Anda di halaman 1dari 19

Referat

Case Report Sessions

Rokuronium

Oleh:

Muhammad Ferdiansyah 1310312096

Preseptor :
dr. Yulinda Abdullah, SpAn

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M. DJAMIL
PADANG
2018
DAFTAR ISI
1
BAB 1 Latar Belakang 3
BAB 2 Tinjauan Pustaka 5
2.1. Indikasi penggunaan rokuronium 5
2.2. Sifat kimia 6
2.3. Mekanisme kerja 6
2.4. Potensi dan interaksi 7
2.5. Farmakokinetik 8
2.6. Dosis dan manifestasi klinis 8
2.7. Kontra indikasi 9
2.8. Peringatan penggunaan 9
2.9. Komorbiditas 11
2.10. Interaksi dengan produk obat 12
2.11. Kehamilan dan menyusui 14
2.12. Efek samping 15
2.13. Overdosis 17
DAFTAR PUSTAKA 19

BAB 1
2
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada tahun 1983 Booij dan Crul menuliskan syarat pelumpuh otot ideal yaitu mula

kerjanya cepat, durasi singkat, non depolarisasi, pemulihan cepat, tidak kumulatif, tidak ada

efek samping kardiovaskular, tidak histamin release, dapat di reverse dengan inhibitor

kolinesterase. Banyak penelitian tentang pelumpuh otot untuk mendapatkan pengganti

suksinilkolin karena komplikasi yang diakibatkannya maka alternatif ditujukan kepada obat

non depolarisasi.

Rokuronium merupakan pelumpuh otot non depolarisasi turunan senyawa aminosteroid

terbaru dengan mula kerja yang hampir menyamai suksinilkolin, memenuhi kriteria di atas

sehingga dipilih sebagai alternatif pada induksi cepat. Rokuronium bromide adalah pelumpuh

otot non-depolarisasi (inhibitor kompetitif) yang berikatan dengan reseptor nikotinik-

kolinergik, tetapi tidak menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetil kolin

menempatinya, sehingga asetil kolin tidak dapat bekerja. Berdasarkan lama kerjanya

pelumpuh otot non-depolarisasi dibagi menjadi tiga golongan kerja panjang, sedang dan

pendek. Rokuronium bromide termasuk golongan pendek hingga sedang.

1.2. Rumusan Masalah

Apa itu rokuronium?

1.3. Tujuan

3
Referat ini bertujuan untuk memenuhi tugas dalam menjalani kepaniteraan klinik di

bidang anestesi dan reanimasi.

1.4. Manfaat

Pembuatan referat ini diharapkan dapat menambah ilmu penulis dan pembaca tentang

obat muscle relaxant non depolarizing neuromuscular blocking agent yaitu rokuronium.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
4
2.1 Indikasi Penggunaan

Rokuronium bromide adalah nondepolarizing neuromuscular blocking agent yang

diindikasikan sebagai tambahan untuk anestesi umum untuk memfasilitasi baik urutan cepat dan

intubasi trakea rutin, dan untuk menyediakan relaksasi otot skeletal selama operasi atau ventilasi

mekanis. Rokuronium menghasilkan blok pada ganglia autonom, mempunyai onset kerja cepat,

masa kerja sedang, pemulihan cepat dan kumulasi minimal, juga mempunyai tendensi yang

rendah untuk menghasilkan pelepasan histamin.

Rokuronium diperkenalkan dalam praktek anastesi pada tahun 1994. Rokuronium

merupakan pelumpuh otot non depolarisasi turunan aminosteroid yang baru diperkenalkan

dengan mula kerja hampir menyamai suksinilkolin. Merupakan obat pelumpuh otot non

depolarisasi yang pertama kalo sebagai pengganti alternatif suksinil untuk masa datang.

2.2 Sifat Kimia

5
Gambar 1 : Rokuronium

Rokuronium mempunyai potensi 1/6 vekuronium (15-20%) dengan onset yang cepat,

durasi sedang, pemulihan cepat, kumulasi minimal serta tendensi histamin release yang rendah.

Perbedaan struktur rokuronium dengan vecuronium terletak pada 4 tempat, yaitu memiliki

sebuah 2B-morpholino group, sebuah 3y-hydroxy group dan sebuah 16-pyrrolidino yang melekat

pada sebuah 16-N-allyl group. Potensi yang rendah mengakibatkan mula kerja yang lebih cepat

dibandingkan vecuronium. Blokade maksimal pada adductor pollicis terjadi setelah kira-kira 3

menit dan pada laryngeal adductor kira-kira 1 menit.

2.3 Mekanisme Kerja

Rokuronium merupakan antagonis asetilkolin oleh karenanya bereaksi dengan cara

kompetisi di tempat ikatan asetilkolin. Prinsip kerjanya pada daerah yang sama di reseptor

seperti yang dilakukan asetilkolin dan suksinilkolin (menghasilkan molekul yang mirip), tapi

tidak mendepolarisasi motor end plate. Transmisi neuromuskuler ada 3 mekanisme, yaitu :

1. Pelumpuh otot non depolarisasi bekerja pada pre-sinaps, membloking channel Na+ dan

mencegah perpindahan asetilkolin dari daerah sintesis ke daerah pelepasan.

6
2. Mencegah asetilkolin berikatan secara normal dengan reseptor, oleh karena itu mencegah

depolarisasi motor end plate

3. Konsentrasi pelumpuh otot non depolarisasi berlebihan, molekul pelumpuh otot dapat

masuk channel reseptor menyebabkan blockade channel

Rokuronium menstabilkan membran post sinaps dan mencegah terbentuknya potensial

aksi di otot rangka. Fenomena tetanic fade ditemukan pada pemberian rokuronium, seperti

pelumpuh otot non depolarisasi lainnya, menunjukkan bahwa aksinya tidak hanya di reseptor

nikotinik post sinaps tetapi juga di pre sinaps.

2.4 Potensi dan Interaksi

Pada binatang, potensi rokuronium 10-20% dibandingkan vecuronium. Pada manusia

sekitar 15% dengan ED50 0,105-0,170 mg/kg dan ED90 0,259-0,305 mg/kg, tergantung teknik

anastesi yang digunakan. Enfluren dan isofluren potensiasi terhadap efek rokuronium. Halotan

potensiasinya terhadap blok neuromuscular tidak sebesar enfluren dan isofluren. Interaksi

dengan beberapa anestetik intravena seperti afentanil, droperidol, midazolam, etomidate,

thiopental dan propofol tidak mempunyai efek klinik yang bermakna. Dosis yang besar dari obat

diatas memberikan potensiasi yang kecil.

Dosis tunggal antibiotik, metronidazole dan cefurox serta aminoglikosida tidak

mempunyai efek bermakna terhadap rokuronium dalam memblok neuromuskular. Pemberian

kronik dari obat antikonvulsan fenitoin dapat menurunkan lama kerja dan meningkatkan

kebutuhan dosis rokuronium. Pemberian suksinilkolin sebelumnya tidak mempengaruhi potensi

recuronium.

2.5 Farmakokinetik
7
Setelah pemberian lewat intra-vena, diabsorbsi secara menyeluruh, dan secara cepat di

distribusikan ke dalam ruang ekstaselular. Kebanyakan dimetabolisme dan dieliminasi oleh hati.

Waktu paruh rokuronium ini pada bayi 3–12 bulan: 0,8–1,8 jam; anak-anak 1–3 tahun: 0,4–1,8

jam; anak-anak 3–8 tahun: 0,5–1.1 jam; dewasa: 1,4–2,4 jam (meningkat 4,3 jam lebih lama

pada orang dengan kelainan hati dan 2,4 jam pada orang dengan kelainan ginjal).

2.6 Dosis dan Manifestasi Klinis

Pada dosis standar untuk intubasi 0,6 mg/kg, rokuronium mampu memberikan kondisi

intubasi good hingga excellent dalam waktu 1 menit. Pada dosis ini paralis otot yang adekuat

untuk berbagai macam operasi dicapai dalam waktu 2 menit. Blok neuromuscular akibat

rokuronium lebih cepat terjadi pada otot adductor laring daripada otot adductor pollicis, maka

intubasi dapat dilakukan sebelum terjadi blok komplet.

Lama kerja rokuronium sebanding dengan dosis yang diberikan. Pada dosis 0,6 mg/kg di

bawah anestesi balans, lama kerja rokuronium adalah 30-40 menit. Tindakan singkat digunakan

dosis 0,3-0,45 mg/kg dengan mula kerja sekitar 90 detik dan lama kerja 14-22 menit. Pada

tindakan lama dimana relaksasi otot diperlukan, rokuronium dapat diberikan dengan cara high

initial dose, incremental doses dan continuous infusion.

Pada pasien dengan gangguan hati dan ginjal, lama kerja rokuronium dapat memanjang

sebab metabolism rokuronium terutama lewat uptake liver, biliary excretion dan sekitar 30%

diekskresikan lewat urin.

2.7 Kontra Indikasi

Hipersensitivitas (mis., Anafilaksis) terhadap rokuronium bromide atau obat penghambat

neuromuskular lainnya.
8
2.8 Peringatan Penggunaan

Seperti halnya semua obat penghambat neuromuskular, penting untuk mengantisipasi

kesulitan intubasi, terutama ketika digunakan sebagai bagian dari teknik induksi urutan cepat.

Seperti obat penghambat neuromuskular lainnya, recuronium juga meninggalkan

kurarisasi residual. Untuk mencegah komplikasi yang dihasilkan dari sisa kurarisasi (kegiatan

induksi relaksasi otot), dianjurkan untuk ekstubasi hanya setelah pasien telah cukup pulih dari

blok neuromuskular. Faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan sisa kurarisasi setelah ekstubasi

pada fase pasca-operasi (seperti interaksi obat atau kondisi pasien) juga harus dipertimbangkan.

Jika tidak digunakan sebagai bagian dari praktek klinis standar, penggunaan agen reversal

(seperti penghambat sugammadex atau acetylcholinesterase) harus dipertimbangkan, terutama

dalam kasus-kasus di mana sisa kurarisasi lebih mungkin terjadi. Blok neuromuskuler residual/

rekurarisasi sering terlihat pada periode pasca operasi dan mempengaruhi hasil selama 24 jam

pertama setelah operasi. Pasien dengan pembalikan blok neuromuskular yang tidak lengkap

memiliki peningkatan risiko kejadian hipoksia di tempat perawatan post-anesthesia (ruang RR)

dengan risiko efek samping yang serius pada periode pasca operasi.4

Reaksi anafilaksis dapat terjadi setelah pemberian agen penghambat neuromuskular.

Tindakan pencegahan untuk mengobati reaksi tersebut harus selalu dilakukan. Khususnya dalam

kasus reaksi anafilaksis sebelumnya terhadap agen penghambat neuromuskular, tindakan

pencegahan khusus harus diambil bila reaktivitas silang alergi terhadap agen penghambat

neuromuskular ada.

Secara umum, setelah penggunaan jangka panjang agen penghambat neuromuskular di

ICU, bisa terjadi kelumpuhan yang berkepanjangan dan / atau kelemahan otot rangka. Untuk

9
membantu mencegah kemungkinan perpanjangan blok neuromuskular dan / atau overdosis

sangat disarankan agar transmisi neuromuskuler dipantau selama penggunaan obat penghambat

neuromuskular. Selain itu, pasien harus menerima analgesia dan sedasi yang memadai.

Selanjutnya, obat penghambat neuromuskular harus dititrasi untuk efek pada pasien individu

dengan atau di bawah pengawasan dokter berpengalaman dengan teknik pemantauan

neuromuskular yang tepat.

Miopati setelah pemberian jangka panjang dari obat penghambat neuromuskular non-

depolarisasi lainnya di ICU yang dikombinasikan dengan terapi kortikosteroid telah dilaporkan.

Oleh karena itu, untuk pasien yang menerima obat penghambat neuromuskular dan

kortikosteroid, periode penggunaan agen penghambat neuromuskular harus dibatasi sebanyak

mungkin. Jika suxamethonium digunakan untuk intubasi, pemberian rokuronium bromide harus

ditunda sampai pasien secara klinis pulih dari blok neuromuskular yang diinduksi oleh

suxamethonium.

2.9 Komorbiditas

Kondisi-kondisi berikut dapat mempengaruhi farmakokinetik dan / atau farmakodinamik

rokuronium bromide:

- Penyakit saluran cerna dan / atau bilier dan gagal ginjal

Karena rokuronium diekskresikan dalam urin dan empedu, maka harus digunakan dengan

hati-hati pada pasien dengan penyakit hati dan / atau biliaris yang signifikan secara klinis dan /

10
atau gagal ginjal. Dalam kelompok pasien ini, perpanjangan aksi telah diamati dengan dosis 0,6

mg/kg rokuronium bromide.

- Waktu sirkulasi yang lama

Kondisi yang terkait dengan waktu sirkulasi yang lama seperti penyakit kardiovaskular,

usia tua dan edema yang menyebabkan peningkatan volume distribusi, dapat menyebabkan onset

yang lebih lambat. Durasi aksi juga dapat diperpanjang karena berkurangnya plasma clearance.

- Penyakit neuromuskular

Seperti obat penghambat neuromuskular lainnya, rokuronium bromide harus digunakan

dengan sangat hati-hati pada pasien dengan penyakit neuromuskular atau setelah poliomielitis

karena respon terhadap agen penghambat neuromuskular dapat sangat berubah dalam kasus ini.

Besaran dan arah perubahan ini bisa sangat bervariasi. Pada pasien dengan myasthenia gravis

atau dengan sindrom myasthenic (Eaton-Lambert), dosis kecil rokuronium bromide mungkin

memiliki efek mendalam dan rokuronium bromide harus diberikan dengan di titrasi.

- Hipotermia

Dalam operasi di bawah kondisi hipotermia, efek pemblokiran neuromuskular dari

rokuronium bromide meningkat dan durasi yang lama.

- Kegemukan

11
Seperti agen penghambat neuromuskular lainnya, rokuronium bromide dapat

menunjukkan durasi yang lama dan pemulihan spontan yang lebih lama pada pasien obesitas,

kalau dosis yang diberikan dihitung pada berat badan yang sebenarnya.

- Luka bakar

Pasien dengan luka bakar diketahui memiliki resistansi terhadap obat penghambat

neuromuskular non depolarisasi. Disarankan bahwa dosis dititrasi dalam penggunaan.

- Kondisi yang dapat meningkatkan efek rokuronium bromide

Hipokalemi (misalnya setelah muntah hebat, diare dan terapi diuretik), hipermagnesemia,

hipokalsemia (setelah transfusi masif), hipoproteinemia, dehidrasi, asidosis, hiperkapnia,

cachexia. Gangguan elektrolit yang parah, pH darah yang berubah atau dehidrasi harus

diperbaiki bila memungkinkan.

2.10 Interaksi dengan produk obat

Obat berikut ini telah terbukti mempengaruhi besarnya dan / atau durasi kerja agen

penghambat neuromuskular non-depolarisasi:

- Efek obat lain pada recuronium bromida

Efek yang meningkat

 Anestesi volatil terhalogenasi mempotensiasi blok neuromuskular dari rokuronium bromide.

Efeknya hanya menjadi jelas dengan dosis pemeliharaan. Pembalikan blok dengan inhibitor

acetylcholinesterase juga bisa dihambat.

 Setelah intubasi dengan suxamethonium

12
 Penggunaan kortikosteroid dan rokuronium bromida jangka panjang dalam ICU dapat

menyebabkan durasi blok neuromuskular atau miopati yang berkepanjangan.

Obat-obatan lain

 antibiotik: antibiotik aminoglikosida, lincosamide dan polipeptida, antibiotik acylamino-

penicillin.

 diuretik, quinidine dan isomernya quinine, garam magnesium, agen penghambat kanal kalsium,

garam lithium, anestetik lokal (lidocaine i.v, bupivacaine epidural) dan pemberian fenitoin akut

atau agen penghambat ß.

Rekurarisasi dapat terjadi setelah pemberian pasca operasi: aminoglikosida, lincosamide,

polipeptida dan antibiotik acylamino-penicillin, quinidine, quinine dan garam magnesium.

Efek yang menurun

 Pemberian fenitoin atau karbamazepin kronis sebelumnya.

 Protease inhibitor (gabexate, ulinastatin).

Efek variabel

 Pemberian obat penghambat neuromuskular non-depolarisasi lainnya yang dikombinasikan

dengan rokuronium bromide dapat menghasilkan atenuasi atau potensiasi blok neuromuskular,

tergantung pada urutan pemberian dan obat penghambat neuromuskular yang digunakan.

 Suxamethonium diberikan setelah pemberian rokuronium bromide dapat menghasilkan

potensiasi atau atenuasi efek pemblokiran neuromuskular dari rokuronium.

Pasien anak-anak

13
Tidak ada studi interaksi formal yang dilakukan.

2.11 Kehamilan dan menyusui

Kehamilan

Untuk rokuronium bromide, tidak ada data klinis pada kehamilan yang tersedia.

Penelitian pada hewan tidak menunjukkan efek berbahaya langsung atau tidak langsung

sehubungan dengan kehamilan, perkembangan embrio / janin, kelahiran atau perkembangan

postnatal. Perhatian harus dilakukan saat meresepkan rokuronium bromide untuk wanita hamil.

Bedah caesar

Pada pasien yang menjalani bedah caesar, rokuronium bromide dapat digunakan sebagai

bagian dari teknik induksi urutan cepat, asalkan tidak ada kesulitan intubasi yang diantisipasi dan

dosis anestesi yang cukup diberikan atau mengikuti intubasi difusi suxamethonium. Rokuronium

bromide, diberikan dalam dosis 0,6 mg/kg, telah terbukti aman pada ibu yang menjalani bedah

caesar. Rokuronium bromide tidak mempengaruhi skor Apgar, tonus otot janin atau adaptasi

kardiorespirasi. Dari pengambilan sampel darah tali pusat jelas bahwa hanya transfer plasenta

terbatas dari rokuronium bromide yang terjadi yang tidak mengarah pada pengamatan efek

samping klinis pada bayi baru lahir.

Catatan 1: dosis 1,0 mg/kg telah diteliti selama induksi cepat anestesi, tetapi tidak pada pasien

seksio sesarea. Oleh karena itu, hanya dosis 0,6 mg/kg yang direkomendasikan pada kelompok

pasien ini.

Catatan 2: pembalikan blok neuromuskular yang diinduksi oleh agen penghambat neuromuskular

dapat terhambat atau tidak memuaskan pada pasien yang menerima garam magnesium untuk

14
toksemia kehamilan karena garam magnesium meningkatkan blokade neuromuscular. 2 Oleh

karena itu, pada pasien ini dosis rokuronium bromide harus dikurangi dan dititrasi terhadap

respon kontraksi.

Laktasi

Tidak diketahui apakah rokuronium bromide diekskresikan dalam ASI manusia.

Penelitian pada hewan menunjukkan tingkat rokuronium bromide yang tidak signifikan dalam

ASI. Rokuronium bromide harus diberikan kepada wanita menyusui hanya ketika dokter

memutuskan bahwa manfaat lebih besar daripada risikonya.

2.12 Efek Samping

Peningkatan laju jantung moderat dapat terjadi yang bisa dikontrol dengan fentanyl.

Rokuronium dosis 0,9-1,2 mg/kgBB meningkatkan laju jantung sampai 20-25%. Rokuronium

dosis 0,6 mg/kgBB mempunyai efek yang tidak bermakna.

Reaksi obat yang paling umum terjadi termasuk nyeri / reaksi di tempat suntikan,

perubahan tanda vital dan blok neuromuskular yang berkepanjangan. Efek samping obat yang

paling sering dilaporkan selama pengawasan pasca pemasaran adalah 'reaksi anafilaksis dan

anafilaktoid' dan gejala yang terkait.

Anafilaksis

Meskipun sangat jarang, dapat terjadi reaksi anafilaksis berat terhadap obat

penghambat neuromuskular, termasuk rokuronium bromide. Anafilaksis intraoperatif adalah

kejadian yang jarang namun serius yang dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang

15
signifikan. Obat penghambat neuromuskular (NMBDs) adalah agen penyebab umum selama

anestesi.1

Reaksi anafilaktik / anafilaktoid adalah: bronkospasme, perubahan kardiovaskular

(misalnya hipotensi, takikardia, kolaps sirkulasi - syok), dan perubahan kulit (misalnya

angioedema, urtikaria). Reaksi-reaksi ini, dalam beberapa kasus, berakibat fatal. Karena tingkat

keparahan reaksi ini, seseorang harus selalu menganggap mereka mungkin terjadi dan

mengambil tindakan pencegahan yang diperlukan. Karena agen penghambat neuromuskular

diketahui mampu menginduksi pelepasan histamin baik secara lokal di tempat injeksi dan

sistemik, kemungkinan terjadinya gatal dan reaksi eritematosa di tempat injeksi dan / atau reaksi

histaminoid (anafilaktoid) umum harus selalu dipertimbangkan ketika mengelola obat-obatan ini.

Dalam studi klinis hanya sedikit peningkatan kadar histamin plasma rata-rata yang telah diamati

setelah pemberian bolus cepat 0,3-0,9 mg/kg rokuronium bromide.

Blok neuromuskular yang berkepanjangan

Reaksi merugikan yang paling sering pada agen penghambat nondepolarisasi salah

satunya perpanjangan tindakan farmakologis obat di luar periode waktu yang diperlukan. Ini

dapat bervariasi dari kelemahan otot skeletal hingga kelumpuhan otot rangka yang mendalam

dan berkepanjangan yang mengakibatkan insufisiensi pernapasan atau apnea.

Miopati

Miopati telah dilaporkan setelah penggunaan berbagai obat penghambat neuromuskular

di ICU dalam kombinasi dengan kortikosteroid. Reaksi tempat suntikan lokal Selama induksi

cepat anestesi, nyeri pada injeksi, terutama ketika pasien belum sepenuhnya kehilangan

kesadaran dan terutama ketika propofol digunakan sebagai agen induksi. Dalam studi klinis,

16
nyeri pada injeksi telah dicatat pada 16% dari pasien yang menjalani induksi cepat anestesi

dengan propofol dan kurang dari 0,5% dari pasien yang menjalani induksi cepat anestesi dengan

fentanyl dan thiopental.

Pasien anak-anak

Sebuah meta-analisis dari 11 studi klinis pada pasien anak (n = 704) dengan rokuronium

bromide (hingga 1 mg/kg) menunjukkan bahwa takikardia diidentifikasi sebagai reaksi obat yang

merugikan dengan frekuensi 1,4%.

2.13 Overdosis

Penggunaan agen reversal untuk melawan blokade neuromuskular sangat bervariasi

Kebanyakan anestesiologis secara rutin membalikkan agen penghambat neuromuskular

(NMBAs) jika ada kelemahan otot yang jelas hadir pada saat ekstubasi. 3 Dalam hal overdosis

dan blok neuromuskular yang berkepanjangan, pasien harus terus menerima dukungan ventilasi

dan sedasi. Ada dua pilihan untuk pembalikan blok neuromuskular: (1) Pada orang dewasa,

sugammadex dapat digunakan untuk pembalikan blok yang kuat dan mendalam. Dosis

sugammadex untuk diberikan tergantung pada tingkat blok neuromuskular. (2) Inhibitor

asetilkolinesterase (misalnya neostigmine, edrophonium, pyridostigmine) atau sugammadex

dapat digunakan setelah pemulihan spontan dimulai dan harus diberikan dalam dosis yang

memadai. Ketika pemberian agen penghambat acetylcholinesterase gagal untuk membalikkan

efek neuromuskular dari ventilasi rokuronium bromide harus dilanjutkan sampai pernapasan

spontan dipulihkan. Dosis berulang inhibitor acetylcholinesterase bisa berbahaya.

17
Dalam penelitian pada hewan, depresi berat pada fungsi kardiovaskular, akhirnya

menyebabkan gagal jantung namun tidak akan terjadi sampai dosis kumulatif 750 x ED90 (135

mg/kg rokuronium bromide) diberikan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Jeffrey I. Reddy, Peter J. Cooke, Johan M. van Schalkwyk, Jacqueline A. Hannam, Penny

Fitzharris, Simon J. Mitchell; Anaphylaxis Is More Common with Rokuronium and

Succinylcholine than with Atracurium. Anesthesiology 2015;122(1):39-45. doi:

10.1097/ALN.0000000000000512.

18
2. Christoph Czarnetzki, Edömér Tassonyi, Christopher Lysakowski, Nadia Elia, Martin R.

Tramèr; Efficacy of Sugammadex for the Reversal of Moderate and Deep Rokuronium-

induced Neuromuscular Block in Patients Pretreated with Intravenous Magnesium: A

Randomized Controlled Trial. Anesthesiology 2014;121(1):59-67. doi:

10.1097/ALN.0000000000000204.

3. Glenn S. Murphy, Joseph W. Szokol, Michael J. Avram, Steven B. Greenberg, Torin D.

Shear, Mark A. Deshur, Jessica Benson, Rebecca L. Newmark, Colleen E. Maher;

Neostigmine Administration after Spontaneous Recovery to a Train-of-Four Ratio of 0.9

to 1.0: A Randomized Controlled Trial of the Effect on Neuromuscular and Clinical

Recovery. Anesthesiology 2018;128(1):27-37. doi: 10.1097/ALN.0000000000001893.

4. Anna I. Hårdemark Cedborg, Eva Sundman, Katarina Bodén, Hanne Witt Hedström,

Richard Kuylenstierna, Olle Ekberg, Lars I. Eriksson; Pharyngeal Function and Breathing

Pattern during Partial Neuromuscular Block in the Elderly: Effects on Airway Protection.

Anesthesiology 2014;120(2):312-325. doi: 10.1097/ALN.0000000000000043.

19

Anda mungkin juga menyukai