Anda di halaman 1dari 15

ASUHAN KEPERAWATAN PALIATIF CARE

PADA KLIEN GAGAL GINJAL KRONIS

DISUSUN
OLEH:

INDAH EKA SARI SIHOMBING (193302040110)

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN


UNIVERSITAS PRIMA INDONESIA
T.A 2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ginjal merupakan organ vital yang berperan sangat penting sangat penting dalam
mempertahankan kestabilan lingkungan dalam tubuh. Ginjal mengatur keseimbangan cairan
tubuh dan elektrolit dan asam basa dengan cara menyaring darah yang melalui ginjal,
reabsorbsi selektif air, elektrolit dan non-elektrolit, serta mengekskresi kelebihannya sebagai
kemih.
Fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volume dan komposisi cairan ekstra sel
dalam batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini dikontrol oleh filtrasi
glomerulus, reabsorbsi dan sekresi tubulus.
Ginjal dilalui oleh sekitar 1.200 ml darah per menit, suatu volume yang sama dengan
20 sampai 25 persen curah jantung (5.000 ml per menit). Lebih 90% darah yang masuk ke
ginjal berada pada korteks, sedangkan sisanya dialirkan ke medulla.
Di negara maju, penyakit kronis tidak menular (cronic non-communicable diseases)
terutama penyakit kardiovaskuler, hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit ginjal kronis,
sudah menggantikan penyakit menular (communicable diseases) sebagai masalah kesehatan
masyarakat utama.
Gangguan fungsi ginjal dapat menggambarkan kondisi sistem vaskuler sehingga dapat
membantu upaya pencegahan penyakit lebih dini sebelum pasien mengalami komplikasi yang
lebih parah seperti stroke, penyakit jantung koroner, gagal ginjal, dan penyakit pembuluh
darah perifer.
Pada penyakit ginjal kronis terjadi penurunan fungsi ginjal yang memerlukan terapi
pengganti yang membutuhkan biaya yang mahal. Penyakit ginjal kronis biasanya desertai
berbagai komplikasi seperti penyakit kardiovaskuler, penyakit saluran napas, penyakit
saluran cerna, kelainan di tulang dan otot serta anemia.
Selama ini, pengelolaan penyakit ginjal kronis lebih mengutamakan diagnosis dan
pengobatan terhadap penyakit ginjal spesifik yang merupakan penyebab penyakit ginjal
kronis serta dialisis atau transplantasi ginjal jika sudah terjadi gagal ginjal. Bukti ilmiah
menunjukkan bahwa komplikasi penyakit ginjal kronis, tidak bergantung pada etiologi, dapat
dicegah atau dihambat jika dilakukan penanganan secara dini. Oleh karena itu, upaya yang
harus dilaksanakan adalah diagnosis dini dan pencegahan yang efektif terhadap penyakit
ginjal kronis, dan hal ini dimungkinkan karena berbagai faktor risiko untuk penyakit ginjal
kronis dapat dikendalikan.
BAB  II
PEMBAHASAN

A. Definisi

Gagal ginjal kronis biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal lanjut secara
bertahap (Doenges, 1999; 626) Kegagalan ginjal kronis terjadi bila ginjal sudah tidak mampu
mempertahankan lingkungan internal yang konsisten dengan kehidupan dan pemulihan
fungsi tidak dimulai. Pada kebanyakan individu transisi dari sehat ke status kronis atau
penyakit yang menetap sangat lamban dan menunggu beberapa tahun. (Barbara C Long,
1996; 368).
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan
fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan uremia
(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner & Suddarth, 2001; 1448).
Gagal ginjal kronis merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan
lambat,biasanya berlangsung beberapa tahun. (Price, 1992; 812) Gagal ginjal kronis adalah
kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan
elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa
metabolit ( toksik uremik ) di dalam darah. (Arif Muttaqin,2011; 166) Gagal ginjal kronis
(GGK) adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat
menahun, berlangsung progresif, dan cukup lanjut. Hal ini terjadi apabila laju filtrasi
glomerulus kurang dari 50 ml/menit. (Arjatmo Tjokonegoro,2001;427).

B. Etiologi

Begitu banyak kondisi klinis yang bisa menyebabkan terjadinya gagal ginjal kronis.
Akan tetapi apapun sebabnya, respon yang terjadi adalah penurunan fungsi ginjal secara
progresif. Kondisi klinis yang memungkinkan dapat mengakibatkan GGK bisa disebabkan
dari ginjal sendiri dan dari luar ginjal.
1.    Penyakit dari ginjal
a.    penyakit pada saringan (glomerulus) : glomerulonefritis
b.    infeksi kuman : pyelonefritis, ureteritis
c.    batu ginjal : nefrolitiasis
d.   kista di ginjal : polcystis kidney
e.    trauma langsung pada ginjal
f.     keganasan pada ginjal
g.    sumbatan : tumor, batu, penyempitan/striktur

2.    Penyakit umum di luar ginjal


a.    penyakit sistemik : diabetes mellitus, hipertensi, kolesterol tinggi
b.    dyslipidemia
c.    infeksi di badan : tbc paru, sifilis, malaria, hepatitis
d.   preeklamsi
e.    obat-obatan
f.     kehilangan banyak cairan yang mendadak ( luka bakar )     
C.  Patofisiologi

Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan
tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang
utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi
walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan
ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut
menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai
poliuri dan haus.
Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul
disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih
jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang
80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun
sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. ( Barbara C Long, 1996, 368).
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi
setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin
berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1448).
Perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi tiga stadium yaitu:
1.    Stadium 1 (penurunan cadangan ginjal)
Di tandai dengan kreatinin serum dan kadar Blood Ureum Nitrogen (BUN) normal dan
penderita asimtomatik.
2.    Stadium 2 (insufisiensi ginjal)
Lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak (Glomerulo filtration Rate besarnya 25%
dari normal). Pada tahap ini Blood Ureum Nitrogen mulai meningkat diatas normal, kadar
kreatinin serum mulai meningklat melabihi kadar normal, azotemia ringan, timbul nokturia
dan poliuri.
3.    Stadium 3 (Gagal ginjal stadium akhir / uremia). Timbul apabila 90% massa nefron telah
hancur, nilai glomerulo filtration rate 10% dari normal, kreatinin klirens 5-10 ml permenit
atau kurang. Pada tahap ini kreatinin serum dan kadar blood ureum nitrgen meningkat sangat
mencolok dan timbul oliguri. (Price, 1992: 813-814)

C. Manifestasi Klinis

Karena pada gagal ginjal kronis setiap sisem tubuh dipengaruhi oleh kondisi uremia,
maka pasien akan memperhatikan sejumlah tanda dan gejala. Keparahan tanda dan gejala
bergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain yang mendasari, dan usia
pasien.
Manifestasi kardiovaskuler, pada gagal ginjsl kronis mencakup hipertensi (akibat
retensi cairan dan natrium dari aktivasi system rennin-angiotenin-aldosteron), gagal jantung
kongestif, dan edema pulmoner (akibat cairan berlebihan), dan perikarditis (akibat iritasi pada
lapisan pericardial oleh toksin uremik).
Gejala dermatologi yang sering terjadi mencakup rasa gatal yang parah (pruritis).
Butiran uremik, suatu penumpukan kristal urea di kulit, saat ini jarang terjadi akibat
penanganan dini dan agresif terhadap penyakit ginjal tahap akhir. Gejala gastrointestinal juga
sering terjadi dan mencakup anoreksia, mual, muantah dan cegukan. Perubahan
neuromuskuler mencakup perubahan tingkat kesadaran, ketidak mampuan berkonsentrasi,
kedutan otot dan kejang. Manifestasi klinik antara lain (Long, 1996 : 369):
1.    Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan berkurang,
mudah tersinggung, depresi
2.    Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal atau sesak nafas
baik waktui ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan, pruritis mungkin tidak ada
tapi mungkin juga sangat parah.
Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara lain : hipertensi, (akibat retensi
cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin - angiotensin – aldosteron), gagal jantung
kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi pada
lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot,
kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi). Manifestasi klinik
menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:
1.    Sistem kardiovaskuler
•  Hipertensi
•  Pitting edema
•  Edema periorbital
•  Pembesaran vena leher
•  Friction sub pericardial
2.    Sistem Pulmoner
•       Krekel
•       Nafas dangkal
•       Kusmaull
•       Sputum kental dan liat
3.    Sistem gastrointestinal
•  Anoreksia, mual dan muntah
•  Perdarahan saluran GI
•  Ulserasi dan pardarahan mulut
•  Nafas berbau ammonia
4.    Sistem musculoskeletal
•  Kram otot
•  Kehilangan kekuatan otot
•  Fraktur tulang
5.     Sistem Integumen
•  Warna kulit abu-abu mengkilat
•  Pruritis
•  Kulit kering bersisik
•  Ekimosis
•  Kuku tipis dan rapuh
•  Rambut tipis dan kasar
6.    Sistem Reproduksi
•  Amenore
•  Atrofi testis

Mekanisme yang pasti untuk setiap manifestasi tersebut belum dapat diidentifikasi.
Namun demikian produk sampah uremik sangat dimungkinkan sebagai penyebabnya.
D. Pemeriksaan Diagnostic

1.    Laboratorium :

a.    Laju Endap Darah : Meninggi yang diperberat oleh adanya anemia, dan
hipoalbuminemia. Anemia normositer normokrom, dan jumlah retikulosit yang
rendah.
b.    Ureum dan kreatinin : Meninggi, biasanya perbandingan antara ureum dan
kreatinin kurang lebih 20 : 1. Perbandingat meninggi akibat pendarahan saluran cerna,
demam, luka bakar luas, pengobatan steroid, dan obstruksi saluran kemih.
Perbandingan ini berkurang  ketika ureum lebih kecil dari kreatinin, pada diet rendah
protein, dan tes Klirens Kreatinin yang menurun.
c.    Hiponatremi : Umumnya karena kelebihan cairan. Hiperkalemia : biasanya terjadi
pada gagal ginjal lanjut bersama dengan menurunya dieresis
d.   Hipokalemia dan hiperfosfatemia: terjadi karena berkurangnya sintesis vitamin D3
pada GGK.
e.    Phosphate alkaline : meninggi akibat gangguan metabolisme tulang, terutama
isoenzim fosfatase lindi tulang.
f.     Hipoalbuminemia dan hipokolesterolemia : umunya disebabkan gangguan
metabolisme dan diet rendah protein.
g.    Peninggian gula darah, akibat gangguan metabolism karbohidrat pada gagal
ginjal ( resistensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan perifer ).

2    Radiology
Foto polos abdomen untuk menilai bentuk dan besar ginjal ( adanya batu atau adanya
suatu obstruksi ). Dehidrasi karena proses diagnostic akan memperburuk keadaan ginjal, oleh
sebab itu penderita diharapkan tidak puasa.

4.    IIntra Vena Pielografi (IVP)


Untuk menilai system pelviokalisisdan ureter.

5.    USG
Untuk menilai besar dan bentuk ginjal, tebal parenkim ginjal, kepadatan parenkim
ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih dan prostat.

6.    EKG
Untuk melihat kemungkinan hipertropi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis,
aritmia, gangguan elektrolit (hiperkalemia)

E. Penatalaksanaan Medis

Tujuan penatalaksanaan pada gagal ginjal kronis adalah untuk mempertahankan


fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin. Semua factor yang berperan dalam terjadinya
gagal ginjal kronis dicari dan diatasi.
Adapun penatalaksanaannya yaitu : Penatalaksanaan konservatif, Meliputi pengaturan
diet, cairan dan garam, memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa,
mengendalikan hiperensi, penanggulangan asidosis, pengobatan neuropati, deteksi dan
mengatasi komplikasi. Dan penatalaksanaan pengganti diantaranya dialysis (hemodialisis,
peritoneal dialysis) transplantasi ginjal.
Selain itu tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit
dan mencegah komplikasi yaitu sebagai berikut :
1.    Dialisis
Dialysis dapat dlakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal yang serius, seperti
hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialysis memperbaiki abnormalitas biokimia,
menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat dikonsumsi sevara bebas, menghilangkan
kecenderungan pendarahan, dan membantu menyembuhkan luka.
2.    Koreksi hiperkalemi
Mengendalikan kalium darah sangat penting karena hiperkalemi dapat menimbulkan
kematian mendadak. Hal yang pertama harus diingat adalah jangan menimbulkan
hiperkalemia. Selain dengan pemeriksaan darah, hiperkalemia juga dapat didiagnosis dengan
EEG dan EKG. Bila terjadi hiperkalemia, maka pengobatannya adalah dengan mengurangi
intake kalium, pemberian Na Bikarbonat, dan pemberian infuse glukosa.
3.    Koreksi anemia
Pengendalian gagal ginjal pada keseluruhan akan dapat meninggikan Hb. Transfusi
darah hanya dapat diberikan bila ada indikasi yang kuat, missal pada adanya insufisiensi
koroner.
4.    Koreksi asidosis.
Pemberian asam melalui makanan dan obat-obatan harus dihindari. Natrium
bikarbonat dapat diberikan peroral atau parenteral. Hemodialisis dan dialysis peritoneal dapat
juga mengatasi asidosis
5.    Pengendalian hipertensi
Pemberian obat beta bloker, alpa metildopa, dan vasodilator dilakukan. Mengurangi
intake garam dalam mengendalikan hipertensi harus hati-hati karena tidak semua gagal ginjal
disertai retensi natrium.
6.    Transplantasi ginjal
Dengan pencangkokan ginjal yang sehat ke pasien GGK, maka seluruh faal ginjal
diganti oleh ginjal yang baru.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PALIATIF CARE
PADA KLIEN GAGAL GINJAL KRONIS

A. Definisi Perawatan Paliatif 

Perawatan Paliatif adalah perawatan kesehatan terpadu yang bersifat aktif dan
menyeluruh, dengan pendekatan multidisiplin yang terintegrasi. Perawatan paliatif untuk
mencegah, memperbaiki, mengurangi gejala-gejala suatu penyakit, namun bukan berupaya
penyembuhan. Suatu pendekatan untuk memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarganya
dalam menghadapi penyakit yang mengancam jiwa, melalui pencegahan, penilaian,
pengobatan nyeri dan masalah-masalah fisik lain, juga masalah psikologis dan spiritual
lainnya.

B. Prinsip Perawatan Paliatif 

1.    Menghilangkan nyeri & gejala-gejala yang menyiksa lain


2.    Menghargai kehidupan & menghormati kematian sebagai suatu proses normal
3.    Tidak bermaksud mempercepat atau menunda kematian
4.     Perawatan yang mengintegrasikan aspek psikologis dan spiritual, sosial, budaya dari
pasien dan keluarganya, termasuk dukungan saat berkabung.
5.      Memberi sistim dukungan untuk mengusahakan pasien sedapat mungkin tetap aktif
sampai kematiannya.
6.      Memberi sistim dukungan untuk menolong keluarga pasien melalui masa sakit pasien,
dan sewaktu masa perkabungan

C. Karakteristik Perawatan Paliatif 

1.    Menggunakan pendekatan tim untuk mengetahui kebutuhan pasien dan keluarganya,


termasuk konseling kedukaan bila diperlukan.
2.    Meningkatkan kwalitas hidup, dan juga secara positif mempengaruhi perjalanan
penyakit.
3.    Perawaatan aktif, total bagi pasien yang menderita penyakit yang tidak dapat
disembuhkan
4.    Pendekatan holistik : fisik, mental, spiritual, sosial
5.    Pendekatan multi-disipliner : medis, non-medis, keluarga

D.  Manfaat Perawatan Paliatif 

1.    Meningkatkan kualitas hidup Pasien GGK dan keluarganya


2.    Mengurangi penderitaan pasien
3.    Mengurangi frekuensi kunjungan ke rumah sakit
4.    Meningkatkan kepatuhan pengobatan
D. Pelaksana Perawatan Paliatif 

1.    Petugas medis :
a.    Perawat
b.    Manajer kasus
c.    Dokter, fisioterapis, nutrisionis
2.    Keluarga pasien
3.    Petugas sosial komunitas : lay support
4.     Anggota KDS
5.    Petugas LSM

E. Syarat Perawatan Paliatif  Yang Baik

1.      Menghargai otonomi dan pilihan pasien


2.      Memberi akses sumber informasi yang adekuat
3.      Ciptakan hubungan saling menghargai dan mempercayai antara pasien dengan pemberi
perawatan
4.      Berikan dukungan bagi keluarga, anak, petugas sosial yang memberikan perawatan.
5.      Hormati dan terapkan nilai-nilai budaya setempat, kepercayaan / agama, dan adat
istiadat.

G. Jenis Perawatan Paliatif


1.    Pengobatan medikamentosa terutama penatalaksanaan nyeri dan gejala-gejala lain
2.    Perawatan psikososial berupa :
a.       psikologis 
b.      sosial
c.       spiritual
d.      kedukaan/berkabung

H.  Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis


selama mungkin. Seluruh factor yang berperan pada gagal ginjal tahap akhir dan factor yang
dapat dipulihkan (mis : obstruksi) diidentifikasi dan ditangani.  Komplikasi potensial gagal
ginjal kronis yang memerlukan pendekatan kolaboratif dalam perawatan mencakup :
1.    Hiperkalemia akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolic, katabolisme, dan masukkan
diet berlebih
2.    Perikarditis, efusi pericardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialysis yang tidak adekuat
3.    Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system renin-angiostensin-
aldosteron
4.    Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah marah,
perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin, kehilangan darah selama hemodialisis
5.    Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatic akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
yang rendah, metabolism vitamin D abnormal, dan peningkatan kadar aluminium.
Komplikasi dapat dicegah atau dihambat dengan pemberian antihipertensif,
eritropoetin, suplemen besi, agens pengikat fosfat, dan suplemen kalsium. Pasien juga perlu
mendapat penanganan dialysis yang adekuat untuk menurunkan kadar produk sampah uremik
dalam darah.

I.     Penanganan

1.    Intervensi diet
Intervensi diet diperlukan pada gangguan fungsi renal dan mencakup pengaturan yang cermat
terhadap masukkan protein, masukkan cairan untik mengganti cairan yang hilang, masukkan
natrium untuk mengganti natrium yang hilang, dan pembatasan kalium.

2.    Hiperfosfatemia dan hipokalemia


Ditangani dengan antasida mengandung aluminum yang mengikat fosfat makanan di saluran
gastrointestinal.

3.    Hipertensi
Ditangani dengan berbagai medikasi antihipertensif control volume intravaskuler. Gagal
jantung kongestif dan edema pulmoner juga memerlukan pennganan pembatasan cairan, diet
rendah natrium, diuretic, agens inotropik seperti digitalis atau dobutamine, dan dialysis.
Asidosis metabolic pada gagal ginjal kronis biasanya tanpa gejala dan tidak memerlukan
penanganan, namun demikian, suplemen natrium karbonat atau dialysis diperlukan untuk
mengoreksi asidosis jika kondisi ini menimbulkan gejala.

4.    Hiperkalemia
Biasanya dicegah dengan penanganan dialysis yang adekuat disertai pengambilan kalium dan
pemantauan yang cermat terhadap kandungan kalium pada seluruh medikasi oral atau
intravena.

5.    Abnormalitas Neurologi
Dapat terjadi dan memerlukan observasi dini terhadap tanda-tanda seperti kedutan, sakit
kepala, delirium, atau aktivitas kejang. Pasien dilindungi dari cedera dan menempatkan
pembatas tempat tidur. Diazepam intravena (Valium) atau fenitoin (Dilantin) biasanya
diberikan untuk mengendalikan kejang.

6.    Anemia
Anemia pada gagal ginjal kronis ditangani dengan Epogen (eritropoetin manusia
rekombinan). Anemia pada pasien (hematokrit kurang dari 30 %) muncul tanpa gejala
spesifik seperti malaise, keletihan umum, dan penurunan toleransi aktivitas.

J.    Terapi GGK

1. Terapi Farmakologis
a.    Kontrol tekanan darah
Penghambat EKA atau antagonis reseptor Angiotensin II → evaluasi kreatinin dan kalium
serum, bila terdapat peningkatan kreatinin > 35% atau timbul hiperkalemia harus dihentikan.
b.      Pada pasien DM, kontrol gula darah → hindari pemakaian metformin dan obat-obat
sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk DM tipe 1 0,2 diatas nilai
normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6%
c.    Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl
d.   Kontrol hiperfosfatemia: polimer kationik (Renagel), Kalsitrol
e.    Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO3 20-22 mEq/l
f.     Koreksi hiperkalemia
g.    Kontrol dislipidemia dengan target LDL,100 mg/dl dianjurkan golongan statin
h.    Terapi ginjal pengganti

2.    Terapi konservatif 
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki
metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar,
2006). 
a.    Peranan diet 
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi
toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan
negatif nitrogen. 

b.    Kebutuhan jumlah kalori 


Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan utama,
yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan
memelihara status gizi. 

c.    Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis
mencapai 2 L per hari.

d.   Kebutuhan elektrolit dan mineral 


Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan
penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).

3.    Terapi simtomatik 
a.    Asidosis metabolik 
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia).
Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi
alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum
bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
b.    Anemia 
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi
alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat
menyebabkan kematian mendadak. 
c.    Keluhan gastrointestinal 
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada
GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari GGK.
Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus.
Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan
simtomatik. 
d.   Kelainan kulit 
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit. 
e.    Kelainan neuromuskular 
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang
adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi. 
f.     Hipertensi 
g.    Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
h.    Kelainan sistem kardiovaskular 
i.     Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita

4.    Terapi pengganti ginjal 
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada
LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal,
dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006). 
a.    Hemodialisis 
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia,
dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum
tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Hemodialisis akan mencegah kematian
tetapi tidak dapat menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu
mengimbangi hilangnya aktivitas metabolic atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan
dampak dari gagal ginjal serta terapinya terhadap kualitas hidup pasien. Pasien GGK harus
menjalani terapi dialysis sepanjang hidupnya (3x seminggu selama 3-4 jam per kali terapi)
atau sebelum melakukan operasi pencangkokan ginjal.
b.    Dialisis peritoneal (DP)
Metode yang dikenal dengan Peritoneal Dialysis (PD) yaitu metode pencucian darah
dengan mengunakan peritoneum (selaput yang melapisi perut dan pembungkus organ perut).
Selaput ini memiliki area permukaan yang luas dan kayaakan pembuluh darah. Zat-zat dari
darah dapat dengan mudah tersaring melalui peritoneumke dalam rongga perut. Cairan
dimasukkan melalui sebuah selang kecil yang menembus dinding perut ke dalam rongga
perut. Cairan harus dibiarkan selama waktu tertentu sehingga limbah metabolic dari aliran
darah secara perlahan masuk ke dalam cairan tersebut, kemudian cairan dikeluarkan, dibuang,
dan diganti dengan cairan yang baru.
Ada dua macam PD, yaitu Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) dan
Automated Peritoneal Dialysis (APD). APD relatif masih jarang digunakan oleh masyarakat
Indonesia. CAPD dapat menciptakan kualitas hidup yang lebih baik bagi penderita. Sebab,
mereka dapat menjalani hidupnya dengan normal, tanpa banyak batasan untuk
mengkonsumsi makanan. CAPD dipasang permanen di tubuh penderita, tepatnya di bagian
perut. Sebuah catheter (kateter) dipasang di bagian perutnya dan disediakan sebuah kantong
untuk menjamin kesterilannya. Dengan CAPD, penderita cukup melakukan kontrol 1 kali
dalam sebulan ke rumah sakit. Pola kerja cuci darahnya, kateter disambungkan dengan
titanium adapter yang akan mengalirkan cairan dextrose.
Cairan inilah yang berfungsi untuk menarik racun dari dalam tubuh. Proses pengaliran
cairan ini hanya membutuhkan waktu10 menit. Dalam sehari dilakukan sebanyak 3-4 kali.
Jaraknya sekitar 4 sampai 6 jam dari satu pencucian dengan pencucian berikutnya. Kalau
transfer setnya bisa diganti 6 bulan sekali. Kunci dari CAPD harus disiplin tinggi. Karena
tanpa disiplin tidk bisa berhasil. Misalnya, saat melakukan pencucian darahtangan mereka
harus bersih, AC dan kipas angin tidak boleh menyala serta lampu harus terang.
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang
termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik,
bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi
refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin >
10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia,
muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006). Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun
1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya
dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput
semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang
umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal
(Rahardjo, 2006). 

c.    Transplantasi ginjal 
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal).
Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu: 
1)   Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal,
sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah 
2)   Kualitas hidup normal kembali 
3)   Masa hidup (survival rate) lebih lama 
4)   Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat
imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan 
Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
BAB IV
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Gangguan fungsi ginjal yang menahun bersifat progresif dan irreversibel, dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) mnjadi
penyebab:
•       Infeksi misalnya pielonefritis kronis
•       Penyakit peradangan misalnya glomerulonefritis
•       Penyakit vaskuler hipertensif
•       Gangguan jaringan penambung
•       Gangguan kongenital dan herediter
•       Penyakit metabolic
•       Nefropati toksik
•       Nefropati obstruktif

Tanda dan gejala


•       Gangguan pernafasan
•       Udema
•       Hipertensi
•       Anoreksia
•       Ulserasi usus
•       Stomatitis
•       Proteinuria
•       Hematuria
•       Letargi, apatis, penurunan konsentrasi
•       Anemi
•       Perdarahan
•       Turgor kulit jelek
•       Gatal-gatal pada kulit
•       Distrofi renal
•       Hiperkalemia
•       Asidosis metabolic
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti yang paling baik, akan tetapi
mempunyai beberapa kendala seperti keterbatasan donor, biaya mahal, efek samping obat-
obatan imunosupresi dan rejeksi kronis yang belum bisa diatasi. Keuntungan transplantasi
ginjal ialah menghasilkan rehabilitas paling baik dibandingkan dialysis.

B.  Saran

Diharapkan makalah ini bisa memerikan masukan bagi rekan- rekan mahasiswa calon 
perawat, sebagai bekal untuk dapat memahami mengenai penyakit gagal ginjal kronis
menjadi bekalkan dalam pengaplikasian dan praktik bila menghadapi kasus yang kami bahas
ini.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC
Doenges E, Marilynn, dkk. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk
Perancanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC
Long, B C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan) Jilid
3. Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan
Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC
Doenges, Marilynn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
Supartondo. ( 2001 ). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta : Balai Penerbit FKUI

http://nikomang-sugiartini.blogspot.co.id/2011/11/keperawatan-paliatif-pada-pasian-
gagal.html diakses pada tanggal 31 agustus 2020 Pukul 17.00WIB

Anda mungkin juga menyukai