Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit gagal ginjal kronis adalah penurunan progresif fungsi ginjal dalam
beberapa bulan atau tahun. Penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai
kerusakan ginjal dan/atau penurunan Glomorular Filtration Rate (GFR) kurang
dari 60 mL/min/1,73 m2 selama minimal 3 bulan (Kidney Disease Improving
Global Outcomes, KDIGO 2012 Clinical Practice Guidline for the Evaluation
and Management). Kerusakan ginjal adalah setiap kelainan patologis atau
penanda kerusakan ginjal, termasuk kelainan darah, urin atau studi pencitraan
(Kemenkes, 2017).
Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan masalah kesehatan masyarakat
global dengan prevalens dan insidens gagal ginjal yang meningkat, prognosis
yang buruk dan biaya yang tinggi. Prevalensi PGK meningkat seiring
meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut dan kejadian penyakit diabetes
melitus serta hipertensi. Hasil systematic review dan metaanalysis yang
dilakukan oleh Hill et al, 2016, mendapatkan prevalensi global PGK sebesar
13,4%. Menurut hasil Global Burden of Disease tahun 2010, PGK merupakan
penyebab kematian peringkat ke-27 di dunia tahun 1990 dan meningkat menjadi
urutan ke-18 pada tahun 2010. Sedangkan di Indonesia, perawatan penyakit
ginjal merupakan ranking kedua pembiayaan terbesar dari BPJS kesehatan
setelah penyakit jantung.
Tindakan medis yang dilakukan penderita penyakit gagal ginjal adalah
dengan melakukan terapi dialisis tergantung pada keluhan pasien dengan kondisi
kormobid dan parameter laboratorium, kecuali bila sudah ada donor hidup yang
ditentukan, keharusan transplantasi terhambat oleh langkanya pendonor. Pilihan
terapi dialisis meliputi hemodialisis dan peritoneal dialisis (Hartono, 2013).
Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam
keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari
hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir

1
2

atau end stage renal disease (ESRD) yang memerlukan terapi jangka panjang
atau permanen. Tujuan hemodialisis adalah untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen
yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan (Suharyanto
dan Madjid, 2009).
Pada proses hemodialisa, banyak pasien yang mengalami komplikasi-
komplikasi saat atau setelah hemodialisa seperti hipotensi, kelemahan otot, dan
edema. Penting bagi perawat untuk selalu mengobservasi agar dapat
meminimalkan komplikasi pasien.
Karena latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk memberikan asuhan
keperawatan kepada pasien Ny. E dengan Chronic Kidney Disease (CKD) di
ruangan Hemodialisa Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mampu mengobservasi pasien Ny. E selama menjalani proses hemodialisa
di ruangan Hemodialisa Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung.
2. Tujuan khusus
a. Dapat mengobservasi pasien Ny. E dan menyiapkan alat pre hemodialisa.
b. Dapat mengobservasi tanda-tanda vital pasien Ny. E selama proses
hemodialisa setiap jam.
c. Dapat mengobservasi tanda-tanda vital dan menghitung balance cairan
pasien Ny. E setelah menjalani proses hemodialisa.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Gagal Ginjal Kronis
1. Definisi
Penyakit gagal ginjal kronis adalah penurunan progresif fungsi ginjal
dalam beberapa bulan atau tahun. Penyakit ginjal kronis didefinisikan
sebagai kerusakan ginjal dan/atau penurunan Glomorular Filtration Rate
(GFR) kurang dari 60 mL/min/1,73 m2 selama minimal 3 bulan (Kidney
Disease Improving Global Outcomes, KDIGO 2012 Clinical Practice
Guidline for the Evaluation and Management). Kerusakan ginjal adalah
setiap kelainan patologis atau penanda kerusakan ginjal, termasuk
kelainan darah, urin atau studi pencitraan (Kemenkes, 2017).
Penyakit ginjal kronis merupakan kondisi ginjal yang tidak dapat
menyaring darah sebagaimana mestinya dan dapat menyebabkan
kerusakan pada organ lainnya. Penyebab dari penyakit ginjal kronis
terbanyak adalah diabetes mellitus dan hipertensi. Apabila penyakit
ginjal kronis ini tidak tertangani dengan maksimal akan menyebabkan
penyakit ginjal terminal. Penyakit ginjal terminal (End-Stage Renal
Disease) adalah kondisi ginjal yang sudah tidak berfungsi dan perlu
dilakukan dialisis (National Kidney Foundation, 2012).
Gagal ginjal kronis merupakan gangguan fungsi renal yang progresif
dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi
uremia (Smeltzer, Suzanne C, 2002).
2. Stadium Gagal Ginjal Kronis
Pembagian stadium gagal ginjal kronik menurut Smletzer (2002) :
a. Stadium I
Stadium I ini disebut dengan penurunan cadangan ginjal, tahap inilah
yang paling ringan, dimana faal ginjal masih baik. Pada tahap ini
penderita ini belum merasakan gejala-gejala dan

3
4

pemeriksaan laboratorium faal ginjal masih dalam batas normal.


Selama tahap ini kreatinin serum dan kadar BUN (Blood Urea
Nitrogen) dalam batas normal dan penderita asimtomatik, laju
filtrasi glomerolus/glomeruler Filtration rate (GFR) < 50 % dari
normal, bersihan kreatinin 32,5-130 ml/menit. Gangguan fungsi
ginjal mungkin hanya dapat diketahui dengan memberikan beban
kerja yang berat, sepersti tes pemekatan kemih yang lama atau
dengan mengadakan test GFR yang teliti.
b. Stadium II
Stadium II ini disebut dengan Insufiensi ginjal, pada tahap ini lebih
dari 75 % jaringan yang berfungsi telah rusak, GFR besarnya 25 %
dari normal, kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal.
Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda beda, tergantung dari
kadar protein dalam diit. Pada stadium ini kadar kreatinin serum
mulai meningkat melebihi kadar normal. Pasien mengalami nokturia
dan poliuria, perbandingan jumlah kemih siang hari dan malam hari
adalah 3:1 atau 4:1, bersihan kreatinin 10-30 ml/menit. Poliuria
akibat gagal ginjal biasanya lebih besar pada penyakit yang terutama
menyerang tubulus, meskipun poliuria bersifat sedang dan jarang
lebih dari 3 liter/hari. Biasanya ditemukan anemia pada gagal ginjal
dengan faal ginjal diantara 5 %-25 % . faal ginjal jelas sangat
menurun dan timbul gejala gejala kekurangan darah, tekanan darah
akan naik, aktifitas penderita mulai terganggu.
c. Stadium III
Stadium ini disebut gagal ginjal tahap akhir atau uremia, timbul
karena 90% dari massa nefron telah hancur atau sekitar 200.000
nefron yang utuh, Nilai GFR nya 10% dari keadaan normal dan
kadar kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml/menit atau kurang, uremia
akan meningkat dengan mencolok dan kemih isoosmosis. Pada
stadium akhir gagal ginjal, penderita mulai merasakan gejala yang
cukup parah karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan
5

homeostatis caiaran dan elektrolit dalam tubuh. Penderita biasanya


menjadi oliguri (pengeluaran kemih) kurang dari 500/hari karena
kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula-mula
menyerang tubulus ginjal, kompleks perubahan biokimia dan gejala
gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem
dalam tubuh, dengan pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal
atau dialisis.
3. Etiologi
Menurut Price dan Wilson (2005) klasifikasi penyebab gagal ginjal
kronik adalah sebagai berikut :
a. Penyakit infeksi tubulointerstitial: Pielonefritis kronik atau refluks
nefropati
b. Penyakit peradangan: Glomerulonefritis
c. Penyakit vaskuler hipertensif: Nefrosklerosis benigna,
Nefrosklerosis maligna, Stenosis arteria renalis
d. Gangguan jaringan ikat: Lupus eritematosus sistemik, poliarteritis
nodosa, sklerosis sistemik progresif
e. Gangguan congenital dan herediter: Penyakit ginjal polikistik,
asidosis tubulus ginjal
f. Penyakit metabolik: Diabetes mellitus, gout, hiperparatiroidisme,
amiloidosis
g. Nefropati toksik: Penyalahgunaan analgesi, nefropati timah
h. Nefropati obstruktif: Traktus urinarius bagian atas (batu/calculi,
neoplasma, fibrosis, retroperitineal), traktus urinarius bawah
(hipertropi prostat, striktur uretra, anomaly congenital leher vesika
urinaria dan uretra)

4. Anatomi dan Fisiologi Ginjal


6

a. Anatomi ginjal

Gambar 2.1 Letak Ginjal


Anatomi ginjal menurut price dan Wilson (2005) dan Smletzer
dan Bare (2001), ginjal merupakan organ berbentuk seperti kacang
yang terletak pada kedua sisi kolumna vertebralis. Ginjal kanan
sedikit lebih rendah dibandingkan ginjal kiri karena tekanan ke
bawah oleh hati. Katub atasnya terletak setinggi iga kedua belas.
Sedangkan katub atas ginjal kiri terletak setinggi iga kesebelas.
Ginjal dipertahankan oleh bantalan lemak yang tebal agar terlindung
dari trauma langsung, disebelah posterior dilindungi oleh iga dan
otot-otot yang meliputi iga, sedangkan anterior dilindungi oleh
bantalan usus yang tebal. Ginjal kiri yang berukuran normal biasanya
tidak teraba pada waktu pemeriksaan fisik karena dua pertiga atas
permukaan anterior ginjal tertutup oleh limfa, namun katub bawah
ginjal kanan yang berukuran normal dapat diraba secara bimanual.
Ginjal terbungkus oleh jaringan ikat tipis yang dikenal sebagai
kapsula renis. Disebelah anterior ginjal dipisahkan dari kavum
abdomen dan isinya oleh lapisan peritoneum. Disebelah posterior
organ tersebut dilindungi oleh dinding toraks bawah. Darah dialirkan
7

kedalam setiap ginjal melalui arteri renalis dan keluar dari dalam
ginjal melalui vena renalis. Arteri renalis berasal dari aorta
abdominalis dan vena renalis membawa darah kembali kedalam vena
kava inferior.
Pada orang dewasa panjang ginjal adalah sekitar 12 sampai 13 cm
(4,7-5,1 inci) lebarnya 6 cm (2,4 inci) tebalnya 2,5 cm (1 inci) dan
beratnya sekitar 150 gram. Permukaan anterior dan posterior katub
atas dan bawah serta tepi lateral ginjal berbentuk cembung sedangkan
tepi lateral ginjal berbentk cekung karena adanya hilus.

Gambar 2.2 Anatomi Ginjal


Apabila dilihat melalui potongan longitudinal, ginjal terbagi
menjadi dua bagian yaitu korteks bagian luar dan medulla di bagian
dalam. Medulla terbagi-bagi menjadi biji segitiga yang disebut
piramid, piranid-piramid tersebut diselingi oleh bagian korteks yang
disebut kolumna bertini. Piramid-piramid tersebut tampak bercorak
karena tersusun oleh segmen-segmen tubulus dan duktus pengumpul
nefron. Papilla (apeks) dari piramid membentuk duktus papilaris
bellini dan masukke dalam perluasan ujung pelvis ginjal yang disebut
kaliks minor dan bersatu membentuk kaliks mayor, selanjutnya
membentuk pelvis ginjal.
8

Gambar 2.3 Penampang Ginjal


Ginjal tersusun dari beberapa nefron. Struktur halus ginjal terdiri
atas banyak nefron yang merupakan satuan fungsional ginjal,
jumlahnya sekitar satu juta pada setiap ginjal yang pada dasarnya
mempunyai struktur dan fungsi yang sama. Setiap nefron terdiri dari
kapsula bowmen yang mengintari rumbai kapiler glomerulus,
tubulus kontortus proksimal, lengkung henle dan tubulus kontortus
distal yang mengosongkan diri ke duktus pengumpul. Kapsula
bowman merupakan suatu invaginasi dari tubulus proksimal.
Terdapat ruang yang mengandung urine antara rumbai kapiler dan
kapsula bowman dan ruang yang mengandung urine ini dikenal
dengan nama ruang bowmen atau ruang kapsular. Kapsula bowman
dilapisi oleh sel - sel epitel. Sel epitel parielalis berbentuk gepeng dan
membentuk bagian terluar dari kapsula, sel epitel veseralis jauh lebih
besar dan membentuk bagian dalam kapsula dan juga melapisi bagian
luar dari rumbai kapiler. Sel viseral membentuk tonjolan - tonjolan
atau kaki - kaki yang dikenal sebagai pedosit, yang bersinggungan
dengan membrana basalis pada jarak - jarak tertentu sehingga
terdapat daerah-daerah yang bebas dari kontak antar sel epitel.
Daerah - daerah yang terdapat diantara pedosit biasanya disebut celah
pori - pori.
9

Gambar 2.4 Anatomi Nefron


Vaskulari ginjal terdiri dari arteri renalis dan vena renalis. Setiap
arteri renalis bercabang waktu masuk kedalam hilus ginjal. Cabang
tersebut menjadi arteri interlobaris yang berjalan diantara pyramid
dan selanjutnya membentuk arteri arkuata yang melengkung
melintasi basis pyramid-piramid ginjal. Arteri arkuata kemudian
membentuk arteriola-arteriola interlobaris yang tersusun oleh
parallel dalam korteks, arteri ini selanjutnya membentuk arteriola
aferen dan berakhir pada rumbai-rumbai kapiler yaitu glomerolus.
Rumbai-rumbai kapiler atau glomeruli bersatu membentuk arteriola
eferen yang bercabang-cabang membentuk sistem portal kapiler yang
mengelilingi tubulus dan kapiler peritubular.
10

Gambar 2.5 Anatomi Glomerulus


Darah yang mengalir melalui system portal akan dialirkan ke
dalam jalinan vena menuju vena intelobaris dan vena renalis
selanjutnya mencapai vena kava inferior. Ginjal dilalui oleh darah
sekitar 1.200 ml permenit atau 20%-25% curah jantung (1.500
ml/menit).
b. Fisiologi ginjal
1) Fungsi ginjal
Menurut Price dan Wilson (2005), ginjal mempunyai berbagai
macam fungsi yaitu ekskresi dan fungsi non-ekskresi. Fungsi
ekskresi diantaranya adalah :
a) Mempertahankan osmolaritas plasma sekitar 285 mOsmol
dengan mengubah-ubah ekskresi air.
b) Mempertahankan kadar masing-masing elektrolit plasma
dalam rentang normal.
c) Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan
mengeluarkan kelebihan H+ dan membentuk kembali HCO3
d) Mengekresikan produk akhir nitrogen dari metabolism
protein, terutama urea, asam urat dan kreatinin.
Sedangkan fungsi non-ekresi ginjal adalah :
a) Menghasilkan rennin yang penting untuk pengaturan tekanan
darah.
11

b) Menghasilkan eritropoetin sebagai factor penting dalam


stimulasi produksi sel darah merah olehsumsum tulang
c) Metabolism vitamin D menjadi bentuk aktifnya.
d) Degradasi insulin.
e) Menghasilkan prostaglandin
2) Fisiologi pembentukan urine
Pembentukan urine diginjal dimulai dari proses filtrasi plasma
pada glomerolus. Sekitar seperlima dari plasma atau 125
ml/menit plasma dialirkan di ginjal melalui glomerolus ke
kapsula bowman. Halini dikenal dengan istilah laju filtrasi
glomerolus/glomerular filtration rate (GFR) dan proses filtrasi
pada glomerolus disebut ultrafiltrasi glomerulus. Tekanan darah
menentukan beberapa tekanan dan kecepatan alirn darah yang
melewati glomeruls. Ketika darah berjalan melewati struktur ini,
filtrasi terjadi. Airdan molekul-molekul yang kecila akan dibiarka
lewat sementara molekul-molekul besar tetap bertahan dalam
aliran darah. Cairan disaring melalui dinding jonjot-jonjot
kapilerglomerulus dan memasukitubulus.cairan ini disebut
filtrate. Filrat terdiri dari air, elektrolit dan molekul kecil lainnya.
Dalam tubulus sebagian substansi ini secara selektif diabsobsi
ulang kedalam darah. Substansi lainnya diekresikan dari darah
kedalam filtrat ketika filtrat tersebut mengalir di sepanjang
tubulus. Filtrate akan dipekatkan dalam tubulus distal serta
duktud pengumpul dan kemudian menjadi urine yang akan
mencapai pelvis ginjal.
Sebagian substansi seperti glukosa normalnya akan diabsorbsi
kembali seluruhnya dalam tubulus dan tidak akan terlihat dalam
urine. Berbagai substansi yang secara normal disaring oleh
glomerulus, diabsorbsi oleh tubulus dan diekresikan kedalam
urine mencakup natrium, klorida, bikarbinat, kalium, glukosa,
ureum, kreatinin dan asam urat.
12

Terdapat 3 proses penting yang berhubungan dengan proses


pembentukan urine, yaitu :
a) Filtrasi (penyaringan) : kapsula bowman dari badan malpighi
menyaring darah dalam glomerus yang mengandung air,
garm, gula, urea dan zat bermolekul besar (protein dan sel
darah) sehingga dihasilkan filtrat glomerus (urine primer). Di
dalam filtrat ini terlarut zat yang masih berguna bagi tubuh
maupun zat yang tidak berguna bagi tubuh, misal glukosa,
asm amino dan garam-garam.
b) Reabsorbsi (penyerapan kembali) : dalam tubulus kontortus
proksimal zat dalam urine primer yang masih berguna akan
direabsorbsi yang dihasilkan filtrat tubulus (urine sekunder)
dengan kadar urea yang tinggi.
c) Ekskesi (pengeluaran) : dalam tubulus kontortus distal,
pembuluh darah menambahkan zat lain yang tidak digunakan
dan terjadi reabsornsi aktif ion Na+ dan Cl- dan sekresi H+
dan K+. Di tempat sudah terbentuk urine yang sesungguhnya
yang tidak terdapat glukosa dan protein lagi, selanjutnya
akan disalurkan ke tubulus kolektifus ke pelvis renalis
Fungsi lain dari ginjal yaitu memproduksi renin yang berpperan
dalam pengaturan tekanan darah. Apabila tekanan darah turun, maka
sel-sel otot polos meningkatkan pelelepasan reninnya. Apabila
tekanan darah naik maka sel - sel otot polos mengurangi pelepasan
reninnya. Apabila kadar natrium plasma berkurang, maka sel-sel
makula dansa memberi sinyal pada sel-sel penghasil renin untuk
meningkatkan aktivitas mereka. Apabila kadar natrium plasma
meningkat, maka sel-sel makula dansa memberi sinyal kepada otot
polos untuk menurunkan pelepasan renin. Setelah renin beredar
dalam darah dan bekerja dengan mengkatalisis penguraian suatu
protein kecil yaitu angiotensinogen menjadi angiotensin I yang
terdiri dari 10 asam amino, angiotensinogen dihasikna oleh hati dan
13

konsentrasinya dalam darah tinggi. Pengubahan angiotensinogen


menjadi angiotensin I berlangsung diseluruh plasma, tetapi terutama
dikapiler paru-paru. Angoitensi I kemudian dirubah menjadi
angiotensin II oleh suatu enzim konversi yang ditemukan dalam
kapiler paru-paru. Angiotensin II meningkatkan tekanan darah
melalui efek vasokontriksi arteriola perifer dan merangsang sekresi
aldosteron. Peningkatan kadar aldosteron akan merangsang
reabsorbsi natrium dalam tubulus distal dan duktus pengumpul
selanjutnya peningkatan reabsorbsi natrium mengakibatkan
peningkatan reabsorbsi air, dengan demikian volume plasma akan
meningkat yang ikut berperan dalam peningkan tekanan darah yang
selanjutnya akan mengurangi iskemia ginjal.
5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik menurut Price dan Wilson (2005), Smeltzer dan
Bare (2001), dapat dilihat dari berbagai fungsi system tubuh yaitu :
a. Manifestasi kardiovaskuler : hipertensi, pitting edema, edema
periorbital, friction rub pericardial, pembesaran vena leher, gagal
jantung kongestif, perikarditis, disritmia, kardiomiopati, efusi
pericardial, temponade pericardial.
b. Gejala dermatologis/system integumen : gatal-gatal hebat (pruritus),
warna kulit abu-abu, mengkilat dan hiperpigmentasi, serangan
uremik tidak umum karena pengobatan dini dan agresif, kulit kering,
bersisik, ecimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar,
memar (purpura).
c. Manifestasi pada pulmoner yaitu krekels, edema pulmoner,sputum
kental dan liat,nafas dangkal, pernapasan kusmaul, pneumonitis
d. Gejala gastrointestinal : nafas berbau ammonia, ulserasi dan
perdarahan pada mulut, anoreksia, mual, muntah dan cegukan,
penurunan aliran saliva, haus, rasa kecap logam dalam mulut,
kehilangan kemampuan penghidu dan pengecap, parotitis dan
14

stomatitis, peritonitis, konstipasi dan diare, perdarahan darisaluran


gastrointestinal.
e. Perubahan musculoskeletal : kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur
tulang, kulai kaki (foot drop).
f. Manifestasi pada neurologi yaitu kelemahan dan keletihan, konfusi,
disorientasi, kejang, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada
tungkai kaki, perubahan tingkah laku, kedutan otot, tidak mampu
berkonsentrasi, perubahan tingkat kesadaran, neuropati perifer
g. Manifestasi pada system repoduktif : amenore, atropi testikuler,
impotensi, penurunan libido, kemandulan
h. Manifestasi pada hematologic yaitu anemia, penurunan kualitas
trombosit, masa pembekuan memanjang, peningkatan
kecenderungan perdarahan.
i. Manifestasi pada system imun yaitu penurunan jumlah leukosit,
peningkatan resiko infeksi.
j. Manifestasi pada system urinaria yaitu perubahan frekuensi
berkemih, hematuria, proteinuria, nocturia, aliguria.
k. Manifestasi pada sisitem endokrin yaitun hiperparatiroid dan
intoleran glukosa.
l. Manifestasi pada proses metabolic yaitu peningkatan urea dan serum
kreatinin (azotemia), kehilangan sodium sehingga terjadi : dehidrasi,
asidosis, hiperkalemia, hipermagnesemia dan hipokalsemia.
m. Fungsi psikologis yaitu perubahan kepribadian dan perilaku serta
gangguan proses kognitif.
15

6. Patofisiologi

Infeksi Vaskuler Zat toksik Obstruksi sal. kemih

Reaksi Antigen Arterosklerosis Tertimbun di


Retensi urin Penumpukan kristal
antibodi ginjal
batu
Suplai darah ke
ginjal
Menekan saraf
perifer

GFR turun
Nyeri pinggang

Sekresi ureum terganggu Retensi Na, K, H2O Sekresi eritropoietin Sekresi amonia ↓

Sekresi protein dalam Ekstrasel Hb ↓ Absorpsi HCO3- ↓


tubuh terganggu
Interstisial ↑ O2 dan nutrisi ↓ Sekresi asam ↓
Albumin ↓
Globulin ↓ Edema Asidosis metabolik

Ureum tinggi
dalam darah

Sindrom uremia
16

Sindrom uremia

Gangguan Ureum Ureum Lesi di


keseimbangan tertimbun di berlebih mulut
asam basa di air liur
Perdarahan
Pruritus Kulit abu-
Menekan lambung Fermentasi di mulut
abu
oleh bakteri
mengkilat
Produksi asam lambung mulut

Asam lambung Amoniak

Bau mulut
Mual Iritasi
muntah lambung

Gastritis Perdarahan

Mual Hematisis
muntah
Anemia
17

Retensi Na, K, H2O

Perubahan Kadar kalium Penyerapan di


keseimbangan tinggi dalam sel usus
membran sel neuron
Kerja jantung Diare
Lepas muatan
listrik
Repolarisasi jantung

Kejang Gelombang T
tinggi pada EKG
18

O2 dan nutrisi

Asidosis Anemia Otot kekurangan Suplai O2 dan


nutrisi nutrisi
Sesak Sekresi hormon
adrenal Otot tidak dapat Kurang kesadaran
kontraksi

Angiotensin II
berlebih di ginjal
Lemah, lesu Kram otot

Vasokontriksi
arteri renalis

Curah jantung Hipertrofi


ventrikel kiri
Tekanan darah
Payah jantung kiri

Bendungan
atrium kiri naik

Tekanan vena Kapiler Edema Sesak


pulmonalis paru naik paru
19

7. Komplikasi
Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut Smletzer dan Bare
(2001) yaitu :
a. Hiperkalemia akibat penurunan eksresi, asidosis metabolic,
katabolisme dan masukan diet berlebihan.
b. Perikarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system
rennin-angiostensin-aldosteron.
d. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel
darah merah, perdarahan gastrointestinalakibat iritasi oleh toksin dan
kehilangan darah selama hemodialisis.
e. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatic akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolism vitamin D abnormal dan
peningkatan kadar alumunium.
8. Pemeriksaan Diagnostik
Kerusakan ginjal dapat dideteksi secara langsung maupun tidak
langsung. Bukti langsung kerusakan ginjal dapat ditemukan pada
pencitraan atau pemeriksaan histopatologi biopsi ginjal. Pencitraan
meliputi ultrasonografi, computed tomography (CT), magnetic
resonance imaging (MRI), dan isotope scanning dapat mendeteksi
beberapa kelainan struktural pada ginjal. Histopatologi biopsi renal
sangat berguna untuk menentukan penyakit glomerular yang mendasari
(Scottish Intercollegiate Guidelines Network, 2008).
Bukti tidak langsung pada kerusakan ginjal dapat disimpulkan dari
urinalisis. Inflamasi atau abnormalitas fungsi glomerulus menyebabkan
kebocoran sel darah merah atau protein. Hal ini dideteksi dengan adanya
hematuria atau proteinuria (Scottish Intercollegiate Guidelines Network,
2008). Penurunan fungsi ginjal ditandai dengan peningkatan kadar ureum
dan kreatinin serum. Penurunan GFR dapat dihitung dengan
20

mempergunakan rumus Cockcroft-Gault (Suwitra, 2009). Penggunaan


rumus ini dibedakan berdasarkan jenis kelamin (Willems et al., 2013).

Pengukuran GFR dapat juga dilakukan dengan menggunakan rumus


lain, salah satunya adalah CKD-EPI creatinine equation (National
Kidney Foundation, 2015).

Keterangan :
κ wanita = 0,7
κ pria = 0,9
α wanita = - 0,329
α pria = - 0,441
Scr = kreatinin serum (mg/dL)

Selain itu fungsi ginjal juga dapat dilihat melalui pengukuran Cystatin
C. Cystatin C merupakan protein berat molekul rendah (13kD) yang
disintesis oleh semua sel berinti dan ditemukan diberbagai cairan tubuh
manusia. Kadarnya dalam darah dapat menggambarkan GFR sehingga
Cystatin C merupakan penanda endogen yang ideal (Yaswir & Maiyesi,
2012).
9. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan untuk mengatasi penyakit gagal ginjal kronik
menurut Smeltzer dan Bare (2001) yaitu :
a. Penatalaksanaan untuk mengatasi komplikasi
21

1) Hipertensi diberikan antihipertensi yaitu Metildopa (Aldomet),


Propanolol (Inderal), Minoksidil (Loniten), Klonidin
(Catapses), Beta Blocker, Prazonin (Minipress), Metrapolol
Tartrate (Lopressor).
2) Kelebihan cairan diberikan diuretic diantaranya adalah
Furosemid (Lasix), Bumetanid (Bumex), Torsemid, Metolazone
(Zaroxolon), Chlorothiazide (Diuril).
3) Peningkatan trigliserida diatasi dengan Gemfibrozil.
4) Hiperkalemia diatasi dengan Kayexalate, Natrium Polisteren
Sulfanat.
5) Hiperurisemia diatasi dengan Allopurinol
6) Osteodistoofi diatasi dengan Dihidroksiklkalsiferol, alumunium
hidroksida.
7) Kelebihan fosfat dalam darah diatasi dengan kalsium karbonat,
kalsium asetat, alumunium hidroksida.
8) Mudah terjadi perdarahan diatasi dengan desmopresin, estrogen
9) Ulserasi oral diatasi dengan antibiotic.
b. Intervensi diet yaitu diet rendah protein (0,4-0,8 gr/kgBB), vitamin
B dan C, diet tinggi lemak dan karbohirat
c. Asidosis metabolic diatasi dengan suplemen natrium karbonat.
d. Abnormalitas neurologi diatasi dengan Diazepam IV (valium),
fenitonin (dilantin).
e. Anemia diatasi dengan rekombion eritropoitein manusia (epogen IV
atau SC 3x seminggu), kompleks besi (imferon), androgen
(nandrolan dekarnoat/deca durobilin) untuk perempuan, androgen
(depo-testoteron) untuk pria, transfuse Packet Red Cell/PRC.
f. Cuci darah (dialisis) yaitu dengan hemodialisa maupun peritoneal
dialisa.
g. Transplantasi ginjal

B. Hemodialisa
22

1. Definisi
Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien
dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek
(beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit
ginjal stadium akhir atau end stage renal disease (ESRD) yang
memerlukan terapi jangka panjang atau permanen. Tujuan hemodialisis
adalah untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah
dan mengeluarkan air yang berlebihan (Suharyanto dan Madjid, 2009).
Hemodialisis adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi
sampah buangan. Hemodialisis digunakan bagi pasien dengan tahap
akhir gagal ginjal atau pasien berpenyakit akut yang membutuhkan
dialisis waktu singkat. Penderita gagal ginjal kronis, hemodialisis akan
mencegah kematian. Hemodialisis tidak menyembuhkan atau
memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya
aktivitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan dampak
dari gagal ginjal serta terapinya terhadap kualitas hidup pasien (Smeltzer,
Suzanne C,, 2006 ; Nursalam, 2006)
2. Tujuan
Terapi hemodialisis mempunyai beberapa tujuan. Tujuan tersebut
diantaranya adalah menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi
(membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin,
dan sisa metabolisme yang lain), menggantikan fungsi ginjal dalam
mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya dikeluarkan sebagai urin
saat ginjal sehat, meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita
penurunan fungsi ginjal serta Menggantikan fungsi ginjal sambil
menunggu program pengobatan yang lain (Suharyanto dan Madjid,
2009).
Dialisis didefinisikan sebagai difusi molekul dalam cairan yang
melalui membran semipermeabel sesuai dengan gradien konsentrasi
elektrokimia. Tujuan utama Hemodialisis adalah untuk mengembalikan
suasana cairan ekstra dan intrasel yang sebenarnya merupakan fungsi
23

dari ginjal normal. Dialisis dilakukan dengan memindahkan beberapa zat


terlarut seperti urea dari darah ke dialisat. dan dengan memindahkan zat
terlarut lain seperti bikarbonat dari dialisat ke dalam darah. Konsentrasi
zat terlarut dan berat molekul merupakan penentu utama laju difusi.
Molekul kecil, seperti urea, cepat berdifusi, sedangkan molekul yang
susunan yang kompleks serta molekul besar, seperti fosfat, β2-
microglobulin, dan albumin, dan zat terlarut yang terikat protein seperti
pcresol, lebih lambat berdifusi. Disamping difusi, zat terlarut dapat
melalui lubang kecil (pori-pori) di membran dengan bantuan proses
konveksi yang ditentukan oleh gradien tekanan hidrostatik dan osmotik
– sebuah proses yang dinamakan ultrafiltrasi (Cahyaning, 2009).
Ultrafiltrasi saat berlangsung, tidak ada perubahan dalam konsentrasi zat
terlarut; tujuan utama dari ultrafiltrasi ini adalah untuk membuang
kelebihan cairan tubuh total. Sesi tiap dialisis, status fisiologis pasien
harus diperiksa agar peresepan dialisis dapat disesuaikan dengan tujuan
untuk masing-masing sesi. Hal ini dapat dilakukan dengan menyatukan
komponen peresepan dialisis yang terpisah namun berkaitan untuk
mencapai laju dan jumlah keseluruhan pembuangan cairan dan zat
terlarut yang diinginkan. Dialisis ditujukan untuk menghilangkan
komplek gejala (symptoms) yang dikenal sebagai sindrom uremi (uremic
syndrome), walaupun sulit membuktikan bahwa disfungsi sel ataupun
organ tertentu merupakan penyebab dari akumulasi zat terlarut tertentu
pada kasus uremia (Lindley, 2011).
3. Prinsip Kerja Hemodialisa
Aliran darah pada hemodialisis yang penuh dengan toksin dan limbah
nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dializer tempat darah tersebut
dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Sebagian
besar dializer merupakan lempengan rata atau ginjal serat artificial
berongga yang berisi ribuan tubulus selofan yang halus dan bekerja
sebagai membran semipermeabel. Aliran darah akan melewati tubulus
tersebut sementara cairan dialisat bersirkulasi di sekelilingnya.
24

Pertukaran limbah dari darah ke dalam cairan dialisat akan terjadi melalui
membrane semipermeabel tubulus (Smeltzer, Suzanne C,, 2006).
Tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu difusi, osmosis,
ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui
proses difusi dengan cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi
tinggi, ke cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah (Lavey,
2011). Cairan dialisat tersusun dari semua elektrolit yang penting dengan
konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kelebihan cairan dikeluarkan dari
dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan
dengan menciptakan gradien tekanan, dimana air bergerak dari daerah
dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih
rendah (cairan dialisat). Gradient ini dapat ditingkatkan melalui
penambahan tekanan negative yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada
mesin dialisis. Tekanan negative diterapkan pada alat ini sebagai
kekuatan penghisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air
(Elizabeth, et all, 2011).
4. Akses Sirkulasi Darah Pasien
Akses pada sirkulasi darah pasien terdiri atas subklavikula dan
femoralis, fistula, dan tandur. Akses ke dalam sirkulasi darah pasien pada
hemodialisis darurat dicapai melalui kateterisasi subklavikula untuk
pemakaian sementara. Kateter femoralis dapat dimasukkan ke dalam
pembuluh darah femoralis untuk pemakaian segera dan sementara
(Barnett & Pinikaha, 2007).
Fistula yang lebih permanen dibuat melalui pembedahan (biasanya
dilakukan pada lengan bawah) dengan cara menghubungkan atau
menyambung (anastomosis) pembuluh arteri dengan vena secara side to
side (dihubungkan antara ujung dan sisi pembuluh darah). Fistula
tersebut membutuhkan waktu 4 sampai 6 minggu menjadi matang
sebelum siap digunakan (Brruner & Suddart, 2011). Waktu ini
diperlukan untuk memberikan kesempatan agar fistula pulih dan
segmenvena fistula berdilatasi dengan baik sehingga dapat menerima
25

jarum berlumen besar dengan ukuran 14-16. Jarum ditusukkan ke dalam


pembuluh darah agar cukup banyak aliran darah yang akan mengalir
melalui dializer. Segmen vena fistula digunakan untuk memasukkan
kembali (reinfus) darah yang sudah didialisis (Barnett & Pinikaha, 2007).
Tandur dapat dibuat dengan cara menjahit sepotong pembuluh darah
arteri atau vena dari materia gore-tex (heterograf) pada saat menyediakan
lumen sebagai tempat penusukan jarum dialisis. Ttandur dibuat bila
pembuluh darah pasien sendiri tidak cocok untuk dijadikan fistula
(Brunner & Suddart, 2008).
Terdapat 3 jenis teknik penusukan/insersi pada pasien dialisa, yaitu :
a. Teknik penusukan area
Jika penusukkan diulang pada area terbatas (teknik penusukkan area)
dilatasi aneurisma terbentuk pada area ini dan stenosis terbentuk pula
pada daerah sekitarnya. Lesi stenotik dan aneurismatik cenderung
progresif karena tekanan dan kecepatan penyebaran sesuai dengan
hukum Bernoulli hidrodinamik.

Gambar 2.6 Penusukan Area Kanul


b. Teknik penusukkan tangga/ladder
Teknik lain dengan menggunakan penusukkan yang disebar secara
sama sepanjang ukuran fistula (teknik penusukkan tangga
tali). Teknik tersebut menyebabkan dilatasi kecil sepanjang nya
namun tanpa dilatasi aneurismatik.
26

Gambar 2.7 Penusukan Rope Ladeer


c. Teknik Lubang Kancing/Buttton Hole
Teknik yang paling baik dengan cara penusukkan berulang pada
lokasi yang sama (metoda lokasi menetap = teknik penusukan lobang
kancing) karena teknik ini tidak menyebabkan dilatasi dan stenosis.

Gambar 2.8 Penusukan Buttonholes


5. Penatalaksanaan Pasien Hemodialisa
Hemodialisis merupakan hal yang sangat membantu pasien sebagai
upaya memperpanjang usia penderita. Hemodialisis tidak dapat
menyembuhkan penyakit ginjal yang diderita pasien tetapi hemodialisis
dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan pasien yang gagal ginjal
(Anita, 2012).
Pasien hemodialisis harus mendapat asupan makanan yang cukup agar
tetap dalam gizi yang baik. Gizi kurang merupakan prediktor yang
penting untuk terjadinya kematian pada pasien hemodialisis. Asupan
protein diharapkan 1-1,2 gr/kgBB/hari dengan 50 % terdiri atas asupan
protein dengan nilai biologis tinggi. Asupan kalium diberikan 40-70
27

meq/hari. Pembatasan kalium sangat diperlukan, karena itu makanan


tinggi kalium seperti buah-buahan dan umbi-umbian tidak dianjurkan
untuk dikonsumsi. Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah
urin yang ada ditambah insensible water loss. Asupan natrium dibatasi
40- 120 mEq.hari guna mengendalikan tekanan darah dan edema.
Asupan tinggi natrium akan menimbulkan rasa haus yang selanjutnya
mendorong pasien untuk minum. Bila asupan cairan berlebihan maka
selama periode di antara dialisis akan terjadi kenaikan berat badan yang
besar (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006).
Banyak obat yang diekskresikan seluruhnya atau atau sebagian
melalui ginjal. Pasien yang memerlukan obat-obatan (preparat glikosida
jantung, antibiotik, antiaritmia, antihipertensi) harus dipantau dengan
ketat untuk memastikan agar kadar obat-obatan ini dalam darah dan
jaringan dapat dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik.
Resiko timbulnya efek toksik akibat obat harus dipertimbangkan (Hudak
& Gallo, 2010).
6. Komplikasi
Komplikasi terapi dialisis mencakup beberapa hal seperti hipotensi,
emboli udara, nyeri dada, gangguan keseimbangan dialisis, dan pruritus.
Masing – masing dari point tersebut (hipotensi, emboli udara, nyeri dada,
gangguan keseimbangan dialisis, dan pruritus) disebabkan oleh beberapa
faktor. Hipotensi terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan.
Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat,
rendahnya dialisis natrium, penyakit jantung, aterosklerotik, neuropati
otonomik, dan kelebihan berat cairan. Emboli udara terjadi jika udara
memasuki sistem vaskuler pasien (Hudak & Gallo, 2010). Nyeri dada
dapat terjadi karena PCO₂ menurun bersamaan dengan terjadinya
sirkulasi darah diluar tubuh, sedangkan gangguan keseimbangan dialisis
terjadi karena perpindahan cairan serebral dan muncul sebagai serangan
kejang. Komplikasi ini kemungkinan terjadinya lebih besar jika terdapat
28

gejala uremia yang berat. Pruritus terjadi selama terapi dialisis ketika
produk akhir metabolisme meninggalkan kulit (Smelzer, 2008).
Terapi hemodialisis juga dapat mengakibatkan komplikasi sindrom
disekuilibirum, reaksi dializer, aritmia, temponade jantung, perdarahan
intrakranial, kejang, hemolisis, neutropenia, serta aktivasi komplemen
akibat dialisis dan hipoksemia, namun komplikasi tersebut jarang terjadi.
(Smeltzer, Suzanne C,, 2008).
7. Status Cairan Pada Pasien Hemodialisa
Status cairan merupakan suatu keadaan atau kondisi pada pasien untuk
menentukan kecukupan cairan dan terapi cairan selanjutnya. Status
cairan pada pasien gagal ginjal kronik dapat dimanifestasikan dengan
pemeriksaan edema, tekanan darah, kekuatan otot, nilai IDWG dan
biochemical marker yang meliputi natrium, kalium, kalsium,
magnesium, florida, bikarbonat dan fosfat (Istanti, 2011).
a. Edema
Edema didefinisikan sebagai akumulasi abnormal cairan di dalam
ruang interstitial (celah di antara sel) atau jaringan tubuh yang
menimbulkan pembengkakan. Pada kondisi yang normal secara
umum cairan tubuh yang terdapat di luar sel akan disimpan di dalam
dua ruangan yaitu pembuluh darah dan ruang – ruang interstitial.
Apabila terdapat gangguan pada keseimbangan pengaturan cairan
tubuh, maka cairan dapat berakumulasi berlebihan di dalam ruang
interstitial.
Edema yang terlihat pada gagal ginjal kronik dapat disebabkan oleh
berbagai hal. Ginjal sering tidak dapat mengeksresikan natrium yang
masuk melalui makanan dengan cepat, sehingga natrium akan
tertimbun dalam ruang ekstraseluler dan menarik air (Hidayati,
2012).
Derajat dari edema sendiri diklasifikasikan menjadi 4 yaitu derajat 1
jika edema menekan sedalam 1 - 3 mm akan kembali dengan cepat
(3 detik). Derajat 2 jika menekan lebih dalam 4mm dan akan kembali
29

dalam waktu 5 detik. derajat 3 jika menekan lebih dalam 5 – 7 mm


akan kemabli dalam waktu 7 detik, tampak bengkak dan derajat 4
jika menekan lebih dalam lagi 8mm akan kembali dalam waktu 7
menit, tampak sangat bengkak yang nyata (Isroin, 2013).
b. Tekanan darah
Peningkatan jumlah penderita gagal ginjal kronik dengan terapi
hemodialisis dari waktu ke waktu menunjukkan peningkatan yang
sangat cepat, hal ini berhubungan dengan adanya peningkatan
jumlah tindakan hemodialisis dari tahun ke tahun. Pada penderita
Gagal ginjal kronik hampir selalu dosertai dengan hipertensi, karena
hipertensi dan penyakit ginjal kronik merupakan dua hal yang selalu
berhubungn erat. Richard Bright seorang pionir Guy’s hospital
menyampaikan bahwa penyakit ginjal telah lama dikenal sebagai
penyebab hipertensi sekunder. Hipertensi terjadi pada 80% penderita
Gagal ginjal kronik (Guyton & Hall, 2007).
Kelebihan cairan pradialisis akan meningkatkan resistensi vaskuler
dan pompa jantung. Pasien yang mengalami hipertensi intradialisis
terjadi peningkatan nilai tahanan vaskuler perifer yang bermakna
pada jam akhir dialisis. Jika terjadi kenaikan tekanan darah
postdialysis mencerminkan kelebihan volume subklinis. Penelitian
yang dilakukan oleh Joseph menunjukkan bahwa peningkatan
tekanan darah pada pasien hemodialisis disebabkan karena adanya
peningkatan volume cairan, peningkatan sekresi renin, & asupan
natrium. Akibat peningkatan tekanan darah dalam jangka panjang
dapat menyebabkan penebalan dinding ventrikel kiri.
Tekanan darah melebihi 140/90 mmHg diklasifikasikan sebagai
hipertensi. The National Heart, Lung and Blood institute
mengklasifikasikan hipertensi dalam dua tingkatan. Tekanan darah
normal adalah 120/80 mmHg. Prehipertensi tekanan sistolik 120 –
139 mmHg, tekanan diastolik 80 – 89 mmHg. Tekanan darah tinggi
tingkat pertama, tekanan sistolik 140 – 159 mmHg, tekanan diastolik
30

90 – 99, dan tekanan darah tinggi tingkat kedua tekanan sistolik 160
mmHg dan tekanan diastolik 100 mmHg atau lebih.
c. Kekuatan otot
Pasien yang menjalani hemodialisis mengalami pengurangan
aktivitas dan mengalami pengurangan kapasitas fungsional.
Permasalahan yang juga sering dikeluhkan pasien adalah kelemahan
otot. Pasien dengan hemodialisis rutin mempunyai kekuatan otot
yang lebih lemah dibandingkan dengan populasi normal. Kelemahan
otot tersebut disebabkan adanya pengurangan aktivitas, atrofi otot,
miopati otot, neuropati atau kombinasi diantaranya.
Kekuatan otot juga dapat disebabkan oleh hipokalemi. Hipokalemia
ringan biasanya tidak menyebabkan gejala sama sekali. Hipokalemia
yang lebih berat bisa menyebabkan kelemahan otot, kejang otot dan
bahkan kelumpuhan. Irama jantung menjadi tidak normal, terutama
pada penderita penyakit jantung.
d. Pernafasan
Sesak napas merupakan keluhan subyektif (keluhan yang dirasakan
oleh pasien) berupa rasa tidak nyaman, nyeri atau sensasi berat,
selama proses pernapasan. Pada sesak napas, frekuensi pernapasan
meningkat di atas 24 kali per menit. Sesak napas dapat digolongkan
menjadi 2 kelompok besar berdasarkan penyebabnya, yaitu organik
yaitu adanya kelainan pada organ tubuh dan non organik yaitu
berupa gangguan psikis yang tidak disertai kelainan fisik. Sesak
napas organik tidak hanya disebabkan oleh kelainan organ
pernapasan, tetapi penyakit pada organ seperti jantung dan ginjal pun
dapat menyebabkan terjadinya keluhan sesak napas.
Sesak nafas yang terjadi pada pasien gagal ginjal kronik yang
menjalani hemodialisis terjadi karena dua faktor. Faktor pertama
adanya penumpukan cairan yang diakibatkan oleh rusaknya ginjal,
sehingga cairan tersebut akan memutus saluran paru – paru dan
31

membuat sesak nafas. Faktor kedua disebabkan karena anemia yang


mengakibatkan tubuh kekurangan oksigen.
e. Interdialytic Weight Gain (IDWG)
IDWG adalah peningkatan berat badan antar hemodialisis yang
paling utama dihasilkan oleh asupan garam dan cairan. IDWG yang
dapat ditoleransi oleh tubuh adalah lebih dari 1,0 – 1,5 kg atau tidak
lebih dari 3% dari berat kering.
IDWG merupakan indikator kepatuhan pasien terhadap pengaturan
cairan. IDWG diukur berdasarkan dry weight (berat badan kering)
pasien dan juga dari pengukuran kondisi klinis pasien. Berat badan
kering adalah berat badan tanpa kelebihan yang terbentuk setelah
tindakan hemodialisis atau berat terendah yang aman dicapai pasien
setelah dilakukan dialisis.
Berat badan pasien ditimbang secara rutin sebelum dan sesudah
hemodialisis. IDWG diukur dengan cara menghitung berat badan
pasien setelah (post) HD pada periode hemodialisis pertama
(pengukuran I). Periode hemodialisis kedua, berat badan pasien
ditimbang lagi sebelum (pre) HD (pengukuran II), selanjutnya
menghitung selisih antara pengukuran II dikurangi pengukuran I
dibagi pengukuran II dikalikan 100%. Misalnya BB pasien post HD
ke 1 adalah 54 kg,, BB pasien ke 2 adalah 58 kg, persentase IDWG
(58 – 54) : 58 X 100% = 6,8 %.
f. Biochemical Marker Cairan
Natrium (Na+) merupakan kation paling banyak dalam cairan
ekstrasel. Na+ mempengaruhi keseimbanagan air, hantaran impuls
saraf dan kontraksi otot. Ion natrium di dapat dari saluran
pencernaan, makanan atau minuman masuk ke dalam cairan
ekstrasel melalui proses difusi. Pengeluaran ion natrium melalui
ginjal, pernapasan, saluran pencarnaan, dan kulit. Pengaturan
konsentrasi ion di lakukan oleh ginjal.
32

Pasien gagal ginjal, natrium perlu dibatasai karena natrium


dipertahankan didalam tubuh walaupun faal ginjal menurun. Hal ini
penting apabila terjadi hipertensi, oedema dan bendungan paru.
Pemberian natrium harus dilakukan pada tahap yang ditolerir dengan
tujuan untuk mempertahankan volume cairan ekstraseluler.
Kalium (K+) merupakan kation utama cairan intrasel, berfungsi
sebagai excitability neuromuskuler dan kontraksi otot. Diperlukan
untuk pembentukan glikogen, sintesa protein, pengaturan
keseimbanagan asam basa, karena ion K+ dapat diubah menjadi ion
hidrogen (H+). Kalium dapat diperoleh melalui makanan seperti
daging, buahbuahan dan sayur-sayuran. Kalium dapat dikeluarkan
melalui ginjal, keringat dan saluran pencernaan. Pengaturan
konsentrasi kalium dipengaruhi oleh perubahan ion kalium dalam
cairan ekstrasel. Kalium jarang meningkat pada gagal ginjal kronik,
apabila terjadi hiperkalemi biasanya berkaitan dengan oliguri,
kejadian katabolik, obat-obatan yang mengandung kalium,
hiperkalemi dapat menimbulkan kegawatan bagi jantung.
Kalsium merupakan ion yang paling banyak dalam tubuh, berguna
untuk integritas kulit dan struktur sel, konduksi jantung, pembekuan
darah, serta pembentukan tulang dan gigi. Kalsium dalam cairan
ekstrasel diatur oleh kelenjar paratiroid dan tiroid. Hormon para
tiroid mengabsorpsi kalisum melalui gastrointestinal, sekresi melalui
ginjal. Hormon thirocalcitonin menghambat penyerapan Ca+ tulang.
Kalsium diperoleh dari absorpsi usus dan resorpsi tulang dan di
keluaran melalui ginjal, sedikit melalui keringat serta di simpan
dalam tulang.
Magnesium (Mg2+) merupakan kation terbanyak kedua pada cairan
intrasel. Sangat penting untuk aktivitas enzim, neurochemia, dan
muscular excibility. Sumber magnesium didapat dari makanan
seperti sayuran hijau, daging dan ikan. Klorida Terdapat pada cairan
ekstrasel dan intrasel, berperan dalam pengaturan osmolaritas serum
33

dan volume darah, regulasi asam basa, berperan dalam bufer


pertukaran oksigen, dan karbon dioksida dalam sel darah merah.
Klorida disekresi dan di absorpsi bersama natrium di ginjal dan
pengaturan klorida oleh hormon aldosteron.
Bikarbonat (HCO3-) merupakan buffer kimia utama dalam tubuh dan
terdapat pada cairan ekstrasel dan intrasel dengan fungsi utama
adalah regulasi keseimbangan asam basa. Biknat diatur oleh ginjal.
Fosfat merupakan anion buffer dalam cairan intrasel dan ekstrasel.
Berfungsi untuk meningkatkan kegiatan neuromuskular, metabolism
karbohidrat, pengaturan asam basa. Pengaturan oleh hormone
paratiroid.
8. Adekuasi Hemodialisa
Hemodialisis regular dikatakan cukup apabila dilakukan teratur,
berkesinambungan, selama 9-12 jam setiap minggu. Kondisi pasien
stabil dan tidak merasakan keluhan sama sekali, nafsu makan baik, tidak
merasa sesak, tidak lemas dan dapat melakukan aktifitas sehari-hari
(Suwitra, 2010). Berdasarkan konsensus Pernefri (2003) menyatakan
target ideal untuk pasien yang menjalani HD 2x/minggu dengan lama HD
antara 4 – 5 jam diberikan target URR 65%.
Model kinetik ureum (MKU) adalah cara yang paling baik untuk
menilai AHD. MKU adalah tehnis matematika untuk mensimulasikan
kinetik ureum pada penderita HD dengan menghitung semua faktor yang
mempengaruhi pemasukan, pengeluaran dan metabolisme urea. Faktor
ini meliputi volume distribusi urea, urea generation rate, klirens dializer
(Kd), dialyzer ultrafiltration rate, jadwal dan lama HD, residual klirensi
urea, resistensi terhadap metabolisme ureum. Dalam pengukurannya
memerlukan :
a. Pemeriksaan BUN sebelum dan sesudah HD dari HD pertama,
pemeriksaan BUN sebelum HD dari HD kedua dari jadwal HD 3 kali
seminggu.
b. Berat badan sebelum HD dan sesudah HD dari HD pertama.
34

c. Lama HD sebenarnya dari HD pertama.


d. Klirens efektif dari dializer (bukan klirens in-vitro dari tabel)
Meskipun cara ini direkomendasikan oleh National Kidney
Foundation Dialysis Outcome Quality initiative (NKF-DOQI), akan
tetapi cara perhitungannya kompleks sehingga diperlukan ketepatan
pengukuran volume distribusi, klirens efektif dializer dan waktu HD.
Akibatnya cara ini tidak dapat dipergunakan disetiap unit HD. Selain dari
MKU ada cara lain yang lebih praktis dan dapat digunakan secara rutin,
yaitu:
a. Rumus logaritma natural Kt/V
Dalam menggunakan rumus ini diasumsikan bahwa konsep yang
dipakai adalah model single-pool urea kinetic. Cara ini merupakan
penyederhanaan dari perhitungan MKU, dimana Kt merupakan
jumlah bersihan urea dari plasma dan V merupakan volume
distribusi dari urea. K dalam satuan L/menit, diperhitungkan dari
KoA dializer serta kecepatan aliran darah dan kecepatan aliran
dialisat, t adalah waktu tindakan HD dalam satuan menit, sedangkan
V dalam satuan liter. Rumus yang dianjurkan oleh NKF-DOQI
adalah generasi kedua yang dikemukakan oleh Daugirdas.

Kt/V=-Ln(R-0,008xt)+(4-3,5xR)xUF/W

Dimana :
L : adalah logaritma natural
R : adalah BUN setelah dialisis dibagi BUN sebelum dialysis
t : adalah lama waktu dialisis dalam jam
UF : adalah volume ultrafiltrasi dalam liter
W : adalah berat pasien setelah dialisis dalam Kg
b. Ureum Reduction Ratio (URR)
Cara lain untuk mengukur AHD adalah dengan mengukur URR
Rumus yang dianjurkan oleh Lowrie adalah sebagai berikut :
35

RRU (%) = 100 x (1-Ct/Co)

Ct adalah BUN sesudah-HD dan Co adalah BUN sebelum-HD. Cara


ini paling sederhana dan paling praktis digunakan untuk pengukuran
AHD. Banyak dipakai untuk kepentingan epidemiologi, dan
merupakan prediktor terbaik untuk mortalitas penderita NKF-DOQI
memakai batasan bahwa HD harus dilakukan dengan URR≥65%.
Owen dkk (1993) dalam penelitiannya menggunakan URR untuk
mengukur dosis dialisis, menunjukkan bahwa penderita yang
menerima URR ≥60% memiliki mortalitas yang lebih rendah dari
yang menerima URR ≥50%.
Untuk melakukan perhitungan dosis adekuasi dilakukan
pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan BUN. Ketepatan
waktu pengambilan merupakan hal yang sangat penting. BUN
sebelum HD dan BUN sesudah HD untuk perhitungan URR diambil
pada jadwal yang sama.
1) Pengambilan sampel BUN sebelum HD.
Jika penderita dengan AV-fistula atau graft, sample diambil dari
jalur arteri sebelum dihubungkan dengan blood-line. Harus
dipastikan tidak terdapat cairan lain dalam jarum arteri tersebut.
Jangan mengambil sampel jika HD sudah berjalan.
2) Pengambilan sampel BUN sesudah HD.
Pengaruh resirkulasi akses-vaskuler dan resirkulasi
kardiopulmonal serta pengaruh teori double-pool sangat
menentukan saat yang paling tepat pengambilan sampel untuk
pemeriksaan BUN sesudah HD. Jika menganut teori double-
pool maka saat paling tepat pengambilan sample setelah 30-60
menit pasca-HD, dimana telah terjadi equilibrium. Tetapi secara
praktis hal ini sukar karena penderita selesai HD harus
menunggu cukup lama. Geddes CC dkk (2003) dalam
36

penelitiannya setelah 4 menit berhentinya aliran dialisat tidak


ada perbedaan konsentrasi ureum antara sampel dari arteri dan
vena. Cara yang dianjurkan adalah sebagai berikut :
a) Setelah waktu HD berakhir hentikan pompa dialisat,
turunkan UF sampai 50 ml/jam atau matikan.
b) Turunkan kecepatan pompa aliran darah sampai 50-100
ml/menit selama 15 detik
c) Ambil sampel darah dari jalur aliran arteri.
d) Hentikan pompa darah dan kembali pada prosedur
penghentian HD.
e) Cara lain menghentikan pompa aliran darah setelah
dilambatkan 50 ml/menit selama 15 detik.
f) Klem pada jalur arteri dan vena, sampel diambil dari jalur
arteri.
37

BAB III
TINJAUAN KASUS DAN PEMBAHASAN

A. Tinjauan Kasus
1. Identitas klien
Nama : Ny. E
Umur : 51 Tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Alamat : Jl. Industri Barat no.3 RT. 03 RW. 04,
Husein Sastra Negara, Cicendo, Bandung
Tanggal Masuk RS : 24 Januari
2018
Hemodialisa ke :1
Diagnosa Medis : CKD
No Medrec : 750464
2. Identitas penanggungjawab klien
Nama : Tn. J
Umur : 58 Tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jl. Industri Barat no.3 RT. 03 RW. 04,
Husein Sastra Negara, Cicendo, Bandung
Hubungan dg Klien : Suami
3. Keluhan utama saat ini
Klien mengatakan sesak nafas.
4. Riwayat hemodialisa
Klien mengatakan sesak nafas sejak 1 minggu yang lalu. Sesak terasa saat
beraktivitas dan berbaring. Kaki tampak oedem. Mual dan muntah ada.
Klien mengatakan hipertensi sejak 2 tahun yang lalu dan sering
mengkonsumsi obat-obatan tanpa resep dokter. Klien mengatakan ada orang
38

tuanya mempunyai riwayat hipertensi dan diabetes. Klien belum ada


Riwayat hemodialisa.
5. Keadaan umum
Tingkat Kesadaran :
GCS : 15 (E: 4 , M: 6 , V: 5)
BB yang lalu : 55 Kg
BB sebelum HD : 54 Kg
Tinggi Badan : Tidak Terkaji
Rencana penarikan :1L
Tanda-tanda vital :
Tekanan Darah : 170/100mmHg
Nadi : 90 x/menit
Respirasi : 30 x/menit
Suhu : 37,00 C
6. Pemeriksaan Penunjang

Tanggal Jenis
Hasil Nilai normal Interpretasi
pemeriksaan pemeriksaan

24-01-2018 Hematologi-

darah rutin

Hemoglobin 8,0 12-16

Hematokrit 25 40-54

Leukosit 8700 4000-10.000

Trombosit 431.000 150.000-400.000

15-50

Ureum 103 0,6 – 1,1

Kreatinin 3,2 ≥ 60 ml/min/1,73 m²


39

GFR 16

Diabetes

GDS 113 Sampai 160

Hasil Pemeriksaan Radiologi


Tgl 25 Januari 2018
Kesan : Cardiomegali dengan edema paru, kemungkinan dengan efusi
pleura bilateral.
7. Diagnosa keperawatan
a. Kelebihan volume cairan b.d retensi natrium dan air dalam tubuh.
8. Proses hemodialisa
UF Intake (mL)
QB TD
Ja Rats Output
(mL/mnt (mmHg Nadi Suhu Resp NaCl Dextrose Makan/minu Lain
m (mL (mL)
) ) 0.9% 40% m 2
)
09 150 500 170/100 100 37 30
10 150 500 150/90 90 37 28
11 150 500 150/90 100 37 28
150 500 160/90 90 37 28 150 1000
Jumlah : 150 mL 1000 mL
Balance 850 mL
Total UF : 1000 mL

B. Pembahasan
40

Klien Ny. E belum pernah menjalani hemodialisa sebelumnya. Pada saat


pasien masuk UGD keluhan utama klien adalah sesak nafas. Hal ini dibuktikan
dengan hasil pemeriksaan thorax foto yaitu terdapat cardiomegaly dengan edema
paru dan hasil ureum creatinine yang meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat
Istanti (2011) bahwa status cairan pada pasien gagal ginjal kronik dapat
dimanifestasikan dengan pemeriksaan edema, tekanan darah, pernafasan,
kekuatan otot, nilai IDWG dan biochemical marker. Sesak nafas yang terjadi
pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis terjadi karena dua
faktor. Faktor pertama adanya penumpukan cairan yang diakibatkan oleh
rusaknya ginjal, sehingga cairan tersebut akan memutus saluran paru – paru dan
membuat sesak nafas. Faktor kedua disebabkan karena anemia yang
mengakibatkan tubuh kekurangan oksigen.
Hemoglobin pada Klien Ny. E mengalami penurunan yaitu 8 gr/dl disebabkan
karena penurunan fungsi ginjal dalam menghasilkan eritropoetin sebagai factor
penting dalam stimulasi produksi sel darah merah oleh sumsum tulang (Price
dan Wilson, 2005)
Pada Klien Ny. E tujuan hemodialisa adalah tersebut adalah menggantikan
fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi (membuang sisa-sisa metabolisme dalam
tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain), menggantikan
fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya dikeluarkan
sebagai urin saat ginjal sehat, meningkatkan kualitas hidup pasien yang
menderita penurunan fungsi ginjal serta menggantikan fungsi ginjal sambil
menunggu program pengobatan yang lain (Suharyanto dan Madjid, 2009).
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Gagal ginjal kronis merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan
irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia.
Pada Klien Ny. E belum pernah dilakukan hemodialisa sebelumnya. Klien
mengeluh sesak kaki tampak oedem. Mual dan muntah ada. Hasil pemeriksaan
laboratorium darah terjadi peningkatan ureum kreatinin. Dan hasil thorax foto
terdapat cardiomegali dengan oedema, kemungkinan efusi pleura bilateral. Oleh
karena itu klien dilakukan hemodialisa.
Tidak ada keluhan saat pasien menjalani hemodialisa. Tekanan darah klien
cenderung stabil antara 150/100 sampai 170/100 mmHg. Klien merasa sesak
berkurang setelah dilakukan hemodialisa.

B. Saran
Disarankan kepada perawat yang bertugas di ruang hemodialisa untuk
melakukan observasi tanda – tanda vital selama dilakukan hemodialisa. Untuk
megetahui adekuasi hemodialisa pada pasien sebaiknya dilakukan pemeriksaan
laboratorium darah dan thorax foto. Mempertimbangkan untuk mengatasi nyeri
saat pasien diinsersi jarum HD baik dengan teknik rope-ladder maupun button
hole yaitu dengan kompres dingin pada bagian yang akan diinsersi.

41
DAFTAR PUSTAKA

Anita, A.Y. 2012. Hubungan Self Care Dan Depresi Dengan Kualitas Hidup pasien
Heart Failure Di RSUP Prof. Dr. Kondou Manado. Tesis Universitas
Indonesia.

Barnett, Pinikaha, Y.T. 2007. Fluid Complience Among Patient Having


Haemodialisis: Can an Education Programme Make A Difference Journal Of
Advanced Nursing. bi (3), 300 – 306.

Cahyaning, N.D. 2009. Haemodialisis (Cuci Darah) Panduan Praktis Perawatan


Gagal Ginjal. Yogyakarta : Mitra Cendekia.

Elizabeth J. Corwin. 2011. Asuhan Keperawatan Kardiovaskuler Edisi V. Jakarta :


EGC.

Geddes. CC. Houston. M, Pediani, L. 2003. Excess Interdialytic Sodium Intake is


not Always Dietery. Neprol Dial Transflant 18 : 223-224.

Guyton, & Hall. 2007. Texbook Of Medical Physiologi, Edition Philadelpia : W.B
Sounders Company.

Hartono, A. 2013. Buku Saku Harrison Nefrologi. Jakarta : Karisma Publishing


Group.

Hidayati. 2012. Efektifitas Konseling Analisis Transaksional Tentang Diet Cairan


Terhadap Penurunan Interdyalisis Weigh Gain (IDWG) Pasien GGK Yang
Menjalani Hemodialisa Di RSUD Kardinah Tegal. Tesis. Universitas
Indonesia.

Hudak & Gallo. 2010. Keperawatan Kritis Edisi 6. Jakarta: EGC.

Isroin, Istanti, Soejono. 2013. Managemen cairan Pada Pasien HD meningkatkan


Kualitas Hidup. Tesis. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Istanti. 2011. Hubungan Antara Maukan Cairan Dengan Interdyalitic Weight Gain
(IDWG) Pada Pasien Chronic Kidney Disease Di Unit Hemodialis RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta.

Kemenkes. 2017. Situasi Penyakit Gagal Ginjal Kronis. Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI. Jakarta.

Lavey. 2011. Acute Complication During Hemodyalisis.

Lindley, Aspinal, Gardiner & Garthwaite. 2011. Management Of Fluid Status In


Hemodyalisis Patients ; The Roles Of Technologi And Dietary Advice

National Kidney Foundation. K/DOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic


Kidney Disease: Evaluation, Clasification and Stratification. Am J Kidney
Dis [internet]. 2012 [diakses 1 Januari 2018];39:S1-S266. Available from:
www.kidney.org

Nursalam. 2006. Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem


Perkemihan. Jakarta : Salemba Medika

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2006. Panduan


Pelayanan Mediki. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
halaman : 168-169.

Price and Wilson. 2005. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Vol.2.
Jakarta : EGC

Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh Agung
Waluyo…(dkk). Jakarta: EGC.

Suharyanto dan Majid. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan
Sistem Perkemihan. Jakarta : TIM.

Suwitra K. 2010. Penyakit Ginjal Kronik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et
al., 3rd ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing.

Anda mungkin juga menyukai