulmonal akibat peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri
(LVED) dan tekanan atrium kiri. Peningkatan ringan tekanan ventrikel kiri (18 – 25 mmHG)
menyebabkan edema di perimikrovaskulerdan ruang ruang intersisial peribronkovaskular. Jika
tekananatrium kiri meningkat lebih ti nggi (>25) maka cairan edemaakan menembus epitel
paru,membanjiri alveolus. Kejadian tersebut akan menimbulkan lingkaran setanyang terus
memburuk oleh proses sebagai berikut :
- Meningkatnya kongesti paru akan menyebabkan desaturasi, menurunnya pasokan oksigen
miokard danakhirnya semakin memburuknya fungsi jantung.
- Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan vasokonstriksi pulmonal
sehingga meningkatkantekanan ventrikel kanan. Peningkatan tekanan ventrikel kanan melalui
mekanime interdependensi ventrikelakan semakin menurunkan fungsi ventrikel kiri.
- Insufisiensi sirkulasi akan menyebabkan asidosis sehingga memperburuk fungsi jantung
Bila edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostati k maka sebaliknya,
edema parunonkardiogenik disebabkan oleh peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru yang
menyebabkan meningkatnya cairan dan protein masuk ke dalam intersisial paru danalveolus.
Cairan edema paru nonkardiogenik memilikikadar protein tinggi karena membran pembuluh
darahlebih permeable untuk dilewati oleh protein plasma. Akumulasi cairan edema ditentukan
oleh keseimbangan antara kecepatan filtrasi cairan ke dalam paru dan kecepatan cairan tersebut
dikeluarkan dari alveoli dan intersisial.
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis edem paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium (Simadibrata, 2000):
a. Stadium 1
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki
pertukarangas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada
stadium inimungkin hanya berupa adanya sesak nafas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak
jelasmenemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inpsirasi karena
terbukanyasaluran nafas yang tertutup saat inspirasi.
b. Stadium 2
Pada stadium ini terjadi edem paru interstisial. Batas pembuluh darah paru menjadi
kabur,demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal (garis kerley
B).Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor interstisial, akan lebih memperkecil saluran
nafaskecil, terutama di daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi
reflex bronkhokonstriksi. Sering terdengar takipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda
gangguanfungsi ventrikel kiri, tetapi takipnea juga membantu memompa aliran limfe
sehinggapenumpukan cairan interstisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya
terdapat sedikitperubahan saja.
c. Stadium 3
Pada stadium ini terjadi edem alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi hipoksemia
danhipokapsia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas
vital danvolume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi right to left intrapulmonary shunt.
Penderitabiasanya menderita hipokapsia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi
hiperkapnia dan acuterespiratory acidemia. Pada leadaan ini morphin harus digunakan dengan
hati-hati
Cara membedakan ALO kardiogenik dan ALO non kardiogenik
ALO kardiogenik ALO non kardiogenik
Anamnesis
Acute cardiac event (+) Jarang
Penemuan Klinis
Perifer Dingin (low flow state) Hangat (high flow meter)
S3 gallop/kardiomegali (+) Nadi kuat
(-)
Tak meningkat
JVP Meningkat Kering
Ronki Basah Tanda penyakit dasar
Laboratorium
EKG Iskemia/infark Biasanya normal
Foto toraks DIstribusi perihiler Distribusi perifer
ENzim kardiak Bisa meningkat Biasanya normal
PCWP > 18 mmHg < 18 mmHg
Shunt intra pulmoner Sedikit Hebat
Protein cairan edema < 0.5 > 0.7
Keterangan:
JVP: jugular venous pressure
PCWP: Pulmonary Capilory wedge pressure
(Harun dan Nasution,2006)

5. Pemeriksaan Diagnostik
Tampilan klinis edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik mempunyai beberapa
kemiripan.
- Anamnesis
Anamnesis dapat menjadi petunjuk ke arah kausa edema paru, misalnya adanya riwayat sakit
jantung, riwayat adanya gejala yang sesuai dengan gagal jantung kronis. Edema paru akut
kardiak, kejadiannya sangat cepat dan terjadi hipertensi pada kapiler paru secara ekstrim.
Keadaan ini merupakan pengalaman yang menakutkan bagi pasien karena mereka batuk-
batuk dan seperti seseorang yang akan tenggelam (Harun dan Sally, 2009; Maria, 2010).

- Pemeriksaan Fisik
Terdapat takipnea, ortopnea (manifestasi lanjutan). Takikardia, hipotensi atau tekanan darah
bisa meningkat. Pasien biasanya dalam posisi duduk agar dapat mempergunakan otot-otot
bantu nafas dengan lebih baik saat respirasi atau sedikit membungkuk ke depan, akan terlihat
retraksi inspirasi pada sela interkostal dan fossa supraklavikula yang menunjukkan tekanan
negatif intrapleural yang besar dibutuhkan pada saat inspirasi, batuk dengan sputum yang
berwarna kemerahan (pink frothy sputum) serta JVP meningkat. Pada pemeriksaan paru akan
terdengar ronki basah setengah lapangan paru atau lebih dan terdapat wheezing. Pemeriksaan
jantung dapat ditemukan gallop, bunyi jantung 3 dan 4. Terdapat juga edema perifer, akral
dingin dengan sianosis (Harun dan Sally, 2009; Maria, 2010).
- Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang relevan diperlukan untuk mengkaji etiologi edema paru.
Pemeriksaan tersebut diantaranya pemeriksaan hematologi / darah rutin, fungsi ginjal,
elektrolit, kadar protein, urinalisa, analisa gas darah, enzim jantung (CK-MB, troponin I)
dan Brain Natriuretic Peptide (BNP). BNP dan prekursornya Pro BNP dapat digunakan
sebagai rapid test untuk menilai edema paru kardiogenik pada kondisi gawat darurat. Kadar
BNP plasma berhubungan denganpulmonary artery occlusion pressure, left ventricular end-
diastolic pressure dan left ventricular ejection fraction. Khususnya pada pasien gagal jantung,
kadar pro BNP sebesar 100pg/ml akurat sebagai prediktor gagal jantung pada pasien dengan
efusi pleura dengan sensitifitas 91% dan spesifisitas 93% (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010).
Richard dkk melaporkan bahwa nilai BNP dan Pro BNP berkorelasi dengan LV filling
Pressure (Pasquate et al, 2004). Pemeriksaan BNP ini menjadi salah satu test diagnosis rutin
untuk menegakkan gagal jantung kronis berdasarkan pedoman diagnosis dan terapi gagal
jantung kronik Eropa dan Amerika. Bukti penelitian menunjukkan bahwa Pro BNP/BNP
memiliki nilai prediksi negatif dalam menyingkirkan gagal jantung dari penyakit lainnya
(AHA, 2009).
- Pemeriksaan Radiologis
Pada foto thorax menunjukkan jantung membesar, hilus yang melebar, pedikel vaskuler dan
vena azygos yang melebar serta sebagai tambahan adanya garis kerley A, B dan C akibat
edema interstisial atau alveolar seperti pada gambaran ilustrasi 2.5 (Cremers et al, 2010;
Harun dan Sally, 2009). Lebar pedikel vaskuler < 60 mm pada foto thorax Postero-
Anterior terlihat pada 90% foto thorax normal dan lebar pedikel vaskuler > 85 mm ditemukan
80% pada kasus edema paru. Sedangkan vena azygos dengan diameter > 7 mm dicurigai
adanya kelainan dan dengan diameter > 10mm sudah pasti terdapat kelainan, namun pada
posisi foto thorax terlentang dikatakan abnormal jika diameternya > 15 mm. Peningkatan
diameter vena azygos > 3 mm jika dibandingkan dengan foto thorax sebelumnya terkesan
menggambarkan adanya overload cairan (Koga dan Fujimoto, 2009).
- Garis kerley A (gambar 2.6) merupakan garis linear panjang yang membentang dari perifer
menuju hilus yang disebabkan oleh distensi saluran anastomose antara limfatik perifer dengan
sentral. Garis kerley B terlihat sebagai garis pendek dengan arah horizontal 1-2 cm yang
terletak dekat sudut kostofrenikus yang menggambarkan adanya edema septum interlobular.
Garis kerley C berupa garis pendek, bercabang pada lobus inferior namun perlu pengalaman
untuk melihatnya karena terlihat hampir sama dengan pembuluh darah (Koga dan Fujimoto,
2009).
- Gambaran foto thorax dapat dipakai untuk membedakan edema paru kardiogenik dan edema
paru non kardiogenik. Walaupun tetap ada keterbatasan yaitu antara lain bahwa edema tidak
akan tampak secara radiologi sampai jumlah air di paru meningkat 30%. Beberapa masalah
tehnik juga dapat mengurangi sensitivitas dan spesifisitas rontgent paru, seperti rotasi,
inspirasi, ventilator, posisi pasien dan posisi film (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010).
Tabel 1. Beda Gambaran Radiologi Edema Paru Kardiogenik dan Non Kardiogenik (dikutip
dari Lorraineet al, 2005)

NO Gambaran Radiologi Edema Kardiogenik Edema Non Kardiogenik


.
1 Ukuran Jantung Normal atau membesar Biasanya Normal
2 Lebar pedikel Vaskuler Normal atau melebar Biasanya normal
3 Distribusi Vaskuler Seimbang Normal/seimbang
4 Distribusi Edema rata / Sentral Patchy atau perifer
5 Efusi pleura Ada Biasanya tidak ada
6 Penebalan Peribronkial Ada Biasanya tidak ada
7 Garis septal Ada Biasanya tidak ada
8 Air bronchogram Tidak selalu ada Selalu ada

Gambar 5. Ilustrasi Radiologi Edema Paru Akut Kardiogenik


(dikutip dari Cremers et al, 2010)
Gambar 6. Gambaran Radiologi Edema Paru Akut Kardiogenik
(dikutip dari Koga dan Fujimoto, 2009)
- Ekokardiografi
Pemeriksaan ini merupakan gold standard untuk mendeteksi disfungsi ventrikel kiri.
Ekokardiografi dapat mengevalusi fungsi miokard dan fungsi katup sehingga dapat dipakai
dalam mendiagnosis penyebab edema paru (Maria, 2010).
- EKG
Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda iskemia atau infark
miokard akut dengan edema paru. Pasien dengan krisis hipertensi gambaran ekg biasanya
menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kiri. Pasien dengan edema paru kardiogenik tetapi
yang non iskemik biasanya menunjukkan gambaran gelombang T negatif yang lebar dengan
QT memanjang yang khas, dimana akan membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan
menghilang dalam 1 minggu. Penyebab dari non iskemik ini belum diketahui tetapi beberapa
keadaan yang dikatakan dapat menjadi penyebab, antara lain: iskemia sub-endokardial yang
berhubungan dengan peningkatan tekanan pada dinding, peningkatan akut dari tonus simpatis
kardiak atau peningkatan elektrikal akibat perubahan metabolik atau ketokolamin (Harun dan
Sally, 2009).
Penatalaksanaan:

- Posisi ½ duduk.
- Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker.
- Jika memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa
dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2,
hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka dilakukan
intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator.
- Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
- Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6 mg tiap 5 – 10 menit.
Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin intravena mulai dosis 3 –
5 ug/kgBB.
- Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1
ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan
perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85 – 90 mmHg pada pasien yang tadinya
mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke
organ-organ vital.
- Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya
dihindari).
- Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4 jam
atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
- Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5 ug/kgBB/menit atau
Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat
ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.
- Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
- Ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil dengan oksigen.
- Operasi pada komplikasi akut infark miokard, seperti regurgitasi, VSD dan ruptur dinding
ventrikel / corda tendinae.
6. Asuhan Keperawatan
 PENGKAJIAN
Identitas :
 Umur: Klien dewasa dan bayi cenderung mengalami dibandingkan remaja/dewasa muda
 Riwayat Masuk: Klien biasanya dibawa ke rumah sakit setelah sesak nafas, cyanosis atau
batuk-batuk disertai dengan demam tinggi/tidak. Kesadaran kadang sudah menurun dan
dapat terjadi dengan tiba-tiba pada trauma. Berbagai etiologi yang mendasar dengan
masing-masik tanda klinik mungkin menyertai klien
 Riwayat Penyakit Dahulu: Predileksi penyakit sistemik atau berdampak sistemik seperti
sepsis, pancreatitis, Penyakit paru, jantung serta kelainan organ vital bawaan serta
penyakit ginjal mungkin ditemui pada klien
Pemeriksaan fisik
- Sistem Integumen
Subyektif :
Obyektif : kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi sekunder),
banyak keringat , suhu kulit meningkat, kemerahan
- Sistem Pulmonal
Subyektif : Sesak nafas, dada tertekan
Obyektif :Pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk
(produktif/nonproduktif), sputum banyak, penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan
diafragma dan perut meningkat, Laju pernafasan meningkat, terdengar stridor, ronchii
pada lapang paru,
- Sistem Cardiovaskuler
Subyektif : sakit dada
Obyektif :Denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokontriksi, kualitas
darah menurun, Denyut jantung tidak teratur, suara jantung tambahan
- Sistem Neurosensori
Subyektif : gelisah, penurunan kesadaran, kejang
Obyektif : GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi
- Sistem Musculoskeletal
Subyektif : lemah, cepat lelah
Obyektif : tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan
penggunaan otot aksesoris pernafasan
- Sistem genitourinaria
Subyektif :-
Obyektif : produksi urine menurun/normal,
- Sistem digestif
Subyektif : mual, kadang muntah
Obyektif : konsistensi feses normal/diare
- Studi Laboratorik
Hb : menurun/normal
Analisa Gas Darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen darah, kadar karbon
darah meningkat/normal
- Elektrolit : Natrium/kalsium menurun/normal

 Diagnosa Keperawatan
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan kontraktilitas miokard
b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan dan pemasangan alat bantu nafas
c. Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan distensi kapiler pulmonar

 Intervensi Keperawatan
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontakilitas miokardial
(penurunan).
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam terdapat perbaikan curah
jantung
Indikator: “cardiopulmonary status”

Indikator Severe Substantial Moderate Mild No


Deviation Deviation Deviation Deviation Deviation
(1) (2) (3) (4) (5)
1. TD
2. Edema paru
3. Kelelahan
4. Sianosis
5. Ritme jantung

Intervensi

Indikator Intervensi
Cardiac Care
5 1. Auskultasi suara jantung
3,5 2. Pastikan level aktivitas yang tidak mempengaruhi kerja jantung yang
berat
3 3. Tingkatkan secara bertahap aktivitas ketika kondisi klien stabil, misal
aktivitas ringan yang disertai masa istirahat
1 4. Monitor TTV secara teratur
5 5. Monitor kardiovaskuler status
3 6. Atur periode aktifitas dengan istirahat untuk menghindari kelelahan.
2,4 7. Lakukan penilaian konprehensif sirkulasi perifer (edema, CRT, warna,
temperature dan nadi perifer)
3,5 8. Instrusikan pasien dan keluarga tentang pembatasan dan progres
aktifitas klien
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan dan pemasangan alat bantu nafas
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, diharapkan pola nafas
klien efektif.
Indikator: “ Respiratory Status”

Indikator Severe Substantial Moderate Mild No


Deviation Deviation Deviation Deviation Deviation
(1) (2) (3) (4) (5)
1. RR (16-24
x/menit)
2. Irama respirasi
3. Kedalaman
inspirasi
4. Wheezing
5. Pursed- Lips
breathing
6. Menggunakan
otot bantu
pernapasan
7. Dyspnea pada
saat aktivitas
ringan
8. Banyak
mengeluarkan
Sputum
9. Batuk

Intervensi
Indikator Intervensi
“ Respiratory Monitoring”
1,2,3 1. Monitor RR, irama, kedalaman dan usaha bernafas.
6 2. Catat pergerakan dada, lihat kesimetrisan, menggunakan otot bantu
pernafasan dan retraksi otot intercostae dan supracalavicular.
4 3. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan seperti wheezing
9 4. Catat serangan , karakteristik dan batuk.
7 5. Monitor dyspnea dan aktivitas yang meningkatkan terjadinya
dyspnea.
“ Airway Management”
8 6. Dorong mengeluarkan sputum/skret pada saat batuk.
7 7. Berikan posisi yang nyaman untuk mengurangi dyspnea dan usaha
pernafasannya dengan menaikkan tempat tidur dengan posisi semi
fowler.
“ Ventilation Assistence”
5 8. Ajarkan teknik bernapas dengan bibir yang benar yaitu bernapas
dengan bibir yang dirapatkan (pursed-lips breathing).
9. Monitor adanya kelelahan penggunaan otot bantu napas
10. Jaga pemberian terapi oksigen sesuai dengan yang diresepkan.
3. Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan distensi kapiler pulmonar
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, diharapkan ventilasi dan
oksigenasi jaringan adekuat sesuai dengan indikator
Indikator: “Respiratory Status : Gas Exchange”

Severe Substantial Moderate Mild No Deviation


Deviation Deviation Deviation Deviatio (5)
(1) (2) (3) n (4)
1. Tekanan parsial
O2 di pembuluh
darah arteri
( PaO2)
2. Tekanan parsial
CO₂ di
pembuluh darah
arteri (PaCO2)
3. pH arteri
4. Saturasi
oksigen
5. Pemeriksaan
Rontgent
Thoraks
6. Keseimbangan
ventilasi-
perfusi
7. Kelemahan
8. Sianosis

Intervensi

Indikator Intervensi
“ Respiratory Monitoring”
4,6 1. Monitor kecepatan, irama dan kedalaman usaha pernafasan
4, 6 2. Catat pergerakan dada, lihat kesimetrisan, menggunakan otot bantu
pernafasan dan retraksi otot intercostae dan supracalavicular.
4, 6 3. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan seperti wheezing
6,7 4. Catat serangan , karakteristik dan batuk.
4, 7 5. Monitorpola napas misal: bradypnea, takipnea, hiperventilasi
4 6. Auskultasi suara napas, catat penurunan atau ketiadaan ventilasi
&suara tambahan
4 7. Catat perubahan SaO2 dan perubahan nilai Blood Gas Arteri
7 8. Monitor peningkatan kelemahan dan ansietas
5 9. Monitor hasil pemeriksaan Rontgen dada
1,2,3,4,6,7,8 10. Instruksikan resusitasi yang akan diberikan
DAFTAR PUSTAKA

Bulecheck, Gloria M., Butcer, Howard K., Dochterman S. Mc Closkey. 2012. Nursing
Interventions Classification (NIC). Fifth Edition. Lowa Mosby Elsavier

Cremers et al. 2010. Chest X-Ray Heart Failure. The Radiology Assistant. (Online).
Tersedia:Http://www.radiologyassistant.nl/en/p4c132f36513d4/ chest-x-ray-heart-
failure.html. (24 November 2012)

Nanda International. 2012. Nursing Diagnosis: Definition & Classifications 2012-2014. Jakarta:
EGC

Hudak&Gallo. 2005. Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC

Jhonshon, Marion. 2012. Nursing Outcomes Classification (NOC). New Jersey: Upper Saddler
River

ESC. 2012. Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure
2012. European Heart Journal (2012) 33, 1787–1847 doi:10.1093/eurheartj/ehs104

Harun S dan Sally N. Edema Paru Akut. 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th Ed. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
p. 1651-1653

Lorraine et al. Acute Pulmonary Edema. N Engl J Med. 2005;353:2788-96

Simadibrata M, Setiati S, Alwi, Maryantono, Gani RA, Mansjoer. 2000. Pedoman Diagnosis
dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI.Jakarta

Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans: Guidelines for planning and
documenting patients care. Alih bahasa:Kariasa,I.M. Jakarta: EGC; 2000
Fauci et al. 2008.Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17th Edition. United States of America:
McGraw-Hill Companies, Inc.
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC
Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson.2006. Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses
Penyakit.Jakarta : EGC
Nurko, Saul. 2006. Anemia in chronic kidney disease:Causes, diagnosis, treatment. Cleveland Clinic
Journal of Medicine. 73(3): 289-97
Suwitra K. Penyakit ginjal kronik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K SM, Setiati S,
editors: Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5nd ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009.p.1035-40

Anda mungkin juga menyukai