Anda di halaman 1dari 25

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anestesi Umum

Anestesi umum adalah perubahan keadaan fisiologis yang ditandai

dengan hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel, analgesi seluruh tubuh,

amnesia, dan relaksasi otot pada beberapa tingkatan (Morgan et al, 2006).

Banyak zat yang bisa menghasilkan anestesi umum: inert element (xenon),

simple inorganic compounds (nitrous oxide), hidrokarbon terhalogenisasi

(halothane), dan strukstur organik komplek (barbiturate) (Morgan et al, 2006).

Anestesi umum tidak hanya terbatas dengan menggunakan agen

inhalasi. Beberapa obat diberikan secara oral, intramuskuler, dan intravena

baik untuk premedikasi maupun induksi yang bisa menambah atau membuat

kondisi anestesi dengan rentang dosis terapinya. Sedasi pra operasi biasanya

diberikan secara oral atau intravena. Induksi pada orang dewasa diberikan

secara intravena. Maintenance anestesi umum juga bisa diberikan secara

teknik anestesi total intravena dan pemberian pelumpuh otot sesuai keperluan

(Morgan et al, 2006).

Beberapa agen anestesi nonvolatil adalah Barbiturate (Thiamylal,

Secobarbital, Phenobarbital, Thiopental, Methohexital, Pentobarbital),

Benzodiazepine (Diazepam, Lorazepam, Midazolam), Opioid (Morfine,

Meperidin, Fentanyl, Sufentanil, Alfentanil, Remifentanil) dan non barbiturat

seperti: Ketamin, Etomidat, Propofol, Droperidol. (Morgan et al, 2006).


commit to user

5
perpustakaan.uns.ac.id 6
digilib.uns.ac.id

2.2 Atrakurium

Atrakurium adalah salah satu obat golongan pelumpuh otot non-

depolarisasi kerja sedang yang saat ini banyak digunakan. Atrakurium

memiliki beberapa keuntungan dibandingkan pelumpuh otot non-depolarisasi

kerja panjang (pankuronium, galamin, dan lain-lain) yaitu lama kerja hanya

sepertiga golongan kerja panjang (45-60 menit), pemulihan 30%-50% lebih

cepat, efek kumulatif dan efek kardiovaskuler minimal, sementara nilai

kerjanya hampir sama (3-5 menit). Atrakurium mengalami degradasi spontan

pada suhu dan pH tubuh normal dengan suatu reaksi “basec-catalysed” yang

disebut eliminasi “Hofmann”, sedangkan jalur metabolisme kedua berupa

hidrolisis ester. Metabolit primer kedua reaksi tersebut berupa laudanosin

(Naguib and Lien, 2005). Eliminasi waktu paruh ±22 menit. Tempat kerja

atrakurium adalah reseptor kolinergik nikotinik, baik presinaptik maupun

postsinaptik. Blok neuromuskular juga timbul karena pengaruh langsung

atrakurium terhadap pertukaran ion melalui saluran-saluran pada reseptor

kolinergik nikotinik (Stoelting, 2006).

Penemuan di awal tahun 1980-an terhadap dua jenis pelumpuh otot,

atrakurium dan vecuronium, menciptakan revolusi terhadap penggunaan klinis

pelumpuh otot yang tidak tergantung kepada eliminasi melalui ginjal,

onsetnya lebih cepat, masa pulih lebih cepat, dan obat antagonisnya lebih

komplit dan lebih cepat. Perkembangan atrakurium dan vecuronium

menyebabkan:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 7
digilib.uns.ac.id

1. Menambah keberanian dalam melakukan intubasi trakea dengan

penggu-naan relaksan nondepolarisasi,

2. Membuat paralisis lebih mudah melalui infus relaksan yang

berkelanjutan.

3. Yang paling penting, secara signifikan mengembalikan fungsi

neuromus-kular post operatif, yang menyebabkan periode risiko

kelemahan yang lebih pendek pada unit perawatan post anestetik.

Penggunaan atrakurium dosis kecil sebagai pra-pengobatan fasikulasi

telah dilakukan dalam beberapa penelitian sebelumnya dan mekanismenya

telah dijelaskan di atas. Dosis yang paling sering digunakan untuk

prekurarisasi ini adalah 0,05 mg/kgBB (Raman dan San, 1997). Dalam suatu

penelitian diperoleh fakta bahwa interval waktu pemberian antara dosis kecil

atrakurium dan suksinilkolin yang dibutuhkan untuk mencapai pencegahan

fasikulasi 80% adalah 2,16 menit, sementara untuk mencapai 90% dibutuhkan

waktu 3,24 menit (Pinchak, et al, 1994). Beberapa buku teks juga

menganjurkan obat prekurarisasi diberikan 3 menit sebelum suksinilkolin

(Rushman, 1999). Pemberian prekurarisasi dengan atrakurium (dan pelumpuh

otot non-depolarisasi lain) mengakibatkan perlambatan mula kerja dan

penurunan kualitas (kondisi intubasi) blok neuromuskular oleh suksinilkolin,

sehingga dosis suksinilkolin harus ditingkatkan 50% dari 1 mg/kgBB menjadi

1,5 mg/kgBB (Naguib dan Lien, 2005). Prekurarisasi dengan pelumpuh otot

non-depolarisasi (termasuk atrakurium) ini terbukti lebih baik (superior)

dibandingkan metode pra-pengobatan, dengan obat-obat lain sehingga menjadi


commit to user
semacam baku emas (Bevan and Donati , 1995).
perpustakaan.uns.ac.id 8
digilib.uns.ac.id

2.2.1 Struktur Kimia

Atrakurium termasuk pelumpuh otot nondepolarisasi golongan

bisquaternary benzylisoquinolineum, dengan berat molekul 1243,5 DA

(dengan gabungan dari 10 isomer geometrik), dengan ED95-nya 0,25

mg/kgBB menimbulkan mula kerja 3-5 menit, dan lama kerja 20-35 menit.

Ditemukan oleh Stenlake dan sejawatnya pada pertengahan 1970, yang

dirancang untuk menghasilkan relaksasi non-depolarisasi dan mengalami

eliminasi Hofmann. Dalam reaksi kimia ini, suatu siklus pengelompokan

nitrogen quartenary di bawah pH dan temperatur yang tinggi terlepas menjadi

amin tersier. Obat ini pertama sekali diperkenalkan dalam penggunaan klinis

di Inggris oleh Payne dan Hughes pada tahun 1981 dan di Amerika Serikat

oleh Basta pada tahun 1982 (Morgan et al, 2006).

Adapun rumus kiminya adalah:

Gambar 1. Rumus Molekul Atrakurium (Sumber: Stoelting, 2006)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 9
digilib.uns.ac.id

2.2.2 Mekanisme Kerja

Tempat kerja atrakurium sama seperti obat pelumpuh otot non-

depolarisasi lainnya, adalah pada tempat presinaps dan postsinaps reseptor

kolinergik. Atrakurium dapat juga menghasilkan blokade neuromuskular

dengan secara langsung mempengaruhi jalan masuk ion melalui chanel

reseptor kolinergik nikotinik, dan diperkirakan 82% atrakurium berikatan

pada protein, yang diduga albumin. Atrakurium dirancang secara khusus agar

dapat didegradasi (eliminasi Hofmann) dalam tubuh pada temperatur dan pH

yang normal. Garam iodida besylate menghasilkan kelarutan dalam air, dan

meningkatkan pH pada larutan yang dipasarkan dari 3,25 hingga 3,65 untuk

menghindari proses degradasi yang spontan. Tampilan pH yang asam pada in

vitro, atrakurium sebaiknya tidak dicampur dengan larutan alkali seperti

barbiturate atau bercampur dengan larutan yang lebih alkalis pada saat

digunakan di dalam infus set atau cairan infus. Terpaparnya atrakurium

dengan zat yang lebih alkalis sebelum masuk ke sirkulasi secara teoritisnya

akan menyebabkan pemecahan obat secara prematur. Potensi atrakurium yang

disimpan pada temperatur ruangan akan terus berkurang kira-kira 5% setiap

30 hari, dengan ED95-nya 0,25 mg/kgBB menimbulkan mula kerja 3-5

menit, dan lama kerja 20-35 menit (Naguib dan Lien 2005).

2.2.3 Farmakokinetik

Eliminasi Hofmann menunjukkan mekanisme eliminasi kimia, dimana

hidrolisis ester merupakan mekanisme biologik. Kedua rute metabolisme ini

tidak tergantung pada fungsi hepar dan renal, seperti juga aktifitas dari
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 10
digilib.uns.ac.id

kolinesterase plasma. Sama seperti pasien normal, maka durasi blokade

neuromuskular atrakurium pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan

hepar adalah sama. Tidak terdapatnya blokade neuromuskular yang lama

setelah penggunaan atrakurium terhadap pasien dengan kolinesterase atipikal

meningkatkan ketergantungan terhadap hidrolisis ester dari atrakurium pada

esterase plasma nonspesifik yang tidak berhubungan dengan kolinesterase

plasma. Eliminasi Hofmann dan hidrolisis ester juga menunjukkan efek

kumulatif obat yang sedikit dengan dosis berulang atau infus atrakurium yang

berkelanjutan. Di atas semuanya itu, hidrolisis ester bernilai untuk sekitar 2/3

Atrakurium yang didegradasi, dimana eliminasi Hofmann memberikan

“jaring yang aman”, khususnya terhadap pasien dengan fungsi hepar dan atau

ginjal yang terganggu (Morgan et al, 2006).

Walaupun eliminasi Hofmann tergantung pada pH (dipercepat oleh

alkalosis dan diperlambat oleh asidosis), ini tidak seperti bahwa kisaran

perubahan pH yang bermakna secara klinis adalah cukup besar untuk

merubah kecepatan eliminasi Hofmann dan durasi dari blokade

neuromuskular yang diinduksi oleh atrakurium. Lebih jauh lagi, perubahan

pH mempengaruhi kecepatan hidrolisis ester dalam arah yang berlawanan

terhadap perubahan kecepatan eliminasi Hofmann, yang memperlambat

eliminasi Hofmann akan dijelaskan secara teoritis melalui peningkatan

kecepatan hidrolisis ester (Stoelting, 2006).

Konsistensi dari mula kerja hingga masa penyembuhan setelah dosis

penunjang atrakurium yang berulang merupakan karakteristik dari obat ini


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 11
digilib.uns.ac.id

dan menunjukkan tidak terdapatnya efek kumulatif obat yang signifikan.

Tidak terdapatnya efek kumulatif obat yang signifikan karena klirens

atrakurium yang cepat dari plasma yang mana tidak tergantung pada fungsi

renal atau hepatik. Sedikitnya efek kumulatif obat yang signifikan

memperkecil kecenderungan blokade neuromuskular yang persisten ketika

prosedur pembedahan yang lama membutuhkan dosis berulang atau infus

kontinu atrakurium (Morgan et al, 2006).

2.2.4 Efek Samping

Pelepasan histamin dari basofil dan sel mast dapat menyebabkan

bronkospasme, kemerahan pada kulit dan vasodilatasi perifer, terutama terjadi

dalam dosis besar dan dalam pemberian yang cepat. Pemberian atrakurium

secara perlahan-lahan dan pemberian antihistamin akan mengurangi efek

samping tersebut di atas (Morgan et al, 2006).

Kemampuan atrakurium (sebagai alergen) menyebabkan pelepasan

histamin dari sel mast, diawali dengan adanya interaksi dengan IgE spesifik

yang berikatan dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil,

mengakibatkan proses degranulasi dari kedua sel tersebut yang mengeluarkan

berbagai mediator kimia, salah satunya adalah histamin (Raveinal, 2012,

Baratawidjaja, 2006) Sensitivitas silang bisa terjadi antara semua obat

pelumpuh otot non depolarisasi, yang mencerminkan adanya komponen

antigenik, yaitu quaternary ammonium groups. Reaksi anafilaksis setelah

paparan pertama obat pelumpuh otot mungkin menggambarkan adanya

sensitisasi dari kontak sebelumnya dengan bahan-bahan kosmetik atau sabun


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 12
digilib.uns.ac.id

yang juga mengandung antigen tersebut di atas (wanita memiliki insiden lebih

besar terjadinya reaksi alergi oleh obat pelumpuh otot ini dari pada laki-laki)

(Stoelting dan Hillier, 2006).

2.3 Histamin

Histamin merupakan sebuah amin (autacoid) endogen hidrofilik yang

terjadi secara alami dan memiliki berat molekul rendah yang menghasilkan

berbagai macam respon fisiologis dan patologis pada jaringan-jaringan dan

sel-sel yang berbeda melalui reseptor membran berpasangan G-protein.

Histamin juga merupakan mediator inflamasi kimiawi pada penyakit alergi.

Sel mast yang terletak pada kulit, paru-paru dan saluran gastrointestinal serta

basofil di sirkulasi mengandung banyak histamin. Histamin tidak dengan

mudah menyeberangi pembatas antara darah dengan otak dan efek sistem

saraf pusat (CNS) tidak biasa terlihat (Stoelting, 2006).

2.3.1 Sintesa

Sintesa histamin dalam jaringan adalah dengan dekarboksilasi

histidin. Histamin disimpan di dalam vesikula dalam sebuah kompleks

dengan heparin. Histamin yang disimpan selanjutnya dilepaskan dalam

merespon reaksi antibodi antigen atau merespon obat-obatan tertentu.

Histamin yang dicerna dengan makanan sebagian besar hancur didalam liver

atau paru-paru atau diekskresi didalam urin. Dalam plasma orang sehat

histamin berkisar antara 0–6 nmol/L atau 0- 50 ng/mL (histamin ng/dL x 9 =

histamin nmol/L) (LDN dan Co.KG, 2012). Sistem imunologi tubuh kita

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 13
digilib.uns.ac.id

yang mensintesa dan mengeluarkan histamin pada keadaan tertentu antara

lain:

1. Basofil

Basofil adalah granulosit dengan populasi paling minim, yaitu 0,01-

0,3% dari sirkulasi sel darah putih. Basofil mengandung banyak granul

sitoplasmik dengan dua lobus. Seperti granulosit lain, basofil dapat tertarik ke

luar sirkulasi menuju jaringan tubuh dalam kondisi tertentu. Saat teraktivasi,

basofil mengeluarkan mediator kimia antara lain histamin, heparin, kondrotin,

elastase dan lisofosfolipase, leukotrien dan beberapa macam sitokin. Basofil

juga memainkan peran dalam reaksi alergi seperti serangan asma dan reaksi

anafilaksis (Nigrovic dan Lee, 2013).

2. Eosinofil

Eosinofil adalah sel darah putih dari kategori granulosit yang

perperan dalam sistem kekebalan dalam melawan parasit multiselular dan

beberapa infeksi pada mahluk vetebrata. Bersama-sama dengan basofil dan

sel mast, eosinifil berperan dalam mekanisme alergi. Eosinofil terbentuk

pada proses haematopoiesis yang terjadi pada susmsung tulang sebelum

bermigrasi ke dalam sirkulasi darah. Eosinofil mengandung sejumlah zat

kimia antara lain histamin, eosinofil peroksidase, ribonuklease,

deoksiribonuklease, lipase (plasminogen) dan beberapa asam amino yang

dirilis melalui proses degranulasi setelah eosinofil teraktivasi. Zat-zat ini

bersifat toksin terhadap parasit dan jaringan tubuh. Eosinofil merupakan sel
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 14
digilib.uns.ac.id

substrat peradangan dalam reaksi alergi. Aktivasi dan pelepasan toksin oleh

eosinofil diatur dengan ketat untuk mencegah penghancuran jaringan yang

tidak diperlukan. Individu normal mempunyai rasio eosinofil sekitar 1

hingga 6% terhadap sel darah putih dengan ukuran sekitar 12-17

mikrometer. (Nigrovic & Lee, 2013).

Eosinofil dapat ditemukan pada medula oblongata dan sambungan

antara kortek otak besar, timus, saluran pencernaan, ovarium, uterus, limpa

dan limfonodi. Tetapi tidak ditemukan di paru, kulit, esofagus dan organ

viseral lainya pada kondisi normal, keberadaan eosinofil pada area ini sering

merupakan pertanda adanya suatu penyakit. Eosinofil dapat bertahan dalam

sirkulasi darah selama 8-12 jam dan bertahan lebih lama sekitar 8-12 hari di

dalam jaringan apabila tidak terdapat stimulasi. (Nigrovic & Lee, 2013).

3. Sel Mast

Sel mast atau sering disebut mastosit merupakan sel granulosit yang kaya

akan histamin dan heparin. Sel mast sering berdiam di antara jaringan dan

membran mukosa, tempat sel ini beperan dalam sistem kekebalan dengan

bertahan melawan patogen, menyembuhkan luka, dan juga berkaitan dengan

alergi dan anafilaksis. (Gilfillan dan Tkaczyk, 2006)

Proses granulasi tergantung pada peningkatan konsentrasi Ca+2

intraseluler. Kalsium yang diperlukan untuk terjadinya degranulasi berasal

dari intraseluler dan influk Ca2+ dari ekstraseluler melalui kanal membran.

Pelepasan Ca2+ dari retikulum edoplasma diperantarai oleh jalur sinyal PLCγ

(Tshori & Razin, 2010).


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id

Gambar 2. Respon kanal kalcium selama aktivasi sel mast

(Sumber : Tshori & Razin, 2010).

Sel mast terdapat pada hampir seluruh jaringan yang menyelimuti

pembuluh darah, saraf, kulit, mukosa, paru, saluran pencernaan, mukosa

mulut, konjungtiva dan hidung. Ketika teraktivasi, sel mast secara cepat

melepaskan granula terkarakterisasi, kaya histamin dan heparin, bersama

dengan mediator hormonal dan kemokina atau kemotaktik sitokin jaringan

sekitar patogen. Histamin menyebabkan vasodilatasi dan permeabilitas

pembuluh darah meningkat, menyebabkan munculnya gejala inflamasi yang

mengundang datangnya neutrofil dan makrofage. (Tshori dan Razin, 2010)

Sel mast pertama kali ditemukan dan dijabarkan oleh Paul Ehrlich

pada tahun 1878 dengan sudut pemikiran bentuk yang berupa granula. Sel

mast sangat mirip dengan granulosit basofil dan membuat banyak spekulasi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id

bahwa sel mast dan basofil berasal dari jaringan yang sama hingga bukti

terkini menunjukkan bahwa kedua sel ini berasal dari prekusor yang

berbeda di dalam susmsum tulang, tetapi masih memiliki molekul CD34

yang sama. Beda dengan basofil yang meninggalkan sumsum tulang setelah

matur sedangkan sel mast beredar dalam bentuk yang belum matur

(Nigrovic dan Lee, 2013).

2.3.2 Metabolisme

Ada dua jalur metabolisme histamin pada manusia. Jalur yang

terpenting melibatkan metilasi yang dikatalisasi oleh histamin N-

metiltransferase, yang selanjutnya mengalami penurunan oleh monoamin

oksidase. Pada jalur yang lain, histamin mengalami deaminasi oksidatif

yang dikatalisasi oleh diamin oksidase (histaminase), yang merupakan

enzim nonspesifik yang didistribusikan secara luas di dalam jaringan tubuh.

Metabolit yang dihasilkan dari kedua jalur tersebut tidak aktif secara

farmakologi dan diekskresi di dalam urin (Stoelting, 2006).

Tabel 2.1 Efek yang Dimediasi oleh Aktivasi Reseptor Histamin


Subtipe reseptor
yang diaktivasi
Meningkatnya monofosfatase guanosine siklik intraseluler H1
Memediasi pelepasan prostasiklin H1
Memperlambat konduksi gerak jantung melalui atrioventriculer node H1
Vasokonstriksi arteri coroner H1
Bronkokonstriksi H1
commit intraseluler
Meningkatnya adenosine siklik monofosfate to user H2
perpustakaan.uns.ac.id 17
digilib.uns.ac.id

Rangsangan system syaraf pusat H2


Cardiac dysrhythmias H2
Meningkatnya kontraktilitas miokardia H2
Meningkatnya denyut jantung H2
Vasodilasi arteri coroner H2
Bronkodilasi H2
Meningkatnya sekresi ion hydrogen oleh sel-sel parietal lambung H2
Permeabilitas kapiler yang meningkat H1, H2
Vasodilasi vaskuler peripheral H1, H2
Menghambat sintesa dan pelepasan histamine H3

2.3.3 Pengaruh terhadap Sistem Organ

Histamin memberikan efek yang mendalam terhadap sistem

kardiovaskuler, saluran udara dan sekresi ion hidrogen gastrik. Histamin

dalam dosis yang besar merangsang sel-sel ganglion dan sel-sel kromafin di

dalam medula adrenal, yang menimbulkan pelepasan katekolamin. Efek

CNS tidak menyertai pelepasan histamin peripheral karena senyawa ini

tidak dengan mudah melintasi pembatas antara darah dengan otak (Stoelting,

2006).

1. Sistem Kardiovaskuler
Efek kardiovaskuler yang predominan disebabkan oleh dilatasi

arteriol dan kapiler, yang mengakibatkan (a) kemerah-merahan, (b)

berkurangnya resistensi vaskuler peripheral, (c) berkurangnya tekanan darah

sistemik, dan (d) meningkatnya permeabilitas kapiler. Dilatasi vaskuler

disebabkan oleh efek langsung dari histamin terhadap pembuluh darah yang

dimediasi oleh reseptor H1 dan H2 yang terlepas dari inervasi sistem saraf
commit to user
otonom. Aktivasi jenis reseptor apapun dapat menimbulkan vasodilasi
perpustakaan.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id

maksimal, tetapi reseptor H1 diaktivasi pada konsentrasi histamin yang lebih

rendah, yang menghasilkan serangan yang cepat dan vasodilatasi sementara

dalam merespon aktivasi reseptor H2. walaupun vasodilasi digeneralisasi,

kemerah-merahan terlihat paling jelas pada kulit muka dan bagian atas

tubuh (daerah merah). Meningkatnya permeabilitas kapiler diciri-cirikan

sebagai jalan keluar protein plasma dan cairan ke dalam ruang cairan

ekstraseluler, yang muncul sebagai edema. Meningkatnya permeabilitas

kapiler ini disebabkan oleh kontraksi sel endothelium kapiler yang

ditimbulkan oleh histamin, sehingga membuka membran kapiler permeabel

dasar yang bebas terhadap cairan intravaskuler yang mengandung protein

(Stoelting, 2006).

Selain vasodilatasi peripheral, histamin dapat menghasilkan efek

inotropik, kronotropik dan antidromik. Efek inotropik positif disebabkan

oleh rangsangan reseptor H2 yang dimediasi oleh histamin serta kemampuan

histamin untuk menimbulkan pelepasan katekolamin dari adrenal medula.

Efek kronotropik dan perkembangan cardiac dysrhthmias merefleksikan

aktivasi reseptor H2 oleh histamin serta efek tidak langsung akibat pelepasan

katekolamin yang ditimbulkan oleh histamin. Konduksi gerak jantung

melalui atrioventricular node disebabkan oleh aktivasi histamin reseptor H1.

Perubahan-perubahan pada ambang untuk fibrilasi ventrikular dapat

disebabkan oleh pembebasan sedikit histamin yang tidak terdeteksi sebagai

perubahan di dalam konsentrasi plasma. Dapat dipahami bahwa pelepasan

histamin jaringan regional dapat turut menyebabkan cardiac dysrhythmia.


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 19
digilib.uns.ac.id

Vasokonstriksi arteri koroner dimediasi oleh reseptor H1, sementara

vasodilatasi arteri koroner dimediasi oleh reseptor H2. Respon rangkap tiga

yang diperoleh oleh histamin di dalam kulit dari (a) dilatasi kapiler di dalam

wilayah yang cedera, (b) edema akibat meningkatnya permeabilitas kapiler

dan (c) sebuah suar yang terdiri atas ateri dilatasi di sekitar edema.

Komponen suar dari respon rangkap tiga merupakan sebuah contoh

kemampuan histamin untuk merangsang ujung saraf. Histamin juga

menyebabkan pruritus saat disuntikkan kedalam lapisan luaran kulit

(Stoelting, 2006).

Penurunan pada tekanan darah sistemik yang ditimbulkan oleh

histamin dicegah oleh pemberian kombinasi antagonis reseptor H1 dan H2.

Blokade reseptor sendiri tidak sepenuhnya mencegah efek penurunan

tekanan darah berikutnya karena histamin (Stoelting, 2006).

2. Saluran Nafas

Histamin mengaktivasi reseptor H1 untuk mengerutkan otot halus

bronkus, sedangkan rangsangan reseptor H2 mengendorkan otot-otot halus

bronkus. Pada pasien yang normal, aksi bronkokonstriktor histamin dapat

diabaikan. Sebaliknya, pasien yang mengalami penyakit hambatan saluran

udara, seperti asma atau bronchitis, lebih mungkin untuk meningkatkan

resistensi saluran udara dalam merespon histamin (Stoelting, 2006).

3. Gaster

Histamin menimbulkan sekresi cairan gastrik yang berlebihan yang

mengandung konsentrasi ion hidrogen yang tinggi. Respon ini terjadi


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id

dengan adanya konsentrasi plasma histamin yang tidak mengubah tekanan

darah sistemik. Pelipatgandaan konsentrasi histamin plasma biasanya

dianggap perlu untuk menimbulkan perubahan pada tekanan darah.

Meningkatnya sekresi ion hidrogen gastrik dipercaya disebabkan

oleh efek rangsangan langsung dari histamin terhadap sel-sel parietal gastrik

dimana, yang beraksi pada reseptor H2 yang terhubung dengan adenilat

siklase, histamin mengaktivasi sebuah pompa enzim membran (hidrogen-

potasium-ATPase) yang mengekstrusi proton. Keberadaan aktifitas vagal

bahkan menghasilkan tingkat sekresi ion hidrogen yang lebih tinggi.

Sebagai contoh, sesudah vagotomi pada manusia, respon sekresi maksimal

terhadap histamin turun sekitar sepertiga dari nilai biasanya. Blokade

kolinergik, seperti yang dihasilkan oleh dosis atropin yang tinggi, juga

menurunkan respon sekresi gastrik terhadap histamin (Stoelting. 2006).

2.3.4 Reaksi Alergi

Selama reaksi alergi, histamin hanya merupakan salah satu dari

beberapa mediator kimiawi yang dilepaskan, dan arti penting relatifnya

dalam memproduksi gejala-gejala sangat tergantung kepada spesies yang

diteliti. Demikian halnya, perlindungan yang diberikan oleh antagonis

reseptor histamin sangat bervariasi dan tergantung kepada spesies. Pada

manusia, antagonis reseptor histamin (antihistamin) efektif dalam mencegah

pembentukan edema dan pruritus. Hipotensi diredakan tetapi tidak

seluruhnya diblokir, sementara bronkokonstriksi seringkali tidak dicegah,

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 21
digilib.uns.ac.id

yang menekankan peran yang utama dari leukotrien dalam respon ini pada

manusia.

Respon terhadap obat-obatan pelepas histamin diplasebo secara

lebih baik oleh antagonis reseptor histamin daripada respon alergi. Mediator

kimiawi yang lebih sedikit diduga terlibat dalam respon yang ditimbulkan

oleh obat dan histamin dan mungkin prostasiklin relatif lebih penting

(Stoelting, 2006).

2.3.5 Kegunaan Klinis

Histamin telah digunakan untuk menilai kemampuan sel-sel

parietal gastrik untuk mensekresi ion-ion hidrogen dan untuk menentukan

masa sel parietal. Anasiditas atau hiposekresi ion hidrogen dalam merespon

histamin dapat merefleksikan anemia berat, gastritis atropik, atau

karsinomagastrik. Hiposekresi ion hidrogen dalam merespon histamin ada

dalam sindrom Zollinger-Ellison dan dapat ditemukan dengan adanya bisul

usus duabelas jari. Efek samping yang menyedihkan yang disebabkan oleh

histamin sendiri dapat dikurangi oleh pemberian antagonis reseptor H1

terlebih dahulu yang tidak melawan sekresi gastrik yang ditimbulkan oleh

histamin. Sebuah alternatif bagi histamin untuk pengujian fungsi gastrik

adalah pentagastrin, turunan pentapeptida sintetis dari gastrin. Efek samping

dari pentagastrin sangat kecil.

Fakta bahwa histamin intradermal menyebabkan flare yang

dimediasi oleh refleks akson memungkinkan sebuah tes untuk integritas

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id

saraf sensor yang mungkin bermanfaat dalam diagnosa kondisi neurologi

tertentu (Stoelting, 2006).

2.4 Dexamethasone

Gambar 3. Rumus molekul dexamethasone

(Sumber:www.rxlist.com, 2013)

Dexamethasone merupakan kortikosteroid yang mempunyai efek

anti inflamasi dan anti alergi, mencegah degranulasi sel mast.

Kortikosteroid adalah kelompok obat yang memiliki aktivitas

glukokortikoid dan mineralokortikoid sehingga memperlihatkan efek yang

sangat beragam yang meliputi efek terhadap metabolisme karbohidrat,

protein dan lipid, efek terhadap keseimbangan air dan elektrolit, dan efek

terhadap pemeliharaan fungsi berbagai sistem dalam tubuh. Namun, secara

umum efeknya dibedakan atas efek retensi Na, efek terhadap metabolisme

karbohidrat dan efek anti inflamasi (Anonim, 2000).

Kortikosteroid adalah salah satu obat anti inflamasi yang poten dan

banyak digunakan dalam penatalaksanaan asma. Obat ini diberikan baik

yang bekerja secara topikal maupun secara sistemik (Yunus, 1998).

commit
Kortikosteroid mengurangi to user
jumlah sel inflamasi di saluran napas,
perpustakaan.uns.ac.id 23
digilib.uns.ac.id

termasuk eosinofil, limfosit T, sel mast dan sel dendritik. Efek ini dicapai

dengan menghambat penarikan sel inflamasi kesaluran napas dan

menghambat keberadaan sel inflamasi di saluran napas. Oleh karena itu,

kortikosteroid mempunyai efek anti inflamasi spektrum luas, sehingga

berdampak pada berkurangnya aktivasi inflamasi, stabilisasi kebocoran

vaskular, penurunan produksi mukus dan peningkatan respon β-adrenergik

(Ikawati, 2006).

2.4.1 Efek Terhadap Proses Keradangan dan Fungsi Imunologis:

Produksi normal dari glukokortikoid endogen tidak akan

berpengaruh secara bermakna terhadap proses keradangan dan

penyembuhan (Schimmer dan Parker, 1996). Kelebihan glukokortikoid

endogen dapat menekan fungsi imunologis dan dapat mengaktifasi infeksi

laten. Efek imunosupresi ini digunakan dalam pengobatan penyakit-

penyakit autoimun, proses inflamasi dan transplantasi organ.

Peran glukokortikoid dalam proses imunologis dan inflamasi

(Schimmer dan Parker, 1996; Orth dan Kovacs, 1998) adalah:

1. Merangsang pembentukan protein (lipokortin) yang menghambat

fosfolipase A2 sehingga mencegah aktivasi kaskade asam arachidonat

dan pengeluaran prostaglandin.

2. Menurunkan jumlah limfosit dan monosit di perifer dalam 4 jam, hal

ini terjadi karena terjadi redistribusi temporer limfosit dari

intravaskular kedalam limpa, kelenjar limfe, duktus thoracicus dan

sumsum tulang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 24
digilib.uns.ac.id

3. Meningkatkan pengeluaran granulosit dari sumsum tulang ke sirkulasi,

tapi menghambat akumulasi netrofil pada daerah keradangan.

4. Menghambat sintesis sitokin.

5. Menghambat nitric oxyde synthetase.

6. Menghambat respon proliferatif monosit terhadap Colony Stimulating

Faktor dan diferensiasinya menjadi makrofag.

7. Menghambat fungsi fagositik dan sitotoksik makrofag.

8. Menghambat pengeluaran sel-sel radang dan cairan ketempat

keradangan.

9. Menghambat plasminogen activators (PAs) yang merubah

plasminogen menjadi plasmin yang berperan dalam pemecahan

kininogen menjadi kinin yang berfungsi sebagai vasodilator dan

meningkatkan permeabilitas pembuluh darah.

2.4.2 Pemilihan dan Cara Pemberian

Untuk memilih glukokortikoid harus dilihat kebutuhannya, efek


yang dikehendaki, potensi, dan lama kerja (duration of action).
1. Pemberian Sistemik
Yaitu cara pemberian yang mengharapkan suatu efek sistemik,
bisa diberikan secara intravena, intramuskular atau pemberian per oral.
Pada kasus-kasus yang berat glukokortikoid diberikan secara intravena.
Pemberian secara topikal lebih disukai karena efek sistemiknya sangat
kecil sehingga kemungkinan efek sampingnya minimal.
2. Penggunaan Topikal
2.1 Pada kulit: sangat efektif dan nontoksik bila diberikan dalam waktu
singkat. Biasanya diberikan dalam bentuk salep, krim atau lotion,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 25
digilib.uns.ac.id

jarang diperlukan suntikan pada lesi dikulit seperti pada keloid,


kista akne atau prurigo nodularis (Chrousus, 2006).
Pada pemberian yang lama dapat memberikan efek sistemik
terutama pada jenis fluorinated steroid (dexamethasone,
triamcinolone acetonide, beclomethasone dan betamethasone).
Komplikasi penggunaan topikal biasanya lokal seperti atropi
epidermal, hipopigmentasi, teleangiektasi, akne dan folikulitis,
jarang terjadi komplikasi sistemik.
2.2 Pada mata: pemberian topikal dalam bentuk salep atau tetes mata
sering dipakai pada penyakit autoimun atau inflamasi segmen
anterior yang tidak diketahui sebabnya (iritis, uveitis), juga pada
penderita postoperasi atau trauma untuk mencegah udem sehingga
tidak terjadi kerusakan yang makin luas. Pada kelainan-kelainan
bola mata posterior glukokortikoid diberikan secara sistemik
(Chrousus, 2006).
Pemakaian lama dapat menyebabkan katarak dan glaukoma.
Tidak boleh diberikan pada keratitis herpes simpleks karena dapat
menyebabkan terjadinya penyebaran infeksi yang luas.
2.3 Intranasal: penggunaan intranasal yang terlalu sering sebaiknya
dihindari karena bahaya komplikasi lokal dan sistemik (Chrousus,
2006).
2.4 Intraartikular: Penggunaan intraartikular bisa diberikan secara
selektif pada penderita-penderita tertentu dan harus dilakukan
dengan cara aseptik dan tidak boleh dilakukan berulang-ulang.
2.5 Inhalasi: Sekarang banyak digunakan dan sangat bermanfaat
digunakan pada asma bronkiale. Walaupun jarang efek sistemik
bisa juga terjadi pada pemakaian yang lama dengan dosis yang
lebih besar atau terjadi idiosinkrasi karena perubahan metabolisme
steroid atau meningkatnya absorbsi atau sensitivitas jaringan
(Chrousus, 2006).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 26
digilib.uns.ac.id

2.4.3 Efek premedikasi dexamethasone pada anestesi umum

Society for Ambulatory Anesthesia (SAMBA) merekomendasikan

guidelines untuk pengelolaan mual dan muntah pasca operasi dengan obat

(dexamethasone, promethazine, scopolamine). Dexamethasone, secara

efektif mencegah mual dan muntah post operatif. Penggunaan ini

direkomendasikan pada dosis profilaksis 4-5 mg IV untuk pasien dengan

peningkatan resiko mual dan muntah post operasi. Untuk profilaksis mual

dan muntah post operasi, efikasi dexamethasone 4 mg IV sama dengan

ondansetron 4 mg IV dan droperidol 1,25 mg IV. Waktu yang dianjurkan

untuk pemberian dexamethasone adalah saat Induksi anestesi daripada saat

akhir operasi. Dalam percobaan IMPACT dexamethasone menurunkan

risiko terjadinya mual dan muntah post operasi sekitar 25%. (Peter, 2007).

Glukokortikosteroid merupakan obat yang efektif dalam manajemen

inflamasi karena alergi berhubungan dengan kemampuannya menghambat

pengembangan sel mast, ekspresi Fc epsilon RI IgE, dan produksi sel

mast. (Smith, 2002). Yamaguchi et al, telah pula meneliti bahwa

dexamethasone menekan ekspresi Fc epsilon RI pada sel mast tikus.

(Yamaguchi, 2001)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 27
digilib.uns.ac.id

2.5 Kerangka Teori

Pajanan dengan alergen

Aktivasi sel Th2 oleh antigen


dan rangsangan pengalihan IgE
dalam sel B

Produksi IgE

Ikatan IgE pada FcεRI

Pajanan Ulang dengan alergen

dexamethasone

Antigen – IgE menyebabkan Menurunkan jumlah sel mast,


degranulasi sel mast stabilisasi sel mast, menekan
ekspresi FcεRI

Pelepasan histamin
Penghambatan pelepasan
histamin

Gambar 2.2 Kerangka teori

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 28
digilib.uns.ac.id

2.6 Kerangka Operasional

Sampel

Dexamethasone
Anestesi Plasebo
5 mg

Induksi
Induksi

Atrakurium 0.5 mg/kgBB IV Atrakurium 0,5 mg/kgBB IV

 Stabisilasi sel mast & basofil  Tidak terjadi stabilisasi sel mast
 Hambatan rilis histamin & basofil
 Histamin serum tidak berubah  Terjadi rilis histamin
 Tidak terjadi reaksi alergi  Perubahan kadar histamin serum
 Hemodinamik stabil  Timbul reaksi sensitivitas
 Perubahan hemodinamik

Hitung Kadar Histamin Serum Hitung Kadar Histamin Serum

Analisa

Gambar 2.3 Kerangka Operasional

Keterangan:

Pemberian dexamethasone 5 mg sebelum pemberian Atrakurium yang digunakan

untuk fasilitasi intubasi endotrakeal dapat mempengaruhi kadar histamin serum.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 29
digilib.uns.ac.id

2.7 Hipotesis

Ada pengaruh pemberian dexamethasone 5 mg intravena sebelum

pemberian atrakurium intravena pada fasilitasi intubasi terhadap

perubahan kadar histamin serum, dimana dexamethasone 5 mg intravena

dapat mencegah peningkatan kadar histamin serum akibat pemberian

atrakurium.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai