Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) DAN


HEMODIALISA DENGAN KOMPLIKASI HIPOTENSI DI RUANG
HEMODIALISA RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG

Disusun oleh:

RISTA AGUS KURDANI


NPM: 019.02.0997

PROGRAM STUDI PROFESI NERS ANGKATAN XV


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) MATARAM
MATARAM
2019
LEMBAR PENGESAHAN

ASUHAN KEPERAWATAN CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) DAN


HEMODIALISA DENGAN KOMPLIKASI HIPOTENSI DI RUANG
HEMODIALISA RSUD Dr. SAIFUL ANWAR MALANG

Telah dibaca dan disetujui pada:


Hari :
Tanggal :

Disusun oleh:

Mahasiswa

Rista Agus Kurdani


NPM: 019.02.0997

Mengetahui

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan

(_____________ __________) (_ )
NIP: NIP:
CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD) DAN HEMODIALISA DENGAN
KOMPLIKASI HIPOTENSI

Chronic Kidney Disease (CKD)

A. Definisi CKD

Cronical Kidney Disease (CKD) atau penyakit ginjal tahap akhir merupakan
gangguan fungsi ginjal yang menahun bersifat progresif dan irreversibel, dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan
dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah.
Hal ini terjadi karena terjadi bila laju filtrasi glomerular kurang dari 50 mL/min (Smeltzer
& Bare, 2000; Price, Wilson, 2002; Suyono, et al, 2001).

Adanya kelainan ginjal berupa kelainan struktural atau fungsional, yang ditandai
oleh kelainan patologi atau petanda kerusakan ginjal secara laboratorik atau kelainan pada
pemeriksaan pencitraan (radiologi), dengan atau tanpa penurunan fungsi ginjal yang
ditandai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) yang berlangsung > 3 bulan.

Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan,
berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika
tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai
laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m², sebagai berikut:

1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau
tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
a. Kelainan patologik
b. Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan
pencitraan

2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau tanpa
kerusakan ginjal (Capernito, 2009).
B. Klasifikasi CKD

Terdapat 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis yang ditentukan melalui


penghitungan nilai Glumerular Filtration Rate (GFR). Untuk menghitung GFR dokter
akan memeriksakan sampel darah penderita ke laboratorium untuk melihat kadar
kreatinin dalam darah. Kreatinin adalah produk sisa yang berasal dari aktivitas otot yang
seharusnya disaring dari dalam darah oleh ginjal yang sehat.Dibawah ini 5 stadium
penyakit gagal ginjal kronis sebagai berikut :

Derajat Penjelasan LFG (ml/mn/1.73m2)


1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau sedang 30-59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ atau berat 15-29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis
Sumber : Sudoyo,2006 Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Jakarta : FKUI

Untuk menilai GFR (Glomelular Filtration Rate) / CCT (Clearance Creatinin Test)
dapat digunakan dengan rumus berikut ini:

Clearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( Kg )


72 x creatini serum
Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85

Stadium penyakit gagal ginjal kronis sebagai berikut :


1. Stadium 1, dengan GFR normal (> 90 ml/min)
Pada stadium 1 gagal ginjal kronik (GGK) biasanya belum merasakan gejala
yang mengindikasikan adanya kerusakan pada ginjalnya.Hal ini disebabkan ginjal
tetap berfungsi secara normal meskipun tidak lagi dalam kondisi tidak lagi 100%,
sehingga banyak penderita yang tidak mengetahui kondisi ginjalnya dalam stadium.
2. Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)
Pada stadium 2 juga dapat tidak merasakan gejala yang aneh karena ginjal
tetap dapat berfungsi dengan baik.
3. Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat (30 s/d 59 ml/min)
Pada tingkat ini akumulasi sisa-sisa metabolisme akan menumpuk dalam
darah yang disebut uremia. Gejala-gejala juga terkadang mulai dirasakan seperti :
a. Fatique, rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.
b. Kelebihan cairan, hal ini membuat penderita akan mengalami pembengkakan
sekitar kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan. Penderita juga dapat
mengalami sesak nafas akaibat teralu banyak cairan yang berada dalam tubuh.
c. Perubahan pada urin, urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan adanya
kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami perubahan
menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampurdengan darah.
Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan terkadang penderita sering
trbangun untuk buang air kecil di tengah malam.
d. Rasa sakit pada ginjal, rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada dapat
dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal seperti
polikistik dan infeksi.
e. Sulit tidur, sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur disebabkan
munculnya rasa gatal, kram ataupun restless legs.
4. Stadium 4, dengan penurunan GFR parah (15 s.d 29 ml/min)
Apabila seseorang berada pada stadium ini maka sangat mungkin dalam
waktu dekat diharuskan menjalani terapi pengganti ginjal / dialisis atau melakukan
transplantasi. Kondisi dimana terjadi penumpukan racun dalam darah atau uremia
biasanya muncul pada stadium ini. Gejala yang mungkin dirasakan pada stadium 4
adalah Fatique, Kelebihan cairan, perubahan pada urin, sakit pada ginjal, sulit tidur,
Nausea (muntah atau rasa ingin muntah), perubahan cita rasa makanan (dapat terjadi
bahwa makanan yang dikonsumsi tidak terasa seperti biasanya), dan bau mulut
uremic (ureum yang menumpuk dalam darah dapat dideteksi melalui bau pernafasan
yang tidak enak).
5. Stadium 5, penyakit ginjal stadium akhir/ terminal (>15 ml/min)
Pada level ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk
bekerja secara optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal (dialisis)
atau transplantasi agar penderita dapat bertahan hidup. Gejala yang dapat timbul
pada stadium 5 antara lain kehilangan nafsu makan, nausea, sakit kepala, merasa
lelah, tidak mampu berkonsentrasi, gatal-gatal, urin tidak keluar atau hanya sedikit
sekali, bengkak (terutama di seputar wajah, mata dan pergelangan kaki), kram otot,
dan perubahan warna kulit

C. Etiologi

Penyebab GGK menurut Price& Wilson (2006), penyebab GGK dibagi menjadi
delapan kelas, antara lain:

1. Infeksi misalnya pielonefritits


2. Penyakit peradangan misalnya glomerulonefritis
Glomerulonefritis adalah peradangan ginjal bilateral, biasanya timbul pasca
infeksi streptococcus.Untuk glomerulus akut, gangguan fisiologis utamanya dapat
mengakibatkan ekskresi air, natrium dan zat-zat nitrogen berkurang sehingga timbul
edema dan azotemia, penigkatan aldoeteron menyebabkan retensi air dan natrium.
Untuk glomerulonefritis kronik, ditandai dengan kerusakan glomerulus secara
progresif lambat, akan nampak ginjal mengkerut, berat lebig kurang dengan
permukaan bergranula. Ini disebabkan jumlah nefron berkurang karena iskemia,
karena tubulus mengalami atropi, fibrosis intestisial dan penebalan dinding arteri.
3. Penyakit vaskuler hipertensif
Merupakan penyakit primer dan menyebabkan kerusakan pada
ginjal.Sebaliknya CKD dapat menyebabkan hipertensi melalui mekanisme retensi
Na dan H2O, pengaruh vasopresor dari system renin, angiotensin dan defisiensi
prostaclandin, keadaan ini merupakan salah satu penyebab utama GGK, terutama
pada populasi bukan orang kulit putih. Misalnya nefrosklerosis benigna,
nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis.
4. Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis
nodosa,sklerosis sistemik progresif.
5. Gangguan kongenital dan herediter
Penyakit ginjal polikistik yang ditandai dengan kista multiple, bilateral yang
mengadakan ekspansi dan lambat laun mengganggu dan menghancurkan parenkim
ginjal normal akibat penekanan.Asidosis tubulus ginjal merupakan gangguan
ekskresi H+ dari tubulus ginjal/kehilangan HCO3 dalam kemih walaupun GFR yang
mamadai tetap dipertahankan, akibatnya timbul asidosis metabolic.Misalnya
penyakit ginjal polikistik,asidosis tubulus ginjal.
6. Penyakit metabolik misalnya DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis
7. Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik, nefropati timbal
8. Nefropati obstruktif misalnya:
a. saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma, fibrosis netroperitoneal.
b. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat, striktur uretra, anomali
kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.
D. Patofisiologi

Pada gagal ginjal kronik fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein
yang normalnya diekskresikan ke dalam urin tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka
gejala akan semakin berat. Penurunan jumlah glomeruli yang normal menyebabkan
penurunan klirens substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal. Dengan
menurunnya glomerulo filtrat rate (GFR) mengakibatkan penurunan klirens kreatinin dan
peningkatan kadar kreatinin serum. Hal ini menimbulkan gangguan metabolisme protein
dalam usus yang menyebabkan anoreksia, nausea maupan vomitus yang menimbulkan
perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Peningkatan ureum kreatinin sampai ke
otak mempengaruhi fungsi kerja, mengakibatkan gangguan pada saraf, terutama pada
neurosensori. Selain itu Blood Ureum Nitrogen (BUN) biasanya juga meningkat. Pada
penyakit ginjal tahap akhir urin tidak dapat dikonsentrasikan atau diencerkan secara
normal sehingga terjadi ketidakseimbangan cairan elektrolit. Natrium dan cairan tertahan
meningkatkan resiko gagal jantung kongestif. Penderita dapat menjadi sesak nafas, akibat
ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan. Dengan tertahannya natrium dan
cairan bisa terjadi edema dan ascites. Hal ini menimbulkan resiko kelebihan volume
cairan dalam tubuh, sehingga perlu dimonitor balance cairannya. Semakin menurunnya
fungsi renal terjadi asidosis metabolik akibat ginjal mengekskresikan muatan asam (H+)
yang berlebihan. Terjadi penurunan produksi eritropoetin yang mengakibatkan terjadinya
anemia. Sehingga pada penderita dapat timbul keluhan adanya kelemahan dan kulit
terlihat pucat menyebabkan tubuh tidak toleran terhadap aktifitas. Dengan menurunnya
filtrasi melalui glomerulus ginjal terjadi peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan
kadar serum kalsium. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon
dari kelenjar paratiroid. Laju penurunan fungsi ginjal dan perkembangan gagal ginjal
kronis berkaitan dengan gangguan yang mendasari, ekskresi protein dalam urin, dan
adanya hipertensi (Brunner dan Suddarth, 2001).
E. Pathway
F. Manifestasi klinis

Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat
kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti kelainan hemopoeisis,
saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan
kardiovaskular (Sukandar, 2006).
1. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering
ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat bervariasi
bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau bersihan kreatinin kurang dari 25 ml per
menit.
2. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien
gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal.Patogenesis mual dan muntah
masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus
sehingga terbentuk amonia.Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan
mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera
mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.
3. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil
pasien gagal ginjal kronik.Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari
mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya
hemodialisis.Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil
asimetris.Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun
anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau
deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome
akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada
beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder
atau tersier.
4. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan
diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan
segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik,
tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea
frost.
5. Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada
gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal.Kelainan selaput serosa
merupakan salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis.
6. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan
depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik.Kelainan mental berat
seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai
pada pasien GGK.Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien
dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya
(personalitas).
7. Kelainan kardiovaskuler
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat
kompleks.Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi
sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada
stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.

G. Pemeriksaan penunjang

1. Urine
a. Volume: Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tak keluar
(anuria)
b. Warna: Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus bakteri, lemak,
partikel koloid, forfat atau urat. Sedimen kotor, kecoklatan menunjukan adanya
darah, HB, mioglobin.
c. Berat Jens Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukan kerusakan ginjal
berat).
d. Osmolitas Kurang dari 350 mosm/kg menunjukan kerusakan tubular, dan rasio
urine/serum sering 1:1
e. Clerance Creatinin: Mungkin agak menurun
f. Natrium: Lebih besar dari 40 m Eq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi
natrium
g. Protein: Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukan kerusakan
glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada.

2. Darah :
a. BUN / Kreatin Meningkat, biasanya meningkat dalam proporsi kadar kreatinin 16
mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5)
b. Hitung darah lengkap Ht : Menurun pada adanya anemia Hb: biasanya kurang ari
78 g/dL
c. SDM: Waktu hidup menurun pada defisiensi aritropoetin seperti pada azotemia.
d. GDA: pH: Penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi karena
kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksresi hydrogen dan amonia atau hasil
akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun, PCO2 menurun
e. Natrium Serum Mungkin rendah (bila ginjal “kehabisan Natrium” atas normal
(menunjukan status dilusi hipernatremia).
f. Kalium Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan
seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan. Pada tahap akhir, perubahan
g. Magnesium / Fosfat Meningkat
h. Kalsium Menurun
i. Protein (khususnya Albumin) Kadar serum menurun dapat menunjukkan
kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan, atau
penurunan sintesis karena kurang asam amino esensial
j. Osmolalitas Serum Lebih besar dari 285 mOsm/kg, sering sama dengan urine.
3. Piolegram Intravena
a. Piolegram Retrograd : Menunujukkan abnormallitas pelvis ginjal dan ureter.
b. Arteriogram Ginjal : Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskular massa.
4. Sistouretrogram Berkemih: Menunjukan ukuran kandung kemih, refluks ke dalam
ureter, terensi.
5. Ultrasono Ginjal : Menentukan ukuran ginjal dan adanya massa, kista, obstruksi pada
saluran perkemihan bagian atas.
6. Biopsi Ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan
untuk diagnosis histoligis.
7. Endoskopi Ginjal, Nefroskopi
8. Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria dan pengangkatan
tumor selektif.
9. EKG : Mungkin abnormal menunjukan ketidakseimbangan elektrolit dan asam/basa

H. Penatalaksanaan

1. Terapi konservatif

Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal


secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan
elektrolit (Sukandar, 2006).

a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama
gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat
dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen,
memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya
jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung
dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).

2. Terapi simtomatik

a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia).Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
b. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif.Terapi pemberian transfusi darah
harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama
(chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi
mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu
program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis
reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang
diderita.

3. Terapi pengganti ginjal

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
pada LFG kurang dari 15 ml/menit.Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis
peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006dalam Alamang 2012).
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat
pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi
elektif.Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak
responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood
Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif,
yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia
berat.
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang
telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan.Umumnya dipergunakan ginjal
buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel
(hollow fibre kidney).Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang
umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun.Kendala yang ada adalah biaya
yang mahal.
b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD,
yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien
yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasienpasien yang
cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan
pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal
terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai
co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien
sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di
daerah yang jauh dari pusat ginjal.
c. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
1) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal
ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal
alamiah
2) Kualitas hidup normal kembali
3) Masa hidup (survival rate) lebih lama
4) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat
imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
5) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi

I. Komplikasi

1. Hiperkalemia: akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik, katabolisme dan


masukan diit berlebih.
2. Perikarditis : Efusi pleura dan tamponade jantung akibat produk sampah uremik dan
dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin-angiotensin-
aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah.
5. Penyakit tulang serta kalsifikasi akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum rendah,
metabolisme vitamin D dan peningkatan kadar aluminium.
6. Asidosis metabolic, Osteodistropi ginjal & Sepsis, Neuropati perifer, Hiperuremia
(Smeltzer & Bare, 2005).
Hemodialisa

A. Definisi hemodialisa

Hemodialisis (HD) merupakan prosedur tindakan untuk memisahkan darah dari


zat-zat sisa atau racun yang dilaksanakan dengan mengalirkan darah melalui membran
semipermiabel dimana zat sisa atau racun ini dialihkan dari darah ke cairan dialisat yang
kemudian dibuang, sedangkan darah kembali ke dalam tubuh sesuai dengan arti dari
hemo yang berarti darah dan dialisis yang berarti memindahkan.

B. Tujuan hemodialisa

Tujuan hemodialisis adalah untuk mengmbil zat-zat nitrogen yang toksik dari
darah dan mengelurkan air yang berlebihan. Pada hemodialisis, aliran darah yang penuh
dengan toksik dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dialiser tempat darah
tersebut di bersihkan dan kemudian di kembalikan lagi ke tubuh pasien.

C. Prinsip hemodialisa

Ada tiga prinsip utama yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu: difusi, osmosis,
dan ultrafiltrasi.
1. Toksin dan zat limbah di keluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak dari
darah yang memilki konsentrasi tinggi ke cairan yang konsentrasi rendah.
2. Air yang berlebihan akan di keluarkan dari tubuh melalui proses osmosis.
Pengeluaran air dapat di kendalaikan dengan menciptakan gradien tekanan dengan
kata lain, air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien)
ke tekanan yang loebih rendah (cairan dialisat).gradien ini dapat di tingkatkan
meleui tekanan negatif yang di kenal dengan ultrafiltrasi. Tekanan negatif ini di
terapkan pada alat ini sebagai kekuatan penghisap pada membran dan memfasilitasi
pengeluran air karena pasien tidak dapat mengekresikan ari kekuatan ini di perlukan
untuk mengeluarkan cairan hingga tercapai isovolemia (keseimbangan cairan).

D. Penatalaksanaan pasien yang menjalani hemodialisa jangka panjang

1. Diet dan asupan cairan.


Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisis
mengingat adanya efek uremia. Apabila ginajal yang rusak tidak mampu
mengekresikan produk akhir metabolisme, subtansi yang bersifat asam ini akan
menumpuk dalam serum pasien dan bekerja sebagai racun atau toksin yang di kenal
dengan gejala uremik.
2. Pertimbangan medikasi.
Banyak obat yang dieksresikan seluruhnya atau sebagian melalui ginjal.
Pasien yang memerlukan obat-obatan harus di pantau dengan ketat untuk
memastikan agar kadar obat-oabatan dalam darah dan jaringan dapat di pertahankan
tanpa menimbulkan akumulasi toksik.

E. Komplikasi hemodialisa

1. Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan di keluarkan.


2. Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja terjadi jika udara
memasuki sistem vaskuler pasien.
3. Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2menurun bersamaan dengan terjadinya
sirkulasi darah di luar tubuh.
4. Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme
meninggalkan kulit.
5. Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan serebral dan
muncul sebagai serangan kejang.
6. Kram otot yang nyeri terjadi ketikacairan dan elektrolit dengan cepat meningglkan
ruang ekstrasel.
7. Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi
Hipotensi Intradialisa

A. Definisi hipotensi

Intradialytic Hypotension (IDH) didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah


dengan disertai munculnya gejala spesifik. Penurunan tekanan darah bisa relatif atau
absolut. Sampai saat ini, belum ada evidence based yang merekomendasikan pengertian
IDH.

Dari segi pandangan fisiologi, IDH dapat dipandang sebagai suatu keadaan
ketidakmampuan dari system kardiovaskular dalam merespon penurunan volume darah
secara adekuat. Respon adekuate dari sistem kardiovaskular termasuk refleks aktivasi
sitem saraf simpatetik, termasuk takikardia dan vasokonstriksi arteri dan vena yang
merupakan respon dari cardiac underfilling dan hipovolemia. Mekanisme kompensasi ini
dapat terganggu pada beberapa pasien, yang akan menyebabkan mereka mempunyai
faktor resiko terjadinya IDH.

Manifestasi dari IDH bervariasi mulai dari asimptomatik sampai dengan syok.
Beberapa literature mengemukakan bahwa IDH ditandai dengan penurunan tekanan darah
sistolik ≥ 30 atau tekanan darah sistolik absolut dibawah 90 mmHg. Hipotensi pada
dialisis bisa muncul dengan beberapa gambaran klinis:

1. Akut (episodik) hipotensi, yaitu penurunan tekanan darah sistolik secara tiba-tiba
dibawah 90 mmHg atau paling tidak 20 mmHg diikuti dengan gejala klinis

2. Rekuren (berulang), dimana hipotensi terjadi pada 50% dari sesi dialisis

3. Kronik, yaitu hipotensi persisten yang didefinisikan sebagai tekanan darah


interdialisis tetap dalam kisaran 90-100 mmHg.

Pedoman dari NKF KDOQI, mendefiniskan Intradialytic Hypotensionsebagai


suatu penurunan tekanan darah sistolik ≥ 20 mmHg atau penurunan Mean arterial
pressure (MAP) >10 mmHg dan menyebabkan munculnya gejalagejala seperti perasaan
tidak nyaman pada perut (abdominal discomfort); menguap (yawning); sighing; mual;
muntah; otot terasa kram (muscle cramps), gelisah, pusing, dan kecemasan. Hal ini
mengganggu kenyamanan pasien, dan dapat mencetuskan aritmia jantung, dan sebagai
faktor predisposisi untuk penyakit jantung koroner, infark miokard (Burton et al., 2009)
dan/atau kejadian iskemia otak (Mizumasa et al., 2004). Selain itu, IDH menyebabkan
terhalangnya dosis dialisis yang adequat (adequate dose of dialysis), dimana episode
hipotensi menyebabkan efek kompartemen dan menghasilkan Kt/Vurea suboptimal.

B. Etiologi

Telah dikemukakan sebelumnya, bahwa penyebab dari IDH adalah multifaktorial


yang meliputi:
1. Kondisi pasien dapat mencetuskan penurunan tekanan darah selama hemodialisis
seperti umur, komorbid seperti diabetes dan kardiomiopati, anemia, large
interdialytic weight gain (IDWG), penggunaan obat-obat antihipertensi.
2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan dialisis itu sendiri dapat berkontribusi
terhadap instabilitas hemodinamik seperti sesi hemodialisis yang pendek, laju
ultrafiltrasi yang tinggi, temperatur dialisat yang tinggi, konsentrasi sodium
dialisat yang rendah, inflamasi yang disebabkan aktivasi dari membran dan lain-
lain.
3. Faktor yang kelihatannya paling dominan dari kejadian IDH ini adalah
berkurangnya volume sirkulasi darah yang agresif, dikarenakan ultrafiltrasi,
penurunan osmolalitas ekstraselular dengan cepat yang berhubungan dengan
perpindahan sodium, dan ketidakseimbangan antara ultrafiltrasi dan plasma
refilling

C. Hal yang Mempengaruhi Hipotensi Intraradialisa

1. Regulasi Volume Darah


a. Konsep Plasma Refilling
Volume darah tergantung dari dua faktor utama yaitu kapasitas plasma
refilling dan laju ultrafiltrasi. Selama sesi HD, cairan dipindahkan langsung dari
kompartemen intravaskular. Jumlah total cairan tubuh (TBW), sekitar 60% dari
berat badan, didistribusikan di intraseluler (40% BW) dan sebagian lagi di
kompartemen ekstraselular (20% BW). Ekstraselular dapat dibagi lagi menjadi
interstisial (15% BW) dan intravaskular (5% BW). Sehingga hanya sekitar 5-8%
dari TBW yang dapat diultrafiltrasi. Sehingga untuk memindahkan sejumlah
cairan substansial dalam jangka waktu tertentu, kompartemen vaskular harus
melakukan refilling secara terus menerus dari ruangan interstisial. Dalam
lingkaran fisiologis, penurunan volume darah akan menginisiasi peningkatan
resistensi vaskular perifer, dikarenakan vasokonstriksi, dan mempertahankan
cardiac output dengan cara meningkatkan heart rate dan kontraktilitas miokard
dan konstriksi dari capacitance vessels.

Orang sehat dapat mentoleransi penurunan volume sirkulasi darah


sampai 20% sebelum munculnya hipotensi. Namun, pada pasien dengan HD,
hipotensi dapat muncul hanya dengan penurunan volume darah dalam jumlah
yang lebih sedikit. Terganggunya respon kardiak berupa peningkatan heart rate
dan kontraktilitas miokardium dapat mencetuskan terjadinya IDH. Telah
dikemukakan sebelumnya bahwa adanya penyakit jantung, yang menyebabkan
disfungsi sistolik atau diastolik meningkatkan resiko terjadinya IDH. Penurunan
tekanan darah lebih besar pada pasien dengan disfungsi sistolik dibandingkan
denga fungsi sistolik normal. Hipertrofi ventrikel kiri yang lebih berat dan
diastolic filling yang terganggu juga dijumpai pada pasien IDH.
b. Plasma refill
Sebagian besar plasma refill diperankan oleh tekanan hidrostatik dan
tekanan onkotik. Selama sesi HD awal, tekanan onkotik vaskular meningkat dan
tekanan hidrostatik menurun sebagai hasil dari ultrafiltrasi yang progresif.
Perubahan gradien tekanan menyebabkan cairan bergerak ke dalam vaskular
sampai keseimbangan tercapai. Begitu seterusnya sampai sesi HD berakhir
(Santoro et al., 1996).

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi laju plasma refilling adalah


status hidrasi kompartemen interstisial, osmolalitas plasma, dan konsentrasi
plasma protein, konsentrasi sodium dialisat, permeabilitas vaskular, dan venous
compliance. Sehingga, IDH dapat muncul ketika terjadinya ketidakseimbangan
diantara laju ultrafiltrasi dan kapasitas plasma refilling yang tidak bisa diatur
oleh refleks kompensasi kardiovaskular.

2. Komposisi Cairan Dialisat


a. Dialisat Sodium
Kadar sodium pada cairan dialisat memainkan peranan penting dalam
refill volumedarah dari kompartemen interstisial. Pengembalian volume darah
dari interstisial ke dalamkompartemen intravaskular akan rendah bila status
hidrasi dari interstisial juga rendah.Semakin tinggi konsentrasi sodium pada
cairan dialisat, maka cairan akan bergerak darikompartemen intraselular,
sedangkan konsentrasi sodium yang rendah, disequilibrium antarakompartemen
intraselular dan ekstraselular akan terjadi. Oleh karena itu, dialisis dengankadar
sodium yang rendah, pengembalian volume darah dari kompartemen interstisial
akanterganggu, oleh karena normalnya cairan akan bergerak dari interstisial
kedalamkompartemen intraselular, sementara dengan kadar sodium dalam
dialisat, cairan akanbergerak dari intraselular ke dalam kompartemen
interstisial, yang pada gilirannya akanmempengaruhi pengembalian volume
darah dari interstisial kedalam kompartemenintravaskular.

Kadar sodium dialisat yang tinggi (>140 mmol/L) telah dikemukakan


dapat mencegahterjadinya IDH. Walaupun kadar sodium dialisat yang tinggi
dapat digunakan dalampencegahan IDH, hal ini tidak sepenuhnya bisa diterima,
karena beberapa studimenyimpulkan bahwa dengan kadar sodium dialisat yang
tinggi berhubungan dengan controltekanan darah yang buruk selama sesi dialisis
(intradialytic), terutama pada pasien hipertensiatau peningkatan IDWG.
Penggunaan cairan dialisat dengan kadar sodium yang lebihtinggi(> 140
mEq/L) efektif untuk memastikan adequatnya vascular refilling dan
telahterbukti sebagai salah satu terapi yang efikasi dan toleransinya paling baik
untuk hipotensiepisodik.

Kadar sodium pada cairan dialisat dapat dimodifikasi selama


hemodialisa dengantujuan mengurangi penurunan volume darah yang terlalu
agresif selama ultrafiltrasi. Hal inidapat dilakukan dengan cara memodifikasi
konsentrasi sodium selama proses hemodialisis.Pada umumnya, konsentrasi
tinggi sodium dialisat digunakan pada awal sesi HD, sehinggaakan
menyebabkan influx dari Na lebih awal untuk mencegah penurunan osmolalitas
plasmayang agresif. Banyak penelitian, mengemukakan bahwa dialisis dengan
kadar sodium tinggi,berhubungan dengan peningkatan rasa haus, IDWG, dan
peningkatan level tekanan darahpredialisis.

b. Buffer Dialisat
Asetat, pada dekade sebelumnya digunakan sebagai buffer dialisat,
mempunyai efek vasodilatasi, dan efek kardiodepresan. Pada beberapa studi
cross over yang kecil. Penurunan tekanan darah yang lebih besar atau insidensi
IDH yang lebih tinggi dijumpai pada penggunaan asetat dibandingkan dengan
bikarbonat. Suatu studi mengemukakan bahwa toleransi ultrafiltrasi lebih baik
dan signifikan dengan menggunakan bikarbonat dibandingkan dengan
penggunaan asetat.

Ada dua studi yang mencoba efek dari perubahan buffer asetat menjadi
bikarbonat. Pada salah satu dari kedua studi tersebut, merupakan non-
randomized cross-over trial, menyimpulkan terjadinya penurunan insidensi IDH
sebesar 50%. Selain itu, selama proses hemodiafiltrasi, sedikit terjadi instabilitas
hemodinamik pada penggunaan bikarbonat versus asetat sebagai buffer dialisat.
Lebih jauh, diperkirakan bahwa, konsentrasi bikarbonat pada dialisat
mempengaruhi stabilitas hemodinamik. Pada studi randomized cross-over trial,
insidensi IDH secara signifikan lebih rendah dengan menggunakan dialisat
bikarbonat. Bagaimanapun, pada percobaan ini, juga menggunakan konsentrasi
kalsium pada dialisat yang rendah (1.25 mmol/l).

Konsentrasi bikarbonat dialisat yang rendah kemungkinan akan


menyebabkan insuffisiensi koreksi asidosis dan menyebabkan efek samping
pada metabolisme tulang dan status nutrisi pasien. Sebagai kesimpulan,
penurunan tekanan darah dan insidensi IDH lebih tinggi pada penggunaan asetat
sebagai buffer dialisat. Konsentrasi bikarbonat standar tidak menyebabkan
instabilitas hemodinamik jika dibandingkan dengan konsentrasi bikarbonat
dialisat yang rendah dengan konsentrasi kalsium 1.50 mmol/L.

3. Dialisat dan Temperatur tubuh


Berbagai percobaan randomized cross-over menunjukkan bahwa dialisis
dengan temperatur dialisat lebih dingin (pada kebanyakan studi 35oC) dikaitkan
dengan peningkatan reaktivitas dari resistensi perifer dan kapasitansi pemubuluh
darah, meningkatkan kontraktilitas miokardium, mengurangi penurunan tekanan
darah, dan mengurangi frekuensi IDH dibandingkan dengan temperatur dialisat 37-
37.5oC. Dialisis dengan suhu yang lebih dingin dapat menyebabkan gemetar
(keringat dingin), namun tidak semua studi. Penurunan volume darah signifikan
lebih tinggi dengan menggunakan dialisis temperatur dingin, kemungkinan
dikarenakan berkurangnya refill volume darah dari interstisial dikarenakan
vasokonstriksi perifer. Walaupun pada studi dimana penurunan volume darah lebih
besar dengan dialisis temperature dingin, stabilitas hemodinamik meningkat jika
dibandingkan dengan temperatur dialysis standar. Oleh karena dialisis temperatur
dingin terkadang dapat menyebabkan gemetar (keringat dingin), the working group
menyarankan untuk menurunkan suhu dialisat secara bertahap, dari 36.5 kebawah
selama sesi dialisis yang berbeda agar mencapai hasil klinis yang terbaik pada
individu pasien. Agar mengurangi efek samping dan dikarenakan pengalaman yang
terbatas, serta tidak adanya bukti mengenai manfaat dari suhu dialisat < 35oC, the
working group menyarankan bahwa suhu dialisat < 35oC tidak boleh digunakan.

Sebagai kesimpulan, dialisis temperatur dingin efektif dalam mencegah IDH


tanpa efek samping yang merugikan. Agar dapat mengurangi efek samping seperti
shivering, maka dianjurkan penurunan temperatur dialisat secara bertahap mulai dari
36.5oC sampai didapatkan efek optimal. Sangat sedikit bukti dan keuntungan
tambahan dengan penurunan suhu dialisat < 35oC. Perlu diingat bahwa monitoring
temperatur sulit pada pasien dialisis, dikarenakan variasi suhu ruangan, suhu inti
tubuh, dan temperatur dialisat, serta kurangnya sensitivitas alat untuk memantau
gradien suhu dialisat-darah

D. Faktor Risiko Hipotensi Intradialisis

Berikut ini adalah subgrup pasien dengan hemodialisis kronik yang harus
dievaluasi dengan hati-hati karena memiliki faktor resiko untuk terjadinya IDH:

1. Pasien dengan diabetes CKD stadium 5


2. Pasien dengan Penyakit kardiovaskular: LVH dan disfungsi diastolik dengan atau
tanpa CHF; Pasien dengan penyakit katup jantung; Pasien dengan penyakit
perikardium (perikarditisi konstriktif atau efusi perikardium)
3. Pasien dengan status nutrisi yang buruk, dan hipoalbuminemia
4. Pasien dengan uremic neuropathy atau disfungsi autonomik dikarenakan penyebab
lain
5. Pasien dengan anemia yang berat
6. Pasien yang membutuhkan volume ultrafiltrasi yang lebih besar; misal pada pasien
dengan berat badan yang melebihi interdialytic weight gain
7. Pasien dengan usia 65 tahun atau usia yang lebih tua
8. Pasien dengan tekanan darah sistolik predialisis < 100 mmHg.

E. Pencegahan Hipotensi Intradialisis

1. Berat Badan Kering (Dry body weight)


Perhitungan dry body weight yang tidak tepat dapat menyebabkan
underhydration atau overhydration pasien dialisis. Studi-studi sebelumnya
menunjukkan jumlah signifikan dari pasien tidak stabil yang pada awalnya
normohidrasi atau underhidrasi, menjadi underhydrated pada akhir sesi dialisis. Pada
pasien underhydrated, volume interstisial sangat kurang, dan terganggunya refill dari
volume darah, sehingga menyebabkan penurunan volume darah yang lebih besar.
Dengan kata lain, overestimasi berat badan kering dapat menyebabkan hipertensi
dan meningkatkan resiko terjadinya dilatasi jantung, dan edema paru.

Pemeriksaan fisik harus dilakukan untuk menilai keadaan pasien apakah


pasien kemungkinan underhydrated atau overhydrated. Beberapa metode non-invasif
telah dikembangkan. Cardiothoracic ratio dengan X-ray bisa mendeteksi pasien
overhydrated, tetapi tidak dapat digunakan sebagai alat untuk pencegahan terjadinya
IDH. Diameter vena cava inferior, dapat diukur dengan ekokardiografi, berhubungan
dengan volume darah, dan tekanan atrium kanan dan dapat memprediksi perubahan
hemodinamik selama proses dialisis.

Analisis Multifrequency bioimpedance dapat digunakan untuk memprediksi


instabilitas hemodinamik pada beberapa studi. Alat ini juga sangat sensitif dalam
mendeteksi perubahan status cairan. Marker biokimia seperti cGMP, tetapi bukan
ANP, dapat memprediksi perubahan hemodinamik selama dialisis berlangsung. Baik
cGMP dan ANP dilepaskansebagai respon terhadap peregangan atrium kiri. cGMP
ditemukan dan dianggap kemungkinan berguna untuk diagnosis overhydration,
namun tidak dapat memprediksi underhydration. Dan juga BNP, yang dilepaskan
sebagai respon terhadap peregangan terhadap ventrikel kiri, dapat memprediksi
overhidration, tetapi tidak underhydration. Sebagai kesimpulan, melalui beberapa
metode objektif dapat digunakan untuk memprediksi perubahan tekanan darah dan
parameter hemodinamik yang lain selama hemodialisis, pada saat ini penggunaan
ekokardiografi vena kava telah menunjukkan hasil yang memuaskan dalam
pengurangan terjadinya IDH.Bagaimanapun, tekhnik ini tergantung operator, dan
mungkin sulit diinterpretasikan pada pasien gagal jantung. Penggunaan
bioimpedance tidak menunjukkan pencegahan terjadinya IDH, namun tekhnik ini
mungkin bermanfaat untuk mendeteksi perubahan status hidrasi.

2. Tekanan Darah dan Frekuensi Heart Rate


Tekanan darah dan frekuensi heart rate harus diukur rutin selama
hemodialisis untuk mengantisipasi IDH. Dua tipe episode hipotensi dapat dibedakan
selama hemodialisis, yaitu bradikardia dan takikardia. Kebanyakan, episode IDH
dikarakteristikkan dengan penurunan tekanan darah bertahap dan peningkatan heart
rate. Alternatif, episod IDH dapat muncul tiba-tiba dan berhubungan dengan respon
bradikardia (Bezold Jarish Reflex), yang berasal dari aktivasi mekanoreseptor
ventrikel kiri dikarenakan underfilling ventrikel berat. Pada IDH tipe takikardi,
diperkirakan bahwa IDH mungkin dapat dicegah dengan pengaturan ultrafiltrasi,
walaupun belum ada studi yang membuktikan hal ini.

Evaluasi jantung harus dilakukan pada pasien dengan frekuensi IDH yang
sering. Keadaan penyakit jantung, menyebabkan disfungsi sistolik dan disfungsi
diastolik dari jantung dapat meningkatkan resiko terjadinya IDH. Peningkatan
kontraktilitas miokardium merupakan respon fisiologik terhadap penurunan volume
darah, dimana respon ini dapat terganggu oleh disfungsi sistolik dari jantung.
Diastolic filling terganggu pada pasien IDH, dan disfungsi diastolik biasanya
berhubungan dengan hipertrofi ventrikel kiri, namun bisa juga karena iskemia
miokardium atau fibrosis.

3. Intervensi Pola Hidup


Dalam rangkan mengontrol IDWG, dan mengurangi resiko IDH, asupan
garam harus diperhatikan dan tidak boleh melebihi 6 gram/hari. Restriksi garam
menurunkan IDWG dan meningkatkan kontrol tekanan darah interdialisis. Dua
penelitian menilai efek dari batasan asupan garam terhadap kontrol tekanan darah
interdialisis dan insidensi IDH. IDWG menurun secara signifikan dengan batasan
asupan garam, dan insidensi IDH: 0.71±0.8(asupan garam biasa) vs 0.18±0.5
(asupan garam dibatasi). Pada studi lain, insiden IDH bulanan menurun dari 22%
menjadi 7% setelah membatasi asupan garam. Pada pasien diabetes, hiperglikemia
dapat mencetuskan perasaan haus, dan menstimulasi haus dan meningkatkan IDWG,
sehingga diperkirakan kontrol glukosa yang ketat dapat mengurangi IDWG, namun
belum ada data mengenai kontrol glukosa dan IDWG pada pasien dialisis.

Kesimpulannya adalah dengan mengurangi asupan garam (2 gram/90 mmol


Na atau 6 gram NaCl) dapat mengurangi IDWG dan dapat mempunyai peranan
dalam pencegahan IDH. Asupan makanan selama dialisis dapat menyebabkan
vasodilatasi splachnic, dan dapat mencetuskan IDH. Tiga studi menunjukkan
penurunan tekanan darah yang lebih besar dan insidensi IDH lebih besar setelah
asupan makanan. Kafein tidak terbukti dapat mencegah kejadian IDH.

4. Durasi Dialisis dan Frekuensi


Pemanjangan waktu dialisis atau peningkatan frekuensi dialisis harus
dipertimbangkan pada pasien yang sering mengalami IDH. Pemanjangan waktu
dialisis dapat mengurangi laju ultrafiltrasi, sehingga penurunan volume darah tidak
agresif. Suatu studi membandingkan toleransi intradialisis dengan membandingkan
dialisis selama 4 jam dan 5 jam, dengan hasil penurunan episode hipotensi pada
pasien yang menjalani dialisis selama 5 jam. Lebih jauh, efek dari pengurangan laju
ultrafiltrasi, hanya dapat dicapai dengan memperpanjang waktu dialisis, dan ini telah
dilakukan pada pasien dengan gangguan jantung. Pada studi ini, penurunan tekanan
darah sistolik lebih sedikit pada pasien dengan laju ultrafiltrasi 500 dibandingkan
dengan laju ultrafiltrasi 1000. Pada DOPPS, insidensi IDH lebih sedikit 30% pada
pasien dengan laju ultrafiltrasi < 11ml/kg/jam dibandingkan dengan laju ultrafiltrasi
standar. Dan mortalitas lebih rendah pada pasien dengan laju ultrafiltrasi < 10
ml/kg/jam.

Pada pasien yang menjalani dialisis 8 jam sebanyak 3x seminggu, insidensi


hipotensi sangat rendah. Dengan frekuensi hemodialisis yang lebih sering, seperti
quotidian dialysis atau short daily dialysis, kontrol tekanan darah lebih bagus, dan
masa ventrikel kiri juga berkurang. Karena frekuensinya lebih sering, volume
ultrafiltrasi dikurangi. Suatu studi menunjukkan pengurangan insidensi IDH dengan
mengganti frekuensi HD dari 3-4 kali seminggu menjadi 6 kali, 2 jam per sesi
dialisis. Suatu studi menunjukkan pengurangan kebutuhan infus salin setelah
konversi frekuensi hemodialisis dari 3x seminggu menjadi 6x seminggu.

Pada studi kohort, 23 pasien (11 pasien, short daily dialysis; 12 pasien, long
nocturnal dialysis) dibandingkan dengan 22 HD konvensional (3x seminggu)
sebagai kontrol. Terjadi pengurangan insidensi dialysis-related symptoms pada short
daily dialysis. Namun studi oleh Fagugli et al pada pasien yang stabil, tidak ada
perbedaan IDH diantara short daily dialysis dan dialisis standar 3x seminggu.
Sebagai kesimpulan, ada bukti yang menunjukkan bahwa memperpanjang waktu
dialisis dapat menurunkan kejadian IDH, dengan penurunan laju ultrafiltrasi
sehingga penurunan tekanan darah sistolik tidak terlalu agresif pada pasiendengan
fungsi jantung terganggu.

F. Penatalaksanaan Hipotensi Intradialisis

1. Pendekatan Lini Pertama


a. Konseling asupan makanan (restriksi garam)
b. Menghindari asupan makanan selama dialysis
c. Pengukuran berat badan kering
d. Penggunaan bikarbonat sebagai buffer dialysis
e. Penggunaan temperatur dialisat 36.5Oc
f. Periksa dosis dan waktu pemberian obat antihipertensi.

2. Pendekatan Lini Kedua


a. Evaluasi performa jantung
b. Penurunan temperatur dialisat secara berkala mulai dari 36.5oC sampai 35oC
c. Memperpanjang waktu dialisis dan/atau frekuensi dialysis
d. Pemberian konsentrasi dialisat kalsium 1.50 mmol/l.

3. Pendekatan Lini Ketiga


a. Pertimbangan pemberian midodrine
b. Pertimbangkan suplementasi L-carnitine
Konsep Asuhan Keperawatan CKD

1. Pengkajian

a. Keluhan
Klien dengan hemodialisis biasanya mengeluhkan: Lemas, pusing, gatal, baal-
baal, bengkak-bengkak, sesak, kram, BAK tidak lancar, mual, muntah, tidak nafsu
makan, susah tidur, berdebar, mencret, susah BAB, penglihatan tidak jelas, sakit
kepala, nyeri dada, nyeri punggung, susah berkonsentrasi, kulit kering, pandangan
gelap, nyeri otot, nyeri pada penusukkan jarum, rembes pada akses darah, keringat
dingin, batuk berdahak/tidak.
b. Riwayat Kesehatan Saat Ini
Riwayat Pengembangan Keluhan Utama dengan perangkat PQRST dan
pengaruhnya terhadap aktivitas sehari-hari
c. Riwayat Kesehatan Dahulu
Menanyakan adanya riwayat infeksi saluran kemih, infeksi organ lain, riwayat
kencing batu/obstruksi, riwayat konsumsi obat-obatan, jamu, riwayat trauma
ginjal, riwayat penyakit endokrin, riwayat penyakit kardiovaskuler, riwayat darah
tinggi, riwayat kehamilan, riwayat dehidrasi, riwayat trauma.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Menanyakan riwayat polikistik, diabetes, hipertensi, riwayat penyakit ginjal yang
lain. Cantumkan genogram min. tiga generasi.
e. Pemeriksaan Fisik
1) Aktivitas istirahat/tidur
a) Lelah,, lemah atau malaise
b) Insomnia
c) Tonus otot menurun
d) ROM berkurang
2) Sirkulasi
a) Palpitasi, angina, nyeri dada
b) Hipertensi, distensi vena jugularis
c) Disritmia
d) Pallor
e) Hipotensi/hipertensi, nadi lemah/halus
f) Edema periorbital-pretibial
g) Anemia
h) Hiperlipidemia
i) Hiperparatiroid
j) Trombositopeni
k) Pericarditis
l) Aterosklerosis
m) CHF
n) LVH
3) Eliminasi
a) Poliuri pada awal gangguan ginjal, olguri dan anuri pada fase lanjut
b) Disuri, kaji warna urin
c) Riwayat batu pada saluran kencing
d) Ascites, meteorismus, diare, konstipasi
4) Nutrisi/cairan
a) Edema, peningkatan BB
b) Dehidrasi, penurunan BB
c) Mual, muntah, anorexia, nyeri ulu hati
d) Efek pemberian diuretic
e) Turgor kulit
f) Stomatitis, perdarahan gusi
g) Lemak subkutan menurun
h) Distensi abdomen
i) Rasa haus
j) Gastritis ulserasi
5) Neurosensor
a) Sakit kepala, penglihatan kabur
b) Letih, insomnia
c) Kram otot, kejang, pegal-pegal
d) Iritasi kulit
e) Kesemutan, baal-baal
6) Nyeri/kenyamanan
a) Sakit kepala, pusing
b) Nyeri dada, nyeri punggung
c) Gatal, pruritus,
d) Kram, kejang, kesemutan, mati rasa
7) Oksigenasi
a) Pernapasan kusmaul
b) Napas pendek-cepat
c) Ronchi
8) Keamanan
a) Reaksi transfuse
b) Demam (sepsis-dehidrasi)
c) Infeksi berulang
d) Penurunan daya tahan
e) Uremia
f) Asidosis metabolic
g) Kejang-kejang
h) Fraktur tulang
9) Seksual
a) Penurunan libido
b) Haid (-), amenore
c) Gangguan fungsi ereksi
d) Produksi testoteron dan sperma menurun
e) Infertile

f. Pengkajian Psikososial
1) Integritaqs ego
2) Interaksi social
3) Tingkat pengetahuan tentang penyakit dan penatalaksanaannya
4) Stress emosional
5) Konsep diri
g. Laboratorium
1) Urine lengkap
Darah lengkap meliputi: Hb,Hct, L, Trombosit, LED, Ureum pre dan post,
kreatinin pre dan post, protein total, albumin, globulin, SGOT-SGPT,
bilirubin, gama gt, alkali fosfatase, kalsium, fosfor, kalium, natrium, klorida,
gula darah, SI, TIBC, saturasi transferin, feritin serum, pth, vit D, kolesterol
total, HDL, LDL, trigliserida, asam urat, Hbs Ag, antiHCV, anti HIV, CRP,
astrup:pH/P02/pC02/HCO3
Biasanya dapat ditemukan adanya: anemia, hiperkalemia, hiperfosfatemia,
hipokalsemi, ureumikum, kreatinin meningkat, pH darah rendah, GD klien
DM menurun
h. Radiologi
1) Ronsen, Usg, Echo: kemungkinan ditemukan adanya gambaran pembesaran
jantung, adanya batu saluran kencing/ginjal, ukuran korteks, gambaran
keadaan ginjal, adanya pembesaran ukuran ginjal, vaskularisasi ginjal.
2) Sidik nuklir dapat menentukan GFR
i. EKG
Dapat dilihat adanya pembesaran jantung, gangguan irama, hiperkalemi, hipoksia
miokard.
j. Biopsi
Mendeteksi adanya keganasan pada jaringan ginjal

2. Diagnosa keperawatan

a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat.


b. Resiko terjadi hipotensi b.d. penurunan volume darah yang berlebihan, penurunan
fungsi vasokonstriksi akibat, penurunan fungsi jantung, sepsis, perdarahan samar,
arritmia, hemolisis, emboli udara, anafilksis
c. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluran urin dan retensi
cairan dan natrium.
d. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia,
mual, muntah.
e. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder, kompensasi
melalui alkalosis respiratorik.
f. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan suplai O2 ke jaringan menurun.
g. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat,
keletihan
3. Intervensi

No DIAGNOSA TUJUAN INTRVENSI


1. Penurunan curah jantung Tujuan: Setelah diberikan 1. Identifikasi tanda dan gejala
berhubungan dengan beban asuhan keperawatan, penurunan curah jantung
jantung yang meningkat. diharapkan curah jantung 2. Auskultasi bunyi jantung dan
paru
meningkat dengan
3. Observasi tekanan darah
kriteria hasil: 4. Monitor intake dan output
cairan
1. Tekanan darah dan 5. Selidiki keluhan nyeri dada,
frekuensi jantung dalam perhatikan lokasi, rediasi,
batas normal, beratnya
2. nadi perifer kuat dan 6. Kaji tingkat aktivitas, respon
terhadap aktivitas
sama dengan waktu
7. Rujuk ke program
pengisian kapiler rehabilitasi jantung
2. Resiko terjadi hipotensi b.d. Tujuan: Setelah diberikan 1. Monitor tanda vital tiap
penurunan volume darah asuhan keperawatan, jam/lebih sering bila perlu
yang berlebihan, penurunan diharapkan hipotensi tidak sebagai deteksi dini hipotensi
fungsi vasokonstriksi akibat, 2. Kaji adanya keluhan mual,
terjadi
penurunan fungsi jantung, pusing sebagai deteksi dini
sepsis, perdarahan samar, hipotensi
arritmia, hemolisis, emboli kriteria hasil: 3. Atur UFR dengan cara: BB
udara, anafilksis sebelum cuci dikurangi BB
1. Tanda vital dalam batas kering dibagi time dialysis
normal tidak lebih dari 5% BB
2. Keluhan pusing, mual kering
berkurang 4. Anjurkan tidak
3. UFR tidak lebih dari mengkonsumsi OAH
selisih BB per time sebelum cuci
dialysis < 5% BB 5. Atur pemberian dialisat :
kering 6. Gunakan bicnat hindari
4. Mengkonsumsi OAH asetat
pada wakrtu yang tepat 7. Tingkatkan nilai sodium
5. Menggunakan dialisat 8. Turunkan suhu dialisat ke
bicnat, Na ditingkatkan, 34-36°C
suhu diturunkan 9. Re-evaluasi BB kering
6. BB kering terkendali 10. Anjurkan untuk tidak makan
secara berlebihan saat
menjalani HD
11. Bila diketahui tensi menurun
dan terdapat keluhan pusing:
a. Berikan oksigen lembab
b. Atur posisi kepala lebih
rendah
c. Turunkan UFR serendah
mungkin
d. Berikan normal salin 100
cc/lebih
e. Berikan larutan
hipertonis

3. Kelebihan volume cairan Tujuan: Setelah diberikan Fluid Management :


berhubungan dengan asuhan keperawatan, 1. Kaji status cairan ; timbang
penurunan haluran urin dan diharapkan volume cairan berat badan,keseimbangan
retensi cairan dan natrium. seimbang masukan dan haluaran,
turgor kulit dan adanya
kriteria hasil: edema
2. Batasi masukan cairan
1. Terbebas dari edema, 3. Identifikasi sumber potensial
efusi, anasarka
cairan
2. Bunyi nafas bersih,tidak
adanya dipsnea 4. Jelaskan pada pasien dan
3. Memilihara tekanan keluarga rasional
vena sentral, tekanan pembatasan cairan
kapiler paru, output 5. Kolaborasi pemberian cairan
jantung dan vital sign sesuai terapi.
normal
Hemodialysis therapy
1. Ambil sampel darah dan
meninjau kimia darah
(misalnya BUN, kreatinin,
natrium, pottasium, tingkat
phospor) sebelum perawatan
untuk mengevaluasi respon
thdp terapi.
2. Rekam tanda vital: berat
badan, denyut nadi,
pernapasan, dan tekanan
darah untuk mengevaluasi
respon terhadap terapi.
3. Sesuaikan tekanan filtrasi
untuk menghilangkan jumlah
yang tepat dari cairan
berlebih di tubuh klien.
1. Bekerja secara kolaboratif
dengan pasien untuk
menyesuaikan panjang
dialisis, peraturan diet,
keterbatasan cairan dan obat-
obatan untuk mengatur cairan
dan elektrolit pergeseran
antara pengobatan
Gangguan perfusi jaringan Tujuan: Setelah diberikan Circulatory Care
berhubungan dengan asuhan keperawatan, 1. Lakukan penilaian secara
penurunan suplai O2 dan diharapkan perfusi jaringan komprehensif fungsi sirkulasi
nutrisi ke jaringan sekunder adekuat periper. (cek nadi
Kriteria hasil priper,oedema, kapiler refil,
temperatur ekstremitas).
1. Membran mukosa 2. Kaji nyeri
merah muda
3. Inspeksi kulit dan Palpasi
2. Conjunctiva tidak
4. anggota badan
anemis
3. Akral hangat 4. Atur posisi pasien,
4. TTV dalam batas ekstremitas bawah lebih
normal. rendah untuk memperbaiki
5. Tidak ada edema sirkulasi.
5. Monitor status cairan intake
dan output
6. Evaluasi nadi, oedema
7. Berikan therapi antikoagulan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Carpenito, L.J. 2009. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Ed. 2 Jakarta :
EGC
2. Corwin, E.J. 2001. Alih bahasa : Pendit, B.U. Handbook of pathophysiology. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
3. Price, S.A. & Wilson, L.M. Alih bahasa : Anugerah, P. 2006. Pathophysiology:
Clinical concept of disease processes. 4th Edition. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
4. Smeltzer, Suzanne C., Bare, Brenda G. 2005. Brunner & Suddarth Textbook of
Medical Surgical Nursing 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
5. Suyono, S, et al. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI;
6. PPNI (2017). Standar diagnosis keperawatan Indonesia: Definisi dan indicator
diagnostic, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
7. PPNI (2019). Standar luaran keperawatan Indonesia: Definisi dan kriteria hasil
keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
8. PPNI (2019). Standar intervensi keperawatan Indonesia: Definisi dan tindakan
keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai