Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ginjal merupakan organ vital yang berperan sangat penting sangat
penting dalam mempertahankan kestabilan lingkungan dalam tubuh. Ginjal
mengatur keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit dan asam basa dengan
cara menyaring darah yang melalui ginjal, reabsorbsi selektif air, elektrolit
dan non-elektrolit, serta mengekskresi kelebihannya sebagai kemih.
Chronic Kidney Desease (CKD) atau Gagal ginjal kronis (GGK) atau
penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang
progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah)
(Smeltzer & Bare, 2002).
Di negara maju, penyakit kronik tidak menular (cronic non-
communicable diseases) terutama penyakit kardiovaskuler, hipertensi,
diabetes melitus, dan penyakit ginjal kronik, sudah menggantikan penyakit
menular (communicable diseases) sebagai masalah kesehatan masyarakat
utama.
Selama ini, pengelolaan penyakit ginjal kronik lebih mengutamakan
diagnosis dan pengobatan terhadap penyakit ginjal spesifik yang merupakan
penyebab penyakit ginjal kronik serta dialisis atau transplantasi ginjal jika
sudah terjadi gagal ginjal. Bukti ilmiah menunjukkan bahwa komplikasi
penyakit ginjal kronik, tidak bergantung pada etiologi, dapat dicegah atau
dihambat jika dilakukan penanganan secara dini. Oleh karena itu, upaya yang
harus dilaksanakan adalah diagnosis dini dan pencegahan yang efektif
terhadap penyakit ginjal kronik, dan hal ini dimungkinkan karena berbagai
faktor risiko untuk penyakit ginjal kronik dapat dikendalikan.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari gagal ginjal kronik?
2. Apa etiologi dari gagal ginjal kronik?
3. Apa klasifikasi dari gagal ginjal kronik?
4. Apa manifestasi klinis dari gagal ginjal kronik?
5. Apa patofisiologi dari gagal ginjal kronik?
6. Apa komplikasi dari gagal ginjal kronik?
7. Apa pemeriksaan penunjang dari gagal ginjal kronik?
8. Apa penatalaksanaan dari gagal ginjal kronik?
9. Bagaimana asuhan keperawatan pada gagal ginjal kronik?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi dari gagal ginjal kronik.
2. Mengetahui etiologi dari gagal ginjal kronik.
3. Mengetahui klasifikasi dari gagal ginjal kronik.
4. Mengetahui manifestasi klinis dari gagal ginjal kronik.
5. Mengetahui patofisiologi dari gagal ginjal kronik.
6. Mengetahui komplikasi dari gagal ginjal kronik.
7. Mengetahui pemeriksaan penunjang dari gagal ginjal kronik.
8. penatalaksanaan dari gagal ginjal kronik.
9. asuhan keperawatan pada gagal ginjal kronik.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KONSEP DASAR TEORI


2.1.1 Definisi
Chronic Kidney Desease (CKD) atau Gagal ginjal kronis (GGK)
atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi
renal yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain
dalam darah) (Smeltzer & Bare, 2002).
Gagal ginjal kronis (GGK) ditandai oleh kerusakan fungsi ginjal
secara progresif dan irreversibel dalam berbagai periode waktu, dan
beberapa bulan hingga beberapa dekade. Gagal ginjal kronis terjadi
karena sejumlah keadaan nefron tidak berfungsi secara permanen dan
penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR). (Chang, dkk, 2010).
Gagal ginjal kronik (GGK) biasanya akibat akhir dari kehilangan
fungsi ginjal lanjut secara bertahap. (Doenges, 1999)
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD)
merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible
dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme
dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan uremia (retensi
urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner & Suddarth,
2001)
Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang
progresif dan lambat, biasanya berlangsung beberapa tahun. (Price,
1992)

3
2.1.2 Etiologi
Penyebab GGK dapat dibagi dalam 3 kelompok yaitu:
1. Penyebab pre-renal
Berupa gangguan aliran darah kearah ginjal sehingga ginjal
kekurangan suplai darah menyebabkan kurang oksigen dengan
akibat lebih lanjut jaringan ginjal mengalami kerusakan, misal:
volume darah berkurang karena dehidrasi berat atau kehilangan
darah dalam jumlah besar, berkurangnya daya pompa jantung,
adanya sumbatan/ hambatan aliran darah pada arteri besar yang ke
arah ginjal, dan sebagainya.
2. Penyebab renal
Berupa gangguan/ kerusakan yang mengenai jaringan ginjal sendiri,
misal: kerusakan akibat penyakit diabetes mellitus (diabetic
nephropathy), hipertensi (hypertensive nephropathy), penyakit
sistem kekebalan tubuh seperti SLE (Systemic Lupus
Erythematosus), peradangan, keracunan obat, kista dalam ginjal,
berbagai gangguan aliran darah di dalam ginjal yang merusak
jaringan ginjal, dan lain-lain.
3. Penyebab post renal
Berupa gangguan/ hambatan aliran keluar (output) urin sehingga
terjadi aliran balik urin ke arah ginjal yang dapat menyebabkan
kerusakan ginjal, misal: akibat adanya sumbatan atau penyempitan
pada saluran pengeluaran urin antara ginjal sampai ujung saluran
kencing. Contoh: adanya batu pada ureter sampai urethra,
penyempitan akibat saluran tertekuk penyempitan akibat pembesaran
kelenjar prostat, tumor, dan lain-lain.

4
2.1.3 Klasifikasi
Klasifkasi penyakit gagal ginjal kronik didasarkan atas dua hal
yaitu, atas dasar derajat penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG,
yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockeroft-Gault sebagai
berikut:

LFG (ml/mnt/1,73m2) = (140 – umur) x berat badan


72 x kreatinin plasma (mg/dl)
*) pada perempuan dikalikan 0,85

Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronis atas Dasar Derajat Penyakit


Derajat/ LFG
Penjelasan
Stadium (ml/mnt/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ > 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60 – 89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang 30 – 59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat 15 – 29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialysis

1. Stadium 1:
Kerusakan ginjal dengan LFG normal (90 atau lebih). Kerusakan
pada ginjal dapat dideteksi sebelum LFG mulai menurun. Pada
stadium pertama penyakit ginjal ini, tujuan pengobatan adalah untuk
memperlambat perkembangan GGK dan mengurangi risiko penyakit
jantung dan pembuluh darah.
2. Stadium 2:
Kerusakan ginjal dengan penurunan ringan pada LFG (60-89).
Saat fungsi ginjal kita mulai menurun, dokter akan memperkirakan
perkembangan GGK kita dan meneruskan pengobatan untuk
mengurangi risiko masalah kesehatan lain.

5
3. Stadium 3:
Penurunan lanjut pada LFG (30-59). Saat GGK sudah berlanjut
pada stadium ini, anemia dan masalah tulang menjadi semakin umum.
Kita sebaiknya bekerja sama dengan dokter untuk mencegah atau
mengobati masalah ini.
4. Stadium 4:
Penurunan berat pada LFG (15-29). Teruskan pengobatan untuk
komplikasi GGK dan belajar semaksimal mungkin mengenai
pengobatan untuk kegagalan ginjal. Masing-masing pengobatan
membutuhkan persiapan. Bila kita memilih hemodialisis, kita akan
membutuhkan tindakan untuk memperbesar dan memperkuat
pembuluh darah dalam lengan agar siap menerima pemasukan jarum
secara sering. Untuk dialisis peritonea, sebuah kateter harus ditanam
dalam perut kita. Atau mungkin kita ingin minta anggota keluarga
atau teman menyumbang satu ginjal untuk dicangkok.
5. Stadium 5:
Kegagalan ginjal (LFG di bawah 15). Saat ginjal kita tidak
bekerja cukup untuk menahan kehidupan kita, kita akan membutuhkan
dialisis atau pencangkokan ginjal.

2.1.4 Manifestasi Klinis


1. Perubahan berkemih
Pada stadium awal gagal ginjal, poliuria dan nukturia tampak
jelas karena ginjal tidak mampu memekatkan urin, khususnya di
malam hari. Berat jenis urin secara bertahap menetap pada nilai di
sekitar 1,010 (konsentrasi osmolar plasma) yang mencerminkan
ketidakmampuan ginjal untuk mengencerkan atau memekatkan urin.
2. Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa.
Peningkatan retensi cairan menyebabkan penurunan ekskresi
urin. Keparahan gejala bergantung pada tingkat kelebihan cairan.
Dapat terjadi edema dan hipertensi. Kelebihan cairan pada akhirnya

6
dapat menyebabkan edema paru, dan efusi perikardium serta efusi
pleura. Pada keadaan ini terdapat pula sejumlah gangguan
keseimbangan elektrolit yang disebabkan oleh disfungsi ginjal.
Ekskresi natrium akan terganggu dan retensi natrium terjadi
bersama dengan retensi air.
3. Sindrom uremia
Ginjal merupakan organ yang bertanggung jawab untuk
ekskresi ureum yaitu produk akhir metabolism protein. Pada gagal
ginjal terjadi peningkatan ureum dan kreatinin dimana kenaikan
kadar kreatinin serum merupakan indikator terbaik untuk
menunjukkan gagal ginjal. Retensi ureum dan kreatinin
mempengaruhi semua sistem tubuh dan keadaan ini disebut sindrom
uremia.
4. Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi merupakan gangguan kardiovaskuler yang paling
sering terjadi dan bertanggung jawab atas percepatan penyakit
aterosklerosis vaskuler, hipertrofi ventrikel kiri, dan gagal jantung
kongesif. Hal tersebut merupakan penyebab utama kematian pada
pasien gagal ginjal kronik.
5. Gangguan pernafasan
Dispnea akibat kelebihan cairan, edema paru, pleuritis uremia,
dan efusi pleura sering ditemukan pada pasien gagal ginjal.
6. Gangguan neurologi
Perubahan neurologi dapat berkisar dari keletihan dan
kesulitan konsentrasi hingga kejang, stupor, dan koma. Neuropati
perifer juga terjadi dan pasien mengeluh restless leg syndrome dan
parestesia (rasa terbakar) pada kedua kaki.
7. Gangguan metabolik dan endokrin
Gagal ginjal dikaitkan dengan beberapa gangguan metabolik
dan endokrin. Gangguan ini meliputi: hiperglikemia,

7
hiperinsulinemia, abnormalitas uji toleransi glukosa, dan
hiperlipidemia.
8. Disfungsi hematologi dan imunologi
Anemia merupakan manifestasi klinis yang sering ditemukan
karena gagal ginjal menyebabkan gangguan produksi eritropoietin
yang di perberat oleh abnormalitas trombosit. Anemia
mengakibatkan kemunduran keadaan umum pasien dan menjadi
penyebab primer hipertrofi ventrikel kiri pada gagal ginjal kronis.
Sel darah putih juga mengalami perubahan karena retensi ureum,
yang menyebabkan imunodefisiensi sehingga pasien lebih rentan
terhadap infeksi. Meskipun jumlah trombosit normal, fungsinya
menjadi abnormal karena uremia, sehingga timbul kecendrungan
perdarahan.
9. Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, mual, dan muntah menyertai gagal ginjal dan
menyebabkan penurunan berat badan dan malnutrisi yang dialami
oleh banyak pasien. Setiap bagian sistem gastrointestinal
terpengaruh akibat inflamasi mukosa yang disebabkan oleh kadar
ureum berlebih. Stomatitis, ulserasi oral, rasa logam dalam mulut,
dan fetor uremia (bau nafas uremik, seperti bau buah) umumnya
ditemukan. Selain itu, perdarahan gastrointestinal, diare, dan atau
konstipasi dapat pula terjadi karena retensi produk uremia.
10. Gangguan muskuloskeletal
Gagal ginjal mengganggu proses pengaktifan vitamin D.
Vitamin D aktif diperlukan dalam saluran cerna untuk membantu
absorpsi kalsium. Pada GGK, keadaan ini mengakibatkan
hipokalsemia. Hormon paratiroid (PTH) kemudian disekresikan
untuk mengimbangi sekresi hormon paratiroid merangsang
demineralisasi tulang sehingga kalsium terlepas dari tulang untuk
menaikkan kadar kalsium serum. Fosfat juga dilepaskan oleh
tulang, yang memperberat keadaan hiperfosfatemia yang sudah

8
terjadi. Kerja hormon paratiroid pada tulang menyebabkan
osteodistrofi ginjal yaitu suatu sindrom perubahan skeletal yang
terjadi pada penyakit ginjal kronis.
11.   Gangguan integumen
Perubahan paling mencolok pada pasien yang mengalami
penurunan fungsi ginjal adalah perubahan warna kulit menjadi
kuning kusam karena absorpsi dan retensi pigmen urin. Kulit juga
menjadi pucat (karena anemia), dan kering serta bersisik Karena
penurunan aktivitas kelenjar minyak dan keringat. Pruritus terjadi
karena peningkatan kadar ureum dan deposit kalsium-fosfat dalam
kulit. Rasa gatal begitu hebat sehingga menyebabkan perdarahan
atau infeksi sekunder akibat garukan. Rambut kering serta rapuh
dan kuku tipis dan beralur. Pada akhirnya dapat terjadi petekia dan
ekimosis yang disebabkan oleh abnormalitas trombosit.
12. Disfungsi reproduksi
Fungsi reproduksi normal juga berubah pada gagal ginjal.
Hormon pria dan wanita menurun dan mereka mengalami
penurunan libido serta masalah infertilitas (Chang, dkk., 2010).

2.1.5 Patofisiologi
Penyakit gagal ginjal kronik disebabkan oleh penyakit sistemik
seperti diabetes melitus, glomerulonefritis kronis, pielonefritis,
hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi, medikasi dan agen toksik
sehingga menyebabkan fungsi renal menurun, produk akhir
metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan kedalam urine)
tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem
tubuh. Semakin banyak tertimbun produk sampah maka gejala akan
semakin berat. Gangguan klirens renal muncul pada gagal ginjal
sebagai akibat dari penurunan jumlah glomeruli yang berfungsi, yang
menyebabkan penurunan klirens substansi darah yang seharusnya
dibersihkan oleh ginjal. Menurunnya filtrasi glomerulus akibat tidak

9
berfungsinya glomeruli klirens kreatinin akan menurun dan kadar
kreatinin akan meningkat. Selain itu, kadar nitrogen urea darah (BUN)
biasanya meningkat.
Selain itu, ginjal juga tidak mampu untuk mengkosentrasikan atau
mengencerkan urin secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir.
Respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan
elektrolit sehari-hari tidak terjadi sehingga natrium dan cairan tertahan
ditubuh sehingga miningkatkan resiko terjadinya edema, gagal jantung
kongesif, dan hipertensi.
Selain itu dengan semakin berkembangnya penyakit ginjal, terjadi
asidosis metabolik seiring dengan ketidakmampuan ginjal
mengekskresi muatan asam (H+). Selain itu anemia juga sering terjadi
sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat,
memendeknya usia sel darah merah, defesiensi nutrisi dan
kecenderungan terjadinya perdarahan akibat status uremik pasien,
terutama dari saluran gastrointestinal. Eritropoetin merupakan suatu
subtansi normal yang diproduksi oleh ginjal, menstimulasi sum-sum
tulang untuk menghasilkan sel darah merah. Pada gagal ginjal, produksi
eritropoetin menurun dan anemia berat terjadi, disertai keletihan, angina
dan sesak nafas (Smeltzer & Bare, 2002).

10
Obstruksi sal.
2.1.6 Pathway/ WOC kemih

infeksi vaskuler Zat toksik


Retensi urin
Batu bsr &
Rx. Antigen Tertimbun di kasar
Arterosklerosis
antibodi ginjal
Penekanan
Suplai darah ke
saraf perifer
ginjal me
Nyeri
pinggang

GFR me

GGK

Skresi protein trganggu Retensi Na Sekresi eritropoetin me

Alkalosis Produksi Hb me
Sindrom uremia Pe CES
respiratorik Kelebihan vol.
cairan
Tek. Kapiler me Suplai O2 kasar me
Gg. kseimbangan Hiperventilsi
asam basa skunder
Vol. Intertisial me
Payah jantung
Produksi asam me Ketidakefektifa Resiko Gg. kiri
Eodema
n pola nafas Interitas
Pe as. COP
Preload me Bendungan
lambung atrium kiri me
Nousea, vomitus Iritasi lambung Beban jantung me
Suplai O2 ke otak ,
jaringan, me Tek. V.
Penurunan Pulmonalis
Resiko Infeksi perdarah
ketidakseimbang an curah Pe
an nutrisi (-) keb. jantung Aliran darah kesadaran Kapiler
tbh Gastritis ke ginjal me paru me

met.
RAA me Eodem paru
Proses Anaerob
Mual,muntah
peradangan
Eodema Retensi Na & Timb. As. Laktat me
H2O me
Nyeri akut
Fatique, nyeri sendi

Intoleransi
aktivitas
11
2.1.7 Komplikasi
1. Hiperkalemia : Akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik,
katabolisme.
2. Perikarditis : Efusi pleura dan temponade jantung akibat produk
sampah uremik dan dialisis tidak adekuat.
3. Hipertensi : akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem
renin-angiotensin-aldosteron.
4. Anemia : Akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel
darah merah.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi akibat retensi posfat, kadar kalsium
serum rendah metabolisme vitamin D dan peningkatan kadar
alumunium.
6. Asidosis metabolik.
7. Sepsis.
8. Osteodistropi ginjal.
9. Neuropati perifer.
10. Hiperuremia

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang


Menurut Suyono (2001), untuk menentukan diagnosa pada CKD dapat
dilakukan cara sebagai berikut:
1. Pemeriksaan laboratorium.
Menentukan derajat kegawatan CKD, menentukan gangguan sistem
dan membantu menetapkan etiologi.
2. Pemeriksaan USG.
Untuk mencari apakah ada batuan, atau massa tumor, juga untuk
mengetahui beberapa pembesaran ginjal.
3. Pemeriksaan EKG.
Untuk melihat kemungkinan hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda
perikarditis, aritmia dan gangguan elektrolit.
4. Pemeriksaan radiologi
Beberapa pemeriksaan radiologi yang biasanya digunakan untuk
mengetahui gangguan fungsi ginjal antara lain.

12
a. Flat-plat radiografi / radiografphic keadaan ginjal, ureter, vesika
urinaria, untuk mengidentifikasi bentu, ukuran, posisi, dan
klasifikasi dari ginjal.
b. Computer Tomografi (CT) Scan yang digunakan untuk melihat
secara jelas anatomi ginjal yang pnggunaannya kontras atau
tanpa kontras.
c. Intervenosus Pyelografi (IVP), digunakan untuk mengevaluasi
keadaan fungsi ginjal dengan memakai kontras.
d. Aorterenal Angiographi, digunakan untuk mengetahui sistem
arteri, vena dan kapiler pada ginjal dengan menggunakan
kontras.
e. Magnetic Resonance Imaging (MRI), digunakan untuk
mengevaluasi kasus yang disebabkan oleh obstruksi uropati,
ARF, proes infeksi pada gijal serta post transplantasi ginjal.
5. Biopsi ginjal untuk mendiagnosa kelainan ginjal dengan mengambil
jaringan ginjal lalu dianalisa, biasanya biopsi dilakukan pada kasus
glomerulonefritis, nefrotik sindrm, penyakit ginjal bawaan, ARF,
dan perencanaan transplantasi ginjal.

2.1.9 Penatalaksanaan
1. Konservatif
a. Cairan dan natrium
Hidrasi dapat dipertahankan dengan pemberian 3 liter air,
sehingga urine yang terbentuk sekitar 2 – 2,5 liter. Dengan
semikian keperluan cairan sebagai pelarut dapat terpenuhi,
karena ginjal memproduksi urin yang isoosmotik. Selain itu
ureum diekresikan secara maksimal bila volume urine sebanyak
2 ml/ menit. Kelebihan cairan yaitu lebih dari 3 liter akan
menyebabkan munculnya gejala – gejala hiponatremia.

Natrium perlu dibatasi, karena natrium dipertahankan di


dalam tubuh walaupun faal ginjal sudah menurun. Parameter
yang dapat digunakan untuk menilai kecukupan natrium adalah
berat badan, kadar Na urin dan serum serta laju filtrasi
glomerulus. Pemberian Natrium harus dalam jumlah maksimal

13
yang ditolelir dengan tujuan untuk mempertahankan volume
cairan ekstraselular

b. Kalium
Jika terjadi hiperkalasemia perlu dilakukan pembatasan
kalium dari makanan, polisteron sulfonat dan sorbitol, fusemid
dosis tinggi 100 mg – 500 mg dipergunakan untuk menurunkan
kadar kalium. Pengobatan yang lebih definitive adalah dialysis

c. Diet Rendah Protein


Giordano dan Giovenetti membuktikan bahwa diet yang
hanya mengandung 20 gram protein dapat menurunkan kadar
urea nitrogen darah ( BUN ), mempertahankan keseimbangan
nitrogen. Kebutuhan kalori harus dipenuhi guna mencegah
terjadinya pembakaran protein tubuh dan merangsang
pengeluaran insulin. Kalori diberikan sekitar 35 Kal / kg BB ,
dikurangi bila terdapat diabetes mellitus dan obesitas. Agar diet
rendah protein berhasil bai diberikan terlebih dahulu diet protein
untuk 1 – 3 minggu atau 2 kali dialysis agar gejala ureum hilang.
Diet rendah protein diberikan bertahap mulai dengan 60 g
protein/hari. Bila faal ginjal menerun atau ginjal ureum menetap
maka jumlah protein diturunkan menjadi 40 g ( LFG < 5 – 10
ml/menit ), kemudian menjadi 20 g ( LFG < 5 ml/menit ).
Protein yang diberikan haruslah memiliki nilai biologis yang
tingga yaitu 40 % asam amino esensial.

d. Transfusi darah
Transfusi darah hanya diberikan bila sangat perlu,
misalnya ada payah jantung, insufisiensi koroner yang
disebabkan oleh anemia, serta pasien usia lanjut yang tidak dapat
bertahan dengan HB yang rendah. Transfusi darah perlu untuk
persiapan transplantasi

14
e. Kalsium dan Fosfor
Apabila didapatkan kadar plasma kalsium yang rendah
dengan nilai albumin serum yang normal maka 1,25
dihidroksikalsiferol ( Recaltrol ) dapat diberikan 0,25 – 0,5 agar
absrbsi kalsium dari usus meningkat. Kadar fosfat harus
diturunkan dahulu untuk mencegah kalsifikasi jaringan.

2. Dialisis (cuci darah).


3. Obat-obatan: Antihipertensi, suplemen besi, agen pengikat fosfat,
suplemen kalsium, furosemid (membantu berkemih).
4. Transplantasi ginjal

15
2.2 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
2.2.1 Pengkajian
1. Biodata
Gagal ginjal kronik terjadi terutama pada usia lanjut (>50 tahun),
usia muda dapat terjadi pada semua jenis kelamin, tetapi 70% pada
pria.
2. Keluhan utama
Pada penyakit GGK yang sering menjadi keluhan utama: nyeri,
oliguri, anuri, gelisah, anoreksia, mual,muntah, mulut terasa kering,
lelah, nafas berbau (ureum), gatal pada kulit.
3. Riwayat penyakit
a. Riwayat kesehatan sekarang
Keluhan utama: nyeri, pusing, mual, muntah.
b. Riwayat penyakit dahulu
1) Penyakit yang pernah diderita: GGA, ISK, payah jantung,
hipertensi, penggunaan obat-obatan deuritik, BPH, dll.
2) Kebiasaan buruk: Menahan BAK, minum bersoda.
3) Pembedahan
c. Riwayat penyakit keluarga
Adanya penyakit keturunan diabetes melitus dan hipertensi.
4. Pemeriksaan fisik
a. Umum: Status kesehatan secara umum.
b. Tanda-tanda vital: Biasanya tekanan darah meningkat, nadi cepat
dan lemah, pernapasan kussmaul, dispnea dan suhu tubuh
meningkat.
c. Pemeriksaan fisik
Teknik pemeriksaan fisik
1) Inspeksi
a) Kulit dan membran mukosa
Catat warna, turgor, tekstur, dan pengeluaran keringat.
Kulit dan membran mukosa yang pucat, indikasi

16
gangguan ginjal yang menyebabkan anemia. Tekstur kulit
tampak kasar atau kering. Penurunan turgor merupakan
indikasi dehidrasi. Edema, ekstremitas dan atau anasarka
merupakan indikasi retensi dan penumpukan cairan.
b) Mulut
Stomatitis, nafas bau amonia.
c) Abdomen
Klien posisi telentang, catat ukuran, kesimetrisan, adanya
masa atau pembengkakan, kulit mengkilap atau tegang.
d) Meatus urimary
Laki-laki: Posisi duduk atau berdiri, tekan gland penis
dengan memakai sarung tangan untuk membuka meatus
urinary. Wanita: Posisi dorsal rekumben, litotomi, buka
labia dengan memakai sarung tangan.
2) Palpasi
a) Ginjal
Ginjal kiri jarang teraba, meskipun demikian usahakan
untuk mempalpasi ginjal untuk mengetahui ukuran dan
sensasi. Jangan lakukan palpasi bila ragu karena akan
merusak jaringan.
1. Posisi klien supinasi, palpasi dilakukan dari sebelah
kanan.
2. Letakkan tangan kiri di bawah abdomen antara tulang
iga dan spina iliaka. Tangan kanan dibagian atas. Bila
mengkilap dan tegang, indikasi retensi cairan atau
ascites, distensi kandung kemih, pembesaran ginjal.
Bila kemerahan, ulserasi, bengkak, atau adanya cairan
indikasi infeksi. Jika terjadi pembesaran ginjal, maka
dapat mengarah ke neoplasma atau patologis renal
yang serius. Pembesaran kedua ginjal indikasi
polisistik ginjal. Tenderness/ lembut pada palpasi

17
ginjal maka indikasi infeksi, gagal ginjal kronik.
Ketidaksimetrisan ginjal indikasi hidronefrosis.
3. Anjurkan pasien nafas dalam dan tangan kanan
menekan sementara tangan kiri mendorong ke atas.
4. Lakukan hal yang sama untuk ginjal di sisi yang
lainnya.
b) Kandung kemih
Secara normal, kandung kemih tidak dapat dipalpasi,
kecuali terjadi ditensi urin. Palpasi dilakukan di daerah
simphysis pubis dan umbilikus. Jika kandung kemih
penuh maka akan teraba lembut, bulat, tegas, dan sensitif.
3) Perkusi
a) Ginjal
1. Atur posisi klien duduk membelakangi pemeriksa.
2. Letakkan telapak tangan tidak dominan diatas sudut
kostavertebral (CVA), lakukan perkusi di atas telapak
tangan dengan menggunakan kepalan tangan
dominan.
3. Ulangi prosedur pada ginjal di sisi lainnya.
Tenderness dan nyeri pada perkusi merupakan
indikasi glomerulonefritis atau glomerulonefrosis.
b) Kandung kemih
1. Secara normal, kandung kemih tidak dapat diperkusi,
kecuali volume urin di atas 150 ml. Jika terjadi
distensi, maka kandung kemih dapat diperkusi sampai
setinggi umbilikus.
2. Sebelum melakukan perkusi kandung kemih, lakukan
palpasi untuk mengetahui fundus kandung kemih.
Setelah itu lakukan perkusi di atas region suprapubic.

18
4) Auskultasi
Gunakan diafragma stetoskop untuk mengauskultasi bagian
atas sudut kostovertebral dan kuadran atas abdomen. Jika
terdengan bunyi bruit (bising) pada aorta abdomen dan arteri
renalis, maka indikasi adanya gangguan aliran darah ke ginjal
(stenosis arteri ginjal).
5. Bio-psiko-sosial-spiritual

a. Aktivitas dan istirahat

Gejala : Kelelahan ekstrem, kelemahan, malaise, insomnia.

Tanda : Kelemahan otot, kehilangan tonus otot, penurunan

rentang gerak.

b. Sirkulasi

Gejala : Nyeri dada

Tanda : Nadi lemah, pitting pada kaki, distrimia jantung,

pucat.

c. Integritas Ego

Gejala : Faktor stess (faktor finansial).

Tanda : Ansietas, takut, perubahan kepribadian.

d. Eliminasi

Gejala : Penurunan frekuensi urin, oliguria, anuria.

Tanda : Perubahan warna urine.

e. Makan/Cairan

Gejala : Peningkatan berat badan cepat (edema), malnutrisi.

Tanda : Distensi abdomen, perubahan turgor, edema.

19
f. Neurosensori

Gejala : Sakit kepala, pengelihatan kabur, kesemutan.

Tanda : Kejang, ketidak mampuan berkonsentrasi.

g. Nyeri/Kenyamanan

Gejala : Nyeri panggul, sakit kepala.

Tanda : Distraksi, gelisah.

h. Pernafasan

Gejala : Nafas pendek, batuk tanpa sputum.

Tanda : Dispnea,frekuensi nafas meningkat.

i. Keamanan

Gejala : Kulit gatal, kering.

Tanda : Pruritus, demam.

j. Seksualitas

Gejala : Penurunan libido, amenore, infertilisasi.

k. Interaksi Sosial

Gejala : Kesulitan menetukan kondisi (tidak mampu bekerja)

l. Penyuluhan/Pembelajaran

Gejala : Riwayat DM, hipertensi, penyakit polikstik.

m.

20
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
1. Analisa Data
No Symtom Etiologi Problem
.

1. DS: GGK Ketidakefektifan


- Dispnea. pola nafas
- Napas pendek. ↓

DO: Skresi protein trganggu


- Bradipnea.
- Penurunan tekanan ↓
inspirasi-ekspirasi.
Sindrom uremia
- Napas cuping
hidung. ↓
- Fase ekspirasi
memanjang Gg. kseimbangan asam
- Pernafasan bibir basa
mencucu.
- Penggunaan otot ↓
bantu nafas.
- Kecepatan respirasi Alkalosis respiratorik

Hiperventilsi
skunder

2. DS: GGK Nyeri akut

- Mengungkapkan ↓
secara verbal atau
melaporkan nyeri Skresi protein
dengan isyarat. trganggu


DO:
Sindrom uremia
- Perubahan selera
makan. ↓
- Wajah topeng
[nyeri]. Gg. keseimbangan

21
- Perilaku menjaga asam basa
atau melindungi
bagian tubuh yang ↓
sakit.
- Bukti nyeri yang Produksi asam me
diamati. ↑

Pe ↑ as. Lambung

Iritasi lambung

Infeksi

Gastritis

Proses peradangan

3. DS: GGK Kelebihan volume


cairan
- Ansietas. ↓
- Dispnea atau nafas Retensi Na
pendek.

- Gelisah.
Pe ↑ CES

Tek. Kapiler me ↑
DO:

- Suara nafas tidak
normal (rale atau Vol. Intertisial me ↑

22
crakle). ↓
- Perubahan elektrolit. Eodema
- Eodema (anasarka)
- Ansietas
- Perubahan tekanan
darah.
- Perubahan pola
napas.
- Penurunan Hb dan
Ht.
- Oligori.
- Peningkatan vena
sentral.
- Gelisah.
- Perubahan berat jenis
urin.

4. Ds: GGK Penurunan curah


jantung
Do: ↓

- Aritmia (takikardia, Retensi Na


dradikardia).
- Perubahan polla ↓
EKG.
- Eodema. Pe ↑ CES
- Keletihan.
- Penurunan atau ↓
penurunan tekanan
Tek. Kapiler me ↑
sentral (CVP).
- Distensi vena ↓
jugularis.
- Murmor. Vol. Intertisial me ↑
- Denyut perifer
menurun. ↓
- Dispnea.
- Oliguria. Eodema
- Perubahan warna

23
kulit. ↓
- Penurunan curah
jantung Preload me ↑
- Ansietas.
- Gelisah. ↓

Beban jantung me ↑

5. DS: GGK Ketidakseimbangan


- Nyeri abdomen nutrisi kurang dari
(dengan atau tanpa ↓ keburuhan tubuh
penyakit).
- Menolak makan. Skresi protein
- Persepsi ketidak trganggu
mampuan untuk
mencerna. ↓
- Melporkan
Sindrom uremia
perubahan sensasi
rasa. ↓

DO: Gg. keseimbangan


- [Adanya bukti ] asam basa
kekurangan
makanan. ↓
- Bising usus
hiperaktif. Produksi asam me
- Kurang minat ↑
terhadap makanan.
- Tonus otot buruk. ↓

Pe ↑ as. Lambung

Iritasi lambung

Infeksi

Gastritis

24
Mual,muntah

6. DS: GGK Intoleransi aktivitas


- Ketidaknyamanan
atau dispnea saat ↓
beraktivitas.
- Melaporkan keletihan Sekresi eritropoetin me
atau kelemahan secara
verbal. ↓

DO: Produksi Hb me ↓
- Frekuensi jantung atau

tekanan darah tidak
normal sebagai respon Suplai O2 kasar me↓
terhadap aktivitas
- Perubahan EKG yang ↓
menunjukkan aritmia
atau iskemia Payah jantung kiri

COP

Suplai O2 ke otak ,
jaringan, me ↓

Metabolisme Anaerob

Timbunan Aam. Laktat

me ↑

Fatique, nyeri sendi

25
7. DS: GGK Resiko Gangguan
DO: Interitas kulit
- Eodema ↓
- Perubahan
Retensi Na
pigmentasi.
- Perubahan turgor ↓
kulit (yaitu
perubahan Pe ↑ CES
elastisitas)

Tek. Kapiler me ↑

Vol. Intertisial me ↑

Eodema

2. Rumusan Diagnosa
1) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi
sekunder: kompensasi melalui alkalosis respiratorik ditandai
dengan klien mengeluh dispnea, napas pendek, bradipnea,
penurunan tekanan inspirasi-ekspiras, napas cuping hidung,
fase ekspirasi memanjang, pernafasan bibir mencucu.
penggunaan otot bantu nafas, kecepatan respirasi.
2) Nyeri akut berhubungan dengan proses peradangan, gastritis
ditandai dengan klien mengungkapkan secara verbal atau
melaporkan nyeri dengan isyarat, perubahan selera makan,
wajah topeng [nyeri], perilaku menjaga atau melindungi bagian
tubuh yang sakit, bukti nyeri yang diamati.
3) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan
haluaran urin, diet berlebihan dan retensi cairan dan natrium
ditandai dengan klien ansietas, dispnea atau nafas pendek,

26
gelisah, suara nafas tidak normal (rale atau crakle), perubahan
elektrolit, eodema (anasarka), ansietas, perubahan tekanan
darah, perubahan pola napas, penurunan Hb dan Ht, oligori,
peningkatan vena sentral, gelisah, perubahan berat jenis urin.
4) Penurunan curah jantung berhubungan dengan
ketidakseimbangan volume sirkulasi, ketidakseimbangan
elektrolit, aritmia (takikardia, dradikardia), perubahan polla ekg,
eodema, keletihan, penurunan atau penurunan tekanan sentral
(CVP), distensi vena jugularis, murmor, denyut perifer
menurun, dispnea, oliguria, perubahan warna kulit, penurunan
curah jantung, ansietas, gelisah.
5) Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah, pembatasan diet,
dan perubahan membran mukosa mulut ditandai dengan nyeri
abdomen (dengan atau tanpa penyakit), menolak makan,
persepsi ketidak mampuan untuk mencerna, melporkan
perubahan sensasi rasa, [adanya bukti ] kekurangan makanan,
bising usus hiperaktif, kurang minat terhadap makanan, tonus
otot buruk.
6) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia,
retensi produk sampah dan prosedur dialysis ditandai dengan
ketidaknyamanan atau dispnea saat beraktivitas, melaporkan
keletihan atau kelemahan secara verbal, frekuensi jantung atau
tekanan darah tidak normal sebagai respon terhadap aktivitas,
perubahan ekg yang menunjukkan aritmia atau iskemia.
7) Risiko kerusakan integritas kulit terhadap gangguan status
metabolik, sirkulasi ( anemia dan iskemia jaringan) dan sensasi
ditandai dengan eodema, perubahan pigmentasi,perubahan
turgor kulit (yaitu perubahan elastisitas).

27
2.2.3 Intervensi Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi
sekunder: kompensasi melalui alkalosis respiratorik ditandai dengan
klien mengeluh dispnea, napas pendek, bradipnea, penurunan
tekanan inspirasi-ekspiras, napas cuping hidung, fase ekspirasi
memanjang, pernafasan bibir mencucu. penggunaan otot bantu
nafas, kecepatan respirasi.
Tujuan :
Menunjukkan pola pernafasan efektif.
Kriteria hasil :
a. Menujukkan parnapasan optimal pada saat terpasang
ventilator mekanis.
b. Mempunyai kecepatan dan irama pernafasan dalam batas
normal (N: vesikuler, 18-24 x/menit).
c. Mempunyai fungsi paru dalam batas normal untuk pasien.
d. Meminta bantuan pernafasan saat dibutuhkan.
e. Mengidentifikasi faktor yang memicu ketidakefektifan pola
nafas, dan tindakan untuk menghindarinya.
Intervensi :
a. Pantau adanya pucat dan sianosis.
b. Pantau efek obat pada status pernafasan.
c. Observasi dan dokumentasi ekspansi dada bilateral pada
pasien yang terpasang ventilator.
d. Pemantauan pernafasan (NIC)
1) Pantau kecepatan irama, kedalaman dan upaya
pernafasan.
2) Perhatikan pergerakan dada, amati ksimetrisan,
penggunaan otot-otot bantu, serta retraksi otot
supraklavikular dan interkosta.
3) Pantau pernafasan yang berbunyi, seperti mendengkur.

28
4) Pantau pola pernapasan: bradipnea, takipnea, dispnea,
hiperventilasi, kussmaul, dll.
5) Perhatikan lokasi trakea.
6) Auskultasi suara napas, perhatikan area penurunan/tidak
adanya ventilasi dan adanya suara napas tambahan.
7) Pentau peningkatan kegelisahan, ansietas.
8) Catat perubahan pada : SaO2, SvO2, CO2, akhir tidal,
dan nilai GDA.
9) Informasikan kepaa pasien dan keluarga tentang teknik
relaksasi untuk memperbaiki pola napas.
10) Ajarkan teknik batuk efektif.
11) Kolaboratif
a) Berikan obat (misalnya bronkodilator) sesuai dengan
program atau protokol.
b) Berikan terapi nebulezer ultrasonik dan udara atau
oksigen yang dilembabkan sesuai progran atau
protokol.
c) Berikan obat nyeri untuk mengoptimalkan pola
pernapasan. (bila perlu).
2. Nyeri akut berhubungan dengan proses peradangan, gastritis
ditandai dengan klien mengungkapkan secara verbal atau
melaporkan nyeri dengan isyarat, perubahan selera makan, wajah
topeng [nyeri], perilaku menjaga atau melindungi bagian tubuh
yang sakit, bukti nyeri yang diamati.
Tujuan :
Memperlihatkan pengendalian nyeri.
Kriteria hasil :
Pasien akan:
a. Memperlihatkan teknik relaksasi secara individual yang
efektif untuk mencapai kenyamanan.

29
b. Mempertahankan tingkat nyeri atau kurang ( dengan skala
nyeri 0-10).
c. Melaporkan kesejahteraan fisik dan psikologi.
Intervensi :
a. Gunakan laporan dari pasien sendiri sebagai pilihan utama
untuk mengumpuklan informasi pengkajian.
b. Minta pasien untuk menilai nyeri pada sekala 0-10.
c. Manajemen nyeri (NIC):
1) Lakukan pengkajian nyeri yang komprehensif meliputi
lokasi, karakteristik, awitan, frekuensi, kualitas, intensitas,
dan faktor prpitasinya.
2) Observasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan, khususnya
pada mereka yang tidak mampu berkomunikasi efektif.
3) Berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab nyeri.
4) Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologis (misalnya,
distraksi, ralaksas, hipnotis, dll) sebelum, setelah dan jika
memungkinkan selama kativitas yang menimbulkan nyeri.
b. Kolaboratif:
1) Gunakan tindakan pengendalian nyeri sebelum nyeri menjadi
lebih berat.
2) Berkolaborasi dengan dokter pemberian obat analgetik.
3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran
urin, diet berlebihan dan retensi cairan dan natrium ditandai dengan
klien ansietas, dispnea atau nafas pendek, gelisah, suara nafas tidak
normal (rale atau crakle), perubahan elektrolit, eodema (anasarka),
ansietas, perubahan tekanan darah, perubahan pola napas,
penurunan Hb dan Ht, oligori, peningkatan vena sentral, gelisah,
perubahan berat jenis urin.
Tujuan :
Kelebihan cairan dapat dikurangi.

30
Kriteria hasil :
Pasien akan:
c. Menyatakan secara verbal pemahaman tentang pembatasan
cairan dan diet.
d. Menyatakan secara verbal pemahaman tentang obat yang
diprogramkan.
e. Mempertahankan tanda vital dalam batas normal untuk pasien.
f. Hematokrit dalam batas normal.
Intervensi:
a. Tentukan lokasi dan derajat edema perifer, sakral, dan
periorbital pada skala 1+ dan 4+.
b. Kaji komplikasi pulmonal dan kardiovaskuleryang diindikasikan
dengan penigkatan tanda gawat napas, peningkatan frekuensi
nadi, peningkatan tekanan darah, bunyi jantung tidak normal,
atau suara napas tidak normal.
c. Kaji ekstremitas atau bagian tubuh yang edema terhadap
ganggua sirkulasi dan integrasi kulit.
d. Kaji efek pengobatan (misalnnya, steroid, diuretik, dan litium)
pada edema.
e. Pantau secara teratur lingkar abdomen atau ekstremitas.
f. Manajemen cairan (NIC):
1) Timbang berat badan setiap hari dan pantau kecendrungan.
2) Pertahankan catatan asupan dan haluaran yang akurat.
3) Pantau hasil laboratorium yang relevan terhadap retensi
cairan (peningkatan berat jenis urin, BUN, penurunan Ht
dll).
4) Anjurkan pasien untuk puasa, sesuai dengan kebutuhan.
g. Kolaboratif.
1) Lakukan dialisis, jika diindikasikan.

31
2) Konsultasikan dengan ahli gizi untuk pemberian diet
dengan kandungan protein yang adekuat dan pembatasan
natrium.
3) Konsultasikan ke dokter jika tanda dan gejala kelebihan
volume cairan menetap atau menuntut.
4) Berikan deuretik, jika perlu.
4. Penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidakseimbangan
volume sirkulasi, ketidakseimbangan elektrolit, aritmia (takikardia,
dradikardia), perubahan polla ekg, eodema, keletihan, penurunan
atau penurunan tekanan sentral (CVP), distensi vena jugularis,
murmor, denyut perifer menurun, dispnea, oliguria, perubahan
warna kulit, penurunan curah jantung, ansietas, gelisah.
Tujuan :
Penurunan curah jantung tidak sensitif terhadap isu keperawatan.
Kriteria hasil :
Pasien akan :
a. Mempunyai indeks jantung dalam batas normal.
b. Mempunyai haluaran urin, berat jenis urin, BUN dan kreatinin
plasma dalam batas normal.
c. Mempunyai warna kulit yang normal.
d. Menunjukkan peningkatan toleransi aktivitas fisik.
Intervensi :
a. Kaji dan dokumentasikan tekanan darah, adanya sianosis, status
pernafasan, dan status mental.
b. Pantau tanda kelebihan cairan.
c. Regulasi hemodinamic (NIC):
1) Pantau fungsi pacemaker, bila perlu.
2) Pantau denyut perifer, pengisian ulang kapiler, dan suhu serta
warna ekstremitas.
3) Pantau asupan dan haluaran, haluaran urine, dan berat badan
pasien.

32
4) Pantau resistensi vaskular sistemik dan paru.
5) Auskultasi suara paru terhadap bunyi crackle atau suara
napas tambahan lainnya.
6) Pantau dan dokumentasikan frekuensi jantung, irama, dan
nadi.
d. Kolaboratif
1) Konsultasikan dengan dokter menyangkut parameter
pemberian atau penghentian obat tekanan darah.
2) Berikan dan titrasika obat antiaritmia, inotropik,
nitrogliserin, dsn vasodilator untuk mempertahan
kontraktilitas,preload, dan afterload sesuai protokol.
3) Berikan antikoagulan untuk mencegah pembentukan
trombus perifer, sesuai protokol.
4) Tingkatkan penurunan afterload sesuai dengan program
medis.
5. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah, pembatasan diet, dan
perubahan membran mukosa mulut ditandai dengan nyeri abdomen
(dengan atau tanpa penyakit), menolak makan, persepsi ketidak
mampuan untuk mencerna, melporkan perubahan sensasi rasa,
[adanya bukti ] kekurangan makanan, bising usus hiperaktif, kurang
minat terhadap makanan, tonus otot buruk.
Tujuan :
Memperlihatkan status gizi yang stabil.
Kriteria hasil :
Pasien akan :
a. Mempertahankan berat badan (Kg) dan bertambah (Kg).
b. Menoleransi diet yang dianjurkan.
c. Mempertahankan massa tubuh dan berat badan dalam batas
normal.

33
d. Memiliki nilai laboratorium (misalnya, transperin, albumin, ,
dan elektrolit)
e. Melaporkaan tingkat energi yang adekuat.
Intervensi :
a. Tentukan motivasi pasien untuk mengubah kebiasaan makan.
b. Pantau nilai laboraturium, khususnya transferin, albumin dan
elektrolit.
c. Ajarkan pasien/keluarga tentang makanan yang bergizi dan
tidak mahal.
d. Manajemen nutrisi (NIC):
1) Ketahui makanan kesukaan pasien.
2) Tentukan kemampian pasien untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi.
3) Pantau kandungan nutrisi dan kalori pada catatan asupan.
4) Timbang pasien pada interval yang tepat.
5) Berikan informasi yang tepat tentang kebutuhannutrisi dan
bagaimana memenuhinya.
e. Kolaboratif.
1) Diskusikan dengan ahli gizi dalam menentukan kebutuhan
nutrisi yang tepat untuk pasien.
2) Diskusikan dengan dokter tentang stimulasi nafsu makan,
makanan pelengkap, pemberian makanan melalui selang,
atau nutrisi parenteral total agar kalori yang adekuat dapat
dipertahankan.
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi
produk sampah dan prosedur dialysis ditandai dengan
ketidaknyamanan atau dispnea saat beraktivitas, melaporkan
keletihan atau kelemahan secara verbal, frekuensi jantung atau
tekanan darah tidak normal sebagai respon terhadap aktivitas,
perubahan EKG yang menunjukkan aritmia atau iskemia.

34
Tujuan :
Menoleransi aktivitas yang biasa dilakukan, yang dibiktikan oleh
toleransi aktivitas, ketahanan, penghematan energi, kebugaran
fisik, energi psikomotorik, dan aktivitas perawatan diri: Aktivitas
Kehidupan Sehari-hari (AKS).
Kriteria Hasil:
Pasien akan :
a. Mengidentifikasi aktivitas atau situasi yang menimbulkan
kecemasan yang dapat mengakibatkan intoleransi aktivitas.
b. Berpartisipasi dalam aktivitas fisik yang dibutuhkan dengan
peningkatan normaldenyut jantun, frekuensi pernafasan, dan
tekanan darah serta yanmemantau pola dalam batas normal.
c. Pada (tanggal target) akan mencapai tingkt aktivitas (uraikan
tingkat yang diharapkan dari daftar pada saran penggunaan).
d. Mengungkapkan secara verbal pemahaman tentang
kebutuhan oksigen, obat, dan atau peralatan yang dapat
meningkatkan toleransi akibat terhadap toleransi.
e. Menampilkan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) dengan
beberapa bantuan (misalnya,eliminasi dengan bantuan
ambulasi ke kamar mandi).
Intervensi :
a. Kaji tingkat kemampuan pasien untuk berpindah dari tempat
tidur, berdiri, ambulasi, dan melakukan AKS.
b. Kaji respon emosi, sosial, dan spiritual terhadap aktivitas.
c. Evaluasi motivasi dan keinginan pasien untuk meningkatkan
aktivitas.
d. Hindari menjadwalkan pelaksanaan aktivitas selama periode
istirahat.
e. Bantu pasien untuk mengubah posisi secara berkala, bersandar,
duduk, berdiri, dan ambulasi, sesuai toleransi.
f. Pantau tanda-tanda vital, sebelum, selama, dan setelah aktivitas.

35
g. Rencanakan aktivitas bersama pasien dan keluarga yang
meningkatkan kemandirian dan ketahanan.
h. Mengenali tanda dan gejala intoleransi aktivitas, termasuk
kondisi yang perlu dilaporkan kepada dokter. (Penyuluhan
kepada keluarga pasien)
i. Pentingnya nutrisi yang baik. (Penyuluhan kepada keluarga
pasien)
j. Penggunaan peralatan, seperti oksigen, selama aktivitas.
(Penyuluhan kepada keluarga pasien)
k. Manajemen energi (NIC) :
1) Tentukan penyebab keletihan (misalnya, perawatan, nyeri,
dan pengobatan).
2) Pantau respons kardiorespiratorik terhadap aktivitas
(misalnya, takikardia, disritmia, dispnea, pucat, dll)
3) Pantau asupan snutrisi untuk memastikan sumber-sumber
energi yang adekuat.
4) Pantau dan dokumentasikan pola tidur pasien dan lamanya
waktu tidur dalam jam.
l. Kolaboratif:
1) Berikan pengobatan nyeri sebelum aktivitas, apabila nyeri
merupakan salah satu faktor penyebab.
2) Rujuk pasien ke ahli gizi untuk perencanaan diet guna
meningkatkan asupan makanan yang kaya energi.
7. Risiko kerusakan integritas kulit terhadap gangguan status
metabolik, sirkulasi ( anemia dan iskemia jaringan) dan sensasi
ditandai dengan eodema, perubahan pigmentasi,perubahan turgor
kulit (yaitu perubahan elastisitas).
Tujuan :
Tidak terjadi gangguan integritas kulit.

36
Kriteria hasil :
Pasien akan :
a. Mendemonstrasikan aktivitas perawatan kulit yang efektif.
b. Memiliki nadi kuat dan simetris.
c. Memiliki warna kulit normal.
d. Memiliki suhu tubuh normal.
Intervensi :
a. Kaji adanya faktor resiko yang dapat menyebabkan kerusakan
kulit.
b. Surveilans kulit (NIC).
Pantau kulit terhadap :
1) Ruam dan lecet.
2) Warna dan suhu.
3) Kelembapan dan kekeringan yang berlebihan.
4) Area kemerahan dan rusak.

2.2.4 Implementasi keperawatan


Pelaksanaan adalah relisasi rencana tindakan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan juga meliputi
pengumpulan data berkelanjutan, mengobservasi respon klien selama
dan sesudah pelaksanaan tindakan, dan menilai data yang baru.

37
2.2.5 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah penilaian dengan membandingkan perubahan
keadaan pasien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil
yang dibuat pada tahap perancanaan. Evaluasi yang dapat dilakukan
pada kasus ini adalah:
a. Pola nafas klien menjadi efektif.
b. Nyeri yang dialami klien terkendali.
c. Masalah kelebihan volume cairan terkonrol.
d. Curah jantung klien terkontrol dan tidak mengalami penurunan.
e. Masalah ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
teratasi.
f. Tidak terjadi intoleransi aktivitas pada klien.
g. Tidak terjadi risiko kerusakan integritas kulit.

38
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Gagal ginjal kronis adalah penyakit ginjal tahap akhir yang terjadi
secara progresif dan irreversible yang disebabkan oleh : Penyebab pre-renal,
Penyebab renal, Penyebab post renal dan biasanya ditantai dengan :
Perubahan berkemih, Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam
basa, Sindrom uremia ,Gangguan kardiovaskuler, Gangguan pernafasan dan
lain-lain.

3.2 Saran
Agar kita tidak terkena penyakit gagal ginjal kronis marilah kita jaga
ginjal kita dengan membudayakan hidup sehat dalam kehidupan sehari
dengan meminum air putih yang cukup, olahraga, memakan makanan yang
sehta dan bergizi dan istirahat yang cukup.

39
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8.


Jakarta: EGC.

Chang, dkk,. 2010. Patofisiologi Aplikasi pada Praktik Keperawatan.


Jakarta: EGC.

Hinchliff, Sue.1999. Kamus Keperawatan Edisi 17. Jakarta: EGC.

Pearce, Evelyn G.2004. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta:


PT. Gramedia Pustaka Utama.

Price & Wilson.2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit


Volume 2. Jakarta: EGC.

Rohmah, Nikmatur dan Saiful Walid. 2010. Proses Keperawatan Teori


Dan Aplikasi. Jogjakarta : Ar-ruzz Media.

Smeltzer & Bare.2002. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth


Edisi 8. Jakarta: EGC.

Suyono, Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I
II. Jakarta.: Balai Penerbit FKUI.

Syaifuddin.2011. Anatomi Tubuh Manusia untuk Mahasiswa Keperawatan


Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.

Wilkinson, Judith. M dan Nancy R. Ahern.2011. Buku Saku Diagnosis


Keperawatan: Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil
NOC. Jakarta : EGC.

40
41

Anda mungkin juga menyukai