Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

PASIEN Tn. JA DENGAN DIAGNOSA MEDIS TU COLLI (S) DENGAN PENYAKIT


PENYERTA HIPERTENSI TIDAK TERKONTROL DILAKUKAN TINDAKAN
OPERASI WIDE EKSISI DENGAN TINDAKAN ANESTESI GENERAL ANESTESI
(ETT) DI RUANG OK I IBS RSD MANGUSADA
PADA TANGGAL 14 OKTOBER 2023

PEMBIMBING AKADEMIK
Ns. Ni Luh Putu Lusiana Devi, S.Kep., M.Kep.

PEMBIMBING KLINIK I

PEMBIMBING KLINIK II

Disusun Oleh :
Ni Putu Wida Martasari
(2014301038)

FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI PRODI D-IV KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI
INTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI
TAHUN PELAJARAN 2023/2024
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPENATAAN ANESTESIOLOGI


PASIEN Tn. J DENGAN DIAGNOSA MEDIS TU COLLI (S) DENGAN PENYAKIT
PENYERTA HIPERTENSI TIDAK TERKONTROL DILAKUKAN TINDAKAN
OPERASI WIDE EKSISI DENGAN TINDAKAN ANESTESI GENERAL ANESTESI
(ETT) DI RUANG OK I IBS RSD MANGUSADA
PADA TANGGAL 14 OKTOBER 2023

Pembimbing Klinik I Pembimbing Akademik,

Ns. Ni Luh Putu Lusiana Devi, S.Kep., M.Kep.

Pembimbing Klinik II Mangupura, 15 Oktober 2023


Mahasiswa,

Ni Putu Wida Martasari


NIM: 2014301038
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Teori Penyakit


1. Definisi
Dalam pengertian umum tumor adalah benjolan atau pembengkakan dalam tubuh. Dalam
pengertian khusus tumor adalah benjolan yang disebabkan oleh neoplasma. Tumor atau
Neoplasma adalah massa abnormal dari sel-sel yang mengalami proliferasi. Selsel neoplasma
berasal dari sel-sel yang sebelumnya adalah sel-sel normal, namun selama mengalami perubahan
neoplastik mereka memperoleh derajat otonomi tertentu yaitu sel neoplastik tumbuh dengan
kecepatan yang tidak terkoordinasi dengan kebutuhan hospes dan fungsi yang sangat tergantung
pada pengawasan homeostasis sebagian besar sel tubuh lainnya (Agung & Restuningdyah,
2022).
Tumor colli adalah setiap massa baik kongenital maupun didapat timbul di segitiga
anterior atau posterior leher di antara klavikula pada bagian inferior dan mandibula serta dasar
tengkorak pada bagian superior. Pada 50% kasus benjolan pada leher berasal dari tiroid 40%
benjolan pada leher disebabkan oleh keganasan, 10% berasal dari peradangan atau kelainan
kongenital.
Secara umum tumor colli dapat dibedakan menjadi tiga kategori yaitu:
a. Kelainan kongenital : kista dan fistel leher lateral dan median, seperti hygroma colli
cysticum, kista dermoid.
b. Inflamasi atau peradangan : limfadenitis sekunder karena inflamasi banal (acne faciei,
kelainan gigi dan tonsilitis) atau proses inflamasi yang lebih spesifik (tuberkulosis,
tuberkulosis atipik, penyakit garukan kuku, actinomikosis, toksoplasmosis).Di samping itu
di leher dijumpai pembesaran kelenjar limfa pada penyakit infeksi umum seperti rubella dan
mononukleosis infeksiosa.
c. Neoplasma : Lipoma, limfangioma, hemangioma dan paraganglioma caroticum yang jarang
terdapat (terutama carotid body; tumor glomus caroticum) yang berasal dari paraganglion
caroticum yang terletak di bifurcatio carotis, merupakan tumor benigna. Selanjutnya tumor
benigna dari kutub bawah glandula parotidea, glandula submandibularis dan kelenjar tiroid.
Tumor maligna dapat terjadi primer di dalam kelenjar limfe (limfoma maligna), glandula
parotidea, glandula submandibularis, glandula tiroidea atau lebih jarang timbul dari
pembuluh darah, saraf, otot, jaringan ikat, lemak dan tulang. Tumor maligna sekunder di
leher pada umumnya adalah metastasis kelenjar limfe suatu tumor epitelial primer di suatu
tempat didaerah kepala dan leher. Jika metastasis kelenjar leher hanya terdapat didaerah
suprac1avikula kemungkinan lebih besar bahwa tumor primemya terdapat ditempat lain di
dalam tubuh (GUIMARAES, 2019).
Tumor colli adalah pembesaran atau pembengkakan atau biasa disebut pertumbuhan abnormal
diantara dasar tengkorak hingga klavikula. Masa leher pada pasien dewasa harus dianggap ganas
sampai terbukti sebaliknya. Massa leher bersifat metastasis cenderung asimptomatik yang
membesar perlahanlahan (MOELY, 2022).

2. Etiologi
Menurut (GUIMARAES, 2019) etiologi yang terkait dengan tumor colli diantaranya yaitu:
a. Karsinogen kimiawi
Karsinogen yang memerlukan perubahan metabolisme agar menjadi karsinogen aktif ,
sehingga, misalnya Aflatoksin B1 pada kacang, vinylklorida pada industri plastik,
benzoapiran pada asap kendaraan bermotor, kemoterapi dalam kesehatan.
b. Karsinogen fisik
Berkaitan dengan ultraviolet kangker kulit, karena terkena sinar. Radiasi UV yang dapat
menimbulkan dimmer yang merusak rangka fasfodiester DNA, misalnya sinar ionisasi pada
nuklir, sinar radioaktif, sinar ultraviolet.
c. Hormon
Hormon merupakan zat yang dihasilkan kelenjer tubuh yang berfungsi mengatur organ-
organ tubuh, pemberian hormon tertentu secara berlebihan dapat menyebabkan peningkatan
terjadinya beberapa kangker.
d. Gaya hidup
Gaya hidup yang tidak sehat merupakan salah satu faktor pendukung kanker, misalnya diet,
merokok, alkohol.
e. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital adalah kelainan yang dibawa sejak lahir, benjolannya dapat berupa
benjolan yang timbul sejak lahir atau timbul pada usia kanak-kanak bahkan terkadang
muncul setelah usia dewasa. Pada kelainan ini benjolan yang paling sering terletak di leher
samping bagian kiri atau kanan di sebelah atas , dan juga di tengah-tengah di bawah dagu.
Ukuran benjolan bisa kecil beberapa cm tetapi bisa juga besar seperti bola tenis.
f. Usia dan jenis kelamin
Terdapat risiko malignasi apabila didapat nodul tiroid pada usia >45 tahun, dan untuk
wanita mempunyai risiko tiga kali lebih besar dari pada pria.

3. Tanda dan Gejala


Kelainan kongenital, genetik, gender/ jenis kelamin, usia, rangsangan fisik berulang,
hormon infeksi, gaya hidup, karsinogenik (bahan kimia, virus, radiasi) dapat menimbulkan
tumbuh dan berkembangnya sel tumor. Sel tumor dapat bersifat benigna (Jinak) atau bersifat
maligna (ganas). Sel tumor pada tumor jinak bersifat tumbuh lambat, sehingga tumor jinak pada
umumnya tidak cepat membesar. Sel tumor mendesak jaringan sehat sekitarnya secara serempak
sehingga terbentuk serabut pembungkus yang memisahkan jaringan tumor dari jaringan sehat.
Pada umumnya tumor mulai tumbuh dari satu sel di suatu tempat (unisentrik), tetapi
kadang tumor berasal dari beberapa sel dalam satu organ (multisentrik) atau dari beberapa organ
(multiokuler) pada waktu bersamaan (sinkron) atau berbeda (metakron). Selama pertumbuhan
tumor masih terbatas pada organ tempat asalnya maka tumor dikatakan mencapai tahap lokal,
namun bila telah infiltrasi ke organ sekitarnya dikatakan mencapai tahap invasive atau infiltrasi .
Sel tumor bersifat tumbuh terus sehingga makin lama makin besar dan mendesak jaringan
sekitarnya. Pada neoplasma sel tumbuh sambil menyusup dan merembes ke jaringan sekitarnya
dan dapat meninggalkan sel induk masuk ke pembuluh darah atau pembuluh limfe, sehingga
terjadi penyebaran hematogen dan limfatogen (GUIMARAES, 2019).

4. Pemeriksaan Diagnostik / Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang tumor colli, antara lain :
a. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang membedakan tumor jinak dan ganas tiroid belum ada yang
khusus, kecuali kanker meduler, yaitu pemeriksaan kalsitonon dalam serum. Pemeriksaan
T3 dan T4 kadang-kadang diperlukan karena pada ca colli dapat terjadi tiroktositosis
walaupun jarang. Human Tiroglobulin (HTG) Tera dapat dipergunakan sebagai tumor
marker dan kanker tiroid diferensiasi baik. Walaupun pemeriksaan ini tidak khas untuk
kanker tiroid, namun peninggian HTG ini setelah tiroidektomi total merupakan indikator
tumor residif atau tumbuh kembali (barsano). Kadar kalsitonin dalam serum dapat
ditentukan untuk diagnosis karsinoma meduler.
b. Radiologi
1) Foto polos leher ap dan lateral dengan metode soft tissue technique dengan posisi leher
hiperekstensi , bila tumornya besar. Untuk melihat ada tidaknya kalsifikasi.
2) Dilakukan pemeriksaan foto thorax pa untuk menilai ada tidaknya metastasis dan
pendesakan trakea.
3) Esofagogram dilakukan bila secara klinis terdapat tandatanda adanya infiltrasi ke
esofagus.
4) Pembuatan foto tulang belakang bila dicurigai adanya tanda-tanda metastasis ke tulang
belakang yang bersangkutan. CT Scan atau MRI untuk mengevaluasi staging dari
karsinoma tersebut dan bisa untuk menilai sampai di mana metastasis terjadi.
5) Ultrasonografi
Untuk mendeteksi nodul yang kecil atau yang berada di posterior yang secara klinis
belum dapat di palpasi dan mendeteksi nodul yang multipel dan pembesaran. Di
samping itu dapat dipakai untuk membedakan yang padat dan kistik serta dapat
dimanfaatkan untuk penuntun dalam tindakan.
6) Scanning tiroid
Dengan sifat jaringan tiroid maka pemeriksaan scanning ini dapat memberikan beberapa
gambaran aktivitas, bentuk dan besar kelenjar tiroid. Kegunaan pemeriksaan ini, yaitu:
a) Memperlihatkan nodul soliter pada tiroid.
b) Memperlihatkan multipel nodul pada struma yang klinis kelihatan seperti nodul
soliter.
c) Memperlihatkan retrosternal struma
d) Mencari occul neoplasma pada tiroid.
e) Mengidentifikasi fungsi dari jaringan tiroid setelah operasi tiroid.
f) Mengidentifikasi ektopik tiroid.
g) Mencari daerah metastasis setelah total tiroidektmi.
h) Needle biopsi; dapat dilakukan dengan cara needle core biopsi atau fnab (biopsi
jarum halus).
7) Pemeriksaan potong beku
Dengan cara ini diharapkan dapat membedakan jinak atau ganas waktu operasi
berlangsung, dan sekaligus untuk menentukan tindakan operasi definitive.
8) Pemeriksaan histopatologi dengan parafin coupe
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan definitif atau gold standar.
9) Biopsi Aspirasi
Pada dekade ini biopsi aspirasi jarum halus banyak dipergunakan sebagai prosedur
diagnostik pendahuluan dari berbagai tumor terutama pada tumor tiroid. Teknik dan
peralatan sangat sederhana , biaya murah dan akurasi diagnostiknya tinggi. Dengan
mempergunakan jarum tabung 10 ml, dan jarum nomor 22– 23 serta alat pemegang,
sediaan aspirator tumor diambil untuk pemeriksaan sitologi. Berdasarkan arsitektur
sitologi dapat diidentifikasi karsinoma papiler, karsinoma folikuler, karsinoma
anaplastik dan karsinoma meduler.

5. Penatalaksanaan Medis
1) Penatalaksanaan Terapi
a. Pemerikaan Laboratorium
- Hematologi Rutin :
• HGB L 13.0 g/dL 13.2-17.3
• RBC L 4.15 10^6/µL 4.40-5.90
• HCT L 37.6 % 40.0-52.0
- Hitung Jenis
• MONO% H 10.1 % 2.0-8.0
• MONO# H 1.0 10^3/µL 0.0-0.7
- Faal Hati
• SGOT(AST) H 34 U/L 11-33
- Faal Ginjal
• Kreatinin Serum H 1.6 mg/dL 0.70-1.20
b. CT Scan : Mengkaji adanya tumor cerebral, encelopati
c. EKG : dapat menunjukkan pola rengangan, dimana luas, peninggian gelombang P
adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi
d. Photo Thorax : menujukkan destruksi klasifikasi pada area katup, pembesaran jantung.
e. Obat-obatan
- Amlodipin merupakan obat antihipertensi yang sering digunakan untuk terapi
hipertensi. Amlodipin tergolong dalam obat antagonis kalsium golongan
dihidropiridin (antagonis ion kalsium) (Haldi et al., 2021).
2) Penatalaksanaan Operatif
1) Pembedahan (colli otomi, tiroidektomi)
- Harus melaksakan pemeriksaan klinis untuk menentukan nodul benigna atau
maligna.
- Eksisi tidak hanya terbatas pada bagian utama tumor, tapi eksisi juga harus di
lakukan terhadap jaringan normal sekitar jaringan tumor. Cara ini memberikan
hasil operasi yang lebih baik.
- Metastasis ke kelanjar getah bening umumnya terjadi pada setiap tumor
sehingga pengangkatan, kelenjar di anjurkan pada tindakan bedah.
- Satu hal mutlak di lakukan sebelum bedah adalah menentukan stadium tumor
dan melihat pola pertumbuhan (growth pattern) tumor tersebut.
- Tirodektomi adalah sebuah operasi yang dilakukan pada kelenjer.
- Colliotomi adalah operasi yang dilakukan pada leher yang terkena tumor

B. Konsep Teori Penyakit Penyerta


1. Definisi Hipertensi
Hipertensi adalah gangguan vaskular yang ditandai dengan tekanan darah sistolik sama dengan
atau diatas 140 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik sama dengan atau diatas 90 mmHg.
Hipertensi tidak memberikan gejala kepada penderita, namun bukan berarti tidak berbahaya,
dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan komplikasi (Haldi et al., 2021).
2. Etiologi
Berdasarkan penyebabnya hipertensi terbagi menjadi dua golongan menurut (Aspiani, 2014) :
a. Hipertensi Primer atau Hipertensi Esensial
Hipertensi primer atau hipertensi esensial disebut juga hipertensi idiopatik karena tidak
diketahui penyebabnya. Faktor-faktor yang memengaruhi yaitu :
1) Genetik
Individu yang mempunyai riwayat keluarga dengan hipertensi, beresiko tinggi untuk
mendapatkan penyakit ini. Faktor genetik ini tidak dapat dikendalikan, jika memiliki
riwayat keluarga yang memliki tekanan darah tinggi.
2) Jenis Kelamin dan Usia
Laki - laki berusia 35- 50 tahun dan wanita menopause beresiko tinggi untuk mengalami
hipertensi. Jika usia bertambah maka tekanan darah 11 meningkat faktor ini tidak dapat
dikendalikan serta jenis kelamin laki–laki lebih tinggi dari pada perempuan.
3) Diet
Konsumsi diet tinggi garam secara langsung berhubungan dengan berkembangnya
hipertensi. Faktor ini bisa dikendalikan oleh penderita dengan mengurangi konsumsinya,
jika garam yang dikonsumsi berlebihan, ginjal yang bertugas untuk mengolah garam
akan menahan cairan lebih banyak dari pada yang seharusnya didalam tubuh.
Banyaknya cairan yang tertahan menyebabkan peningkatan pada volume darah. Beban
ekstra yang dibawa oleh pembuluh darah inilah yang menyebabkan pembuluh darah
bekerja ekstra yakni adanya peningkatan tekanan darah didalam dinding pembuluh
darah dan menyebabkan tekanan darah meningkat.
4) Berat Badan
Faktor ini dapat dikendalikan dimana bisa menjaga berat badan dalam keadaan normal
atau ideal. Obesitas (>25% diatas BB ideal) dikaitkan dengan berkembangnya
peningkatan tekanan darah atau hipertensi.
5) Gaya Hidup
Faktor ini dapat dikendalikan dengan pasien hidup dengan pola hidup sehat dengan
menghindari faktor pemicu hipertensi yaitu merokok, dengan merokok berkaitan dengan
jumlah rokok yang dihisap dalam waktu sehari dan dapat menghabiskan berapa putung
rokok dan lama merokok berpengaruh dengan tekanan darah pasien. Konsumsi alkohol
yang sering, atau berlebihan dan terus menerus dapat meningkatkan tekanan darah
pasien sebaiknya jika memiliki tekanan darah tinggi pasien diminta untuk 12
menghindari alkohol agar tekanan darah pasien dalam batas stabil dan pelihara gaya
hidup sehat penting agar terhindar dari komplikasi yang bisa terjadi.
b. Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder terjadi akibat penyebab yang jelas. Salah satu contoh hipertensi
sekunder adalah hipertensi vaskular rena, yang terjadi akibat stenosi arteri renalis. Kelainan
ini dapat bersifat kongenital atau akibat aterosklerosis. Stenosis arteri renalis menurunkan
aliran darah ke ginjal sehingga terjadi pengaktifan baroreseptor ginjal, perangsangan
pelepasn renin, dan pembentukan angiostenin II.
Angiostenin II secara langsung meningkatkan tekanan darah dan secara tidak langsung
meningkatkan sintesis andosteron danreabsorbsi natrium. Apabila dapat dilakukan perbaikan
pada stenosis,atau apabila ginjal yang terkena diangkat, tekanan darah akan kembali ke
normal.
3. Tanda dan Gejala
Menurut Aspiani (2014), gejala umum yang ditimbulkan akibat hipertensi atau tekanan darah
tinggi tidak sama pada setiap orang, bahkan terkadang timbul tanpa tanda gejala. Secara umum
gejala yang dikeluhkan oleh penderita hipertensi sebagai berikut :
a. Sakit kepala
b. Rasa pegal dan tidak nyaman pada tengkuk
c. Perasaan berputar seperti tujuh keliling serasa ingin jatuh.
d. Berdebar atau detak jantung terasa cepat
e. Telinga berdenging yang memerlukan penanganan segera
4. Penatalaksanaan Medis
Menurut Triyanto (2014), penanganan hipertensi dibagi menjadi dua yaitu secara
nonfarmakologis dan farmakologis.
a. Terapi non farmakologi merupakan terapi tanpa menggunakan obat,terapi non farmakologi
diantaranya memodifikasi gaya hidup dimana termasuk pengelolaan stress dan kecemasan
merupakan langkah awal yang harus dilakukan. Penanganan non farmakologis yaitu
menciptakan keadaan rileks, mengurangi stress dan menurunkan kecemasan. Terapi non
farmakologi diberikan untuk semua pasien hipertensi dengan tujuan menurunkan tekanan
darah dan mengendalikan faktor resiko serta penyakit lainnya.
b. Terapi farmakologi yaitu yang menggunakan senyawa obat obatan yang dalam kerjanya
dalam mempengaruhi tekanan darah pada pasien hipertensi seperti : angiotensin receptor
blocker (ARBs), beta blocker, calcium chanel dan lainnya. Penanganan hipertensi dan
lamanya pengobatan dianggap kompleks karena tekanan darah cenderung tidak stabil.

C. PertimbanganAnestesi
1. Definisi Anestesi
Anestesi dan reanimasi merupakan suatu cabang ilmu yang menganalisis tentang manajemen
untuk melenyapkan rasa, baik rasa nyeri, takut dan rasa nyaman yang lain yang mengakibatkan
pasien merasa nyaman dan manajemen untuk melindungi hayati dan kehidupan pasien selama
mengalami “kematian” akibat dari obat anesthesia (Mangku & Senapathi, 2017).
2. Jenis Anestesi
1) General Anestesi
Menurut Mangku & Senapathi (2017), anestesi umum atau general merupakan
suatu keadaan tidak sadarnya pasien secara sementara dan dengan hilangnya rasa nyeri di
seluruh tubuh pasien akibat pemberian anestesi atau obat bius. Trias anestesi diantaranya
hipnotik (kehilangan kesadaran), anestesia (bebas dari nyeri), dan relaksasi (kelumpuhan
otot sementara). Adapun stadium anestesi untuk mengetahui pasien sedang berada di
kondisi apa dan saat yang tepat untuk pembedahan. Stadium anestesi meliputi :
1) Stadium I : disebut juga ”stadium induksi”, yaitu periode sejak masuknya obat induksi
hingga hilangnya kesadaran yang ditandai dengan hilangnya refleks bulu mata.
2) Stadium II : disebut juga ”stadium eksitasi”. Pasien mulai tidak sadar sampai mulai
nafas teratur otomatis. Pada stadium ini pasien batuk, mual, muntah, henti nafas dan
lain-lain.
3) Stadium III : disebut juga ”stadium pembedahan” yang dibagi dalam 4 plana, yaitu :
a) Plana 1 : mulai nafas otomatis sampai gerak bola mata berhenti.
b) Plana 2 : mulai gerak bola mata berhenti sampai nafas torakal lemah.
c) Plana 3 : mulai nafas torakal lemah sampai nafas torakal berhenti.
d) Plana 4 : mulai nafas torakal berhenti sampai nafas diagfragma berhenti.
4) Stadium IV : Merupakan stadium intoksikasi, yaitu mulai paralisis diafragma sampai
henti jantung atau meninggal.

2) Regional Anestesi
Anestesi regional merupakan suatu keadaan tidak sadarnya pasien dikarenakan
disuntikkannya obat anestesi local pada area serat saraf yang menginervasi region tertentu,
yang menyebabkan hambatan pada area perut kebawah dan bersifat sementara (Mangku &
Senapathi, 2017).

3. Teknik Anestesi
a. General Anestesi
Anestesi umum dibagi menjadi 3 teknik yaitu :
1) Anestesi Inhalasi
Menurut (Mangku & Senapathi, 2017), anestesi inhalasi merupakan salah satu teknik
anestesi umum yang dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesi
inhalasi yang berupa gas atau cairan yang mudah menguap melalui alat atau mesin
anestesi langsung ke udara inspirasi.
2) Anestesi Intravena
Anestesi intravena merupakan salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan dengan
jalan menyuntikan obat anestesi parentral langsung ke dalam pembuluh darah vena
(Mangku & Senapathi, 2017).
3) Anestesi Imbang
Menurut (Mangku & Senapathi, 2017), anestesi imbang merupakan teknik anestesi
dengan mempergunakan kombinasi obat-obatan baik obat anestesi intravena maupun
obat anestesi inhalasi atau kombinasi teknik anestesi umum dengan analgesia regional
untuk mencapai trias anestesi secara optimal dan berimbang, yaitu :
a) Efek hypnosis, diperoleh dengan mempergunakan obat hipnotikum atauobat
anestesi umum yang lain.
b) Efek analgesia, diperoleh dengan mempergunakan obat analgetik opiat atau obat
anestesia umum atau dengan cara analgesia regional.
c) Efek relaksasi, diperoleh dengan mempergunakan obat pelumpuh otot atauobat
anestesi umum atau dengan cara anestesi regional.
b. Regional Anestesi
Teknik anestesi regional yang umum digunakan menurut Modul IPAI 2018 antara lain :
1) Blok Subarakhnoid
Obat disuntikkan di tulang punggung dan diperoleh pembiusan dari kaki sampai tulang
dada hanya dalam beberapa menit, suntikan hanya diberikan satu kali.
2) Blok Epidural
Obat disuntikkan di tulang punggung dan diperoleh pembiusan dari kaki sampai tulang
dada hanya dalam beberapa menit. Suntikan hanya diberikan satukali, obat diberikan
terus-menerus melalui sebuah selang kecil selama masih diperlukan.
3) Kombinasi Spinal Epidural.

4. Rumatan Anestesi
a. Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat sebelum induksi anestesi dengan tujuan untuk
melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi, diantaranya untuk meredakan
kecemasan dan ketakutan, memperlancar induksi anesthesia, mengurangi sekresi kelenjar
ludah dan bronkus, meminimalkan jumlah obat anestetik, mengurangi mual-muntah pasca
bedah, menciptakan amnesia, mengurangi isi cairan lambung, dan mengurangi reflek yang
membahayakan.Adapun obat premedikasi yang diberikan yaitu :
1) Ondansentron merupakan suatu antagonis 5-HT3 yang sangat selektif yang dapat
menekan mual dan muntah.
2) Diazepam merupakan golongan benzodiazepin. Pemberian dosis rendah bersifat
sediatif sedangkan dosis besar hipnotik. Dosis premedikasi dewasa 10 mg
intramuskular atau 5-10 mg oral (0,2- 0,5 mg/kgBB) dengan dosis maksimal 15mg.
Dosis sedasi pada analgesi regional 5-10 mg (0,04-0,2 mg/kgBB) intravena. Dosis
induksi 0,2-1mg/kgBB intravena.
3) Midazolam dibandingkan dengan diazepam, midazolam mempunyai awal dan lama
kerja lebih pendek. Belakangan ini midazolam lebih disukai dibandingkan dengan
diazepam, dosis 50% dari dosis diazepam.
4) Antikolinegrik (Atropin) diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah dan
bronkus selama 90 menit. Dosis 0,4-0,6 mg intramuskular bekerja setelah 10-15 menit.
b. Induksi Anestesi
Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar,
sehingga memungkinkan untuk dimulainya anestesi dan pembedahan. Sebelum melakukan
induksi, perlu disiapkan STATICS yaitu :
1) Scope : stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringoskop pilih bilah
atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang. Blade
machintos untuk dewasa dan magill untuk anak-anak.
2) Tubes : pipa trakea. Pilih sesuai dengan usia pasien. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed)
dan usia > 5 tahun dengan balon (cuffed). Jenisnya antara lain Endotracheal Tube
(ETT), Laryngeal Mask Airway (LMA), Nasotracheal Tube (NTT) yang digunakan
sesuai dengan indikasi dan pertimbangan.
3) Airway : pipa mulut-faring (guedel, orotracheal airway) dan pipa hidung faring
(nasotracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk
menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.
4) Tape : plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut.
5) Introducer : mandarin atau stillet untuk memandu agar pipa trakea mudah dimasukkan.
6) Connector : penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia.
7) Suction : penyedot lender, ludah, dan lain-lainnya. Untuk SAB menggunakan
buvipacaine dengan dosis 10-12 mg untuk operasi berdurasi pendek gunakan
bupivacaine dosis rendah (0.075% 7.5mg), mepivakain (1.5%,45 mg) atau procaine
(10%, 100150 mg). Lidokain dapat digunakan, namun dapat menyebabkan gejala
neurologis transien. Anestesi lumbar epidural menggunakan 1.5-2.0% lidokain dengan
epineprin 5 mcg/mL, 15- 25, suplementasidengan 5-10 mL bolus apabila diperlukan.
Suplementasi IV sedasi juga diperlukan.
Pada anestesi umum dilakukan induksi dengan propofol yang merupakan derivat fenol
dengan nama kimia di-iso profil fenol. Berupa cairan berwarna putih susu bersifat isotonik
dengan kepekatan 1% (1 ml = 10 mg).
Dosis bolus untuk induksi 1-2,5 mg/kg. Intubasi endotrakeal tidak diperbolehkan untuk
prosedur operasi yang durasinya pendek, penggunaan LMA lebih disarankan untuk kondisi
ini. Gunakan laringoskopi kemudian semprotkan lidokain 4% 3-5 kali ke dalam laring-faring
dan trakea agar refleks batuk pada saat intubasi dapat ditekan, kemudian lanjutkan dengan
intubasi endotrakeal.
c. Pemeliharaan Selama Anestesi
Pemeliharaan selama regional anestesi dilakukan dengan pemberian O2 (2 lpm). Pada
anestesi dengan inhalasi isofluran 2 vol%, sevofluran 2 vol%, O2 (2lpm) dan N2O (2 lpm).
Pemberian anesthesia dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini bersifat anestetik
lemah, tetapi analgesinya kuat. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tetapi
dikombinasi dengan salah satu cairan anestetik lain. Pada akhir anesthesia setelah N2O
dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi pengenceran O2
dan terjadilah hipoksia difusi. Untuk menghindarinya diberikan O2 selama 5 - 10 menit.
d. Monitoring
Monitoring anestesi dibagi menjadi 3 tahap yaitu : monitoring sebelum, selama,
dan sesudah operasi.
e. Reverse
Segera setelah operasi selesai, hentikan aliran obat anestesi dan berikan pasien obat penawar
pelumpuh otot yaitu neostigmine (0.03-0.07 mg/kg) atau edrophonium (0.5-1 mg/kg)
bersamaan dengan agen anti kolinergik (glikopirulat,0.01 mg/kg, atau atropin 0.01-0.02
mg/kg).
Untuk anestesi general pantenkan jalan napas, tanda-tanda vital, oksigenasi, dan level
kesadaran pasien harus tetap di evaluasi saat pasien sudah berada di ruang perawatan.
Pengukuran yang kontinyu dari tekanan darah, denyut nadi, dan laju pernapasan dilakukan
setiap 5 menit selama 15 menit atau sampai stabil, dan setiap 15 menit setelahnya.
Oximetri harus dimonitor pada semua pasien. Semua pasien yang dalam pemulihan
anestesi umum harus mendapatkan suplementasi oksigen dan monitor oximetri. Untuk
pasien sedasi berat dan hemodinamiknya tidak stabil akibat anestesi regional harus
mendapat suplementasi oksigen di ruang pemulihan. Sensori dan motorik harus di catat
regresi dari blokadenya. Tekanan darah harus di monitor pada anestesi spinaldan epidural.
Jalan nafas dibersihkan dengan kateter suction. Setelah pasien nafas spontan dan adekuat,
lakukan ekstubasi.
f. Emergency
1) Sulfat Atropin (SA) untuk mengatasi bradikardi akibat salah satu efek samping dari
laringoskopi.
2) Adrenalin/Epinefrin sebagai vasopressor apabila terjadi cardiac arrest akibat tindakan
larioskopi intubasi.

5. Resiko
a. General Anestesi
Menurut Modul IPAI (2019), adapun efek yang diakibatkan penggunaan obat general
anestesi kepada organ tubuh antara lain :
1) Efek terhadap Kardiovaskuler
Obat anestetik inhlasi cenderung meningkatkan tekanan atrium kanan yang bergantung
pada dosis dan sekaligus menggambarkan depresi fungsi miokardium.
a) Penurunan tekanan arteri.
b) Penerunan curah jantung.
c) Bradikardi mungkin terlihat pada halotan yang mungkin akibat
d) depresi langsung atas kecepatan atrium.
2) Efek terhadap Sistem Pernapasan
Obat anestesi akan menurunkan fungsi pernapasan, meningkatkan ambang apnea (kadar
PaCO2 turun dimana apnea terjadi melalui tidak adanya rangsangan pernapasan yang
digerakkan oleh CO2) dan menurunkan respon ventilasi terhadap hipoksia.
a) Penurunan volume tidal
b) Peningkatan frekuensi pernapasan
3) Efek terhadap Otak
Obat anestetik inhalasi menurunkan laju metabolik otot sehingga meningkatkan aliran
darah serebrum karena penurunan tahanan vaskuler serebrum yang kemudian akan
meningkatkan volume darah otak yang mengakibatkan meningkatkan tekanan
intracranial.
a) Pusing
b) Kesadaran menurun
4) Efek terhadap Ginjal
Obat anestetik menyebabkan penurunan filtrasi glomelurus dan aliran plasma ginjal
serta meningkatkan fraksi filtrasi. Semua obat anestetik cenderung meningkatkan
tahanan vascular ginjal. Penurunan aliran darah ginjalselama anestesi umum akan
mengganggu autoregulasi aliran darah ginjal.
a) Dapat terjadi penurunan produksi urine.
5) Efek terhadap Hati
Obat anestetik inhalasi akan menurunkan aliran darah ke hati dan pada umumnya
berkisar antara 15-45% dari aliran darah sebelum anestesi dilakukan.
6) Efek terhadap Otot Polos Uterus
Obat N2O mempunyai efek yang kecil terhadap otot polos uterus, akan tetapi isofluran,
enfluran, dan halotan membuat relaksan otot uterus menjadi kuat. Efek farmakologi ini
akan menguntungkan bila diperlukan relaksasi otot uterus yang kuat untuk
memanipulasi janin intrauterine selama persalinan. Sebaliknya, selama dilatasi dan
kuretasi pada abortus teurapetik, obat anestetik tersebut mungkin dapat meningkatkan
perdarahan.
7) Efek terhadap Gastrointestinal
Obat anestesi menyebabkan penurunan motilitas usus sehingga dapat terjadi mual dan
muntah.
8) Perdarahan
Inspeksi luka bedah terhadap perdarahan. Manifestasi klinis meliputi gelisah, bergerak
aktif, merasa haus, kulit dingin disertai basah dan pucat, nadimeningkat, suhu turun,
pernapasan cepat dan dalam, bibir dan konjungtiva pucat dan pasien melemah.
Penatalaksanaannya adalah pasien dibaringkanseperti pada posisi pasien syok.
9) Kenaikan Suhu
Demam adalah kenaikan suhu tubuh diata 38ºC yang diakibatkan oleh :
a) Puasa terlalu lama
b) Suhu kamar operasi terlalu panas (suhu ideal 23-24ºC)
c) Penutup kain operasi yang terlalu tebal
d) Dosis premedikasi sulfat atropine terlalu besar
e) Infeksi
f) Kelainan herediter (kelainan ini biasanya menjurus pada komplikas hipertermia
maligna)
10) Hipertermia Maligna
Hipertermi maligna sering kali terjadi pada pasien yang dioperasi akibat gangguan otot
yang disebabkan oleh agen anestetik. Selama anestesi, agen anestesi inhalasi (halotan
dan enfluran) dan relaksan otot (suksinilkolin) dapat memicu terjadinya hipertermi
maligna.
11) Hipotermia
Menggigil dapat terjadi akibat obat anestesi thiopental, halotan atau enfluran atau
anestesispinal karena efek obat anestesi yang menurunkan ambang dingin dan
mempercepat pelepasan panas dengan vasodilatasi.
b. Regional Anestesi
Menurut Modul IPAI (2019), adapun efek yang diakibatkan penggunaan obat anestesi spinal
kepada organ tubuh antara lain :
1) Hipotensi
Hipotensi terjadi karena vasodilatasi akibat blok simpatis yang menyebabkan terjadi
penurunan tekanan arteriola sistemik dan vena.
2) Bradikardi
Bradikardi terjadi karena aliran darah balik berkurang atau karena blok simpatis T-2.
3) Hipoventilasi
Hipoventilasi terjadi akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali
napas.
4) Mual Muntah
Mual muntah dapat terjadi karena hipotensi, di samping itu juga karena adanya
aktivitas parasimpatis yang menyebabkan peningkatan peristaltik usus.
5) Penurunan Panas Tubuh (Shivering)
Penurunan panas tubuh dapat disebabkan karena sekresi katekolamin ditekan sehingga
produksi panas oleh metabolism berkurang dan vasodilatasi pada anggota tubuh bawah
dapat menyebabkan hipotermi.
6) Nyeri Punggung
Nyeri punggung diakibatkan oleh tusukan jarum yang menyebabkan trauma pada
periosteal atau rupture dari struktur ligament dengan atau tanpa hematoma
intraligamentous serta komplikasi neurologic.
7) Retentio Urine atau Disfungsi Kandung Kemih
Hal ini dapat terjadi karena blockade simpatik eferen (t%-L1) menyebabkan kenaikan
tonus sfinkter yang mengakibatkan retensi urine.
D. Web of caution (WOC)

Etiologi : Patofisiologi :
TU Colli +
Hormon, Gaya hidup, Hipertensi Tidak 1. Nyeri pada daerah
Karsinogen Kimiawi Terkontrol tumor
& Fisik 2. Sakit kepala
3. Takikardia
4. Telinga berdenging

Dilakukan Tindakan Wide Eksisi


&
General Anestesi ETT

Kurangnya
Kurangnya Pengaruh Agent/Obat Anestesi
Pengetahuan
Tentang Persiapan
Penyakit dan
Prosedur
Tindakan Intra Anestesi
1) RK Gangguan
RK Cedera Fungsi
Anestesi Kardiovaskuler
2) RK Gangguan
Cemas Fungsi Respirasi
3) Risiko Cedera
Trauma Fisik

Pasca Anestesi
1) RK Gangguan
Fungsi
Kardiovaskuler
2) Risiko Gangguan
Termoegulasi
E. Tinjauan Teori Askan Pembedahan Khusus
1. Pengkajian
Menurut (Setiabudi et al., 2023) pengkajian meliputi :
a. Pengumpulan data
1) Data Subjektif
Data subjektif adalah informasi yang diperoleh dari pasien berupa keluhan atau
pendapat meeka tentang kondisi kesehatannya. Untuk mendapatkan data subjektif
dapat menggunakan metode anamnesis.
Anamnesis bertujuan untuk mendapatkan data dasar dan data fokus yang meliputi :
a) Data dasar yaitu kumpulan data yang berisikan mengenai status kesehatan pasien,
seperti keluhan utama, riwayat penyakit, indikasi dilakukan pembedahan dan
anestesi, serta latar belakang sosial budaya.
b) Data fokus yaitu data tentang perubahan-perubahan/ respon pasien terhadap
masalah kesehatannya, serta hal-hal yang mencakup tindakan yang dilakukan
terhadap pasien. Dalam hal ini dikenal dengan istilah AMPLE (Allergy, Medical
dug, Past ilness, Last meal, Environtment).
2) Data Objektif
Data objektif merupakan informasi yang dapat diukur, diamati, diverifikasi secara
objektif yang didasarkan pada pengamatan langsung, seperti : pemeriksaan fisik,
analisis pemeriksaan diagnostic, klasifikasi status fisik ASA, dan pertimbangan
anestesi yang dipeoleh melalui instrument atau alat yang digunakan.
2. Masalah Kesehatan Anestesi
Masalah yang mungkin muncul pada pasien ini adalah :
a. Pre anestesi :
1) Cemas
2) RK Cedera Anestesi
b. Intra Anestesi :
1) RK Gangguan Fungsi Kardiovaskuler
2) RK Gangguan Fungsi Respirasi
3) Risiko Cedera Trauma Fisik
c. Pasca Anestesi :
1) RK Gangguan Fungsi Kardiovaskuler
2) Risiko Gangguan Termoegulasi
3. Rencana Intervensi
a. Pre Anestesi
1) Cemas
Tujuan : setelah dilakukan ASKAN selama 30 menit pada fase pre anestesi,
cemas dapat hilang atau bekurang.
Kriteria Hasil
(1) Pasien mengatakan kekhawatiran hilang atau bekurang
(2) Pasien mengatakan gugup hilang atau berkurang
(3) Pasien mengatakan percaya diri
(4) Frekuensi napas dalam batas normal (12-16x/mnt)
(5) Tidak terjadi diaforesis (keringat dingin)
(6) Gemetar hilang
(7) Mampu melakukan kontak mata dengan baik
(8) Tidak terjadi gelisah
(9) Mampu berinteraksi
Rencana Intervensi
(1) Identifikasi tanda verbal dan nonverbal kecemasan
(2) identifikasi situasi yang membuat anxietas
(3) Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
(4) Berikan teknik nonfarmakologi (distraksi atau relaksasi)
(5) Jelaskan prosedur tindakan
(6) Berikan informasi secara factual
(7) Anjurkan untuk mengungkapkan perasaan dan persepsi
(8) Kolaborasi pemberian obat anti cemas

2) RK Cidera Anestesi
Tujuan : setelah dilakukan ASKAN selama fase pre anestesi, cedera akibat
anestesi tidak terjadi di intra dan pasca anestesi.
Kriteria Hasil
(1) Tidak terjadi reaksi alergi
(2) Status hemodinamik stabil
(3) Respirasi Stabil
(4) Termoregulasi stabil
(5) Tidak terjadi mual muntah
(6) Gangguan neuromuskuler tidak terjadi
Rencana Intervensi
(1) Observasi TTV
(2) Kaji persiapan pasien sebelum operasi
(3) Identifikasi hasil laboratorium
(4) Lakukan pengosongan kandung kemih
(5) Koreksi risiko sebelum tindakan anestesi
(6) Siapkan peralatan anestesi sesuai jenis anestesi
(7) Siapkan mesin anestesi
(8) Siapkan obat-obatan dan cairan sesuai jenis anestesi
(9) Periksa kelengkapan administrasi pasien
(10) Edukasi kepada pasien dan keluarga pasien tentang prosedur anestesi
(11) Edukasi tentang persiapan tindakan anestesi
(12) Berikan kesempatan bertanya
(13) Berikan kesempatan untuk berdoa
(14) Kolaborasi pemberian premedikasi
(15) Kolaborasi dengan dokter spesialis apabila risiko cedera terjadi.

b. Intra Anestesi
1) RK Gangguan Fungsi Kardiovaskuler
Tujuan : setelah dilakukan ASKAN selama fase intra anestesi, komplikasi gangguan
fungsi kardiovaskuler tidak terjadi/teratasi.
Kriteria Hasil
(1) Hemodinamik dalam batas normal (sistol : 100-120mmHg, diastol : 60-80mmHg,
nadi : 60-100x/mnt, MAP 85mmHg)
(2) EKG sinus rythme
(3) CRT <3 detik
(4) Tidak ada sianosis
(5) SpO2 : 95-100%
Intervensi
(1) Observasi TD,MAP, Nadi, Respirasi dan SpO2
(2) Monitor tanda dan gejala penurunan curah jantung
(3) Monitor gambaran EKG
(4) Monitor tanda dan gejala syok
(5) Periksa tingkat perfusi jaringan perifr
(6) Kolaborasi pemberian oksigenasi sesuai program
(7) Kolaborasi pemberian terapi cairan
(8) Kolaborasi pemberian vasopresor
(9) Kolaborasi pembeian obat anti aritmia
2) RK Gangguan Fungsi Respirasi
Tujuan : setelah dilakukan ASKAN selama fase intra anestesi, komplikasi
gangguan fungsi respirasi tidak terjadi/teratasi.
Kriteria Hasil
(1) Dapat bernapas dengan mudah
(2) Tidak terdapat nyeri dada
(3) Pasien tampak tidak sesak napas
(4) Tidak tampak pernafasan cuping hidung,
(5) Tidak tampak mengunakan otot pernapasan tambahan
(6) Frekuensi napas normal (12-20x/menit)
(7) Saturasi oksigen 95-100%
(8) Pola napas teratur
(9) Ekspansi dada simetris
Intervensi
(1) Monitor status respirasi dan oksigenasi (misal: frekuensi dan kedalaman napas,
penggunaan otot bantu napas, bunyi napas tambahan, saturasi oksigen, Minute
volume) sesuai kondisi pasien
(2) Monitor pola napas (seperti bradipnea, takipnea, hiperventilasi, Kusmaul, Cheyne
Stokes, Biot, ataksik/pernapasan irreguler)
(3) Monitor kadar EtCO2
(4) Identifikasi efek perubahan posisi terhadap status pernapasan
(5) Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
(6) Monitor nilai Analisa gas darah (AGD)
(7) Monitor nilai Hb
(8) Monitor tanda hipoksia
(9) Monitor hasil x-ray toraks
(10) Atur gas/rumatan anestesi sesuai kebutuhan kondisi pasien
(11) Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan (mis. nasal kanul, masker wajah, masker
rebreathing atau non rebreathing)
(12) Ajarkan melakukan teknik relaksasi napas dalam
(13) Ajarkan mengubah posisi secara mandiri
(14) Kolaborasi ventilasi mekanik
(15) Kolaborasi koreksi asam basa
(16) Kolaborasi pemberian diuretik pada edema paru.
3) Risiko Cedera Trauma Fisik
Tujuan : setelah dilakukan ASKAN selama fase intra anestesi, cedera trauma fisik
pembedahan tidak terjadi.
Intervensi
(1) Observasi hemodinamik (TD,MAP,N,SpO2,RR)
(2) Lakukan pengaturan posisi pembedahan
(3) Lakukan asistensi dr Spesialis Anestesi dalam melakukan spinal anestesi
(4) Melakukan penilaian blok

c. Pasca Anestesi
1) RK Gangguan Fungsi Kardiovaskuler
Tujuan : setelah dilakukan ASKAN selama fase pasca anestesi, komplikasi
gangguan fungsi kardiovaskuler tidak terjadi/teratasi.
Kriteria Hasil :
(1) Hemodinamik dalam batas normal (sistol : 100-120mmHg, diastol : 60-80mmHg,
nadi : 60-100x/mnt, MAP 85mmHg)
(2) EKG sinus rythme
(3) CRT <3 detik
(4) Tidak ada sianosis
(5) SpO2 : 95-100%
Intervensi :
(1) Observasi TD,MAP, Nadi, Respirasi dan SpO2
(2) Monitor tanda dan gejala penurunan curah jantung
(3) Monitor gambaran EKG
(4) Monitor tanda dan gejala syok
(5) Periksa tingkat perfusi jaringan perifr
(6) Kolaborasi pemberian oksigenasi sesuai program
(7) Kolaborasi pemberian terapi cairan
(8) Kolaborasi pemberian vasopresor
(9) Kolaborasi pembeian obat anti aritmia .

2) Risiko Gangguan Termoegulasi


Tujuan : setelah dilakukan ASKAN selama fase pasca anestesi, risiko gangguan
termoregulasi tidak terjadi.
Kriteria Hasil
(1) Suhu tubuh normal (36-37ºC)
(2) TTV dalam batas normal (TD : 100-120/60-80mmHg, N : 60-100x/mnt,
(3) RR : 16-22x/mnt)
(4) Tidak kejang
(5) Akral hangat
(6) CRT <2detik
(7) Tidak terjadi sianosis.
Intervensi
(1) Observasi suhu tubuh
(2) Observasi TTV
(3) Observasi tanda-tanda sianosis
(4) Periksa CRT
(5) Atur suhu ruangan
(6) Berikan selimut hangat sesuai indikasi
(7) Kolaborasi pemberian oksigen
(8) Kolaborasi pemberian antipiretik sesuai indikasi
(9) Kolaborasi pemberian infus hangat sesuai indikasi.

4. Implementasi
Menurut (Setiabudi et al., 2023), implementasi merupakan melaksanakan rencana
intervensi asuhan kepenataan anestesi secara komprehensif, efektif, efisien dan aman
berdasarkan evidence based kepada pasien dalam bentuk upaya kuratif, preventif, promotif
dan rehabilitatif, dilaksanakan secara mandiri, sedangkan kolaborasi dengan rujukan
pelimpahan wewenang.
a. Kriteria implementasi
- Memperhatikan keunikan pasien sebagai makhluk bio-psiko-sosial – spiritual –
kultural
- Setiap tindakan asuhan kepenataan anestesi harus mendapatkan persetujuan dari
pasien atau keluarganya
- Melaksanakan tindakan asuhan kepenataan anestesi berdasarkan evidence based
- Mendapatkan persetujuan dari pasien dalam setiap tindakan
- Menjaga privacy pasien
- Mengikuti perkembangan kondisi pasien secara berkesinambungan
- Menggunakan sumberdaya, sarana dan prasarana fasilitas kesehatan yang ada
dan sesuai standar yang ditentukan
- Melakukan tindakan sesuai standar yang ditentukan
- Mencatat semua tindakan yang telah dilakukan
b. Jenis implementasi
- Tindakan mandiri adalah tindakan yang diprakarsai sendiri oleh penata anestesi
untuk membantu pasien dalam mengatasi masalah pasien (bukan merupakan
petunjuk atau perintah dari petugas kesehatan lain
Contoh: memberikan warmer/penghangat
- Tindakan kolaborasi adalah tindakan yang didasarkan dari hasil keputusan
bersama antara penata anestesi dengan tenaga medis
Contoh: berkolaborasi pemberian Pethidine 25 mg
c. Fokus implementasi
- Mempertahankan daya tahan tubuh untuk mencapai homeostasis
- Mencegah komplikasi
- Menemukan perubahan sistem tubuh setelah dilakukan tindakan
- Memperdalam hubungan saling percaya penata anestesi dengan pasien
- Melakukan tindakan sesuai program kolaborasi.
- Mengupayakan rasa aman,nyaman dan keselamatan
- Menggunakan prinsip 6 S (Senyum, Salam, Sapa, Sopan Santun, Sabar dan
Syukur).

5. Evaluasi
Evaluasi menurut (Setiabudi et al., 2023), merupakan tahap kelima atau tahap
terakhir dari proses asuhan kepenataan anestesi. Penata anestesi melakukan evaluasi secara
sistematis dan berkesinambungan untuk melihat keefektifan dari asuhan keperawatan
anestesiologi/kepenataan anestesi (ASKAN) yang sudah diberikan sesuai dengan perubahan
perkembangan kondisi pasien.
a. Kriteria evaluasi
- Penilaian dilakukan segera setelah selesai melaksanakan ASKAN sesuai kondisi
pasien
- Hasil evaluasi segera dicatat dan didokumentasikan pada catatan medik pasien
- Evaluasi dilakukan sesuai dengan standar
- Hasil evaluasi ditindaklanjuti sesuai dengan kondisi pasien
- Sasaran evaluasi dengan menggunakan evaluasi formatif dan sumatif dengan
ketentuan:
(1) Respons menggunakan evaluasi formatif (DS dan DO)
(2) Catatan perkembangan menggunakan evaluasi SOAP
(Subjective/Subjektif, Objective/Objektif, Assessment/ Penilaian,
Planning/Perencanaan)
a. S adalah data subyektif, mencatat hasil anamnesis
b. O adalah data objektif, mencatat hasil pemeriksaan
c. A adalah data hasil analisis, mencatat masalah kepenataan anestesi
d. P adalah penatalaksanaan mencatat seluruh perencanaan dan
penatalaksanaan yang sudah dilakukan seperti tindakan mandiri,
kolaborasi evaluasi/follow up dan rujukan pelimpahan tugas.
Daftar Pustaka

Agung, A. N. W. A., & Restuningdyah, N. A. P. (2022). Laporan Kasus: Modalitas Radiologi Pada
Tumor Colli Sinisitra. Jurnal Kedokteran, 11(1), 816-820.
Aspiani, R. Y. (2014). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Kardiovaskular Aplikasi NIC &
NOC. Jakarta: EGC.
GUIMARAES, J. (2019). KARYA TULIS ILMIAH ASUHAN KEPERAWATAN KOMPREHENSIF
PADA TN. GT DENGAN TUMOR COLI DI RUANG ASOKA.
Haldi, T., Pristianty, L., & Hidayati, I. R. (2021). Hubungan pengetahuan dan sikap pasien hipertensi
terhadap kepatuhan penggunaan obat amlodipin di Puskesmas Arjuno Kota Malang. Jurnal
Farmasi Komunitas, 8(1), 27-31.
Mangku, G., & Senapathi, T. G. A. (2017). BUKU AJAR ILMU ANESTESIA DAN REANIMASI. Indeks
MOELY, N. T. (2022). ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN KEBUTUHAN RASA NYAMAN
(NYERI) PADA PASIEN POST OPERASI TUMOR COLLI SUBCLAVICULA SINISTRA DI
RUMAH SAKIT BHAYANGKARA POLDA LAMPUNG TAHUN 2022 Poltekkes Tanjungkarang].
N. Margarita Rehatta, E. H. A. R. T. (2019). ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF: BUKU TEKS
KATI-PERDATIN. Gramedia pustaka utama. https://books.google.co.id/books?
id=d7q0DwAAQBAJ
Setiabudi, I. K., Suryanto, Y., Lewar, E. I., A., M. A., Rahmaya Nova Handayani, Saifudin, I., Wahyudi,
F. M., & Maharyawan, I. W. A. (2023). STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN
ANESTESIOLOGI/ASUHAN KEPENATAAN ANESTESI (ASKAN). UHB Press.
Triyanto, E. (2014). Pelayanan Keperawatan Bagi Penderita Hipertensi secara terpadu, Graha Ilmu.
Jakarta. Mengenal, Mencegah dan Mengurangi Faktor Risiko, 9.

Anda mungkin juga menyukai