PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit gagal ginjal kronis adalah penurunan progresif fungsi ginjal dalam
beberapa bulan atau tahun. Penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai
kerusakan ginjal dan/atau penurunan Glomorular Filtration Rate (GFR) kurang
dari 60 mL/min/1,73 m2 selama minimal 3 bulan (Kidney Disease Improving
Global Outcomes, KDIGO 2012 Clinical Practice Guidline for the Evaluation
and Management). Kerusakan ginjal adalah setiap kelainan patologis atau
penanda kerusakan ginjal, termasuk kelainan darah, urin atau studi pencitraan
(Kemenkes, 2017).
Penyakit ginjal kronis (PGK) merupakan masalah kesehatan masyarakat
global dengan prevalens dan insidens gagal ginjal yang meningkat, prognosis
yang buruk dan biaya yang tinggi. Prevalensi PGK meningkat seiring
meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut dan kejadian penyakit diabetes
melitus serta hipertensi. Hasil systematic review dan metaanalysis yang
dilakukan oleh Hill et al, 2016, mendapatkan prevalensi global PGK sebesar
13,4%. Menurut hasil Global Burden of Disease tahun 2010, PGK merupakan
penyebab kematian peringkat ke-27 di dunia tahun 1990 dan meningkat menjadi
urutan ke-18 pada tahun 2010. Sedangkan di Indonesia, perawatan penyakit
ginjal merupakan ranking kedua pembiayaan terbesar dari BPJS kesehatan
setelah penyakit jantung.
Tindakan medis yang dilakukan penderita penyakit gagal ginjal adalah
dengan melakukan terapi dialisis tergantung pada keluhan pasien dengan kondisi
kormobid dan parameter laboratorium, kecuali bila sudah ada donor hidup yang
ditentukan, keharusan transplantasi terhambat oleh langkanya pendonor. Pilihan
terapi dialisis meliputi hemodialisis dan peritoneal dialisis (Hartono, 2013).
Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam
keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari
hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir
1
2
atau end stage renal disease (ESRD) yang memerlukan terapi jangka panjang
atau permanen. Tujuan hemodialisis adalah untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen
yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan (Suharyanto
dan Madjid, 2009).
Pada proses hemodialisa, banyak pasien yang mengalami komplikasi-
komplikasi saat atau setelah hemodialisa seperti hipotensi, kelemahan otot, dan
edema. Penting bagi perawat untuk selalu mengobservasi agar dapat
meminimalkan komplikasi pasien.
Karena latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk memberikan asuhan
keperawatan kepada pasien Ny. E dengan Chronic Kidney Disease (CKD) di
ruangan Hemodialisa Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mampu mengobservasi pasien Ny. E selama menjalani proses hemodialisa
di ruangan Hemodialisa Rumah Sakit Muhammadiyah Bandung.
2. Tujuan khusus
a. Dapat mengobservasi pasien Ny. E dan menyiapkan alat pre hemodialisa.
b. Dapat mengobservasi tanda-tanda vital pasien Ny. E selama proses
hemodialisa setiap jam.
c. Dapat mengobservasi tanda-tanda vital dan menghitung balance cairan
pasien Ny. E setelah menjalani proses hemodialisa.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Gagal Ginjal Kronis
1. Definisi
Penyakit gagal ginjal kronis adalah penurunan progresif fungsi ginjal
dalam beberapa bulan atau tahun. Penyakit ginjal kronis didefinisikan
sebagai kerusakan ginjal dan/atau penurunan Glomorular Filtration Rate
(GFR) kurang dari 60 mL/min/1,73 m2 selama minimal 3 bulan (Kidney
Disease Improving Global Outcomes, KDIGO 2012 Clinical Practice
Guidline for the Evaluation and Management). Kerusakan ginjal adalah
setiap kelainan patologis atau penanda kerusakan ginjal, termasuk
kelainan darah, urin atau studi pencitraan (Kemenkes, 2017).
Penyakit ginjal kronis merupakan kondisi ginjal yang tidak dapat
menyaring darah sebagaimana mestinya dan dapat menyebabkan
kerusakan pada organ lainnya. Penyebab dari penyakit ginjal kronis
terbanyak adalah diabetes mellitus dan hipertensi. Apabila penyakit
ginjal kronis ini tidak tertangani dengan maksimal akan menyebabkan
penyakit ginjal terminal. Penyakit ginjal terminal (End-Stage Renal
Disease) adalah kondisi ginjal yang sudah tidak berfungsi dan perlu
dilakukan dialisis (National Kidney Foundation, 2012).
Gagal ginjal kronis merupakan gangguan fungsi renal yang progresif
dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi
uremia (Smeltzer, Suzanne C, 2002).
2. Stadium Gagal Ginjal Kronis
Pembagian stadium gagal ginjal kronik menurut Smletzer (2002) :
a. Stadium I
Stadium I ini disebut dengan penurunan cadangan ginjal, tahap inilah
yang paling ringan, dimana faal ginjal masih baik. Pada tahap ini
penderita ini belum merasakan gejala-gejala dan
3
4
a. Anatomi ginjal
kedalam setiap ginjal melalui arteri renalis dan keluar dari dalam
ginjal melalui vena renalis. Arteri renalis berasal dari aorta
abdominalis dan vena renalis membawa darah kembali kedalam vena
kava inferior.
Pada orang dewasa panjang ginjal adalah sekitar 12 sampai 13 cm
(4,7-5,1 inci) lebarnya 6 cm (2,4 inci) tebalnya 2,5 cm (1 inci) dan
beratnya sekitar 150 gram. Permukaan anterior dan posterior katub
atas dan bawah serta tepi lateral ginjal berbentuk cembung sedangkan
tepi lateral ginjal berbentk cekung karena adanya hilus.
6. Patofisiologi
GFR turun
Nyeri pinggang
Sekresi ureum terganggu Retensi Na, K, H2O Sekresi eritropoietin Sekresi amonia ↓
Ureum tinggi
dalam darah
Sindrom uremia
16
Sindrom uremia
Bau mulut
Mual Iritasi
muntah lambung
Gastritis Perdarahan
Mual Hematisis
muntah
Anemia
17
Kejang Gelombang T
tinggi pada EKG
18
O2 dan nutrisi
Angiotensin II
berlebih di ginjal
Lemah, lesu Kram otot
Vasokontriksi
arteri renalis
Bendungan
atrium kiri naik
7. Komplikasi
Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut Smletzer dan Bare
(2001) yaitu :
a. Hiperkalemia akibat penurunan eksresi, asidosis metabolic,
katabolisme dan masukan diet berlebihan.
b. Perikarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat retensi
produk sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system
rennin-angiostensin-aldosteron.
d. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel
darah merah, perdarahan gastrointestinalakibat iritasi oleh toksin dan
kehilangan darah selama hemodialisis.
e. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatic akibat retensi fosfat, kadar
kalsium serum yang rendah, metabolism vitamin D abnormal dan
peningkatan kadar alumunium.
8. Pemeriksaan Diagnostik
Kerusakan ginjal dapat dideteksi secara langsung maupun tidak
langsung. Bukti langsung kerusakan ginjal dapat ditemukan pada
pencitraan atau pemeriksaan histopatologi biopsi ginjal. Pencitraan
meliputi ultrasonografi, computed tomography (CT), magnetic
resonance imaging (MRI), dan isotope scanning dapat mendeteksi
beberapa kelainan struktural pada ginjal. Histopatologi biopsi renal
sangat berguna untuk menentukan penyakit glomerular yang mendasari
(Scottish Intercollegiate Guidelines Network, 2008).
Bukti tidak langsung pada kerusakan ginjal dapat disimpulkan dari
urinalisis. Inflamasi atau abnormalitas fungsi glomerulus menyebabkan
kebocoran sel darah merah atau protein. Hal ini dideteksi dengan adanya
hematuria atau proteinuria (Scottish Intercollegiate Guidelines Network,
2008). Penurunan fungsi ginjal ditandai dengan peningkatan kadar ureum
dan kreatinin serum. Penurunan GFR dapat dihitung dengan
20
Keterangan :
κ wanita = 0,7
κ pria = 0,9
α wanita = - 0,329
α pria = - 0,441
Scr = kreatinin serum (mg/dL)
Selain itu fungsi ginjal juga dapat dilihat melalui pengukuran Cystatin
C. Cystatin C merupakan protein berat molekul rendah (13kD) yang
disintesis oleh semua sel berinti dan ditemukan diberbagai cairan tubuh
manusia. Kadarnya dalam darah dapat menggambarkan GFR sehingga
Cystatin C merupakan penanda endogen yang ideal (Yaswir & Maiyesi,
2012).
9. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan untuk mengatasi penyakit gagal ginjal kronik
menurut Smeltzer dan Bare (2001) yaitu :
a. Penatalaksanaan untuk mengatasi komplikasi
21
B. Hemodialisa
22
1. Definisi
Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien
dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek
(beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit
ginjal stadium akhir atau end stage renal disease (ESRD) yang
memerlukan terapi jangka panjang atau permanen. Tujuan hemodialisis
adalah untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah
dan mengeluarkan air yang berlebihan (Suharyanto dan Madjid, 2009).
Hemodialisis adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi
sampah buangan. Hemodialisis digunakan bagi pasien dengan tahap
akhir gagal ginjal atau pasien berpenyakit akut yang membutuhkan
dialisis waktu singkat. Penderita gagal ginjal kronis, hemodialisis akan
mencegah kematian. Hemodialisis tidak menyembuhkan atau
memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya
aktivitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan dampak
dari gagal ginjal serta terapinya terhadap kualitas hidup pasien (Smeltzer,
Suzanne C,, 2006 ; Nursalam, 2006)
2. Tujuan
Terapi hemodialisis mempunyai beberapa tujuan. Tujuan tersebut
diantaranya adalah menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi
(membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin,
dan sisa metabolisme yang lain), menggantikan fungsi ginjal dalam
mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya dikeluarkan sebagai urin
saat ginjal sehat, meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita
penurunan fungsi ginjal serta Menggantikan fungsi ginjal sambil
menunggu program pengobatan yang lain (Suharyanto dan Madjid,
2009).
Dialisis didefinisikan sebagai difusi molekul dalam cairan yang
melalui membran semipermeabel sesuai dengan gradien konsentrasi
elektrokimia. Tujuan utama Hemodialisis adalah untuk mengembalikan
suasana cairan ekstra dan intrasel yang sebenarnya merupakan fungsi
23
Pertukaran limbah dari darah ke dalam cairan dialisat akan terjadi melalui
membrane semipermeabel tubulus (Smeltzer, Suzanne C,, 2006).
Tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu difusi, osmosis,
ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui
proses difusi dengan cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi
tinggi, ke cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah (Lavey,
2011). Cairan dialisat tersusun dari semua elektrolit yang penting dengan
konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kelebihan cairan dikeluarkan dari
dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan
dengan menciptakan gradien tekanan, dimana air bergerak dari daerah
dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih
rendah (cairan dialisat). Gradient ini dapat ditingkatkan melalui
penambahan tekanan negative yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada
mesin dialisis. Tekanan negative diterapkan pada alat ini sebagai
kekuatan penghisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air
(Elizabeth, et all, 2011).
4. Akses Sirkulasi Darah Pasien
Akses pada sirkulasi darah pasien terdiri atas subklavikula dan
femoralis, fistula, dan tandur. Akses ke dalam sirkulasi darah pasien pada
hemodialisis darurat dicapai melalui kateterisasi subklavikula untuk
pemakaian sementara. Kateter femoralis dapat dimasukkan ke dalam
pembuluh darah femoralis untuk pemakaian segera dan sementara
(Barnett & Pinikaha, 2007).
Fistula yang lebih permanen dibuat melalui pembedahan (biasanya
dilakukan pada lengan bawah) dengan cara menghubungkan atau
menyambung (anastomosis) pembuluh arteri dengan vena secara side to
side (dihubungkan antara ujung dan sisi pembuluh darah). Fistula
tersebut membutuhkan waktu 4 sampai 6 minggu menjadi matang
sebelum siap digunakan (Brruner & Suddart, 2011). Waktu ini
diperlukan untuk memberikan kesempatan agar fistula pulih dan
segmenvena fistula berdilatasi dengan baik sehingga dapat menerima
25
gejala uremia yang berat. Pruritus terjadi selama terapi dialisis ketika
produk akhir metabolisme meninggalkan kulit (Smelzer, 2008).
Terapi hemodialisis juga dapat mengakibatkan komplikasi sindrom
disekuilibirum, reaksi dializer, aritmia, temponade jantung, perdarahan
intrakranial, kejang, hemolisis, neutropenia, serta aktivasi komplemen
akibat dialisis dan hipoksemia, namun komplikasi tersebut jarang terjadi.
(Smeltzer, Suzanne C,, 2008).
7. Status Cairan Pada Pasien Hemodialisa
Status cairan merupakan suatu keadaan atau kondisi pada pasien untuk
menentukan kecukupan cairan dan terapi cairan selanjutnya. Status
cairan pada pasien gagal ginjal kronik dapat dimanifestasikan dengan
pemeriksaan edema, tekanan darah, kekuatan otot, nilai IDWG dan
biochemical marker yang meliputi natrium, kalium, kalsium,
magnesium, florida, bikarbonat dan fosfat (Istanti, 2011).
a. Edema
Edema didefinisikan sebagai akumulasi abnormal cairan di dalam
ruang interstitial (celah di antara sel) atau jaringan tubuh yang
menimbulkan pembengkakan. Pada kondisi yang normal secara
umum cairan tubuh yang terdapat di luar sel akan disimpan di dalam
dua ruangan yaitu pembuluh darah dan ruang – ruang interstitial.
Apabila terdapat gangguan pada keseimbangan pengaturan cairan
tubuh, maka cairan dapat berakumulasi berlebihan di dalam ruang
interstitial.
Edema yang terlihat pada gagal ginjal kronik dapat disebabkan oleh
berbagai hal. Ginjal sering tidak dapat mengeksresikan natrium yang
masuk melalui makanan dengan cepat, sehingga natrium akan
tertimbun dalam ruang ekstraseluler dan menarik air (Hidayati,
2012).
Derajat dari edema sendiri diklasifikasikan menjadi 4 yaitu derajat 1
jika edema menekan sedalam 1 - 3 mm akan kembali dengan cepat
(3 detik). Derajat 2 jika menekan lebih dalam 4mm dan akan kembali
29
90 – 99, dan tekanan darah tinggi tingkat kedua tekanan sistolik 160
mmHg dan tekanan diastolik 100 mmHg atau lebih.
c. Kekuatan otot
Pasien yang menjalani hemodialisis mengalami pengurangan
aktivitas dan mengalami pengurangan kapasitas fungsional.
Permasalahan yang juga sering dikeluhkan pasien adalah kelemahan
otot. Pasien dengan hemodialisis rutin mempunyai kekuatan otot
yang lebih lemah dibandingkan dengan populasi normal. Kelemahan
otot tersebut disebabkan adanya pengurangan aktivitas, atrofi otot,
miopati otot, neuropati atau kombinasi diantaranya.
Kekuatan otot juga dapat disebabkan oleh hipokalemi. Hipokalemia
ringan biasanya tidak menyebabkan gejala sama sekali. Hipokalemia
yang lebih berat bisa menyebabkan kelemahan otot, kejang otot dan
bahkan kelumpuhan. Irama jantung menjadi tidak normal, terutama
pada penderita penyakit jantung.
d. Pernafasan
Sesak napas merupakan keluhan subyektif (keluhan yang dirasakan
oleh pasien) berupa rasa tidak nyaman, nyeri atau sensasi berat,
selama proses pernapasan. Pada sesak napas, frekuensi pernapasan
meningkat di atas 24 kali per menit. Sesak napas dapat digolongkan
menjadi 2 kelompok besar berdasarkan penyebabnya, yaitu organik
yaitu adanya kelainan pada organ tubuh dan non organik yaitu
berupa gangguan psikis yang tidak disertai kelainan fisik. Sesak
napas organik tidak hanya disebabkan oleh kelainan organ
pernapasan, tetapi penyakit pada organ seperti jantung dan ginjal pun
dapat menyebabkan terjadinya keluhan sesak napas.
Sesak nafas yang terjadi pada pasien gagal ginjal kronik yang
menjalani hemodialisis terjadi karena dua faktor. Faktor pertama
adanya penumpukan cairan yang diakibatkan oleh rusaknya ginjal,
sehingga cairan tersebut akan memutus saluran paru – paru dan
31
Kt/V=-Ln(R-0,008xt)+(4-3,5xR)xUF/W
Dimana :
L : adalah logaritma natural
R : adalah BUN setelah dialisis dibagi BUN sebelum dialysis
t : adalah lama waktu dialisis dalam jam
UF : adalah volume ultrafiltrasi dalam liter
W : adalah berat pasien setelah dialisis dalam Kg
b. Ureum Reduction Ratio (URR)
Cara lain untuk mengukur AHD adalah dengan mengukur URR
Rumus yang dianjurkan oleh Lowrie adalah sebagai berikut :
35
BAB III
TINJAUAN KASUS DAN PEMBAHASAN
A. Tinjauan Kasus
1. Identitas klien
Nama : Ny. E
Umur : 51 Tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Alamat : Jl. Industri Barat no.3 RT. 03 RW. 04,
Husein Sastra Negara, Cicendo, Bandung
Tanggal Masuk RS : 24 Januari
2018
Hemodialisa ke :1
Diagnosa Medis : CKD
No Medrec : 750464
2. Identitas penanggungjawab klien
Nama : Tn. J
Umur : 58 Tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jl. Industri Barat no.3 RT. 03 RW. 04,
Husein Sastra Negara, Cicendo, Bandung
Hubungan dg Klien : Suami
3. Keluhan utama saat ini
Klien mengatakan sesak nafas.
4. Riwayat hemodialisa
Klien mengatakan sesak nafas sejak 1 minggu yang lalu. Sesak terasa saat
beraktivitas dan berbaring. Kaki tampak oedem. Mual dan muntah ada.
Klien mengatakan hipertensi sejak 2 tahun yang lalu dan sering
mengkonsumsi obat-obatan tanpa resep dokter. Klien mengatakan ada orang
38
Tanggal Jenis
Hasil Nilai normal Interpretasi
pemeriksaan pemeriksaan
24-01-2018 Hematologi-
darah rutin
Hematokrit 25 40-54
15-50
GFR 16
Diabetes
B. Pembahasan
40
B. Saran
Disarankan kepada perawat yang bertugas di ruang hemodialisa untuk
melakukan observasi tanda – tanda vital selama dilakukan hemodialisa. Untuk
megetahui adekuasi hemodialisa pada pasien sebaiknya dilakukan pemeriksaan
laboratorium darah dan thorax foto. Mempertimbangkan untuk mengatasi nyeri
saat pasien diinsersi jarum HD baik dengan teknik rope-ladder maupun button
hole yaitu dengan kompres dingin pada bagian yang akan diinsersi.
41
DAFTAR PUSTAKA
Anita, A.Y. 2012. Hubungan Self Care Dan Depresi Dengan Kualitas Hidup pasien
Heart Failure Di RSUP Prof. Dr. Kondou Manado. Tesis Universitas
Indonesia.
Guyton, & Hall. 2007. Texbook Of Medical Physiologi, Edition Philadelpia : W.B
Sounders Company.
Kemenkes. 2017. Situasi Penyakit Gagal Ginjal Kronis. Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI. Jakarta.
Price and Wilson. 2005. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Vol.2.
Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh Agung
Waluyo…(dkk). Jakarta: EGC.
Suharyanto dan Majid. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan
Sistem Perkemihan. Jakarta : TIM.
Suwitra K. 2010. Penyakit Ginjal Kronik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et
al., 3rd ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing.