Disusun oleh :
Arjuni
Nim.201133009
VISI
"Menjadi Institusi Pendidikan Ners yang Bermutu dan Unggul dalam Bidang
Keperawatan Gawat Darurat dan Keperawatan Perioperatif di Tingkat
Regional Tahun 2020"
MISI
1. Meningkatkan Program Pendidikan Ners yang Unggul dalam Bidang
Keperawatan Gawat Darurat dan Keperawatan Perioperatif yang Berbasis
Kompetensi.
2. Meningkatkan Program Pendidikan Ners yang Unggul dalam Bidang
Keperawatan Gawat Darurat dan Keperawatan Perioperatif yang Berbasis
Penelitian.
3. Mengembangkan Upaya Pengabdian Masyarakat yang Unggul dalam
Keperawatan Gawat Darurat dan Keperawatan Perioperatif yang Berbasis
IPTEK dan Teknologi Tepat Guna.
4. Mengembangkan Program Pendidikan Ners yang Unggul dalam Bidang
Keperawatan Gawat Darurat dan Keperawatan Perioperatif yang Mandiri,
Transparan dan Akuntabel.
5. Mengembangkan Kerjasama Baik Lokal maupun Regional.
LEMBAR PENGESAHAN
Oleh :
ARJUNI
NIM : 201133009
Mengetahui,
B. Etiologi
1. Kondisi genetic
Ada bukti tertentu pembentukan gen dan mutasi gen adalah faktor predisposisi
untuk beberapa tumor jaringan lunak, dalam daftar laporan gen yang abnormal,
bahwa gen memiliki peran penting dalam diagnosis.
2. Radiasi
Mekanisme yang patogenic adalah munculnya mutasi gen radiasi-induksi yang
mendorong tranformasi neoplastic.
3. Infeksi
Infeksi virus Epstein-bar dalam orang yang kekebalannya lemah juga akan
meningkat kemungkinan tumor pembangunan jaringan lunak.
4. Trauma
Hubungan trauma dan soft tissue tumor nampaknya kebetulan. Trauma
mungkin menarik perhatian medis ke praluka yang ada.
(Muttaqin, 2008)
C. Klasifikasi
Sel abnormal adalah sel yang tumbuh berlebih, tidak terkordinasi dengan
jaringan normal dan tumbuh terus- menerus meskipun rangsangan yang
menimbulkan telah hilang. Sel abnormal mengalami transformasi, oleh karena itu
mereka terus-menerus membelah. Pada Sel abnormal, proliferasi berlangsung
terus. Proliferasi yang bersifat progresif, tidak bertujuan, tidak memperdulikan
jaringan sekitarnya, tidak ada hubungan dengan kebutuhan tubuh dan bersifat
parasitic. Sel abnormal bersifat otonomi karena ukuranya meningkat terus.
Proliferasi sel abnormal menimbulkan massa sel abnormal, menimbulkan benjolan
pada jaringan tubuh membentuk tumor. Klasifikasi atas dasar sifat biologi tumor:
1. Tumor jinak (Benigna) Tumor jinak tumbuh lambat dan bisanya mempunyai
kapsul. Tidak tumbuh infiltratif, tidak merusak jaringan sekitarnya dan tidak
menimbulkan anak sebar pada tempat yang jauh. Tumor jinak pada umumnya
dapat disembuhkan dengan sempurna kecuali yang terletak di tempat yang
sangat pentingb.
2. Tumor ganas (Maligna) Tumor ganas pada umumnya tumbuh cepat, infiltratif
dan merusak jaringan sekitar. Disamping itu dapat menyebar keseluruh tubuh
melalui aliran limpe atau aliran darah dan sering menimbulkan kematian.
E. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi setelah pembedahan soft tissue tumor salah
satu nya pada ganglion menimpulkan infeksi, kekakuan, nyeri, bekas luka tak
sedap, dan keloid selain itu terdapat keterbatasan gerak, kerusakan serabut saraf
atau pembuluh darah (Erawati & dkk, 2018).
F. Pemeriksaan penunjang
Menurut (Sjamsuhidajat, 2010) pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk
soft tissue tumor adalah :
1. Pemeriksaan X-ray X-ray untuk membantu pemhaman lebih lanjut tentang
tumor jaringan lunak, transparasi serta hubungannya dengan tulang yang
berdekatan. Jika batasnya jelas, sering didiagnosa sebagai tumor jinak, namun
batas yang jelas tetapi melihat klasifikasi, dapat didiagnosa sebagai tumor.
2. Pemeriksaan USG Metode ini dapat memeriksa ukuran tumor, dan oleh karena
itu bisa untuk membedakan antara jinak atau ganas. Tumor ganas jaringan
lunak tubuh yang agak tidak jelas, gema samar-samar, seperti sarkoma otot
lurik, myosarcoma sinovial, sel tumor mendalami sitologi aspirasi akupunktur.
3. CT scan CT scan memiliki kerapatan resolusi dan resolusi spesial karakter
tumor jaringan lunak yang merupakan metode umum untuk diagnosa tumor
jaringan lunak dalam berapa tahun terakhir.
4. Pemeriksaan MRI Mendiagnosa tumor jaringan lunak dapat melengkapi
kekurangan dari x-ray dan CT scan, MRI dapat melihat tampilan luar
penampang berbagai tingkatan tumor dari semua jangkauan, tumor jaringan
lunak retroperitoneal, tumor panggul, memperluas ke pinggul atau paha, tumor
fossa poplitea serta gambar yang lebih jelas dari tumor tulang atau invasi
sumsum tulang adalah untuk mendasarkan pengembangan rencana pengobatan
yang lebih baik.
5. Pemeriksaaan histologi
a) Sitologi: sederhana, cepat, metode pemeriksaan patologis yang akurat
dioptimalkan untuk situasi berikut:
1) Ulserasi tumor jaringan lunak, pap smear atau metode pengempulan
untuk mendapatkan sel, pemeriksaan mikroskopik.
2) Sarcoma jaringan lunak yang disebabkan efusi pleura, hanya untuk
mengambil spesimen segara harus dilakukan konsentrasi sedimentasi
sentrifugal, selanjutnya smear.
3) Tusukan smear cocok untuk tumor yang lebih besar, dan tumor yang
mendalam yang ditunjukan untuk radioterapi atau kemoterapi, metastasis
dan lesi rekuren juga berlaku.
b) Forsep biopsi: jaringan ulserasi tumor lunak, sitologi smear tidak dapat
didiagnosa, dilkukan forsep biopsi.
c) Memotong biopsi: metode ini adalah kebanyakan untuk operasi.
d) Biopsi Eksisi: berlaku untuk tumor kecil jaringan lunak, bersama dengan
bagian dari jaringan normal di sekitar tumor reseksi seluruh tumor untuk
pemeriksaan histologis
G. Penatalaksaan
Penatalaksanaan menurut Manuaba (2010) menjelaskan bahwa:
1. Penatalaksanaan Medik
a) Bedah
Mungkin cara ini sangat berisiko. Akan tetpi, para ahli bedah mencapai
angka keberhasilan yang sangat memuaskan. Tindakan bedah ini bertujuan
untuk mengangkat tumor atau benjolan tersebut.
b) Kemoterapi
Metode ini melakukan keperawatan penyakit dengan menggunakan zat
kimia untuk menghambat pertumbuhan kerja sel tumor. Pada saat sekaranga,
sebagian besar penyakit yang berhubungan dengan tumor dan kanker dirawat
dengan cara kemoterapi ini.
c) Terapi radiasi
Terapi radiasi adalah terapi yang menggunakan radiasi yang bersumber dari
radioaktif. Kadang radiasi yang diterima merupakan terapi tunggal. Tetapi
terkadang dikombinasikan dengan kemoterapi dan juga operasi bedah.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
a) Perhatikan kebersihan luka pada pasien.
b) Perawatan luka pada pasien.
c) Amati ada atau tidak komplikasi atau potensial yang terjadi setelah
dilakukan operasi (Manuaba, 2010)
BAB II
WOC (WEB OF CAUTION)
B. Diagnosa
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisiologis (D.00).
2. Resiko infeksi berhubungan dengan luka post operasi (D.00004).
3. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit Post Op
(D.00146)
C. Intervensi
SDKI SIKI SLKI
Nyeri Akut Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri (I. 08238)
Penyebab: keperawatan, diharapkan masalah Observasi
a. Agen pencidera fisiologis nyeri dan kenyamanan: nyeri akut Observasi tanda-tanda vital
(misalnya inflamasi, iskemia, dan dapat teratasi dengan kriteria hasil: Identifikasi lokasi, karakteristik,
neoplasma) Kemampuan menuntaskan durasi, frekuensi, kualitas, dan
b. Agen pencidera kimiawi (misalnya aktivitas meningkat intensitas nyeri.
terbakar dan bahan kimia iritan Keluhan nyeri menurun Identifikasi skala nyeri
c. Agen pencidera fisik (misalnya Meringis menurun Identifikasi respons nyeri non
abses, amputasi, terbakar, Sikap protektif menurun verbal
terpotong, mengangkat berat, Gelisah menurun Monitor efek samping penggunaan
prosedur operasi, trauma, dan analgesic
Kesulitan tidur menurun
latihan fisik terlalu berlebihan) Terapeutik
Menarik diri menurun
Berfokus pada diri sendiri Berikan teknik nonfarmakologis
menurun Kontrol lingkungan yang
Diaforesis menurun memperat rasa nyeri
Pembahasan :
Jaringan parut hipertrofik adalah masalah yang dihadapi oleh pasien pasca
operasi, terutama individu dengan kulit yang lebih gelap seperti orang Asia. Faktor
penyebab bekas luka hipertrofik meliputi ras, jenis cedera, dan lokasi bekas luka.
Studi mengungkapkan insiden 40% -70% bekas luka pasca operasi dengan
distribusi jenis kelamin yang sama. Selain itu, bekas luka hipertrofik memengaruhi
kesehatan fisik dan mental pasien seperti kecemasan, depresi, dan kurangnya harga
diri. Mereka bisa asimtomatik, terkadang menyebabkan rasa sakit dan gatal. Oleh
karena itu, pencegahan bekas luka hipertrofik sangat penting. Pedoman
pencegahan yang ada saat ini adalah terapi berbasis silikon, ekstrak bawang
merah, dan pakaian bertekanan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa SGOA memiliki efektivitas yang
sebanding untuk mencegah bekas luka pasca operasi seperti SGS. Mekanisme
silikon yang sebenarnya untuk merawat bekas luka hipertrofik masih belum
diketahui. Banyak teori yang mencoba menjelaskan mekanismenya, seperti
peningkatan suhu, tekanan oksigen, aliran darah, dan efek tekanan. 21 Namun,
sebagian besar diyakini bahwa silikon dapat bekerja melalui hidrasi dan oklusi.
Efisiensi SGS dan gel silikon dalam mencegah bekas luka hipertrofik serupa,
meskipun gel silikon lebih mudah digunakan. Mengobati bekas luka hipertrofik
paling efektif saat menggabungkan SGS dengan ekstrak bawang. Gel silikon yang
mengandung ekstrak bawang merah mampu mencegah bekas luka hipertrofik
pasca operasi dibandingkan dengan plasebo. Studi tersebut menunjukkan bahwa
pigmentasi berkurang secara signifikan dibandingkan dengan plasebo tetapi tidak
menunjukkan perbedaan dalam vaskularisasi, kelenturan, dan tinggi badan dengan
menggunakan penilaian subjektif.
Pada ekstrak bawang merah menemukan bahwa aktivitas fibrinolitik
menurunkan deposisi matriks ekstraseluler dan proliferasi fibroblast. Quercetin
dalam ekstrak bawang merah ditemukan dapat mengurangi fungsi fibroblast dalam
proses pembentukan jaringan. Ini merangsang fungsi matrixmetalloproteinase-1
(MMP-1) yang mengurangi produksi kolagen. Selain itu, ekstrak bawang merah
juga dipercaya memiliki efek antiinflamasi dan antimikroba. Beberapa penelitian
tentang efektivitas pencegahan dan pengobatan ekstrak bawang merah pada bekas
luka hipertrofik menunjukkan kemampuannya untuk memperbaiki tampilan bekas
luka. Lidah buaya telah digunakan di bidang medis selama berabad-abad. Selain
mengobati luka bakar, lidah buaya memiliki efek penyembuhan luka. Ini juga
digunakan untuk mengobati luka pasca operasi. Lidah buaya memiliki banyak
bahan aktif seperti glukomanan yang mempengaruhi faktor pertumbuhan
fibroblast. Ditemukan bahwa lidah buaya meningkatkan kandungan kolagen pada
jaringan parut, mengubah komposisi kolagen, dan meningkatkan derajat ikatan
silang kolagen. Ini membantu menurunkan kolagen tipe III dan meningkatkan
konsentrasi kolagen tipe I selama fase renovasi penyembuhan luka. Jaringan parut
menjadi lebih teratur, serat kolagen sangat selaras, dan ruang bebas antara serat
berkurang (Pangkanon et al., 2021)
DAFTAR PUSTAKA
Asmadi. (2012). konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta:
Selemba Medika . Black, & Hawrks. (2010). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
Selemba Medika.
Bulechek, G. M., & dkk. (2017). Nursing Interventions classification,
diterjemahkan oleh Intan Sari Nurjanah & Rosana Devi Tumanggor. Yogyakarta :
Moca Media.
Erawati, & dkk. (2018). Diagnosis dan Terapi Tumor Muskuloskeletal.
Jakarta: CV.Sagung Seto.
Moorthead, S., & dkk. (2016). Nursing Outcome Classification,. Yogyakarta:
Moca Media.
Mubarak, W. I., & Chayatin, N. (2007). Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia
Teori & Aplikasi Dalam Praktik. Jakarta: EGC.
Muttaqin, A. (2010). Pengkajian Keperawatan Aplikasi Pada Praktik Klinik.
Jakarta: Selemba Medika.
PPNI. (2016). Standar diagnosis keperawatan indonesia: Definisi dan
Indikator Diagnosis, Edisi I. jakarta: DPP PPNI.
Purnamasari, D. (2019, 06 14). Askep Ganglion. Dipetik 06 21, 2019, dari
Academia.edu: http://www.academia.edu/16924532/Askep_ganglion_3
Putra, D. (2019, 5 19). kupdf.net. Dipetik 06 03, 2019, dari
https://kupdf.net/download/laporanpendahuluangangliondocx_5ce1536ae2b6f5cf467
3a557_pdf
Rendi, M. C., & Maegareth. (2015). Asuhan Keperawatan Medikal Bedah
Dan Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika .
Rosdahl, B. C., & kowalski, T. M. (2017). Buku Ajar Keperawatan Dasar .
Jakarta: EGC.
Utama, H., & dkk. (2011). Buku Ajar Ongkologi klinis. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (I).
Jakarta.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi
dan Kriteria Hasil Keperawatan (1st ed.). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
PPNI. (2017). Standar Diagnosisi Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Tim
Prokja SDKI DPP PPNI..
Wilkinson, J. M. (2017). Diagnosis Keperawatan edisi 10. Jakarta: EGC.
Pangkanon, W., Yenbutra, P., Kamanamool, N., Tannirandorn, A., & Udompataikul,
M. (2021). A comparison of the efficacy of silicone gel containing onion extract
and aloe vera to silicone gel sheets to prevent postoperative hypertrophic scars
and keloids. Journal of Cosmetic Dermatology, 20(4), 1146–1153.
https://doi.org/10.1111/jocd.13933