Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tumor coli adalah pembesaran atau pembengkakan atau biasa disebut
pertumbuhan abnormal diantara dasar tengkorak hingga klavikula. Masa leher
pada pasien dewasa harus dianggap ganas sampai terbukti sebaliknya. Massa
leher bersifat metastasis cenderung asimptomatik yang membesar perlahanlahan.
(Brunner & Suddarth, 2013).
Data global menyebutkan ditahun 2018 terdapat 18,1 juta kasus baru
dengan angka kematian sebesar 9,6 juta kematian, dimana 1 dari 5 laki-laki dan
1 dari 6 perempuan di dunia mengalami kejadian kanker. Data tersebut juga
menyatakan 1 dari 8 laki-laki dan 1 dari 11 perempuan meninggal karena
kanker. Angka kejadian kanker di Indonesia sebesar 132.2 per 100.000
penduduk. (DEPKES, 2019)
Dalam pengertian umum tumor adalah benjolan atau pembengkakan
dalam tubuh. Dalam pengertian khusus tumor adalah benjolan yang disebabkan
oleh neoplasma.
Tumor Colli adalah pembesaran, pembengkakan atau pertumbuhan
abnormal diantara dasar tengkorak hingga klavikula. Massa leher pada pasien
dewasa harus dianggap ganas sampai terbukti sebaliknya. Massa leher yang
bersifat metastatis cenderung asimtomatik yang membesar perlahan-lahan.
Tumor pada colli (leher) bisa berupa tumor jinak atau tumor ganas, Tumor jinak
bisa berupa kista, hemangioma, Tumor ganas bisa berupa Limfoma Non
Hodgkin.
Operasi pada benjolan di leher adalah bentuk pengobatan yang dilakukan
untuk mengatasi masalah munculnya benjolan di leher. General anestesi
menurut Mangku & Senapathi (2010) membagi anestesi menjadi 3 komponen
yang disebut trias anestesi dengan teknik general anestesi antara lain: general
anestesi dengan inhalasi dan intravena. Asuhan keperawatan perianestesi
dimulai sejak pre anestesi, intra anestesi, hingga post anestesi.
Agar dapat memberikan asuhan keperawatan anestesi sebaik-baiknya,
perlu mengetahui tentang tumor colli, penatalaksanaan medis, penatalaksanaan
bedah, dan jenis anestesi yang digunakan beserta tatalaksananya. Untuk itu
penulis menyusun laporan ini, yang membahas asuhan keperawatan anestesi
pada pasien dewasa dengan fraktur klavikula yang akan menjalani operasi
dengan diagnose medis tumor colli.
B. Tujuan Penulisan Laporan Asuhan Keperawatan
1. Untuk mengetahui definisi tumor colli beserta klasifikasinya, etiologi,
manifestasi klinis, patofisiologi, clinical pathway, pemeriksaan penunjang
yang dibutuhkan, penatalaksanaan medis.
2. Untuk mengetahui prosedur operasi dari tumor colli.
3. Untuk mengetahui definisi anestesi dan general anestesi
4. Untuk mengetahu teknik-teknik dalam general anestesi.
5. Untuk mengetahui obat-obatan yang digunakan dalam general anestesi.
6. Untuk mengetahui gangguan pasca general anestesi.
7. Untuk mengetahui asuhan keperawatan perianestesi.
C. Metode
Pengumpulan data dan pembuatan laporan pendahuluan ini dilakukan
dengan menggunakan metode pengkajian langsung, studi dokumen dan studi
kasus.
BAB II
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Tumor Colli
1. Definisi
Dalam pengertian umum tumor adalah benjolan atau pembengkakan
dalam tubuh. Dalam pengertian khusus tumor adalah benjolan yang
disebabkan oleh neoplasma.
Tumor Colli adalah pembesaran, pembengkakan atau pertumbuhan
abnormal diantara dasar tengkorak hingga klavikula. Massa leher pada
pasien dewasa harus dianggap ganas sampai terbukti sebaliknya. Massa leher
yang bersifat metastatis cenderung asimtomatik yang membesar perlahan-
lahan.
Tumor pada colli (leher) bisa berupa tumor jinak atau tumor
ganas, Tumor jinak bisa berupa kista, hemangioma, Tumor ganas bisa
berupa Limfoma Non Hodgkin.
2. Etiologi
Adapun penyebab atau etiologinya adalah:
a. Karsinogen kimiawi dapat alami atau sintetik, misalnya Aflatoksin B1
pada kacang, vinylklorida pada industri plastik, benzoapiran pada asap
kendaraan bermotor, kemoterapi dalam kesehatan.
b. Karsinogen fisik, misalnya sinoar ionisasi pada nuklir, sinar radioaktif,
sinar ultraviolet
c. Hormon, misalnya estrogen
d. Viral, misalnya TBL-I, HBV, HPV, EBV
e. Gaya hidup, misalnya diet, merokok, alcohol
f. Parasit, misalnya schistoma hematobium
g. Genetik
h. Penurunan imunitas
i. Klasifikasi Tumor
3. Klasifikasi Tumor
Neoplasma dapat bersifat ganas atau jinak. Neoplasma ganas atau kanker
terjadi karena timbul dan berkembang biaknya sel-sel secara tidak terkendali
sehingga sel-sel ini tumbuh terus merusak bentuk dan organ tempat tumbuh
kanker.
Neoplasma jinak tumbuh dengan batas tegas dan tidak menyusup, tidak
merusak tetapi membesar dan menekan jaringan sekitarnya (ekspansif) dan
umumnya tidak bermetastase
Klasifikasi patologik tumor dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan
mikroskopis pada jaringan dan tumor
4. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis dari tumor coli adalah adanya benjolan yang mudah
digerakan, pertumbuhan amat lambat dan tidak memberikan
keluhan.Patofisiologi Tumor.
Sel tumor ialah sel tubuh yang mengalami transformasi dan tumbuh
secara autonom lepas dari kendali pertumbuhan sel normal sehingga sel ini
berbeda dari sel normal dalam bentuk dan strukturnya. Perbedaan sifat sel
tumor tergantung dari besarnya penyimpangan dalam bentuk dan fungsinya,
autonominya dalam pertumbuhan, kemampuan dalam berinfiltrasi dan
menyebabkan metastase
Pada umumnya tumor mulai tumbuh dari satu sel di suatu tempat
(unisentrik), tetapi kadang tumor berasal dari beberapa sel dalam satu organ
(multisentrik) atau dari beberapa organ (multiokuler) pada waktu bersamaan
(sinkron) atau berbeda (metakron).
Selama pertumbuhan tumor masih terbatas pada organ tempat asalnya
maka tumor dikatakan mencapai tahap local, namum bilatelah infiltrasi ke
organ sekitarnya dikatakan mencapai tahap invasive atau infiltrative.
Sel tumor bersifat tumbuh terus sehingga makin lama makin besar dan
mendesak jaringan sekitarnya. Pada neoplasma sel tumbuh sambil menyusup
dan merembes ke jaringan sekitarnya dan dapat meninggalkan sel induk
masuk ke pembuluh darah atau pembuluh limfe, sehingga terjadi penyebaran
hematogen dan limfatogen.
5. Patofisiologi Tumor
Sel tumor ialah sel tubuh yang mengalami transformasi dan tumbuh
secara autonom lepas dari kendali pertumbuhan sel normal sehingga sel ini
berbeda dari sel normal dalam bentuk dan strukturnya. Perbedaan sifat sel
tumor tergantung dari besarnya penyimpangan dalam bentuk dan fungsinya,
autonominya dalam pertumbuhan, kemampuan dalam berinfiltrasi dan
menyebabkan metastase.
Pada umumnya tumor mulai tumbuh dari satu sel di suatu tempat
(unisentrik), tetapi kadang tumor berasal dari beberapa sel dalam satu organ
(multisentrik) atau dari beberapa organ (multiokuler) pada waktu bersamaan
(sinkron) atau berbeda (metakron).
Selama pertumbuhan tumor masih terbatas pada organ tempat asalnya
maka tumor dikatakan mencapai tahap local, namum bilatelah infiltrasi ke
organ sekitarnya dikatakan mencapai tahap invasive atau infiltrative.
Sel tumor bersifat tumbuh terus sehingga makin lama makin besar dan
mendesak jaringan sekitarnya. Pada neoplasma sel tumbuh sambil menyusup
dan merembes ke jaringan sekitarnya dan dapat meninggalkan sel induk
masuk ke pembuluh darah atau pembuluh limfe, sehingga terjadi penyebaran
hematogen dan limfatogen.
6. Penatalaksanaan
Pemeriksaan:
a. Berbagai penyakit dapat tampil sebahgai tumor leher sering
membingungkan. Pada pemeriksaan khususnya diperhatikan letak
tumor, ukuran, bentuk dan sifat permukaan.
b. Diagnosis ditentukan dengan pemeriksaan makroskopis dan
mikroskopis dari jaringan hasil eksisi atau biopsy
c. Pemeriksaan dengan CT scan dapat pula dilakukan.
7. Pengkajian fokus keperawatan
a. Pengkajian sistem integumen
Pengkajian kulit melibatkan seluruh area kulit termasuk mukosa
membran, kulit kepala, rambut, dan kuku. Kulit seseorang merefleksikan
kesehatan seseorang secara keseluruhan. Penyakit pada kulit dapat terjadi
primer atau sekunder. Penyakit kulit primer seperti dermatitis dan luka
bakar. Penyakit pada kulit dapat pula terjadi sekunder seperti pada
pasien sindrom lupus eritemotosus, luka tekan, atau pruritus.
b. Prosedur Wawancara
1) Keluhan utama: umumnya pasien mengeluhkan ketidaknyamanan
pada kulit seperti gatal, rasa panas pada kulit, nyeri, atau ada
penonjolan pada kulit terkait etiologi masing-masing. Gangguan
pada kulit juga dipengaruhi kebersihan kulit. Selain itu trauma
seperti luka bakar juga menimbulkan keluhan seperti panas dan
nyeri.Tak jarang pasien juga mengeluhkan adanya penurunan sensasi
pada kulit atau munculnya luka yang sulit sembuh.
2) Riwayat sekarang dan atau dahulu: riwayat alergi, gangguan ginjal,
hipertensi, obesitas (adanya striae pada kulit), riwayat penyakit
imunitas seperti SLE, kebiasaaan personal hygiene, dan kebersihan
tempat tinggal. Riwayat diabetes melitus juga mempengaruhi
terjadinya luka akibat adanya neuropati sensorik dan otonom
sehingga pasien beresiko mengalami ulkus diabetik.
3) Riwayat Keluarga: penyakit keluarga yang dapat mempengaruhi
pasien umumnya berkaitan dengan genetik seperti riwayat alergi dan
imunitas. Selain itu kondisi lingkungan fisik tempat tinggal juga
dapat mempengaruhi kondisi penyakit pasien saat ini khususnya
yang terkait sistem integumen. Riwayat diabetes melitus pada
keluarga juga dapat menjadi predisposisi terjadinya diabetes melitus
pada pasien yang mempunyai resiko komplikasi ke sistem
integumen.
B. Prosedur Operasi
Operasi pada benjolan di leher adalah bentuk pengobatan yang dilakukan
untuk mengatasi masalah munculnya benjolan di leher. Resiko masalah yang
lebih besar dari munculnya benjolan di leher adalah benjolan tersebut
merupakan perkembangan dari sel kanker dan harus segera diperiksakan. Hasil
pemeriksaan ini jika memang sesuai dengan diagnosa akan diobati dengan cara
operasi atau bisa juga dikenal dengan istilah operasi kelenjar getah bening.
Penanganan tumor colli pada orang dewasa memiliki tahapan yang
serupa dengan tumor pada umumnya. Bentuk penanganan tumor berdasarkan
pada faktor-faktor seperti lokasi tumbuhnya tumor, jenis tumor, dan apakah
berpeluang menyebabkan penyakit kanker atau tidak. Proses operasi pada
benjolan di leher meliputi apa persiapan yang dilakukan sebelum operasi,
bagaimana prosedur operasi dilakukan, apa saja efek samping operasi, dan
perawatan setelah operasi dilakukan.
1. Persiapan Sebelum Operasi
Sebelum operasi untuk mengangkat benjolan di leher dilakukan, perlu
melakukan beberapa bentuk persiapan. Persiapan dilakukan sesuai namanya
adalah sebelum operasi dilakukan. Berbagai bentuk persiapan ini dilakukan
untuk memberikan informasi yang lengkap pada pasien, serta memastikan
bahwa kesehatan fisik pasien siap untuk menghadapi proses operasi. Jadi
manfaat dari melakukan persiapan sebelum operasi pada benjolan di leher
dilakukan sudah tidak diragukan lagi, persiapan operasi:

a. Pemeriksaan Jenis Benjolan di Leher

Benjolan di leher sebelum operasi dilakukan dahulu pemeriksaan untuk


mendiagnosa jenisnya. Pemeriksaan ini dilakukan misal dengan dokter
langsung melihat, meraba, dan mempelajari ciri-cirinya. Selain itu,
dilakukan juga pemeriksaan benjolan di leher dengan mengambil cairan
dari dalam benjolan.
b. Pemeriksaan Kelengkapan Informasi dari Darah

Informasi kesehatan yang paling lengkap untuk menentukan pasien siap


operasi atau tidak adalah dengan melakukan pemeriksaan darah.
Pemeriksaan darah lengkap dilakukan di laboratorium rumah sakit
untuk menjelaskan kondisi kesehatan agar dinyatakan siap melakukan
operasi jenis benjolan di leher.

c. Penyampaian Informasi Mengenai Prosedur Operasi

Salah satu bentuk persiapan yang perlu dilakukan untuk melakukan


operasi benjolan pada leher adalah dengan menanyakan mengenai
prosedur operasi ke dokter bedah. Dokter wajib menyampaikan
prosedur ini untuk membuat pasien siap. Pasien pun memiliki hak untuk
bertanya jika dokter tidak menyampaikan.

d. Penyampaian Informasi Mengenai Resiko Operasi


Selanjutnya, informasi lain yang dibutuhkan oleh pasien adalah terkait
resiko dari operasi yang dilakukan. Pasien perlu mengetahui informasi
ini untuk melakukan persiapan dan pencegahan semaksimal mungkin
agar tidak terjadi masalah berupa resiko operasi. Informasi terkait
resiko operasi ini dapat diketahui dengan bertanya pada dokter.
2. Prosedur Operasi Benjolan di Leher

a. Prosedur Biopsi Jarum

Prosedur untuk dapat mengangkat benjolan di leher yang pertama


dilakukan dengan biopsi jarum. Prosedur ini merupakan prosedur yang
paling sederhana. Biasanya akan dilakukan jika benjolan yang
ditemukan berukuran kecil dan tidak menimbulkan gejala-gejala
bahaya. Pelaksanaannya dokter akan memasukkan jarum suntik ke
benjolan di leher yang ditemukan. Jarum suntik tersebut akan
mengambil sampel cairan dari dalam benjolan. Sampel tersebut akan
diperiksa di laboratorium untuk mengetahui penyebabnya dan tingkat
keparahannya.

b. Prosedur Biopsi Terbuka


Jika benjolan yang ditemukan di leher menunjukkan tanda-tanda bahaya
yang lebih tinggi, biasanya akan dioperasi dengan prosedur biopsi
terbuka. Prosedur ini berbeda dengan yang sebelumnya, lebih mirip
dengan prosedur operasi gondok. Bisa juga pasien yang telah melalui
biopsi jarum kemudian melakukan biopsi terbuka ini juga. Pada tahapan
awal, pasien akan dibius untuk kemudian memudahkan dokter
membuka benjolan dengan sayatan kecil. Hasil sayatan menjadi jalur
masuk dokter untuk mengangkat penyebab benjolan tersebut. Setelah
diangkat, luka sayatan kemudian ditutup dengan dijahit.
C. General Anestesi
1. Pengertian
Tindakan anestesi yang memadai meliputi tiga komponen menurut
Mangku & Senapathi (2010) yaitu hipnotik (tidak sadarkan diri = “mati
ingatan’), analgesi (bebas nyeri = “mati rasa”), dan relaksasi otot rangka
(“mati gerak”). Ketiga target anestesia tersebut populer disebut dengan
“Trias anestesi”. General anestesi adalah suatu keadaan tidak sadar yang
bersifat sementara yang diikuti oleh hilangnya rasa nyeri diseluruh tubuh
akibat pemberian obat anestesia.
2. Indikasi
a. Infant dan anak usia muda
b. Dewasa yang memilih anestesi umum
c. Pembedahannya luas / eskstensif
d. Penderita sakit mental
e. Pembedahan lama
f. Pembedahan dimana anestesi lokal tidak praktis atau tidak memuaskan
g. Riwayat penderita toksik / alergi obat anestesi lokal
h. Penderita dengan pengobatan antikoagulantia dan bedah anak biasanya
dikombinasikan dengan anestesi umum ringan
3. Kontra Indikasi
Kontra indikasi anestesi umum tergantung efek farmakologi pada organ
yang mengalami kelainan dan harus hindarkan pemakaian obat pada:
a. Hepar yaitu obat hepatotoksik, dosis dikurangi atau obat yang toksis
terhadap hepar atau dosis obat diturunkan
b. Jantung yaitu obat-obat yang mendespresi miokardium atau
menurunkan aliran darah koroner
c. Ginjal yaitu obat yg diekskresi di ginjal
d. Paru-paru yaitu obat yg merangsang sekresi Paru
e. Endokrin yaitu hindari obat yg meningkatkan kadar gula darah/
hindarkan pemakaian obat yang merangsang susunan saraf simpatis
pada diabetes karena bisa menyebabkan peninggian gula darah.
4. Teknik
General anestesi menurut Mangku & Senapathi (2010) membagi anestesi
menjadi 3 komponen yang disebut trias anestesi dengan teknik general
anestesi antara lain:
a. General Anestesi Intravena
Merupakan salah satu teknik general anestesi yang dilakukan dengan
jalan menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung kedalam
pembuluh darah vena. Obat induksi bolus disuntikkan dengan
kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi hemodinamik
harus selalu diawasi dan diberikan oksigen.
b. General Anestesi Inhalasi
Merupakan teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan
memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas atau
cairan yang mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung
ke udara inspirasi.
Menurut Mangku & Senapathi (2010) ada beberapa teknik general
anestesi inhalasi antara lain:
1) Inhalasi sungkup muka
Secara inhalasi dengan nafas spontan, komponen trias anestesi yang
dipenuhi adalah hipnotik, analgetik dan relaksasi otot ringan. Dilakukan
pada operasi kecil dan sedang didaerah permukaan tubuh, berlangsung
singkat dan posisi terlentang.
2) Inhalasi Sungkup Laryngeal Mask Airway (LMA)
Secara inhalasi dengan nafas spontan, komponen trias anestesi yang
dipenuhi adalah hipnotik, analgetik dan relaksasi otot ringan. Dilakukan
pada operasi kecil dan sedang didaerah permukaan tubuh, berlangsung
singkat dan posisi terlentang.
3) Inhalasi Pipa Endotracheal (PET) nafas spontan
Secara inhalasi dengan nafas spontan, komponen trias anestesi yang
dipenuhi adalah hipnotik, analgetik dan relaksasi otot ringan. Dilakukan
pada operasi didaerah kepala-leher dengan posisi terlentang,
berlangsung singkat dan tidak memerlukan relaksasi otot yang
maksimal.
4) Inhalasi Pipa Endotracheal (PET) nafas kendali
Inhalasi ini menggunakan obat pelumpuh otot non depolarisasi,
selanjutnya dilakukan nafas kendali. Komponen anestesi yang dipenuhi
adalah hipnotik, analgetik dan relaksasi otot. Teknik ini digunakan pada
operasi yang berlangsung lama >1jam (kraniotomi,
torakotomi,laparatomi, operasi dengan posisi lateral dan pronasi).
c. Anestesi Imbang
Merupakan teknik anestesi dengan menggabungkan kombinasi obat-
obatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau
kombinasi teknik general anestesi dengan anestesi regional untuk
mencapai trias anestesi secara optimal dan berimbang
5. Komplikasi (Miller, 2010)
a) Trauma pada jaringan lunak gigi dan mulut
b) Hipertensi sistemik dan takikardi
c) Aspirasi cairan lambung
d) Barotrauma paru
e) Spasme laring
f) Edema laring
D. Asuhan Keperawatan Peri Anestesi
1. Pre Anestesi
a. Pengkajian Pre Anestesi dilakukan sejak pasien dinyatakan akan dilakukan
tindakan pembedahan baik elektif maupun emergensi. Pengkajian pre
anestesi meliputi :
1) Identitas pasien
2) Riwayat kesehatan pasien dan riwayat alergi
3) Pemeriksaan fisik pasien meliputi : Tanda-tanda vital pasien,
pemeriksaan sistem pernapasan (breathing), sistem kardiovaskuler
(bleeding),sistem persyarafan (brain), sistem perkemihan dan
eliminasi (bowel), sistem tulang, otot dan integument (bone).
4) Pemeriksaan penunjang berupa laboratorium, rontgen, CT-scan,
USG, dll.
5) Kelengkapan berkas informed consent.
b. Analisa Data
Data hasil pengkajian dikumpulkan dan dianalisa sehingga dapat menilai
klasifikasi ASA pasien. Data yang telah di analisa digunakan untuk
menentukan diagnosa keperawatan, tujuan, perencanaan/implementasi dan
evaluasi pre anestesi.
c. Diagnosa, Tujuan, Perencanaan/implementasi dan Evaluasi Pre Anestesi
1) Dx : Cemas b/d kurang pengetahuan masalah pembiusan
Tujuan : Cemas berkurang/hilang.
Kriteria hasil :
 Pasien menyatakan tahu tentang proses kerja obat
anestesi/pembiusan.
 Pasien menyatakan siap dilakukan pembiusan.
 Pasien mengkomunikasikan perasaan negatif secara tepat.
 Pasien taampak tenang dan kooperatif.
 Tanda-tanda vital normal.
Rencana tindakan :
 Kaji tingkat kecemasan.
 Orientasikan dengan tim anestesi/kamar operasi.
 Jelaskan jenis prosedur tindakan anestesi yang akan dilakukan.
 Beri dorongan pasien untuk mengungkapkan perasaan.
 Dampingi pasien untuk mengurangi rasa cemas.
 Ajarkan tehnik relaksasi napas dalam.
 Kolaborasi untuk memberikan obat penenang.
Evaluasi :
 Pasien mengatakan paham akan tindakan pembiusan atau
anestesi.
 Pasien mengatakan siap dilakukan prosedur anestesi dan operasi.
 Pasien lebih tenang.
 Ekspresi wajah cerah.
 Pasien kooperatif ditandai tanda-tanda vital dalam batas normal.
2) Dx : Resiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b/d
vasodilatasi pembuluh darah dampak obat anestesi.
Tujuan : keseimbangan cairan dalam ruang intrasel dan ekstrasel
tubuh tercukupi.
Kriteria hasil :
 Pasien menyatakan tidak haus/tidak lemas.
 Akral kulit hangat.
 Haemodinamik normal.
 Masukan dan keluaran cairan seimbang.
 Urine output 1-2 cc/kgBB/jam.
 Hasil laborat elektrolit darah normal.
Rencana tindakan :
 Kaji tingkat kekurangan volume cairan.
 Kolaborasi dalam pemberian cairan dan elektrolit.
 Monitor masukan dan keluaran cairan dan elektrolit.
 Monitor hemodinamik pasien.
 Monitor perdarahan.
Evaluasi :
 Kebutuhan volume cairan seimbang.
 Lokasi tusukan infus tidak bengkak dan tetesan infus lancar.
 Cairan masuk dan keluar pasien terpantau.
 Hemodinamik normal.
 Laboratorium.
2. Intra Anestesi
a. Pengkajian Intra Anestesi dilakukan sejak pasien. Pengkajian Intra anestesi
meliputi :
1) Persiapan pasien, alat anestesi dan obat-obat anestesi.
2) Pelaksanaan anestesi
3) Monitoring respon dan hemodinamik pasien yang kontinu setiap 5
menit sampai 10 menit.
b. Analisa Data
Data yang telah di analisa digunakan untuk menentukan diagnosa
keperawatan, tujuan, perencanaan/implementasi dan evaluasi intra anestesi.
c. Diagnosa, Tujuan, Perencanaan/implementasi dan Evaluasi intra anestesi
1) Dx : Pola nafas tidak efektif b/d penurunan tingkat kesadaran.
Tujuan : Pola napas pasien menadi efektif/normal.
Kriteria hasil :
 Frekuensi napas normal.
 Irama napas sesuai yang diharapkan.
 Ekspansi dada simetris.
 Jalan napas pasien lancar tidak didapatkan adanya sumbatan.
 Tidak menggunakan obat tambahan.
 Tidak terjadi sianosis, saturai O2 96-100%.
Rencana tindakan:
 Bersihkan secret pada jalan napas.
 Jaga patensi jalan napas.
 Pasang dan beri suplai oksigen yang adekuat.
 Monitor perfusi jaringan perifer.
 Monitor ritme, irama dan usaha respirasi.
 Monitor pola napas dan tanda-tanda hipoventiasi.
Evaluasi :
 Pola napas efektif dan tidak ada tanda-tanda sianosis.
 Napas spontan, irama dan ritme teratur.
2) Dx : Resiko aspirasi b/d penurunan tingkat kesadaran
Tujuan : Tidak akan terjadi aspirasi
Kriteria hasil :
 Pasien mampu menelan.
 Bunyi paru bersih.
 Tonus otot yang adekuat.
Rencana tindakan:
 Atur posisi pasien.
 Pantau tanda-tanda aspirasi.
 Pantau tingkat kesadaran : reflek batuk, reflek muntah, kemampuan
menelan.
 Pantau bersihan jalan napas dan status paru.
 Kolaborasi dengan dokter.
Evaluasi :
 Tidak ada muntah.
 Mampu menelan.
 Napas normal tidak ada suara paru tambahan.

3) Dx : Resiko kecelakaan cedera b/d efek anestesi umum.


Tujuan : Pasien aman selama dan setelah pembedahan.
Kriteria hasil :
 Selama operasi pasien tidak bangun/tenang.
 Pasien sadar setelah anestesi selesai.
 Kemampuan untuk melakukan gerakan yang bertujuan.
 Kemampuan untuk bergerak atau berkomunikasi.
 Pasien aman tidak jatuh
Rencana tindakan:
 Atur posisi pasien, tingkatkan keamanan bila perlu gunakan tali
pengikat.
 Jaga posisi pasien immobile.
 Atur tmeja operasi atau tubuh pasien untuk meningkatkan fungsi
fisiologis dan psikologis.
 Cegah resiko injuri jatuh.
 Pasang pengaman tempat tidur ketika melakukan transportasi pasien.
 Pantau penggunaan obat anestesi dan efek yang timbul.
Evaluasi :
 Pasien aman selama dan setelah pembiusan.
 Pasien nyaman selama pembiusan, tanda-tanda vital stabil.
 Pasien aman tidak jatuh.
 Skor aldert pasien ≥ 9 untuk bisa dipindahkan ke ruang rawat.
3. Post Anestesi
a. Pengkajian Post Anestesi dilakukan sejak pasien selesai dilakukan tindakan
pembedahan dan pasien akan dipindahkan ke ruang pemulihan. Pengkajian
Post anestesi meliputi :
1) Keadaan umum pasien dan tanda-tanda vital.
2) Status respirasi dan bersihan jalan napas.
3) Penilaian pasien dengan skala Aldert (untuk anestesi general) dan skala
Bromage (untuk anestesi regional)
4) Instruksi post operasi.
b. Analisa Data
Data yang telah di analisa digunakan untuk menentukan diagnosa
keperawatan, tujuan, perencanaan/implementasi dan evaluasi intra anestesi.
c. Diagnosa, Tujuan, Perencanaan dan Evaluasi Post Anestesi
1) Dx : Bersihan jalan napas tidak efektif b/d mukus banyak, sekresi
tertahan efek dari general anestesi.
Tujuan : bersihan jalan napas pasien efektif.
Kriteria hasil :
 Pola napas normal : frekuensi dan kedalaman, irama.
 Suara napas bersih.
 Tidak sianosis.
Rencana tindakan:
 Atur posisi pasien.
 Pantau tanda-tanda ketidak efektifan dan pola napas.
 Ajarkan dan anjurkan batuk efektif.
 Pantau respirasi dan status oksigenasi.
 Buka jalan napas dan bersihkan sekresi.
 Beri oksigenasi dan ajarkan napas dalam.
 Auskultasi suara napas dan pantau status oksigenasi dan
hemodinamik.
Evaluasi :
 Jalan napas efektif.
 Napas pasien spontan dan teratur.
 Tidak ada tanda-tanda sianosis.
 Status hemodinamik pasien stabil.
2) Dx : Gangguan rasa nyaman mual muntah b/d pengaruh sekunder
obat anestesi.
Tujuan : Mual muntah berkurang.
Kriteria hasil :
 Pasien menyatakan mual berkurang.
 Pasien tidak muntah.
 Pasien menyatakan bebas dari mual dan pusing.
 Hemodinamik stabil dan akral kulit hangat.
Rencana tindakan:
 Atur posisi pasien dan tingkatkan keseimbangan cairan.
 Pantau tanda vital dan gejala mual muntah.
 Pantau turgor kulit.
 Pantau masukan dan keluaran cairan.
 Kolaborasi dengan dokter.
Evaluasi :
 Perasaan pasien lega, tidak pusing dan terbebas dari rasa mual.
 Akral kulit hangat tidak pucat/sianosis.
 Nadi teratur dan kuat
 Status hemodinamik stabil.
3) Dx : Nyeri akut b/d agen cidera fisik (operasi)
Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang
Kriteria hasil :
 Pasien menyatakan nyeri berkurang atau hilang.
 Pasien mampu istirahat.
 Ekspresi wajah tenang dan nyaman.
Rencana tindakan:
 Kaji drajat, lokasi, durasi, frekuensi dan karakteristik nyeri.
 Gunakan tehnik komunikasi terapeutik.
 Ajarkan tehnik relaksasi.
 Kolaborasi dengan dokter.
Evaluasi :
 Rasa nyeri berkurang atau hilang.
 Hemodinamik normal.
 Pasien bisa istirahat dan ekspresi wajah tenang.
4) Dx : Hipotermi b/d berada atau terpapar di lingkungan dingin.
Tujuan : Pasien menunjukan termoregulasi.
Kriteria hasil :
 Kulit hangat dan suhu tubuh dalam batas normal.
 Perubahan warna kulit tidak ada.
 Pasien tidak menggigil kedinginan.
Rencana tindakan:
 Mempertahankan suhu tubuh selama pembiusan atau operasi sesuai
yang diharapkan.
 Pantau tanda-tanda vital.
 Beri penghangat.
Evaluasi :
 Suhu tubuh normal.
 Tanda-tanda vital stabil.
 Pasien tidak menggigil.
 Warna kulit tidak ada perubahan.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 volume 2.
Jakarta EGC.

Dillon, P.M. 2014. Nursing Health Assessment: A Critical Thinking, Case Studies
Approach. Philadelphia: F.A Davis Company.

Majid, A., Judha, M., Istianah, U. 2011. Keperawatan Perioperatif. Yogyakarta:


Gosyen Publishing.

Mangku, Gde., Senapathi, Tjokorda Gde A. (2010). Buku Ajar Ilmu Anestesia dan
Reaminasi. Jakarta: Indeks.

Miller, Ronald D. (2010). Millers’s Anesthesia 7th. Amerika: Churchill Livingstone


Elsiever.

Potter & Perry. 2010. Fundamental Keperawatan Buku 3 Edisi 7. Jakarta: Salemba
Medika.

Pramono, Ardi. (2016). Buku Kuliah: Anestesi. Jakarta: EGC.

Pasaribu, E. T. (2006) ‘Pembedahan pada Kelenjar Tiroid’, 39(3), pp. 319–323.

Sjamsuhidajat R dan Wim de Jong. 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed 2. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S.C., Bare, B.G. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth. 12 TH Ed. Jakarta: EGC.

www.depkes.org diakses pada tanggal 05/11/2019

Anda mungkin juga menyukai