Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN


TUMOR HIDUNG/TUMOR CAVUM NASI

A.   KONSEP DASAR
1.     Definisi Kasus
Tumor hidung adalah pertumbuhan ke arah ganas yang m e n g e n a i h i d u n g d a n l e s i y a n g m e n y e r u p a i t u m o r
p a d a r o n g g a   hidung, termasuk kulit dari hidung luar dan vestibulum nasi

2. Etiologi
1. Kelainan Kongenital
2. Infeksi
3. Gaya hidup
4. Bahan – Bahan Karsinogenik

3. Gejala Klinis
Gejala dini tidak khas, pada stadium lanjut tergantung asal tumor dan arah perluasannya.
Gejala hidung:
  Buntu hidung unilateral dan progresif.
  Buntu bilateral bila terjadi pendesakan ke sisi lainnya.
  Skret hidung bervariasi, purulen dan berbau bila ada infeksi.
  Sekret yang tercampur darah atau adanya epistaksis menunjukkan kemungkinan keganasan.
  Rasa nyeri di sekitar hidung dapat diakibatkan oleh gangguan ventilasi sinus, sedangkan rasa nyeri terus-menerus dan progresif
umumnya akibat infiltrasi tumor ganas.

Gejala lainnya dapat timbul bila sinus paranasal juga terserang tumor seperti:
  Pembengkakan pipi
  Pembengkakan palatum durum
  Geraham atas goyah, maloklusi gigi
  Gangguan mata bila tumor mendesak rongga orbita.

4. Patofisiologi
Kelainan congenital, Infeksi, Gaya hidup, karsinogenik (bahan kimia, virus, radiasi) dapat menimbulkan tumbuh atau berkembangnya
sel tumor. Sel tumor dapat bersifat benign (jinak) atau bersifat malignant (ganas).
Sel tumor pada tumor jinak bersifat tumbuh lambat, sehingga tumor jinak pada umumnya tidak cepat membesar. Sel tumor mendesak
jaringan sehat sekitarnya secara serempak sehingga terbentuk simpai (serabut pembungkus yang memisahkan jaringan tumor dari
jaringan sehat). Oleh karena bersimpai maka pada umumnya tumor jinak mudah dikeluarkan dengan cara operasi.
Sel tumor pada tumor ganas (kanker) tumbuh cepat, sehingga tumor ganas pada umumnya cepat menjadi besar. Sel tumor ganas
tumbuh menyusup ke jaringan sehat sekitarnya, sehingga dapat digambarkan seperti kepiting dengan kaki-kakinya mencengkeram alat
tubuh yang terkena. Disamping itu sel kanker dapat membuat anak sebar (metastasis) ke bagian alat tubuh lain yang jauh dari tempat
asalnya melalui pembuluh darah dan pembuluh getah bening dan tumbuh kanker baru di tempat lain. Penyusupan sel kanker ke
jaringan sehat pada alat tubuh lainnya dapat merusak alat tubuh tersebut sehingga fungsi alat tersebut menjadi terganggu.
Kanker adalah sebuah penyakit yang ditandai dengan pembagian sel yang tidak teratur dan kemampuan sel-sel ini untuk menyerang
jaringan biologis lainnya, baik dengan pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan (invasi) atau dengan migrasi sel ke
tempat yang jauh (metastasis). Pertumbuhan yang tidak teratur ini menyebabkan kerusakan DNA, menyebabkan mutasi di gen vital
yang mengontrol pembagian sel, dan fungsi lainnya (Tjakra, Ahmad. 1991).
Adapun siklus tumbuh sel kanker adalah membelah diri, membentuk RNA, berdiferensiasi / proliferasi, membentuk DNA baru,
duplikasi kromosom sel, duplikasi DNA dari sel normal, menjalani fase mitosis, fase istirahat (pada saat ini sel tidak melakukan
pembelahan).
5. Pemeriksaan Penunjang
-          Foto sinar X:
o   WATER (untuk melihat perluasan tumor di dalam sinus maksilaris dan sinus frontal)
o   Tengkorak lateral ( untuk melihat ekstensi ke fosa kranii anterior/medial)
o   RHEZZE (untuk melihat foramen optikum dan dinding orbita)
o   CT Scan (bila diperlukan dan fasilitas tersedia)
-          Biopsi:
o   Biopsi dengan forsep (Blakesley) dilakukan pada tumor yang tampak. Tumor dalam sinus maksilaris dibiopsi dngan pungsi
melalui meatus nasi inferior. Bila perlu dapat dilakukan biopsi dengan pendekatan Caldwell-Luc. Tumor yang tidak
mungkin/sulit dibiopsi langsung dilakukan operasi. Untuk kecurigaan terhadap keganasan bila perlu dilakukan potong
beku untuk diperiksa lebih lanjut.
6. Terapi
  Tumor jinak:
Terapi pilihan adalah pembedahan dengan pendekatan antara lain:
1)          Rinotomi lateral
2)          Caldwell-Luc
3)          Pendekatan trans-palatal
  Tumor ganas:
1)          Pembedahan
2)          Radiasi
3)          Kemoterapi
B.   KONSEP KEPERAWATAN
1.     Pengkajian Fokus
a.      Riwayat Keperawatan dan Pengkajian Fisik:
Gejala-gejala khas tergantung ukuran tumor, kegansan dan stadium penyakit, antara lain:
Gejala hidung:
  Buntu hidung unilateral dan progresif.
  Buntu bilateral bila terjadi pendesakan ke sisi lainnya.
  Skret hidung bervariasi, purulen dan berbau bila ada infeksi.
  Sekret yang tercampur darah atau adanya epistaksis menunjukkan kemungkinan keganasan.
  Rasa nyeri di sekitar hidung dapat diakibatkan oleh gangguan ventilasi sinus, sedangkan rasa nyeri terus-menerus dan progresif
umumnya akibat infiltrasi tumor ganas.
Gejala lainnya dapat timbul bila sinus paranasal juga terserang tumor seperti:
  Pembengkakan pipi
  Pembengkakan palatum durum
  Geraham atas goyah, maloklusi gigi
  Gangguan mata bila tumor mendesak rongga orbita.
Pada tumor ganas didapati gejala sistemik:
  Penurunan berat badan lebih dari 10 %
  Kelelahan/malaise umum
  Napsu makan berkurang (anoreksia)

Pada pemeriksaan fisik didapatkan:


  Inspeksi terhadap wajah, mata, pipi, geraham dan palatum: didapatkan pembengkakan sesuai lokasi pertumbuhan tumor
  Palpasi, teraba tumor dan pembesaran kelenjar leher
b.      Pengkajian Diagnostik:
  Rinoskopi anterior untuk menilai tumor dalam rongga hidung
  Rinoskopi posterior untuk melihat ekstensi ke nasofaring
  Foto sinar X:
  Biopsi:

2.     Diagnosa Keperawatan yang Sering Muncul


a.       Kecemasan b/d krisis situasi (keganasan), ancaman perubahan status kesehatan-sosial-ekonomik, perubahan fungsi-peran,
perubahan interaksi sosial, ancaman kematian, perpisahan dari keluarga.
b.      Gangguan harga diri b/d kelainan bentuk bagian tubuh akibat keganasan, efek-efek radioterapi/kemoterapi.
c.       Nyeri b/d kompresi/destruksi jaringan saraf dan proses inflamasi.
d.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d peningkatan status metabolik akibat keganasan, efek radioterapi/kemoterapi
dan distres emosional.
e.       Risiko infeksi b/d ketidak-adekuatan pertahanan sekunder dan efek imunosupresi radioterapi/kemoterapi

3.  Rencana Asuhan
1)         Kecemasan b/d krisis situasi (keganasan), ancaman perubahan status kesehatan-sosial-ekonomik, perubahan
fungsi-peran, perubahan interaksi sosial, ancaman kematian, perpisahan dari keluarga.

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1.   Orientasikan klien dan orang terdekat Informasi yang tepat tentang situasi yang
terhadap prosedur rutin dan aktivitas dihadapi klien dapat menurunkan
yang diharapkan. kecemasan/rasa asing terhadap lingkungan
sekitar dan membantu klien mengantisipasi
dan menerima situasi yang terjadi.

2.   Eksplorasi kecemasan klien dan Mengidentifikasi faktor pencetus/pemberat


berikan umpan balik. masalah kecemasan dan menawarkan
solusi yang dapat dilakukan klien.

3.   Tekankan bahwa kecemasan adalah Menunjukkan bahwa kecemasan adalah


masalah yang lazim dialami oleh wajar dan tidak hanya dialami oleh klien
banyak orang dalam situasi klien saat satu-satunya dengan harapan klien dapat
ini. memahami dan menerima keadaanya.

4.   Ijinkan klien ditemani keluarga Memobilisasi sistem pendukung,


(significant others) selama fase mencegah perasaan terisolasi dan
kecemasan dan pertahankan menurunkan kecemsan.
ketenangan lingkungan.

5.   Kolaborasi pemberian obat sedatif. Menurunkan kecemasan, memudahkan


istirahat.

6.   Pantau dan catat respon verbal dan Menilai perkembangan masalah klien.
non verbal klien yang menunjukan
kecemasan.

2)         Gangguan harga diri b/d kelainan bentuk bagian tubuh akibat keganasan, efek-efek radioterapi/kemoterapi.
 

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1.    Diskusikan dengan klien dan keluarga Membantu klien dan keluarga memahami
pengaruh diagnosis dan terapi masalah yang dihadapinya sebagai langkah
terhadap kehidupan pribadi klien dan awal proses pemecahan masalah.
aktiviats kerja.

2.    Jelaskan efek samping dari Efek terapi yang diantisipasi lebih


pembedahan, radiasi dan kemoterapi memudahkan proses adaptasi klien
yang perlu diantisipasi klien terhadap masalah yang mungkin timbul.

3.    Diskusikan tentang upaya pemecahan Perubahan status kesehatan yang


masalah perubahan peran klien dalam membawa perubahan status sosial-
keluarga dan masyarakat berkaitan ekonomi-fungsi-peran merupakan masalah
dengan penyakitnya. yang sering terjadi pada klien keganasan.
4.    Terima kesulitan adaptasi klien Menginformasikan alternatif konseling
terhadap masalah yang dihadapinya profesional yang mungkin dapat ditempuh
dan informasikan kemungkinan dalam penyelesaian masalah klien.
perlunya konseling psikologis

5.    Evaluasi support sistem yang dapat Mengidentifikasi sumber-sumber


membantu klien (keluarga, kerabat, pendukung yang mungkin dapat
organisasi sosial, tokoh spiritual) dimanfaatkan dalam meringankan masalah
klien.

6.    Evaluasi gejala keputusasaan, tidak Menilai perkembangan masalah klien.


berdaya, penolakan terapi
dan perasaan tidak berharga yang
menunjukkan gangguan harga diri
klien.

3)         Nyeri b/d kompresi/destruksi jaringan saraf dan proses inflamasi.

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1.    Lakukan tindakan kenyamanan dasar Meningkatkan relaksasi dan mengalihkan


(reposisi, masase punggung) dan fokus perhatian klien dari nyeri.
pertahankan aktivitas hiburan (koran,
radio)

2.    Ajarkan kepada klien manajemen Meningkatkan partisipasi klien secara aktif


penatalaksanaan nyeri (teknik dalam pemecahan masalah dan
relaksasi, napas dalam, visualisasi, meningkatkan rasa kontrol diri/keman-
bimbingan imajinasi) dirian.

3.    Berikan analgetik sesuai program Analgetik mengurangi respon nyeri.


terapi.

4.    Evaluasi keluhan nyeri (skala, lokasi, Menilai perkembangan masalah klien.


frekuensi, durasi)

 
4)         Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d peningkatan status metabolik akibat keganasan, efek
radioterapi/kemoterapi dan distres emosional.

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1.    Dorong klien untuk meningkatkan Asupan nutrisi dan cairan yang adekuat
asupan nutrisi (tinggi kalori tinggi diperlukan untuk mengimbangi status
protein) dan asupan cairan yang hipermetabolik pada klien dengan
adekuat. keganasan.

2.    Kolaborasi dengan tim gizi untuk Kebutuhan nutrisi perlu diprogramkan


menetapkan program diet pemulihan secara individual dengan melibatkan klien
bagi klien. dan tim gizi bila diperlukan.

3.    Berikan obat anti emetik dan roborans Anti emetik diberikan bila klien mengalami
sesuai program terapi. mual dan roborans mungkin diperlukan
untuk meningkatkan napsu makan dan
membantu proses metabolisme.

4.    Dampingi klien pada saat makan, Mencegah masalah kekurangan asupan


identifikasi keluhan klien tentang yang disebabkan oleh diet yang disajikan.
makan yang disajikan.
5.    Timbang berat badan dan ketebalan Menilai perkembangan masalah klien.
lipatan kulit trisep (ukuran
antropometrik lainnya) sekali
seminggu

6.    Kaji hasil pemeriksaan laboratorium Menilai perkembangan masalah klien.


(Hb, limfosit total, transferin serum,
albumin serum)

 
5)         Risiko infeksi b/d ketidak-adekuatan pertahanan sekunder dan efek imunosupresi radioterapi/kemoterapi
 
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1.    Tekankan penting oral hygiene. Infeksi pada cavum nasi dapat bersumber
dari ketidakadekuatan oral hygiene.

2.    Ajarkan teknik mencuci tangan Mengajarkan upaya preventif untuk


kepada klien dan keluarga, tekankan menghindari infeksi sekunder.
untuk menghindari mengorek/me-
nyentuh area luka pada rongga hidung
(area operasi).

3.    Kaji hasil pemeriksaan laboratorium Menilai perkembagan imunitas seluler/


yang menunjukkan penurunana fungsi humoral.
pertahanan tubuh (lekosit, eritrosit,
trombosit, Hb, albumin plasma)

4.    Berikan antibiotik sesuai dengan Antibiotik digunakan untuk mengatasi


program terapi. infeksi atau diberikan secara profilaksis
pada pasien dengan risiko infeksi.
5.    Tekankan pentingnya asupan nutrisi Protein diperlukan sebagai prekusor
kaya protein sehubungan dengan pembentukan asam amino penyusun
penurunan daya tahan tubuh. antibodi.

6.    Kaji tanda-tanda vital dan Efek imunosupresif terapi radiasi dan


gejala/tanda infeksi pada seluruh kemoterapi dapat mempermudah timbulnya
sistem tubuh. infeksi lokal dan sistemik.

0 Comments

.    KONSEP DASAR PENYAKIT


1.      DEFINISI
Tumor hidung merupakan tumor yang berada di rongga yang dibatasi oleh tulang-tulang wajah yang merupakan daerah yang
terlindung sehingga tumor yang timbul di daerah ini sulitdiketahui secara dini. Tumor ganas hidung bagian dalam jarang terjadi.
Tumor hidung adalah pertumbuhan ke arah ganas yangmengenai hidung dan lesi yang menyerupai tumor pada rongga hidung,
termasuk kulit dari hidung luar dan vestibulum nasi.
Merupakan tersumbatnya perjalananudara melalui nostril oleh deviasi septumnasi, hipertrofi tulang torbinat / tekananpolip yang dapat
mengakibatkanepisode nasofaringitis infeksi(Brunner & Sudarth, 200

2.      ETIOLOGI
Etiologi tumor ganas hidung belum diketahui, tetapi diduga beberapa zat hasil industri merupakan penyebab antara lain nikel, debu
kayu, kulit, formaldehid, kromium, minyak isopropyl dan lain-lain

3.      PENGKLASIFIKASIAN HIDUNG
1.      Tumor Jinak
      Tumor jinak tersering adalah papiloma skuamosa. Secara makroskopis mirip dengan polip, tetapi lebih vaskuler, padat dan
tidak mengkilap. Ada
2    Jenis papiloma,
     Pertama eksofitik atau fungiform[1] dan yang kedua endofitik disebut papiloma inverted. Papiloma[2]inverted ini bersifat
sangat invasive,dapat merusak jaringan sekitarnya. Tumor ini sangat cenderung untuk residif dan dapat berubah menjadi
ganas. Lebih sering dijumpai pada anak laki-laki usia tua. Terapi adalah bedah radikal misalnya rinotomi lateral atau
maksilektomi media5.
      Tumor jinak angiofibroma nasofaring sering bermanifestasi sebagai massa yang mengisi rongga hidung bahkan juga
mengisi seluruh rongga sinus paranasal dan mendorong bola mata ke anterior.

2.      Tumor Ganas
      Tumor ganas yang tersering adalah karsinoma sel skuamosa (70%), disusul oleh karsinoma yang berdeferensiasi dan
tumor kelenjar.
Sinus maksila adalah yang tersering terkena (65-80%), disusul sinus etmoid (15-25%), hidung sendiri (24%), sedangkan sinus
sphenoid dan frontal jarang terkena.Metastasis ke kelenjar leher jarang terjadi (kurang dari 5%) karena rongga sinus sangat
miskin dengan system limfa kecuali bila tumor sudah menginfiltrasi jaringan lunak hidung dan pipi yang kaya akan system
limfatik.Metastasis jauh juga jarang ditemukan (kurang dari 10%) dan organ yang sering terkena metastasis jauh adalah hati
dan paru

4.      PATOFISIOLOGI

Berbagai jenis tipe tumor berbeda telah dijelaskan terdapat pada rahang atas. Jenishistologis yang paling umum adalah karsinoma sel
skuamosa, mewakili sekitar 80%kasus.Lokasi primer tidak selalu mudah untuk ditentukan dengan sejumlah sinus berbeda yangsecara
umum terlibat seiring waktu munculnya pasien. Mayoritas (60%) tumor tampaknya berasal dari antrum, 30% muncul dalam rongga
hidung, dan sisa 10% muncul dari etmoid. Tumor primer frontal dan sfenoid sangat jarang
Limfadenopati servikal teraba muncul pada sekitar 15% pasien pada presentasi.Gambaran kecil ini disebabkan drainase limfatik sinus
paranasal ke nodus retrofaring dandari sana ke rantai servikal dalam bawah. Sebagai akibatnya, nodus yang terlibat diawaltidak
mudah dipalpasi di bagian leher manapun.Tumor hidungdapat diketahui bersama-samadengan polip nasi dan cenderung untuk timbul
bersama tumor hidung sel skuamosa maligna,lebih sering timbul didinding lateral hidung dan daapt pula menyebabkan obstruksi
saluran pernapasan hidung,perdarahan intermiten atau keduanya
5.      MANIFESTASI KLINIS
Gejala dini tidak khas, pada stadium lanjut tergantung asal tumor dan arah perluasannya.
Gejala hidung:
 Buntu hidung unilateral dan progresif[3].
1.      Buntu bilateral bila terjadi pendesakan ke sisi lainnya.
2.      Skret hidung bervariasi, purulen dan berbau bila ada infeksi.
3.      Sekret yang tercampur darah atau adanya epistaksis menunjukkan kemungkinan keganasan.
4.      Rasa nyeri di sekitar hidung dapat diakibatkan oleh gangguan ventilasi sinus, sedangkan rasa nyeri terus-menerus dan
progresif umumnya akibat infiltrasi tumor ganas.
Gejala lainnya dapat timbul bila sinus paranasal juga terserang tumor seperti:
a)      Pembengkakan pipi
b)      Pembengkakan palatum durum
c)      Geraham atas goyah, maloklusi gigi
d)     Gangguan mata bila tumor mendesak rongga orbita.

6.      KOMPLIKASI
Tidak dapat bermetasis,tetapi sangat destruktif disekitarnya dapat menyebar memenuhi nasofaring dan terlihat dari orofaring

7.      PEMERIKASAAN FISIK
1)      Inspeksi terhadap wajah, mata, pipi, geraham dan palatum: didapatkan pembengkakan sesuai lokasi pertumbuhan tumor
2)      Palpasi, teraba tumor dan pembesaran kelenjar leher

8.      PEMERIKSAAN PENUNJANG

Foto polos berfungsi sebagai diagnosis awal, terutama jika ada erosi tulang dan perselubungan padat unilateral, harus dicurigai
keganasan dan dibuat suatu tomogram atau TK. Pemeriksaan MRI dapat membedakan jaringan tumor dengan jaringan normal tetapi
kurang begitu baik dalam memperlihatkan destruksi tulang.

9.      PENATALAKSANAN

Terbaik untuk tumor ganas adalah kombinasi operasi, radio terapi,dan kemoterapi.Satu pengobatan saja tidak cukup.Kemoterapi
bermanfaat pada tumor ganasdengan metastase atau yang residif atau jenis yang sangat baik dengan kemoterapi,misalnya limfoma
malignum.Pada tumor jinak dilakukan ekstirpasi tumor sebersih mungkin. Bila perludilakukan cara pendekatan rinotomi lateral
ataudegloving[4].Untuk tumor ganas dilakukan tindakan radikal seperti maksilektomi, dapat berupa maksilektomi media, total dan
radikal. Maksilektomi biasanya di lakukan misalnya padatumor yang sudah infiltrasi ke orbita, terdiri dari pengangkatan maksila
secara endblok disertai eksterasi orbita, jika tumor meluas ke rongga intracranial dilakukan reseksi kraniofasial atau kraniotomi,
tindakan dilakukan dalam tim bersama dokter bedah saraf

B.     PROSES KEPERAWATAN
1.      PENGKAJIAN
a.       Riwayat kesehatan
1)      Keluhan Utama
Pada pasien tumor hidung; Nyeri pada hidung
2)      Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien mulai merasakan nyeri akibat pembengkakan
3)      Riwayat Kesehatan Dahulu
Apakah tumor hidung ini diderita sejak bayi sehingga mempengaruhi dalam kemampuanbernafas
4)      Riwayat Kesehatan Keluarga
Dalam keluarga pasien Tidak ada keluarga yang menderita penyakit pada sistem penciuman

2.      DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Kecemasan b/d krisis situasi (keganasan), ancaman perubahan status kesehatan-sosial-ekonomik, perubahan fungsi-peran,
perubahan interaksi        sosial, ancaman kematian, perpisahan dari keluarga
2.   Gangguan harga diri b/d kelainan bentuk bagian tubuh akibat efek-efek   radioterapi/kemoterapi.
3.   Nyeri b/d kompresi/destruksi jaringan saraf dan proses inflamasi.
4.   Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d peningkatan status       metabolik akibat keganasan, efek
radioterapi/kemoterapi dan distres         emosional.
5. Risiko infeksi b/d ketidak-adekuatan pertahanan sekunder dan efek imunosupresi radioterapi/kemoterapi

3.      INTERVENSI KEPERAWATAN
1)      Kecemasan b/d krisis situasi (keganasan), ancaman perubahan status kesehatan-sosial-ekonomik, perubahan fungsi-peran,
perubahan interaksi sosial, ancaman kematian, perpisahan dari keluarga.
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL
1. Orientasikan klien dan orang terdekat 1.      Informasi yang tepat tentang
terhadap prosedur rutin dan aktivitas situasi yang dihadapi klien dapat
yang diharapkan. menurunkan kecemasan/rasa
asing terhadap lingkungan
sekitar dan membantu klien
2. Eksplorasi kecemasan klien dan mengantisipasi dan menerima
berikan umpan balik. situasi yang terjadi.

2.      Mengidentifikasi faktor
3. Tekankan bahwa kecemasan adalah pencetus/pemberat masalah
masalah yang lazim dialami oleh kecemasan dan menawarkan
banyak orang dalam situasi klien saat solusi yang dapat dilakukan
ini. klien.

4. Ijinkan klien ditemani keluarga


(significant others) selama fase 3.      Menunjukkan bahwa kecemasan
kecemasan dan pertahankan adalah wajar dan tidak hanya
ketenangan lingkungan. dialami oleh klien satu-satunya
5. Kolaborasi pemberian obat sedatif. dengan harapan klien dapat
6. Pantau dan catat respon verbal dan memahami dan menerima
non verbal klien yang menunjukan keadaanya.
kecemasan.
4.      Memobilisasi sistem
pendukung, mencegah perasaan
terisolasi dan menurunkan
kecemsan.

5.      Menurunkan kecemasan,
memudahkan istirahat.

6.      Menilai perkembangan masalah


klien.

2) Gangguan harga diri b/d kelainan bentuk bagian tubuh akibat keganasan, efek- efek radioterapi/kemoterapi.
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL
1. Diskusikan dengan klien dan 1.      Membantu klien dan keluarga memahami
keluarga pengaruh diagnosis masalah yang dihadapinya sebagai langkah
dan terapi terhadap kehidupan awal proses pemecahan masalah.
pribadi klien dan aktiviats
kerja. 2.      Efek terapi yang diantisipasi lebih
2. Jelaskan efek samping dari memudahkan proses adaptasi klien
pembedahan, radiasi dan terhadap masalah yang mungkin timbul.
kemoterapi yang perlu 3.      Perubahan status kesehatan yang
diantisipasi klien membawa perubahan status sosial-
3. Diskusikan tentang upaya ekonomi-fungsi-peran merupakan masalah
pemecahan masalah perubahan yang sering terjadi pada klien keganasan.
peran klien dalam keluarga dan
masyarakat berkaitan dengan 4.      Menginformasikan alternatif konseling
penyakitnya. profesional yang mungkin dapat ditempuh
4. Terima kesulitan adaptasi klien dalam penyelesaian masalah klien.
terhadap masalah yang 5.      Mengidentifikasi sumber-sumber
dihadapinya dan informasikan pendukung yang mungkin dapat
kemungkinan perlunya dimanfaatkan dalam meringankan masalah
konseling psikologis klien.
5. Evaluasi support sistem yang
dapat membantu klien 6.       Menilai perkembangan masalah klien.
(keluarga, kerabat, organisasi
sosial, tokoh spiritual)
6. Evaluasi gejala keputusasaan,
tidak berdaya, penolakan terapi
dan perasaan tidak berharga
yang menunjukkan gangguan
harga diri klien.

3) Nyeri b/d kompresi/destruksi jaringan saraf dan proses inflamasi.


INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL
1.   Lakukan tindakan 1.      Meningkatkan relaksasi dan mengalihkan
kenyamanan dasar (reposisi, fokus perhatian klien dari nyeri.
masase punggung) dan 2.      Meningkatkan partisipasi klien secara aktif
pertahankan aktivitas hiburan dalam pemecahan masalah dan
(koran, radio) meningkatkan rasa kontrol diri/keman-
2.   Ajarkan kepada klien dirian.
manajemen penatalaksanaan
nyeri (teknik relaksasi, napas
dalam, visualisasi, bimbingan 3.      Analgetik mengurangi respon nyeri.
imajinasi)
3. Berikan analgetik sesuai 4.      Menilai perkembangan masalah klien.
program terapi.
4. Evaluasi keluhan nyeri (skala,
lokasi, frekuensi, durasi)

4) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d peningkatan status metabolik akibat keganasan, efek radioterapi/kemoterapi
dan distres emosional.
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL
1. Dorong klien untuk 1.      Asupan nutrisi dan cairan yang adekuat
meningkatkan asupan nutrisi diperlukan untuk mengimbangi status
(tinggi kalori tinggi protein) hipermetabolik pada klien dengan
dan asupan cairan yang keganasan.
adekuat.
2. Kolaborasi dengan tim gizi
untuk menetapkan program 2.      Kebutuhan nutrisi perlu diprogramkan
diet pemulihan bagi klien. secara individual dengan melibatkan klien
3. Berikan obat anti emetik dan dan tim gizi bila diperlukan.
roborans sesuai program terapi.
4. Dampingi klien pada saat 3.      Anti emetik diberikan bila klien
makan, identifikasi keluhan mengalami mual dan roborans mungkin
klien tentang makan yang diperlukan untuk meningkatkan napsu
disajikan. makan dan membantu proses metabolisme.
5. Timbang berat badan dan
ketebalan lipatan kulit trisep
(ukuran antropometrik lainnya)4.      Mencegah masalah kekurangan asupan
sekali seminggu yang disebabkan oleh diet yang disajikan.
6. Kaji hasil pemeriksaan
laboratorium (Hb, limfosit 5.      Menilai perkembangan masalah klien.
total, transferin serum, albumin
serum)
6.      Menilai perkembangan masalah klien.

5) Risiko infeksi b/d ketidak-adekuatan pertahanan sekunder dan efek imunosupresi radioterapi/kemoterapi
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL
1. Tekankan penting oral hygiene.1.      Infeksi pada cavum nasi dapat bersumber
2. Ajarkan teknik mencuci tangan dari ketidakadekuatan oral hygiene.
kepada klien dan keluarga, 2.      Mengajarkan upaya preventif untuk
tekankan untuk menghindari menghindari infeksi sekunder.
mengorek/me-nyentuh area
luka pada rongga hidung (area3.      Menilai perkembagan imunitas seluler/
operasi). humoral.
3. Kaji hasil pemeriksaan 4.      Antibiotik digunakan untuk mengatasi
laboratorium yang infeksi atau diberikan secara profilaksis
menunjukkan penurunana pada pasien dengan risiko infeksi.
fungsi pertahanan tubuh 5.      Protein diperlukan sebagai prekusor
(lekosit, eritrosit, trombosit, pembentukan asam amino penyusun
Hb, albumin plasma) antibodi.
4. Berikan antibiotik sesuai 6.      Efek imunosupresif terapi radiasi dan
dengan program terapi. kemoterapi dapat mempermudah timbulnya
5. Tekankan pentingnya asupan infeksi lokal dan sistemik.
nutrisi kaya protein
sehubungan dengan penurunan
daya tahan tubuh.
6. Kaji tanda-tanda vital dan
gejala/tanda infeksi pada
seluruh sistem tubuh.

[1] FUNGIFORM:berbentuk seperti cendawan


[2] Papiloma:tumor jaringan epitel yg bersifat jinak yg ditandai dengan tonjolan2 berupa puting
[3] Progresif:terus berlanjut
[4] Degrofing

Daftar pustaka

Adams at al (1997), Buku Ajar Penyakit THT, Ed. 6, EGC, Jakarta


Carpenito (2000), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6, EGC, Jakarta
Doenges at al (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3, EGC, Jakarta
Santosa, Budi. 2005-2006. Diagnosa Keperawatan NANDA. Jakarta : Prima Medikal.
Sumber Lainnya          :
file:///C:/Users/Public/Documents/tgs%20buk%20sari%20kep%20das%203/hidung/tumor%20hidung/Tumor-Hidung4.htm
http://www.scribd.com/doc/51886566/TUGAS-2-Tumor-Hidung
PROGRAM PROFESI APOTEKER ANGKATAN XXV
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
2013
 

BAB I
PENDAHULUAN

I.1.  Latar Belakang
Polip hidung adalah peradangan mukosa hidung yang berisi cairan interseluler dan berupa massa lunak. Bentuk polip bulat
atau lonjong dan berwarna putih keabu-abuan atau pucat. Teori mengenai penyebab timbulnya polip hidung telah sering diajukan,
tetapi belum ada teori yang dapat diterima dengan mutlak, mungkin juga timbulnya polip disebabkan oleh kombinasi beberapa factor,
yang pasti polip tidak timbul secara kongenital. Teori tersebut antara lain teori alergi, teori peradangan dan infeksi, teori obstruksi
mekanik, teori gangguan saraf, teori supurasi sinus, teori pembuluh darah dan limfe. Penelitian akhir-akhir ini mengatakan bahwa
polip berasal dari adanya epitel mukosa yang rupture oleh karena trauma, infeksi, dan alergi yang menyebabkan edema mukosa,
sehingga jaringan menjadi prolaps.(9) 
Fenomena Bernoulli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui tempat yang sempit akan menyebabkan tekanan negatif
pada daerah sekitarnya. Jaringan yang lemah akan terhisap oleh tekanan negatif ini sehingga mengakibatkan edema mukosa dan
menyebabkan polip. Fenomena ini menjelaskan mengapa polip banyak berasal dari area yang sempit di infundibulum etmoid, hiatus
semilunaris dan area lain di meatus medius. (5,6)
Gejala utama polip hidung adalah sumbatan hidung dan hilangnya sensasi bau. Berat ringannya tergantung besar kecilnya
polip, atau pada saat mendapat serangan radang atau alergi. Rinore biasanya encer atau mukopurulen bila ada infeksi, dan dapat
menetes ke belakang sebagai post nasal drip. Keluhan sering disertai bersin-bersin bila latar belakang alergi yang mendasarinya.
Infeksi sinus paranasal dapat terjadi bersamaan dengan polip hidung. Polip hidung sangat mengganggu pada kebanyakan pasien dan
pengobatannya pun masih kontroversial. Penyakit ini sering berulang dan memerlukan pengobatan yang lama sampai bertahun-
tahun. (9)
Polip hidung sangat mengganggu pada kebanyakan pasien dan pengobatannya pun masih kontroversial. Penyakit ini sering
berulang dan memerlukan pengobatan yang lama sampai bertahun-tahun. Pengobatannya bertujuan untuk mengurangi besarnya atau
menghilangkan polip supaya aliran udara hidung menjadi lapang dan penderita dapat bernapas dengan baik. Selanjutnya gejala-gejala
rinitis dapat dihilangkan dan fungsi penciuman kembali normal. Terdapat beberapa pilihan pengobatan untuk polip hidung mulai dari
pemberian obat-obatan, pembedahan konvensional sederhana dengan menggunakan snare polip sampai pada bedah endoskopi yang
memakai alat lebih lengkap. Walaupun demikian angka kekambuhan masih tetap tinggi sehingga memerlukan sejumlah operasi
ulang. (9) Penjelasan diatas merupakan landasan penyusunan makalah “Penyakit Nassal Polip” ini agar dapat lebih memahami tentang
penyakit polip dan terapi yang diberikan oleh seorang farmasis.

I.2.  Permasalahan
1.      Apa pengertian dan ciri-ciri polip?
2.   Bagaimana pemeriksaan penunjang dari polip?
3.   Bagaimana pencegahan polip?
4.      Terapi apa yang dapat diberikan oleh seorang farmasis pada pasien polip?
5.   Bagaimana perjalanan obat polip dalam tubuh?

I.3.  Tujuan
1.      Memahami lebih dalam mengenai polip dan ciri-ciri polip.
2.   Memahami cara-cara diagnosa polip.
3.   Mengetahui cara-cara pencegahan polip.
4.      Mengetahui jenis-jenis terapi yang dapat diberikan oleh seorang farmasis pada pasien polip.
5.   Mengetahui perjalan obat dalam tubuh.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1.  Anatomi Hidung
            Hidung secara anatomi dibagi menjadi dua bagian:
1.      Hidung bagian luar (Nasus eksterna)
2.      Hidung bagian dalam (Nasus interna atau cavum nasi)

Gambar 1. Anatomi hidung


Di sekitar rongga hidung (cavum nasi) terdapat rongga-rongga yang terletak di dalam tulang yang disebut sinus paranasal.
Terdapat 4 sinus paranasal yaitu: sinus maksila kanan dan kiri, sinus frontal kanan dan kiri, sinus etmoid kanan dan kiri serta sinus
sphenoid kanan dan kiri. Rongga sinus paranasal berhubungan dengan rongga hidung melalui suatu lubang yang disebut ostium. (4)
Indra penciuman menentukan aroma dan citarasa makanan dan minuman. Indra ini berfungsi bersama-sama sistem trigeminus
sebagai alat pemantau yang memantau zat kimia yang dihirup, termasuk berbagai substansi berbahaya seperti gas alam, asam dan
polutan udara. Substansi kualitatif penciuman pada hidung adalah neuroepitel oflaktorius. Terdapat juga beberapa substansi yang
dapat menimbulkan sensibilitas somatik yang berupa rasa dingin, hangat dan iritasi lewat serabut saraf aferen trigeminus,
glosofaringeus, dan vagus dalam hidung. (1)
            Rongga hidung dilapisi mukosa yang epitelnya terdiri atas epitel kolumnar pseudostratifikasi bersilia. Di antaranya terdapat sel
goblet yang menghasilkan lendir. Lendir ini mempunyai pH 6,5 dan mengandung lisozim yang mempunyai efek antiseptik. Tiap sel
mukosa rongga hidung mempunyai silia yang jumlahnya dapat mencapai 25 sampai 100 buah. Silia bergerak secara otomatis dan
terkoordinasi dalam arah dan waktunya. Pada manusia silia dapat bergerak sekitar 250 gerakan/menit. Gerakan ini dipengaruhi oleh
suhu, kelembaban, dan paparan zat anestetik atau gas. Gerakan silia akan mendorong selimut lender di atasnya ke belakang dengan
kecepatan 5 – 10 mm/menit. (4)
Neuroepitel oflaktorius terletak pada bagian superior cavum nasi. Struktur ini mengandung sel reseptor oflaktorius bipoler, sel
mikrofili, sel sustentakuler dan sel basal yang tersusun secara teratur. Tonjolan dendrit dari sel bipoler memiliki knob berbentuk umbi
atau vesikel yang menonjol ke dalam lapisan mukosa dan memiliki enam hingga delapan silia. Lokasi reseptor untuk molekul pencetus
bau (Odorant molecules) terletak pada silia tersebut. Sel basal merupakan progenaitor tipe sel lainnya dalam neuroepitelium oflaktorius
yang mencakup sel reseptor bipoler. Terdapat penggantian secara teratur sel reseptor bipoler yang berfungsi sebagai neuron sensorik
primer. Neuron sensorik primer inilah yang mengganti sel reseptor dengan sel basal yang sudah berdiferensiasi dan beregenerasi
membentuk kembali hubungan neuron sentral secara teratur setelah mengalami cedera. (1)
            Molekul odoran akan terabsorpsi ke dalam mucus yang menutupi neuroepitelium oflaktorius, berdifusi pada silia, dan secara
reversible terikat pada lokasi reseptor membran. Proses tersebut menyebabkan perubahan konformasional pada protein reseptor yang
memicu rantai kejadian biokimiawi yang menghasilkan potensial aksi dalam neuron primer yang diteruskan ke impuls saraf aferen. (1)
            Rongga hidung mempunyai banyak mediator kimia, termasuk cytokines, growth factors, adhesion molecules, dan
immunoglobulins. Polip hidung juga berisi vasoactive amines, serotonin, prostaglandins, leukotrienes, norepinephrine, kinins, esterases,
dan histamine. Jumlah histamin dalam polip hidung adalah 100-1000 kali jumlah yang ditemukan dalam aliran darah. (10)

II.2.  Polip
            Gangguan pada indra penciuman disebabkan oleh keadaan yang mengganggu pencapaian odoran pada neuroepitelium
oflaktorius (gangguan transportasi), yang menimbulkan cedera pada reseptor (gangguan sensorik) atau yang merusak lintasan
oflaktorius sentral (gangguan neural). Gangguan transportasi oflaktorius dapat terjadi akibat pembengkakan membran mukosa nasal
pada infeksi akut traktus respiratorius bagian atas oleh virus, rhinitis serta sinusitis bakterialis, dan rhinitis alergika dengan perubahan
struktural dalam cavum nasi seperti deviasi septum nasi, neoplasma dan polip. (1)
            Polip hidung adalah mukosa hidung yang mengalami hipertrofi yang dapat terjadi akibat edema kronik. Polip biasanya
dijumpai pada pasien pengidap rhinitis alergi. Apabila polip menimbulkan obstruksi, diindikasikan tindakan polipektomi hidung. Polip
terlihat seperti balon intranasal kecil, berwarna abu-abu sampai kuning kecoklatan, lembut dan tidak sensitif terhadap sentuhan,
kadang-kadang tampak seperti anggur. Polip berasal dari sel-sel udara etmoid yang menyebabkan perubahan struktur cavum nasi.
Polip kadang ditemukan trias dengan alergi aspirin dan asma. (2,3)
Beberapa mediator inflamasi juga dapat ditemukan di dalam polip. Histamin merupakan mediator terbesar yang konsentrasinya di dalam
stroma polip 100-1000 konsentrasi serum. Mediator kimia lain yang ikut dalam patogenesis dari nasal polip adalah  Gamma Interferon (IFN-γ)
danTumour Growth Factor β (TGF-β). IFN-γ menyebabkan migrasi dan aktivasi eosinofil yang melalui pelepasan toksiknya bertanggungjawab atas
kerusakan epitel dan sintesis kolagen oleh fibroblas . TGF-β yang umumnya tidak ditemukan dalam mukosa normal merupakan faktor paling kuat
dalam menarik fibroblas dan meransang sintesis matrik ekstraseluler. Peningkatan mediator ini pada akhirnya akan merusak mukosa rinosinusal
yang akan menyebabkan peningkatan permeabilitas terhadap natrium sehingga mencetuskan terjadinya edema submukosa pada polip nasi. (11)

Gambar 2. Polip

Ada dua jenis polip berdasarkan letaknya, yaitu:


1.      Polip antronasal, yang berasal dari sinus maksilaris dan dapat menonjol ke depan.
2.      Polip koanal, yang tumbuh ke belakang melalui orifisium ke dalam nasofaring.(3)
Sampai sekarang etiologi polip masih belum diketahui dengan pasti tapi ada 3 faktor yang penting dalam terjadinya polip, yaitu:
1. Adanya peradangan kronik yang berulang pada mukosa hidung dan sinus.
2. Adanya gangguan keseimbangan vasomotor.
3. Adanya peningkatan tekanan cairan interstisial dan edema mukosa hidung.
Pembentukan polip diawali dengan ditemukannya edema mukosa yang kebanyakan terjadi didaerah meatus medius. Kemudian
stroma akan terisi oleh cairan interseluler, sehingga mukosa yang sembab akan menjadi polipoid. Proses yang terus berlanjut
menyebabkan mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian akan turun kedalam rongga hidung sambil membentuk tangkai,
sehingga terbentuk polip. (5)

II.3.  Diagnosa Polip (5)
Gejala primer adalah hidung tersumbat, terasa ada massa dalam hidung, sukar mengeluarkan ingus dan hiposmia atau anosmia.
Gejala sekunder termasuk ingus turun kearah tenggorok (post nasal drip), rinore, nyeri wajah, sakit kepala, telinga rasa penuh,
mengorok, gangguan tidur, dan penurunan prestasi kerja. Biasanya polip sudah dapat terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior.
Polip yang sangat besar dapat mendesak dinding rongga hidung sehingga menyebabkan deformitas wajah (hidung mekar). Polip kecil
yang berada di celah meatus medius sering tidak terdeteksi pada rinoskopi anterior dan baru terlihat pada nasoendoskopi.

Gambar 3. CT scan sinus yang menunjukkan polip (P = polyp; O = ostium; MT = middle turbinate; IT = inferior turbinate; E = ethmoid
sinuses).
Pemeriksaan foto sinus paranasal sering menunjukkan rinosinusitis. Pada pemeriksaan CT scan akan terlihat bagaimana selsel
ethmoid dan kompleks ostio-meatal tempat biasanya polip tumbuh. CT scan perlu dilakukan bila ada polip unilateral, bila tidak
membaik dengan pengobatan konservatif selama 4-6 minggu, bila akan dilakukan operasi BESF dan bila ada kecurigaan komplikasi
sinusitis. Pemeriksaan lain yang mungkin perlu dilakukan adalah tes alergi pada pasien yang diduga atopi, biopsi bila ada kecurigaan
keganasan dan kultur polip nasi.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding polip nasi termasuk tumor-tumor jinak yang dapat tumbuh dihidung seperti kondroma, neurofibroma,
angiofibroma dan lain-lain. Papiloma inversi (Inverted papiloma) adalah tumor hidung yang secara histologis jinak tapi perangai
klinisnya ganas dapat menyebabkan pendesakan / destruksi dan sering kambuh kembali, penampakannya sangat merupai polip.
Tumor ganas hidung seperti karsinoma atau sarkoma biasanya unilateral, ada rasa nyeri dan mudah berdarah, sering menyebabkan
destruksi tulang. Diagnosis banding lain adalah meningokel/meningoensefalokel pada anak. Biasanya akan menjadi lebih besar pada
saat mengejan atau menangis.

II.4.  Terapi Polip (2,5,6)
            Tujuan utama pengobatan adalah mengatasi polip dan menghindari penyebab atau faktor pendorong polip.
Ada 3 macam terapi polip hidung, yaitu :
a.      Medikamentosa : kortikosteroid, antibiotik & antihistamin.
Untuk polip edematosa, dapat diberikan pengobatan kortikosteroid,Berikan kortikosteroid pada polip yang masih kecil dan
belum memasuki rongga hidung. Caranya bisa sistemik, intranasal atau kombinasi keduanya. Gunakan kortikosteroid sistemik dosis
tinggi dan dalam jangka waktu singkat. Berikan antibiotik jika ada tanda infeksi. Antibiotik sebagai terapi kombinasi pada polip
hidung bisa kita berikan sebelum dan sesudah operasi. Berikan antibiotik bila ada tanda infeksi dan untuk langkah profilaksis pasca
operasi.Berikan antihistamin jika pemicunya dianggap alergi.

Preparat Kortikosteroid
Adalah nama jenis hormon yang merupakan senyawa regulator seluruh sistem homeostasis tubuh organisme agar dapat
bertahan menghadapi perubahan lingkungan dan infeksi. Hormon anak ginjal berkhasiat sebagai anti radang, imunosupresif dan anti
alergis. Kedua efek terakhir untuk sebagian berhubungan dengan kerja anti radangnya, dan terutama nampak pada reaksi imun di
jaringan. Misalnya migrasi cells dan aktifitas fagosytosis dari makrofag di kurangi. Juga jaringan limfatis di rombak, dimana limfosit-
T dan –B berperan pembentukan antibodi hanya di tekan pada dosis amat tinggi.
Kortikosteroid digunakan sangat luas dalam pengobatan berbagai penyakit alergi oleh karena sifat anti inflamasinya yang kuat.
Beragam kerja anti inflamasi kortikosteroid diperantarai oleh pengaturan ekspresi dari bermacam gen target spesifik. Telah diketahui
bahwa kortikosteroid menghambat sintesis sejumlah sitokin seperti interleukin IL-1 sampai IL-6, tumor nekrosis factor-α (TNF-α), dan
granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF). Kortikosteroid juga menghambat sintesis khemokin IL-8,  regulated on
activation normal T cell expressed and secreted (RANTES), eotaxin, macrophage inflammatory protein- 1α (MIP-1α), dan monocyt
chemoattractant protein-1.
Efek antiinflamasi yang nyata terdapat pada golongan glukokortikoid. Glukokortikoid dapat diabsorpsi melalui kulit, sakus
konjungtiva dan ruang synovial. Sebagian besar kortikosteroid terikat globulin, sebagian lagi pada albumin. Biotransformasinya terjadi
di dalam dan di luar hati. Metabolitnya merupakan senyawa inaktif atau berpotensi rendah. Kortikosteroid bekerja dengan memblok
enzim fosfolipase-A2, sehingga menghambat pembentukan mediator peradangan seperti prostaglandin dan leukotrien. Selain itu
berfungsi mengurangi sekresi mukus dan menghambat proses peradangan. Efek samping kortikosteroid berkisar dari rendah, parah,
sampai mematikan. Hal ini tergantung dari rute, dosis, dan frekuensi pemberiannya. Efek samping pada pemberian kortikosteroid oral
lebih besar daripada pemberian inhalasi. Pada pemberian secara oral dapat menimbulkan katarak, osteoporosis, menghambat
pertumbuhan, berefek pada susunan saraf pusat dan gangguan mental, serta meningkatkan resiko terkena infeksi. Kortikosteroid
inhalasi secara umum lebih aman, karena efek samping yang timbul seringkali bersifat lokal seperti candidiasis (infeksi karena jamur
candida) di sekitar mulut, dysphonia (kesulitan berbicara), sakit tenggorokan, iritasi tenggorokan, dan batuk. Efek samping ini dapat
dihindari dengan berkumur setelah menggunakan sediaan inhalasi. Efek samping sistemik dapat terjadi pada penggunaan
kortikosteroid inhalasi dosis tinggi yaitu pertumbuhan yang terhambat pada anak-anak, osteoporosis, dan karatak.
a.       Kortikosteroid intranasal 
      Kortikosteroid intranasal (misalnya beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason, dan triamsinolon) dapat
mengurangi hiperreaktivitas dan inflamasi nasal. Obat ini merupakan terapi medikamentosa yang paling efektif  bagi rinitis alergik dan
efektif terhadap kongesti hidung. Efeknya akan terlihat setelah 6-12 jam, dan efek maksimal terlihat setelah beberapa hari.
Kortikosteroid topikal hidung pada anak masih banyak dipertentangkan karena efek sistemik pemakaian lama dan efek lokal obat ini.
Namun belum ada laporan tentang efek samping setelah pemberian kortikosteroid topikal hidung jangka panjang. Dosis steroid topikal
hidung dapat diberikan dengan dosis setengah dewasa dan dianjurkan sekali sehari pada waktu pagi hari. Obat ini diberikan pada
kasus rinitis alergik dengan keluhan hidung tersumbat yang menonjol.
Contoh: 1. Beklometason
                  Dosis :   2-4 dd 50 mcg di setiap lubang hidung.
1.   Flutikason
Dosis  :  spray 50 mcg/dosis.

b.      Kortikosteroid oral/IM  
      Kortikosteroid oral/IM (misalnya deksametason, hidrokortison, metilprednisolon, prednisolon, prednison, triamsinolon, dan
betametason) poten untuk mengurangi inflamasi dan hiperreaktivitas nasal. Pemberian jangka pendek mungkin diperlukan. Jika
memungkinkan, kortikosteroid intranasal digunakan untuk menggantikan pemakaian kortikosteroid oral/IM. Efek samping lokal obat
ini cukup ringan, dan efek samping sistemik mempunyai batas yang luas. Pemberian kortikosteroid sistemik tidak dianjurkan untuk
rinitis alergik pada anak. Pada anak kecil perlu dipertimbangkan pemakaian kombinasi obat intranasal dan inhalasi.
Contoh  :  1.  Kortison
Dosis   :  3 dd 25-50 mg (asetat)
2.      Prednisolon
Dosis      :  oral semula 1 dd 5-60 mg pagi hari, berangsur-angsur dalam waktu 4 minggu diturunkan sampai 5 mg sehari atau
10 mg setiap 2 hari.

b.      Operasi : polipektomi & etmoidektomi.


Untuk polip yang ukurannya sudah besar  dan sifatnya berat maka dilakukan pembedahan untuk memperbaiki drainase sinus
dan membuang bahan-bahan yang terinfeksi
Pembedahan dilakukan jika :
a.    Polip menghalangi saluran nafas
b.   Polip menghalangi drainase dari sinus sehingga sering terjadi infeksi sinus
c.    Polip berhubungan dengan tumor
d.   Pada anak-anak dengan multipel polip atau kronik rhinosinusitist yang gagal  pengobatan maksimum dengan obat- obatan.
Untuk polip yang ukurannya sudah besar dilakukan ektraksi polip (polipektomi) dengan menggunakan senar polip. Polipektomi
merupakan tindakan pengangkatan polip menggunakan senar polip dengan bantuan anestesi lokal, untuk polip yang besar dan
menyebabkan kelainan pada hidung, memerlukan jenis operasi yang lebih besar dan anestesi umum.  Kategori polip yang diangkat
adalah polip yang besar namun belum memadati rongga hidung. Polipektomi sederhana cukup efektif untuk memperbaiki gejala
pada hidung, khususnya pada kasus polip yang tersembunyi atau polip yang sedikit. Surgical micro debridement merupakan
prosedur yang lebih aman dan cepat, pemotongan jaringan lebih akurat dan mengurangi perdarahan dengan visualisasi yang lebih
baik.
Etmoidektomi atau bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan tindakan pengangkatan polip sekaligus operasi
sinus, merupakan teknik yang lebih baik yang tidak hanya membuang polip tapi juga membuka celah di meatus media yang
merupakan tempat asal polip yang tersering sehingga akan membantu mengurangi angka kekambuhan. Kriteria polip yang diangkat
adalah polip yang sangat besar, berulang, dan jelas terdapat kelainan di kompleks osteomeatal. Antibiotik sebagai terapi kombinasi
pada polip hidung bisa kita berikan sebelum dan sesudah operasi. Berikan antibiotik bila ada tanda infeksi dan untuk langkah
profilaksis pasca operasi.
Bila faktor yang menyebabkan terjadinya polip tidak teratasi maka polip hidung ini rawan untuk kambuh kembali demikian
berulang ulang. Oleh sebab itu sangat diharapkan kepatuhan pasien untuk menghindari hal hal yang menyebabkan alergi yang bisa
menjurus untuk terjadinya polip hidung.
Di samping harus menjalankan pengobatan,, penderita penyakit ini juga harus berpantangan menyantap makanan yang bisa
menimbulkan alergi, seperti udang, kepiting, dan tongkol. Selain itu juga harus menjauhi media penyebab alergi, berupa debu,
serbuk sari (polen), bulu binatang, asap rokok, dan asap pabrik.

c.       Kombinasi : medikamentosa & operasi.

II.5.  Pencegahan Polip (8)
            Kambuh dari polip hidung setelah perawatan bedah sangat umum terjadi.Pencegahan yang dapat dilakukan adalah:
      Pencegahan klinis
Pilihan pengobatan bedah dan tenaga ahli pengalaman mungkinmempengaruhi tingkat kambuh.
      Pencegahan radang eosinophilic
Kortikosteroid lokal efektif dalam mencegah kambuh Polip hidung.
      Pencegahan perubahan dalam metabolisme asam arakidonat pada subyekyang sensitive aspirin
(1) menghindari aspirin
(2) mengambil antagonis reseptor leukotrien
(3) mengalami desensitisasi aspirin.
      Pencegahan pembentukan edema
Pengobatan dengan furosemide topical setidaknya sama efektifnya dengansteroid topikal.
      Pencegahan infeksi jamur menggunakan antijamur
Pengobatan jangka panjang topikal dengan lisin asetilsalisilat danamfoterisin B ditemukan efektif pada pasien
dengan poliposis hidung dan infeksi mikotik.

         Pencegahan sebelum terjadinya polip dapat dilakukan dengan:


1. Mengatur alergi dan asma. Mengikuti pengobatan dokter rekomendasi untuk mengelola asma dan alergi. Jika gejala tidak mudah
dan secara teratur di bawah kendali, konsultasi dengan dokter Anda tentang perubahan rencana pengobatan Anda.
2. Hindari iritasi. Sebisa mungkin, hindari hal-hal yang mungkin untuk memberikan kontribusi untuk peradangan atau iritasi sinus
Anda, seperti alergen, polusi udara dan bahan kimia.
3.Hidup bersih yang baik. Cuci tangan Anda secara teratur dan menyeluruh. Ini adalah salah satu cara terbaik untuk melindungi
terhadap infeksi bakteri dan virus yang dapat menyebabkan peradangan pada hidung dan sinus.
4. Melembabkan rumah Anda. Gunakan pelembab ruangan jika Anda memiliki udara kering di rumah Anda. Hal ini dapat membantu
meningkatkan aliran lendir dari sinus Anda dan dapat membantu mencegah sumbatan dan peradangan.
5.Gunakan bilasan hidung atau nasal lavage. Gunakan air garam (saline) spray atau nasal lavage untuk membilas hidung. Hal ini dapat
meningkatkan aliran dan
menghilangkan lendir penyebab alergi dan iritasi. Anda dapat membeli semprotan saline atau lavage nasal dengan perangkat, seperti
sedotan, untuk mngantarkan bilasan. Anda dapat membuat solusi sendiri dengan mencampurkan 1 / 4 sendok teh (1.2 ml) garam
dengan 2 cangkir (0,5 liter) air hangat. Hindari air garam semprot yang mengandung zat aditif yang dapat membakar lapisan mukosa
hidung anda.
BAB III
PEMBAHASAN

III.1.  Studi Kasus I (7)


        ‘’ Efek Pemberian Inhibitor Cyclo Oxygenase 2 (COX-2) Dibandingkan Dengan Pemberian Kortikosteroid Pada Penurunan
Ukuran Polip Hidung.”
Tujuan :  Melihat perbedaan antara pemberian kortikosteroid dan pemberian inhibitor COX-2 dalam hal penurunan ukuran polip
hidung dan efek samping pengobatan.
Metode :  Penelitian ini melibatkan 21 orang pasien dengan 39 kasus polip hidung. Sepuluh pasien polip hidung diberikan
kortikosteroid oral 4 mgtapering off mulai dari 60 mg sampai mencapai 570 mg selama 2 minggu. Inhibitor COX-2 diberikan
pada 11 pasien polip hidung dengan dosis 2x400 mg sehari selama 2 minggu. Polip hidung diperiksa dengan menggunakan
endoskoprigid 0° dan direkam dengan handycam kemudian dicetak berwarna. Efek samping selama pengobatan dicatat.
Hasil     :  Terdapat penurunan rata-rata ukuran polip hidung setelah pemberian obat. Namun, besarnya penurunan tidak bermakna
baik pada kelompok kortikosteroid (p=0.13) maupun pada kelompok inhibitor COX-2 (p=54). Namun, jika dilakukan
perbandingan antara pemberian kortikosteroid dan inhibitor COX-2 terdapat perbedaan yang bermakna (p=0.043) dalam hal
penurunan ukuran polip. Tidak ditemukan efek samping pada pasien yang diterapi dengan inhibitor COX- 2. Sebaliknya,
keluhan gastrointestinal ditemukan pada 3 pasien dan peningkatan kadar gula darah pada 2 pasien yang menerima
korticosteroid.
Simpulan   :  Inhibitor COX-2 dapat digunakan sebagai terapi pengganti kortikosteroid pada pasien dengan polip hidung.
III.2.  Studi Kasus 2 (9)
        ‘’ Polip Hidung dan Sinus Paranasal Durante Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) di RS. H. Adam Malik.”
Tujuan     :  Mengetahui karakteristik penderita polip di RS H. Adam Malik Medan, terdiri dari 26 pasien, 8 pasien (30 %) pada
kelompok umur 34 – 44. Penderita laki-laki lebih banyak dari perempuan (1,8: 1).
Metode     :  Studi kasus cross sectional dan bersifat deskriptif yang dilakukan di Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok,
Bedah Kepala Leher FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan. Sampel penelitian adalah semua penderita yang berobat ke
Bagian THT RSUP H. Adam Malik yang didiagnosis dengan polip hidung dan sinus paranasal yang dilakukan operasi
functional endoscopic sinus surgery (FEES) sejak Maret 2004 sampai Februari 2005.
Hasil          :  Kelompok umur terbanyak pada penelitian ini 35 – 44 tahun (30%). Umur termuda 10 tahun dan tertua 54 tahun. Pada
penelitian ini polip hidung sebagian besar berasal dari konka media 14 (45%). Keluhan utama pada penelitian ini adalah
hidung tersumbat 14 (54%) dan keluhan sakit kepala 12 (46%).
Simpulan  :  Asal keluhan polip terbanyak adalah dari konka media dan keluhan paling sering adalah hidung tersumbat.

III.3.  Studi Kasus 3 (5)


        ‘’ Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinosinusitis Dengan Polip Nasi.”
Tujuan     :  Mengetahui dari mana asal tumbuhnya polip dan bisa mengetahui secara pasti apakah telah ada komplikasi sinusitis
sehingga operasi dapat direncanakan dengan baik.
Metode     :  Satu kasus polip nasi dengan multi sinusitis pada seorang wanita usia 20 tahun dan telah menjalani operasi polipektomi
dan BSEF. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik baik rinoskopi anterior, rinoskopi
posterior maupun nasoendoskopi yang memberikan gambaran polip dan dari mana polip polip berasal. Juga dilakukan
Pemeriksaan penunjang seperti CT Scansinus paranasal.
Hasil          :  Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, telinga dan tenggorok tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan
rinoskopi anterior terlihat massa pada kedua kavum nasi berwarna putih pucat, mengkilat, licin, mudah digerakkan,
bertangkai dan tidak menyebabkan nyeri jika disentuh. Pada pemeriksaan rinoskopi posterior tidak terlihat masa polip.
Kemudian dilakukan pemeriksaan nasoendoskopi, dan terlihat masa polip memenuhi kavum nasi dan sukar untuk menilai
dari mana asal polip. Anamnesa dan pemeriksaan fisik, didapatkan diagnosa polip nasi bilateral dan rinosinusitis kronis,
diberikan terapi kortikosteroid oral (Prednison) tappering off selama 15 hari, steroid topikal (momethason spry), anti
histamin (loratadin) serta antibiotic klindamicin per oral. Setelah 2 minggu terapi, pasien diminta untuk kontrol kembali
dan setelah dievaluasi ternyata tidak terdapat perbaikan.
Kemudian dilakukan pemeriksaan CT Scan sinus paranasal didapatkan perselubungan pada kedua sinus maxillaris, kedua
sinus ethmoid dan sinus frontalis dextra dan juga perselubungan pada kedua kavum nasi, osteomeatal kompleks tertutup.
Pasien dianjurkan untuk pemeriksaan test alergi (Curkit test), tapi pasien menolak.
Pasien dipersiapkan untuk dilakukan operasi polipektomi dan BESF. Pasca tindakan diberikan terapi ceftriaxon 2x1gr,
dexametason 3x1amp, tramadol drip 3x500mg. Tanggal 8 Maret 2009 pasiendilakukan pembukaan tampon anterior dan
pasien diperbolehkan pulang dengan terapi klindamisin 3x300mg, methyl prednisolon 3x4mg asam mefenamat 3x500mg,
dan Nacl 0,9% cuci hidung. Satu minggu kemudian pasien kontrol, dilakukan evaluasi nasoendoskopi dan hasilnya: kavum
nasi lapang, konka inferior eutrofi, konka media eutrofi, meatus media terbuka, luka bekas operasi baik dan tidak terlihat
massa polip.
Simpulan  :  Operasi berhasil. Pasien dianjurkan kontrol setiap minggu pada bulan pertama post operasi dan 2 kali sebulan pada 2
bulan berikutnya untuk evaluasi. Direncanakan untuk dilakukan tes alergi tapi pasien tidak datang lagi untuk kontrol
setelah bulan kedua dengan alasan tidak ada keluhan dan tempat tinggal yang jauh.
BAB IV
PENUTUP

IV.1.  Kesimpulan
1.      Polip adalah suatu pseudotumor yang merupakan penonjolan dari mukosa hidung atau sinus paranasalis yang terdorong karena
adanya gaya berat. Etiologi polip nasal belum diketahui secara pasti. Diduga karena adanya reaksi alergi, infeksi, deviasi septum
hidung, intoleransi aspirin, perubahan polisakarida, dan ketidakseimbangan vasomotor.
2.      Diagnosis polip nasal berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
3.      Pencegahan polip dilakukan dengan menghindari faktor iritasi, pola hidup sehat, rajin mencuci tangan, gunakan bilasan hidung atau
nasal lavage ketika terjadi iritasi pada hidung.
4.      Terapi penderita polip nasal dilakukan dengan cara operatif (polipektomi) atau dengan non operatif (kortikosteroid).
5.      Glukokortikoid mempunyai efek antiinflamasi, diabsorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang synovial. Sebagian besar
kortikosteroid terikat globulin, sebagian lagi pada albumin. Biotransformasinya terjadi di dalam dan di luar hati. Metabolitnya
merupakan senyawa inaktif atau berpotensi rendah. Sediaan intranasal diserap melaui selaput lendir pada hidung dan langsung
dimetabolisme. Keuntungan sediaan intranasal yaitu diberikan dalam dosis kecil secara langsung ke saluran pernafasan (efek lokal),
sehingga tidak menimbulkan efek samping sistemik yang serius. Kortikosteroid bekerja dengan memblok enzim fosfolipase-A2,
sehingga menghambat pembentukan mediator peradangan seperti prostaglandin dan leukotrien. Kortikosteroid menghambat sintesis
sejumlah sitokin seperti interleukin IL-1 sampai IL-6, dan IL-8.

 
CARSINOMA CAVUM NASI
A.PENGERTIAN
CA Cavum Nasi adalah kanker yang menyerang rongga hidung.Tumor ganas hidung dan tumor ganas
sinus paranosalis tidak dapat dipisahkankarena keduanya saling mempengaruhi.
B.ETIOLOGI
Penyebab dari ca cavum nasi belum diketahui secara pasti, tetapi ada  beberapa kemungkinan
besar, diantaranya adalah:1.Perokok berat, fistula oroantal, rhinitis atrofi, pecandu
alkolhol. . ! n f e k s i k r o n i k h i d u n g d a n s i n u s p a r a n o s a l . " . # o n t a k d e n g a n d e b u k a y u
p a d a p e k e r $ a m e b e l % f a k t o r i r i t a s i   k r o n i s d a r i debu dan kayu&.'.#ontak dengan bahan
industri, seperti nikel, krom, isopropanolol. ( . T h o r i u m d i o k s i d a y a n g d i p a k a i s e b a g a i
c a i r a n k o n t r a s p a d a p e m e r i k s a a n rontgen.) . * i n o s i t i s m a k s i l a k r o n i s .
C.PATOFISIOLOGI
+enda asing %asap rokok, nikotin, debu kayu, nikel, krom dll& masukkedalam rongga
hidung ter$adi secara terusmenerus dan dalam -aktu
yangl a m a   s e h i n g g a   m e n y e b a b k a n   t e r b e n t u k n y a   m a s s a ,   p e r u b a h a n   s t r u k t u r   d a n muk
osa hidung sehingga menimbulkan obstruksi rongga hidung yang dapat mengenai septum nasi
%devormitas kavum, septum nasi, trauma kavumseptumnasi, hamatom septum dan perforasi
septum& atau pertumbuhan baru
seperti polip hidung, papiloma, inversi dan tumor belignamaligna&. *ebagaitambahan, berbagai se
bab lain menyebabkan obstruksi saluran pernafasanhidung %hipertrofi adenoid, benda
asing, atresia, koana, $aringan parut intra nasal, dan kolaps&.
1
 
/ a s s a   a d a l a h   k a v u m   n a s i   i n i   m e n y e b a b k a n   e d e m a   p a d a   m u k o s a hidung akibat
gangguan aliran limfe dan vena serta membentuk masa
polipoid pada cavum nasi. Tumor ini menginvasi kearah atas sampai kedalam fosakranialis dan kearah
lateral sampai ke dalam orbita.
D.MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan ge$ala Ca Cavum nasi, tergantung pada tempat asal tumor dan arah serta luas
penyebarannya.1 . T u m o r s i n u s m a k s i l a d a n m e l u a s k e m e d i a l . Tanda dan ge$alanya:
-
0idung tersumbat
-
inorea unilateral yang menetap dan berbau.
-
2pistaksis . T u m o r s i n u s e t m o i d d a n l a m i n a k r i b i f o r m i s . Tanda dan ge$alanya:
-
0idung tersumbat
-
Anomsia
-
+eringus
-
 Nyeri didaerah frontal" . T u m o r d a s a r a n t r u m d a n m e l u a s k e a r a h b a - a h . Tanda dan
ge$alanya:
-
3igi yang goyah
-
3angguan oklusif 
-
 Nyeri pada gigi molar 
-
Pembengkakan dan laserasi didaerah palatum.'.Tumor meluas kedaerah orbita dan duktus
nasolakrimalis.Tanda dan ge$alanya:
-
4iplopia
-
Proptosis
-
Tersumbatnya saluran air mata

 
-
/ata tampak membengkak 
-
Teraba musa dan orbita
-
/ata tampak menon$ol.( . T u m o r m e l u a s k e a n t e r i o r . Tanda dan ge$alanya:
-
Pembesaran pipi satu sisi %asimetris&) . * t a d i u m l a n $ u t N . A l v e o l a r i s s u p e r i o r . Tanda dan
ge$alanya:
-
asa baal pada gigi dan gusi rahang atas.5 . T u m o r m e l u a s d a n m e n g i n v a s i k e
n a s o f a r i n g . Tanda dan ge$alanya:
-
Tuli konduktif akibat gangguan tuba bustachius.6 . P e r l u a s a n l a i n y a n g d a p a t m e n g e n a i
s a r a f . Tanda dan ge$alanya:
-
Tuli saraf 
-
Tidak mampu membuka mulut
-
Paresis fasialis
-
0emiplegia
-
0iperparestesia
-
 Nyeri kepala berat
-
Perubahan posisi mata.
E.KOMPLIKASI
-
*inusitis frontal: Ca yang telah menyumbat duktus frontonasal sehingga dapatmenyebabkan sinusitis
frontal.
-
/eningitis: Ca yang mengenai selaput otak sehingga menimbulkan serangan berulang
meningitis.

"
Kegiatan (1)

Anda mungkin juga menyukai