Anda di halaman 1dari 6

Obat Relaksan Otot

Obat relaksan otot adalah obat yang digunakan untuk melemaskan otot rangka
atau untuk melumpuhkan otot. Biasanya digunakan sebelum operasi untuk
mempermudah suatu operasi atau memasukan suatu alat ke dalam tubuh. Obat
relaksan otot yang beredar di Indonesia terbagi dalam dua kelompok obat yaitu obat
pelumpuh otot dan obat pelemas otot yang bekerja sentral.1
Relaksasi otot skeletal dapat terjadi dengan anestesi inhalasi yang dalam, blok
syaraf regional atau dengan obat yang memblok pertemuan neuromuskular. Golongan
obat yang disebut terakhir ini sering disebut sebagai obat pelumpuh otot, dimana obat
ini dapat menimbulkan paralisis dari otot skeletal tanpa menyebabkan amnesia, tidak
sadar dan juga tidak menimbulkan analgesi.2
Berdasarkan mekanisme kerja obat pelumpuh otot pada pertemuan
neuromuskular, obat ini dapat digolongkan dalam dua golongan. Golongan obat yang
menimbulkan depolarisasi, secara fisik menyerupai asetilkolin (ACh) sehingga akan
terikat pada reseptor ACh dan menimbulkan potensial aksi dari otot skeletal karena
terbukanya kanal natrium. Namun tidak seperti ACh obat ini tidak langsung
dimetabolisme oleh asetilkolin esterase, sehingga konsentrasinya di celah sinap akan
menetap lebih lama yang akan menghasilkan pemanjangan depolarisasi dari lempeng
pertemuan otot skeletal. Adanya potensial aksi pada lempeng pertemuan otot skeletal
ini akan menyebabkan potensial aksi pada membran otot, yang akan membuka kanal
sodium dalam waktu tertentu. Setelah tertutup kembali kanal ini tidak dapat terbuka
kembali sebelum terjadi repolarisasi dari lempeng motorik, yang disini tidak juga
akan terjadi sebelum obat yang menyebabkan depolarisasi meninggalkan reseptor
yang didudukinya. Sementara itu setelah kanal sodium di peri junctional tertutup,
otot akan kembali pada posisi relaksasi dan akan berlanjut sampai obat golongan ini
dihidrolisis oleh enzim pseudo cholinesterase yang terdapat di plasma dan di hati.
Umumnya proses ini berlangsung dalam waktu yang singkat sehingga tidak
dibutuhkan obatspesifik untuk melawan efek relaksasi dari obat golongan depolarisasi
ini.1,3
Obat golongan non-depolarisasi juga terikat pada reseptor ACh namun tidak
menyebabkan terbukanya kanal natrium sehingga tidak terjadi kontraksi otot skeletal,
karena tidak timbul potensial aksi pada lempeng akhir motorik. Obat golongan ini
akan menetap pada reseptor ACh (kecuali Atracurium dan Mivacurium) sampai
terjadi redistribusi, metabolisme ataupun eliminasi obat ini dari dalam tubuh, dapat
juga dengan pemberian obat yang bersifat melawan daya kerja obat ini.
Caramelawannya dengan menekan fungsi asetilkolinesterase sehingga meningkatkan
konsentrasi ACh, untuk dapat berkompetisi dalam menduduki reseptor ACh dan
menghilangkan efek blok yang ditimbulkan oleh obat golongan non-depolarisasi.1,2
Jumlah obat bebas dalam sirkulasi adalah faktor yang sangat berpengaruh
dalam menentukan jumlah obat yang dapat mencapai target organ. Begitu obat
diberikan, secara intravena, maka konsentrasinya dalam sirkulasi ditentukan oleh
jumlah dan dosis obat yang diberikan, kecepatan pemberian dan kecepatan sirkulasi.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah banyaknya obat yang diikat oleh protein
plasma, dimana semakin banyak yang terikat oleh protein plasma semakin sedikit
obat yang akan berdifusi keluar dari sirkulasi menuju tempat kerjanya di pertemuan
neuromuskular. 2
Kecepatan perpindahan obat dari sirkulasi ke pertemuan neuromuscular
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertemuan neuromuskular secara umum mendapat
perfusi yang lebih cepat dibandingkan otot secara keseluruhan. Ini terjadi karena
tidak banyaknya membran yang harus dilalui untuk mencapai tempat kerja dari obat
ini, begitu keluar dari kapiler obat langsung berada di post junctional membrane dan
langsung ke terminal motorik. Jadi hanya diperlukan penyebaran ke ruang
ekstraselular, tanpa harus melewati membran sel.1
Penurunan konsentrasi obat dalam sirkulasi terbagi dalam dua fase. Setelah
pemberian konsentrasi menurun secara cepat karena proses distibusi ke berbagai
jaringan, diikuti oleh fase lambat yang terjadi karena pengeluaran obat melalui ginjal
dan empedu. Karena obat pelumpuh otot sangat mudah terionisasi dalam sirkulasi
yang mana akan menjadikannya sulit untuk melewati membran sel, hal ini
membuatnya mempunyai nilai volume distribusi yang kecil. VD pada awal pemberian
adalah 80-140 ml/kg, sedangkan pada keadaan stabil (VD ss) adalah 200-450 ml/kg.
Ini menunjukkan bahwa obat pelumpuh otot tidak tersebar secara luas dalam tubuh.
Sebagai perbandingan dapat dilihat obat yang sangat larut dalam lemak (sehingga
mudah menembus membran sel) seperti thiopenthal yang mempunyai VD ss
mencapai 2 liter / kg.1,3
Pengeluaran obat pelumpuh otot dari sirkulasi terjadi melalui tiga proses.
Yang pertama adalah biotransformasi. Succinylcholine dan atracurium adalah contoh
obat yang dimetabolisme secara langsung di plasma oleh pseudocholineesterase,
pancuronium dan vecuronium dimetabolisme di hati, sedangkan +-tubocurarine dan
gallamine dikeluarkan dalam bentuk utuh. Ekskresi melalui ginjal dan empedu adalah
proses berikutnya untuk mengeluaran obat-obat tersebut dari sirkulasi dan kemudian
keluar dari dalam tubuh.2,3

Tabel 1. Obat pelumpuh otot golongan depolarisasi dan non depolarisasi.

A. Succinylcholine
Succinylcholine mengalami hidrolisis secara cepat oleh plasma cholinesterase
menjadi succinylmonocholine, yang mempunyai efek blok sangat lemah ( + 1/20 efek
succicylcholine ) dan selanjutnya dalam waktu yang lebih lama menjadi asam suksinil
dan kolin, waktu paruhnya sekitar 2-4 menit.1.11. Yang perlu dicatat adalah
peningkatan ataupun penurunan aktifitas dari plasma cholinesterase tidak
mempengaruhi mula kerja dan lama kerja dari obat ini secara bermakna. Sering kali
timbul anggapan bahwa metabolisme dari obat inilah yang mengakhiri efek blok otot
skeletal, pada kenyataannya tidaklah demikian. Metabolisme yang terjadi di plasma
hanya menentukan jumlah obat yang dapat mencapai tempat kerja, dan di tempat
kerjanya obat ini akan menimbulkan blok yang akan terus berlangsung sampai obat
tersebut kembali keluar dari tempat kerjanya.2,3
Dosis yang diperlukan untuk menimbulkan blok pada 95 % penderita (ED95)
pada otot adductor pollicis adalah 0,3 - 0,5 mg / kg. Sedangkan dosis efektif yang
menimbulkan efek pada 50 % penderita (ED50) adalah 0,2 - 0,3 mg / kg. Pada kedua
keadaan tersebut, pemberian obat anestesi inhalasi akan menyebabkan penurunan
dosis. Mula kerja obat ini dengan dosis subparalisis (kurang dari 0,3 - 0,5 mg/kg)
sekitar 1,5-2 menit. Dosis yang lebih besar ( 1-1,5 mg/kg ) akan menimbulkan efek
dalam waktu 1 menit. Mula kerjanya lebih cepat berefek pada diafragma dan otot
laring, serta akan lebih cepat pada anak-anak dari pada dewasa. Lama kerjanya
dengan dosis 1 mg/kg adalah 10-12 menit.1,2

B. Pancuronium bromide
Pancuronium bromide adalah pelumpuh otot golongan non-depolarisasi
dengan mula kerja yang lambat dan masa kerja panjang. Masa kerja obat golongan ini
ditentukan oleh konsentrasinya di plasma yang akan menurun sampai batas minimal
yang dapat menimbulkan efek blok pada otot skeletal.2,3
Pancuronium diberikan dengan dosis 0,1 mg/kg. 15-40 % dari jumlah yang
diberikan akan mengalami proses deasetilisasi menjadi 3-OH, 17-OH, atau 3,17-OH
pancuronium. Obat ini sebagian besar diekskresi dalam bentuk asalnya, 46% melalui
urine dan 5-10% melalui empedu setelah 24 jam pertama. Sisanya dieksrkresi melalui
urine setelah diubah menjadi metabolit hasil diasetilisasi.2,3
3-OH adalah metabolit yang paling poten, dimana mempunyai potensi
setengah dari pancuronium dan juga mempunyai T1/2 sama dengan pancuronium.
ED95 dari pancuronium adalah 60 m g/kg dan sebagaimana pelumpuh otot
nondepolarisasi yang lain, mula kerjanya bertambah singkat pada bayi dan anak-
anak.1

C. Vecuronium
Vecuronium mempunyai rumus bangun yang menyerupai pancuronium,
namun mempunyai masa kerja yang lebih singkat, sekitar setengah kali masa kerja
pancuronium (lihat tabel 2). Metabolisme dilakukan di hati dengan ekskresi utamanya
melalui empedu dan sebagian kecil melalui urine. Ekskresi melalui urine pada 24 jam
pertama adalah 15% dari jumlah obat yang diberikan, persentase yang kecil disini
menunjukkan vecuronium lebih aman digunakan pada penderita kelainan fungsi
ginjal dibandingkan dengan pancuronium.3
Dosis awal yang dibutuhkan adalah 0,1 mg/kg dan dapat ditingkatkan sampai
0,3 mg/kg, namun dosis 0,15 mg/kg sudah cukup untuk memberikan efek blok
dengan mula kerja 1-2 menit setelah pemberian sebagai sarana intubasi trakhea.
ED95 dari obat ini adalah 50 m g/kg dan akan mempunyai mula kerja yang lebih
singkat pada anak-anak, namun akan memanjang pada bayi dan orang tua karena
adanya penurunan bersihan plasma. Masa kerjanya dengan dosis pemeliharaan 0,1
mg/kg adalah 23 menit. Tidak ditemukan adanya efek kumulasi yang dapat
memperpanjang blok otot yang ditimbulkan dengan pemberian berulang sebesar 25%
dari dosis awal, atau sebagai alternatif dapat diberikan secara terus menerus melalui
infus dengan dosis 1-2 m g/kg.2,3

D. Atracurium
Atracurium adalah obat pelumpuh otot dengan masa kerja yang relatif singkat,
ini disebabkan karena pengubahan bentuk quaternary ammonium menjadi tertiary
amine yang terjadi secara spontan dalam plasma (dikenal dengan reaksi Hoffman).
Reaksi ini meningkat bila terjadi kenaikan pH darah, misalnya pada penderita dengan
hiperventilasi. Reaksi lain yang berperan dalam penurunan konsentrasi atracurium
dalam sirkulasi adalah hidrolisis ester oleh plasma esterase. Pada kenyataannya reaksi
hidrolisis ester merupakan cara metabolisme utama dari atracurium, namun reaksi
Hoffman memberikan suatu keamanan pada pemakaian atracurium untuk penderita
dengan kelainan fungsi hati maupun ginjal.2
Atracurium diekskresi melalui empedu sekitar 55% dari dosis yang diberikan
dan sisanya dikeluarkan melalui urine setelah 7 jam sejak pertama kali diberikan.
Waktu paruhnya adalah 20 menit.11. ED95 obat ini adalah 200m g/kg dengan efek
blok maksimal dicapai setelah 5-6 menit.1. Dosis 0,5 mg/kg diperlukan untuk intubasi
trakhea dengan efek maksimal dicapai setelah 30-60 detik setelah pemberian
intravena. Dosis awal yang dibutuhkan untuk menimbulkan relaksasi otot adalah 0,25
mg/kg dan dilanjutkan dengan dosis pengulangan sebesar 0,1 mg/kg setiap 10-20
menit atau dengan pemberian perinfus sebanyak 5-10 m g/kg.3

DAFTAR PUSTAKA

1. Bevan David R, Donati Francois. Muscle relaxants and clinical monitoring.


In: Healy Thomas EJ, Cohen Peter J, editors. Wylie and Churchill-Davidson’s
A Practice of Anaeshtesia. London: Edward Arnold, 1994; p147-71.
2. Miller RD. Pharmacokinetics of muscle relaxants and their antagonists. In :
Roberts C Prys, Hug CC Jr, editors. Pharmocokinetics of anaesthesia. London:
Blackwell Scientific Publications, 1984; p246-69.
3. Clarke RSJ, Hunter AR. Neuromusculas blocking agents. In : Dundee John w,
Clarke R S J, McCaughey William. Clinical Anaesthetic Pharmacology.
London: Churchill Livingstone, 1991; p295-313.

Anda mungkin juga menyukai