Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPENATAAN ANESTESI


PASIEN NY P DILAKUKAN TINDAKAN OPERASI EKSISI BIOPSI TUMOR MAMAE
DEXTRA
DENGAN TINDAKAN ANESTESI GENERAL ANESTESI
DI RUANG IBS RS AISYIYAH
PADA TANGGAL 12 DESEMBER 2022

Disusun Oleh :
Dian Wahyu Ramadhani
2020040135

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


PRODI DIV KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI
INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN
PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2022
A. Konsep Teori Penyakit
1. Definisi
Tumor mammae adalah karsinoma yang berasal dari parenkim, stroma, aerola
papilla mamma (Lab. UPF Bedah RSDS, 2019). Kanker payudara adalah sekelompok
sel tidak normal pada payudara yang terus tumbuh berupa ganda. Pada akhirnya sel-
sel ini menjadi bentuk benjolan di payudara. Jika benjolan kanker tidak terkontrol sel-
sel kanker bisa menyebar (metastase) pada bagian-bagian tubuh lain. Metastase bisa
terjadi pada kelenjar getah bening (limfe) ketiak ataupun diatas tulang belikat. Selain
itu sel-sel kanker bias bersarang di tulang, paru-paru, hati, kulit, dan bawah kulit (Erik
T, 2018).

Tumor mammae adalah adanya ketidak seimbangan yang dapat terjadi pada suatu
sel/jaringan didalam mammae dimana ia tumbuh secara liar dan tidak bisa di kontrol
(Dr.Iskandar,2018). Tumor mammae merupakan benjolan di payudara. Timbulnya
benjolan pada payudara dapat merupakan indikasi adanya jenis tumor/kanker
payudara. Namun, untuk memastikannya perlu dilakukan pemeriksaan patologis.

2. Etiologi
Ada beberapa faktor resiko yang telah teridentifikasi menurut

Dr.Iskandar (2019) sebagai pemicu terjadinya tumor mammae, yaitu :


1. Jenis kelamin
Wanita lebih beresiko menderita tumor payudara dibandingkan dengan pria.
Prevalensi tumor payudara pada pria hanya 1% dari seluruh tumor
payudara.
2. Riwayat keluarga
Wanita yang memiliki keluarga tingkat satu penderita tumor payudara
beresiko 3x lebih besar untuk menderita tumor payudara.

3. Faktor usia
Resiko tumor payudara meningkat seiring dengan pertambahan usia
4. Riwayat reproduksi
a) Melahirkan anak pertama diatas 35 tahun
b) Menikah tapi tidak melahirkan anak
c) Tidak menyusui
5. Pemakaian kontrasepsi oral
Dapat meningkatkan resiko tumor payudara, penggunaan pada usia <20 tahun
beresiko lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan pada usia lebih tua.
6. Riwayat meastrual
a) Early menarche (sebelum 12 tahun)
b) Late menopouse (setelah 50 tahun)
7. Usia saat kehamilan pertama
Hamil pertama pada usia 30 tahun beresiko 2x lipat dibandingkan dengan hamil
pada usia >20 tahun.
8. Terpapar radiasi
9. Intake alkohol

3. Tanda dan Gejala


Pada masa-masa awal pertumbuhan tumor, gejala sulit dideteksi,
sehingga kasus ini biasanya baru diketahui setelah muncul benjolan yang
sudah menjolok dan bisa diraba. Tanda-tanda fisik yang biasa ditemui adalah:
1. Terbentuknya massa utuh atau jaringan yang tidak biasa sifatnya kenyal
muncul di payudara atau sekitarnya (misalnya dibawah lengan).
2. Penderita merasakan nyeri di tempat masa tersebut
3. Lekukan pada permukaan payudara dan kulit yang berada di atas tumor
menjadi seperti kulit jeruk

4. Puting susu mengeluarkan cairan yang tidak normal, bahkan bisa


mengeluarkan darah.

5. Lepasnya papilla mammae

6. Kelainan bentuk payudara

4. Pemeriksaan Diagnostik / Pemeriksaan penunjang terkait


a. Ultrasonografi
Dapat membedakan antara masa padat dan kista pada jaringan payudara
keras.
b. Mammografi
Memperlihatkan struktur internal payudara,dapat mendeteksi tumor yang
terjadi pada tahap awal.
c. Scan CT dan MRI
Teknik scan yang dapat mendeteksi penyakit payudara (Doenges, 2000)
d. Pemeriksaan Biopsi
Pemeriksaan Biopsi juga dapat dipakai untuk diagnosis Tumor dan Ca
Mammae. Pemeriksaan histologi ini dilakukan dengan mengangkat jaringan
dari massa payudara yang terjangkit tumor untuk ditentukan tingkat
keganasannya

5. Penatalaksanaan Medis
a. Penatalaksanaan Terapi
1) Mastektomi Parsial (mengeksisi tumor lokal), diawali dengan
lumpektomi untuk mengangkat jaringan yang terjangkit tumor atau
kankerm kemudian dilanjutkan dengan kuadranektomi yaitu
pengangkatan seperempat payudara.
2) Mastektomi Total: mengangkat seluruh payudara beserta kelenjar
limfe dilateral otot pektoralis minor.
3) Mastektomi Radikal: mengangkat payudara, otot pektoralis mayor
danminor dan seluruh isi aksilanya.

b. Penatalaksanaan Operatif
1) Penyinaran pada payudara dan kelenjar linfe regional atau pada
jaringan lain yang sudah terserang kanker.
2) Kemoterapi: merupakan terapi adjuvan sistemik khususnya setelah
dilakukan pembedahan. Contoh: kombinasi penggunaan
cyclophospamide, methotrexate, flouracil, dan adriamycin.
3) Terapi Hormon: antiestrogen, androgen, prostaglandin,
tamoksifen, dsb.

B. Pertimbangan Anestesi
1. Definisi Anestesi
Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit ketika
dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit,
dalam hal ini rasa takut perlu ikut dihilangkan untuk menciptakan kondisi optimal
bagi pelaksanaan pembedahan (Sabiston, 2019).

General anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit secara sentral


disertai hilangnya kesadaran (reversible). Tindakan general anestesi terdapat
beberapa teknik yang dapat dilakukan adalah general anestesi dengan teknik
intravena anestesi dan general anestesi dengan inhalasi yaitu dengan face mask
(sungkup muka) dan dengan teknik intubasi yaitu pemasangan endotracheal tube
atau gabungan keduanya inhalasi dan intravena (Latief, 2018).

2. Jenis Anestesi
a. General Anestesi
General anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit secara sentral
disertai hilangnya kesadaran (reversible). Tindakan general anestesi terdapat
beberapa teknik yang dapat dilakukan adalah general anestesi denggan teknik
intravena anestesi dan general anestesi dengan inhalasi yaitu dengan face mask
(sungkup muka) dan dengan teknik intubasi yaitu pemasangan endotrecheal tube
atau gabungan keduanya inhalasi dan intravena (Latief, 2018).
b. Regional Anestesi
Anestesi regional merupakan suatu metode yang lebih bersifat sebagai analgesik.
Anestesi
regional hanya menghilangkan nyeri tetapi pasien tetap dalam keadaan sadar. Oleh
sebab itu, Teknik ini tidak memenuhi trias anestesi karena hanya menghilangkan
persepsi nyeri saja (Pramono, 2019). Jenis Anestesi Regional menurut Pramono
(2019) digolongkan sebagai berikut:

 Anestesi Spinal

Penyuntikan anestesi lokal ke dalam ruang subaraknoid disegmen lumbal 3-


4 atau lumbal 4-5. Untuk mencapai ruang subaraknoid, jarum spinal
menembus kulit subkutan lalu menembus ligamentum supraspinosum,
ligamen interspinosum, ligamentum flavum, ruang epidural, durameter, dan
ruang subaraknoid. Tanda dicapainya ruang subaraknoid adalah dengan
keluarnya liquor cerebrospinalis (LCS).

Menurut Latief (2019) anestesi spinal menjadi pilihan untuk operasi


abdomen bawah dan ekstermitas bawah. Teknik anestesi ini popular karena
sederhana, efektif, aman terhadap sistem saraf, konsentrasi obat dalam
plasma yang tidak berbahaya serta mempunyai analgesi yang kuat namun
pasien masih tetap sadar, relaksasi otot cukup, perdarahan luka operasi lebih
sedikit, aspirasi dengan lambung penuh lebih kecil, pemulihan saluran cerna
lebih cepat (Longdong, 2019).

Anestesi spinal memiliki komplikasi. Beberapa komplikasi yaitu hipotensi


terjadi 20-70% pasien, nyeri punggung 25% pasien, kegagalan tindakan
spinal 3-17% pasien dan post dural punture headache di Indonesia
insidensinya sekitar 10% pada pasien paska spinal anestesi (Tato, 2018).
Kekurangan dari anestesi spinal dibahas dalam sub bab komplikasi anestesi
spinal.

 Anestesi Epidural

Anestesi yang menempatkan obat di ruang epidural (peridural, ekstradural).


Ruang ini berada di antara ligamentum flavum dan durameter. Bagian atas
berbatasan dengan foramen magnum di dasar tengkorak dan bagian bawah
dengan selaput sakrokoksigeal. Kedalaman ruang rata-rata 5 mm dan di
bagian posterior kedalaman maksimal terletak pada daerah lumbal.
Anestetik lokal di ruang epidural bekerja langsung pada saraf spinal yang
terletak di bagian lateral. Onset kerja anestesi epidural lebih lambat
dibanding anestesi spinal. Kualitas blokade sensoris dan motoriknya lebih
lemah.

3. Teknik Anestesi
Selama pemberian anestetik, pasien akan melalui tahap-tahap yang telah
diperkirakan yang disebut sebagai kedalaman anestesi. Menurut Amy M. Karch
(2018) tahapan tahapan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Stadium I (tahap Analgesia), mengacu pada hilangnya sensai nyeri,


sementara pasien masih dalam keadaan sadar dan dapat
berkomunikasi dengan orang lain.
b. Stadium II (tahap Eksitasi), merupakan periode peningkatan kegembiraan
dan sering kali perilaku melawan (pasien delirium dan eksitasi dengan
gerakan diluar kehendak), dengan berbagai tanda stimulasi simpatis
(misalnya: takikardi, peningkatan penapasan, 12 perubahan tekanan
darah). Dalam tahap ini kadang pasien mengalami inkotinensia dan
muntah.
c. Stadium III (Pembedahan), melibatkan relaksasi otot rangka, pulihnya
pernapasan yang teratur (sampai nafas spontan hilang), dan hilangnya
reflek mata serta dilatasi pupil secara progresif. Pembedahan dapat
dilakukan dengan aman pada tahap 3.
d. Stadium IV (Depresi medulla oblongata), merupakan kondisi depresi SSP
yang sangat dalam dengan hilang pernapasan dan stimulus pusat
vasomotor, yang pada kondisi itu dapat terjadi kematian secara cepat.
Pembuluh darah pasien kolaps dan jantung berhenti berdenyut, disusul
dengan kelumpuhan nafas sehingga perlu bantuan alat bantu nafas dan
sirkulasi

4. Rumatan Anestesi
 Anestesi Umum Rumatan anestesi umum dapat menggunakan antara lain
obat pelumpuh otot,obat obatan analgetic opioid,obat hipnotic sedatif dan
obat inhalasi sesuai kebutuhan. Obat anestesi inhalasi dengan atau tanpa N2O
dapat diberikan. Penggunaan propofol, fentanyl, alfentanil atau remifentanil
dapat juga diberikan bersamaan. Penggunaan anestesi lokal dapat diberikan
untuk suplemen tambahan sebagai analgesik post operatif.
 Anestesi Regional Rumatan anestesi regional bila digunakan secara contineus
sesuai kebutuhan memakai cateter. Bila anestesi regional mengalami
kegagalan maka maka dimungkinkan berubah teknik pilihan anestesi ke
anestesi umum. Obat-obatan anestesi regional diantaranya bupivakain,
lidokain,prokain,prilokain

5. Resiko
Efek samping anestesi lokal:

 Rasa nyeri, ruam, serta pendarahan ringan di area suntikan.


 Sakit kepala.
 Pusing.
 Kelelahan.
 Mati rasa pada area yang disuntik.
 Kedutan pada jaringan otot.
 Penglihatan kabur.

Efek samping anestesi regional:


 Sakit kepala.
 Reaksi alergi.
 Nyeri punggung.
 Perdarahan.
 Kejang.
 Sulit buang air kecil.
 Penurunan tekanan darah.
 Infeksi tulang belakang.

Efek samping anestesi umum:

 Mual dan muntah.


 Mulut kering.
 Sakit tenggorokan.
 Suara serak.
 Rasa kantuk.
 Menggigil.
 Timbul nyeri dan memar di area yang disuntik atau dipasangkan infus.
 Kebingungan.
 Sulit buang air kecil.
 Kerusakan gigi.
C. Web of caution (WOC)
D. Tinjauan Teori Askan Pembedahan Khusus
1. Pengkajian
a. Data Subjektif
Data subjektif adalah data yang didapatkan dari klien sebagai suatu
pendapat terhadap situasi dan kejadian. Informasi tersebut tidak dapat
ditentukan perawat tetapi melalui interaksi atau komunikasi terhadap pasien.

b. Data Objektif
Data objektif adalah data yang dapat diobservasi dan diukur oleh
perawat, dapat diperoleh menggunakan panca indera (lihat, dengar, cium, raba)
selama pemeriksaan fisik. Misalnya frekuensi nadi, pernafasan, tekanan darah,
edema, berat badan, tingkat kesadaran

2. Masalah Kesehatan Anestesi


a. Pre : Ansietas
b. Intra : Resiko aspirasi
c. Post : Resiko jatuh

3. Rencana Intervensi
Pra anestesi
a. Ansietas
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah ansietas teratasi.
Dengan kriteria hasil : Hemodinamik stabil, pasien tampak tenang dan pasien
siap menjalani prosedur operasi
Rencana Intervensi:
 Edukasi pasien mengenai prosedur anestesi dan pembedahan
 Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam
 Monitoring TTV

Intra Anestesi
a. Resiko aspirasi
Mempertahankan kondisi pasien agar tidak terjadi resiko aspirasi
Rencana Intervensi:
 Monitoring TTV
 Siapkan alat-alat emergency
 Berikan oksigen sesuai kebutuhan
Pasca Anestesi
a. Risiko jatuh
Setelah dilakukan tindakan pasien diharapkan resiko jatuh dapat teratasi
dengan kriteria hasil: pasien mengatakan mengerti mengenai risiko jatuh,
pasien tidak jatuh.
Rencana Intervensi:
 Identifikasi deficit kognitif atau fisik pasien yang dapat meningkatkan
potensi jatuh dalam lingkungan tertentu
 Identifikasi perilaku dan factor yang mempengaruhi resiko jatuh
 Berikan pengaman di samping tempat tidur
 Berikan pengawasan ketat

4. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan untuk
mengetahui sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai. Evaluasi
ini dilakukan dengan cara membandingkan hasil akhir yang teramati dengan
tujuan dan kriteria hasil yang dibuat dalam rencana keperawatan (Ernawati,
2019).

Evaluasi ini akan mengarahkan asuhan keperawatan, apakah asuhan


keperawatan yang dilakukan ke pasien berhasil mengatasi masalah pasien
ataukan asuhan yang sudah dibuat akan terus berkesinambungan terus
mengikuti siklus proses keperawatan sampai benar-benar masalah pasien
teratasi (Ernawati, 2019)
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. (2012). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 13. Dinata,

Fredy. (2011). Jurnal: Kelainan pada Kelenjar Bartolin. Bandung; Media


Komunikasi PPDS ObGyn Unair
Medforth, Janet. Dkk. (2012). Kebidanan Oxford Edisi Terjemahan. Jakarta; EGC
Jhonson. Ruth & Wendy. (2005). Buku Ajar Praktik Kebidanan Edisi Terjemahan.
Jakarta. EGC
Nurarif .A.H. dan Kusuma. H. (2015). APLIKASI Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta:
MediAction.
http://perpustakaan.poltekkes. Diakses Pada 26 Mei 2022.

Anda mungkin juga menyukai