Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI PADA TUMOR MAMAE


MENGGUNAKAN TEKNIK ANESTESI GENERAL
DI RSUD KRATON KABUPATEN PEKALONGAN

Disusun Oleh:

Nama : GABRIEL CHRISTIAN BARUS


NIM : 190106060

Mengetahui,

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

(...................................................) (...................................................)

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA
2022
A. KONSEP TEORI PENYAKIT
1. DEFINISI
Tumor mammae merupakan kelainan mammae yang sering terjadi pada wanita.
Tumor terbagi memjadi dua, tumor jinak dan tumor ganas. Tumor jinak memiliki ciri-ciri
tumbuh secara terbatas, memiliki selubung, tidak menyebar dan bila dioperasi dapat
dikeluarkan secara utuh sehingga dapat sembuh sempurna, sedangkan tumor ganas memiliki
ciri-ciri yaitu dapat menyusup ke jaringan sekitarnya, dan sel kanker dapat ditemukan pada
pertumbuhan tumor tersebut. Fibroadenoma merupakan tumor jinakyang sering ditemukan,
pada kelainan ini terjadi pertumbuhan jaringan ikat maupun kelenjar, yang banyak ditemukan
pada wanita usia muda 10-30 tahun.
Tumor mammae adalah adalah karsinoma yang berasal dari parenkim, stroma, areola
dan papilla mammae (Lab. UPF Bedah RSDS, 2010).Tumor mammae adalah gangguan dalam
pertumbuhan sel normal mammae di mana sel abnormal timbul dari sel-sel normal,
berkembangbiak dan menginfiltrasi jaringan limfe dan pembuluh darah. (Kusuma, 2015).

2. ETIOLOGI
Menurut Iskandar (2010) Sampai saat ini, penyebab pasti tumor mammae
belum diketahui. Namun, ada beberapa faktor resiko yang telah teridentifikasi, yaitu :
a. Jenis kelamin
Wanita lebih beresiko menderita tumor mammae dibandingkan dengan pria.
Prevalensi tumor mammae pada pria hanya 1% dari seluruh tumor mammae.
b. Riwayat keluarga
Wanita yang memiliki keluarga tingkat satu penderita tumor mammae beresiko tiga
kali lebih besar untuk menderita tumor mammae.
c. Faktor genetic
Mutasi gen BRCA1pada kromosom 17 dan BRCA2 pada kromosom dapat
meningkatkan resiko tumor mammae sampai 85%. Selain itu, gen p53, BARD1, BRCA3, dan
noey2 juga diduga meningkatkan resiko terjadinya kanker mammae.
d. Faktor usia
Resiko tumor mammae meningkat seiring dengan pertambahan usia.
e. Faktor hormonal
Kadar hormon yang tinggi selama masa reproduktif, terutama jika tidak diselingi oleh
perubahan hormon akibat kehamilan, dapat mening katkan resiko terjadinya tumor mammae.
f. Usia saat kehamilan pertama
Hamil pertama pada usia 30 tahun beresiko dua kali lipat dib andingkan
dengan hamil pada usia kurang dari 20 tahun.
g. Terpapar radiasi
h. Intake alkohol
i. Pemakaian kontrasepsi oral
Pemakaian kontrasepsi oral dapat meningkatkan resiko tumor mammae.
Penggunaan pada usia kurang dari 20 tahun beresiko lebih tinggi dibandingkan dengan
penggunaan pada usia lebih tua

3. TANDA DAN GEJALA


Penemuan tanda-tanda dan gejala sebagai indikasi tumor mammae masih sulit
ditemukan secara dini. Kebanyakan dari kanker ditemukan jika sudah teraba, biasanya
oleh wanita itu sendiri.
a. Terdapat massa utuh (kenyal)
Biasanya pada kuadran atas dan bagian dalam, di bawah lengan, bentuknya tidak
beraturan dan terfiksasi (tidak dapat digerakkan)
b. Nyeri pada daerah massa
c. Adanya lekukan ke dalam/dimping, tarikan dan retraksi pada area
mammae.Dimpling terjadi karena fiksasi tumor pada kulit atau akibat distorsi
ligamentum cooper. Cara pemeriksaan: kulit area mammae dipegang antara ibu jari
dan jari telunjuk tangan pemeriksa lalu didekatkan untuk menimbulkan dimpling.
d. Edema dengan Peaut d’orange skin (kulit di atas tumor berkeriput seperti kulit
jeruk)
e. Pengelupasan papilla mammae
f. Adanya kerusakan dan retraksi pada area putting susu serta keluarnya cairan
secara spontan kadang disertai darah.
g. Ditemukan lesi atau massa pada pemeriksaan mamografi.

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium meliputi:
1) Morfologi sel darah
2) Laju endap darah
3) Tes faal hati
4) Tes tumor marker (carsino Embrionyk Antigen/CEA) dalam serum atau plasma
5) Pemeriksaan sitologis
b. Pemeriksaan sitologik
Pemeriksaan ini memegang peranan penting pada penilaian cairan yang
keluarspontan dari putting mammae, cairan kista atau cairan yang keluar dari
ekskoriasi.
c. Mammagrafi
Pengujian mammae dengan menggunakan sinar untuk mendeteksi secara dini.
Memperlihatkan struktur internal mammae untuk
mendeteksi kanker yang tidak teraba atau tumor yang terjadi pada tahap awal.
Mammografi pada masa menopause kurang bermanfaat karean gambaran kanker di
antara jaringan kelenjar kurang tampak.
d. Ultrasonografi
Biasanya digunakan untuk mendeteksi luka-luka pada daerah padat pada mammae
ultrasonography berguna untuk membedakan tumor sulit dengan kista. Kadang-
kadang tampak kista sebesar sampai 2 cm.
e. Thermography
Mengukur dan mencatat emisi panas yang berasal dari mammae atau
mengidentifikasi pertumbuhan cepat tumor sebagai titik panas karena peningkatan
suplaydarah dan penyesuaian suhu kulit yang lebih tinggi.
f. Xerodiography
Memberikan dan memasukkan kontras yang lebih tajam antara pembuluh-
pembuluh darah dan jaringan yang padat. Menyatakan peningkatan sirkulasi sekitar
sisi tumor.
g. Biopsi
Untuk menentukan secara menyakinkan apakah tumor jinak atau ganas,
dengancara pengambilan massa. Memberikan diagnosa definitif terhadap massa
dan berguna sebagai klasifikasi histologi, pentahapan dan seleksi terapi .
h. CT-Scan
Dipergunakan untuk diagnosis metastasis carsinoma mammae pada organ lain.
i. Pemeriksaan hematologi
Yaitu dengan cara isolasi dan menentukan sel-sel tumor pada peredaran darah dengan
sendimental dan sentrifugis darah.

5. PENATALAKSANAAN MEDIS
Ada beberapa penanganan tumor mammae, antara lain:
a. Mastektomi
Mastektomi adalah operasi pengangkatan mammae. Ada 3 jenis mastektomi, yaitu:
1) Modified radical mastectomy, yaitu operasi pengangkatan seluruh mammae,
jaringan mammae di tulang dada, tulang selangka dan tulang iga serta benjolan di
sekitar ketiak.
2) Total (simple) mastectomy, yaitu pengangkatan di seluruh mammae saja, tetapi
bukan kelenjar ketiak.
3) Radical mastectomy, yaitu operasi pengangkatan sebagian darimammae.
Biasanya disebut lumpectomy, yaitu pengangkatan hanya pada bagian yang
mengandung sel kanker, bukan seluruh mammae.
a. Radiasi
b. Kemoterapi
B. PERTIMBANGAN ANESTESI
1. DEFINISI ANESTESI
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthētos,
"persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan
rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan
rasa sakit pada tubuh (Amarta,2012). Anastesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang
mendasri berbagai tindakan meliputi pemberian anastesi maupun analgetik, pengawasan
keselamatan pasien di operasi maupun tindakan lainnya, bantuan hidup (resusitasi), perawatan
intensif pasien gawat, pemberian terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun.

2. JENIS ANESTESI
Anestesi umum atau general anestesi merupakan tindakan meniadakan nyeri secara
sentral disertai hilangnya kesadaran yang dapat pulih kembali (reversible). Anestesi umum
menyebabkan mati rasa karena obat ini masuk ke jaringan otak dengan tekanan setempat yang
tinggi. Anestesi umum disebut juga sebagai narkose atau bius (Mangku dan Senapathi, 2010).
General anestesi atau anestesi umum bertujuan untuk menghilangkan nyeri, membuat tidak
sadar, dan menyebabkan amnesia yang bersifat reversible dan dapat diprediksi. Tiga pilar
anestesi umum meliputi hipnotik atau sedatif, yaitu membuat pasien tertidur atau mengantuk/
tenang, analgesia atau tidak merasa sakit, rileksasi otot, yaitu kelumpuhan otot skelet, dan
stabilitas otonom antara saraf simpatis dan parasimpatis (Pramono, 2015).

3. TEKNIK ANESTESI
Teknik anestesi umum menurut Mangku dan Senapathi (2010), dapat dilakukan
dengan 3 teknik, yaitu
1) Anestesi umum inhalasi
Salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan dengan memberikan kombinasi obat
anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap melalui alat/ mesin
anestesi langsung ke udara inspirasi. Obat-obat anestesi umum di antaranya nitrous oksida
(N2O), halotan, enfluran, isofluran, sevofluran, dan desfluran. Berdasarkan khasiatnya, obat-
obat tersebut dikombinasikan saat digunakan. Kombinasi obat tersebut diatur sebagai berikut
• N2O + halotan atau,
• N2O + isofluran atau,
• N2O + desfluran atau,
• N2O + enfluran atau,
• N2O + sevofluran.
Pemakaian N2O harus dikombinasikan dengan O2 dengan perbandingan 70 : 30 atau
60 : 40 atau 50 : 50.
Menurut Goodman & Gilman (2012), cara pemberian anestesi dengan obat-obatan
inhalasi dibagi menjadi empat sebagai berikut :
a) Open drop method
Cara ini dapat digunakan untuk zat anestetik yang menguap, peralatan sederhana dan
tidak mahal. Zat anestetik diteteskan pada kapas yang ditempelkan di depan hidung sehingga
kadar zat anestetik dihirup tidak diketahui karena zat anestetik menguap ke udara terbuka.
b) Semi open drop method
Cara ini hampir sama dengan open drop, hanya untuk mengurangi terbuangnya zat
anestetik digunakan masker. Karbondioksida yang dikeluarkan pasien sering terhisap kembali
sehingga dapat terjadi hipoksia, untuk menghindari hal tersebut, pada masker dialirkan
oksigen melalui pipa yang ditempatkan di bawah masker.
c) Semi closed method
Udara yang dihisap diberikan bersama oksigen murni yang dapat ditentukan kadarnya,
kemudian dilewatkan pada penguap (vaporizer) sehingga kadar zat anestetik dapat ditentukan.
Sesudah dihisap pasien, karbondioksida akan dibuang ke udara luar. Keuntungan cara ini,
kedalaman anestesi dapat diatur dengan memberikan kadar tertentu zat anestetik sehingga
hipoksia dapat dihindari dengan pemberian O2.
d) Closed method
Cara ini hampir sama dengan semi closed, hanya udara ekspansi dialirkan melalui
absorben (soda lime) yang dapat mengikat karbondioksida, sehingga udara yang mengandung
zat anestetik dapat digunakan lagi.

2) Anestesi umum intravena


Salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat
anestesi parenteral langsung ke dalam pembuluh darah vena. Obat-obat anestesia intravena di
antaranya ketamin HCl, tiopenton, propofol, diazepam, deidrobenzperidol, midazolam,
petidin, morfin, fentanil/ sufentanil.

3) Anestesi imbang
Teknik anestesi dengan menggunakan kombinasi obat-obatan baik obat anestesi
intravena maupun obat anestesi inhalasi atau kombinasi teknik anestesi umum dengan
analgesia regional untuk mencapai trias anestesi secara optimal dan berimbang.

4. KOMPLIKASI ANESTESI UMUM

Pulih dari anestesi umum idelnya secara bertahap dan tanpa keluhan. Sebagian besar
pasien mengalami pemulihan dari anestesi tanpa kejadian-kejadian khusus tetapi sejumlah
kecil pasien dengan jumlah yang tidak dapat diperkirakan mengalami komplikasi (Gwinnutt,
2011). Komplikasi pascaanestesi umum sebagai berikut (Latif, Suryadi, dan Dachlan, 2010)
1) Gangguan pernapasan
Obstruksi jalan napas parsial atau total, tidak ada ekspirasi (tidak ada suara napas) paling
sering dialami pada pasien pascaanestesi umum yang belum sadar karena lidah jatuh menutup
faring atau edema laring. Penyebab lain yaitu kejang laring (spasme laring) pada pasien
menjelang sadar karena laring terangsang oleh benda asing, darah atau sekret. Selain itu,
pasien dapat mengalami sianosis (hiperkapnea, hiperkarbia) atau saturasi O2 yang menurun
(hipoksemia) yang disebabkan pernapasan pasien yang lambat dan dangkal (hipoventilasi).
Pernapasan lambat dapat diakibatkan karena pengaruh obat opioid dan dangkal karena
pelumpuh otot yang masih bekerja. Hipoventilasi yang berlanjut akan menyebabkan asidosis,
hipertensi, takikardi yang berakhir dengan depresi sirkulasi dan henti jantung.
2) Gangguan kardiovaskular
Komplikasi pada sistem sirkulasi yang dapat dijumpai pada pasien dengan anestesi umum
yaitu hipertensi dan hipotensi. Hipertensi dapat disebabkan oleh nyeri akibat pembedahan,
iritasi pipa trakhea, cairan infus berlebihan, atau aktivasi saraf simpatis karena hipoksia,
hiperkapnia, atau asidosis. Hipertensi akut dan berat yang berlangsung lama akan
menyebabkan gagal ventrikel kiri, infark miokard, disritmia, edema paru, atau perdarahan
otak. Hipotensi disebabkan akibat aliran isian balik vena (venous return) menurun yang
disebabkan perdarahan, terapi cairan kurang adekuat, hilangnya cairan, kontraksi miokardium
kurang kuat, atau tahanan veskular perifer menurun. Hipotensi harus segera ditangani agar
tidak terjadi hipoperfusi organ vital yang berlanjut dengan hipoksemia dan kerusakan
jaringan.
3) Mual muntah
Mual dan muntah pascaanestesi dapat terjadi pada 80% pasien yang menjalani pembedahan
dan anestesi. Beberapa pasien lebih memilih untuk merasakan nyeri dibandingkan mual dan
muntah pasca bedah (Gwinnutt, 2011). Mual dan muntah pasca bedah merupakan efek
samping yang umum terjadi setelah sedasi dan anestesi umum. Insidensinya paling tinggi
dengan anestesi berbasis narkotika dan dengan agen yang mudah menguap (Gupta dan Jrhee,
2015). Setiap tiga sampai empat pasien mengalami mual dan muntah pasca bedah setelah
anestesi umum (Apfel, Stoecklein, dan Lipfert, 2005). Risiko mual muntah pasca bedah 9 kali
lebih kecil pada pasien dengan anestesi regional daripada pasien dengan anestesi umum
(Shaikh, Nagarekha, Hegade, dan Marutheesh, 2016).
4) Menggigil
Menggigil (shivering) merupakan komplikasi pasien pascaanestesi umum pada sistem
termoregulasi. Hal tersebut terjadi akibat hipotermia atau efek obat anestesi. Hipotermi dapat
terjadi akibat suhu ruang operasi yang dingin, cairan infus yang dingin, cairan irigasi dingin,
bedah abdomen luas dan lama.

5. TEKNIK INTUBASI

1. Intubasi Endo Trakhea Tube (ETT)


a. Pengertian
Intubasi Trakhea adalah tindakan memasukkan pipa trakhea kedalam trakhea melalui
rima glotis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakhea antara pita suara
dan bifurkasio trakhea (Latief, 2007). Tindakan intubasi trakhea merupakan salah satu teknik
anestesi umum inhalasi, yaitu memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas
atau cairan yang mudah menguap melalui alat/ mesin anestesi langsung ke udara inspirasi.
b. Ukuran ETT
Pipa endotrakheal. terbuat dari karet atau plastik. Untuk operasi tertentu misalnya di
daerah kepala dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa ditekuk yang mempunyai spiral nilon
atau besi (non kinking). Untuk 9 mencegah kebocoran jalan nafas, kebanyakan pipa
endotrakheal mempunyai balon (cuff) pada ujung distalnya. Pipa tanpa balon biasanya
digunakan pada anak-anak karena bagian tersempit jalan nafas adalah daerah rawan krikoid.
Pada orang dewasa biasa dipakai pipa dengan balon karena bagian tersempit adalah trachea.
Pipa pada orang dewasa biasa digunakan dengan diameter internal untuk laki-laki berkisar 8,0
– 9,0 mm dan perempuan 7,5 – 8,5 mm (Latief, 2007).

Diameter (mm) = 4 + Umur/4 = tube diameter (mm)


Rumus lain: (umur + 2)/2
Ukuran panjang ET = 12 + Umur/2 = panjang ET (cm)

Rumus tersebut merupakan perkiraan dan harus disediakan pipa 0,5 mm lebih besar dan lebih
kecil. Untuk anak yang lebih kecil biasanya dapat diperkirakan dengan melihat besarnya jari
kelingkingnya.

c. Indikasi Intubasi
Trakhea Indikasi intubasi trakhea sangat bervariasi dan umumnya digolongkan
sebagai berikut (Latief, 2007):
a. Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun Kelainan anatomi, bedah
khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan nafas dan lain-lain.
b. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi Misalnya saat resusitasi,
memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka panjang.
c. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi. Klasifikasi tampakan faring pada
saat mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi
menjadi 4 gradasi (Latief, 2007).

d. Kotraindikasi ETT
Menurut Morgan (2006) ada beberapa kondisi yang diperkirakan akan mengalami kesulitan
pada saat dilakukan intubasi, antara lain:
a. Tumor : Higroma kistik, hemangioma, hematom
b. Infeksi : Abces mandibula, peritonsiler abces, epiglottitis.
c. Kelainan kongenital : Piere Robin Syndrome, Syndrom Collin teacher, atresi
laring, Syndrom Goldenhar, disostosis kraniofasial .
d. Benda asing.
e. Trauma : Fraktur laring, fraktur maxila/ mandibula, trauma tulang leher .
f. Obesitas.
g. Extensi leher yang tidask maksimal : Artritis rematik, spondilosis arkilosing,
halo traction.
h. Variasi anatomi : Mikrognatia, prognatisme, lidah besar, leher pendek, gigi
moncong.

e. Pemasangan Intubasi Endotrakheal


Prosedur pelaksanaan intubasi endotrakheal adalah sebagai berikut (Latief, 2007):
Persiapan Alat (STATICS):
a. Alat
1) Scope : Laringoscope, Stetoscope
2) Tubes : Endotrakheal Tube (ETT) sesuai ukuran
3) Airway : Pipa orofaring / OPA atau hidung-faring/NPA
4) Tape : Plester untuk fiksasi dan gunting
5) Introducer : Mandrin / Stylet, Magill Forcep.
6) Conector : Penyambung antara pipa dan pipa dan peralatan anestesi.
7) Suction : Penghisap lendir siap pakai.
8) Bag dan masker oksigen (biasanya satu paket dengan mesin anestesi yang siap pakai,
lengkap dengan sirkuit dan sumber gas).
9) Sarung tangan steril
10) Xylocain jelly/ Spray 10%
11) Gunting plester
12) Spuit 20 cc untuk mengisi cuff
13) Bantal kecil setinggi 12 cm
14) Obat- obatan (premedikasi, induksi/sedasi, relaksan, analgesi dan emergency).

f. Pelaksanaan
1) Mesin siap pakai
2) Cuci tangan
3) Memakai sarung tangan steril
4) Periksa balon pipa/ cuff ETT
5) Pasang macintosh blade yang sesuai
6) Anjurkan klien berdoa, karena intubasi/ induksi akan dimulai
7) Beri oksigen 100% dengan masker/ ambu bag 4 liter/ menit
8) Masukkan obat-obat sedasi dan relaksan
9) Lakukan bagging sesuai irama pernafasan
10) Buka mulut dengan eknik cross finger dengan tangan kanan
11) Masukkan laringoskop dengan tangan kiri sampai terlihat epiglotis, dorong blade sampai
pangkal epiglotis
12) Berikan anestesi daerah laring dengan xylocain spray 10%
13) Masukkan ETT yang sebelumnya sudah diberi jelly dengan tangan kanan
14) Sambungkan dengan bag/ sirkuit anestesi, berikan oksigen dengan nafas kontrol 8-10 kali/
menit dengan tidal volume 8-10 ml/kgBB
15) Kunci cuff ETT dengan udara ± 4-8 cc, sampai kebocoran tidak terdengar
16) Cek suara nafas/ auskultasi pada seluruh lapangan paru kiri kanan
17) Pasang OPA/NPA sesuai ukuran
18) Lakukan fiksasi ETT dengan plester
19) Lakukan pengisapan lendir bila terdapat banyak lendir
20) Bereskan dan rapikan kembali peralatan
21) Lepaskan sarung tangan, cuci tangan.

g. Komplikasi Intubasi
Komplikasi yang sering terjadi pada intubasi antara lain trauma jalan nafas, salah letak
dari ETT, dan tidak berfungsinya ETT. Komplikasi yang biasa terjadi adalah:
• Saat Intubasi
1. Salah letak : Intubasi esofagus, intubasi endobronkhial, posisi balon di laring.
2. Trauma jalan nafas : Kerusakan gigi, laserasi mukosa bibir dan lidah, dislokasi
mandibula, luka daerah retrofaring.
3. Reflek fisiologi : Hipertensi, takikardi, hipertense intra kranial dan intra okuler,
laringospasme.
4. Kebocoran balon.

• Saat ETT di tempatkan


1. Malposisi (kesalahan letak).
2. Trauma jalan nafas : inflamasi dan laserasi mukosa, luka lecet mukosa hidung..
3. Kelainan fungsi : Sumbatan ETT.

• Setelah ekstubasi
1. Trauma jalan nafas : Udema dan stenosis (glotis, subglotis dan trakhea), sesak,
aspirasi, nyeri tenggorokan.

2. Intubasi Laringeal Mask Airway (LMA)


a. Pengertian
LMA adalah suatu alat bantu jalan napas yang ditempatkan di hipofaring berupa balon
yang jika dikembangkan akan membuat daerah sekitar laring tersekat sehingga memudahkan
ventilasi spontan maupun ventilasi tekanan positif tanpa penetrasi ke laring atau esophagus
(Dorsch, 2009).
LMA memberikan strategi baru dalam pelaksanaan jalan napas kerena cara pemasangan yang
mudah, memerlukan sedikit latihan dan dapat dilakukan oleh seseorang dengan pengalaman
anesthesia bervariasi. LMA menyediakan akses yang berbeda ke berbagai fungsi dari saluran
pernafasan dan saluran pencernaan. Bentuk anatomi pipa jalan napas berbentuk bulat panjang
melengkung dan kaku, pada pipa saluran pernapasan dengan diameter 15 mm yang
pangkalnya terdapat konektor yang berfungsi sebagai sambungan ke sirkuit mesin anestesi
dan pada ujungnya berposisi di laring proximal. Pada saluran pipa satunya berujung pada
pangkal saluran pencernaan berfungsi sebagai saluran ke saluran pencernaan berposisi di
depan sphinter esophagus. Terlihat pada saat dimasukkan dengan rekomendasi teknik insersi
(The Laryngeal Mask Company Limited, 2007).

b. Indikasi LMA
1.Digunakan untuk prosedur anestesi jika tindakan intubasi mengalami kegagalan.
2.Penatalaksanaan kesulitan jalan nafas yang tidak dapat diperkirakan.
3.Pada airway management selama resusitasi pada pasien yang tidak sadarkan diri.
4.Pada operasi kecil atau sedang di daerah permukaan tubuh, berlangsung singkat dan
posisinya terlentang.

c. Kontraindikasi LMA
1.Pasien-pasien dengan resiko aspirasi isi lambung.
2.Pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik dalam jangka waktu yang lama.
3.Pada operasi daerah mulut.
4.Pada pasien yang mengalami penurunan fungsi sistem pernafasan, karena cuff pada LMA
yang bertekanan rendah akan mengalami kebocoran pada tekanan inspirasi yang tinggi dan
akan terjadi pengembangan lambung.

d. Pemasangan LMA (Lunn, 2005)


1.LMA mempunyai manset yang dikempiskan benar sebelum dimasukkan, dan pompa setelah
penempatannya benar.
2.Bagian belakang masker dilumasi secara menyeluruh.
3.Tingkat anestesi atau tidak sadar harus sama dengan tingkatan untuk memasukkan LMA.
4.Kepala dan leher berada dalam posisi seperti pada intubasi trakea dan asisten membuka
mulut pasien selebar mungkin.
5.Ujung masker ditekankan pada palatum durum dengan ujung terbuka, masker mengarah ke
lidah tanpa boleh menyentuhnya.
6.Masker didorong sejauh mungkin. Masker ini terlalu lebar untuk ujungnya berada di atas
sfingter esofagus. Bagian samping masker berada di atas fossae pyriformis dan tepi atasnya
berada di dasar lidah.

e. Komplikasi LMA
Menurut Nolan (2005) komplikasi pemasangan Laringeal Mask Airway (LMA):
Komplikasi Mekanikal (kinerja LMA sebagai alat) :
1) Gagal insersi (0,3 – 4%)
2) Ineffective seal (
3) Malposisi (20 – 35%)

f. Komplikasi Traumatik (kerusakan jaringan sekitar) :


1) Tenggorokan lecet/nyeri tenggorokan (0 – 70%).
2) Disfagia (4 – 24%).
3) Disartria (4 – 47%)
g. Komplikasi Patofisiologi (efek penggunaan LMA pada tubuh) :
1) Batuk (>2%)
2) Muntah (0,02 – 5%)
3) Regurgitasi yang terdeteksi (0-80%)
4) Regurgitasi klinik (0,1%)

6. RUMATAN ANESTESI
Obat-obatan anestesi general yang dipakai adalah
1. Midazolam 2,5 mg
2. Fentanyl 100mcg
3. Propofol 100mg
4. Ondansentron 4mg
5. Ketamin 50mg
6. Ketorolac 30mg
C. WEB OF CAUTION ( WOC )
D. TINJAUAN TEORI PEMBEDAHAN
1. Identitas Pasien
Nama : Ny. U
Umur : 33 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam

2. Keluhan Utama
a. Data Subjektif
Pasien dating dengan mengatakan nyeri kaki kiri sejak pukul 16.00 jatuh di depan rumah saat
berjalan kaki, pingsan(-), muntah(-)
b. Data Objektif
TD : 160/87
S : 37,2
N : 101x/menit
SPO2 : 98%

3. Masalah Anestesi
1. Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan
2. Resiko ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan obat anestesi
3. Hipotermia berhubungan dengan suhu ruangan

4. Rencana Intervensi
1. Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan
- Menjelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur
- Bantu klien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan.
- Dorong klien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan dan persepsi.
- Intruksikan untuk menggunakan teknik relaksasi
- Kolaborasi pemberian analgetik
2. Resiko ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan obat anestesi
a. Monitor TTV
b. Monitor pemberian oksigen
c. Pertahankan jalan nafas
d. Kolaborasi dengan dokter terkait pemberian oksigen dan obat obatan

3. Hipotermia berhubungan dengan suhu ruangan


a. Monitor TTV
b. Berikan selimut
c. Turunkan suhu ruangan
d, Kolaborasi dengan dokter terkait pemberian obat-obatan
DAFTAR PUSTAKA

Balitbang kemenkes RI. 2014. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Balitbang Kemenkes RI

Grece Frida Rasubala, Lucky Tommy Kumaat, Mulyadi. 2017. Pengaruh Teknik Relaksasi
Benson Terhadap Skala Nyeri Pada Klien Post Operasi di RSUP Prof. Dr. D. Kandau dan RS
TK III R. W. Mongisidi Teling Manado. Jurnal Keperawatan Volume 5 no. 1 Februari 2017

Kusuma Amin. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis Medis dan NANDA NIC
NOC. Penerbit Mediaction

Moh. Alimansur, Agung Setiawan. 2013. Perbedaan Tingkat Kecemasan Pada Klien Pre dan
Post Operasi di Ruang Seruni RSUD Pare. Jurnal ilmu kesehatan, Vol. 1 no. 2. Mei 2013

Sjamsuhidajat. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi II. Jakarta : EGC

Solehati Tetti & Kokasih Cecep Eli. 2015. Konsep dan Aplikasi Relaksasi Dalam
Keperawatan Maternitas. Bandung: PT Refika Aditama

Williams, L & Wilkins. 2011. Nursing : Memahami Berbagai Macam Penyakit. Alih Bahasa
Paramita. Jakarta : PT. Indeks

Anda mungkin juga menyukai