Disusun Oleh:
Iskandar (2014301072)
FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI D-IV KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI
INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI
TAHUN PELAJARAN 2022
LEMBAR PENGESAHAN
ASUHAN KEPENATAAN ANESTESI PADA PASIEN TN.K
DIAGNOSA TUMOR CUBITI DILAKUKAN TINDAKAN OPERASI EKSISI
DENGAN TINDAKAN GENERAL ANESTESI LARINGEAL MASK AIRWAY
DIRUANG IBST RSAD TK II UDAYANA
TANGGAL 04 MEI 2022
KARANGASEM,
MAHASISWA
(Iskandar)
NIM: 2014301072
Mengetahui,
CI KLINIK CI AKADEMIK
Tumor adalah benjolan yang muncul akibat sel yang memperbanyak diri secara
berlebihan, atau akibat sel lama yang seharusnya mati masih terus bertahan hidup,
sementara pembentukan sel baru terus terjadi.
Tumor dapat terjadi di bagian tubuh mana pun, dan ada yang bersifat jinak maupun
ganas. Yang dimaksud dengan tumor jinak adalah tumor yang tidak menyerang sel normal
di sekitarnya dan tidak menyebar ke bagian tubuh lain. Sedangkan tumor ganas bersifat
sebaliknya, dan disebut dengan kanker. Selain itu, di antara tumor jinak dan tumor ganas,
ada jenis tumor yang dinamakan tumor prakanker. Tumor prakanker bukanlah kanker,
tetapi dapat menjadi kanker bila tidak diobati.
Tumor terbentuk akibat ketidakseimbangan antara jumlah sel baru yang tumbuh
dengan jumlah sel lama yang mati. Kondisi ini bisa terjadi bila sel baru terbentuk secara
berlebihan, atau sel lama yang seharusnya mati tetap hidup. Penyebab ketidakseimbangan
tersebut dapat berbeda-beda pada setiap jenis tumor, namun umumnya penyebab belum
diketahui secara pasti. Meski begitu, beberapa hal di bawah diduga berkaitan dengan
tumbuhnya tumor:
1. Pola makan yang buruk, misalnya terlalu banyak mengonsumsi makanan berlemak.
2. Paparan sinar matahari
3. Infeksi virus atau bakteri, misalnya HPV, virus hepatitis, dan H. pylori
4. Konsumsi alkohol yang berlebihan
5. Paparan radiasi akibat tindakan medis, seperti foto Rontgen atau CT scan.
6. Konsumsi obat-obatan imunosupresif, misalnya setelah tindakan transplantasi organ.
7. Merokok
8. Obesitas
9. Paparan bahan kimia, misalnya arsen atau asbes
10. Gejala Tumor
Gejala utama dari tumor adalah terbentuknya benjolan. Benjolan bisa terlihat dengan
mudah dari luar, namun bisa juga tidak terlihat jika tumbuh pada organ dalam. Biasanya
benjolan pada organ dalam baru diketahui setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter.
Selain benjolan, gejala lain yang dapat muncul akibat tumor tergantung pada lokasi, jenis,
dan pengaruh tumor terhadap fungsi organ. Tumor yang tumbuh di organ dalam bisa tanpa
gejala, bisa juga menimbulkan gejala berupa
1. Demam
2. Lemas
3. Tidak nafsu makan
4. Berkeringat di malam hari
5. Nyeri dada
6. Perubahan warna kulit, misalnya menjadi kuning, kemerahan, atau menjadi lebih gelap
7. Perdarahan atau memar yang tidak jelas sebabnya
8. Penurunan berat badan.
Segera periksakan diri ke dokter bila muncul gejala-gejala di atas, karena bisa saja
menandakan adanya tumor ganas di dalam tubuh. Tumor yang nampak dari luar juga perlu
Anda periksakan ke dokter, terutama jika bentuknya berubah atau ukurannya terus
membesar.
B. Diagnosis Tumor
1. Tes urine atau tes darah, untuk mengidentifikasi kondisi yang tidak normal.
Contohnya adalah pemeriksaan darah lengkap untuk melihat jumlah dan jenis sel
darah yang mengalami gangguan pada penderita leukemia.
2. USG, CT scan, MRI, atau PET scan, untuk mengetahui lokasi, ukuran, dan penyebaran
tumor.
3. Biopsi, yaitu pengambilan sampel jaringan tumor untuk diperiksa di laboratorium.
Dari pemeriksaan ini, dapat diketahui jenis tumor dan apakah tumor bersifat ganas
atau jinak.
Setelah mengetahui jenis, ukuran, letak, dan sifat tumor, dokter dapat menentukan
penanganan yang tepat.
C. Pengobatan Tumor
Pengobatan tumor ditentukan berdasarkan jenis, ukuran, letak, serta jinak atau
ganasnya tumor. Pada tumor jinak yang ukurannya kecil dan tidak menimbulkan gejala,
penanganan tidak perlu dilakukan. Dokter hanya akan menganjurkan pemeriksaan berkala
untuk memantau perkembangan tumor. Jika tumor bersifat jinak, namun berukuran besar
hingga menekan saraf, pembuluh darah, atau mengganggu fungsi organ, maka dokter akan
melakukan tindakan untuk mengangkat tumor. Banyak metode yang bisa digunakan
dokter untuk mengangkat tumor, mulai dari dari penggunaan sinar laser hingga tindakan
operasi dengan sayatan pisau bedah. Selain pengangkatan tumor, ada beberapa terapi
untuk tumor yang dapat dilakukan oleh dokter onkologi, khususnya pada tumor ganas atau
kanker, yaitu:
1. Kemoterapi. Terapi ini bertujuan untuk membunuh sel kanker, menggunakan obat-
obatan.
2. Radioterapi. Terapi ini bertujuan untuk membunuh dan mencegah penyebaran sel
kanker, serta mengurangi ukuran tumor, menggunakan sinar khusus berenergi tinggi.
3. Terapi hormon. Pertumbuhan beberapa jenis kanker, seperti kanker payudara atau
kanker prostat, dapat dipengaruhi oleh suatu hormon. Menghambat produksi hormon
tersebut dapat menghambat pertumbuhan sel kanker.
4. Imunoterapi atau terapi biologi. Terapi ini menggunakan obat-obatan yang
memanfaatkan sistem kekebalan tubuh untuk memberantas sel kanker.
Kesembuhan penderita tumor tergantung dari jinak atau ganasnya tumor. Tumor jinak
berpeluang lebih tinggi untuk sembuh setelah dilakukan penanganan, dibandingkan
dengan tumor ganas. Peluang kesembuhan tumor ganas tergantung pada tingkat keganasan
atau stadium kanker. Semakin tinggi stadium, terutama bila sudah menyebar ke organ lain
(stadium 4), semakin sulit untuk disembuhkan. Komplikasi akibat tumor, dapat
disebabkan oleh tumor itu sendiri, maupun oleh pengobatan yang diberikan. Komplikasi
yang muncul tergantung pada jenis dan lokasi tumor, atau metode pengobatan yang
dilakukan.
D. Pencegahan Tumor
Pencegahan tumor khususnya dilakukan untuk mencegah tumor yang bersifat ganas
(kanker), karena dapat menyebabkan kematian. Sejak tahun 2015, Kementerian Kesehatan
Indonesia terus mengajak masyarakat untuk mengurangi risiko timbulnya kanker dengan
gerakan ‘CERDIK”, yang merupakan singkatan dari:
Penyebab pasti terjadinya tumor tulang tidak diketahui. Akhir-akhir ini, penelitian
menunjukkan bahwa peningkatan suatu zat dalam tubuh yaitu C-Fos dapat meningkatkan
kejadian tumor tulang. Radiasi sinar radio aktif dosis tinggi, keturunan, beberapa kondisi
tulang yang ada sebelumnya seperti penyakit paget (akibat pajanan radiasi), (Smeltzer,
2001).
Meskipun tidak ada penyebab tumor tulang yang pasti, ada beberapa factor yang
berhubungan dan memungkinkan menjadi faktor penyebab terjadinya tumor tulang yang
meliputi:
Adanya tumor pada tulang menyebabkan jaringan lunak diinvasi oleh sel tumor.
Timbul reaksi dari tulang normal dengan respon osteolitik yaitu proses destruksi atau
penghancuran tulang dan respon osteoblastik atau proses pembentukan tulang. Terjadi
destruksi tulang lokal. Pada proses osteoblastik, karena adanya sel tumor maka
terjadipenimbunan periosteum tulang yang baru dekat tempat lesi terjadi, sehingga terjadi
pertumbuhan tulang yang abortif.
Kelainan congenital, genetic, gender / jenis kelamin, usia, rangsangan fisik berulang,
hormon, infeksi, gaya hidup, karsinogenik (bahan kimia, virus, radiasi) dapat
menimbulkan tumbuh atau berkembangnya sel tumor. Sel tumor dapat bersifat benign
(jinak) atau bersifat malignant (ganas). Sel tumor pada tumor jinak bersifat tumbuh
lambat, sehingga tumor jinak pada umumnya tidak cepat membesar. Sel tumor mendesak
jaringan sehat sekitarnya secara serempak sehingga terbentuk simpai (serabut
pembungkus yang memisahkan jaringan tumor dari jaringan sehat). Oleh karena bersimpai
maka pada umumnya tumor jinak mudah dikeluarkan dengan cara operasi.
Sel tumor pada tumor ganas (kanker) tumbuh cepat, sehingga tumor ganas pada
umumnya cepat menjadi besar. Sel tumor ganas tumbuh menyusup ke jaringan sehat
sekitarnya, sehingga dapat digambarkan seperti kepiting dengan kaki-kakinya
mencengkeram alat tubuh yang terkena. Disamping itu sel kanker dapat membuat anak
sebar (metastasis) ke bagian alat tubuh lain yang jauh dari tempat asalnya melalui
pembuluh darah dan pembuluh getah bening dan tumbuh kanker baru di tempat lain.
Penyusupan sel kanker ke jaringan sehat pada alat tubuh lainnya dapat merusak alat tubuh
tersebut sehingga fungsi alat tersebut menjadi terganggu.
Kanker adalah sebuah penyakit yang ditandai dengan pembagian sel yang tidak teratur
dan kemampuan sel-sel ini untuk menyerang jaringan biologis lainnya, baik dengan
pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan (invasi) atau dengan migrasi sel ke
tempat yang jauh (metastasis). Pertumbuhan yang tidak teratur ini menyebabkan
kerusakan DNA, menyebabkan mutasi di gen vital yang mengontrol pembagian sel, dan
fungsi lainnya (Tjakra, Ahmad. 1991). Adapun siklus tumbuh sel kanker adalah membelah
diri, membentuk RNA, berdiferensiasi / proliferasi, membentuk DNA baru, duplikasi
kromosom sel, duplikasi DNA dari sel normal, menjalani fase mitosis, fase istirahat (pada
saat ini sel tidak melakukan pembelahan).
Tempat-tempat yang paling sering terkena adalah femur distal, tibia proksimal dan
humerus proksimal. Tempat yang paling jarang adalah pelvis, kolumna, vertebra,
mandibula, klavikula, skapula, atau tulang-tulang pada tangan dan kaki. Lebih dari 50%
kasus terjadi pada daerah lutut.
1. Nyeri dan/ atau pembengkakan ekstremitas yang terkena (biasanya menjadi semakin
parah pada malam hari dan meningkat sesuai dengan progresivitas penyakit)
2. Fraktur patologik
3. Pembengkakan pada atau di atas tulang atau persendian serta pergerakan yang terbatas
( Gale. 1999: 245 )
4. Teraba massa tulang dan peningkatan suhu kulit di atas massa serta adanya pelebaran
vena Gejala-gejala penyakit metastatik meliputi nyeri dada, batuk, demam, berat
badan menurun dan malaise.( Smeltzer. 2001: 2347 ) .
J. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan tergantung pada tipe dan fase dari tumor tersebut saat didiagnosis.
Tujuan penatalaksanaan secara umum meliputi pengangkatan tumor, pencegahan
amputasi jika memungkinkan dan pemeliharaan fungsi secara maksimal dari anggota
tubuh atau ekstremitas yang sakit. Penatalaksanaan meliputi pembedahan, kemoterapi,
radioterapi, atau terapi kombinasi.
2. Tindakan keperawatan
a. Manajemen nyeri Teknik manajemen nyeri secara psikologik (teknik relaksasi
napas dalam, visualisasi, dan bimbingan imajinasi ) dan farmakologi ( pemberian
analgetika ).
b. Mengajarkan mekanisme koping yang efektif Motivasi klien dan keluarga untuk
mengungkapkan perasaan mereka, dan berikan dukungan secara moril serta
anjurkan keluarga untuk berkonsultasi ke ahli psikologi atau rohaniawan.
c. Memberikan nutrisi yang adekuat Berkurangnya nafsu makan, mual, muntah
sering terjadi sebagai efek samping kemoterapi dan radiasi, sehingga perlu
diberikan nutrisi yang adekuat. Antiemetika dan teknik relaksasi dapat mengurangi
reaksi gastrointestinal. Pemberian nutrisi parenteral dapat dilakukan sesuai dengan
indikasi dokter.
d. Pendidikan kesehatan Pasien dan keluarga diberikan pendidikan kesehatan tentang
kemungkinan terjadinya komplikasi, program terapi, dan teknik perawatan luka di
rumah. ( Smeltzer. 2001: 2350 )
K. Pemerikasaan Diagnostik
Diagnosis didasarkan pada riwayat, pemeriksaan fisik, dan diagnosis seperti CT,
mielogram, asteriografi, MRI, biopsi, dan pemeriksaan biokimia darah dan urine.
Pemeriksaan foto toraks dilakukan sebagai prosedur rutin serta untuk follow-up adanya
stasis pada paru-paru. Fosfatase alkali biasanya meningkat pada sarkoma osteogenik.
Hiperkalsemia terjadi pada kanker tulang metastasis dari payudara, paru, dan ginjal.
Gejala hiperkalsemia meliputi kelemahan otot, keletihan, anoreksia, mual, muntah,
poliuria, kejang dan koma. Hiperkalsemia harus diidentifikasi dan ditangani segera. Biopsi
bedah dilakukan untuk identifikasi histologik. Biopsi harus dilakukan untuk mencegah
terjadinya penyebaran dan kekambuhan yang terjadi setelah eksesi tumor
A. Definisi Anestesi
Menurut Pramono (2015), anestesi adalah hilangnya seluruh modalitas dari sensasi
yang meliputi sensasi sakit/nyeri, rabaan, suhu, posisi/propioseptif, sedangkan analgesia
yaitu hilangnya sensasi sakit/nyeri, tetapi modalitas yang lain masih tetap ada. Anestesi
umum atau general anesthesia mempunyai tujuan agar dapat menghilangkan nyeri,
membuat tidak sadar, dan menyebabkan amnesia yang bersifat reversible dan dapat
diprediksi. Anestesi umum disebut juga sebagai narkose atau bius. Anestesi umum juga
menyebabkan amnesia yang bersifat anterograde, yaitu hilangnya ingatan saat dilakukan
pembiusan dan operasi sehingga saat pasien sudah sadar, pasien tidak mengingat peristiwa
pembedahan/pembiusan yang baru saja dilakukan.
Menurut Mangku dan Senapathi (2010), tiga komponen anestesi yang populer disebut
trias anestesi, yaitu hipnotika (pasien kehilangan kesadaran), analgetika (pasien bebas
nyeri), dan relaksasi (pasien mengalami relaksasi otot rangka). Tiga komponen tersebut
dapat diwujudkan dengan kombinasi beberapa obat untuk mencapai masing masing
komponen trias anestesi tersebut.
B. Jenis Anestesi
a. Anestesi Regional
Anestesi regional merupakan suatu metode yang lebih bersifat sebagai analgesik.
Anestesi regional hanya menghilangkan nyeri tetapi pasien tetap dalam keadaan sadar.
Oleh sebab itu, teknik ini tidak memenuhi triaas anestesi karena hanya menghilangkan
persepsi nyari saja (Pramono, 2017).
b. Anestesi General
Keuntungan dari penggunaan anestesi ini penggunaan anestesi ini adalah dapat
mencegah terjadinya kesadaran intraoperasi; efek relaksasi otot yang tepat dalam
jangka waktu yang lama; memungkinkan untuk pengontrolan jalan, sistem, dan
sirkulasi pernapasan; dapat digunakan pada kasus pasien hipersensitifterhadap zat
anestesi lokal; dapat diberikan tanpa mengubah posisi supinasi pasien; dapat
disesuaikan secara mudah apabila waktu operasi perlu diperpanjang; dan dapat
diberikan secara cepat dan reversible. Anestesi umum juga memiliki kerugian, yaitu
membutuhkan perawatan yang lebih rumit; membutuhkan intervensi aktif;
berhubungan dengan beberapa komplikasi seperti mual muntah, sakit
tenggorokan,sakit kepala, menggigil, dan terlambatnya pengembalian fungsi mental
normal; serta berhubungan dengan hipertermia maligna, kondisi otot yang jarang dan
bersifat keturunan apabila terpapar oleh anestesi umum dapat menyebabkan
peningkatan suhu tubuh akut dan berpotensi letal, hiperkarbia, asidosis metabolic dan
hiperkalamia (Press, 2015)
c. Anestesi Lokal
Anestesi lokal adalah suatu upaya untuk menghilangkan berbagai macam sensasi
seperti rasa nyeri untuk sementara waktu yang terjadi pada beberapa bagian tubuh
tanpa diikuti dengan hilangnya kesadaran (Simangsuno, 2015). Anestesi lokal secara
reversible menghambat konduksi saraf di dekat pemmberian anestesi, sehingga
menyebabkan mati rasa di daerah terbatas secara sementara (Press, 2015).
Perbedaanya dengan anestesi regional adalah anestesi lokal hanya memblok sensasi di
area dimana injeksi diberikan, tanpa mempengaruhi daerah-daerah lain yang diinervasi
oleh saraf tersebut (Peters, 2011).
C. Teknik Anestesi
a. Anestesi General
Anestesi umum atau general anestesi menurut Mangku dan Senapathi (2017) dapat
dilakukan dengan 3 teknk, yaitu:
1) General Anestesi Intravena, teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan
menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke dalam pembuluh darah vena.
2) General Anestesi Inhalasi, teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan
memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan
yang mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung ke udara inspirasi.
b. Regional Anestesi
2) Blokade perifer (blokade saraf), misalnya blok pleksus brakialis, aksila, dan
analgesik regional intravena (Pramono,2019).
c. Anestesi Lokal
3) Anestesi field black Teknik ini merupakan teknik anestesi lokal dimana larutan
anestesi dideponirkan di dekat ujung cabang saraf terbesar sehingga area yang
terkena efek anestesi akan dibatasi untuk mencegah jalannya impuls ke sistem
saraf pusat (Malamed,2013).
D. Rumatan Anestesi
a. Premedikasi Anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun tujuan dari
premedikasi antara lain (IPAI, 2018) :
1) Analgetik narkotik
a) Morfin.
b) Petidin
Diberikan untuk menimbulkan sedasi. Dosis dewasa 100-200 mg, pada anak
dan bayi 1 mg/kgBB secara oral atau intramuskular. Keuntungannya adalah masa
pemulihan tidak diperpanjang dan kurang menimbulkan reaksi yang tidak
diinginkan. Yang mudah didapat adalah fenobarbital dengan efek depresan yang
lemah terhadap pernapasan dan sirkulasi serta jarang menyebabkan mual dan
muntah.
3) Antikolinegrik (Atropin)
b. Induksi
Induksi dapat dilakukan dengan Ketamin (1-2 mg/kgBB IV) atau Propofol (2-3
mg/kgBB IV).
c. Pelumpuh otot
d. Maintanance
e. Obat Darurat
a) Golongan : Antikolinergik
2) Lidocaine 2%
3) Efedrine
4) Adrenaline
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati jumlah
dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi dan
mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
1) Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan isi
lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif,
perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24
jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu 1 derajat Celciuskebutuhan
cairan bertambah 10-15 %.
2) Intra operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada
dewasa untuk operasi: - Ringan = 4 ml/kgBB/jam. - Sedang = 6 ml/kgBB/jam -
Berat = 8 ml/kgBB/jam. Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana
perdarahan kurang dari 10 % EBV maka cukup digantikan dengan cairan
kristaloid. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan
pemberian plasma / koloid /dekstran.
3) Pasca operasi
a. Sistem Pernapasan
b. Sistem Sirkulasi
Penyulit yang sering di jumpai adalah hipotensi syok dan aritmia, hal ini
disebabkan oleh kekurangan cairan karenaperdarahan yang tidak ditangani dengan
baik. Sebab lain adalah sisaanastesi yang masih tertinggal dalam sirkulasi, terutama
jika tahapananastesi masih dalam akhir pembedahan.
d. Hipotermi
1) Pre anestesi
a) Nyeri akut
b) Ansietas
2) Intra anestesi
3) Pasca anestesi
h) Resiko alergi
i) Resiko jatuh
L. WEB OF CAUTION (WOC)
DAFTAR PUSTAKA
Baughman, Diane C. Dan Joann C. Hackley. 2000. Buku Saku utuk Brunner dan Suddart. Jakarta:
EGC.
Brunner and Suddart. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Vol 3. Edisi 8. Jakarta: EGC.
Price, Sylvia A, Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.
Jakarta : EGC.
Reeves, J. Charlene. Et al. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi I. Jakarta: Salemba Medika.
http://www.NHS.uk/conditions/Cancer-of-the-Bone/Pages/diagnosis.aspx
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuham Keperawatan Berdasarka Diagnosa Medis &
NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: MediAction.
Nugroho, Taufan. (2011). Asuhan keperawatan maternitas, anak, bedah penyakit dalam. Yogyakarta:
Nuha Medika.
Kardiyudiani, N. K., & Susanti, B. A. (2019). Keperawatan Medikal Bedah 1.Yogyakarta: PT.
PUSTAKA BARU.
Mangku, G dan Senapathi, T. G. A. (2010). IImu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta: PT. Indeks.
The Royal College of Physicians (UK).. 2011. General Anasthesia. London: The Royal College of
Physicians.
Rochimah, Dkk. 2011. Ketrampilan Dasar Praktik Klinik. Jakarta: Trans Info Media.
A, Sylvia., M, Lorraine. (2015). Patofisiologi Edisi 6 Vo 2 Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit.
Jakarta: EGC
Potter, P. A dan Perry, A. G. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 7. Jakarta: EGC.
Asuhan Keperawatan Anestesi Teoritis
1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap pertama dari proses asuhan kepenataan anestesiologi. Pada
tahap pengkajian, dilakukan proses pengumpulan data secara sistematis yang bertujuan
untuk menentukan status kesehatan, status fungsional, dan pola respon klien pada saat ini
dan waktu sebelumnya. Penata anestesi akan mengumpulkan dan mangenalisis seluruh
informasi tentang status kesehatan klien. Pengkajian meliputi 2 tahap, yaitu
mengumpulkan dan verivikasi data dari sumber primer (klien) dan sumber sekunder
(keluarga, tenaga kesehatan, rekam medis), serta analisis seluruh dara sebagai dasar untuk
menegakkan masalah kesehatan, mengidentifikasi berbagai masalah kesehatan,
mengidentifikasi berbagai masalah yang saling berhubungan.
a. Data Subjektif
b. Data Objektif
Masalah kesehatan anestesi yang secara umum muncul pada pasien tonsillitis kronis
dengan general anestesi meliputi:
a. Pre Anestesi
2) Nyeri akut
3) Ansietas
b. Intra Anestesi
2) RK Disfungsi Respirasi
3) RK Disfungsi Kardiovaskuler
4) RK Disfungsi Sirkulasi
c. Pasca Anestesi
3) Resiko Jatu
a. Pra Anestesi
1) Nyeri akut
c) Rencana intervensi
1. Observasi TTV
c) Rencana Intervensi
3) Ansietas
c) RencanaIntervensi :
b. IntraAnestesi
b) Kriteria Hasil: Tidak adanya tanda – tanda trauma pembedahan Pasien tampak
rileks selama operasi berlangsung ; Tanda–tanda vital dalam batas normal TD :
110–120/70–80 mmhg ; Nadi : 60–100 x/menit ; Suhu : 36-37°C ; RR: 16–
20x/menit ; Saturasi oksigen > 95% Pasien telah teranestesi, analgesi, relaksasi
dan hipnotik cukup ; Tidak adanya komplikasi anestesi selama operasi
berlangsung
c) Rencana Intervensi :
2) RK Disfungsi Respirasi
c) Rencana Intervensi :
(4) Lakukan analisa gas darah arteri: pH, PaCO2, dan PaO2
(5) Kolaborasi dengan dokter anestesi dalam pemasangan alat ventilasi
mekanik
4) RK Disfungsi Kardiovaskuler
c) Rencana Intervensi :
5) RK Disfungsi Sirkulasi
c) Rencana Intervensi :
c. Pasca Anestesi
1) Resiko Komplikasi Pendarahan
b) Kriteria Hasil : Tanda – tanda vital dalam batas normal TD: 110 – 120 / 70 –
80 mmhg ; Nadi:60–100x/menit ; Suhu:36-37°CRR:16–20x/menit ; Tidak
terdapat darah dalam saluran nafas ; Pasien tampak tenang
c) RencanaIntervensi
(3) Awasi gerakan menelan karena pasien bisa menelan darah yang
terkumpul di faring
adrenalin
1) RK Disfungsi Termoregulasi
b) Kriteria Hasil : Suhu tubuh dalam batas normal : 36,5oC - 37,5oC ; Permukaan
tubuh teraba hangat ; Pasien tidak menggigil
c) Rencana Intervensi
1) Resiko Jatuh
c) Rencana Intervensi
4. Implementasi
Tahap proses Askan dengan melaksanakan berbagai strategi tindakan keperawatan yang telah
direncanakan. Perawat anestesi harus mengetahui berbagai hal: bahaya fisik, perlindungan
pasien, teknik komunikasi, prosedur tindakan. Menurut (Hutahaean, 2010) implementasi adalah
proses asuhan untuk membantu pasien dalam mencapai tujuan yang ditetapkan.
Evaluasi keperawatan menurut (Hutahaean, 2010) adalah tindakan akhir dari proses
keperawatan dan merupakan suatu tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan
yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, perencanaan dan pelaksanaannya sudah
berhasil dicapai. Evaluasi dilaksanakan dengan melihat respon pasien terhadap asuhan yang
telah diberikan, sehingga perawat bisa mengambil suatu keputusan. Tujuan dari evaluasi yaitu
untuk mendapatkan umpan balik yang relevan dengan cara membandingkan dengan kriteria
hasil. Hasil evaluasi menggambarkan tentang perbandingan tujuan yang dicapai dengan hasil
yang diperoleh.
I. PENGKAJIAN
A. Pengumpulan Data
1. Anamnesis
a. Identitas
1) Identitas Pasien
Nama : Tn.K
Umur : 44 Tahun
Agama : hindu
Pendidikan : Sarjana
Golongan darah :B
No. CM : 30.12.35
4) Eliminasi
a) BAB
Sebelum sakit
- Frekuensi : 2x /hari
- Konsistensi : padat
- Warna : kuning kecokelatan
- Bau : berbau khas feses
- Cara (spontan/dg alat) : spontan
- Keluhan : tidak ada
- Lainnya : tidak ada
Saat ini
- Frekuensi : 1x/hari
- Konsistensi : padat
- Warna : kuning kecokelatan
- Bau : berbau khas feses
- Cara (spontan/dg alat) : spontan
- Keluhan : tidak ada
- Lainnya : tidak ada
b) BAK
Sebelum sakit
- Frekuensi : 1000 cc
- Konsistensi : cair
- Warna : bening
- Bau : bau khas amonia
- Cara (spontan/dg alat) : spontan
- Keluhan : tidak ada
- Lainnya : tidak ada
Saat ini
- Frekuensi : 600 cc
- Konsistensi : cair
- Warna : kuning jernih
- Bau : bau khas amonia
- Cara (spontan/dg alat) : spontan
- Keluhan : tidak ada
- Lainnya : tidak ada
5) Pola aktivitas dan istirahat
a) Aktivitas
Kemampuan Perawatan Diri 0 1 2 3 4
Makan dan minum √
Mandi √
Toileting √
Berpakaian √
Berpindah √
0 0
0 0
- uji kekuatan otot :
1
1
333 333
444 555
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
1. Memeriksa tanda-tanda rangsangan otak
Peningkatan suhu tubuh (-), nyeri kepala (-), kaku kuduk (-), mual –muntah (-) riwayat
kejang (-), penurunan tingkat kesadaran (-), riwayat pingsan (-), tanda-tanda TIK.
Lainnya: (-)
2. Memeriksa nervus cranialis
Nervus I , Olfaktorius (pembau ) : normal
Nervus II, Opticus ( penglihatan ) : normal
Nervus III, Ocumulatorius : normal
Nervus IV, Throclearis : normal
Nervus V, Thrigeminus :
- Cabang optalmicus : normal
- Cabang maxilaris : normal
- Cabang Mandibularis : normal
Nervus VI, Abdusen : normal
Nervus VII, Facialis : normal
Nervus VIII, Auditorius : normal
Nervus IX, Glosopharingeal : normal
Nervus X, Vagus : normal
Nervus XI, Accessorius : normal
Nervus XII, Hypoglosal : normal
3. Memeriksa fungsi motorik
Ukuran otot (simetris), atropi (-)
4. Memeriksa fungsi sensorik
Kepekaan saraf perifer : benda tumpul (+), benda tajam (-)
Menguji sensasi panas / dingin (+), kapas halus (+) minyak wangi (+)
5. Memeriksa reflek kedalaman tendon
- Reflek fisiologis
a. Reflek bisep ( + )
b. Reflek trisep ( + )
c. Reflek brachiradialis ( + )
d. Reflek patella ( + )
e. Reflek achiles ( + )
- Reflek Pathologis
a. Reflek babinski ( - )
b. Reflek chaddok ( - )
c. Reflek schaeffer ( - )
d. Reflek oppenheim ( - )
e. Reflek gordon ( - )
HEMATOLOGI LENGKAP
Hemoglobin 11 gr/dl,
Leukosit 14.300 /ul,
Trombosit 303.000 /ul,
Albumin/Globulin 4,1/2,7 gr/dl,
Ureum/Creatinin 17/0,6 mg/dl,
Asam urat 4 mg/dl,
Gula Darah Acak 118 mg/dl,
b. Pemeriksaan Radiologi : Foto Rontagen
c. Kesimpulan status fisik (ASA) :
Dari hasil pemeriksaan diatas dapat disimpulkan bahwa pasien masuk ke dalam
ASA 2, dikarenakan pasien dilakukan tindakan general anestesi menggunakan
LMA menggunakan obat-obatan anestesi, yang memungkinkan mempengaruhi
kondisi hemodinamik pasien.
d. Therapi Saat Ini:
- Infus RL 20 tetes permenit
- Antibiotik Ceftriaxone Sodium 2 gram yang diencerkan dengan 10 cc
aquabidest, diberikan melalui drip infus.
e. Pertimbangan anestesi
1. Faktor penyulit : Tindakan anestesi berhubungan dengan efek samping
obat dan pemasangan LMA.
2. Jenis Anestesi : General Anestesi
Indikasi :Dikarenakan pasien akan dilakukan tindakan pembedahan pada
ekstremitas atas
3. Teknik Anestesi : GA-LMA (4.0)
4. Indikasi : Operasi-operasi yang memerlukan relaksasi lapangan operasi
optimal dan operasi yang membutuhkan waktu panjang
5. Persiapan Alat :
a. Aparatus anestesi:mesin anestesi. monitor, oksigen, gas N2O, face
mask, sirkuit napas dengan konektor Y, pulse oximetry
b. STATICS
Scope : Laringoskop, stetoskop
Tube : LMA (4.0), spuit 3cc, 5cc, 10cc, 20cc
Airway : OPA dan NPA
Tape : Plaster, hypapix
Introducer : Stilet, jelly, magil forceps
Conector : Konektor L dan Y
Suction
Pengelolaan Anestesi
Di ruang operasi, pasien dipasang alat-alat monitor invasif (tekanan darah,
denyut jantung, SaO2 , EKG dan kateter urin). Pasien diberikan premedikasi
dengan midazolam 2,5 mg iv dan deksamethason 2 mg iv. Pasien diinduksi
dengan fentanyl 50 mcg, propofol 150 mg, intubasi dengan pipa endotrakeal
nomor 7 dan difasilitasi dengan vekuronium 5 mg. Pemeliharaan anestesi
oksigen : udara = 3 L/menit : 3 L/menit, sevofluran 1–2 volume%. Infusi
propofol 100–300 mg/jam dan infusi vekuronium 1 mg/jam dengan pompa
semprit. Fentanyl diberikan secara berkala. Ventilator diatur dengan volume tidal
500 ml, pernafasan 10 kali/menit, I : E = 1 : 2.
Rumatan Anestesi
Sebelum diposisikan, anestesi diberikan tidak terlalu dalam untuk meminimalkan
efek hemodinamik saat perubahan posisi 180°.9 Pada kasus ini rumatan yang
dipilih adalah anestesi inhalasi sevofluran 1–2 volume % menggunakan oksigen
dan udara (3 L/menit : 3 L/menit), dikombinasikan dengan propofol dan
fentanyl.
f. Cairan
Kritaloid
- Jenis : RL
- Jumlah : 500 CC
B. Analisa Data
2 DS:
- P : benturan Cedera jaringan tubuh
- Q:nyeri tumpul seperti
↓
tertekan - R: panggul
- S: 4 Inflamasi
- T: nyeri terus terasa Nyeri akut
DO: ↓
TTV Pasien TD =
130/80 mmHg, RR= Nyeri akut
23x/menit N :
110x/menit Skala Nyeri:
4
DS: Tindakan pembedahan
Pasien mengatakan ini
operasi pertamanya dan ↓
belum pernah dilakukan
Tindakan GA
tindakan anestesi
DO: ↓ Resiko cedera agen
- Pasien akan di anestesi anestesi
menggunakan sevoflurane Efek obat GA
↓
Resiko cedera agen anestesi
INTRA ANESTESI
No Symptom Etiologi Problem
1 DS:
Pasien mengatakan ini Tindakan pembedahan
merupakan operasi ↓
pertamanya
DO: Efek obat General Anestesi Risiko trauma
- Rencana dilakukan pembedahan
Tindakan pembedahan ↓
eksisi PA
- Teknik pembiusan Risiko Trauma Pembedahan
General Anestesi
2 DS:-
DO:
- Pasien akan dilakukan Teknik pembiusan
Tindakan pembedahan ↓
eksisi PA dengan jenis
Depresi pernapasan
pembiusan General
RK. Disfungsi Respirasi
Anestesi - Penggunaan
↓
propofol
- RR 22x/menit RK. Disfungsi Respirasi
CATATAN LAINNYA:
2. Intra Anestesi
Nama Pasien :Tn.K No. CM : 20 94 29
Umur :44 Tahun Dx : TU CUBITI
Jenis kelamin :Laki-laki Ruang : instalasi bedah (OK)
1.
2.
CVC :
Posisi
Premedikasi
□ Oral :
□ I.M :
□ I.V:
□ Inhalasi :
20
20
ETT No Jenis Fiksasi cm 0
16 18
LMA No Jenis 0
N 16
12
Trakhesotomi 0
Bronkoskopi fiberoptik 18 14
8
Sis 0 0
16 12
Glidescope Dis 0 0
+ 14 10
Lain-lain RR 0 0
12 80
Intubasi 0
10
60
□ Sesudah tidur □ Blind □ Oral □Nasal □ Ka □ Ki 0
□ Trakheostomi 80 40
□ Sulit ventilasi :
60 20
□ Sulit intubasi :
0
□ Spontan □ Kendali □ Ventilator: TV RR PEEP Mulai anestesia X Selesai anestesia ←X Mulai pembedahan O
pembedahan ←O
SpO2 %
□ Gagal
3. Pasca Anestesi
Nama Pasien :Tn.K No. CM : 20 94 29
Umur :44 Tahun Dx : TU CUBITI
Jenis kelamin :laki laki Ruang : instalsi bedah (OK)
S (Situation)
B (Background)
A
(Assestment/Analisa)
R (Recommendation)